ADEGING NAGARI SURAKARTA HADININGRAT
ꦱꦼꦏꦂꦣꦤ꧀ꦝꦁꦒꦸꦭ
ꦏꦁꦕꦶꦤꦠꦸꦂꦱꦼꦗꦫꦃꦩꦠꦮꦶꦱ꧀
ꦮꦸꦱ꧀ꦚꦤꦠꦄꦒꦸꦁꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀
ꦱꦸꦫꦸꦠ꧀ꦲꦤꦺꦁꦒꦭ꧀ꦮꦔꦶꦤꦺ꧈
ꦏꦸꦛꦒꦫꦏꦺꦣꦠꦸꦤ꧀
ꦥ꧀ꦭꦺꦫꦺꦠ꧀ꦝꦶꦤꦸꦭꦸꦫꦶꦱꦏ꧀ꦱꦩꦶ꧈
ꦩꦂꦩꦠꦤ꧀ꦥꦤ꧀ꦠꦺꦱ꧀ꦝꦣꦾ꧈
ꦥꦸꦱꦺꦫꦶꦁꦥꦿꦗꦒꦸꦁ꧈
ꦱꦶꦒꦿꦱꦁꦧꦒꦶꦤ꧀ꦝꦄꦂꦱ꧈
ꦔꦭꦶꦃꦄꦩꦿꦶꦃꦭꦸꦩꦱ꧀ꦠꦫꦶꦪꦏꦁꦤꦺꦒꦿꦶ꧈
ꦫꦶꦤꦼꦩ꧀ꦧꦏ꧀ꦭꦤ꧀ꦥꦿꦥꦠꦾ꧉
ꦠꦤ꧀ꦠꦶꦤꦸꦭꦶꦱ꧀ꦥꦤꦶꦠꦶꦏꦶꦁꦱꦶꦠꦶ꧈
ꦏꦁꦥꦶꦤꦁꦏꦲꦔꦭꦶꦃꦤꦒꦫ꧈
ꦥꦣꦺꦤꦺꦣꦠꦸꦭꦪꦤꦺ꧈
ꦥꦶꦤ꧀ꦝꦃꦚꦮꦸꦱ꧀ꦠꦶꦤꦩ꧀ꦠꦸ꧈
ꦲꦮꦶꦠ꧀ꦝꦼꦤꦼꦲꦔꦸꦕꦶꦮꦤꦶ꧉
ꦠꦶꦠꦶꦱꦗꦸꦩꦺꦤꦺꦁꦚ꧈
ꦄꦩꦿꦭ꧀ꦏꦁꦱꦶꦤꦸꦮꦸꦤ꧀
ꦩꦥꦤ꧀ꦮꦸꦱ꧀ꦮꦶꦤꦺꦕꦺꦁꦗꦁꦏ꧈
ꦠꦩꦠ꧀ꦧꦧꦣ꧀ꦥ꧀ꦭꦺꦫꦺꦠ꧀ꦧꦮꦧꦺꦴꦪꦺꦴꦁꦮꦸꦏꦶꦂ꧈
ꦠꦶꦭꦂꦠꦶꦭꦱ꧀ꦠꦤ꧀ꦏꦺꦴꦕꦥ꧀꧈
ꦪꦺꦤ꧀ꦱꦶꦤꦸꦁꦒꦶꦁꦥꦿꦧꦼꦧꦼꦣꦿꦱꦩꦶ꧈
ꦱꦼꦁꦏꦸꦠ꧀ꦧꦶꦏꦸꦠ꧀ꦒꦼꦚꦤꦩ꧀ꦧꦸꦠ꧀ꦏꦂꦪ꧈
ꦣꦠꦤ꧀ꦔꦸꦔꦏ꧀ꦫꦺꦫꦶꦮꦺꦤꦺ꧈
ꦲꦩꦁꦏꦸꦫꦠ꧀ꦗꦺꦗꦸꦭꦸꦏ꧀
ꦥꦶꦁꦣ꧀ꦮꦶꦮꦸꦱ꧀ꦥꦸꦂꦤꦲꦔꦾꦱꦤꦶ꧈
ꦏꦣꦠꦺꦴꦤ꧀ꦮꦤꦏꦂꦠ꧈
ꦠꦸꦲꦸꦱꦶꦤꦺꦁꦏꦸꦪꦸꦁ꧈
ꦱꦶꦁꦥꦿꦲꦔꦣꦺꦥ꧀ꦗꦼꦁꦱꦸꦤꦤ꧀
ꦏꦸꦏꦸꦃꦧꦏꦸꦃꦠꦁꦒꦥ꧀ꦕꦺꦴꦧꦤꦶꦁꦲꦾꦁꦮꦶꦣꦶ꧈
ꦲꦒꦭ꧀ꦲꦭꦸꦱ꧀ꦝꦸꦩꦮꦃ꧉
(ꦱꦼꦏꦂꦣꦤ꧀ꦝꦁꦒꦸꦭ)
Sekar Dhandanggula
Kang cinatur sejarah Matawis,
Wusnya Nata Agung Hamangkurat,
Surut haneng Galwangine,
Kuthagara Kedhatun,
Pleret dinulu risak sami,
Marma tan pantes dadya,
Pusering praja gung,
Sigra Sang Baginda arsa,
Ngalih amrih lumastariya kang negri,
Rinembak lan pra Patya.
Tan tinulis panitiking siti,
Kang pinangka hangalih nagara,
Padene dhatulayane,
Pindahnya wus tinamtu,
Hawit dene hanguciwani.
Titi sajumenengnya,
Amral kang Sinuwun,
Mapan wus wineceng jangka,
Tamat babad Pleret bawa boyong wukir,
Tilar tilas tan kocap.
Yen sinungging pra bebedra sami,
Sengkut bikut genya nambut karya,
Datan ngungak reriwene,
Hamangkurat jejuluk,
Ping dwi wus purna hangyasani,
Kadhaton wana karta,
Tuhu sinengkuyung,
Sing pra hangadhep Jeng Sunan,
Kukuh bakuh tanggap cobaning Hyang Widi,
Hagal halus dhumawah.
(Sekar Dhandanggula)
Dalam Penanggalan Jawa, pada tanggal 17 Suro 1956 bertepatan 286 tahun berdirinya Nagari Kraton Surakarta Hadiningrat.
Penanggalan Jawa memakai perhitungan hari sesuai putaran bulan terhadap bumi, sedangkan Masehi mengikuti putaran bumi terhadap matahari. Selisih tahun kalender Jawa dan Masehi adalah 67 tahun. Maka, jika memakai tanggalan 2021, dalam perhitungan tanggalan Jawa masih tahun 1954.
Ketika Kraton Kartasura di serang pemberontak, Susuhunan Pakubuwana II didampingi seluruh keluarga besar Kraton Kartasura keluar dari Istana Kartasura menuju Kadipaten Ponorogo. Setelah kondisi kerajaan mulai aman, Susuhunan Pakubuwana II berkenan kembali ke Kraton Kartasura.
Sesampai di Kraton Kartasura, demi melihat kondisi istana yang porak poranda, Susuhunan kemudian memanggil Raden Tumenggung Mangkuyudo, Mas Ngabehi Honggowongso untuk mencari tanah yang cocok untuk mendirikan Istana ibukota nagari Mataram yang baru.
Tidak lama waktu berselang akhirnya para utusan kembali ke Kraton Kartasura dan menghadap Susuhunan Pakubuwana II.
RT Mangkuyudo dan Mas Ngabehi menyampaikan hasil dari pencarian tanah yang cocok untuk mendirikan istana yang baru, menurut mereka tanah yang cocok adalah dusun Sala, sekitar 10 km timur Kraton Kartasura. Dan Susuhunan Pakubuwana II menyetujui usulan dari dua bawahannya tersebut. Kelak Mas Ngabehi Honggowongso mendapat anugrah pangkat dan asma baru, Tumenggung Arung Binang I, Bupati Sewu Kraton Kartasura. Dan kepada Raden Tumenggung Mangkuyuda setelah Susuhunan Pakubuwana II bertahta di Kraton Surakarta, beliau mendapat paringan pangkat dan asma baru Raden Adipati Sinduredja, Patih Kraton Surakarta.
Setelah Susuhunan Pakubuwana II menyetujui pemilihan tanah tersebut selanjutnya lewat para abdi setianya kemudian Susuhunan Pakubuwono II membeli tanah dari Sesepuh Desa Sala yaitu Ki Gede Sala dengan harga sebesar 10.000 ringgit.Yang jaraknya 10 km di timur Kraton Kartasura. Dan mulai dibangunlah Kraton sebagai pusat / ibu kota pemerintahan Mataram yang baru
Boyong Kedaton dari Kraton Kartasura ke Kraton Surakarta menurut penanggalan Jawa dilaksanakan pada hari Rabu Pahing 17 Sura 1670 . Sesengkalan Kambuling Puja Asyarsa hing Ratu.
Dalam Serat Kedhaton disebutkan :
Sigra jengkar saking Kartawani
Ngalih Kedhaton mring dhusun Sala
Kebut sawadya balane
Busekan sapraja gung
Pinengatan hangkate huni
Hanuju hari Buda henjing wancinipun
Wimbaning lek ping Sapta Wlas
Sura He je kombuling Pudya Kapyarsi
Hing Nata kang sangkala"
Secara resmi Kraton Mataram yang baru tersebut dinamakan "Kraton Surakarta Hadiningrat" . Dan mulai berfungsi pada tanggal 17 Februari 1745 M dalam penanggalan Jawa 17 Suro 1670.
Dan selanjutnya tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Kraton Surakarta Hadiningrat.
SEJARAH SURAKARTA HADININGRAT
Kesultanan Mataram yang kacau akibat pemberontakan Trunajaya pada tahun 1677 ibu kotanya oleh Sri Susuhunan Amangkurat II dipindahkan di Keraton Kartasura. Pada masa Sri Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan, pada tahun 1742, terjadi perang besar hingga menyebabkan Mataram mendapat serbuan dari orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC, dan Mataram yang berpusat di Kartasura saat itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa Bangkalan yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Sri Susuhunan Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibu kota Mataram yang baru.
Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur pun kemudian dianggap sudah "tercemar". Sri Susuhunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota dan tempat pembangunan keraton yang baru. Setelah menemukan lokasi yang tepat, dibangunlah keraton baru berjarak sekitar 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, tepatnya di Desa Sala, tidak jauh dari Bengawan Solo. Untuk pembangunan keraton ini, Sri Susuhunan Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gedhe Sala. Saat keraton dibangun, Ki Gedhe Sala meninggal dan dimakamkan pada salah satu tempat di area Baluwarti, kawasan di dalam tembok kompleks keraton.
Setelah istana kerajaan selesai dibangun dan ditempati, nama Desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Kata sura dalam Bahasa Jawa berarti "keberanian" dan karta berarti "makmur"; dengan harapan bahwa Surakarta menjadi tempat dimana penghuninya adalah orang-orang yang selalu berani berjuang untuk kebaikan serta kemakmuran negara dan bangsa. Dapat pula dikatakan bahwa nama Surakarta merupakan kebalikan kata dari Kartasura. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kesultanan Mataram oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kesunanan Surakarta.
Keraton Surakarta Hadiningrat atau Keraton Surakarta adalah istana resmi Kesunanan Surakarta Hadiningrat yang terletak di Kota Surakarta. Keraton ini didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II sekitar tahun 1743-1744 sebagai pengganti Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan pada tahun 1743. Arsitektur dan tata letak bangunan Keraton Surakarta mempunyai kemiripan dengan Keraton Yogyakarta Hadiningrat yang dibangun sesudahnya, dan merupakan istana dari Kesultanan Yogyakarta. Secara tradisional, Kesultanan Mataram diteruskan oleh dua kerajaan, yakni Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Total luas wilayah keseluruhan Keraton Surakarta mencapai 147 hektar, yakni meliputi seluruh area di dalam benteng Baluwarti, Alun-Alun Lor, Alun-Alun Kidul, Gapura Gladag, dan kompleks Masjid Agung Surakarta. Sementara, luas kawasan inti keraton mencapai 15 hektar.
Walaupun Kesunanan Surakarta secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1945, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Susuhunan (Sunan) dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesunanan hingga sekarang. Keraton Surakarta kini juga merupakan salah satu objek wisata utama di Kota Surakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesunanan, termasuk berbagai pemberian atau hadiah dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, Keraton Surakarta merupakan salah satu contoh arsitektur istana Jawa yang terbaik, memiliki balairung-balairung mewah dan lapangan serta paviliun yang luas.
PEMANGKU ADAT JAWA
Semula Keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana (Royal House) yang mengurusi Sri Sunan dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan Kesunanan Surakarta. Setelah tahun 1946, peran Keraton Surakarta berpusat sebagai monarki seremonial Pemangku Adat Jawa khususnya budaya Jawa gagrag (gaya) Surakarta. Begitu pula Sri Sunan tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dalam artian politik melainkan sebagai Baginda Yang Dipertuan Pemangku Takhta Adat, simbol dan pemimpin informal kebudayaan. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Surakarta.
Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun Keraton Surakarta tetap memiliki kharisma dan wibawa tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas wilayah Kesunanan Surakarta (Kota Surakarta, Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Sukoharjo); bahkan termasuk di wilayah Kadipaten Mangkunegaran (Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Wonogiri), serta di bekas wilayah Karesidenan Semarang dan Karesidenan Madiun. Selain itu, Keraton Surakarta juga aktif memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada masyarakat umum yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa, khususnya budaya Jawa gaya Surakarta, maupun perhatian dan sumbangsih mereka terhadap eksistensi Keraton Surakarta, di samping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi dalem) keraton.
Sebagai kawasan pusat pelestarian dan pengembangan budaya Jawa, Keraton Surakarta menjadi rujukan bagi para pelajar dan peneliti, bahkan yang berasal dari luar negeri, untuk belajar dan meneliti berbagai macam warisan budaya baik benda maupun tak benda yang dimiliki oleh keraton, seperti arsitektur, naskah dan kitab kuno, wayang kulit, tari, gamelan, dan sebagainya. Keraton Surakarta juga menjadi salah satu elemen penting dalam penasehat pembangunan di kota dan kabupaten-kabupaten wilayah Surakarta Raya (yang dikenal dengan akronim Subosukawonosraten). Sebagai contoh yang paling besar adalah sebagai penasehat pembangunan Jalan Tol Yogyakarta-Surakarta dan KRL Jogja-Solo.
FILOSOFI DAN MITOLOGI
Tarian sakral Bedhaya Ketawang yang hanya ditampilkan sekali dalam satu tahun.
Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak bangunan, begitu juga prosesi suatu upacara dalam keraton memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun, sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian.
Cermin besar di kanan dan kiri Kori Kamadungan Lor mengadung makna introspeksi diri. Nama Kamandungan sendiri berasal dari kata mandung yang memiliki arti berhenti. Nama Marcukundha berasal dari kata marcu yang berarti api dan kundha yang berarti wadah atau tempat, sehingga kata Marcukundha berarti melambangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung Sangga Buwana adalah simbol lingga dan Kori Sri Manganti di sebelah baratnya adalah simbol yoni. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara garebeg dikenal dengan adanya sedekah Sri Sunan yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung. Selain itu Keraton Surakarta juga memiliki mistik dan mitos serta legenda yang berkembang di tengah masyarakat. Sebagai salah satu contoh adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungan saat garebeg. Mereka mempercayai bagian-bagian gunungan itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.
Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta Hadiningrat. Ketika istana selesai dibangun, muncul sebuah ramalan bahwa Kesunanan Surakarta hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuasaan Sri Sunan hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (kari sak megare payung). Legenda ini pun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan yang terjadi.[butuh rujukan] Apabila dihitung dari pembangunan dan penempatan istana secara resmi pada 1745, maka dua ratus tahun kemudian tepatnya pada tahun 1945 negara Indonesia berdiri, dan selanjutnya kekuasaan Kesunanan benar-benar merosot. Setahun kemudian, pada 1946, Daerah Istimewa Surakarta (yang di dalamnya terdapat pemerintahan dan wilayah administratif Kesunanan Surakarta) dibekukan oleh pemerintah Indonesia karena saat itu terjadi kekacauan politik, dan pada akhirnya kekuasaan Sri Sunan hanya tinggal atas tanah adat serta masyarakat adat kerabat dekatnya saja.