Cokronegoro I, Bupati Purworejo Pertama
Raden Adipati Aryo Cokronegoro I lahir dan dibesarkan di lingkungan Kasunanan Surakarta dan di daerah kelahirannya di Brengkelan, Bagelen.
Kira-kira seumuran dengan Pangeran Diponegoro, dan sama-sama berguru tasawuf dan ajaran tarekat Shattariyah kepada guru agama yang sama sebelum meletusnya Perang Jawa, Kiai Taptojani dari Mlangi.
Tetapi keduanya berseberangan dalam tataran spiritual.
Cokronegoro menyesalkan bahwa pencapaian spiritual Diponegoro yang besar harus diwarnai dengan sifat "pamrih" dalam pandangan Cokronegoro terhadap Diponegoro.
Ia kemudian memutuskan untuk berseberangan dan melawan Diponegoro dalam perang Jawa.
Pada Agustus 1825, ia diangkat menjadi wakil kasunanan Surakarta yang dikirim ke Bagelen menjadi pandu Pangeran Kusumoyodo untuk melawan pasukan Diponegoro yang bergerak menuju Kasunanan melewati Kedu di bagian selatan dan Menoreh.
Pada 1829, pasukannya menyebabkan gugurnya panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang paling disegani dan dihormati, Pangeran Ngabehi (Pangeran Joyokusumo I, salah seorang putra Sultan Hamengkubuwono II), dan kedua anak laki-lakinya-Pangeran Joyokusumo II dan Raden Atmokusumo di daerah perbatasan antara Bagelen dan Kulon Progo.
Kepala ketiga pangeran itu dipancung dan dikirim ke Jenderal De Kock di Magelang sebelum diserahkan ke Keraton Yogyakarta untuk dimakamkan di Pemakaman Pengkhianat di Banyusumurup.
Sebelumnya pada Desember 1828 Cokronegoro diangkat menjadi Bupati Tanggung dengan julukan Raden Tumenggung Cokrojoyo. Setelah Perang Jawa atau Perang Diponegoro berakhir 28 Maret 1830, tanah Bagelen diminta paksa oleh Belanda.
Bagelen dipecah jadi dua. Sebelah timur jadi siti lenggah Kadipaten Brengkelan dengan Bupati Raden Tumenggung Cokrojoyo. Pada masa itu Kadipaten Brengkelan berubah jadi Purworejo pada Februari 1831 dan RT Cokrojoyo berganti sebutan jadi Raden Adipati Aryo Cokronegoro I hingga 1856 dan digantikan puteranya RAA Cokronegoro II.
Cokronegoro pada awal jabatannya sebagai bupati perdana Purworejo berinisiatif membangun saluran irigasi, yang mengambil air dari Sungai Bogowonto. Saluran ini, yang dikenal sebagai Kedung Putri, mulai dibangun 3 Mei 1832 dengan mengerahkan 5.000 tenaga kerja dan masih berfungsi sampai sekarang dengan kemampuan mengairi sawah seluas 3.800 hektar di sekitar Purworejo.
Ref.
Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa
Prof. Peter Carey
Re-editor :
Imajiner Nuswantoro