SULUK SARIDIN (SYEH/SYEKH JANGKUNG)
Sebelum
ke Suluknya ada baiknya kita ketahui siapa itu Syeikh Jangkung, beliau bernama
asli Saridin, termasuk para pemerhati sufi. Bila ingin melihat jejak masa lalu,
silakan mengunjungi makamnya yang terletak di Desa Landoh, Kecamatan Kayen yang
berjarak sekitar 17 kilometer dari Kota Pati menuju Kabupaten Purwodadi. Untuk
mencapai lokasi, pengunjung harus melewati jalan perkampungan yang sudah
beraspal. Setiap hari Jumat, makam tersebut dipadati pengunjung dari sejumlah
daerah di tanah air, seperti dari Jateng, Jatim, Jabar, dan Sumatera. Bahkan,
ada pengunjung yang berasal dari Negara Malaysia dan Singapura. Upacara haul
(hari lahir) dilaksanakan setiap tanggal 14 dan 15 bulan Rajab yang dimulai
dengan upacara ganti kelambu, pengajian, dan pasar malam.
Menurut
sejarahnya, Saridin (Syeh Jangkung) dilahirkan di Desa Tayu, Kecamatan Tayu,
Kabupaten Pati. Setelah dewasa berkelana ke sejumlah daerah di pulau jawa,
bahkan sampai di Sumatera untuk menyebarkan Agama Islam. Waktu masih hidup, dia
berwasiat agar dimakamkan di Desa Landon. Di kompleks Makam Saridin terdapat
pula makam isterinya, yakni RA Retno Jinoli dan RA Pandan Arum.
Saridin
atau sering disebut Syeh Jangkung adalah salah satu penyebar agama Islam di
Indonesia yang terkenal di Karesidenan Pati. Selain terkenal di Pati, Jawa
Tengah, Saridin atau Syech Jangkung ternyata juga diakui sebagai leluhur atau
nenek moyang warga Dusun Dukuh yang terletak di Desa Glagah Kecamatan Glagah
Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dan Desa Lendah di Kulonprogo, DIY Serta di
sejarah keturunan anak cucu syech jangkung yang pangreh praja antara tahun 1700
masehi s/d 1900 masehi di Karesidenan Pati menikah dengan trah Tubagus
Panembahan Ratu I Sultan Zainul Arifin (cicit Sunan Gunung Jati) Kesultanan
Cirebon, trah Mataram,trah pangeran Kudus(Sarengat), trah citrasoma, trah
condronegara bupati pati dan keturunan Syech Jangkung yaitu Putra Tertua Syekh
Jangkung Raden Bagus Momok Landoh adalah anak Syekh Jangkung dan Nyai Ageng
Sarini (Putri dari Pakeringan/kawisguwo/trah sunan giri) Makam sebelahnya Nyai
Ageng Sombro / Nyai Ageng Miyana (Nyai Ageng Branjung) di Komplek Makam Kyai
Ageng Raden Miyana /Kyai Ageng Raden Dharmoyono Surgi(Trah Sunan Giri) Makam
Jati Kembar Landoh Kayen Kab.Pati., serta ada Dr.Moewardi adalah Pahlawan
Nasional Kemerdekaan Indonesia yang gugur sebagai Pahlawan Kusuma bangsa yang
masih keturunan langsung dari Syech Jangkung, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga
dari Raden Moekmin/Raden Tirtakusuma (Pangeran Tengah) putra syech jangkung dan
Raden Ayu Pandanarum putri Kesultanan Cirebon Panembahan Ratu I Sultan Zainul
Arifin garis silsilah ayah Dr.Moewardi Yaitu Mas Sastrowardojo/Raden Soemito
Sastrowardojo.Syech Jangkung dan Raden Ayu Retno Jinoli Putri Sultan Mataram ke
2 Sultan Anyakrawati Raden Mas djolang dan Ratu Tulung Ayu, Syekh Jangkung dan
istri Raden Ayu Retnodiluwih putri dari Kesultanan Palembang memiliki anak
Raden ayu Dyah Sunti, Syekh Jangkung dan istri Nyai Ageng Bakirah (putri Ki Ageng
Prayaguna) gebanganom Semawis Demak memiliki anak Raden Kulup (Pangeran Dagan
ariningong), serta istri dari putri khatib tuban / Ki Ageng Miguruh,
Saridin
tokoh spiritual Panembahan Tandhoh Landhoh yang dulu mendiami Kabupaten Pati di
zaman era bupatinya Ki Panjawi dan anaknya Ki Panjawi yaitu Adipati Wasis
Jayakusuma Adipati Pragola yang ke I Wasis Joyo Kusumo yang bergelar Adipati
Pragola I/Adipati Pathi Seda Ing Biting Taji Makam Gunung Pati Kota Semarang
Berputra Adipati Pragola II/Adipati Pathi Seda Kadhaton Makam Sendang Sani
Kab.Pati , di zaman itu ada satu tokoh yang turut andil menyebarkan agama Islam
bagi masyarakat setempat. Dia adalah Syech Jangkung putra dari Sunan Muria dan
Dewi Sujinah Putri Sunan Ngudung, beliau dikenal warga sebagai ulama
berkharisma dan ahli Tasawuf sekaligus murid dan cucu Sunan Kalijaga.
Konon, Syech Jangkung diutus Sunan Kalijaga menyiarkan Islam pertama kali di sebuah desa bernama Desa Miyono. Masa hidup Saridin Syech Jangkung yang Lahir di tahun 1540 an masehi untuk mengasah kewaskitaan dan ilmunya waktu dari anak - anak hingga dewasa, melalui pengetahuan agama bersantri bersama sunan Kudus (hingga sunan Kudus Wafat di tahun 1550 an masehi) hingga selesai santri di zaman Panembahan Kudus(Kali/Poncowati). Saridin juga mendapatkan ilmu agama islam oleh Sunan Muria ayah saridin (hingga sunan Muria Wafat di tahun 1560 an masehi) dan memperdalam ilmu dan kewaskitaan bersama sang kakek Sunan Kalijaga(hingga tahun 1570 an masehi "bukti otentik" yaitu Sunan Kalijaga mengalami periode waktu di tahun saat Danang Sutawijaya mendirikan awal Kesultanan Mataram di tahun 1586 masehi sebagai pengganti Kesultanan Pajang untuk memerintah di Tanah Jawa) serta menurut Babad Tanah Jawi versi Meisma, dinyatakan Sunan Kalijaga pernah datang ke tempat kediaman Panembahan Senopati di Mataram memberikan saran bagaimana cara membangun kota. Dengan demikian, Sunan Kalijaga diperkirakan hidupnya lebih dari 130 tahun lamanya yakni sejak pertengahan abad ke-1455 masehi sampai dengan akhir abad 1590 masehi.
Hal ini dapat dihubungkan dengan gelar kepala Perdikan Kadilangu semula
Sunan Kalijaga dilanjutkan oleh anaknya yaitu Sunan Hadi di tahun 1590 an
masehi, tetapi gelar "Sunan Hadi" di gunakan pada Mas Jolang di
Mataram dengan gelar "Sunan Hadi Prabu Hanyokrowati" di tahun 1601
masehi s/d 1613 masehi), dan gelar kepala Perdikan Kadilangu sebelumnya
"Sunan Hadi" itu diganti dengan sebutan "Panembahan Hadi".
Dengan demikian, Sunan Kalijaga sudah diganti putranya sebagai Kepala Perdikan
Kadilangu sebelum zaman Mas Jolang yaitu sejak berdirinya Kesultanan Mataram
Pemerintahan Danang Sutawijaya (1590 masehi). dan Pernikahan Syekh Jangkung
Saridin dengan Raden Ayu Retno Jinoli di Tahun 1595 an masehi Putri Sultan
Mataram ke 2 Sultan Anyakrawati Raden Mas djolang dan Ratu Tulung Ayu.(pada
tahun 1595 masehi Raden Mas djolang masih menjabat sebagai Adipati Anom/Putra
Mahkota).
Waktu kecil Saridin juga sudah terbiasa di momong keluarga besar Sunan Kalijaga yaitu Ki gede Miyono paman saridin, Kyai Ageng Raden Miyana / Ki gede Miyono/Ki Ageng Dharmoyono adalah putra pasangan Empu Supo dengan Dewi Sari Wulan/rasawulan adik dari Sunan Kalijaga dan ki gede Miyono adalah adik sepupu Sunan Muria, Ki gede Miyono adalah pendiri desa Miyono atau di sebut landoh kayen di daerah Pati sekarang, letak makam Ki gede Miyono 2 km ke arah timur dari makam syekh jangkung yaitu di makam jati kembar Landoh Kayen Pati, Ki gede Miyono adalah juga trah giri Kedaton/ Sunan Giri dari jalur laki-laki, yaitu "Prabu Anom" Pangeran Sendang Sedayu Blambangan Gelar Syekh Maulana Ishaq Al Maghribi (Ki Supo Sepuh Majapahit) karena menikahi Dewi Sekardadu berputra Sunan Giri/ Raden Paku 'Joko Samudera"/ Prabu Satmata berputra Pangeran Sedayu Prabu Darmokusumo (Komplek makam Masjid Demak) /Tumenggung Adipati Supondriyo (empu Supondriyo makam giri Kedaton) berputra empu supomadurangin (Empu Supo) makam sunan Kalijaga komplek Kadilangu berputra 4 orang yaitu :
1. Ki Gede Miyono/Ki Ageng Dharmoyono,
2. Ki berganjing (Darmoyoso),
3. Nyai Branjung (Sombro),
4. Joko Suro (Mpu Suro/Mpu Supo Nem/muda).
(keluarga Pangeran Sedayu Empu Supo paman Saridin Syech Jangkung adalah pembuat senjata perang pamungkas pusaka andalan Sunan Kalijaga yang di gunakan selama periode konflik perang :
1. Era akhir Majapahit(keris sengkelat empu supo mengalahkan Keris Kyai Condong Campur milik MahaRaja Brawijaya V Majapahit),
2. Demak(keris nagasasra Raden Fatah),
3. Kesultanan Pajang (keris kyai carubuk yang di gunakan Sultan pajang mas karebet Joko Tingkir untuk mengalahkan Keris Kyai Setan Kober saat perang tanding dengan utusan Adipati jipang panolan Arya Panangsang),
4. Hingga tombak Ki Plered/Kyai Plered "bukti otentik" adalah milik
Sunan Kalijaga yang di gunakan Danang Sutawijaya . (Konon senjata pusaka buatan
keluarga mpu supo adalah yang menentukan transisi suksesi Wahyu keprabon
kerajaan Jawa Nusantara di era akhir Majapahit tahun 1480 Masehi hingga awal
Mataram tahun 1586 masehi).
Syeh
Jangkung (Saridin) wafat tahun 1563 Tahun Saka Jawa tepatnya tanggal 15 Rajab
atau Hari Minggu Pahing tanggal 20 Oktober 1641 masehi berselang waktu 4 tahun
kemudian adik ipar Syekh Jangkung yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo Wafat di
tahun 1645 Masehi.
Gelar dan Silsilah
Asal
Usul Nama Syeh Jangkung ialah untuk memudahkan dalam berucap kata Syarifuddin
dalam logat jawa memang agak kesulitan, sehingga kata Syarifuddin berubah
menjadi “Saridin”. Gelar “Syeh” bagi Saridin, beliau mendapatkannya dari negara
Ngerum (Andalusia, saat itu sebagai pusat perawi Hadits dan pusat kerajaan
Islam terbesar didunia). Adapun gelar “Syeh Jangkung” beliau dapat dari gurunya
dan juga kakeknya yaitu Raden Syahid Sunan Kalijaga. Karena Saridin ini selalu
dijangkung oleh gurunya. Makna kata di jangkung menurut bahasa Indonesia
dilindungi, diayomi, dipelihara, dididik, dan selalu dalam naungannya.
Silsilah Raden Saridin (Syech Jangkung Miyana) atau Sunan Landoh Miyana
Menurut Naskah Pustoko Darah Agung Rangkainya sebagai
berikut :
1.
Abdul Muthalib (Adipati Mekah)
2.
Sayyid Abbas bin Abdul-Muththalib
3.
Abdullah bin Abbas berputra Sayyid Abdul Azhar /
Abdullah Al Akbar / Syekh Abdul 'Wahid' Qurnayn Al baghdadi
4.
Syaikh Wais/Waqid Arumni
5.
Syaikh Mudzakir Arumni
6.
Syaikh Abdullah
7.
Syaikh Kharmia/kharmis (Kurames)
8.
Syaikh Mubarak
9.
Syaikh Abdullah
10. Syaikh Ma'ruf /
Madhra'uf
11. Syaikh Arifin
12. Syaikh Hasanuddin
13. Syaikh Jamal
14. Syaikh Ahmad
15. Syaikh Abdullah
16. Syaikh Abbas
17. Syaikh Abdullah
18. Syaikh Kurames /
Khoromis (Ulama di Mekah)
19. Abdur Rahman /
Kyai Lanang Baya / Arya Wiraraja / Mahapatih Raja Majapahit ke 1 Raden
Wijaya/Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka (Ario Teja, Bupati Tuban)
20. Ario Teja I
(Bupati Tuban)
21. Ario Teja Laku
(Bupati Tuban)
22. Ario Teja II/
Raden Arya Tejakusuma (Bupati Tuban)
23. Raden Sahur
Tumenggung Wilatikta/Raden Arya Malayakusuma (Bupati Tuban & Jepara)
24. Raden Mas Said
(Sunan Kalijaga/Syekh Malaya)
25. Raden Umar Said
(Sunan Muria)
26. Raden
Syarifuddin/Saridin (Syech Jangkung Miyana) Sunan Landoh Miyana.
Silsilah Raden Saridin (Syech Jangkung Miyana) atau Sunan Landoh
Miyana dari jalur ibu Sayyidah Dewi Sujinah Rangkainya sebagai berikut :
1.
Nabi Muhammad Rasulullah SAW
2.
Sayyidah Fatimah az-Zahra (RHA)
3.
Al Imam Al Husain bin Ali As Syahid Karbala Iraq (RA)
4.
Al Imam (Ali bin Husain) Ali Zainal Abidin
5.
Al Imam Muhammad al-Baqir
6.
Al Imam Ja'far ash-Shadiq
7.
Al Imam Ali al-Uraidhi
8.
Al Imam Muhammad an-Naqib
9.
Al Imam Isa ar-Rumi
10. Al Imam Ahmad
al-Muhajir
11. As Sayyid Abdullah
/Ubaidillah bin Ahmad
12. As sayyid Alawi
bin Abdullah/Alawi bin Ubaidillah Alawi Awwal / Al-Ba'alawi / Al-Mubtakir
13. As Sayyid Muhammad
Shahibus Shaumah
14. As Sayyid Alawi
Ats Tsani
15. As Sayyid Ali
Khali' Qasam
16. As Sayyid Muhammad
Shahib Mirbath
17. As Sayyid Alawi
Ammil Faqih
18. As Sayyid Abdul
Malik bin Alwi Azmatkhan
19. As Sayyid Amir
Khan Abdullah
20. As Sayyid Ahmad
Syah Jalaluddin
21. As Sayyid Husain
Jamaluddin Akbar al-Husaini
22. Sri Sultan Champa
/ Raja Champa "As Sayyid Syekh Maulana Ibrahim Zainuddin As'Samarqandi
(gesikharjo Tuban)" Imam Champa/Sultan "Raja"
Champa"(Champa "Vietnam tengah &selatan)
23. As Sayyid Ali
Murthada "Raden Santri Gresik"
24. As Sayyid Utsman
Haji "Sunan Ngudung"
25. Sayyidah Dewi
Sujinah (Komplek Makam Keluarga Sunan Kudus di menara kudus)
26. Raden
Syarifuddin/Saridin (Syech Jangkung Miyana) Sunan Landoh Miyana.
Keahlian
Saridin
waktu kecilnya saat masih anak - anak menjadi santri di perguruan Sunan Kudus
Kemampuannya di atas para santri yang merasa diri senior. tetapi juga Sunan
Kudus merupakan paman Saridin dari (ibu "Sidin" panggilan kesayangan
ibu syeh jangkung) dewi sujinah adalah adik Sunan Kudus. Sebagai murid baru
dalam bidang agama, orang Miyono itu lebih pintar ketimbang para santri lain.
Belum
lagi soal kemampuan dalam ilmu kasepuhan. Hal itu membuat dia harus menghadapi
persoalan tersendiri di perguruan tersebut. Dan itulah dia tunjukkan ketika
beradu argumentasi dengan sang guru soal air dan ikan.
Untuk
menguji kewaskitaan Saridin, Sunan Kudus bertanya, “Apakah setiap air pasti ada
ikannya?” Saridin dengan ringan menjawab, “Ada, Kanjeng Sunan Kudus.”
Mendengar
jawaban itu, sang guru memerintah seorang murid memetik buah kelapa dari pohon
di halaman. Buah kelapa itu dipecah. Ternyata kebenaran jawaban Saridin
terbukti. Dalam buah kelapa itu memang ada sejumlah ikan. Karena itulah Sunan
Kudus atau Djafar Sodiq sebagai guru tersenyum simpul. Akan tetapi santri
murid-murid lain yang iri dan tidak suka hal tersebut menganggap Saridin
lancang dan pamer kepintaran. Karena itu lain hari, ketika bertugas mengisi bak
mandi dan tempat wudu, para santri mengerjai dia. Para santri mempergunakan
semua ember untuk mengambil air.
Saridin
tidak enak hati. Karena ketika para santri yang mendapat giliran mengisi bak
air, termasuk dia, sibuk bertugas, dia menganggur karena tak kebagian ember.
Dia meminjam ember kepada seorang santri.
Namun
apa jawab santri itu? ”Kalau mau bekerja, itu kan ada keranjang.” Dasar
Saridin. Keranjang itu dia ambil untuk mengangkut air. Dalam waktu sekejap bak
mandi dan tempat wudu itu penuh air. Santri lain pun hanya bengong.
Kerbau Landoh
Setelah
Di resmikan Oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo Dengan Disaksikan oleh Para Bupati
Dan Abdi Dalem Mataram Menjadi "Panembahan Landoh" Syekh Jangkung
Saridin membuka perguruan dengan nama "Panembahan Landoh ""Sigit
Kalimosodo" di Miyono dan memiliki 25 Desa di (Distrik Landoh-Tayu) daerah
pati yang dalam waktu relatif singkat tersebar luas sampai di Kudus dan
sekitarnya. Kendati demikian, Saridin bersama anak lelakinya,Raden Bagus Momok
Landoh/Raden Saretno, Raden Kulup (Pangeran Dagan), Raden Tirtokusumo(pangeran
Tengah) beserta murid-muridnya, tetap bercocok tanam.
Di Dalam Serat (Seh Jangkung Babad Landoh), Seh Jangkung Panembahan
Landhoh Memiliki 4 anak di antaranya;
1.
Raden Bagus Momok Landoh. (Raden Bagus
Momok Landoh adalah Anak Syekh Jangkung dan Nyai Ageng Sarini Putri
Pakeringan).
2.
Raden Ayu Dyah Sunti (Raden Ayu Dyah Sunti
adalah Anak Syekh Jangkung dan Raden Ayu retno Diluwih Putri Sultan Kesultanan
Palembang).
3.
Pangeran Tengah/Pangeran Tirtakusuma/Raden
Mukmin Tirtakusuma/ Raden Bagus Momok Hasan Bashori Tirtakusuma(Bani Hasan
Bashori Tirtakusuma - adalah Anak Syekh Jangkung dan Raden Ayu Pandan Arum
Putri Sultan Kesultanan Cirebon) Memiliki Anak Raden Amir/ Pangeran Tirta
Menggala Berputra Raden Rahmat / Pangeran Kertamenggala dan Raden Sahid,
Pangeran Kertamenggala/Raden Rahmat Menikah dengan Raden Ayu Rara Kuning(Raden
Ayu Pembayun) Putri Bupati Demak Adipati Tumenggung Padmanegara di Tahun 1725
Masehi, Berputra diantaranya Kyai Raden Kertowijoyo lahir 1750, Berputra Kyai
Raden Soedipoero, Berputra Kyai Raden Soerodiwiryo, Berputra Raden Soemito
Sastrowardoyo, Berputra Dokter Moewardi lahir 30 januari 1907.
4.
Pangeran Landoh/Pangeran Dagan/Raden
Kulub/Raden Bagus Momok Kulub Hasan Haji (Bani Raden Kulub Hasan Haji adalah
anak Syekh Jangkung dan Nyai Ageng Bakirah binti Ki Ageng Prayaguna (Bakul
Legen), Pangeran Dagan/Raden Kulub Menikah dengan Raden Ayu Putri Prajakusuma
Memiliki Anak Raden Ishak/Pangeran Landoh Natakusuma/Pangeran Natakusuma
Menikah dengan Raden Ayu Rara Sulbiyah Berputra Kyai Ageng Raden Sadad/ Kyai
Ageng Masad (Raden Kidang Sembrana Landoh).
Silsilah Gusti Raden Ayu Retno Jinoli menurut Naskah Pustoko Darah
Agung Rangkainya sebagai berikut :
1.
Prabu Brawijaya/Bhre Kerthabumi
2.
Raden Bondan Kejawan
3.
Ki Getas Pandawa
4.
Raden Bagus Songgom/Ki Ageng Sela
5.
Raden Bagus Enis/Ki Ageng Enis
6.
Raden Bagus Kacung/Ki Ageng Pamanahan
7.
Raden Bagus "Srubut" Dananjaya/ Danang
Sutawijaya (Panembahan Senopati)
8.
Raden Mas Djolang
9.
Gusti Raden Ayu Retno Jinoli.
Dari jalur KI Panjawi sebagai berikut Silsilah Gusti Raden Ayu Retno
Jinoli :
1.
Sunan Kalijaga
2.
Raden Ayu Panengah / Nyai Ageng Ngerang III
3.
Ki Panjawi Bupati Pati
4.
Ratu Mas Waskita Jawi
5.
Raden Mas Djolang
6.
Gusti Raden Ayu Retno Jinoli.
Sebagai
tenaga bantu untuk membajak sawah,Raden Bagus Momok Landoh/Raden Saretno minta
dibelikan seekor kerbau milik seorang warga Dukuh Landoh. Meski kerbau itu
boleh dibilang tidak lagi muda umurnya, tenaganya sangat diperlukan sehingga
hampir tak pernah berhenti dipekerjakan di sawah.
Mungkin
karena terlalu diforsir tenaganya, suatu hari kerbau itu jatuh tersungkur dan
orang-orang yang melihatnya menganggap hewan piaraan itu sudah mati. Namun saat
dirawat Saridin, kerbau itu bugar kembali seperti sedia kala.
Membagi
Dalam
peristiwa tersebut, masalah bangkit dan tegarnya kembali kerbau Landoh yang
sudah mati itu konon karena Saridin telah memberikan sebagian umurnya kepada
binatang tersebut. Dengan demikian, bila suatu saat Saridin yang bergelar Syeh
Jangkung meninggal, kerbau itu juga mati.
Hingga
usia Saridin uzur, kerbau itu masih tetap kuat untuk membajak di sawah. Ketika
Syeh Jangkung dipanggil menghadap Yang Kuasa pada tanggal 14 - 15 Rojab 1563
Tahun Saka Jawa / 19 - 20 Oktober 1641 masehi yang hingga kini masyarakat di
sekitar makam syekh jangkung di landoh Kayen, pati memperingati haul syekh
jangkung di tanggal 14 - 15 rojab, dan di makam syekh jangkung juga terdapat
makam istri Syekh Jangkung yaitu Nyai Ageng Bakirah Ibunda Raden Kulub
(Pangeran Dagan Ariningong)(Putri Ki Prayoguna Bakul Legen), R.A.Retno jinoli,
dan R.A.Pandanarum, serta 500 meter di sebelah utara dari lokasi makam Syekh
Jangkung terdapat Makam Anak laki laki Syekh Jangkung yaitu Raden Bagus Momok
Landoh (Sigit Gus Momok Landoh).
Dan
saat kerbau tersebut harus disembelih. Yang aneh, meski sudah dapat dirobohkan
dan pisau tajam digunakan menggorok lehernya, ternyata tidak mempan. Bahkan,
kerbau itu bisa kembali berdiri. Kejadian aneh itu membuat Raden Bagus Momok
Landoh memberikan senjata peninggalan Branjung. Dengan senjata itu, leher
kerbau itu bisa dipotong, kemudian dagingnya diberikan kepada para pelayat.
kerbau
Landoh yang telah disembelih saat Syeh Jangkung meninggal. Lulang (kulit)
binatang itu dibagi-bagikan pula kepada warga. Entah siapa yang mulai meyakini,
kulit kerbau itu tidak dimasak tapi disimpan sebagai piandel.
Barangsiapa
memiliki lulang kerbau Landoh, konon orang tersebut tidak mempan dibacok
senjata tajam. Jika kulit kerbau itu masih lengkap dengan bulunya. Keyakinan
itu barangkali timbul bermula ketika kerbau Landoh disembelih, ternyata tidak
bisa putus lehernya.
RIWAYAT HIDUP DAN KELUARGA
Syekh
Jangkung Lahir Sekitar Tahun 1540 an M. beliau adalah putri dari Sunan Muria
dan Nyai Sujinah atau Dewi Samaran adik dari Sunan Kudus. beliau terlahir
dengan nama Raden Syarifuddin atau sering disebut dengan Saridin
RIWAYAT KELUARGA S SYEKH JANGKUNG
Syekh
Jangkung mempunyai empat istri yaitu :
Pertama,
Sarini dan dikarunia putra:
Raden
Bagus Momok Landoh
Raden
Ayu Retno Jinoli yang merupakan kakak Sultan Agung kerajaan Mataram.
Raden
Ayu Pandan Arum Putri kerajaan Cirebon yang dianugrahi putra :
Momok
Hasan Bashori atau Raden Tirto Kusumo
Rohayati
putri dari Patih Palembang dan dikaruniai putra:
Momok
Hasan Haji
NASAB SYEKH JANGKUNG
Nabi
Muhammad Rasulullah SAW.
Sayyidah
Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti
Al-Imam
Al-Husain bin
Al-Imam
Ali Zainal Abidin bin
Al-Imam
Muhammad Al-Baqir bin
Al-Imam
Ja’far Shadiq bin
Al-Imam
Ali Al-Uraidhi bin
Al-Imam
Muhammad An-Naqib bin
Al-Imam
Isa Ar-Rumi bin
Al-Imam
Ahmad Al-Muhajir bin
As-Sayyid
Ubaidillah bin
As-Sayyid
Alwi bin
As-Sayyid
Muhammad bin
As-Sayyid
Alwi bin
As-Sayyid
Ali Khali’ Qasam bin
As-Sayyid
Muhammad Shahib Mirbath bin
As-Sayyid
Alwi Ammil Faqih bin
As-Sayyid
Abdul Malik Azmatkhan bin
As-Sayyid
Abdullah bin
As-Sayyid
Ahmad Jalaluddin bin
As-Sayyid
Ali Nuruddin bin
As-
Sayyid Maulana Mansur bin
Ahmad
Sahuri alias Raden Sahur alias Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban ke-8)
Sunan
Kalijaga alias Raden Said
Raden
Umar Said (Sunan Muria) menikah dengan Dewi Sujinah adik Sunan Kudus
Raden
Syarifuddin atau Saridin Atau Syekh Jangkung.
WAFAT
Syekh
Jangkung diperkirakan wafat sekitar tahun 15 Rojab 1563 Tahun Saka(Jawa) / 20
Oktober 1641 Masehi. Beliau dimakamkan di desa Landoh, Kecamatan Kajen,
Kabupaten Pati Jawa Tengah. Di kompleks makam Syekh Jangkung terdapat pula
makam istrinya, yaitu Retno Jinoli dan RA. Pandan Arum.
SANAD ILMU DAN PENDIDIKAN SYEKH JANGKUNG
Beliau
dibesarkan dan dididik oleh orangtua angkatnya Kyai dan Nyai Ageng Kiringan
GURU-GURU SYEKH JANGKUNG
Sunan
Muria
Sunan
Bonang
Sunan
Kalijaga
Sunan
Kudus
PENERUS SYEKH JANGKUNG
ANAK-ANAK SYEKH JANGKUNG
Raden
Bagus Momok Landoh
Raden
Momok Hasan Bashori atau Raden Tirto Kusumo
Raden
Momok Hasan Haji
MURID-MURID SYEKH JANGKUNG
Prayaguna
Bakirah
PERJALANAN HIDUP DAN DAKWAH SYEKH JANGKUNG
Syekh
Jangkung, dikenal sebagai Wali Allah penuh karomah, beliau punya sejarah
panjang dengan berbagai macam versi dan terus menjadi buah bibir bagi
masyarakat luas. Dari segi nama, ada yang menyebut Syekh Jangkung karena
kisahnya bersama Sunan Kalijaga. Serta ada juga yang menjulukinya Kiai Landoh,
karena pernah memelihara Kerbau Landoh.
Melalui
ringkasan Drs. W. Darmanto, Penilik Kebudayaan Kecamatan Kajen dalam “Saridin,
Seri I” yang sumbernya didapat dari cerita lisan masyarakat sekitar, Ada dua
versi kisah kelahiran dan masa kecil Mbah Saridin.
Versi
pertama, dari kisah tutur masyarakat ada yang menceritakan bahwa Mbah Saridin
merupakan anak kandung Sunan Muria dan Dewi Sujinah, sengaja dipondokkan ke
tempat Kyai Ageng Kiringan. Mengingat hubungan dekat antara dua keluarga; yaitu
Syekh Muhammad Abdul Syakur, Bapak kandung dari Kyai Ageng Kiringan yang
merupakan santri kesayangan Sunan Muria.
Sementara
versi kedua, Kyai Ageng Kiringan merupakan ayah angkat dari Saridin. Kyai Ageng
Kiringan atau Syekh Abdullah Asyiq Ibn Abdul Syakur bersama dengan Nyai Ageng
Dewi Limaran atau Nyai Ageng Kiringan dan keduanya merupakan murid setia Sunan
Muria. Kakak angkat Mbah Saridin, adalah Nyi Branjung, anak tunggal dari Kyai
Ageng Kiringan dan Dewi Limaran. Ketika masih bayi, Mbah Saridin dilarung di
aliran Sungai Tayu, Yitna. Kemudian diambil oleh Sunan Kalijaga dan diberikan
kepada Kyai Ageng Kiringan yang sebelumnya telah bertirakat penuh tiga hari
tiga malam di pinggiran sungai saat fajar tiba. Ibu kandung beliau sendiri
merupakan Dewi Sujinah adik dari Sunan Kudus.
Sunan
Muria juga berpengaruh besar terhadap jalan kewalian Mbah Saridin. Bila ditarik
kesimpulan secara runtut, Mbah Saridin memiliki nasab kewalian dari Sunan
Muria, dinaikkan garis ke atas sampai pada nama Sayyidina Huseinn. Namun
mendapat gemblengan kanuragan dari tiga tokoh besar yakni Sunan Bonang, Sunan
Kudus, serta Sunan Kalijaga. Adapun gelar Jangkung beliau dapat dari gurunya
dan juga kakeknya yaitu Raden Sahid atau Sunan Kalijaga. Karena Saridin ini
selalu dijangkung oleh gurunya. Makna kata jangkung menurut bahasa Indonesia
dilindungi, diayomi, dipelihara, dididik, dan selalu dalam naungannya.
MASA KECIL SYEKH JANGKUNG
Bagi
sebagian warga Pati, Jawa Tengah nama Syekh Jangkung tidak bisa dilepaskan
dengan cerita mengenai kesaktian Syekh Jangkung atau juga dikenal sebagai
Saridin yang begitu melegenda. Menurut Babad Pati, Saridin adalah anak angkat Kyai
Ageng Kiringan yang ditemukan di pinggir sungai. Selama ini Kyai Ageng Kiringan
memang mendambakan anak lelaki meski telah memiliki putri yang bernama Nyi
Branjung. Berkat do‟anya yang khusuk pada suatu hari ditemukanlah seorang bayi
laki-laki dengan perantara gaib Sunan Kalijaga yang mengatakan sesungguhnya
bayi itu adalah putra sunan Muria, Bayi itu berselimutkan kain kemben yang
berasal dari kain penutup dada sang ibu. “Asuhlah dengan bijak, agar kelak
menjadi anak yang berbakti kepada orangtua dan agama. Adapun kemben itu kelak
akan menjadi senjata yang ampuh untuk mengatasi setiap bahaya yang
mengancamnya,” kata Sunan Kalijaga seperti dimimpikan oleh Kyai Ageng Kiringan.
Tentu
saja Kyai dan Nyai Ageng Kiringan sangat berbahagia dan berjanji akan melaksanakan
amanat dari Sunan Kalijaga itu sebaik-baiknya. Mereka sadar bahwa mereka
hanyalah orang desa, bersepakatlah untuk memberi nama sang bayi itu sesuai
dengan adat pedesaan, yaitu Syarifuddin. Untuk memudahkan masyarakat Jawa
mengucapkannya sesuai logat, nama “Syarifuddin” berubah menjadi “Saridin”.
Dengan
penuh kasih sayang suami istri itu mendewasakan Nyi Branjung dan Saridin
sebagai kakak beradik hingga keduanya berumah tangga. Setelah beranjak remaja,
Kyai Ageng Kiringan mengirimnya untuk berguru kepada Sunan Kalijaga dan Sunan
Bonang, wajar saja kalau Saridin memiliki ilmu pengetahuan Agama yang sangat
luas. Akan tetapi tidak pernah membuat beliau menjadi sombong. Bahkan beliau
bersikap lugu layaknya orang desa.
Setelah
beranjak dewasa Nyi Branjung kakak Saridin dinikahkan dengan Prawiroyudo
seorang abdi dalem tumenggung Niti Kusumo dari Mataram yang menjadi buronan.
Setelah Kyai Ageng Keringan wafat, Prawiroyudo mengajak Branjung pindah ke
Miyono. Setelah di Miyono Prawiroyudo berterus terang bahwa dirinya adalah
buronan Kasultanan Mataram dan meminta agar ia kini di panggil Ki Branjung.
Ketika tinggal bersama kakaknya di Miyono inilah Saridin bertemu dan menikah
dengan Sarini putri tunggal Kyai Truno Upet. Dari pernikahan ini Saridin
dikaruniai seorang anak laki-laki yang diberi nama Momok.
Nyi
Branjung dan Saridin oleh orang tuanya mendapat peninggalan warisan berupa
kebun pohon durian. Dan keduanya telah setuju untuk membagi uang hasil
penjualan panenan buah durian tersebut. Ki Branjung atau Prawiroyudo yang
merupakan suami Nyi Branjung yang telah menyamarkan namanya dengan nama
istrinya tersebut menjadi Branjung menawarkan kepada Saridin jika ada buah
durian yang jatuh di malam hari maka yang memilikinya adalah Ki Branjung,
sedangkan yang jatuh di siang hari maka yang memilikinya adalah Saridin. Untuk
menjaga hubungan yang baik dengan saudaranya, Saridin menerima dengan senang
hati tawaran Branjung tersebut. Saridin adalah seorang yang sakti, ia kemudian
bersemedi pada malam hari memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar
durian-durian itu tidak ada yang jatuh pada malam hari, tetapi berjatuhan pada
siang hari. Dengan demikian sesuai dengan perjanjian maka durian-durian itu
menjadi milik Saridin. Allah SWT mengabulkan permohonan Saridin.
Ternyata
buah durian yang jatuh di siang hari lebih banyak daripada buah durian yang
jatuh di malam hari. Sehingga membuat Ki Branjung mengadakan tawaran lagi,
yaitu Saridin mendapat buah durian yang jatuh di malam hari dan kakaknya
Branjung mendapat bagian buah durian yang jatuh di siang hari. Harapannya ialah
memperoleh banyak durian yang berjatuhan di siang hari. Allah Maha Adil, sekali
lagi Saridin memohon dan bersemedi agar durian-durian itu tidak dijatuhkan pada
siang hari, tetapi pada malam hari. Permohonan Saridin terkabul, durian-durian
berjatuhan pada malam hari. Hal ini membuat Branjung kecewa dan penasaran,
karena tidak mendapatkan durian, maka mencari akal bagaimana cara untuk
mendapatkan durian-durian itu. Maka munculah niat buruk Branjung untuk mencuri
durian-durian yang jatuh pada malam hari.
Agar
niat Ki Branjung untuk mencuri buah durian tidak diketahui oleh Saridin, ia
menyamar dengan memakai pakaian dari kulit harimau. Saridin merasa keheranan
mengapa buah durian yang biasanya jatuh banyak di malam hari tidak ada yang
jatuh. Setelah diteliti ternyata dicuri oleh harimau. Saridin kemudian membuat
tombak runcing dari bambu. Pada saat harimau mencuri buah durian, Saridin
menusukkan tombak bambu tersebut tepat pada tubuh harimau hingga tewas. Tidak
disangka ternyata yang dibunuh bukan harimau, tetapi kakak iparnya sendiri
MASA MENJALANI HUKUMAN DI KADIPATEN PATI
Masyarakat
Desa Miyono gempar. Ki Branjung, salah satu warga yang cukup terpandang karena
kekayaannya, ditemukan tewas di kebun belakang rumahnya. Segera petugas dari
desa mengusut ke tempat kejadian perkara, menyelidiki sebab kematian Branjung
dan siapa pembunuhnya.Di saat warga Desa Miyono sudah berkerumun di rumah Ki
Branjung tiba-tiba muncul Saridin. Masyarakat langsung menunjukkan pandangan
pada adik ipar Branjung yang terkenal melarat itu. Saridin datang dengan
sebilah bambu runcing yang ujungnya berlumuran darah. Segera Saridin dipanggil.
“Kemari kamu, Din,” ujar seorang petugas. “Ya… saya tuan,” jawab Saridin.
“Kamu
tahu siapa yang membunuh Branjung?” ujar petugas itu sambil menunjuk mayat
Branjung dengan sikap menyelidik. Saridin menggeleng. Tapi petugas yang sudah
curiga itu tak mau menyerah. Mayat Branjung yang mengenakan baju macan ia
rapikan lagi hingga tubuh Branjung yang terbaring itu kini menyerupai macan.
“Nah, kalau ini kamu tahu siapa yang membunuh?” tanya petugas itu lagi.“Lha,
kalau macan ini saya membunuh,” jawab Saridin. Tak ayal warga Desa Miyono
gempar dengan pernyataan Saridin itu. Berarti Saridin-lah yang membunuh
Branjung.
Dibawalah
Saridin menghadap Kepala Desa untuk disidang secara adat. “Saridin, benar kamu
telah membunuh kakak iparmu?” tanya kepala desa menegaskan. “Pak kepala desa,
demi Allah saya tidak membunuh kakak ipar sendiri,” jawab Saridin polos.
Sebagaimana dilakukan petugas keamanan desanya, kepala desa lalu menutup lagi
tubuh Branjung dengan pakaian macannya. “Nah, kalau macan ini kamu yang
membunuh?” tanya kepala desa. “Ya, betul saya yang membunuh macan ini sebab ia
mencuri durian saya,” jawab Saridin. Begitu terus sampai berulang-ulang. Saridin
tetap tidak mengakui telah membunuh Branjung. Ia hanya membunuh macan, sebab
memang itulah yang terjadi.
Kepala
desa merasa bingung apa yang harus ia putuskan. Di satu sisi ia mengetahui
bahwa Branjung telah dibunuh oleh Saridin, tapi Saridin tidak bisa dihukum
sebab yang ia bunuh adalah macan, samaran kakak iparnya. Karena merasa tidak
bisa mencari solusi masalah yang baru pertama kali terjadi ini, Kepala Desa
Miyono membawa kasus ini ke Kadipaten Pati.
Di
hadapan Joyokusumo, Bupati Pati, kejadian tadi kembali berulang. Kalau pakaian
macan Branjung dibuka, Saridin tidak mengakui ia telah membunuh, sedang kalau
pakaian Branjung dirapatkan Saridin mengakui ia telah membunuh. Akhirnya Bupati
tersebut merasa Saridin yang dihadapannya ini adalah orang desa yang lugu dan
dungu maka dengan sedikit berbohong ia berkata.
“Ya
sudah, Din, kalau begitu macan yang salah, karena macan salah, ia harus
dikubur, kamu sendiri akan saya beri penghargaan karena telah membunuh macan.
Kamu nanti akan saya pindahkan ke bangunan besar, di sana kamu akan diberi
makan gratis setiap hari, kamu bebas tidur atau mengerjakan apa saja, tapi kamu
tidak boleh keluar, kamu hanya boleh keluar kalau kamu bisa. Nanti kalau kamu
mau mandi akan ada orang yang mengantar dan menjaga kamu,” ujar Joyo Kusumo kepada Saridin.
Sebagai orang yang melarat tentu saja Saridin senang mau diberi makan gratis.
Apalagi kalau mandi akan diantar, “Wah, mirip Priyayi,” ujar Saridin gembira.
Maka dibawalah Saridin ke tempat enak yang tidak lain adalah penjara itu. Di
sana ia mendekam sebagai tahanan. Disitulah Saridin mulai menyadari apa yang
menimpanya. Karena Bupati membolehkan dirinya keluar dari penjara kalau ia
bisa. Saridin ingin keluar untuk minta maaf pada istrinya sebab telah menjadi
suami yang berulah. Di sana pula Saridin menghayati wejangan Sunan Bonang, yang
mengatakan, jika seorang manusia telah menyatukan rasa dengan Sang Pencipta,
apa yang diinginkan pasti akan terlaksana.
Sebelum
dimasukkan ke dalam rumah berjeruji besi tersebut, Saridin bertanya kepada
petugas apakah boleh pulang kalau rindu anak dan istrinya. Petugas menjawab:
“Boleh, asal bisa.” Beberapa hari kemudian, Saridin memohon kesempatan pulang
kerumahnya. Akan tetapi jangankan dibukakan pintu oleh para sipir penjara,
bahkan izin pun tidak diperbolehkannya. Sadarlah Saridin bahwa dirinya telah
ditipu. Di tengah-tengah keyakinannya tersebut, Saridin yang cerdas, melihat
secercah celah kelemahan dalam memutuskan hukuman penjara atas dirinya.
Kelemahan itu adalah pernyataan Adipati Joyokusumo yang intinya ia boleh pulang
apabila bisa. Oleh karena itu, ia pun memohon kehadirat Allah SWT agar
diberi-Nya kesempatan untuk dapat keluar dari penjara sekedar untuk melihat
keadaan anak-istrinya.
Karena
dalam peristiwa tewasnya Ki Branjung itu sesungguhnya Saridin berada di pihak
yang diperlakukan tidak adil. Maka Allah SWT mengabulkan permohonannya. Pada
suatu malam yang sepi, Saridin mengamalkan kesaktiannya sehingga terbebaslah
dari rumah penjara itu tanpa diketahui para penjaga yang selalu siaga setiap
saat. Setelah sampai di rumah, Saridin melihat istrinya Sarini hendak diperkosa
oleh petinggi Miyono. Melihat kedatangan Saridin, petinggi Miyono kaget dan
langsung melarikan diri, kemudian melaporkan kepulangan Saridin kepada Adipati
Joyokusumo. Kejadian ini membuat geger Kadipaten Pati. Setelah pulang menjenguk
istri dan anaknya, Saridin kembali ke penjara. Tanpa merasa bersalah, Saridin
mengakui kalau dia telah pulang ke rumah untuk menjenguk istri dan istrinya.
Hal
ini membuat proses hukuman kematiannya pun dipercepat. Saridin kemudian
dimasukkan kedalam peti, namun yang terjadi justru prajurit yang berada di
dalam peti tersebut, sehingga membuat geram para prajurit. Karena merasa
dipermainkan para prajurit membawa Saridin ketiang gantungan di alun-alun
kadipaten. Ketika tali sudah dipasang dan hendak ditarik ternyata tali tersebut
menjadi sangat berat, dan Saridin juga menawarkan diri untuk ikut serta dalam
menarik tali gantungan tersebut dan dijawab boleh kalo bisa. Akhirnya Saridin
turut serta menarik tali tersebut yang menyebabkan salah seorang anggota
prajurit terpental yang kemudian Saridin dikejar-kejar para prajurit hingga
sampai terusir dari wilayah Kadipaten Pati.
MENUNTUT ILMU DI PESANTREN SUNAN KUDUS
Berkat
pertolongan dari Allah yang melekat pada dirinya, beliau berhasil meloloskan
diri. Dan sejak saat itu, Saridin hidup sebagai buronan Kadipaten Pati. Dalam
keadaan sedih hidup sebagai buronan Saridin bertemu dengan Sunan Kalijaga.
Kemudian Sunan Kalijaga mengingatkan agar ia tidak sembarangan dalam
menggunakan anugrah kelebihan yang melekat pada dirinya. Sunan Kalijaga
menyarankan Saridin untuk berziarah ke makam ibunya di Keringan. Oleh karena
itu Saridin pun bergegas pergi ke makam Nyi Sujinah. Setelah beberapa malam
lamanya nyepi di makam Nyi Sujinah bergelar Dewi Samaran, Saridin pun bertemu
dengan ibunya itu. Dalam mimpinya tersebut ibunya menyarankan agar ia berguru
kepada Sunan Kudus.
Akhirnya
beliau pun tinggal di untuk menuntut ilmu di Pesantren Kudus. Sesuai tradisi di
Pesantren Kudus, kefasihan dan kemerduan suara dalam membaca al-Qur’an dan
lain-lain menjadi prioritas utama, membaca syahadat pun mesti seindah mungkin.
Sehingga wajar santri Pesantren kota Kudus begitu fasih dalam membaca
al-Qur’an. Pada satu waktu Sunan Kudus mengadakan pengujian terhadap semua
santri termasuk Saridin, untuk membaca syahadat satu persatu. Semua santri
begitu fasih dan lancar dalam membaca syahadat. Ketika tiba saatnya Saridin
harus menjalani tes membaca syahadat, beliau berdiri tegap, berkonsentrasi.
Tangannya bersedekap di depan dada. Matanya menatap kedepan. Kemudian menarik
napas sangat panjang beberapa kali. Bibirnya komat-kamit entah membaca aji-aji
apa, atau itu mungkin latihan terakhir baca syahadat. Kemudian semua santri
terhenyak. Saridin melepas kedua tangannya. Mendadak beliau berlari kencang.
Menuju salah satu pohon kelapa, dan memilih kelapa yang paling tinggi terus
meloncat. Memanjat ke atas dengan cepat, dengan kedua tangan dan kedua kakinya,
tanpa perut atau dadanya menyentuh batang kelapa.
Para
santri masih terkesima sampai ketika akhirnya Saridin tiba di bawah
blarak-blarak (daun kelapa kering) di puncak batang kelapa). Beliau menyibak
lebih naik lagi. Melewati gerumbulan bebuahan, terus naik dan menginjakkan
kakinya di tempat teratas. Kemudian tak disangka-sangka Saridin berteriak dan
melompat tinggi dan melampaui pucuk kelapa, kemudian badannya terjatuh sangat
cepat ke bumi. Badan Saridin menimpa
bumi,terkapar. Tetapi anehnya tidak suara benda jatuh ke bumi. Sebagian santri
berlari mendekat untuk melihat Saridin. Tetapi ternyata itu tidak perlu.
Saridin membuka matanya dengan wajahnya tetap kosong seperti tidak ada apa-apa.
Ia bangkit dan membungkuk menghadap Sunan Kudus dan berkata: “ Sami’na wa
atha’na aku telah mendengarkan dan aku telah mematuhi.” Gemparlah seluruh
pesantren dan penduduk berduyun-duyun berkumpul dalam ketidak mengertian dan
kekaguman. Saling bertanya dan bergumam namun tidak menghasilkan pengertian apa
pun. Akhirnya Sunan Kudus mengumpulkan para santri dan penduduk masuk ke dalam
masjid.
Sunan
Kudus kemudian berkata kepada Saridin, mengapa Saridin menjatuhkan dari pohon
kelapa? Saridin menjawab, “Kalau hanya sekedar mengucapkan kalimat syahadat
seperti yang dilakukan para santri seperti tadi,anak kecil pun bisa. Maka, saya
memaknai syahadat dengan menjatuhkan diri dari pohon kelapa seperti ini. Sebab,
bersyahadat maknanya adalah keyakinan atau keimanan kepada Gusti Allah di dalam
hati.” Begitulah makna hakikat kalimat syahadat yang ada dalam benak Saridin.
Itu mengisyaratkan adanya keyakinan yang mendalam dalam diri Saridin.
Kepasrahan total kepada Sang Pencipta. Jika dengan menjatuhkan diri dari pohon
kelapa tadi akhirnya mati, berarti ketetapan kematiannya memang saat itu juga.
Karena tidak mati, berarti dia memang belum saatnya mati.
Kemudian
Sunan Kudus berkata kepada para santri dan penduduk,“Saridin telah bersyahadat,
bukan membaca syahadat. Membaca syahadat adalah mengatur dan mengendalikan
lidah untuk mengeluarkan suara dan sejumlah kata-kata. Bersyahadat adalah
keberanian membuktikan bahwa ia benar-benar meyakini apa yang disyahadatkannya.
Dan Saridin memilih satu jenis keberanian untuk mati demi menunjukkan
keyakinannya, yaitu menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa.” Menurut Saridin
Syahadat adalah mempersembahkan seluruh hidup dan dirinya. Saridin tidak takut
mati, karena hidup dan mati adalah kehendak Tuhan.
Kemudian
Sunan Kudus berkata: “Bagaimana sekarang kalau aku menyuruhmu makan jamu
gamping yang panas dan membakar tenggorokan dan perutmu? “Aku akan meminumnya
demi kepatuhanku kepada guru yang aku percaya. Tapi kalau aku kemudian mati,
itu bukan karena air gamping, melainkan karena Allah memang menghendaki aku
mati.” Sunan Kudus melanjutkan: “Bagaimana kalau aku mengatakan bahwa tindakan
yang kau pilih itu memang tidak membahayakan dirimu, Insya Allah, tetapi bisa
membahayakan orang lain? ”Maksud Sunan? ”Bagaimama kalau karena kagum kepadamu
lantas kelak banyak santri menirumu dengan melakukan tarekat terjun bebas
semacam yang kau lakukan?”
“Kalau itu terjadi, yang membahayakan bukanlah aku Kanjeng Sunan, melainkan kebodohan para peniru itu sendiri, Jawab Saridin. Setiap manusia memiliki latar belakang, sejarah, kondisi, situasi, irama, dan metabolismenya sendiri-sendiri. Maka Allah melarang taqlid, peniruan yang buta. Setiap orang harus mandiri untuk memperhitungkan kalkulasi antara kondisi badannya dengan mentalnya, dengan keyakinannya, dengan tempat ia berpijak, serta dengan berbagai kemungkinan sunnatullah atau hukum alam permanen. Kadal jangan meniru kodok, gajah jangan memperkembangkan diri seperti ular, dan ikan tak usah ikut balapan kuda. ”Sunan Kudus bertanya lagi, ”Orang memang tak akan menyebutmu kadal, kuda, atau kodok, melainkan bunglon, apa katamu? ”Kalau syarat untuk terhindar dari mati atau kelaparan bagi mereka adalah dengan menyebutku bunglon, aku mengikhlaskannya. Bahkan kalau Allah memang memerintahkanku agar menjadi bunglon, aku rela. Sebab diriku bukanlah bunglon, diriku adalah kepatuhanku kepada-Nya. Akhirnya seluruhnya yang hadir terdiam, tak lama kemudian Sunan Kudus membubarkan acara tersebut.
Karena
murid baru beliau sering dikerjai oleh murid-murid lama. Para santri setiap
hari diwajibkan mengisi tempat air untuk wudu. Nah, Saridin yang juga terkena
kewajiban itu rupanya tidak kebagian ember. Para santri lama tak ada satupun
yang mau meminjamkan ember padanya. Melihat Saridin bingung kesulitan
mendapatkan ember, seorang santri bilang dengan maksud mengolok. “Din, kamu
tidak kebagian ember ya, tuh ada keranjang…. Bawa saja air di sumur itu pakai
keranjang,” ujar santri itu sambil menahan senyum. Terdorong melaksanakan
kewajibannya Saridin membawa saja keranjang rumput itu. Ajaib, air yang
seharusnya lolos di sela-sela lubang keranjang itu, malah dapat tertampung
hingga Saridin dapat mengisi tempat wudu sampai penuh. Para santri yang melihat
hanya melongo melihat ulah Saridin.
Berita
itu akhirnya sampai kepada Sunan Kudus. Di hadapan mursyidnya itu Saridin
dengan jujur menceritakan semuanya tanpa ada satupun yang tertinggal.
Menganggap Saridin sedang menyombongkan diri dengan kelebihannya, Sunan Kudus
lalu mengetes Saridin. “Din… kamu kan tadi mengisi air, sekarang di tempat
wudhu itu apakah ada ikannya?” tanya Sunan Kudus. “Setiap air pasti ada
ikannya, Kanjeng Sunan, begitu pula di tempat air wudu itu,” jawab Saridin
polos. Para santri yang mendengar jawaban Saridin kontan tertawa. “Mana mungkin
tempat wudhu ada ikannya,” pikir mereka. Tapi setelah di cek memang betul
ditemukan ikan di dalamnya.
Sunan
Kudus gusar melihatnya, kali ini Sunan Kudus merasa ditantang. “Baik, Saridin,
sekarang apa yang ada ditanganku ini?” ujar Sunan Kudus. “Buah kelapa,
kanjeng,” jawab Saridin pelan.
“Katamu
setiap air ada ikannya, kelapa ini didalamnya ada airnya, apakah kau tetap
mengatakan bahwa dalam kelapa ini ada ikannya?” tanya Sunan Kudus lagi. “Ada
Kanjeng,” jawab Saridin polos. Kembali hadirin tertawa karena menganggap
Saridin dungu. Tapi setelah kelapa itu dibelah kagetlah mereka semua, termasuk
Sunan Kudus, karena didalamnya ada ikan hidup yang berenang di air kelapa.
Menganggap Saridin melakukan hal-hal yang tak patut, yaitu memperlihatkan karomah
diri pada orang lain. Menyadari bahwa budaya memamerkan segala bentuk anugerah
Allah bisa mengancam eksistensi Pesantren Kudus sebagai salah satu pusat dakwah
Islamiah, maka Sunan Kudus mempersilahkan Saridin untuk meninggalkan wilayah
Kudus dan tidak menginjakkan kakinya di bumi Kudus.
Setelah
diusir oleh Sunan Kudus, Saridin tidak pulang ke Landhoh, namun masuk ke dalam
jumbleng (tempat buang air besar) Kaputren Kudus untuk bertapa. Keberadaan
Saridin kemudian diketahui oleh salah satu putri Kudus yang hendak buang air.
Putri Kudus tersebut tak lain adalah Nyai Sunan, ketika Nyai Sunan Kudus merasa
akan buang air besar, maka masuklah Nyai Sunan ke jumbleng atau WC tersebut.
Baru saja Nyai Sunan ingin jongkok, Saridin tertawa terbahak-bahak. Nyai Sunan terkejut
dan tak mengira sama sekali bahwa tempat itu telah ada manusia masuk.
Serta-merta Nyai Sunan lari untuk melaporkan hal itu kepada Sunan Kudus. Demi
mendengar laporan Nyai Sunan, Sunan Kudus segera ke belakang menyatakan
kemarahannya. Para santripun serentak menghambur ke arah jumbleng, mereka
hendak mengeroyok Saridin, namun Sunan Kudus melarangnya karena Saridin berada
di pihak yang benar, yaitu tidak menginjakkan kakinya di tanah Kudus melainkan
ia berdiri di atas batang bambu di atas kotoran manusia yang berada di Jumbleng
tersebut. Kemudian terjadi dialog antara Saridin dan Sunan Kudus. Sunan Kudus
bertanya: “Sampai kapan kamu akan berjongkok di situ?” “Terserah Sunan,” jawab
Saridin, “Hamba bermaksud berguru kepada Sunan. Hamba mohon diterima menjadi
murid Sunan. Untuk itu hamba bersedia melakukan apapun yang Sunan perintahkan.”
“Kamu mau jongkok disitu sepekan?” “Sendiko, Sunan.” Dan Saridin benar-benar
jongkok di jumbleng itu sampai sepekan.
Karena
jengkel dengan kelakuan Saridin akhirnya Sunan Kudus murka dan dikejarnya
Saridin untuk diberikan hukuman setimpal. Tetapi Saridin berlari dan terus
berlari hingga sampailah di suatu sungai dan menceburkan dirinya. Ketika Sunan
Kudus sampai di tempat itu Saridin naik ke darat dan melarikan diri dengan
meninggalkan bau busuk (bacin, Jawa) dan akhirnya tempat tersebut diberi nama
desa Bacin. Saridin terus berlari ke arah barat. Ketika Sunan Kudus sampai di
suatu tempat, Sunan Kudus beserta para pengawalnya menginjak-injak pekarangan
yang baru dibuat dan rusak, maka tempat itu kemudian disebut desa Karanganyar
dari perkataan pekarangan yang baru dibuat. Kemudian Sunan Kudus terus mengejar
Saridin kearah selatan. Saridin berlari terus dan sampai disuatu tanggul dan
disitu beliau beristirahat. Ditanggul itu Saridin dengan iseng mendatangkan angin ke arah Sunan Kudus ,
tetapi dapat ditahan oleh Sunan Kudus, hanya pengikutnya yang terkena angin
sehingga banyak yang berjatuhan. Maka tempat tersebut diberi nama Tanggul Angin.
Saridin
terus berlari dan berlari akhirnya sampai disuatu tempat ia bersembunyi dan
naik di atas pohon cangkring yang tinggi. Tiada berapa lama Sunan Kudus datang
dan Saridin melihat kedatangannya terus meloncat turun dan melarikan diri.
Kemudian tempat itu diberi nama desa Cangkring diambil dari nama pohon
Cangkring tersebut.Saridin masih juga berlari dan tak akan mau menyerah ataupun
menghentikan larinya. Jarak antara Saridin dan yang mengejarnya semakin jauh.
Sampai di sebuah pasar Saridin langsung masuk. Melihat kelakuan Saridin seperti
kurang sehat akalnya, orang-orang di pasar menjadi bubar. Orang yang sedang
berjualan mengemasi barang dagangannya dan orang yang sedang berbelanja terus
saja lari menjauhi Saridin. Sementara itu, Sunan Kudus dan pengikutnya telah
sampai di pasar itu. Melihat orang berlari-lari itu, Sunan Kudus bertanya
kepada seorang diantaranya. Orang yang ditanyakannya menjawab bahwa di pasar
itu telah kedatangan seorang yang berperawakan tinggi, masih muda tetapi
badannya penuh dengan kotoran manusia. Mendengar penuturan itu, Sunan Kudus pun
tahu bahwa orang yang dimaksudkan adalah Saridin. Berkatalah Sunan Kudus, bahwa
karena orang-orang yang di pasar itu menjadi bubar, maka tempat tersebut
dinamakan Pasar Bubar.
Demikianlah
satu babak dalam cerita Saridin yang turun temurun dalam tradisi masyarakat
Pati. Tokoh ini dikenal masyarakat sebagai seorang wali yang memiliki keluguan
tiada tara. Ia memang rakyat biasa yang polos, tapi justru karena kepolosannya
itulah yang membuat menguasai ilmu hakikat. Sunan Kalijaga. Wali keramat inilah
yang mengajarkan Saridin ilmu hakikat. Makanya kemudian Saridin mengamalkan
beberapa wejangan sufistik dari Sunan Bonang yang beliau dapatkan dari Sunan
Kalijaga.
PERJALANAN MENGEMBARA DAN DAKWAH SYEKH JANGKUNG
Dengan
putus asa Saridin pergi, rupanya hal yang dialaminya diketahui Sunan Kalijaga.
Wali yang bijak ini lalu menasehati Saridin untuk sabar sekalipun perbuatannya
tadi dilakukan tanpa maksud menyombongkan diri. Sikap Sunan Kudus juga
dijelaskan oleh Sunan Kalijaga sebagai sikap yang wajar seorang manusia biasa
yang merasa malu jika dipermalukan di depan orang lain di hadapan
murid-muridnya. Setelah peristiwa itu Sunan Kalijaga menyuruh Saridin
mengasingkan diri untuk lebih dalam mengenal Allah SWT serta menjalani
latihan-latihan rohani untuk menyatu dengan-Nya.
Kemudian
Saridin diperintahkan untuk bertapa di lautan, dengan hanya dibekali dua buah
kelapa sebagai pelampung. Tidak boleh makan kalau tidak ada makanan yang
datang, dan tidak boleh minum kalau tidak ada air yang turun. Setelah
berhari-hari bertapa di laut dan hanyut terbawa ombak akhirnya dia terdampar di
salah satu kerajaan di Pulau Sumatera ada yang mengatakan daerah Palembang.
Yang belum masuk dalam kekuasaan Kerajaan Mataram. Raja tersebut menganggap
remeh Sultan Agung. Saridin menyela omongan Raja tersebut, dia merasa
terpanggil sebagai seorang yang sama-sama dari Tanah Jawa. Beliau mengaku sebagai hamba Mataram yang mau
menguji kesaktian dengan sang raja. “Aku bisa menghitung kekuatan pasukan
kerajaan ini, yang paduka gelar di alun-alun kerajaan,” kata Saridin. Ribuan
pasukan itu telah siap siaga untuk melawan Sultan Agung Mataram. “Ya, coba
kalau bisa kamu menghitung ribuan pasukanku dengan tepat, aku akan mengaku
kalah sama kamu, Saridin,”.
Lalu
Saridin melesat dengan cepat ke atas, berlari dari ujung ke ujung tombak yang
mengacung ke langit. Semua dihitung dengan cepat seperti kilat. Dia kemudian
berada dihadapan raja dengan menebak jumlah pasukan yang berbaris. Raja itu pun
tertunduk, bergetar dan ciut nyalinya menghadapi kesaktian Saridin. Seketika
itu raja takluk dihadapan Saridin, namun dia tidak menerima sembah bakti.
Saridin menyarankan untuk tunduk kepada Sultan Agung saja, sebab Saridin adalah
salah satu hamba dari Mataram. Dengan demikian raja tersebut tunduk-takluk
kepada Sultan Agung tanpa perlawanan sama sekali. Bahkan beliau juga membantu
memberantas pemberontak disana dan dinikahkan dengan Putri dari Patih Palembang
yang bernama Rohayati sebagai hadiah. Selain sakti mandraguna, Saridin juga
dikenal sebagai ahli berdakwah Agama Islam. Beramal ibadah, membantu kaum
du’afa dan para fakir-miskin. konon kabarnya Saridin melanjutkan perjalanan ke
Timur Tengah hingga mendapatkan gelar Syekh.
Setelah
lama mengembara Syekh Jangkung ingin kembali ke daerah asalnya, yaitu Miyono.,
ia kemudian dikenal sebagai sufi yang namanya cukup disegani di masa Kerajaan
Mataram. Ia mengajarkan konsep-konsep tasawuf pada orang-orang yang ingin
mengaji padanya. Ketenaran Saridin
sampai ke wilayah Mataram. Kehebatan Syeh Jangkung akhirnya sampai di telinga
Sultan Agung Raja Mataram. Sultan Agung sedang bingung karena warga di Alas
Roban mengadu karena saat ini banyak warga yang menderita karena Ki Jati,
penguasa alas Roban sangat kejam dan banyak membunuh warga yang akan membuka
ladang di daerah itu. Ki Jati adalah orang yang sangat sakti yang bisa berubah
menjadi siluman ular yang sangat ganas. Tidak itu saja. Ki Jati yang menganut
aliran sesat, selalu menculik gadis-gadis muda di sekitar alas roban untuk
dijadikan tumbal agar dia tetap digdaya dengan ilmu hitamnya. Sultan Agung lalu
minta tolong pada Syeh Jangkung untuk menumpasnya. Syeh Jangkung lalu
mendatangi Ki Jati.
Terjadilah
pertarungan hebat antara Syeh Jangkung dengan Ki Jati. Ki Jati kalah dan Syeh
Jangkung minta agar Ki Jati berjanji akan meninggalkan alas roban. Namun Ki
Jati masih menyimpan dendam pada Syeh Jangkung. Atas jasanya menumpas penguasa
Alas Roban, Syeh Jangkung mendapat hadiah dari penguasa Mataram, Sultan Agung,
untuk mempersunting kakak perempuannya, Retno Jinoli. Saat Syeh Jangkung
berbahagia akan melaksanakan pernikahannya, Ki Jati yang masih dendam raganya
masuk kedalam Retni Jinoli. Syeh Jangkung kini harus berhadapan dengan siluman
ular Alas Roban yang merasuk ke dalam diri Retno Jinoli. Dengan sungguh-sungguh
Syeh Jangkung menyembuhkan calon istrinya. Istri Syeh Jangkung sembuh dan
siluman ular yang masuk ke raga Retno Jinali diusir keluar. Wanita trah Keraton
Mataram itu lalu menjadi istri sah Syeh Jangkung dan diboyong ke Miyono.
Sebagai
keturunan ningrat dan ulama, Syekh Jangkung pernah mengemban amanah Sultan
Cirebon untuk menumpas pemberontakan yang telah melakukan penculikan terhadap
putri Sultan Cirebon, Ratu Pandan Arum. Untuk menumpasnya, Syekh Jangkung
dibantu oleh Sunan Kalijaga, Sayyid Widagdo, Sayyid Abdullah Asyiq, dan Sayyid
Panjunan. Misi ini mendapat keberhasilan yang gemilang meskipun salah satu
anggota ulama ini ada yang syahid, yaitu Sayyid Widagdo.
LEGENDA KEBO LANDOH
Ketika usia Syech Jangkung mendekati senja
dia memilih hidup sebagai petani dengan membuka perkampungan baru di kawasan
Pati, Jawa Tengah. Dalam perjalanan mencari perkampungan sampailah di Desa
Lose. Di sini, dia bertemu dengan tujuh orang yang sedang memperbaiki atap
sebuah rumah. Dari sinilah Syekh Jangkung ingin membuktikan kebaikan perilaku
ketujuh orang tersebut. Lantas, dia mengalihkan perhatian mereka dengan
bertanya apakah ada warga sekitar yang akan menjual kerbau. Maksud Syekh jika
ada maka dia ingin membeli dua ekor dengan alasan untuk keperluan membajak
sawah. Ke tujuh orang melihat pakaian Syekh Jangkung yang compang-camping tidak
mengindahkan pertanyaan tersebut. Malah menghinanya dengan jawabannya yang
menyakitkan. Mereka mengatakan di desanya tidak akan ada orang menjual kerbau padanya.
Namun, bila mau dia akan diberi kerbau yang sudah mati. Di luar perkiraan
ke-tujuh orang itu, Syekh Jangkung menerima tawaran mereka. Lalu berangkatlah
mereka bersama menuju tempat kerbau mati.
Syekh
Jangkung lantas menatap seonggok kerbau yang sudah tidak bergerak itu. Badannya
sangat besar dengan tanduk yang sudah melengkung. Melihat kerbau itu, Syekh
Jangkung lantas salat dan meminta kepada Allah agar kerbau itu dihidupkan
kembali. “Sekarang bangunlah,” ujar Syekh Jangkung sambil mengelus-elus tanduk
kerbau itu. Aneh bin ajaib, tiba-tiba kerbau itu mengibaskan ekornya menandakan
dia hidup kembali. Tahu kejadian ajaib itu serta merta ke tujuh orang yang
semula meremehkan diri Syech Jangkung langsung bersujud untuk menyampaikan
permintaan maafnya. Sejak itu Syekh Jangkung membuka perkampungan di tempat ke
tujuh orang tersebut. Yang lantas dikenal dengan nama Desa Landoh, Kecamatan
Kajen, Pati. Sebelum meninggal dunia, Syekh Jangkung berpesan agar kelak kerbau
itu disembelih dan dibagikan kepada seluruh penduduk. Tapi, ketika dia
meninggal dunia, kerbau itu menghilang dan baru muncul pada hari ke 40.
Oleh
anaknya, kerbau itu disembelih dan dibagikan kepada penduduk Landoh. Sementara
itu, kulitnya (lulang) disimpan dengan rapi. Suatu ketika ada seorang pedagang
yang kehilangan sabuk pengikat barang dagangan. Dia mengadu kepada Tirtokusumo,
anak Syekh Jangkung yang akhirnya memberikan tulang kerbau peninggalan ayahnya.
Namun, di pinggir kampung sapi yang mengenakan tulang kerbau itu mengamuk. Tak
seorang pun yang berhasil membunuhnya. Anehnya, sapi itu tiba-tiba menjadi
kebal terhadap senjata. Ketika sapi itu kelelahan, Tirokusumo mengambil tulang
kerbau itu. Dan, sapi itupun dengan mudah bisa dibunuh dengan tombak. Dari
kejadian tersebut, akhirnya masyarakat yakin jika tulang Kebo Landoh adalah
jimat sakti untuk kekebalan. Tirtokusumo kemudian membagikan kulit tersebut
dalam ukuran kecil kepada penduduk Desa Landoh, termasuk Sultan Agung.
KETELADANAN SYEKH JANGKUNG
Meskipun
jejak langkah Saridin masih merupakan misteri, namun setidaknya menurut juru
kunci makam Saridin, RH. Damhari Panoto Jiwo, menjelaskan bahwa Saridin
dilahirkan di Landoh, Kiringan, Tayu, Pati. Nama Saridin berarti inti sarinya
agama (esensi agama). Maka semangat belajar atau berguru Saridin juga sangat
tinggi. Guru-gurunya antara lain: Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan
Kudus. Kehidupan Saridin tidak terlepas dari pengaruh guru-gurunya tersebut.
Seperti Mijil dan Maskumambang.
Sunan Kudus juga ahli tasawwuf dengan paham wihdatul wujud yang
berpengaruh terhadap Saridin tentang membaca syahadat Saridin malah memanjat
pohon kelapa dan menjatuhkan diri.
Berbeda
dengan Sunan Kudus yang memilih berdakwah dengan menetap di pesantren, Sunan
Kalijaga sebaliknya, ia memilih berdakwah dengan berkeliling. Menurutnya,
seluruh penjuru dunia adalah pesantren sehingga ia tidak memiliki pondok
pesantren. Sunan Kalijaga melegalkan semedi dan sesaji sebagai media penyebaran
Islam. Dakwahnya melalui media seperti tembang, wayang, gamelan, dan syair
pujian pesantren. Sunan Kalijaga juga ahli tasawwuf. Kebiasaan Saridin
bersemedi kemungkinan besar mengikuti jejak Sunan Kalijaga. Demikian juga Sunan
Bonang juga ahli dalam bidang dan tasawwuf. Sunan Kalijaga mengajarkan berbagai
jenis tapa dan mengajak bertapa kepada muridnya. Sunan Kalijaga tidak hanya
mengajak, tetapi juga melakukannya,
sebagaimana diperintahkan oleh
Sunan Bonang waktu Sunan Kalijaga hendak berguru kepadanya. Bertapa di sini
dapat dimaknai secara tersirat, yaitu menahan atau mencegah.
Selanjutnya,
Saridin mendapat gelar Syekh Jangkung karena keinginan, ucapan, dan kemauannya
senantiasa dikabulkan oleh Allah Swt. Syekh Jangkung memanfaatkan segala
kelebihannya untuk mengabdi ke beberapa negeri yaitu kasultanan Cirebon,
Mataram, Palembang, dan Rum. Saridin adalah tipe orang yang mempunyai kekuatan
ruhani dan nurani dibandingkan dengan teman-temannya. Beliau juga tipe orang yang lebih cenderung melihat
landasan vertikal, jalur ke atas, hablum minallah. Berarti dia bukan tipe orang
yang gampang terpengaruh melihat sebab akibat, kemakhlukan, muamalah, jalur
menyamping atau landasan horisontal (hablum minannas).
Syekh
Jangkung adalah orang yang lugu, jujur, ulet, sabar, apa adanya, qana‟ah, tidak
serakah. Syekh Jangkung juga adalah seorang tokoh yang selalu taat beribadah
kepada Allah. Apapun yang dijalaninya, dia selalu percaya bahwa Allahlah yang
telah mengatur segalanya. Cara berdakwah Syekh Jangkung adalah dengan cara
lugas dan kejujuran, tetapi disertai dengan mental tauhid dan keyakinan kepada
Allah yang kuat sehingga tekun beribadah. Syekh Jangkung menunjukkan bukti
kekuasaan Allah kepada masyarakat dengan selalu terkabul do‟anya sehingga
memudahkan beliau dalam berdakwah dan menunjukkan bahwa ia orang yang dekat
dengan Allah, sehingga keislamannya tidak bisa diragukan lagi.
Syekh
jangkung adalah sosok waliyullah (kekasih Allah) yang alim, zahid, dan Wirai.
Ia tidak terpesona dengan gemerlapnya dunia meskipun harta berlimpah ruah
selalu saja mendekati dirinya tanpa harus diminta. Hidup di lingkungan istana
yang serba mewah tidak membuat dirinya tergiur dengan harta dan jabatan. Ia
ingin meninggalkan segala kemewahan dan lebih memilih hidup di tengah-tengah
masyarakat untuk menyebarkan agama Islam. Wali Allah adalah orang-orang yang
dekat kepada Allah, karena mereka menyerahkan diri kepada-Nya, mengerjakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (menjadikan Allah
sebagai pemimpin mereka), serta mereka akan mendapatkan perlindungan dari
Allah.
Religiusitas
Saridin yang sufistik-populis berdampak pada cara dakwahnya yang merakyat,
dapat menyesuaikan kondisi sosial, keagamaan, dan kebudayaan masyarakatnya.
Dengan karamah-karamah yang luar biasa, membuatnya menjadi seorang waliyullah
yang banyak disebut-sebut masyarakat, ditambah sikap-sikap yang nyleneh,
membuat masyarakat semakin mengenangnya.
SULUK SARIDIN
MUQADIMAH
Bismillah,
wengi iki ingsung madep, ngawiti murih pakerti, pakertining budi kang fitri,
sujud ingsun, ing ngarsané Dzat Kang Maha Suci.
Artinya
:
Bismillah,malam
ini hamba menghadap, mengawali meraih hikmah/ hikmah budi yang suci, hamba
bersujud, di hadapan Keagungan Yang Mahasuci.
Bismillah
ar-rahman ar-rahim, rabu mbengi, malam kamis, tanggal lima las, wulan poso,
posoning ati ngilangi fitnah, posoning rogo ngeker tingkah.
Artinya
:
Bismillâh
ar-Rahmân ar-Rahîm, Rabu malam Kamis, tanggal 15 bulan Ramadhan, puasa hati
menghilangkan fitnah, puasa raga mencegah tingkah buruk.
Bismillah,
dhuh Pangeran Kang Maha Suci, niat ingsun ndalu niki, kawula kang ngawiti,
nulis serat kang ingsun arani, serat Hidayat Bahrul Qalbi, anggayuh Sangkan
Paraning Dumadi.
Artinya
:
Bismillâh,
wahai Tuhan Yang Mahasuci, niat hamba malam ini, hamba yang mengawali, menulis
surat yang dinamai, surat Hidayat Bahrul Qalbi, untuk memahami asal tujuan
hidup ini.
Bismillah,
dhuh Pangeran mugi hanebihna, saking nafsu ingsun iki, kang nistha sipatipun,
tansah ngajak ing laku drengki, ngedohi perkawis kang wigati.
Artinya
:
Bismillâh,
wahai Tuhan semoga Engkau menjauhkan, dari nafsu hamba ini, yang buruk
sifatnya, senantiasa mengajak berlaku dengki, menjauhi perkara yang baik.
Bismillah,
kanthi nyebut asmaning Allah, Dzat ingkang Maha Welas, Dzat ingkang Maha Asih,
kawula nyenyuwun, kanthi tawasul marang Gusti Rasul, Rasul kang aran Nur
Muhammad, mugiya kerso paring sapangat, kanthi pambuka ummul kitab.
Artinya
:
Bismillâh,
dengan menyebut nama Allah, Dzat Yang Maha Pengasih, Dzat Yang Maha Penyayang,
hamba memohon, melalui perantara Rasul, Rasul yang bernama Nur Muhammad, semoga
berkenan memberi syafaat, dengan pembukaan membaca ummul kitab.
Sun
tulis kersaneng rasa, rasaning wong tanah Jawa, sun tulis kersaneng ati,
atining jiwa kang Jawi, ati kang suci, tanda urip kang sejati, sun tulis
kersaning agami, ageming diri ingkang suci.
Artinya
:
Hamba
tulis karena rasa, perasaan orang tanah Jawa, hamba tulis karena hati, hati
dari jiwa yang keluar, hati yang suci, tanda hidup yang sejati, hamba tulis
karena agama, pegangan diri yang suci.
Kang
tinulis dudu ajaran, kang tinulis dudu tuntunan, iki serat sakdermo mahami, opo
kang tinebut ing Kitab Suci, iki serat amung mangerteni, tindak lampahé Kanjeng
Nabi.
Artinya
:
Yang
tertulis bukan ajaran,yang tertulis bukan tuntunan,surat ini sekadar
memahami,apa yang tersebut dalam Kitab Suci,surat ini sekadar
mengetahui,perilaku hidup Kanjeng Nabi.
Apa
kang ana ing serat iki, mong rasa sedehing ati, ati kang tanpa doyo, mirsani
tindak lampahing konco, ingkang tebih saking budi, budining rasa kamanungsan,
sirna ilang apa kang dadi tuntunan.
Artinya
:
Apa
yang ada di surat ini,hanya rasa kesedihan hati,hati yang tiada berdaya,melihat
sikap perilaku saudara,yang jauh dari budi,budi rasa kemanusiaan,hilang sudah
apa yang menjadi tuntunan.
Mugi-mugi
dadiho pitutur, marang awak déwé ingsun, syukur nyumrambahi para sadulur, nyoto
iku dadi sesuwun, ing ngarsane Dzat Kang Luhur.
Artinya
:
Semoga
menjadi petunjuk,terhadap diri hamba sendiri,syukur bisa berguna untuk sesama,
itulah yang menjadi permohonan,di hadapan Dzat Yang Mahaagung.
01. SYARIAT
Mangertiyo
sira kabéh, narimoho kanthi saréh, opo kang dadi toto lan aturan, opo kang dadi
pinesténan, anggoning ngabdi marang Pangeran.
Artinya
:
Mengertilah
kalian semua,terimalah dengan segala kerendahan jiwa,terimalah dengan tulus dan
rela,apa yang menjadi ketetapan dan aturan,apa yang telah digariskan,untuk
mengabdi pada Keagungan Tuhan.
Basa
sarak istilah ‘Arbi, tedah isarat urip niki, mulo kénging nampik milih, pundhi
ingkang dipun lampahi, anggoning ngabdi marang Ilahi.
Artinya
:
Istilah
syarak adalah bahasa Arab,yang berarti petunjuk atau pedoman untuk menjalani
kehidupan ‘agama’,untuk itulah diperbolehkan memilih,mana yang akan dijalani
sesuai dengan kemampuan diri,guna mengabdi pada Keagungan Ilahi.
Saréngat
iku tan ora keno, tininggal selagi kuwoso, ageming diri kang wigati, cecekelan
maring kitab suci, amrih murih rahmating Gusti.
Artinya
:
Apa
yang telah di-syari‘at-kan hendaknya jangan kita tinggal,selama diri ini mampu
untuk menjalankan,aturan yang menjadi pegangan hidup kita,aturan yang sudah
dijelaskan dalam kitab suci al-Qur’an,Itu semua, tidak lain hanya usaha kita
untuk mendapat rahmat, dan pengampunan dari Yang Maha Kuasa.
Saréngat
iku keno dén aran, patemoné badan lawan lésan, ono maneh kang pepiling, sareh
anggoné kidmat, nyembah ngabdi marang Dzat.
Artinya
:
Syariat
juga diartikan, sebuah pertemuan antara badan dengan lisan,bertemunya raga
dengan apa yang dikata,ada juga yang memberi pengertian,bahwa syariat adalah
pasrah dalam berkhidmat,menyembah dan mengabdi pada Keagungan Yang Mahasuci.
Saréngat
utawi sembah raga iku, pakartining wong amagang laku, sesucine asarana saking
warih, kang wus lumrah limang wektu, wantu wataking wawaton.
Artinya
:
Syari`at
atau Sembah Raga itu,merupakan tahap persiapan, di mana seseorang harus
melewati proses pembersihan diri,dengan cara mengikuti peraturan-peraturan yang
ada,dan yang sudah ditentukan—rukun Islam.
Mulo
iling-ilingo kang tinebut iki, sadat, sholat kanthi kidmat, zakat bondo lawan
badan, poso sak jroning wulan ramadhan, tinemu haji pinongko mampu, ngudi
luhuring budi kang estu.
Artinya
:
Maka
ingat-ingatlah apa yang tersebut di bawah ini, syahadat dengan penuh
keihklasan, shalat dengan khusuk dan penuh ketakdhiman, mengeluarkan zakat
harta dan badan untuk sesame, puasa pada bulan ramadhan atas nama pengabdian
pada Tuhan, menunaikan ibadah haji untuk meraih kehalusan budi pekerti.
Limo
cukup tan kurang, dadi rukune agami Islam, wajib kagem ingkang baligh, ngaqil,
eling tur kinarasan, menawi lali ugi nyauri.
Artinya
:
Lima
sudah tersebut tidak kurang, menjadi ketetapan sebagai rukun Islam, wajib
dilakukan bagi orang ‘Islam’ yang sudah baligh, berakal, tidak gila dan sehat,
adapun, jika lupa menjalankan hendaknya diganti pada waktu yang lain.
Syaringat
ugi kawastanan, laku sembah mawi badan, sembah suci maring Hyang, Hyang ingkang
nyipto alam, sembahyang tinemu pungkasan.
Artinya
:
Syariat
juga dinamakan, melakukan penyembahan dengan menggunakan anggota badan,
menyembah pada Keagungan Tuhan, Tuhan yang menciptakan alam, Sembah Hyang,
begitu kiranya nama yang diberikan.
SYAHADAT
Sampun
dados pengawitan, tiyang ingkang mlebet Islam, anyekseni wujuding Pangeran,
mahos sadat kanthi temenan, madep-manteb ananing iman.
Artinya
:
Sudah
menjadi pembukaan, bagi orang yang ingin masuk Islam, bersaksi akan wujudnya
Tuhan, bersungguh-sungguh membaca syahadat, disertai ketetapan hati untuk
beriman.
Asyhadu
an-lâ ilâha illâ Allâh wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah, Tinucapo mawi
lisan, Sareh legowo tanpa pameksan, Mlebet wonten njroning ati, Dadiho pusoko
anggoning ngabdi.
Artinya
:
Asyhadu
an-lâ ilâha illâ Allâh wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah, ucapkanlah dengan
lisan, penuh kesadaran tanpa paksaan, masukkan maknanya ke dalam hati, semoga
menjadi pusaka untuk terus mengabdi.
Tan
ana Pangeran, kang wajib dén sembah, kejawi amung Gusti Allah, semanten ugi
Rasul Muhammad, kang dadi lantaran pitulungé umat.
Artinya
:
Hamba
bersaksi bahwa tak ada tuhan, yang wajib disembah, kecuali Allah swt, begitu
pula dengan Nabi Agung Muhammad saw, yang menjadi perantara pertolongan umat.
SHALAT
Syarat
limo ajo lali, kadas najis, badan kedah suci, nutup aurat kanti kiat, jumeneng panggonan
mboten mlarat, ngerti wektu madep kiblat, sampurno ingkang dipun serat.
Artinya
:
Lima
syarat jangan lupa, badan harus suci dari hadats dan najis, menutup aurat jika
tidak kesulitan, dilaksanakan di tempat yang suci, mengerti waktu untuk melakukan
shalat, lalu menghadap kiblat, sempurna sudah yang ditulis.
Wolu
las kang dadi mufakat, rukun sahe nglakoni shalat, niat nejo, ngadek ingkang
kiat, takbir banjur mahos surat, al-fatihah ampun ngantos lepat.
Artinya
:
Delapan
belas yang menjadi mufakat, rukun sahnya menjalankan shalat, niat melakukan
shalat, berdiri bagi kita yang mampu, mengucapkan takbiratul ikhram membaca
surat, al-Fatichah jangan sampai keliru.
Rukuk,
tumakninah banjur ngadek, aran iktidal kanti jejek, tumakninah semanten ugi, banjur
sujud tumurun ing bumi, sareng tumakninah ingkang mesti, kinaranan ing
tumakninah, meneng sedelok sak wuse obah.
Artinya
:
Rukuk
dengan tenang lalu berdiri, disebut i’tidal dengan tegap, hendaknya juga tenang
seperti rukuk, lalu sujud turun ke bumi, bersama thumakninah yang benar,
dinamakan thumakninah, diam sebentar setelah bergerak.
Sewelas
iku lungguh, antarane rong sujudan, tumuli tumakninah, kaping telulas lungguh
akhir, banjur maos pamuji dikir.
Artinya
:
Sebelas
itu duduk, di antara dua sujud, disertai thumakninah, tiga belas duduk akhir,
lalu membaca pujian dzikir.
Limolas
iku moco sholawat, kagem Gusti Rosul Muhammad, tumuli salam kang kawitan, sertane
niat rampungan, tertib sempurna dadi pungkasan.
Artinya
:
Lima
belas membaca shalawat, kepada Rasul Muhammad, kemudian salam yang pertama,
bersama niat keluar shalat, tertib menjadi kesempurnaan.
ZAKAT
Zakat
iku wus dadi prentah, den lampahi setahun pindah, tumprap wong kang rijkine
torah, supados bersih awak lan bondo, ojo pisan-pisan awak déwé leno.
Artinya
:
Zakat
sudah menjadi perintah, dilakukan setahun sekali, bagi orang yang hartanya
berlimpah, supa bersih raga dan harta, jangan sekali-kali kita lupa.
Umume
wong dho ngenthoni, malem bodho idul fitri, zakat firah den arani, bersihaké
badan lawan ati, zakat maal ugo mengkono, nanging kaprahing dho orak lélo.
Artinya
:
Umumnya
orang mengeluarkan, malam Hari Raya Idul Fitri, zakat fitrah dinamai,
membersihkan raga dan hati, zakat harta juga begitu, namun umumnya pada tidak
rela.
Ampun
supé niating ati, nglakoni rukun pardune agami, lillahi ta`ala iku krentekno,
amrih murih ridaning Gusti, supados dadi abdi kang mulyo.
Artinya
:
Jangan
lupa niat di hati, menjalankan rukun fradhunya agama, karena Allah tanamkanlah,
untuk mendapat keridhaan-Nya, supaya menjadi hamba yang mulia.
PUASA
Islam,
balék, kiat, ngakal, papat sampun kinebatan, wonten maleh ingkang lintu, Islam,
balék lawan ngakal, dados sarat nglampahi siam.
Artinya
:
Islam,
baligh, kuat, berakal, empat sudah disebutkan, ada juga yang mengatakan, Islam,
baligh, dan berakal, menjadi syarat menjalankan puasa.
Kados
sarat rukun ugi sami, kedah dilampai kanthi wigati, niat ikhlas jroning ati,
cegah dahar lawan ngombé, nejo jimak kaping teluné, mutah-mutah kang digawé.
Artinya
:
Seperti
syarat, rukun juga sama, harus dijalanlan dengan hati-hati, niat ikhlas di
dalam hati, mencegah makan dan minum, jangan bersetubuh nomor tiga, jangan
memuntahkan sesuatu karena sengaja.
Papat
jangkep sampun cekap, dadus sarat rukuné pasa, ngatos-ngatos ampun léna, mugiyo
hasil ingkang dipun seja, tentreming ati urip kang mulya.
Artinya
:
Empat
genap sudah cukup, menjadi syarat rukunnya puasa, hati-hati jangan terlena,
semoga berhasil apa yang diinginkan, tentramnya hati hidup dengan mulia.
HAJI
Limo
akhir dadi kasampurnan, ngelampahi rukun parduné Islam, bidal zaroh ing tanah
mekah, menawi kiat bandane torah, lego manah tinggal pitnah kamanungsan.
Artinya
:
Lima
terakhir menjadi kesempurnaan, menjalankan rukun fardhunya Islam, pergi ziarah
ke tanah Makah, jika kuat dan hartanya berlimpah, hati rela menjauhi fitnah
kemanusiaan.
Pitu
dadi sepakatan, sarat kaji kang temenan, Islam, balik, ngakal, merdeka, ananing
banda lawan sarana, aman dalan sertané panggonan.
Artinya
:
Tujuh
jadi kesepakatan, syarat haji yang betulan, Islam, baligh, berakal, merdeka,
adanya harta dan sarana, aman jalan beserta tempat.
Ikram
sertané niat, dadi rukun kang kawitan, wukuf anteng ing ngaropah, towaf mlaku
ngubengi kakbah, limo sangi ojo lali, sopa marwah pitu bola-bali.
Artinya
:
Ikhram
beserta niat, menjadi rukun yang pertama, thawaf berjalan mengelilingi ka‘bah,
lima sa’i jangan lupa, safa-marwah tujuh kali.
02. THARIQAT
Muji
sukur Dzat Kang Rahman, tarékat iku sak dermo dalan, panemoné lisan ing
pikiran, nimbang nanting lawan heneng, bener luputé sira kanthi héling.
Artinya
:
Puji
syukur Dzat Yang Penyayang,tarekat hanyalah sekadar jalan,bertemunya ucapan
dalam pikiran,menimbang memilih dengan tenang,benar tidaknya engkau dengan
penuh kesadaran.
Tarékat
ugi kawastanan, sembah cipto kang temenan, nyegah nafsu kang ngambra-ambra,
ngedohi sipat durangkara, srah lampah ing Bathara.
Artinya
:
Tarekat
juga dinamakan, sembah cipta yang sebenarnya, mencegah nafsu yang merajalela,
menjauhi sifat keburukan, berserah di hadapan Tuhan.
Semanten
ugi aweh pitutur, makna tarékat ingkang luhur, den serupaaken kados segoro,
minongko saréngat dadus perahu, kang tinemu mawi ngélmu.
Artinya
:
Kiranya
juga memberi penuturan,makna tarekat yang luhur,diibaratkan laksana
samudera,dengan syariat sebagai perahunya,yang ditemukan dengan ilmu.
Mila
ampun ngantos luput, dingin nglampahi saréngat, tumuli tarékat menawi kiat,
namung kaprahé piyambak niki, supe anggenipun ngawiti.
Artinya
:
Maka
jangan sampai keliru, mendahulukan menjalani syariat, kemudian tarekat jika
mampu, namun umumnya kita ini, lupa saat memulai.
Mila
saksampunipun, dalem sawek sesuwunan, mugiya tansah pinaringan, jembaring dalan
kanugrahan, rahmat welas asihing Pangeran.
Artinya
:
Maka
setelahnya, hamba senantiasa memohon, semoga terus mendapat, lapangnya jalan
anugerah, cinta dan kasih sayang Tuhan.
SYAHADAT
Lamuno
sampun kinucapan, rong sadat kanthi iman, kaleh puniko dereng nyekapi, kangge
ngudari budi pekerti, basuh resék sucining ati.
Artinya
:
Jika
sudah diucapkan, dua syahadat dengan iman, dua ini belumlah cukup, untuk
mengurai budi pekerti, membasuh bersih sucinya hati.
Prayuginipun
ugi mangertosi, sifat Agungé Hyang Widhi, kaleh doso gampil dipun éngeti,
wujud, kidam lawan baqa, mukalapah lil kawadisi.
Artinya
:
Seyogyanya
juga mengerti, sifat Keagungan Tuhan, dua puluh mudah dimengerti, wujud, qidam,
dan baqa, mukhalafah lil hawâdis.
Limo
qiyam binafsihi, wahdaniyat, kodrat, irodat, songo ilmu doso hayat, samak basar
lawan kalam, pat belas iku aran kadiran.
Artinya
:
Lima
qiyâmuhu bi nanafsihi, wahdaniyat, qodrat, iradat, sembilan ilmu, sepuluh
hayat, sama&lsquo, bashar, kalam, empat belas qadiran.
Muridan
kaping limolas, aliman, hayan pitulasé, lawan samian ampun supé, banjur basiron
madep manteb, mutakalliman ingkang tetep.
Artinya
:
Muridan
nomor lima belas, aliman, hayan nomor tujuh belas, kemudian samian jangan lupa,
terus bashiran dengan mantab, mutakalliman yang tetap.
Nuli
papat kinanggitan, dadi sifat mulyané utusan, sidik, tablik ora mungkur,
patonah sabar kanthi srah, anteng-meneng teteping amanah.
Artinya
:
Kemudian
empat disebutkan, menjadi sifat kemuliaan utusan, sidiq, tabligh tidak mundur,
fathanah sabar dengan berserah, diam tenang bersama amanah.
Kaleh
doso sampun kasebat, mugiyo angsal nikmating rahmat, tambah sekawan tansah
ingeti, dadiho dalan sucining ati, ngertosi sir Hyang Widhi.
Artinya
:
Dua
puluh sudah disebut, semoga mendapat nikmatnya rahmat, ditambah empat teruslah
ingat, jadilah jalan mensucikan hati, mengetahui rahasia Yang Mahasuci.
SHALAT
Limang
waktu dipun pesti, nyekel ngegem sucining agami, agami budi kang nami Islam,
rasul Muhammad dadi lantaran, tumurune sapangat, rahmat lan salam.
Artinya
:
Lima
waktu sudah pasti, memegang kesucian agama,agama budi yang bernama Islam,rasul
Muhammad yang menjadi perantara,turunnya pertolongan, rahmat, dan keselamatan.
Rino
wengi ojo nganti lali, menawi kiat anggoné nglampahi, kronten salat dadi tondo,
tulus iklasing manah kito, nyepeng agami tanpo pamekso.
Artinya
:
Siang
malam jangan lupa, jika kuat dalam menjalani, karena shalat menjadi tanda,
tulus ikhlasnya hati kita, mengikuti agama tanpa dipaksa.
Ngisak,
subuh kanthi tuwuh, tumuli luhur lawan asar, dumugi maghrib ampun kesasar,
lumampahano srah lan sabar, jangkep gangsal unénan Islam.
Artinya
:
Isyak,
Shubuh dengan penuh, kemudian Luhur dan Ashar,sampai Maghrib jangan kesasar,
jalanilah dengan pasrah dan sabar, genap lima disebut Islam.
Kanthi
nyebut asmané Allah, Sak niki kita badé milai, ngudari makna ingkang wigati,
makna saéstu limang wektu, pramila ingsun sesuwunan, tambahing dungo panjengan.
Artinya
:
Dengan
menyebut nama Allah, sekarang kita akan mulai, mengurai makna yang
tersembunyi,makna sesungguhnya lima waktu,karenanya hamba memohon,tambahnya doa
Anda sekalian.
ISYAK
Sun
kawiti lawan ngisak, wektu peteng jroning awak, mengi kinancan cahya wulan,
sartané lintang tambah padang, madangi petengé dalan.
Artinya
:
Hamba
mulai dengan isyak,waktu gelap dalam jiwa,malam bersama cahaya bulan,bersanding
bintang bertambah terang,menerangi gelapnya jalan.
Semono
ugi awak nira, wonten jroning rahim ibu, dewekan tanpa konco, amung cahyo
welasing Gusti, ingkang tansah angrencangi.
Artinya
:
Seperti
itu jasad kamu,di dalam rahim seorang ibu,sendirian tanpa teman, hanya cahaya
kasih Tuhan, yang senantiasa menemani.
SHUBUH
Tumuli
subuh sak wusé fajar, banjur serngéngé metu mak byar, padang jinglang sedanten
kahanan, sami guyu awak kinarasan, lumampah ngudi panguripan.
Artinya
:
Kemudian
shubuh setelah fajar,lalu matahari keluar bersinar,terang benderang semua
keadaan,bersama tertawa badan sehat,berjalan mencari kehidupan.
Duh
sedulur mangertiya, iku dadi tanda lahiring sira, lahir saking jroning batin,
batin ingkang luhur, batin ingkang agung.
Artinya
:
Wahai
saudara mengertilah, itu menjadi tanda kelahiranmu, lahir dari dalam batin,
batin yang luhur, batin yang agung.
ZHUHUR
Luhur
teranging awan, tumancep duwuring bun-bunan, panas siro ngraosaké, tibaning
cahyo serngéngé, lérén sedélok gonmu agawé.
Artinya
:
Zhuhur
terangnya siang,menancap di atas ubun-ubun, panas kiranya kau rasakan, jatuhnya
cahaya matahari, berhenti sebentar dalam bekerja.
Semono
ugo podho gatékno, lumampahing umur siro, awet cilik tumeko gedé, tibaning akal
biso mbedakké, becik lan olo kelakuné.
Artinya
:
Seperti
itu juga pahamilah, perjalanan hidup kamu,dari kecil hingga dewasa,saat akal
bisa membedakan, baik dan buruk perbuatanmu.
ASHAR
Ngasar
sak durungé surup, ati-ati noto ing ati, cawésno opo kang dadi kekarep, ojo
kesusu ngonmu lumaku, sakdermo buru howo nepsu.
Artinya
:
Ashar
sebelum terbenam, hati-hatilah menata hati, persiapkan apa yang menjadi
keinginan, jangan tergesa-gesa kamu berjalan,hanya sekadar menuruti hawa nafsu.
Mulo
podho waspadaha, dho dijogo agemaning jiwa, yo ngéné iki kang aran urip, cilik,
gedé tumeko tuwo, bisoho siro ngrumangsani, ojo siro ngrumongso biso.
Artinya
:
Maka
waspadalah, jagalah selalu pegangan jiwa,ya seperti ini yang namanya hidup,
kecil, besar, sampai tua,bisalah engkau merasa,janganlah engkau merasa bisa.
MAGHRIB
Maghrib
kalampah wengi, serngéngé surup ing arah kéblat, purna oléhé madangi jagad,
mego kuning banjur jedul, tondo rino sampun kliwat.
Artinya
:
Maghrib
mendekati malam,matahari terbenam di arah kiblat, selesai sudah menerangi
dunia, mega kuning kemudian keluar, tanda siang sudah terlewat.
Duh
sedérék mugiyo melok, bilih urip mung sedélok, cilik, gedé tumeko tuwa, banjur
pejah sak nalika, wangsul ngersané Dzat Kang Kuwasa.
Artinya
:
Wahai
saudara saksikanlah, bahwa hidup hanya sebentar, kecil, besar, sampai tua,
kemudian mati seketika, kembali ke hadapan Yang Kuasa.
ZAKAT
Lamuno
siro kanugrahan, pikantuk rijki ora kurang, gunakno kanthi wicaksono, ampun
supé menawi tirah, ngedalaken zakat pitrah.
Artinya
:
Jika
engkau diberi anugerah, mendapat rezeki tidak kurang, gunakanlah dengan
bijaksana, jangan lupa jika tersisa, mengeluarkan zakat fitrah.
Zakat
lumantar ngresiki awak, lahir batin boten risak, menawi bondo tasih luwih,
tumancepno roso asih, zakat mal kanthi pekulih.
Artinya
:
Zakat
untuk membersihkan diri, lahir batin tidak rusak, jika harta masih berlimpah,
tanamkanlah rasa belas kasih, zakat kekayaan tanpa pamrih.
Pakir,
miskin, tiyang jroning paran, ibnu sabil kawastanan, lumampah ngamil, tiyang katah
utang, rikab, tiyang ingkang berjuang, muallap nembé mlebu Islam.
Artinya
:
Fakir,
miskin, orang berpergian,ibn sabil dinamakan,kemudian amil, orang yang banyak
hutang, budak, tiyang ingkang berjuang,muallaf yang baru masuk Islam.
Zakat
nglatih jiwo lan rogo, tumindak becik kanthi lélo, ngraosaken sarané liyan,
ngudari sifat kamanungsan, supados angsal teteping iman.
Artinya
:
Zakat
melatih jiwa dan raga,menjalankan kebajikan dengan rela,merasakan penderitaan
sesame,mengurai sifat kemanusiaan, supaya mendapat tetapnya iman.
PUASA
Posoning
rogo énténg dilakoni, cegah dahar lan ngombé jroning ari, ananging pasaning
jiwa, iku kang kudhu dén reksa, tumindak asih sepining cela.
Artinya
:
Puasa
badan mudah dilakukan,mencegah makam dan minum sepanjang hari,namun puasa
jiwa,itu yang seharusnya dijaga,menebar kasih sayang menjauhi pencelaan.
Semanten
ugi pasaning ati, tumindak alus sarengé budi, supados ngunduh wohing pakerti,
pilu mahasing sepi, mayu hayuning bumi.
Artinya
:
Demikian
pula puasa hati, sikap lemah lembut sebagai cermin kehalusan budi, supaya
mendapat kebaikan sesuai dengan apa yang dingini, tiada harapan yang
diinginkan, kecuali hanya ketentraman dan keselamatan dalam kehidupan.
HAJI
Kaji
dadi kasampurnan, rukun lima kinebatan, mungguhing danten tiyang Islam, zarohi
tanah ingkang mulyo, menawi tirah anané bondo.
Artinya
:
Haji
menjadi kesempurnaan,rukum lima yang disebutkan, untuk semua orang Islam,
mengunjungi tanah yang mulia, jika ada kelebihan harta.
Nanging
ojo siro kliru, mahami opo kang dén tuju, amergo kaji sakdermo dalan, dudu
tujuan luhuring badan, pak kaji dadi tembungan.
Artinya
:
Tapi
janganlah engkau keliru,memahami apa yang dituju,karena haji hanya sekadar
jalan,bukan tujuan kemuliaan badan, jika pulang dipanggil Pak Haji.
Kaji
ugi dadi latihan, pisahing siro ninggal kadonyan, bojo, anak lan keluarga,
krabat karéb, sederek sedaya, kanca, musuh dho lélakna.
Artinya
:
Haji
juga untuk latihan, perpisahanmu meninggalkan keduniaan, istri, anak, dan
keluarga,karib kerabat, semua saudara, teman dan musuh relakanlah.