AJINING DHIRI DUMUNUNG ANA ING LATHI, AJINING RAGA ANA ING BUSANA
Ukara paribasan ing dhuwur iso dimaknai :
1. Ajining dhiri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana tegese aji pamulyaning utawa kakurmataning wong ana ing tutur pangucape.
2. Ajining dhiri dumunung ing lathi tegese kapribadening manungsa ditentokake dening lambene dhewe-dhewe.
3. Ajining diri dumunung aneng lathi, ajining raga ana ing busana artinya adalah harga diri seseorang/ orang itu dpercaya dan dihargai dari apa yang dikatakannya, tetapi tampilan diri hanya dilihat dari busana yang dipakai atau appearance seseorang.
4. Ajining dhiri dumunung ana ing lathi, ajining raga ana ing busana iku salah sawijining unèn-unèn Jawa sing tegesé aji pamulyaning (kakurmataning) wong ana ing tutur pangucapé, banjur aji pamulyaning sing njaba ana ing sandhangané sing dienggo.
Penjabaran Ajining diri dumunung aneng lathi, ajining raga ana ing busana sebagai berikut :
Berdasarkan struktur kalimatnya, peribahasa ini memiliki arti, yaitu ajining dhiri dumunung ing Lathi (nilai pribadi terletak di bibir), ajining raga saka busana (nilai raga tercermin dari pakaian).
Adapun terjemahan bebasnya, yaitu nilai pribadi seseorang ditentukan oleh ucapan atau kata-katanya, sedangkan nilai penampilan sering diukur dari busana atau pakaian yang dikenakannya.
Diantara beberapa pitutur luhur tersebut salah satunya adalah ajining dhiri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana.
Ajining dhiri ana ing lathi mempunyai makna bahwa ucapan memegang peranan penting bagi seseorang karena diyakini harga diri seseorang ditentukan oleh ucapan, seseorang harus berhati-hati menjaga ucapannya. Kita harus benar-benar mempertimbangkan secara cermat akibat yang dapat ditimbulkan oleh ucapan itu. Ucapan seseorang haruslah disadari sebagai cerminan pikiran dan pribadi seseorang. Ucapan yang dapat menimbulkan citra harga diri adalah harus berdasarkan kebenaran. Sehubungan dengan itu, orang Jawa memiliki ajaran agar bila mengatakan sesuatu hendaknya dilandasi alasan atau dasar yang akurat, dan tidak diharapkan berbicara asal bicara.
Sedangkan Ajining raga ana ing busana, mempunyai makna bahwa pakaian juga memegang peranan penting bagi seseorang, orang dengan busana atau pakaian rapih tentunya menaikkan martabatnya. Dengan kata lain, busana atau pakaian secara fisik mencerminkan siapa diri kita sebenarnya. Oleh sebab itu dalam rangka melestarikan, mempromosikan, dan mengembangkan kebudayaan salah satunya melalui penggunaan busana Tradisional.
Peribahasa ini merupakan nasihat agar seseorang berhati-hati terhadap tutur kata yang diucapkannya. Sebab, apa saja yang terucap dari mulut kita akan didengarkan, diperhatikan, dan dipercaya orang lain. Contohnya, apabila sering berbohong, lama-kelamaan seseorang akan kehilangan kepercayaan.
Siapa yang suka mengucapkan kata-kata pedas yang menyakitkan hati, dia akan sulit membangun persahabatan. Sebab, orang lain akan merasa tidak senang karena ucapannya banyak melukai perasaan.
Selain ajining dhiri dumunung ing lathi, nilai seseorang dapat juga ditentukan oleh pakaiannya. Pakaian yang dimaksud oleh masyarakat Jawa bukan sekadar penutup aurat, melainkan juga menjadi tolok ukur nilai penampilan seseorang.
Contohnya, seseorang yang menghadiri pesta perkawinan, tetapi dia hanya menggunakan sandal jepit dan pakaian ala kadarnya, tentu dia akan menjadi rerasan (bahan pergunjingan). Selain itu, dia juga bisa dianggap tidak menghargai atau meremehkan pemilik rumah dan tamu undangan lainnya.
Ajining Diri Gumantung saka Lathi, Ajining Raga Gumantung saka Busana berhubungan dengan pendidikan, etika dan bahasa.
Ajining Diri Gumantung saka Lathi, Ajining Raga Gumantung saka Busana merupakan pepatah Jawa yang sudah populer ditengah kehidupan masyarakat Jawa. Arti pepatah tersebut yaitu tinggi rendahnya derajat diri manusia tergantung dari ucapannya dan pakaian yang dikenakannya. Oleh karena itu, berdasarkan pepatah ini manusia dianjurkan untuk selalu berhati-hati dalam setiap ucapannya. Ia harus selalu berucap yang baik dan dengan cara yang baik pula.
Disamping itu, manusia juga harus selalu berpakaian yang baik dan sopan.
Negeri kita sangat menjunjung norma atau sopan santun dalam bertutur kata, apalagi orang Jawa. Maka tidak heran jika orang Jawa mempunyai pedoman bahwa derajat kemuliaan seseorang dapat dilihat dari tutur bahasanya. Setinggi apapun pangkat seseorang, namun tidak mempunyai norma dalam berkata, maka dia akan rendah derajatnya. Sebanyak apapun ilmu atau gelar yang dimiliki seseorang, jika tidak sopan dalam berucap, maka ilmu dan gelarnya tiada guna. Sebanyak apapun harta yang dimiliki seseorang jika tidak mempunyai unggah-ungguh basa, maka dia tiada hormat sedikitpun baginya. Oleh karena itu penting sekali memperhatikan masalah unggah-ungguh basa.
Masalah bahasa memang merupakan masalah yang penting. Bahasa merupakan masalah pokok dalam kehidupan, bahkan merupakan kebutuhan utama. Sebab setiap hari, setiap saat, setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik kita membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu penggunaan bahasa harus menjadi perhatian kita.
Dalam tingkatan bahasa jawa memiliki tingkatan yaitu bahasa jawa ngoko, bahasa Jawa krama, bahasa jawa krama inggil, bahasa jawa krama madya dan jenis bahasa yang lain. Namun untuk tingkat dasar penguasaan mengenai ketiga jenis bahasa jawa yaitu ngoko, krama dan krama inggil yang dirasa cukup untuk digunakan sebagai patokan dalam berbicara sehari-hari.
Belajar bahasa Jawa itu sulit bila asal bicara saja, karena setiap tingkatannya mereka punya penyebutannya sendiri. Namun apabila dipelajari lebih dalam, bukan merupakan sesuatu yang sulit. Untuk itulah dalam membentuk karakter anak didik, diharapkan pendidikan bahasa jawa dapat ikut membentuk karakter anak didik.
Bahasa jawa yang seyogyanya dipakai anak berbicara dalam sehari-hari di rumah yang memiliki tingkatan. Bagaimana berbicara anak dengan sepadan artinya di usia yang hampir sama. Bahasa Jawa ngoko biasanya digunakan dengan anak yang usianya hampir sama, kalau bahasa krama atau bahasa krama inggil digunakan untuk bicara dengan orang yang lebih tua. Tingkatan inilah yang dapat membiasakan anak didik akan lebih sopan terhadap orang tua. Tidak mungkin anak akan memaki orang yang lebih tua dengan kata kasar.
Memang suatu kebanggan ketika mempunyai anak yang bisa berbahasa Indonesia atau bahkan berbahasa Inggris dengan lancar di usia dini. Tetapi tidak seharusnya kita lupa untuk mengajarkan bahasa daerah kita kepada anak-anak. Yang terjadi, justru mereka melupakan bahasa daerahnya beserta fungsi-fungsinya. Mereka tidak mau tahu tentang apa fungsi bahasa daerah dari sisi yang lain.
Bangsa Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku atau kelompok etnis di tanah air. Tiap kelompok etnis mempunyai bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam komunikasi antaretnis atau sesama suku. Bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah negara kebangsaan; apakah itu pada suatu daerah kecil, negara bagian federal atau provinsi, atau daerah yang lebih luas.
Dalam kedudukannya sebagai Bahasa Daerah sendiri, maka Bahasa Daerah sendiri berfungsi sebagai :
1. Sebagai lambang kebanggan daerah
2. Lambang identitas daerah
3. Alat penghubung di dalam keluarga dan masyarakat daerah.
Bahasa Jawa sebagai budaya daerah terus berkembang sehingga harus tetap dilestarikan agar budaya luhur ini tidak hilang. Hal ini disebutkan secara jelas dalam Pasal 36 UUD 1945 bahwa bahasa daerah yang dipelihara dengan baik oleh rakyatnya akan dipelihara juga oleh negara. Selain itu mempelajari bahasa Jawa merupakan wujud kecintaan anak didik kepada leluhurnya, karena ternyata bahasa Jawa juga menyimpan beragam keindahan yang tak terhitung nilainya. Saat ini bisa kita lihat banyak sekali turis asing yang ingin mempelajari bahasa jawa beserta kebudayaan jawa. Di Belanda terdapat sendiri terdapat Universitas yang mempelajari bahasa Jawa. Di Suriname yang namanya dulu merupakan negara jajahan Belanda banyak orang jawa yang dipekerjakan disana, akhirnya orang Surinamepun juga menggunakan bahasa jawa walaupun bahasa nasionalnya adalah bahasa Belanda. Oleh sebab itu sebagai seorang yang berdomisili di Jawa dan asli suku Jawa. Alangkah indahnya kalau kita menggunakan bahasa jawa dalam kehidupan sehari-hari. Terutama orang tua yang berperan sebagai pendidik di rumah sebaiknya mengajak anaknya untuk menggunakan bahasa jawa bukan malah menggalakkan bahasa inggris yang diajarkan.
Dari uraian di atas, dapat kita telaah tentang betapa pentingnya masalah bahasa. Maka tepat bila ada suatu ungkapan, bahasa adalah karakter yang utama. Dari beberapa karakter baik yang perlu dimiliki seseorang, bahasa yang baik merupakan karakter yang harus diutamakan. Bahkan dalam konteks agama, bahasa atau ucapan menjadi tolak ukur keimanan seseorang.
Dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad saw. dijelaskan bahwa “barang siapa mengaku beriman kepada Allah SWT. dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam”. Dalam Hadits ini dijelaskan bahwa perkataan yang baik merupakan ciri orang beriman. Perkataan baik di sini bisa berarti isinya baik, tata bahasanya baik dan cara penyampaiannya juga baik. Oleh karena itu, kita dianjurkan untuk selalu berkata yang baik.
Begitu pentingnya bahasa dalam kehidupan kita sehari-hari, juga dalam norma keindonesiaan serta dalam konteks keberagamaan. Semoga Allah selalu menjaga kita untuk senatiasa bertutur kata dengan baik. Sebagai orang tua, kita bisa membimbing dan memberi teladan ucapan yang baik bagi putra-putri kita tercinta.
Ajining Dhiri Saka Lathi, Ajining Raga Saka Busana, Ajining Awak Saka Tumindak.
Dalam kehidupan masyarakat Jawa terdapat istilah tata krama atau disebut juga unggah-ungguh. Tata krama digunakan dalam kehidupan sehari-hari dimulai dari kita bangun tidur hinga tidur lagi. Kemudian dalam bahasa Jawa ada istilah ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana, ajining awak saka tumindak.
1. Ajining dhiri saka lathi.
Mengandung makna bahwa jika kita harus menjaga lisan kita (lathi=lisan). Di kehidupan masyarakat Jawa terdapat tata krama berbicara, seperti tingkatan tingkatan tertentu, contohnya: apabila anak berbicara kepada orang tua harus mengunakan bahasa Jawa krama, sedangkan jika orang tua berbicara kepada anak boleh menggunakan bahasa ngoko.
Kemudian ajining dhiri saka lathi juga digunakan kapan saja, karena dari perkataan yang keluar dari lisan kita dapat mencerminkan siapa kita, jadi hendaknya menjaga lisan dimanapun dan kapanpun. Jika ingin dihargai orang lain maka hendaknya kita menghagai orang lain dulu ..
2. Ajining raga saka Busana.
Maksud dari istilah diatas adalah bahwa kita sebagai manusia sebaiknya mengenakan pakaian yang sopan dan sesuai situasi dan kondisi. Contohnya, apabila sedang menghadiri takziah sebaiknya tidak mengenakan pakaian yang berwarna cerah atau dengan motif yang ceria, seperti warna merah bermotif bunga atau yang lainnya, sebab warna merah dapat diartikan warna yang menunjukkan keceriaan. Lalu ketika menghadiri upacara pernikahan, sebaiknya memakai busana yang ceria.
Kemudian dari busana yang kita kenakan juga dapat terlihat siapa kita dan apa jabatan kita. Dalam masyarakat Jawa masih mengenal golongan priyayi, abangan dan santri. golongan priyayi merupakan golongan yang paling tinggi diantara golongan lain, sehingga kaum priyayi sangat dihormati. biasanya golongan priyayi dapat dikenali dari cara bebusananya.
Selain sebagai alat untuk menunjukkan identitas kita, busana juga berfungsi sebagai pelindung tubuh dari bahaya yang menyerang seperti penyakit penyakit, luka dan lain sebagainya.
3. Ajining awak saka tumindak.
Ajining awak saka tumindak bermakna bahwa bagaimana cara kita bertindak dapat mencerminkan siapa kita sebenarnya. Contohnya, ketika lewat didepan orang yang lebih tua hendakya sedikit membungkukkan badan, membudayakan senyum sapa salam.
Jadi dari ketiga itu semua berhubungan satu sama lain, yang pada intinya kita harus menjaga tingkah laku kita dimanapun dan kapanpun kita berada. Karena kita adalah makhluk sosial yang pastinya membutuhkan satu sama lain, dan pastinya semua orang ingin dihormati dan dihargai. Jika ingin dihormati dan dihargai, berarti kita dituntut untuk menjaga itu semua.