SITUS BIORO
Tepatnya di dusun Bioro desa Kandangan kecamatan Kandangan kabupaten Kediri terdapat sebuah situs bersejarah yang merupakan peninggalan pada era kerajaan Kadhiri yaitu situs Bioro, warga setempat menyebutnya dengan sebutan situs Mbah Genthong atau Mbah Ranu karena itu satu satunya tempat keramat yang dipercayai oleh warga sekitarnya.
Situs Bioro berupa artefak batu kuno. Wujud artefak itu berupa Genthong yang terbuat dari batu yang di dalamnya terdapat air. Selanjutnya batu datar berukuran besar yang biasanya digunakan sebagai tempat ramuan atau peracikan ramuan obat obatan, dan sebuah batu berdiri berreliefkan atau prasasti.
Situs Bioro atau Mbah Genthong atau Mbah Ranu ini fisiknya berupa benda kuno bersejarah atau benda cagar budaya berupa artefak batu kuno. Wujud artefak ini berupa Genthong yang terbuat dari batu yang didalamnya terdapat air, selanjutnya batu datar berukuran besar yang biasanya digunakan sebagai tempat ramuan atau peracikan ramuan obat obatan dan sebuah batu berdiri berreliefkan seperti prasasti-prasasti pada umumnya.
Di area tersebut ada tiga peninggalan artefak kuno tersebut berada diarea pemakaman umum dusun Bioro desa Kandangan, namun situs tersebut perlu diperhatikan lebih intensif pelestariannya sebagai cagar budaya.
Situs Bioro yang oleh warga setempat disebut sebagai situs Mbah Genthong atau Mbah Ranu. Situs bersejarah yang merupakan peninggalan nenek moyang pada era Kerajaan Kadhiri itu, oleh warga setempat dipercaya merupakan tempat yang keramat.
Sumber lain bahwa situs Bioro ini terletak tidak jauh dari lokasi Museum Mini Mpu Bahula dan Diah Ratna Mangali Kampung Sentanan. Tepatnya, di arah timur desa Tunglur kecamatan Badas. Tepatnya, di area pemakaman umum dusun Bioro, desa Kandangan kecamatan Kandangan kabupaten Kediri Jawa Timur.
Warga di dusun Bioro desa Kandangan ini, rutin setiap Jumat Legi melakukan aktifitas tradisi turun temurun. Sebagai rasa syukur dan uri-uri pelestarian situs Genthong Bioro.
Berdasarkan informasi dari warga setempat, situs Bioro itu dulunya sering digunakan sebagai tempat meditasi spiritual untuk mencari petunjuk (jw : wangsit, petunjuk). Bahkan, ada juga yang menyakini jika air di dalam genthong itu memiliki keistimewaan tersendiri.
SITUS GENTHONG BIORO DI MASA KERAJAAN KADIRI DAN KERAJAAN SINGASARI
Situs yang saat ini masih menyimpan misteri riwayatnya sendiri. Situs Genthong Bioro, itulah nama yang disematkan warga setempat.
Berdasarkan penjelasan sumber informasi yang dapat dipercaya, inskripsi pada tugu yang terletak berdampingan dengan gentong, diidentifikasikan menggunakan aksara kuadrat, dan aksara ini digunakan pada masa Kerajaan Kadiri maupun Singasari.
Genthong Bioro tertulis aksara kuadrat merupakan perkembangan atau perubahan dari aksara “kawi”, sedangkan aksara kawi itu sendiri menginduk pada aksara “pallawa”.
Selain digunakan di wilayah kekuasaan kerajaan Kadhiri, dan Singasari, aksara kuadrat ternyata digunakan kerajaan-kerajaan diluar pulau Jawa. Hal ini bisa dibuktikan pada situs-situs kuno di Bali yang bertuliskan aksara kuadrat, sekaligus membuktikan adanya kedekatan antara kerajaan di Bali dengan kerajaan di Jawa.
Kedekatan tersebut dapat dibuktikan dari sejarah kekerabatan antara kerajaan di Bali dengan kerajaan di Jawa pada masa pemerintahan Kerajaan Kahuripan.
Garis keturunan Raja Airlangga yang berasal dari Wangsa Isyana, berstatus keturunan Raja Udayana dari Kerajaan Bedahulu, dan Ratu Mahendradatta dari Kerajaan Medang.
Kembali pada keberadaan situs genttong bioro, inskripsi yang tertulis di tugu tersebut merupakan sengkalan yang menunjukkan tahun 1171 saka atau 1250 Masehi. Merujuk sengkalan tahun 1171 saka, menunjukkan “timeline” sejarah masa pemerintahan Kerajaan Tumapel dibawah kekuasaan Raja Wisnu Wardhana.
Wisnu Wardhana atau Ranggawuni atau Seminingrat adalah putra dari Anusapati, dan Anusapati adalah putra dari Tunggul Ametung, dan Ken Dedes.
Ketika Anusapati menduduki singgasana Tumapel, ia digulingkan lewat kudeta berdarah oleh Tohjaya dengan menusukkan Keris Empu Gandring. Setelah kudeta tersebut, Tohjaya sukses menduduki singgasana Tumapel, namun masa pemerintahannya tidak berlangsung lama.
Koalisi Ranggawuni, dan Mahesa Campaka atau Narasingamurti berhasil menggulingkan pemerintahan Tohjaya. Merujuk pada garis keturunan, sebenarnya Ranggawuni maupun Mahesa Campaka masih berstatus keponakan dari Tohjaya.
Usai perang antara koalisi “keponakan” versus Tohjaya, Ranggawuni naik singgasana dengan gelar Wisnu Wardhana, sedangkan Mahesa Campaka naik singgasana dengan gelar Ratu Angabhaya atau Narasinghamurti.
Pada masa pemerintahan Wisnu Wardhana inilah, sejarah penting terjadi, yaitu pemindahan Kutaraja Tumapel ke Kutaraja Singasari. Dari Wisnu Wardhana juga, lahirlah Raja Kertanagara, yang perwujudannya bisa dilihat pada patung “Joko Dolog” yang terletak di jalan Taman Apsari, Kota Surabaya.
Menurut prasasti Mula Malurung, Raja Wisnu Wardhana mempersatukan kembali Tumapel dengan Kadiri, namun dalam kitab Pararaton maupun kitab Nagarakertagama, penyatuan 2 (dua) wilayah ini tidak tertulis.
Prasasti Mula Malurung berwujud lempengan tembaga yang berasal dari masa pemerintahan Raja Kertanagara. Terdapat 10 lempengan tembaga, namun hingga hari ini hanya ada 7 (tujuh) yang berhasil diketemukan, 3 (tiga) lainnya belum dapat ditemukan.
Pada lempengan tembaga ketiga, menjelaskan bahwa pada masa itu Seminingrat atau Wisnu Wardhana berhasil menyatukan kembali Tumapel, usai pecah sepeninggal Ken Arok yang dikudeta Anusapati dengan menusukkan keris Empu Gandring.