Babad Sembar
Babad Sembar mengupas tentang sejarah Blambangan
Menurut Babad Sembar, penguasa pertama Blambangan adalah Mas Sembar dengan ibukota daerah Semboro (di Jember), suatu daerah di sebelah timur wilayah ayahnya, Lembu Miruda, (Lumajang).
Babad Sembar berisi tentang silsilah mengenai raja-raja Kerajaan Blambangan. Babad sembar dapat dibagi menjadi dua bagian utama. Bagian pertama terdiri dari 10 bait yang mengungkapkan bahwa ada lima-enam angkatan sebelum Tawang Alun. Dalam bagian pertama juga dapat ditemukan bahwa nama Tawang Alun tidak hanya satu.
Menjelang awal abad ke-15, pada tahun 1489, putra Mas Sembar yang bernama Bima Koncar telah meneguhkan dirinya sebagai penguasa Blambangan kedua yang memerintah hingga tahun 1501.
Dari laporan Tome Pires, Bima Koncar memiliki putra bernama Pate Pimtor (Menak Pentor), memerintah antara 1501-1531, yang berhasil memperluas wilayah Blambangan.
Di bawah kekuasaan Menak Pentor, Blambangan menjadi kerajaan yang kuat, kaya, dan makmur. Wilayahnya meliputi Canjtam (Keniten/Pasuruan Timur) dan Lumajang di bagian barat hingga ke Supitan Blambangan (sekarang Selat Bali) di ujung timur Pulau Jawa. Letaknya pun cukup strategis, karena dikelilingi oleh lautan di ketiga sisinya, sehingga banyak memiliki pelabuhan. Di antara pelabuhan-pelabuhan Kerajaan Blambangan yang paling terkenal adalah Panarukan (di Situbondo) di pesisir utara , Ulu Pangpang, (di Muncar) di pesisir timur, dan Puger (di Jember) di pesisir Pantai Selatan.
Pada saat Sultan Trenggana raja ke-3 Kesultanan Demak pada 1546, memperluas wilayah kekuasaannya ke timur, sebagian wilayah Jawa Timur berhasil dikuasainya, termasuk merebut Pasuruan dan Pajarakan dari tangan Blambangan pada tahun 1545 dan sejak saat itu Pasuruan menjadi kekuatan Islam yang penting di ujung timur Jawa.
Akan tetapi, usaha Demak menaklukkan Panarukan mengalami kendala karena kerajaan ini mampu bertahan walaupun telah dikepung selama seratus hari. Bahkan, pada 1546, Sultan Trenggana sendiri terbunuh di dekat Panarukan, setelah selama tiga bulan tidak mampu menembus kota Panarukan. Pemimpin Panarukan yang terkenal kala itu bernama Sontoguno.
Setelah Demak mundur, giliran Kerajaan Gelgel dari Bali yang menyerang dan berusaha merebut Blambangan dari tangan Menak Pangseng putra Menak Pentor.
Pada tahun 1597, giliran Blambangan diserang oleh pasukan Pasuruan namun Blambangan dapat mengatasinya. Setelah mengalahkan Pasuruan, terjadi huru-hara di internal Blambangan dan tampillah Menak Pati atau Sang Dipati Lampor dan putranya Menak Lumpat.
Selanjutnya Menak Lumpat digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran Singosari atau Menak Seruyu bergelar Prabu Tawang Alun I.
Kemudian pada tahun 1638-1639, giliran Kesultanan Mataram menyerang Blambangan, hingga membuat Tawang Alun I terpaksa melarikan diri ke timur gunung (wilayah Banyuwangi saat ini di daerah Kedawung Sraten, Cluring, Banyuwangi), sedangkan putra mahkotanya, Mas Kembar, menjadi tawanan dan diboyong ke Mataram.
Blambangan dapat bertahan di sebelah timur gunung dan usaha-usaha Mataram melebarkan kekuasaan ke daerah ini tidak pernah berhasil. Hal ini mengakibatkan kawasan Blambangan Timur (Banyuwangi pada umumnya) tidak pernah masuk ke dalam budaya Jawa Tengah. Maka dari itu, sampai sekarang kawasan Banyuwangi memiliki ragam bahasa yang cukup berbeda dengan bahasa Jawa baku.
Selanjutnya, di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram, pada tahun 1649, Mas Kembar naik tahta dengan gelar Pangeran Tawang Alun II Prabu Tawangalun II.
Sepeninggal Sultan Agung dari Mataram, ketika Mataram dipimpin oleh Sunan Amangkurat Agung (Amangkurat I), ketika menghadiri Pisowanan (tahun 1652) di istana Mataram, Tawang Alun II mendeklarasikan diri di hadapan sang Sunan, bahwa mulai sejak saat itu Blambangan adalah wilayah yang merdeka. Sepulangnya ke Balambangan dia menyandang gelar sebagai Susuhunan Macanputih untuk menunjukkan bahwa tahtanya sederajat dengan tahta Mataram.
Selanjutnya Kangjeng Suhunan Tawang Alun II membantu Raden Trunajaya dan Karaeng Galesong melawan Mangkurat Agung (Amangkurat I) dalam Perang Trunajaya sehingga Blambangan dapat merebut daerah-daerah kekuasaannya kembali dari tangan Mataram. Di bawah pemerintahan Kangjeng Suhunan Tawang Alun II, kerajaan Blambangan maju dengan pesat di mana kekuasaannya menyatu dari Banyuwangi, hingga ke Kediri.
Babad Sembar (sumber Wikipedia)
Babad Sembar ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Bali. Babad Sembar berisi tentang silsilah mengenai raja-raja Kerajaan Blambangan.
Babad sembar dapat dibagi menjadi dua bagian utama.
Bagian pertama terdiri dari 10 bait yang mengungkapkan bahwa ada lima-enam angkatan sebelum Tawang Alun.
Dalam bagian pertama juga dapat ditemukan bahwa nama Tawang Alun tidak hanya satu. Bagian ini menceritakan bahwa terjadi perpindahan ibu kota kerajaan sampai 3 kali, yaitu mulai dari Tepasana (Lumajang) menuju Puger, Jember dan akhirnya berpindah lagi ke wilayah semula.
Bagian kedua dari babad ini merupakan kisah mengenai Tawang Alun dan Lanang Dhangiran. Lanang Dhangiran adalah pendiri keluarga bupati Surabaya. Lanang Dhangiran adalah Pangeran Lanang Dangiran Putro Prabu Tawangalun I/ Ki Ageng Brondong / Sunan Boto Putih Surabaya.
Prabu Tawangalun I / Tawangalun Nyakra (Mbah Alun) alias Menak Seruyu
Rshi Tawangalun (Bhre Wirabhumi II) Aji Rajanatha putera Prabu Hayam Wuruk
Pangeran Singosari atau Menak Seruyu bergelar Prabu Tawang Alun I.
Prabu Tawangalun I/Tawangalun Nyakra (Mbah Alun) alias Menak Seruyu, raja Blambangan di Kutha Kedhawung (Umbulsari Jember)
Sumber referensi : Wikipedia