DIALOG SUNAN KALIJAGA & SANG PRABU YUDHISTIRA DALAM SERAT CENTHINI (133 : 1 - 12)
Kajian Centhini (133:1-5) : Sunan Kalijaga Bertemu Prabu Yudhistira Yang Sedang Bertapa
Pupuh 132 Pangkur (meutrum: 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i), bait ke-1 sampai bait ke-5, Serat Centhini:
Praptèng têpi Glagahganda, Sunan Lèpèn uluk salamira glis, assalamu ngalaekum. Sanalika wus sirna, pêpêdhut kang angawêngi ing wana gung, satêmah katingal padhang, (n)Jêng Sunan nulya umanjing.
Ngidêri sajroning wana, dupi rawuh madyaning wana wingit, uning janma agêng luhur, manthêr sunaring teja. Lawan janma samangke gêng luhuripun, kintên-kintên tikêl tiga, dhiwut-dhiwut wulunèki.
Rema gimbal wulu panjang, lênggah munggèng sangandhaping waringin, sela gilang tlèmèkipun. Patrape dènnya lênggah, suku têngên jegang kang kiwa saluku, sarira sêndhên mandira. Astanira ingkang kering,
tumumpang ing pundhak kanan, asta kanan (ng)gêgêm sarta pinundhi, wontên ing sanginggilipun, pilingan ingkang kanan. Sunan Lèpèn tandya amrêpêki gupuh, manêmbrama manuara, urmat asung salamnèki.
Nanging datan winangsulan, Yudhisthira mandêng kewala aming, Sunan Kali kêndêl (n)jêtung, ngunandikèng wardaya. Datan dangu tumuwuh osiking kalbu, kinira-kirèng wardaya, baya wong Buda puniki.
Kajian per kata :
Praptèng (sesampai di) têpi (pinggir) Glagahganda (Glagahwangi), Sunan Lèpèn (Sunan Kalijaga) uluk salamira (menyampaikan salam) glis (segera), assalamu ngalaekum (assalamu’alaikum). Sesampai di tepi hutan Glagahwangi, Sunan Kalijaga menyampaikan salam segera, assalamu’alaikum.
Glagahganda artinya sama dengan Glagahwangi. Dalam bahasa Jawa seringkali nama tempat disebut dengan kata lain yang artinya mirip, seperti Banyumas sering disebut Toyamas. Banyu artinya sama dengan toya. Nama Mataram sering disebut Ngeksiganda. Nama Boyolali sering diplesetkan Bajulkesupen, dll.
Sesampai di tepi hutan Glagahwangi Sunan Kalijaga mengucapkan salam untuk para penghuni hutan. Karena telah dicurigai bahwa keanehan yang terjadi adalah karena di hutan Glagahwangi ada penghuninya yang mengganggu pekerjaan pembabatan hutan tersebut. Sunan Kalijaga hendak menemui si pengganggu dengan cara yang baik-baik. Maka yang pertama diucapkan adalah perkataan salam: Assalamu’alaikum, artinya semoga keselamatan untuk engkau semua.
Sanalika (seketika) wus (sudah) sirna (sirna), pêpêdhut (segala kabut) kang (yang) angawêngi (meliputi) ing (pada) wana (hutan) gung (besar, seluruh), satêmah (sehingga) katingal (nampak) padhang (terang), (n)Jêng Sunan (Kangjeng Sunan) nulya (segera) umanjing (masuk). Seketika sudah hilang segala kabut yang meliputi seluruh hutan, sehingga nampak terang, Kangjeng Sunan segera masuk (ke hutan).
Ucapan salam direspon dengan baik oleh para penunggu hutan. Tandanya, kabut yang menyelimuti hutan seketika sirna. Hutan Glagahwangi nampak terang benderang. Kangjeng Sunan Kalijaga segera masuk ke dalam hutan untuk mengetahui sebab apa yang menjadi sumber keanehan di situ.
Ngidêri (memutari) sajroning (di dalam) wana (hutan), dupi (ketika) rawuh (datang, sampai) madyaning (di tengah) wana (hutan) wingit (gawat), uning (melihat, mengetahui) janma (manusia) agêng (besar) luhur (tinggi), manthêr (memancar) sunaring (sinar) teja (cahaya). Memutari di dalam hutan, ketika sampai di tengah hutan melihat manusia besar dan tinggi, memancar sinar cahaya (darinya).
Sunan Kalijaga memutari seluruh isi hutan untuk mencari sesuatu yang janggal yang sekiranya menjadi penyebab keanehan di hutan Glagahwangi. Ketika sampai di tengah hutan yang masih gawat, yang tampak belum dijamah manusia, terlihat olehnya manusia yang besar dan tinggi. Dari tubuh manusia besar itu memancar sinar cahaya.
Lawan (dibanding) janma (manusia) samangke (sekarang) gêng (besar) luhuripun (tingginya), kintên–kintên (kira-kira) tikêl (lipat) tiga (tiga), dhiwut–dhiwut (penuh tubuhnya oleh) wulunèki (bulunya). Dibanding manusia zaman sekarang besar dan tingginya lipat tiga, sekujur tubuhnya penuh bulu tebal.
Manusia di tengah hutan itu demikian besarnya, dibanding manusia sekarang besarnya tiga kali lipat. Sekujur tubuhnya dipenuhi oleh bulu-bulu yang tebal. Dhiwut-dhiwut artinya tubuhnya penuh bulu.
Rema (rambut) gimbal (gimbal) wulu (bulu) panjang (panjang), lênggah (duduk) munggèng (pada posisi) sangandhaping (di bawah) waringin (pohon beringin), sela (batu) gilang (rata licin) tlèmèkipun (alasnya). Rambutnya gimbal, bulunya panjang, duduk pada posisi di bawah pohon beringin, batu rata licin alasnya.
Rambut gimbal adalah rambut yang kempal dan kusut, seperti lama tak keramas. Sekujur tubuh manusia besar itu dipenuhi bulu-bulu yang panjang, brewokan. Karena memang sudah lama bertapa dan tidak pernah bercukur. Posisi duduknya di bawah pohon beringin, beralaskan sela gilang, yakni batu yang atasnya rata dan halus licin.
Patrape (sikapnya) dènnya (dalam dia) lênggah (duduk), suku (kaki) têngên (kanan) jegang (jegang) kang (kaki) kiwa (kiri) saluku (selonjoran), sarira (badan) sêndhên (bersandar) mandira (pohon). Sikap tubuhnya dalam dia duduk, kaki kanan jegang, kaki kiri selonjoran, badan bersandar pada pohon.
Jegang adalah posisi duduk dengan satu kaki diangkat dengan ditekuk, tapak kaki menapak batu. Kaki kanan jegang, kaki kiri selonjoran, tubuhnya bersandar pada pohon. Gesture tubuh si manusia raksasa ini mengesankan dia menunggu sesuatu yang akan segera datang, dengan penuh percaya diri. Mengesankan bahwa dia tidak takut terhadap apapun yang akan dia temui.
Astanira (tangannya) ingkang (yang) kering (kiri), tumumpang (menumpang) ing (di) pundhak (pundak) kanan (kanan), asta (tangan) kanan (kanan) (ng)gêgêm (menggenggam) sarta (serta) pinundhi (diangkat), wontên (ada) ing (di) sanginggilipun (atasnya), pilingan (kening) ingkang (yang) kanan (kanan). Tanggannya yang kiri ditumpangkan di pundak kanan, tangan kanan menggenggam serta diangkat di atas kening yang kanan.
Sikap kedua tangan dari si raksasa itu, tangan kiri disilangkan di depan dada telapaknya menumpang di atas pundak kanan. Adapun tangan kanan terlihat menggenggam dan diangkat di atas kening kanan. Sikap tangan kanan ini seolah sedang menggenggam sesuatu barang yang dimuliakan.
Sunan Lèpèn (Sunan Kalijaga) tandya (segera) amrêpêki (mendekati) gupuh (dengan tergesa), manêmbrama (menyambut) manuara (dengan sikap manis), urmat (hormat) asung (memberi) salamnèki (salam padanya). Sunan Kalijaga segera mendekati dengan tergesa, menyambut dengan manis, hormat memberi salam kepadanya.
Gupuh artinya tergesa-gesa seperti orang yang kaget karena melihat sesorang yang terhormat. Seperti ketika ada orang besar, guru atau atasan yang datang ke rumah kita, ketika kita melihat langsung kita segera menyambutnya. Sunan Kalijaga pun memperlakukan orang besar itu dengan demikian, sebagai tanda penghormatan dan memuliakan orang besar itu. Dalam hati Sunan Kalijaga telah menduga bahwa orang besar ini bukan sembarang orang, dan mungkin inilah penyebab terjadinya keanehan yang terjadi di hutan Glagahwangi. Sunan Kalijaga mendekat dengan hormat sambil menyampaikan salam. “Assalamu’alaikum!”
Nanging (tetapi) datan (tidak) winangsulan (dijawab), Yudhisthira (Yudhistira) mandêng (melihat) kewala (saja) aming (hanya), Sunan Kali (Sunan Kalijaga) kêndêl (diam) ( n)jêtung (terpaku), ngunandikèng (hanya membatin) wardaya (dalam hati). Tetapi tidak dijawab, Yudhistira hanya melihat saja, Sunan Kalijaga berdiam terpaku, hanya membatin dalam hati.
Namun respon orang tinggi besar yang ternyata adalah Raja Yudhistira itu dingin. Dia hanya memandang saja seolah tak mengerti bahasa yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga sejenak diam terpaku, hatinya bertanya-tanya mengapa orang besar itu hanya diam rak merespon salamnya.
Datan (tak) dangu (lama) tumuwuh (timbul) osiking (pikiran) kalbu (dalam hati), kinira–kirèng (mengira-ira) wardaya (dalam hati), baya (apakah) wong (orang) Buda (Budha) puniki (ini). Tak lama timbul pikiran dalam hati, mengira-ira dalam hati apakah mungking orang ini orang Budha.
Sunan Kalijaga tertegun melihat orang besar itu. Ketika orang tadi tidak merespon salamnya Sang Sunan yang bijak mulai menduga apakah orang itu diam karena tidak mengerti bahasa yang disampaikannya. Apakah mungking orang besar ini adalah orang dari zaman Budha sehingga tak paham dengan apa yang disampaikan kepadanya?
Kata Buda (dibaca Budo) dalam bait ini yang dimaksud adalah agama sebelum Islam. Pada zaman sebelum Demak orang Jawa umumnya menganut agama Hindu atau Budha atau lainnya. Namun dalam literatur Jawa klasik penyebutan kepada mereka adalah para pemeluk Buda. Baik kepada orang beragama Hindu atau Budha.
Kajian Centhini (133:6-12): Sunan Kalijaga Bertanya Maksud Pertapaan Prabu Yudhistira
Pupuh 133 Pangkur (metrum: 8a, 11i, 8u, 7a, 12u, 8a, 8i), bait ke-6 sampai bait ke-12, Serat Centhini:
(n)Jêng Sunan sampun widagda, têmbung Buda dènnya asung pambagi. Mênggah mangke têmbungipun, dhuh sang nêmbe kapanggya, kula nilakrami ing sanak satuhu, sintên jujuluk sampeyan, tuwin kawijilan pundi.
Punapa ingkang sinêdya, dene lênggah nèng wana tanpa kanthi, miwah ing pasêmonipun, kadi nandhang sungkawa. Kang tinanya mangêrtos lajêng umatur, ugi cara basa Buda, makatên Jawinirèki.
O ênggèh kiyai sanak, jêngandika satuhu wus udani, lêpasing tyas kang kalimput, kula Ki Yudhisthira, kawijilan saking Ngamarta rumuhun, duk ing nguni jaman Buda, maksih Brahma kang agami.
(n)Jêng Sunan Kali duk myarsa, langkung ngungun nulya tatanya malih, kisanak kala rumuhun, mlampah damêl punapa. Walèh-walèh punapa kala rumuhun, sayêtosipun kawula, jumênêng sri narapati,
kadhaton nagri Ngamarta, Yudhisthira inggih jujuluk mami. Balik sampeyan sang luhung, ing wingking kang pinangka, lan ing ngajêng lajêr sêdyanirèng kalbu, miwah sintên kang sinambat. Dhuh Yudhisthira sang aji,
andangu nami kawula, Sunan Kalijaga kalêbêt Wali, saking tlatah Majalangu, ing Girigajahpura. Dhatêng kula saèstune dipunutus, Sunan Giri lurah amba, pêrlu kinèn mariksani.
kawontênane kang wana, dene têka wontên ingkang (n)dahwèni, damêl wilalat satuhu, maring kang sami babat. Sampun kula salasak ing wana kêmput, samya tan na kara-kara, muhung andika pribadi.
Kajian per kata :
(n)Jêng Sunan (Kangjeng Sunan) sampun (sudah) widagda (pintar, sempurna ilmunya), têmbung (bahasa) Buda (agama Budha) dènnya (dia pakai) asung (memberi) pambagi (salam). Kangjeng Sunan sudah sempurna ilmunya, segera memakai bahasa Budha dia pakai untuk memberi salam.
Sunan Kalijaga adalah wali yang bijaksana dan sempurna ilmunya. Mengetahui bahwa si lawan bicara tak mengerti bahasanya segera menyapa dengan bahasa yang dipakai kalangan agama Budha. Mungkin yang dimaksud adalah bahasa Jawa Kuna atau semacamnya. Mengingat Prabu Yudhistira hidup di zaman dahulu. Menurut serat Pustaka Raja Purwa kerajaan Astina muncul di sekitar tahun 800 Saka. Zaman keemasan kerajaan itu ketika diperintah oleh Yudhistira sebagai Maharaja yang membawahi tanah Jawa bagian timur. Di tahun-tahun itu orang Jawa masih memakai bahasa Jawa Kuna dalam percakapan sehari-hari.
Mênggah mangke (adapun) têmbungipun (perkataannya), dhuh (duhai) sang (yang) nêmbe (baru saja) kapanggya (bertemu), kula (saya) nilakrami (bertanya, dengan hormat) ing (pada) sanak (saudara) satuhu (sungguh), sintên (siapa) jujuluk (panggilan) sampeyan (Anda), tuwin (serta) kawijilan (asal) pundi (dari mana). Adapun perkataan (Sang Sunan) sebagai berikut, “Duhai saudara yang baru saja bertemu, saya bertanya dengan hormat pada saudara sungguh, siapa panggilan saudara serta asal dari mana?”
Dalam serat Panitisastra, kata silakrama artinya sikap hormat, nilakrama dalam bait ini artinya menyela dengan hormat untuk bertanya siapa nama dan asalnya. Pertanyaan Sunan Kalijaga tersebut diucapkan dalam bahasa Jawa Kuna yang kira-kira bisa dimengerti oleh sang pertapa.
Punapa (apakah) ingkang (yang) sinêdya (dikehendaki), dene (adapun, mengapa) lênggah (duduk) nèng (ada di) wana (hutan) tanpa (tanpa) kanthi (pengiring), miwah (serta) ing (dalam) pasêmonipun (raut mukanya), kadi (seperti) nandhang (mengalami) sungkawa (kesedihan). Apakah yang dikehendaki sampai duduk di hutan tanpa pengiring, serta dalam raut muka terlihat seperti mengalami kesedihan.
Sunan Kalijaga bertanya lagi, masih dengan sikap hormat, mengapa orang tersebut berada sendirian di tengah hutan, dan mengapa terlihat seperti sedang mengalami kesedihan.
Kang (yang) tinanya (ditanya) mangêrtos (mengerti) lajêng (lalu) umatur (berkata, menjawab), ugi (juga) cara (dengan cara) basa (bahasa) Buda (Budha), makatên (begini) Jawinirèki (dalam bahasa Jawanya). Yang ditanya mengerti lalu menjawab, juga dengan cara bahasa Budha, demikian dalam bahasa Jawanya.
Pertanyaan Sang Sunan yang sopan dan penuh empati, dan memakai bahasa Jawa lama rupanya membuat si manusia besar itu tergerak untuk menjawab. Ternyata benar bahwa diamnya orang besar itu karena tidak mengerti bahasa yang dipakai oleh Sunan Kalijaga. Begitu Sunan memakai bahasa Budha, orang itu mengerti dan dapat menjawab pertanyaan dengan lancar. Kira-kira seperti di bawah ini percakapan mereka kalau dijawakan.
O ênggèh (Oh ya) kiyai sanak (saudara), jêngandika (Anda) satuhu (sungguh) wus (sudah) udani (mengetahui), lêpasing tyas (suasana hati) kang (yang) kalimput (diliputi kesedihan), kula (saya) Ki Yudhisthira (Ki Yudhistira), kawijilan (asal) saking (dari) Ngamarta (Amarta) rumuhun (dahulu), duk (ketika) ing (pada) nguni (waktu dulu) jaman (zaman) Buda (Budha), maksih (maksih) Brahma (Brahma) kang agami (agamanya). “Oh ya saudara, Anda sungguh sudah mengetahu suasana hati yang diliputi kesedihan, saya Ki Yudhistira asal dari negeri Amarta di zaman dahulu, ketika masih dikuasai agama Brahma.
Orang besar itu memperkenalkan diri sebagai Ki Yudhistira dari negeri Amarta di zaman dahulu, zaman ketika Pulau Jawa masih dikuasai kerajaan yang memeluk agama Brahma. Ketika itu, di zaman Sunan Kalijaga hidup negeri Amarta sudah lama lenyap dari percaturan kerajaan di Jawa. Kekuasaan di pulau Jawa masih dipegang oleh Majapahit, tetapi negeri Majapahit sudah di ambang senjakala. Oleh karena itu para wali bermaksud mendirikan negeri baru yang berlandaskan agama Islam. Karena sebagian besar kawula Majapahit sudah berganti agama dari agama lama mereka ke Islam.
(n)Jêng (Kangjeng) Sunan Kali (Sunan Kalijaga) duk (ketika) myarsa (mendengar), langkung (sangat) ngungun (heran) nulya (lalu) tatanya (bertanya) malih (lagi), kisanak (saudara) kala (zaman) rumuhun (dahulu), mlampah (melakukan) damêl (pekerjaan) punapa (apa). Kangjeng Sunan Kalijaga ketika mendengar sangat heran, lalu bertanya lagi, “Saudara di zaman dahulu melakukan pekerjaan apa?”
Mendengar penuturan Ki Yudhistira Sunan Kalijaga merasa sangat heran karena bertemu manusia dari zaman dahulu kala, zaman yang sudah sangat lama. Lalu Sunan Kalijaga menanyakan lagi, “Apa pekerjaan saudara dahulu?”
Walèh-walèh punapa (terus terang saja) kala (zaman) rumuhun (dahulu), sayêtosipun (sebenarnya) kawula (saya), jumênêng (berdiri) sri narapati (Raja), kadhaton (kerajaan) nagri (negara) Ngamarta (Amarta), Yudhisthira (Yudhistira) inggih (itulah) jujuluk (gelar) mami (saya). “Terus terang saja di zaman dahulu sebenarnya saya adalah seorang raja di kerajaan Amarta, Yudhistira itulah gelar saya.”
Sang Yudhistira menjawab bahwa dirinya dahulu adalah seorang Raja di negeri Amarta. Lebih tepatnya sebenarnya adalah Astinapura. Karena Amarta hanyalah negara bagian dari Astinapura. Sebelum terjadi perang Baratayuda Yudhistira adalah raja Amarta. Setelah menang perang Baratayuda Yudhistira menjadi maharaja di Astinapura yang wilayahnya mencakup beberapa kerajaan bawahan.
Balik (gantian) sampeyan (Anda) sang (sang) luhung (terhormat, mulia), ing (di) wingking (belangka) kang (yang) pinangka (asal), lan (dan) ing (di) ngajêng (depan) lajêr sêdyanirèng (maksud dalam) kalbu (hati), miwah (serta) sintên (siapa) kang (yang) sinambat (namanya). Ganti Anda yang mulia, dari manakah asal dan apa maksud dalam hati, serta siapa nama Anda.
Kalimat ing wingking kang pinangka adalah ungkapan menanyakan asal usul. Adapun ing ngajeng sedyanira adalah ungkapan menanyakan maksud kedatangan. Ungkapan yang halus dan penuh hormat dari Raja Yudhistira kepada Sang Sunan untuk menanyakan asal, maksud dan nama. Keduanya tampak sudah saling cocok sebagai kawan bicara. Sudah jumbuh antara keduanya.
Dhuh (Duhai) Yudhisthira (Yudhistira) sang (sang) aji (raja), ndangu (menanyakan) nami (nama) kawula (hamba), Sunan Kalijaga (Sunan Kalijaga) kalêbêt (termasuk) Wali (wali), saking (dari) tlatah (wilayah) Majalangu (Majapahit), ing (di) Girigajahpura (Kedaton Girigajah). “Duhai Sang Raja Yudhistira, (Paduka) menanyakan nama, hamba Sunan Kalijaga, termasuk wali dari wilayah Majapahit yang berkedudukan di Kedaton Girigajah.”
Di sini Sunan Kalijaga mengaku sebagai warga Kedaton Girigajah karena beliau memang diutus oleh Sunan Giri sebagai ketua para wali. Kata Majalangu artinya sama dengan Majapahit. Langu artinya hampir mirip dengan pahit. Ini adalah cara penamaan bagi orang Jawa seperti halnya kata Glagahwangi dan Glagahganda, yang telah diuraikan di kajian yang lalu.
Dhatêng (kedatangan) kula (saya) saèstune (sebenarnya) dipunutus (diutus), Sunan Giri (Sunan Giri) lurah (atasan) amba (hamba), pêrlu (keperluan) kinèn (suruh) mariksani (memeriksa), kawontênane (keadaan) kang (yang) wana (hutan), dene (karena) têka (ternyata) wontên (ada) ingkang (yang) (n)dahwèni (menjahili), damêl (membuat) wilalat (tuah) satuhu (sungguh), maring (kepada) kang (yang) sami (sedang) babat (membabat). “Kedatangan saya sebenarnya diutus oleh Sunan Giri atasan hamba, dengan keperluan disuruh memeriksa keadaan di hutan karena ternyata ada yang menjahili, memasang tuah sungguh kepada yang membabat (hutan).”
Walau tetap dengan kata yang sopan dan penuh hormat Sunan Kalijaga menyatakan keperluannya datang ke tengah hutan. Yakni sebagai utusan dari Sunan Diri yang hendak memeriksa dan memimpin pembabatan hutan. Karena ternyata ada orang yang sengaja menjahili pekerjaan tersebut, dengan membuat tuah kepada yang sedang bekerja. Karena tuah itu maka pekerjaan membabat hutan menjadi sulit. Setiap dibabat esoknya tumbuh lagi dengan cepat seperti sedia kala.
Sampun (sudah) kula (saya) salasak (terobos) ing (di) wana (hutan) kêmput (tuntas seluruhnya), samya (semua) tan (tak) na (ada) kara–kara (tanda-tanda), muhung (hanya) andika (Anda) pribadi (sendiri). Sudah saya terobos di hutan tuntas seluruhnya, semua tak ada tanda-tanda, hanya ada Anda sendiri.
Sunan Kalijaga menyatakan sudah memeriksa sampai tuntas seluruhnya (kemput) dan tidak menemukan hal-hal yang dianggap sebagai penyebab keanehan yang terjadi. Hanya tinggal ada Anda sendiri! Secara tak langsung Sunan Kalijaga menuduh Sang Raja Yudhistira sebagai penyebab semua keanehan ini.