Kalender Jawa
Kalender
Jawa adalah sebuah kalender yang istimewa karena merupakan perpaduan antara
budaya Islam, budaya Hindu-Buddha Jawa dan bahkan juga sedikit budaya Barat.
Dalam sistem kalender Jawa, siklus hari yang dipakai ada dua :
1. Siklus
mingguan yang terdiri dari 7 hari seperti yang kita kenal sekarang, dan
2. Siklus
pekan pancawara yang terdiri dari 5 hari pasaran.
Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung yang berusaha keras menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dalam kerangka negara Mataram mengeluarkan dekrit untuk mengubah penanggalan Saka. Sejak saat itu kalender Jawa versi Mataram menggunakan sistem kalender kamariah atau lunar, namun tidak menggunakan angka dari tahun Hijriyah (saat itu tahun 1035 H). Angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan. Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan. Sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka, diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa.
Kalender Jawa atau Penanggalan Jawa
Pananggalan Jawa adalah sistem penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahannya serta daerah yang mendapat pengaruhnya. Penanggalan ini memiliki keistimewaan karena memadukan sistem penanggalan Islam, sistem Penanggalan Hindu, dan sedikit penanggalan Julian yang merupakan bagian budaya Barat.
Sistem
kalender Jawa memakai dua siklus hari : siklus mingguan yang terdiri dari tujuh
hari (Ahad sampai Sabtu, saptawara) dan siklus pekan pancawara yang terdiri
dari lima hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Pada tahun 1633
Masehi (1555 Saka), Sultan Agung dari Mataram berusaha keras menanamkan agama
Islam di Jawa. Salah satu upayanya adalah mengeluarkan dekret yang mengganti
penanggalan Saka yang berbasis perputaran matahari dengan sistem kalender
kamariah atau lunar (berbasis perputaran bulan). Uniknya, angka tahun Saka
tetap dipakai dan diteruskan, tidak menggunakan perhitungan dari tahun Hijriyah
(saat itu 1043 H). Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan, sehingga tahun
saat itu yang adalah tahun 1555 Saka diteruskan menjadi tahun 1555 Jawa.
Dekrit
Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah Kesultanan Mataram: seluruh pulau Jawa
dan Madura kecuali Banten, Batavia (Jakarta sekarang) dan Banyuwangi
(=Balambangan). Ketiga daerah terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan
Sultan Agung. Pulau Bali dan Sumatra yang tidak mendapatkan pengaruh budaya
Jawa, juga tidak ikut mengambil alih kalender karangan Sultan Agung ini.
Dekrit
Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah kerajaan Mataram II: seluruh pulau Jawa
dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (=Balambangan). Ketiga daerah
terakhir ini tidak termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan
Palembang yang mendapatkan pengaruh budaya Jawa, juga tidak ikut mengambil alih
kalender karangan Sultan Agung ini.
Daftar
bulan Jawa Islam
Di bawah ini disajikan nama-nama bulan Jawa Islam. Sebagian nama bulan diambil dari Kalender Hijriyah dengan nama-nama Arab, tetapi beberapa di antaranya menggunakan nama dalam bahasa Sanskerta seperti Pasa, Sela, dan kemungkinan juga Sura, sedangkan nama Apit dan Besar berasal dari bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Nama-nama ini adalah nama bulan kamariah atau candra (lunar). Penamaan bulan sebagian berkaitan dengan hari-hari besar yang ada dalam bulan Hijriah, seperti Pasa yang berkaitan dengan puasa Ramadan, Mulud yang berkaitan dengan Maulid Nabi pada bulan Rabiulawal, dan Ruwah yang berkaitan dengan Nisfu Sya'ban saat amalan dari ruh selama setahun dianggap dicatat.
Nama-nama
bulan tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Warana
• Sura, artinya rijal
2.
Wadana
• Sapar, artinya wiwit
3.
Wijangga
• Mulud, artinya kanda
4.
Wiyana
• Bakda Mulud, artinya ambuka
5.
Widada
• Jumadilawal, artinya wiwara
6.
Widarpa
• Jumadilakir, artinya rahsa
7.
Wilapa
• Rejeb, artiya purwa
8.
Wahana
• Ruwah, artinya dumadi
9.
Wanana
• Pasa, artinya madya
10. Wurana • Sawal,
artinya wujud
11. Wujana • Sela,
artinya wusana
12. Wujala • Besar,
artinya kosong
Metode perhitungan
Kalender Jawa berusaha menggabungkan periode peredaran bulan, periode saptawara (mingguan) dan pancawara (pasaran) dan membuat rumusan agar penanggalan mudah dipahami oleh masyarakat luas dengan cara sederhana. Untuk memperoleh rumusan tersebut, maka diambil perhitungan siklus 8 tahun yang disebut windu. Dalam 1 windu, pergantian tahun (tanggal 1 bulan Sura) selalu jatuh pada hari-hari tertentu dan membentuk pola yang akan berulang di windu berikutnya.
Pada
awal diterapkannya kalender Jawa pada tahun 1555 Jawa Islam, ditentukan tanggal
1 Sura pada tahun Alip selalu jatuh pada hari Jumat Legi. Namun untuk
penyesuaian siklus bulan yang sesungguhnya maka setiap kurup (periode 120
tahun/15 windu) ada 1 hari yang dihilangkan. Pada saat ini, tanggal 1 Sura
tahun Alip jatuh pada hari Selasa Pon, karenanya periode ini disebut dengan
siklus kurup Alip Selasa Pon/kurup Asapon.
Di
bawah, disajikan nama-nama tahun dalam satu windu pada kurup Asapon :
Keterangan : Jumlah hari adalah 2.835, genap dibagi 35 hari pasaran.
Setelah diketahui hari pada 1 Sura, untuk menentukan hari pertama setiap bulan maka juga dibuat rumusan untuk memudahkan sebagai berikut :
Penerapan rumus di atas adalah misalnya ingin mengetahui tanggal 1 Ramlan/Pasa tahun Wawu 1953J/2020M pada hari apa, maka langkahnya adalah :
Tahun
Wawu tanggal 1 Sura dimulai hari Ahad Wage
rumus
bulan Pasa adalah Lannemro (6-2) artinya dihitung hari keenam dari Ahad
(hasilnya Jumat) dan hari kedua dari Wage (hasilnya Kliwon) sehingga tanggal 1
Pasa jatuh pada hari Jumat Kliwon.
Nama
Tahun
Nama-nama
tahun tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Purwana
• Alip, artinya ada-ada (mulai berniat)
2.
Karyana
• Éhé, artinya tumandang (melakukan)
3.
Anama
• Jemawal, artinya gawé (pekerjaan)
4.
Lalana
• Jé, artinya lelakon (proses, nasib)
5.
Ngawana
• Dal, artinya urip (hidup)
6.
Pawaka
• Bé, artinya bola-bali (selalu kembali)
7.
Wasana
• Wawu, artinya marang (arah)
8.
Swasana
• Jimakir, artinya suwung (kosong)
9.
Windu
sendiri bergulir selama empat putaran (32 tahun Jawa): Adi, Kuntara, Sangara,
dan Sancaya.
Siklus Kurup
Meskipun
kalender Jawa telah beralih sistem pada zaman Sultan Agung, para ahli
penanggalan masih terus mengamati ketepatan perhitungannya dengan kalender
hijriyah/lunar yang berdasarkan pengamatan visual (rukyat). Kalender Jawa
memiliki 3 tahun kabisat setiap 1 windu sedangkan kalender Hijriyah memiliki 11
tahun kabisat setiap 30 tahun sehingga dalam kurun 120 tahun (15 windu) jumlah
tahun Jawa kabisat ada 45 sedangkan tahun hijriyah ada 44 sehingga ada 1 hari
setiap 120 tahun yang harus dibuang. Siklus 120 tahun ini disebut kurup.
Susuhunan
Pakubuwana V dari Kasunanan Surakarta memutuskan untuk mengakhiri Kurup Kamis
Kliwon pada tahun 1748J meskipun baru berjalan 9 windu karena para ahli
menyadari penanggalan Jawa masih tertinggal 1 hari dibandingkan kalender
hijriyah sehingga tahun Ehe 1748 yang seharusnya kabisat (355 hari) dibuat
hanya 354 hari. Sebagian ahli menyatakan langkah tersebut terlambat dilakukan
karena akan lebih tepat jika pergantian kurup seharusnya dilakukan pada 2 tahun
sebelumnya yaitu tahun Alip 1747. Konsekuensi dari keterlambatan ini maka umur
kurup Arbaiyah Wage hanya 118 tahun. Namun Kasultanan Yogyakarta tidak membuat
keputusan serupa sehingga penanggalan di kedua wilayah terjadi selisih selama
beberapa tahun dan baru mengikuti Surakarta pada Jimakir 1794J/1865M atas
perintah Sultan Hamengkubuwana VI dan menyekapati kurup tersebut akan berakhir
pada tahun Jimakir 1866.
Pengaruh kurup dalam peribadahan
Meskipun
kedua kerajaan telah sepakat kurup Aboge berakhir pada tahun Jimakir 1866 dan
berganti menjadu kurup Asapon, sebagian masyarakat yang jauh dari kraton tetap
menggunakan kalender berdasarkan kurup Alip Rabu Wage (Aboge) sehingga dalam
penentuan tanggal 1 Pasa (Ramadan) dan 1 Sawal (Syawal) sehingga mereka memulai
puasa dan Idul Fitri terlambat sehari dibanding masyarakat pada umumnya. Hal
ini terjadi pada beberapa komunitas kecil di Banyumas, Purbalingga, Cilacap[7]
dan Probolinggo[8] yang menyebut dirinya Islam Aboge. Kurangnya kesadaran
terhadap perubahan kurup Aboge menjadi Asapon pada tahun Alif 1867J/1936M
diduga disebabkan oleh memudarnya pengaruh kraton pada masyarakat Jawa yang
jauh dari lingkungan kraton pada masa itu.
Pembagian pekan
Orang Jawa pada masa pra Islam mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari saja, tetapi dari 2 sampai 10 hari. Pekan-pekan ini disebut dengan nama-nama dwiwara, triwara, caturwara, pañcawara (pancawara), sadwara, saptawara, astawara dan sangawara. Zaman sekarang hanya pekan yang terdiri atas lima hari dan tujuh hari saja yang dipakai, tetapi di pulau Bali dan di Tengger, pekan-pekan yang lain ini masih dipakai.
Pekan
yang terdiri atas tujuh hari dihubungkan dengan sistem bulan-bumi. Gerakan (solah)
dari bulan terhadap bumi berikut adalah nama dari ke tujuh nama hari tersebut :
1.
Radite
• Minggu, melambangkan meneng (diam)
2.
Soma
• Senin, melambangkan maju
3.
Hanggara
• Selasa, melambangkan mundur
4.
Budha
• Rabu, melambangkan mangiwa (bergerak ke kiri)
5.
Respati
• Kamis, melambangkan manengen (bergerak ke kanan)
6.
Sukra
• Jumat, melambangkan munggah (naik ke atas)
7. Tumpak • Sabtu, melambangkan temurun (bergerak turun)
Pekan
yang terdiri atas lima hari ini disebut sebagai pasar oleh orang Jawa dan
terdiri dari hari-hari :
1.
Legi
2.
Pahing
3.
Pon
4.
Wage
5. Kliwon
Hari-hari
pasaran merupakan posisi sikap (patrap) dari bulan sebagai berikut :
1.
Kliwon
• Asih, melambangkan jumeneng (berdiri)
2.
Legi
• Manis, melambangkan mungkur (berbalik arah kebelakang)
3.
Pahing
• Pahit, melambangkan madep (menghadap)
4.
Pon
• Petak, melambangkan sare (tidur)
5.
Wage
• Cemeng, melambangkan lenggah (duduk)
Kemudian sebuah pekan yang terdiri atas tujuh hari ini, yaitu yang juga dikenal di budaya-budaya lainnya, memiliki sebuah siklus yang terdiri atas 30 pekan. Setiap pekan disebut satu wuku dan setelah 30 wuku maka muncul siklus baru lagi. Siklus ini yang secara total berjumlah 210 hari adalah semua kemungkinannya hari dari pekan yang terdiri atas 7, 6 dan 5 hari berpapasan.
Penampakan
bulan dalam penanggalan jawa :
1.
Tanggal
1 bulan Jawa, bulan kelihatan sangat kecil-hanya seperti garis, ini dimaknakan
dengan seorang bayi yang baru lahir, yang lama-kelamaan menjadi lebih besar dan
lebih terang.
2.
Tanggal
14 bulan Jawa dinamakan purnama sidhi, bulan penuh melambangkan dewasa yang
telah bersuami istri.
3.
Tanggal
15 bulan Jawa dinamakan purnama, bulan masih penuh tetapi sudah ada tanda
ukuran dan cahayanya sedikit berkurang.
4.
Tanggal
20 bulan Jawa dinamakan panglong, orang sudah mulai kehilangan daya ingatannya.
5.
Tanggal
25 bulan Jawa dinamakan sumurup, orang sudah mulai diurus hidupnya oleh orang
lain kembali seperti bayi layaknya.
6.
Tanggal
26 bulan Jawa dinamakan manjing, di mana hidup manusia kembali ketempat asalnya
menjadi rijal lagi.
7.
Sisa
hari sebanyak empat atau lima hari melambangkan saat di mana rijal akan mulai
dilahirkan kembali kekehidupan dunia yang baru.
Daftar bulan Jawa matahari
Pada tahun 1856 Masehi, karena penanggalan kamariah dianggap tidak memadai sebagai patokan para petani yang bercocok tanam, maka bulan-bulan musim atau bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata mangsa, diresmikan oleh Sunan Pakubuwana VII. Sebenarnya, pranata mangsa ini adalah pembagian bulan yang sudah digunakan pada zaman pra-Islam, hanya saja disesuaikan dengan penanggalan tarikh kalender Gregorian yang juga merupakan kalender surya dan meninggalkan tarikh Hindu; akibatnya, umur setiap mangsa berbeda-beda.
Keterangan
Dalam
bahasa Jawa Kuno, mangsa kesebelas disebut Apit Lemah, sedangkan mangsa
keduabelas disebut sebagai Apit Kayu. Nama Dhesta diambil dari nama bulan
kesebelas penanggalan Hindu dari bahasa Sanskerta, yaitu Jyeṣṭha. Nama Sadha
diambil dari kata Āṣāḍha yang merupakan bulan kedua belas.
DAFTAR BULAN JAWA ISLAM
Di
bawah ini disajikan nama-nama bulan Jawa Islam. Sebagian nama bulan diambil
dari Kalender Hijriyah, dengan nama-nama Arab, namun beberapa di antaranya
menggunakan nama dalam bahasa Sansekerta seperti Pasa, Sela dan kemungkinan
juga Sura. Sedangkan nama Apit dan Besar berasal dari bahasa Jawa dan bahasa
Melayu. Nama-nama ini adalah nama bulan kamariah atau candra (lunar).
1.
Sura
2.
Sapar
3.
Mulud
4.
Bakda
Mulud
5.
Jumadilawal
6.
Jumadilakir
7.
Rejeb
8.
Ruwah
(Arwah, Saban)
9.
Pasa
(Puwasa, Siyam, Ramelan)
10. Sawal
11. Sela (Dulkangidah,
Sela, Apit) *
12. Besar (Dulkijah)
*)Nama
alternatif bulan Dulkangidah adalah Sela atau Apit. Nama-nama ini merupakan
peninggalan nama-nama Jawa Kuna untuk nama musim ke-11 yang disebut sebagai
Hapit Lemah. Sela berarti batu yang berhubungan dengan lemah yang artinya
adalah “tanah”. Lihat juga di bawah ini.
BULAN JAWA KALENDER MATAHARI
Pada
tahun 1855 Masehi, karena penanggalan komariah dianggap tidak memadai sebagai
patokan para petani yang bercocok tanam, maka bulan-bulan musim atau
bulan-bulan surya yang disebut sebagai pranata mangsa, dikodifikasikan oleh Sri
Paduka Mangkunegara IV atau penggunaannya ditetapkan secara resmi. Sebenarnya
pranata mangsa ini adalah pembagian bulan yang asli Jawa dan sudah digunakan
pada zaman pra-Islam. Lalu oleh beliau tanggalnya disesuaikan dengan penanggalan
tarikh kalender Gregorian yang juga merupakan kalender surya. Tetapi lama
setiap mangsa berbeda-beda.
Pranata
Mangsa (baca : panoto mongso) sebagai berikut :
1.
Kasa
- (23 Juni-2 Agustus)
2.
Karo
- (3 Agustus-25 Agustus)
3.
Katiga
(Katelu) - (26 Agustus-18 September)
4.
Kapat
- (19 September-13 Oktober)
5.
Kalima
- (14 Oktober-9 November)
6.
Kanem
- (10 November-22 Desember)
7.
Kapitu
- (23 Desember-3 Februari)
8.
Kawolu
- (4 Februari-1 Maret)
9.
Kasanga
- (2 Maret-26 Maret)
10. Kasepuluh - (27
Maret-19 April)
11. Dhesta - (20
April-12 Mei)
12. Sadha - (13 Mei-22
Juni)
Dalam
bahasa Jawa Kuna mangsa kesebelas disebut hapit lemah sedangkan mangsa
keduabelas disebut sebagai hapit kayu. Lalu nama dhesta diambil dari nama bulan
ke-11 penanggalan Hindu dari bahasa Sansekerta jyes.t.ha dan nama sadha diambil
dari kata âs.âd.ha yang merupakan bulan keduabelas.
SIKLUS WINDU
Budaya
Barat menggabung-gabungkan tahun-tahun kedalam kelompok 100 tahun (century,
abad), dekade (10 tahun), maka kalender Jawa menggabungkan tahun-tahun menjadi
semacam dekade yang terdiri dari delapan satuan lebih kecil dari abad atau
dekade. Setiap satuan Jawa ini terdiri atas 8 tahun dan disebut Windu. Di bawah
disajikan nama-nama windu :
1.
Alip
2.
Ehe
3.
Jimawal
4.
Je
5.
Dal
6.
Be
7.
Wawu
8.
Jimakir
PEMBAGIAN PEKAN
Siklus
Pekan hari dalam istilah umum adalah 7 hari. Pekan dalam bahasa Jawa adalah
(peken : pasar), sehingga satu pekan adalah 5 hari pasaran.
Pada
masa Pra-Islam, orang Jawa mengenal pekan yang lamanya tidak hanya tujuh hari
saja, namun dari 2 sampai 10 hari. Pekan-pekan ini disebut dengan nama-nama :
1.
dwiwara,
2.
triwara,
3.
caturwara,
4.
pañcawara
(pancawara),
5.
sadwara,
6.
saptawara,
7.
astawara
dan
8.
sangawara.
Zaman
sekarang hanya pekan yang terdiri atas lima hari dan tujuh hari saja yang
dipakai, namun di pulau Bali dan di Tengger, pekan-pekan yang lain ini masih
dipakai.
Pekan
dalam arti Pasar, terdiri atas lima hari ini terdiri dari hari-hari :
1.
Legi,
2.
Paing,
3.
Pon,
4.
Wage,
dan
5.
Kliwon.
Penggabungan
antara Siklus 5 hari pasaran dengan Siklus 7 hari kalender matahari yang berarti
(5 x 7) = 35 hari, disebut Selapan , mis : Selasa Pon, Minggu Pahing, dls pasti
akan ketemu setiap 35 hari kedepannya. Jika budaya barat merayakan hari lahir
setiap tahun sekali, maka Masyarakat Jawa memperingati hari kelahiran setiap 35
hari sekali yang dirayakan dengan acara "bancakan" dengan membuat
Jenang Merah Putih atau "Nasi Megono" mengundang teman-teman sebaya.
Kemudian
istilah pekan yang terdiri atas tujuh hari ini, yaitu yang juga dikenal di
budaya-budaya lainnya, memiliki sebuah siklus yang terdiri atas 30 pekan.
Setiap pekan disebut satu wuku dan setelah 30 wuku maka muncul siklus baru
lagi. Siklus ini yang secara total berjumlah 210 hari adalah semua
kemungkinannya hari dari pekan yang terdiri atas 7, 6 dan 5 hari berpapasan.