PUTRA PUJAN BEGAWAN PALASARA
(Bertemunya Palasara dengan Durgandini)
Suatu hari, Prabu Basukiswara mendapat wangsit (bisikan) dari dewa. Bahwa, puterinya yang bernama Durgandini atau Lara Amis akan sembuh dari sakit ditubuhnya yang menebarkan aroma anyir atau amis jika bersedia melakukan tapabrata dengan menjadi anak angkat tukang dayung perahu tambangan di Bengawan Gangga atau Swilugangga bernama Ki Panjala/Dasabala. Setiap hari Dewi Durgandini membantu ayah angkatnya Ki Panjala menjadi tukang perahu tambangan.
Ketika Begawan Palasara sedang bertapa di hutan Tunggul, ada sepasang burung emprit bernama Wecaca dan Wicaci bersarang dan bertelur sampai menetas telurnya di atas kepalanya. Tiba-tiba suami isteri burung emprit itu tak mau lagi memberi makan kepada anak-anaknya. Ini semua adalah godaan tetapi juga jalan (laku). Hampir setiap hari Palasara yang memiliki Aji Dwipa bisa mendengar tangis anak burung yang kelaparan itu, sedangkan ayah dan ibunya malah sibuk bercumbu-cumbuan di muka hidung Palasara. Namun Palasara tidak boleh marah. Maka Palasara mencoba membawa anak burung itu kepada ayah ibu-nya. Tetapi sepasang burung emprit itu seperti meledek dan menjauhi Palasara, seolah-olah mereka tak mau bertanggung jawab.
Perjalanan Palasara terhalang oleh Sungai Gangga. Tak ada seorang pun yang kelihatan kecuali seorang wanita pendayung perahu bernama Durgandini. Maka sapanya:
“Hai wanita cantik”, tegur Palasara, “Bawalah aku ke seberang sungai agar aku dapat menyusulkan anak burung emprit ini kepada induknya”.
Maka Palasara naik perahu dan Durgandini mendayung ke seberang. Basah kuyup keringat Durgandini. Ia kelihatan sangat lelah sekali mendayung perahunya. Ketika perahu sampai ditengah sungai, ada angin yang nakal menyingkap kain Durgandini dan keluarlah bau amis dari badannya. Melihat kejadian ini Palasara merasa iba, tidak merasa terganggu oleh bau amis, bahkan tertarik akan kecantikan Dewi Durgandini. Maka diusapnyalah keringat Lara Amis yang bercucuran itu dan berubahlah bau badannya menjadi harum semerbak sehingga diberi nama baru menjadi Sayojanagandhi.
Ketika perahu itu berada di tengah sungai, Palasara yang merasa terpesona dengan kecantikan dan perilakunya mirip ibunya yakni Dewi Durgandini, untuk menyamarkan keinginannya untuk memadu kasih dengan putri Wirata itu, maka perahu itu digenjot menggunakan Aji Ketuklindu sehingga perahu menjadi bergoyang-goyang. Karena goyangannya yang dahsyat, tiba-tiba perahu dayung menabrak pulau ditengah sungai dan terbelah menjadi dua. Mereka tenggelam dalam alunan air, terengah-engah menuju ke tepi pulau ditengah sungai besar itu.
Sementara itu kedua belah perahu itu berubah menjadi sosok manusia kembar bernama yang kemudian diberi nama Kencakarupa dan Rupakenca, sedang bau amis dan keringatnya berubah menjadi sosok laki-laki dan perempuan yang bernama Gandamana dan Gandawati, kumpulan penyakit atau “memala"nya menjadi Rajamala dan balatung atau “set”nya menjadi manusia bernama Settama , bintang yuyu yang menggerogoti sukerta menjadi Dewi Rekathawati, umbul umbul perahu menjadi Tunggul Wulung.
Dan alat untuk mendayung (Bahasa Jawa : satang) menjadi Satang Putung.
Namun, karena Tunggul Wulang tidak mau mengakuinya sebagai saudara karena berwujud ular (Bahasa Jawa: Sawer).
Akhirnya terjadilah perkelahian. Ada menang dan kalah akhirnya Satang Putung pun mati saat melawan Tunggul Wulung.
Kesemua makhluk jadi-jadian itu diakui Begawan Palasara sebagai anak-anaknya.