Nggayuh Geyonganing Kayun
(Serat Wedatama bait 16)
Anggayuh Geyongane Kayun.
Mboten amung kandeg ing gagasan, nanging kedah tumandang.
Mboten amung kendel ing pangangkah, ananging kedah jumangkah.
Bait ini masih melanjutkan bait terdahulu tentang perilaku Panembahan Senopati yang layak dijadikan tauladan bagi setiap generasi sesudahnya. Beliau adalah raja yang selalu menyebarkan kesejukan bagi setiap orang yang ditemui. Namun beliau juga tidak lalai dalam kehidupan spiritual, tetap hidup prihatin agar tercapai ketenangan jiwa. Sungguh citra seorang raja pinandita.
Selengkapnya bait ke-16 adalah sebagai berikut :
Samangsane pasamuwan,
Mamangun marta martani,
Sinambi ing saben mangsa,
Kala kalaning asepi,
Lelana teki-teki,
Nggayuh geyonganing kayun,
Kayungyun heninging tyas,
Sanityasa pinrihatin,
Puguh panggah cegah dhahar lawan guling.
Maknanya :
Dalam setiap pertemuan,
Menciptakan suasana tenang dan menyejukkan,
Sambil di setiap waktu,
Di kala ada waktu luang,
Mengembara bertapa,
Menggapai kecenderungan hati,
Terpesona ketenangan hati,
Senantiasa melakukan hidup prihatin,
Berpegang teguh mencegah makan maupun tidur.
Gathuk mathuk penafsiran :
Samangsane (dalam setiap) pasamuwan (pertemuan), mamangun (mencipta, membentuk) marta (santun, tenang) martani (menyejukkan). Dalam setiap pertemuan selalu menciptakan suasana tenang dan menyejukkan.
Ini berkaitan dengan perilaku dari raja pertama Mataram Panembahan Senopati yang selalu bersikap tenang, sareh, dan menyebarkan kesejukan dalam setiap pertemuan.
Sinambi (sambil) ing (di) saben (setiap) mangsa (waktu). Kala (di kala) kalaning ( ada waktu) asepi (luang, sepi pekerjaan). Sambil di setiap waktu, di kala ada waktu luang.
Walaupun sang Raja sangat sibuk, manakala ada waktu luang di sela-sela kesibukan, maka beliau menyempatkan melakukan hal-hal selain urusan pemerintahan.
Lelana (mengembara) teki–teki (teteki, bertapa). Mengembara untuk menyendiri, berkhalwat, uzlah.
Walau seorang raja Senopati tidak melalaikan kegemaran bertapanya. Dia melakukan itu karena memang menyukai laku prihatin, tidak suka foya-foya. Karena memang ada yang dituju dalam hidupnya selain kekuasaan.
Nggayuh (menggapai) geyonganing (kecenderungan) kayun (hati). Menggapai kecenderungan hati.
Jadi bertapanya bukan untuk meraih kekuasaan, toh itu sudah didapatkan. Melainkan karena memang kecenderungan hati, cita-cita beliau adalah hidup prihatin untuk mencapai kesejatian, kesempurnaan hidup.
Kayungyun (terpesona) heninging (ketenangan) tyas (hati). Terpesona ketenangan, keheningan hati.
Bukan semata-mata bertapa untuk mencari kekuasaan yang lebih besar, tetapi untuk ketenangan hati. Tenang dalam arti dekat dengan Yang Maha Kuasa, bukan tenang dalam artian mengasingkan diri dari dunia. Toh beliau tetap bekerja sebagai raja pada setiap harinya.
Sanityasa (senantiasa) pinrihatin (melakukan hidup prihatin). Senatiasa melakukan hidup prihatin.
Bukan karena keterpaksaan, tetapi karena tingkat pengendalian diri yang sudah paripurna. Tidak gampang kapiluyu (tergoda) dalam kemewahan dunia, meski seorang raja besar yang berkuasa.
Puguh (berpegang teguh) panggah (tetap) cegah (mengurangi) dhahar (makan) lawan (maupun) guling (tidur). Berpegang teguh dengan tetap melakukan laku prihatin dengan mengurangi makan dan tidur.
Walau bisa hidup mewah sang raja justru mengurangi makan dan tidur. Itulah kunci dari hidup prihatin. Agar mata hati tetap terbuka, tidak tertutupi hawa nafsu.