SEJARAH JAMU NUSANTARA
Jamu
adalah sebutan orang Jawa terhadap obat hasil ramuan tumbuh-tumbuhan asli dari
alam yang tidak menggunakan bahan kimia sebagai zat tambahan.
Jamu
telah dikenal sejak zaman nenek moyang sebelum farmakologi modern masuk ke
Indonesia. Oleh karenanya, banyak resep racikan jamu sudah berumur ratusan
tahun dan digunakan secara turun temurun sampai saat ini.
Tidak
ada data yang pasti mengenai kapan pertama kali istilah "jamu"
digunakan oleh orang Indonesia. Menurut ahli bahasa Jawa Kuno, istilah
"jamu" berasal dari bahasa Jawa Kuno "Jampi" atau
"Usodo" yang berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan
maupun doa-doa dan ajian-ajian. Pada abad pertengahan (15-16 M), istilah usodo
jarang digunakan. Sebaliknya istilah jampi semakin popular diantara kalangan
keraton. Kemudian sebutan "jamu" mulai diperkenalkan pada publik oleh
"dukun" atau tabib pengobat tradisional.
Pemanfaatan
jamu diyakini telah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun sejak periode
kerajaan Hindu-Jawa. Relief candi Borobudur yang dibuat pada Kerajaan
Hindu-Budha tahun 772 M menggambarkan kebiasaan meracik dan meminum jamu untuk
memelihara kesehatan. Bukti sejarah lainnya yaitu penemuan prasasti Madhawapura
dari peninggalan kerajaan Hindu-Majapahit yang menyebut adanya profesi "tukang
meracik jamu" yang disebut Acaraki. Setelah mengenal budaya menulis, bukti
sejarah mengenai penggunaan jamu semakin kuat yaitu dengan ditemukannya USADA
lontar di Bali yang ditulis menggunakan bahasa Jawa kuno.
Sejarah jamu disebutkan telah muncul untuk pertama kali sejak jaman kerajaan Mataram atau sekitar 1300 tahun yang lalu. Jamu sendiri mengambil kiblat Ayeverda dari India. Meskipun begitu, jamu di Indonesia secara siknifikan berbeda karena beberapa bahan herbal yang hanya bisa ditemukan di Indonesia.
Ketenaran jamu berdampak pada beberapa kejadian. Yang pertama, buku tentang meramu jamu untuk pertama kali bukan ditulis oleh orang Indonesia, dimana jamu terkenal, loh Ladies, namun ditulis oleh Kloppenburg-Versteegh seorang wanita asal Belanda di tahun 1911. Selain itu, jamu juga telah menarik salah satu peneliti asal Eropa yang kemudian menulis sebuah komposisi yang mengulas tentang minuman tradisional asal pribumi ini yang bernama Jacobus Bontius.
Kepopuleran
jamu di khalayak warga asing memuncak pada abad ke 19 dimana saat itu banyak
dokter dan peneliti asal Eropa menemukan kesulitan untuk mengatasi banyak
gangguan kesehatan. Nah, karena penemuan mereka tentang keefektifitasan jamu,
pada akhirnya di tahun 1829, seorang ahli fisika asal Jerman kembali
mempublikasikan sebuah buku lain tentang jamu.
Namun,
pada masa tersebut, jamu masih digunakan oleh kalangan terbatas. Hingga
akhirnya, banyak ahli botani yang mempublikasikan tulisan-tulisan mengenai
ragam dan manfaat tanaman untuk pengobatan. Dengan demikian, jamu yang tadinya
hanya merupakan milik kalangan terbatas, dapat dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat. Kemudian, jamu yang dibuat oleh rumah tangga mulai berkembang
menjadi industri-industri jamu pada awal tahun 1900. Demikianlah jamu menjadi
sangat popular di Indonesia, seperti susu bagi masyarakat barat.
Tradisi
jamu di negara lain pada dasarnya serupa dengan tradisi jamu di Indonesia,
yaitu merupakan warisan sejarah dari nenek moyang. Namun, Indonesia memiliki
keistimewaan tersendiri karena Indonesia merupakan tempat yang subur sehingga
kaya akan berbagai jenis tanaman obat.
Perkembangan Jamu, Minuman Tradisonal Indonesia
Jamu
bukanlah sesuatu yang asing di Indonesia, khususnya orang-orang Jawa. Suatu
teori menyatakan bahwa “jamu” terbentuk dari gabungan kata ‘Jawa’ dan ‘ngramu’
(yang memiliki arti mencampur atau
mengumpulkan), dan secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai “ramuan yang
dibuat oleh orang Jawa” atau “ramuan yang berasal dari Jawa”.
Jamu,
diduga berasal dari Kerajaan Mataram. Ilustrasi yang berhubungan dengan proses
pembuatan jamu hadir di berbagai situs, misalnya situs arkeologi Liyangan dan
kuda di relief Borobudur. Lalu terdapat Prasasti Madhawapura dari periode
Majapahit menyebutkan profesi khusus peracik jamu yang disebut ’Acaraki’.
Minuman
kaya kandungan bermanfaat ini juga cukup identik dengan sosok wanita melalui
pada penjual jamu gendong. Di daerah Nguter, Sukoharjo, Jawa Tengah, diyakini
sebagai salah satu pusat tradisi jamu. Di kota ini pula wanita penjual jamu
yang disebut ‘Mbok Jamu’ berasal.
Pada
umumnya, para peracik jamu berasal dari kaum ibu-ibu rumah tangga. Sambil
mengurusi pekerjaan rumah, biasanya kaum ibu ini juga memiliki kegiatan
sampingan meracik jamu bubuk untuk kemudian dijual. Seiring berjalannya waktu,
Jamu tidak lagi identik dengan satu gender tertentu, di mana pemilik jamu dengan
tampilan kiwari, Acaraki Jamu, merupakan seorang laki-laki.
Jamu
umumnya digunakan masyarakat Indonesia sebagai minuman obat alami untuk menjaga
kesehatam, serta menyembuhkan berbagai penyakit. Tradisi minum jamu ini
diperkirakan sudah ada sejak 1300 M dan merupakan minuman bersejarah.
Jamu
merupakan minuman berkhasiat dari Indonesia sebagai minuman kesehatan,
mencegah, dan menyembuhkan berbagai penyakit. Jamu disajikan dengan berbagai
jenis, mengingat di Indonesia memiliki tanaman herbal berjumlah cukup banyak.
Setiap daerah mempunyai jenis Jamu yang berbeda, menyesuaikan dengan tanaman
herbal yng tumbuh didaerahnya.
Mengolah
Jamu tidak terlalu rumit, kebanyakan hanya mengambil sari dari perasan tumbuhan
herbal. Ada juga dengan ditumbuk. Seringkali berbahan dasar kunyit, temulawak,
lengkuas, jahe, kencur, dan kayu manis. Khusus gula jawa, gula batu, dan jeruk
nipis biasanya digunakan sebagai penambah rasa segar dan rasa manis.
Uniknya,
dalam pembuatan jamu juga disesuaikan takaran tiap bahan, suhu, lama menumbuk
atau merebus, dan lainnya. Jika tidak diperhatikan dengan baik, akan kehilangan
khasiat dari bahan-bahannya bahkan bisa membahayakan tubuh. Begitu juga dengan
perkembangannya, tradisi minum Jamu mengalami pasang surut sesuai zamannya.
Secara garis besar terbagi dari zaman pra-sejarah saat pengolahan hasil hutan
marak berkembang, zaman penjajahan jepang, zaman awal kemerdekaan Indonesia,
hingga saat ini.
Masyarakat
Indonesia sejak zaman Kerajaan Mataram hingga kini masih menggunakan Jamu.
Minuman khas Indonesia ini telah menjadi kebanggaan tersendiri seperti halnya
dengan Ayurveda dari India dan Zhongyi dari Cina. Sejak saat itu, perempuan
lebih berperan dalam memproduksi jamu, sedangkan pria berperan mencari tumbuhan
herbal alami. Fakta itu diperkuat dengan adanya temuan artefak Cobek dan Ulekan
–alat tumbuk untuk membuat jamu. Artefak itu bisa dilihat di situs arkeologi
Liyangan yang berlokasi di lereng Gunung Sindoro, Jawa Tengah.
Selain
artefak Cobek dan Ulekan, ditemukan juga bukti-bukti lain seperti alat-alat
membuat jamu yang banyak ditemukan di Yogyakarta dan Surakarta, tepatnya di
Candi Borobudur pada relief Karmawipangga, Candi Prambanan, Candi Brambang, dan
beberapa lokasi lainnya. Konon, di zaman dulu, rahasia kesehatan dan kesaktian
para pendekar dan petinggi-petinggi kerajaan berasal dari latihan dan bantuan
dari ramuan herbal.
Seiring
perkembangannya, tradisi minum Jamu sempat mengalami penurunan. Tepatnya saat
pertama kali ilmu modern masuk ke Indonesia. Saat itu kampanye obat-obatan
bersertifikat sukses mengubah pola pikir masyarakat Indonesia sehingga minat
terhadap Jamu menurun. Selain soal standar atau sertifikat, khasiat dari Jamu
pun turut dipertanyakan.
Pada
masa penjajahan Jepang, sekitar tahun 1940-an, tradisi minum Jamu kembali
populer karena telah dibentuknya komite Jamu Indonesia. Dengan begitu,
kepercayaan khasiat terhadap Jamu kembali meningkat. Berjalannya waktu,
penjualan Jamu pun menyesuaikan dengan teknologi, diantaranya telah banyak
dikemas dalam bentuk pil, tablet, atau juga bubuk instan yang mudah diseduh.
Saat itu berbenturan dengan menurunnya kondisi pertanian Indonesia yang mengakibatkan
beralihnya ke dunia industri termasuk industri Jamu
Tahun
1974 hingga 1990 banyak berdiri perusahaan Jamu dan semakin berkembang. Pada
era itu juga ramai diadakan pembinaan-pembinaan dan pemberian bantuan dari
Pemerintah agar pelaku industri Jamu dapat meningkatkan aktivitas produksinya.
Sejak
pertama kali masyarakat Indonesia menggunakan Jamu sebagai minuman kesehatan
hingga saat ini, pengolahan Jamu berdasarkan ilmu yang diajarkan secara
turun-menurun. Namun saat ini, tradisi pengajaran pembuatan Jamu telah jarang
dilakukan, sehingga penjualan Jamu gendong sudah jarang ditemukan. Sekarang
ini, semakin sedikit anak muda yang ingin belajar membuat Jamu. Sebagian besar
dari mereka berpikir untuk mendapatkan Jamu cukup dengan memanfaatkan Jamu yang
dijual sachet dan instan.
Perlu
diketahui, Jamu dipercaya berasal dari dua kata Jawa Kuno, Djampi yang bermakna
penyembuhan dan Oesodo yang bermakna kesehatan. Istilah Jamu diperkenalkan ke
publik lewat orang-orang yang dipercaya punya ilmu pengobatan tradisonal. Mesti
tak bersetifikat, khasiat Jamu telah teruji oleh waktu secara turun-temurun
digunakan sebagai obat tradisional. Sehingga hingga saat ini, minuman
berkhasiat khas Indonesia ini selalu terjaga keberlangsungannya. Warisan nenek
moyang yang tetap dijaga sampai kapan pun.