SERAT CEBOLEK
(Versi Ketib Anom Kudus Menegakkan Syariat)
Alkisah,
ulama-ulama Pantura marah karena ada seorang tokoh agama dari Tuban, Haji
Mutamakin atau Haji Cebolek mempelajari Serat Dewaruci dan mengajarkan ilmu
mistik yang dipandang sesat. Para ulama itu berpikir bahwa tidak patut agama
Islam dicampuradukkan dengan ajaran kosmologi pra-Islam.
Kisah
tersebut ditulis dalam Serat Cabolek atau Serat Cebolek karya Yasadipura I.
Serat Cabolek berkaitan dengan Haji Mutamakin yang mempelajari Kita Dewaruci
atau Kitab Bimasuci.
Serat
Cabolek tersebut dialihaksarakan oleh Sudibjo Z. Hadisutjipto disertai alih
bahasa oleh Hadisuprapto dan diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Jakarta tahun 1981.
Terbitan
tersebut didahului dengan cerita perdebatan antara Kiai Rifai Kalisalak
berhadapan dengan Penghulu Batang, ulama muda Mas Haji Pinang dan para ulama
lain dengan difasilitasi Raden Tumenggung.
Penelitian
mendalam tentang Serat Cabolek dilakukan oleh S. Soebardi dalam disertasinya di
The Australian National University tahun 1967 yang diterbitkan atas inisiatif
KITLV melalui Penerbit Springer Belanda tahun 1975 dengan judul The Book of
Cabolek. Soebardi menggunakan beberapa naskah yang tersimpan di perpustakaan
Universitas Leiden. Disertasi tersebut diterbitkan versi Indonesianya oleh
Penerbit Nuansa Bandung tahun 2004.
Mosi Ulama kepada Raja
Serat
Cabolek berisi aduan para ulama Pantura dengan juru bicara Ketib Anom Kudus,
yaitu sekretaris penghulu yang berwenang di masjid Agung Kudus dalam menangani
ibadah hingga pengadilan. Ketib Anom beserta para ulama Pantura mengadukan Kiai
Mutamakin kepada Raja Mangkurat Kartasura setelah sebelumnya mereka mengirimkan
surat edaran kepada para ulama Pajang, Mataram, Kedu, Bagelen, dan Mancanegara.
Ketib Anom adalah sosok ulama sepuh yang fasih dan cerdas. Karena Amangkurat IV
wafat, maka pemeriksaan kasus itu diteruskan oleh Pakubuwana II.
Haji
Mutamakin didakwa telah mengajarkan ilmu mistik sesat, menolak syariat, memberi
nama anjingnya Kamaruldin, nama seorang khatib, dan menternak 12 anjing dari
Kudus dengan salah satu bernama Abdul Kahhar, nama penghulu Tuban. Ia didakwa
merusak aturan dan hukum sehingga layak dihukum bakar. Sebanyak 142 ulama Jawa
berkumpul di Kraton Kartasura. Mereka berkumpul di rumah Patih Danureja, yang
mendukung mosi para ulama, sebelum mereka bertemu Raden Demang Urawan, ketua
pengadilan, yang juga kerabat Raja.
Setelah
dipilih perwakilan ulama dan Bupati serta Wedana, Demang Urawan menjembatani
komunikasi mereka dengan Raja. Tapi Raja dan Demang Urawan cenderung
berpendapat bahwa tindakan Haji Mutamakin tidak salah karena karya Kabudhan
hanya untuk perlambang untuk membuka kesejatian. Raja menyatakan ketidaksukaan
akan kegaduhan yang dibuat para ulama dan Patih Danureja, yang masih Uwak Raja.
Ketib Anom Membela Ulama
Saat
menyampaikan pendapat Raja kepada para utusan ulama dan Bupati, mereka semua
takut dengan kemarahan Raja. Tapi Ketib Anom Kudus maju dan membela posisi
ulama. Sosoknya membawa spirit Sunan Kudus, seorang penghulu masjid Demak,
panglima Islam yang mengalahkan kekuasaan terakhir Majapahit di Kediri dan
mengakhiri perlawanan Ki Ageng Pengging, kerabat Majapahit yang juga murid Seh
Siti Jenar. Ketib Anom itu adalah menantu Bupati Kudus.
Alhasil,
Demang Urawan kewalahan menghadapi argumen ulama sepuh dari Kudus yang tegas,
berani, dan angkuh meski lembut suaranya. Ketib Anom menegaskan bahwa tugas
Raja adalah melindungi sunah Nabi. Kalau Raja menolak, keindahan wajahnya akan
lenyap dan negara akan suram. Demang Urawan melaporkan hasil pertemuan itu
kepada Raja. Raja tertawa, lalu mengajak Demang Urawan dan Patih Danureja
menjalankan shalat Jumat dan memberi hadiah tanah kepada para ulama karena
mereka telah menjaga Raja dari bahaya ilmu kebatinan. Raja juga melarang
pengajaran ilmu yang tidak sesuai syara.
Selanjutnya,
Demang Urawan meminta Ketib Anom untuk menjabarkan isi kitab Bimasuci yang
dipelajari Haji Cebolek. Ketib Anom lalu mengajak para ulama, pejabat, dan
Demang Urawan untuk mendiskusikan isi Serat Bimasuci, namun melarang Haji
Cabolek ikut berbicara. Selama pertemuan, Haji Cabolek hanya terdiam dan
menunduk. Ketib Anom menyuruh Haji Cabolek belajar kitab lagi ke Tanah Arab.
Serat Dewaruci
Sementara
itu, Serat Dewaruci adalah kisah spiritual Bima, salah seorang Pandawa, yang
diutus Pendeta Durna. Oleh karena itu, Serat tersebut disebut juga Bimasuci,
yaitu Bima yang mendapatkan kesucian batin. Versi macapat tahun 1793 dan
tembang gedhe tahun 1803 keduanya disusun oleh Yasadipura I, pujangga kraton
Surakarta.
Bima
pertama diutus untuk mencari Tirtapawitra (air suci) di goa Candramuka dikaki
gunung Gadamadana dan hutan Tibrasara. Bima atau Werkudata bertemu dengan dua
raksana, yaitu: Rukmuka/ Rukmamuka dan Rukmakala dan bertarung sehingga kedua
raksasa kalah dan mati.
Keduanya
berubah wujud menjadi Dewa Indrabayu dan menemui Bima pada malam harinya. Dewa
Indrabayu memberitahu Bima bahwa air Tirtapawitra tidak ada di gunung
Gadamadana dan menyarankan Bima untuk kembali ke Pendeta Durna.
Pendeta
Durna memerintahkan Bima mencari air suci ke pusat Samudera. Bima menuruti dan
menuju Samudera yang ganas. Ia berhasil menaklukkan Samudera yang bergolak
dengan ilmu jalasengara. Bima juga bertarung dengan naga besar yang muncul dari
dalam samudera dan melilit serta menyemburkan bisa padanya. Bima berhasil
membunuh sang naga dengan kuku Pancanaka.
Akhirnya,
Bima bertemu Dewaruci, secara bahasa adalah Dewakotor, namun mengandung arti
Dewa yang sudah suci. Dewaruci seperti anak kecil, berjalan kesana kemari di
Samudera dengan acuh tak acuh. Saat bertemu Bima, ia menanyakan kemana tujuan,
namun Bima tidak tahu dimana pusat Samudera.
Dewaruci
menyuruh Bima masuk ke telinga kirinya. Bima heran karena ukuran Dewaruci hanya
sebesar ibu jarinya, atau sebesar burung pipit dalam gambaran Serat Cabolek.
Namun ternyata Bima bisa muat masuk ke telinga Dewaruci.
Begitu
sampai di dalam telinga Dewaruci, Bima masuk di alam tidak berbatas. Ia bertemu
lagi dengan Dewaruci yang mengajarkannya tentang pancamaya dan warna-warna
sebagai simbol nafsu, penjelasan tentang jagad gedhe/ makrokosmos dan
mikrokosmos/ jagad kecil, penjelasan mengenai pramana (kehidupan dari badan
yang berasal dari Dia), penjelasan tentang ilmu pelepasan, dan penjelasan
mengenai mati di dalam hidup atau hidup dalam kematian. Bima mencapai
pencerahan dan kesucian sehingga disebut Bimasuci.
Pengajaran Ketib Anom Kudus
Ketib
Anom menjelaskan isi Serat Dewaruci dengan penafsiran sesuai ajaran Islam. Bima
masih terperangkap nafsu karena mengabaikan Al-Qur’an dan hadis. Ketib Anom
juga membabarkan pemahaman lahir dan batin, keharusan mengabdi sejalan dengan
tuntunan hukum Islam, dan bahwa budi luhur adalah perbuatan yang sejalan dengan
syariat Islam.
Demang
Urawan menitikkan air mata demi mendengar penjelasan Ketib Anom. Ia menyesali
karena tidak belajar Al-Qur’an sejak kecil.
Ketib
Anom lalu memberi nasehat kepada Demang Urawan. Ketib Anom juga mengajak tiga
kiai untuk membaca Suluk Malang Sumirang yang ditulis Sunan Panggung. Sunan
Panggung dihukum bakar oleh para ulama karena congkak mengajarkan tentang
persatuan badan (panteisme), melanggar etika, mengajarkan kesesatan dan
melanggar hukum agama dan adat.
Ketib
Anom menutup pesannya agar para hamba selalu waspada dalam ibadah. Orang yang
tidak mengetahui ilmu sesat maka belum sempurna ilmunya. Inti keyakinan yang
benar ada pada syahadat dan shalat. Kedamaian itu hanya pemberian dari Tuhan.
Kecendikiawanan Ketib Anom Kudus dalam Serat Cabolek (2)
Serat
Cabolek yang ditulis oleh Raden Ngabehi Yasadipura I, seorang pujangga keraton
Surakarta pada abad ke-18, merupakan dokumen yang melukiskan ketegangan dalam
kehidupan keagamaan orang-orang Jawa yang timbul karena adanya kontak dengan
ajaran agama Islam. Raden Ngabehi Yasadipura I mengambil bentuk macapat yang
terdiri dari 11 pupuh, yang menyuguhkan cerita ini dengan gaya bahasa Jawa Baru
yang baik. Kandungan isi ceritanya diekspresikan dengan hidup dan efektif
dengan gaya yang sangat indah. Kemampuannya menggunakan kata-kata walaupun
hanya berupa kata klise, pergantian kata naratif dengan dialog yang diwarnai
pemakaian bentuk-bentuk yang sesuai yang menggambarkan dengan kelas
tingkat-tingkat (sosial) perilaku ceritanya, disertai dengan kemampuannya dalam
memilih kata-kata kawi yang harus dipergunakannya, menjadikan cerita Serat
Cabolek memikat.
Serat
Cabolek terdiri dalam berbagai jenis versi manuskrip, meskipun demikian
keseluruhan versi tersebut umumnya berisi cerita tentang Haji Ahmad Mutamakin,
cerita Dewa Ruci, dan Malang Sumirang. Salah satu versi ini ditafsirkan secara
lebih luas oleh Kuntowijoyo dalam menjelaskan hubungan antara perlawanan kaum
agama terhadap penguasa. Serat Cabolek ini setting utamanya adalah perdebatan
yang seru antara Ketib Anom dari Kudus dengan Haji Mutamakin dihadapkan para
ulama dan penguasa Keraton Kartasura.
Singkat
cerita, Ketib Anom adalah satu di antara 11 ulama yang dimintai pertimbangan
untuk menyelidiki perbuatan Ahmad Mutamakin yang mengajarkan ilmu hakikat yang
estoris yang diperolehnya sewaktu berguru dengan Syaikh Zain Al-Yamani. Namun
Demang Urawan malah menuduh jika Ketib Anom Kudus yang menyebabkan terjadinya
keraguan dan kegelisahan di antara para ulama dengan melaporkan kepada Patih
Danureja sesuatu yang belum pasti sepenuhnya. Atas tuduhan itu Ketib Anom Kudus
menjawab niatnya adalah melindungi dan membela raja dan merupakan kewajiban
seorang ulama.
Sengaja
dia berpendapat bahwa raja adalah pembela agama harus berhati-hati untuk tidak
melanggar Sunah Nabi, bila raja berbuat demikian maka cahaya kerajaan akan
redup dan kedudukan kerajaan akan menurun, sebagaimana manusia harus
menyelamatkan raja dari semua karyanya. Bila raja berbuat salah maka rakyatlah
yang akan menderita. Demikianlah ucap Ketib Anom Kudus sehingga membuat takjub
yang mendengarnya. Ketib Anom Kudus adalah seorang yang pandai mengungkapkan
alasan mempertahankan pendiriannya.
Demang
Urawan sebagai utusan raja Kartasura menggambarkan sifat fisik Ketib Anom Kudus
menyerupai Aria Seta, putra Raja Wirata dan kegagahannya menyerupai Pragalba,
seorang raksaksa perkasa. Ketib Anom tidak memiliki niat untuk menyeret Ahmad
Mutamakin ke dalam hukuman mati, ia malah berkata : "Saya menyayangkan Ki
Mutamakin akan dihukum, Alhamdulillah ia telah dibebaskan; sebenarnya Raja itu
berkewajiban menyembuhkan mereka yang sakit dan mengobati mereka ..."
(Pupuh VI baris 19 & 20).
Pengetahuan Mistik Jawa Ilmu Hakikat Ahmad Mutamakin yang dipelajari
kepada Syaikh Zain Al-Yamani memiliki kemiripan dengan makna Manunggaling
Kawula Gusti pada cerita Dewa Ruci yang mana Ketib Anom Kudus pada waktu di
majlis ulama atau situasi mendengarkan pendapat tentang ilmu hakikat dia mampu
menerangkan secara gamblang bahwa kesempurnaan hidup dapat diraih jika manusia
dapat mengalahkan hawa nafsunya. Di dalam perspektif budaya Jawa, nafsu
digambarkan memiliki empat warna yaitu hitam, merah, kuning, dan putih. Jika
manusia mampu mengekangnya manusia dapat meraih hakikat hati atau mukasafat.
Nafsu
adalah musuh dari hati manusia yang menjadi halangan terhadap kemauan manusia
untuk menyatu secara kekal dengan Tuhan. Manusia yang dapat membebaskan dirinya
dari sifat jahat tersebut dapat menyatu dengan Yang Mahagaib. Warna hitam
memiliki daya paling besar memiliki watak marah, iri, dan segala perbuatan yang
merusak pada kebajikan. Warna merah mengekspresikan nafsu jahat dan semua
keinginan-keinginan jahat yang timbul darinya dan dapat mengurung kewaspadaan
dan kehati-hatian kalbu. Kuning memiliki daya menghalangi setiap keinginan baik
dan mencegah semua kewajiban yang bernilai. Hanya putih yang benar-benar murni
dan memiliki daya dorong menuju kebahagiaan, ia adalah pendorong spiritual yang
dapat membantu manusia menuju kepada-Nya.
Ketib
Anom melanjutkan bila sifat-sifat duniawi tersebut lenyap maka semua bentuk
akan menjadi tidak ada, yang ada hanyalah satu bukan laki-laki maupun
perempuan. Kemudian muncullah Sang Pramana yang hidup di dalam badan, adalah
Dzat yang bebas dari rasa sedih atau gembira, tidak makan maupun tidur, serta
tidak merasakan lapar atau derita. Bila Pramana meninggalkan badan maka badan
menjadi lumpuh, namun Pramana menerima hidup dari Suksma yaitu hakikat Jiwa
Ilahiah. Pramana menguasai badan, jika badan mati Pramana tidak berdaya, jika
Suksma meninggalkan badan maka Pramana binasa bersama badan, sedangkan Suksma
terus ada membentuk kehidupan sejati. Pramana adalah penjelmaan dari suksma,
mempunyai asal yang sama dengan Dia dan diciptakan oleh Dia. Ketib Anom menyampaikan bahwa jika manusia
ingin mempelajari ilmu yang rumit maka jangan sekali-kali menyangkal Sunah Nabi
serta tidak boleh melawan raja dan merusak negara, karena raja adalah wakil
Nabi sedangkan Nabi sendiri adalah wakil Tuhan. Menurut Ketib Anom, Dewa Ruci
adalah wakil Dewa Guru di dunia dan seorang yang dapat memberi tuntunan kepada
manusia. Pada saat yang sama, Dewa Ruci sebenarnya adalah Sang Hyang Wenang
yakni dalang tertinggi, sedangkan Pramana adalah Sang Hyang Tunggal yang
menjelmakan persatuan antara Abdi dengan Tuhan.
Serat Cebolek
Serat
Cebolek adalah salah satu khazanah sastra Jawa yang berbentuk tembang alit atau
macapat yang digubah camat Magetan yang bernama Raden Pandji Djajasoebrata yang
berada di Semarang pada tahun 1892. Karya sastra ini telah diterbitkan edisi
bahasa Indonesianya di Jakarta pada tahun 1981 oleh Depdikbud, Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Dhandhanggula
Serat
Cebolek bukan sekedar kitab mistisisme, dan buka sekedar sejarah intelektual
zamannya. Tapi, lebih dari itu, ia mengandunng konstruksi kaum priyayi mengenai
realitas sejarah. Bahkan dapat dikatakan sebagai sejarah sosial kelas atas dan
sebagai dokumen ideologi kaum priyayi, yang apada abad ke-19 telah menjadi
kelas sosial yang khussu dan berperan sebagai penjaga hukum dan ketertiban,
penjaga negara dan syari’ah.
Serat
Cebolek as a classic literary work is authentic evidence of the religious
conflict between Haji Mutamakkin and Ketib Anom Kudus which is motivated by
different perspectives on Islam. There is an imbalance in describing the two
figures. Haji Mutamakkin, who tended to be cornered in court, seemed to have
deviated and left Islam in preaching on the pretext of using the Dewa Ruci’s
story as his medium. In this context, there is a need for historical
rectification, what Yasadipura I described about Haji Mutamakkin is not in
accordance with social facts. Phenomenology as a problem analysis tries to see
two sides, namely the text of Serat Cebolek and existing socio-cultural
phenomena. Dewa Ruci's story as a cultural trend of Javanese society became the
prima donna which was later supported by wayang as a folk performance art.
Coupled with the existence of a spiritual relationship in the analogy of
Islamic teaching. Of course this has had a positive impact on the development
of Islam in Java, especially in Pantura’s society (Pantai Utara). Islam
develops humanistly without eliminating existing culture.
Terjemahan
dalam Bahasa Indonesia :
Serat
Cebolek sebagai karya sastra klasik merupakan bukti otentik konflik agama
antara Haji Mutamakkin dan Ketib Anom Kudus yang dilatarbelakangi oleh
perbedaan pandangan terhadap Islam. Terdapat ketimpangan dalam mendeskripsikan
kedua tokoh tersebut. Haji Mutamakkin yang cenderung terpojok di pengadilan,
seolah menyimpang dan meninggalkan Islam dalam berdakwah dengan dalih
menggunakan cerita Dewa Ruci sebagai medianya. Dalam konteks ini perlu adanya
pembetulan sejarah, apa yang disampaikan Yasadipura I tentang Haji Mutamakkin
tidak sesuai dengan fakta sosial. Fenomenologi sebagai analisis permasalahan
mencoba melihat dua sisi, yaitu teks Serat Cebolek dan fenomena sosial budaya
yang ada. Kisah Dewa Ruci sebagai tren budaya masyarakat Jawa menjadi primadona
yang kemudian didukung oleh wayang sebagai seni pertunjukan rakyat. Ditambah
lagi dengan adanya hubungan spiritual dalam analogi ajaran Islam. Tentu saja
hal ini membawa dampak positif bagi perkembangan Islam di Pulau Jawa, khususnya
di masyarakat Pantura (Pantai Utara). Islam berkembang secara humanis tanpa
menghilangkan kebudayaan yang ada.