SEJARAH BABAD CARINGIN BOGOR
&
BABAD CARINGIN
Bedasarkan
penuturan beberapa sumber tulisan mengenai Sejarah Caringin (Bogor) yang
khususnya untuk memenuhi wawasan tentang kebudi-luhuran para karuhun (Sesepuh
atau Pendahulu) yang telah mengorbankan jiwa dan raganya dalam peperangan fisik
maupun batin di Caringin (Bogor).
Pertama-tama,
saya selaku penulis sangat menerima saran untuk memperbaiki berbagai
ketidak-sempurnaan tulisan karena Sejarah tidak boleh dibelokan dan dileburkan
untuk kepentingan tertentu. Saya yakin pembaca disini sangat haus akan wawasan
para leluhur atau para pendahulu. Oleh sebab itu, saya akan membagikan tulisan
Sejarah Babad Caringin kepada pembaca dalam bentuk tulisan.
Banyak
yang bertanya, kenapa dinamai caringin? Beberapa cerita dari turun-temurun
menyebutkan bahwa Tanah Caringin merupakan Tempat yang dinaungi Pohon-pohon
Caringin/Waringin/Beringin yang besar. Bahkan ada yang menyebut bahwa Caringin
(Bogor) sebagai Caringin Kurung karena di kurung oleh dua gunung besar yang
memiliki kebudi-luhuran tinggi. (Konon Cerita) Ada yang menyebut bahwa yang
mengurung Caringin adalah dua tangkal caringin (Dua Pohon Beringin) yang
tertanam di tempat berbeda. Fakta ini dapat dihubungkan dengan Buku Sejarah
Babad Misteri Kabut Caringin Kurung (Abad 400 SM - 200 M) yang bukunya tidak
dapat diperjual-belikan atau dibaca dengan sembarangan.
Membicarakan
caringin tentu harus berbicara tentang Kecamatan Caringin yang berada di
wilayah Kabupaten Bogor. Secara historis, cikal bakal Kabupaten Bogor adalah
Ketika pada tahun 1745, berdiri sembilan kelompok masyarakat yang disatukan
oleh Gubernur Baron Van Inhof. Pada waktu itu, Bupati Demang Wartawangsa
berupaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat kabupaten bogor.
Kecamatan
Caringin merupakan salah satu kecamatan dari 40 (Kecamatan) yang berada di
Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 5.729,9 Ha dan terletak pada ketinggian 556
MDPL dengan kelembapan suhu rata-rata 27-30 Celsius serta curah hujan 3.183
mm/tahun.
Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Caringin, yaitu :
Sebelah
Utara adalah Kecamatan Ciawi
Sebelah
Selatan adalah Kecamatan Cigombong
Sebelah
Barat adalah Kecamatan Cijeruk
Sebelah
Timur adalah Gunung Pangrango/Sukabumi
Terdiri dari 12 Desa, 40 Dusun, 81 RW dan 348 RT dan Wilayah
Caringin juga memiliki empat aspek penting, diantaranya :
Sosial-budaya
dengan tingkat toleransi yang tinggi
Ekonomi
mandiri yang mapan
Ketentraman
dan keterteban yang kondusif
Politik
dan pemerintahan yang relatif kondusif
Aspek penting diatas ternyata memiliki potensi yang mejanjikan,
diantaranya :
Potensi
Sumber Mata Air dan Air Bawah Tanah
Potensi
Agrobisnis
Potensi
Peternakan dan Perikanan
Potensi
Tata Ruang untuk Industri non polutif dan Permukiman
Potensi
Ekowisata
Potensi
Wisata Boga
Potensi
Wisata Jasa
Potensi
Wisata Budaya
Hal
diatas merupakan kesempatan dan tantangan bagi kami selaku Generasi Penerus
yang berdiam di Kawasan Caringin untuk membangun kembali kejayaan masa lalu
dimana Visi Kecamatan Caringin yaitu Terwujudnya Kecamatan yang maju dan
mandiri.
Dengan
rahmat Yang Maha Esa atas nama-Nya Semoga para leluhur memperoleh keselamatan
dan anugerah serta semoga kami pantas untuk mengemban segala warisan-n-nya.
SILSILAH CARINGIN
Ini
adalah trah dan sarasilah para leluhur di Kawasan Caringin yang sejarahnya
telah mewarnai corak kehidupan di tempat ini dan kehadiaran-nya dirasakan
melalui pengucapan nama penuh hormat serta diketahui melalui segala petilasan
peninggialan mereka (Berbagai Tokoh dan Nama Keturunan) yang telah hadir di
Kawasan Caringin. Baik Ulama maupun Prajurit, Orang Saleh maupun Trah Jawara
dari Trah Kalijaga dan Trah Ngampel Denta juga dari darah agung Prabu Siliwangi
(Sri Baduga Maharaja) dan tidak ketinggalan pula Para Pahlawan perkasa dari
Mataram disertai banyak Para Tokoh dari Wetan (Timur) lain-nya. (Mereka) semua
telah meninggalkan jejaknya di Bumi Caringin yaitu jejak dan tapak yang pantas
dipelihara juga diikuti. Demikianlah kini akan diuraikan secara rapi berurutan
para nenek moyang yang dahulu telah membuat sejarah di Kecamatan Caringin.
Dari Trah Kalijaga
Datang
Eyang Sapujagad, yaitu Kyai Langlang Buwana yang menikah dengan Setiyadiningsih
atau Hadityaningsih yaitu putri yang berada di Petilasan Cileungsi disebut
Kembang Cempaka Putih dan Pada petilasan Babakan diberi gelar Dewi Kembang
Kuning maka kedua suami istri inilah yang telah menurunkan Kyai Elang Bangalan
dan seterusnya menetap di daerah Lemah Duhur.
Kemudian
daripada itu, Kyai Elang Bangalan menurunkan empat orang anak. Salah satu yang
tertua adalah Arya Sancang di Pameungpeuk, Kabupaten Garut diikuti oleh Eyang Badigul
Jaya Pancawati, Ayah Ursi Pancawati dan Eyang Ragil Pancawati maka ketiga anak
yang lebih muda itu turut menjadi cikal bakal Caringin serta meninggalkan
kenangan di Pasir Karamat yang diluhurkan.
Anak
tertua Eyang Badigul Jaya adalah Ayah Iming, yaitu Kyai Haji Sulaiman yang
makamnya masih dapat ditemukan di Kebun Tajur. Namun, anak kedua dinamakan
Umaenah, yaitu istri Eyang Ranggawulung atau Rangga Agung maka suaminya itulah
yang menjadi leluhur di Tarik Kolot, Cimande. maka Anak Ketiga dinamakan Romiah
yang dinikahi oleh Eyang Buyut Umang (Sebagaimana disebut di Caringin) karena
di Cinagara beliau disebut Aki Degle adapun Eyang Buyut Umang adalah putra Ki
Kastiwa dan cucu dari Ki Kaswita serta cicit Suwita dan turunan pahlawan Jaka
Sembung (yaitu) Suami Rojiah dengan gelar Bajing Ireng sedangkan Eyang Buyut
Umang sendiri juga telah menurunkan dua anak, yaitu Aki Eming yang dipusarakan
di makam Gede (Di Tonggoh) dan Aki yang dipusarakan di Cipopokol Hilir,
Pasirmuncang. Selanjutnya, Anak Keempat Eyang Badigul Jaya adalah Samsiah yang
menikah dengan Aki Kartijan dan Anak Kelimanya adalah Amsiah yang menikah
dengan Bayureksa (disebut juga Reksa Buawana) yaitu putra Radyaksa, cucu dari
Jayadiningrat (Mataram) ialah pahlawan perkasa yang petilasan-nya terdapat di
Tanjakan Ciherang. Maka Bayu Reksa dan Amsiah menurunkan Ki Ranggagading serta
Ki Kumpi yang kedua-duanya dimakamkan di Kawasan Cigintung dan Caringin.
Akhirnya, Anak kelima Aki Badigul Jaya adalah Ibu Esah yang menikah dengan Aki
Bangala yaitu putra Aki Jepra atau Ki Kartaran dan cucu Aki Kahir (Tokoh Dunia
Persilatan).
Trah Raden Rahmatullah Ngampel Denta
Diturunkanlah
Ki Karmagada yang menurunkan Ki Karmajaya, yaitu Ayahanda Ki Kartawirya yang
berasal dari Jampang, Surade. Beliau telah datang ke Lemah Duhur untuk menetap
di Legok Antrem adapun Ki Kartawirya (Haji Akbar) menurunkan Marunda. Kemudian
Marunda menurunkan Murtani seterusnya Murtani menurungkan Si Pitung (Sang
Jagoan Silat dari Rawa Belong).
Diriwayatkan
pula bahwa Ki Kartawirya memiliki istri bernama Nyi Antrem yang namanya
diabadikan dalam nama Legok Antrem. Maka Nyi Antrem itu pun berasal dari satu
keturunan dengan suaminya sebab leluhurnya, yaitu Syekh Japarudin juga berasal
dari Trah Ngampel Denta. Kemudian Syekh Japarudin menurunkan Ki Kartaji
seterusnya Ki Kartaji menurunkan Aji Tapak Ireng selanjutnya Aji Tapak Ireng
menurunkan lima orang anak, diantaranya :
Aji
Wisa Ireng (Haji Aleman)
Aji
Wisa Kuning
Mbah
Ambani
Ki
Anom
Bu
Ucu yang diperistri oleh Ayah Haji Abdul Somad (Leluhur di Tarik Kolot,
Cimande)
Turunan
inilah yang menjadi asal-usul masyarakat di Curug Dengdeng. Maka dari Aji Wisa
Ireng menurunkan Ibu Antrem yang telah dipusarakan di Kawasan Legok Antrem.
Adapun
Ki Karmagada juga menurunkan anak lelaki (Adik Ki Karmajaya) yang kemudian
menurunkan Ki Jaka Kadir, yaitu Tokoh yang dipusarakan di Leuweung Ki Maun
(terletak di atas Kawasan Legok Antrem) seterusnya Ki Jaka Kadir menurunkan Ki
Jaka Bledek (Leluhur kampung Bendungan di Kampung Tajur). Demikian tentang para
leluhur dan pendahulu yaitu mereka semua yang berasal dari Trah Ngampel Denta.
Trah Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja)
Sang
Ratu Jaya Dewata Prabu Siliwangi menikah dengan Nyi Ratu Subangkarancang dan
menurunkan tiga orang anak, diantaranya:
Pangeran
Arya Santang (Panembahan Cakrabuwana)
Nyi
Rara Santang (Ibunda Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah)
Kian
Santang (Prabu Sagara atau Sunan Rahmat Suci di Gunung Godog, Garut) yang
disebut Syekh Kuncung Putih di Cibadak-Pangasahan maka itulah leluhur seorang
tokoh bernama Elang Sutawinata.
Adapun Elang Sutawinata menurunkan tujuh orang anak, diantaranya
:
Jaka
Sembung yang menikah dengan Rojjah (Gelar Baji Ireng)
Jaya
Perkosa (Patih Prabu Geusan Ulun di Sumedang Larang) dan Salah seorang anaknya
pernah hadir di Caringin yaitu Aki Palasara disebut Aki Kabayan atau Aki
Jambrong.
Elang
Sutawinata (Aki Kahir)
Eyang
Ranggawulung (Tarik Kolot, Cimande)
Aki
Dato (Bantar Jati dan Pondonk Pinang)
Syekh
Sake (Petilasannya di Citeureup)
Pangeran
Papag (Menikah dengan Sari[w]uni, putri Ki Hambali)
Sembilan
nama dan sembilan petilasan dimiliki anak ketiga Elang Sutawinata (Aki Kahir)
di Tanah Sareal, Bogor. Syekh Majagung di Cirebon. Pangeran Jayasakti di Batu
Tulis. Gentar Bumi di Pelabuhan Ratu. Aki Euneur di Pangasahan, Cikidang,
Cipetir dan Eyang Pasareyan di Cidahu, Cibening, Ciampea serta yang kesembelian
terkahir adalah Ki Jambrong di Cirebon.
Maka
Aki Kahir menurunkan anak lelaki bernama Ki Kartaran yang berganti sebutan
menjadi Ki Jepra sekembalinya dari pertempuran di Tegal Jepara beliau dipusarakan
pada dua petilasan di dua tempat (Kebun Raya Bogor dan Cimande Hilir). Beliau
menurunkan empat orang anak, diantaranya:
Aki
Bangala yang menikah dengan Uwak Esah.
Nini
Sarinem (Ciherang dan Limus Nunggal) disebut Sri Asih (Cirebon).
Nini
Sarem (Cileungsi) suaminya adalah Kyai Ajiwijaya dari Plered, Purwakarta.
Nini
Sayem (Ciherang dan Limus Nunggal) yang menikah dengan Ki Puspa dari Cirebon,
yaitu Tokoh yang dihubungkan dengan Kuda Puspagati dari Petilasan Pasir Kuda di
Lemah Duhur.
Nini
Sarimpen (Garut) yaitu istri Banaspati yang merupakan Panglima Sabakingkin dari
Banten.
Selanjutnya dikisahkan pula bahwa Rangga Wulung (Anak Keempat
Elang Sutawinata) menurunkan lima orang anak yang masing masih disebut sebagai
berikut :
Para leluhur dari pihak ibunya adalah sebagai berikut :
Elang
Sutawinata menurunkan Ranggawulung yang menurunkan Ki Ace, Kemudian Ki Ace
menurunkan Ayah Haji Abdul somad serta kemudian Ayah Haji Abdul Somad
menurunkan Haji Ajid dan Kemudian Haji Ajid menurunkan Hajjah Kuraisin (Istri
Ki Lurah Uji) yang menurunkan ibu Enen (Anak Angkat Haji Atap atau Istri Bapak
Ubeh Subandi).
Sedangkan para leluhur dari pihak ayahnya adalah sebagai berikut
:
Eyang
Sutawinata menurunkan Aki Kahir kemudian Akhir Kahir menurunkan Ki Jepra lalu
Ki Jepra menurunkan Nini Sayem serta Nini Sayme menurunkan Ki Rasiun yang
menurunkan Ki Sarian yang menurunkan Ki Jaian dan Ki Jaiin seterusnya Ki Jaiin
menurunkan Ki Haji Muat yang menurunkan Ki Kaeji Haji Akhmali (Dahulu memiliki
Legok Antrem dan Mendirikan Persatuan Pencak Silat Hibar Karuhun) Maka Haji
Akhmali itu dahululah yang membawa pengaruh Tarik Kolot ke sekitar Cikalang dan
Ia adalah Ki Haji Barnas (Bapak Ubeh
Subandi dan adik-adiknya).
Selanjutnya dari Desa Cinagara bersemayam Mbah Dalem Cinagara dan
Mbah Dalem Asihan. (Banyak yang menyebut) Beliau berasal dari Jawa Timur dengan
sebutan Eyang Adeg Daha namun dalam versi yang lain menceritakan bahwa Silsilah
Mbah Dalem sebagai berikut :
Dari
Trah Brawijaya, melalui Trah Kalijaga diturunkan Raden Tresna yang disebut juga
Pandewulung dari Kudus ia menurunkan Syekh Japarudin dari Mataram yang
menurunkan Syekh Abdul Muhi dari Pamijahan yang selanjutnya menurunkan Syekh
Mohammad Abdul Sobirin (Mbah Dalem Cinagara pepunden Masyarakat di Dukuh
Kawung).
Demikianlah
Sejarah Babad Caringin yang sebagaimana diuraikan oleh Ki Jumanta dari Cikodok.
Sekarang diurutkan pula nama-nama tempat yang menjadi leluhur Tanah Caringin,
diantarnya:
Di Lemah Duhur dan Pancawati :
Eyang
Kartasinga, Ki Sarian dan Ki Rasiun di Tarik Kolot, Cimande.
Eyang
Ranggwulung dan putra-putranya, beserta Ayah Haji Abdul Somad di Tarik Kolot,
Cimande.
Eyang
Badigul Jaya, Ayah Ursi dan Eyang Ragil di Pancawati.
Eyang
Rasiyem di Legok Mahmud.
Aki
Anyar dan Nini Siti Mastiyah di Tanjakan Saodah.
Pangeran
Jayakarta, putra Wijayakrama yang memiliki petilasan di Pulo Gadung, berputra
Eyang.
Sagiri
yang petilasan-nya terdapat di Bojong Katon.
Eyang
Bangalan di Cikodok dan Kampung Legok.
Ki
Jaka Kadir dan Ki Jaka Bledek di Legok Antrem.
Nyi
Antrem dan Ki Kartawirya di Legok Jambrong.
Ajengan
Kuningan, Haji Sulaiman ayah Iming, uwak Esah anak Badigul Jaya, Aki Age,
Setyawati Kusuma dari Mataram dan Ki Jambrong anak Jaya Perkosa semuanya di
Kebun Tajur.
Di Pancawati :
Aki
Ariyam dan Ki Suwita di Legok Nyenang.
Di Ciherang Pondok :
Nini
Amsiah di Tengah Kawasan Desa.
Haji
Abdul Kohar atau Mbah Angeng di Perbatasan Ciawi.
Nini
Sarinem di Blitung dan Cikeretek.
Hadikusuma,
putra Tubagus Gelondong di Cibolang.
Di Muara Jaya :
Batara
Kresna dan Aki Arya Kusuma di Rawayan.
Adipati
Wirasembada dan Mbah Muhi di Kampung Nyenang
Di Pasir Muncang :
Aki
Wirakerta dari Kuningan dan Nini Antri, putri Ki Anyar, cucu Syekh Asnawi di
Cipopokol Girang.
Aki
Aliyun di Cipopokol Hilir.
Suryadiningrat,
cucu Syekh Malik Ibrahim di Ciburial.
Di Cinagara :
Raden
Suryapadang di Kampung Curuk Kalong.
Mbah
Dalem Cinagara dan Mbah Dalem Asihan di Dukuh Kawung.
Di Tangkil :
Aki
Degel, Haji Muid dan Ni Jabon, istri Suryadiningrat di Kampung Loji.
Nini
Rasa dan Ki Jambrong di Legok Batong yang juga disebut Aki Palasara.
Di Pasir Buncir :
Batara
Karang atau Pangeran Jayataruna dari Ponogoro.
Di Ciderum :
Bango
Samparan dari Ponorogo, kakak dalang Asmorondono dan Ki Kaswita.
Di Caringin :
Galuh
Pakuan atau Walasungsang atau Cakrabuwana, Ki Kartaji, Aji Tapak Ireng dan Aji
Wisa Ireng dan Aji Wisa kuning di Kampung Curug Dengdeng.
Ki
Umang, Aki Ranggading dan Ki Kumpi di Cigintung.
Di Cimande Hilir :
Reksabuwana
atau Bayureksa di tanjakan Ciherang dan Eyang Bangala.
Demikianlah
telah selesai diurutkan silsilah keturunan para leluhur Caringin beserta tempat
pusaranya. Selanjutnya akan diceritakan kembali Sejarah Babad Caringin Bogor
melalui eksistensi para leluhur terhadap Tanah Caringin yang ditinggalkan-nya.
Sejarah Babad Caringin
Ucapkanlah
Segala puji bagi Yang Maha Kuasa dan Memohon Keberkahan bagi Para Leluhur yang
dahulu telah meninggalkan eksistensinya terhadap Tanah Caringin. Sebagaimana
disusun dalam Sasaka Antrem:
"Kertajaga Bumi Kawastu, Mugi Rahayu di
Legok Antrem, Mugi Jaya di Tegal Laga, Mejangkeun teras hibar Karuhun"
Inilah
riwayat Sejarah Babad Caringin yang telah disampaikan dari turun-turun antara
yang tua kepada yang muda:
Dari
Ketinggian di Sasaka Jati Pasir Karamat memandang ke Bumi Pakuan memohon dan
memperoleh terang batin :"Surya Padang Caang Narawangan" menghargai
dengan hormat Bukit Baduga di Rancamaya menyaksikan dengan kagum Mandala
Keratuan di Batu Tulis lalu melayangkan pikiran ke Watu Gigilang yang kini
terletak di Negeri Banten. Menelitilah di daratan yang berada diantara kedua
gunung.
Disinilah
pernah terjadi gejolak dan gemuruh peperangan ketika terdengar kabar
berlangsungnya perang antara Padjajaran dan Banten jugra ketika kemudian
tentara Banten melewati daerah menuju Cikundul untuk menyerbu begitu pula para
Prajurit, Perwira dan Tokoh-tokoh persilatan yang turut mengalami api perubahan
jaman dan bergantinya masa. Seterusnya menanamkan ciri dan corak keperkasaan
ketika bermukim di Kawasan Caringin. Karena membanggakan keberanian dan
kejantanan di samping ketakwaan dan kesalehan yaitu semangat keprajuritan
sebagaimana terkandung dalam sasmita-kata :
"Bojong Katon Pasir
Bedil Lemah Duhur Pangapungan Pancawati Denda"
Ratusan
tahun yang lalu berdiri sebuah tangsi (Barak Militer) Tentara Mataram yaitu di
Tempat yang sekarang disebut Pasar Caringin yaitu pada jalan yang menuju ke
Maseng, Pasir Bogor, lalu Cihideung dan Kota Bogor (Jauh) sebelum jalan mulai
menanjak dan berkelok-kelok disitulah bersemayam Tumenggung Wiranegara yang
merupakan pemimpin pasukan dari wetan yang gagah perkasa juga sedang berusaha
keras menahan pengaruh dari kota di utara.
Kapan
dan bagaimana para perwira Mataram tiba tentunya ditanyakan peristiwanya oleh
banyak orang walaupun benar dan tidaknya itu masih sulit ditentukan tetapi
beberapa bukti menunjukan kemungkinan.
Pada
tahun 1628 dan 1629 tentara Mataram dan Sunda datang menyerbu kedudukan Belanda
di Batavia (Jakarta). Pada kedua peristiwa itu, Mereka (Belanda) dipukul mundur
karena kalahnya persenjataan dan terbakarnya gudang-gudang makanan yang ingin
kembali ke timur jalan laut maka terpaksa mereka mengambil jalan darat di
sepanjang pegunungan tengah pada peristiwa tersebut mereka meninggalkan nama
dan bekas. Rawa Bangke tempat gugurnya ribuan pasukan Mataram merupakan tempat
mereka bermukim beberapa lama di Ragunan (Kemungkinan) nama tersebut berasal
dari nama Wiragunan yang merupakan perwira Mataram. Selain peristiwa tersbeut, Maka kedatangan
Tentara Mataram ke Caringin menjadi Mungkin karena adanya beberapa makam dan
petilasan di kawasan Caringin seperti Bayurekso-Reksobuwono di Tanjakan
Ciherang.
Kembali
kepada Sejarah Babad Caringin (Kurung) yang katanya Tangsi (Barak) Tentara Mataram
itu dikurung tembok dan di dalamnya terdapat Pohon Caringin/Waringin/Beringin
dan Kawasan itu melahirkan nama Caringin Kurung.
Menurut
kisahnya, Kawasan Caringin Kurung (Bogor) pernah digadaikan kepada Belanda.
Kemudian, banyak dari mereka (Belanda) menerima. Namun, ketika ingin ditebus,
Mereka (Belanda) menolak tebusan tersebut. Oleh sebab itu, Caringin muncul sengketa yang berkepanjangan hingga berakhir
pertempuran.
Dikisahkan
pula, Semua Kekuatan pribumi baik Nyata maupun Ghaib dikerahkan untuk merebut
Caringin Kurung (Bogor) dan mengembalikan hak Wiranegara. Maka dari Kampung
Gembrong di Belakang Maseng ada Arya Wirya Kusuma yang membantu. Ada pula
Suryakancana yang diluhurkan Di Bogor. Dari Muara Jaya tegak berdiri Batara
Kresna. Sedangkan dari Curug Dengdeng ikut membantu Ki Kartaji, Aji Tapak Ireng
dan Aji Wisa Ireng. Tidak ketinggalan pula dari Galuh Pakuan yaitu Jaka Kadir
dan Jaka Bledek menahan jalan di Legok Antrem. Ada pula Eyang Bangala di
Cimande Hilir. Dari Pancawati ada Ranggawulung. Di Cigintung dan Caringin ada
Ki Ranggagading dan Ki Rumpi.
Hanya
ada satu tokoh pribumi yang memihak kepada Belanda, yaitu Tubagus Gelondong di
Cikeretek-Cibolang. Dalam peperangan tersebut, Kehendak yang maha kuasa
menentukan. Pasukan Pribumi tak berhasil mencapai maksudnya bersama perjalanan
waktu yang mengikis perbendaan. Akhirnya, lenyap pula tembok tangsi (Barak)
Tentara Mataram yang di dalamnya terkurung Pohon Caringin/Waringin/Beringin.
Dengan
semangat yang tidak pernah pudar setelah peperangan, para leluhur mewarisi
kata-kata untuk membangkitkan kebanggaan dan kecintaan kepada Kawasan Caringin.
"Lamun geus ngadeg
Caringin Kurung, didieu bakal rame, didieu bakal makmur"
Demikianlah
Sejarah Babad Caringin Bogor yang jarang diketahui oleh generasi-generasi
penerus. Benar atau tidaknya hanya Sang Pemilik Alam Semesta-lah yang
mengetahui segalanya. Caringin adalah Tanah Perjuangan, Tanah Keperwiraan dan
Tanah Keperkasaan. Ini merupakan Tanah Orang yang beribadah, bekerja keras dan
membangun kemuliaan. Oleh karena itu, Bangkitlah untuk Caringin, Bangkitlah
untuk tanah air dan Bangkitlah untuk masa depan.
BABAD
CARINGAN
Sebelas Sarasilah dan Babad Caringin
Dengan rakhmat Tuhan Yang Maha Esa dan Atas nama Tuhan Yang Maha
Pengasih dan Penyayang Semoga para leluhur memperoleh keselamatan dan anugerah
dan semoga kami pantas untuk mengemban segala warisannya
Sarasilah Caringin
Ini
adalah trah dan sarasilah para leluhur di kawasan Caringin yang sejarahnya
telah mewarnai corak kehidupan di tempat ini dan kehadirannya dirasakan melalui
pengucapan nama penuh hormat serta diketahui melalui segala petilasan
peninggalan mereka Berbagai tokoh dan nama keturunan telah hadir di Caringin
baik ulama maupun prajurit, orang saleh maupun jawara dari trah Kalijaga dan
Ngampel Denta, juga dari darah agung Siliwangi dan tidak ketinggalan pula para
pahlawan perkasa dari Mataram disertai dengan banyak para tokoh dari wetan
lainnya Mereka semua telah meninggalkan jejaknya di Bumi Caringin yaitu jejak
dan tapak yang pantas dipelihara dan diikuti Demikianlah kini akan diuraikan
secara rapi berurutan para nenek moyang yang dahulu telah membuat sejarah di
kecamatan ini.
Dari
trah Kalijaga datanglah Eyang Sapujagad, yaitu Kyai Langlangbuwana yang menikah
dengan Setiyadiningsih atau Hadityaningsih yaitu putri yang di petilasan
Cileungsi disebut Kembang Cempaka Putih dan pada petilasan Babakan diberi gelar
Dewi Kembang Kuning maka kedua suami istri inilah yang telah menurunkan Kyai
Elang Bangalan yang telah datang dan seterusnya menetap di daerah Lemah Duhur.
Kemudian
daripada itu Elang Bangalanpun menurunkan empat orang anak yang tertua adalah
Arya Sancang di Garut-Pameungpeuk diikuti oleh Eyang Badigul Jaya Pancawati,
Ayah Ursi Pancawati dan Eyang Ragil Pancawati maka ketiga anak yang lebih muda
itu turut menjadi cikal bakal Caringin serta meninggalkan kenangan di Pasir
Karamat yang diluhurkan.
Anak
tertua Eyang Badigul Jaya adalah Ayah Iming, yaitu Kyai Haji Sulaiman yang
makamnya masih dapat ditemukan di Kebun Tajur Anak yang kedua dinamakan
Umaenah, yaitu istri Eyang Ranggawulung atau Rangga Agung maka suaminya itulah
yang menjadi leluhur di Cimande-Tarik Kolot Anak yang ketiga dinamakan Romiah
yang dinikahi oleh Eyang Buyut Umang, yaitu sebagaimana ia disebut di
Caringin, karena di Cinagara ia disebut
Aki Degle adapun Eyang Buyut Umang itu adalah putra Ki Kastiwa, cucu Ki
Kaswita, cicit Suwita, dan turunan pahlawan Jaka Sembung, yaitu suami Roijah
gelar Bajing Ireng sedangkan Eyang Buyut Umang sendiri juga telah menurunkan
dua orang anak, yaitu Aki Eming yang dipusarakan di makam Gede di Tonggoh dan
Aki yang dipusarakan di Cipopokol Hilir, Pasir Muncang Selanjutnya, anak
keempat Badigul Jaya adalah Samsiah, yang menikah dengan Aki Kartijan dan anak
kelima adalah Amsiah yang menikah dengan Bayureksa yang disebut juga
Reksabuwana, yaitu putra Radyaksa, cucu Jayadiningrat dari Mataram ialah
pahlawan perkasa yang petilasannya terdapat di Tanjakan Ciherang maka Bayureksa
dan Amsiah menurunkan Ki Ranggagading dan Ki Kumpi yang kedua-duanya dimakamkan
di kawasan Cigintung-Caringin Akhirnya, anak kelima Aki Badigul Jaya adalah ibu
Esah, yang menikah dengan Aki Bangala yaitu putra Aki Jepra atau Ki Kartaran,
dan cucu Aki Kahir, tokoh dunia persilatan.
Selanjutnya,
dari trah Raden Rakhmatullah Sunan Ngampel Denta diturunkanlah Ki Karmagada
yang menurunkan Ki Karmajaya, yaitu ayahanda Ki Kartawirya yang berasal dari
Jampang-Surade dan telah datang ke Lemah Duhur, untuk menetap di Legok Antrem
adapun Ki Kartawirya itu disebut pula Haji Akbar ia menurunkan Marunda dan
Marunda menurunkan Murtani dan seterusnya Murtani menurunkan Pitung, jago silat
dari Rawa Belong.
Diriwayatkan
pula bahwa Ki Kartawirya memiliki istri bernama Nyi Antrem yang namanya telah
diabadikan dalam nama Legok Antrem sasaka kami Maka Nyi Antrem itu pun berasal
dari satu keturunan dengan suaminya sebab leluhurnya, yaitu Sekh Japarudin,
juga berasal dari trah Ngampel Denta Sekh Japarudin menurunkan Ki Kartaji dan
Ki Kartaji menurunkan Aji Tapak Ireng selanjutnya Aji Tapak Ireng menurunkan
lima orang anak Pertama adalah Aji Wisa Ireng yang juga disebut Haji Aleman
Kedua Aji Wisa Kuning, ketiga mbah Ambani, keempat Ki Anom dan kelima ibu Ucu
yang diperistri oleh Ayah Haji Abdul Somad, leluhur di Cimande-Tarik Kolot
Keluarga dan turunan inilah yang menjadi asal-usul masyarakat di Curuk Dengdeng
maka dari Aji Wisa Irenglah ibu Antrem diturunkan ke dunia yaitu ibu Antrem
yang telah dipusarakan di kawasan Legok Antrem.
Adapun
Ki Karmagada juga menurunkan anak lelaki adik Ki Karmajaya yang kemudian
menurunkan Ki Jaka Kadir, yaitu tokoh yang dipusarakan di Leuweung Ki Maun,
yang terletak di atas Legok Antrem
Seterusnya Ki Jaka Kadir menurunkan Ki Jaka Bledek, leluhur kampung
Bendungan di Kampung Tajur Demikianlah itu tentang para leluhur dan pendahulu
yaitu mereka semua yang berasal dari trah Ngampel Denta.
Seterusnya
sebagaimana diriwayatkan oleh mereka yang mengerti sejarah mengalir pula darah
leluhur Siliwangi pada diri para leluhur di Caringin mewarnai jalan kehidupan
masyarakat dan memancarkan kesejatian rasa membangkitkan kesucian sikap dan
menaikkan kebajikan laku Maka inilah keluarga para jawara yang menghubungkan
Siliwangi dan Caringin menghubungkan masa lalu dan masa kini serta mengarahkan
masa depan.
Sang
Ratu Jaya Dewata Prabu Siliwangi menikah dengan Nyi Ratu Subangkarancang dan
menurunkan tiga orang anak, yaitu dua orang lelaki dan seorang wanita anak yang
tertua adalah Pangeran Arya Santang, Panembahan Cakrabuwana anak yang kedua
adalah Nyi Rara Santang ibunda Syarif Hidayatulah dan anak yang ketiga adalah
Kian Santang atau Prabu Sagara atau Sunan Rakhmat Suci di gunung Godog yang
disebut Sekh Kuncung Putih di Cibadak-Pangasahan maka ia itulah leluhur seorang
tokoh bernama Elang Sutawinata.
Adapun
Elang Sutawinata yang disebut di atas menurunkan tujuh orang anak pertama
adalah Jaka Sembung yang menikah dengan Roijah gelar Bajing Ireng kedua adalah
Jaya Perkosa yang menjadi patih Prabu Geusan Ulun di Sumedang Larang seorang
istrinya bernama Mulantri dan salah seorang anaknya pernah hadir di Caringin
yaitu yang disebut Aki Palasara, disebut Aki Kabayan, disebut Ki Jambrong yang
memiliki petilasan di Kebon Tajur, di atas Legok Antrem, lalu di Legok Jambrong
dan juga memiliki petilasan di Legok Batang, di kawasan Citaman, di desa
Tangkil Selanjutnya anak ketiga Elang Sutawinata adalah Aki Kahir yang nama-nama
dan petilasan-petilasannya akan diuraikan di bawah anak keempat adalah Eyang
Ranggawulung leluhur di Tarik Kolot anak kelima Aki Dato di Bantar Jati dan
Pondok Pinang anak keenam Sekh Sake di petilasan di Citeureup dan anak ketujuh
Pangeran Papag yang menikah dengan Sari(w)uni, putri Ki Hambali.
Sembilan
nama dan sembilan petilasan dimiliki anak ketiga Elang Sutawinata Aki Kahir di
Bogor-Tanah Sareal, Sekh Majagung di Cirebon Pangeran Jayasakti di Batu Tulis,
Gentar Bumi di Pelabuhan Ratu Aki Euneur di Pangasahan, Cikidang, Cipetir dan
Eyang Kartasinga-Wirasinga di Tarik Kolot Aki Dalem Macan di Citeureup, Eyang
Pasareyan di Cidahu, Cibening, Ciampea dan yang kesembilan dan terakhir adalah
Ki Jambrong di Cirebon.
Maka
Aki Kahir menurunkan anak lelaki bernama Ki Kartaran yang berganti sebutan
menjadi Ki Jepra sekembalinya dari pertempuran di Tegal Jepara ia dipusarakan
pada dua petilasan di dua tempat sebuah di Kebun Raya Bogor dan sebuah lagi
berupa makam putih di Cimande Hilir Ia menurunkan empat orang anak, seorang
lelaki dan tiga orang wanita yang tertua adalah Aki Bangala yang menikah dengan
uwak Esah yang kedua dalah Nini Sarinem di Ciherang-Limus Nunggal disebut Sri
Asih di Cirebon dan Nini Sarem di Cileungsi suaminya adalah Kyai Ajiwijaya dari
Plered-Purwakarta yang ketiga adalah Nini Sayem di Ciherang-Limus Nunggal yang
menikah dengan Ki Puspa dari Cirebon yaitu tokoh yang dihubungkan dengan Kuda
Puspagati dari petilasan Pasir Kuda di Lemah Duhur dan yang keempat adalah Nini
Sarimpen di Garut yaitu istri Banaspati, seorang panglima Panembahan
Sabakingkin dari Banten.
Selanjutnya dikisahkan pula bahwa Rangga Wulung, anak keempat
Elang Sutawinata menurunkan lima orang anak yang masing-masing disebut sebagai
berikut :
Aki
Ondang, Aki Buyut, Aki Anom, Aki Suma dan Aki Ace dan diriwayatkan pula bahwa
ketika Eyang Rangga Wulung memasuki Caringin ia diiringi oleh Ajengan Kuningan
dan Ki Age yang keduanya dimakamkan di Kebun Tajur, di sebelah atas Legok
Antrem Kemudian daripada itu berniatlah kami kini untuk mengurutkan garis
keturunan Arifin yaitu seorang rekan pengawas di Bina Kertajaga Siliwangi Anom
baik dari garis ayahnya maupun dari garis ibundanya.
Para leluhur dari pihak ibunya adalah sebagai berikut :
Elang
Sutawinata menurunkan Ranggawulung, yang menurunkan Ki Ace, yang kemudian
menurunkan Ayah Haji Abdul Somad, yang kemudian menurunkan Haji Ajid, yang
menurunkan Hajjah Kuraisin, istri Ki Lurah Uji, yang menurunkan ibu Enen, anak
angkat Haji Atap, istri bapak Ubeh Subandi.
Sedangkan para leluhur dari pihak ayahnya adalah sebagai berikut
:
Elang
Sutawinata menurunkan Aki Kahir, yang menurunkan Ki Jepra, yang kemudian
menurunkan Nini Sayem di Limus Nunggal Selanjutnya Nini Sayem menurunkan Ki
Rasiun, yang menurunkan Ki Sarian, yang menurunkan Ki Jaian dan Ki Jaiin
Seterusnya Ki Jaiin menurunkan Ki Haji Muat
yang menurunkan Ki Kaeji Haji Akhmali, yang dahulu memiliki Legok Antrem
dan juga mendirikan persatuan pencak
silat Hibar Karuhun Maka Haji Akhmali itu dahululah yang membawa pengaruh Tarik
Kolot ke sekitar desa Cikalang dan dia
adalah ayah Ki Haji Barnas, bapak Ubeh Subandi dan adik-adiknya Selanjutnya,
dari Cikalang di desa Caringin kami mengalihkan uraian ke pemakaman tua di desa
Cinagara, yang terletak dibawah pohon rindang di situ disemayamkan Mbah Dalem
Cinagara dan Mbah Dalem Asihan, istrinya Seseorang meriwayatkan kepada kami
tentang Mbah Dalem yang dikatakan berasal dari Jawa Timur dan disebut dengan
nama Eyang Adeg Daha tetapi seseorang lainnya mengisahkan silsilah Mbah Dalem
sebagai berikut:
Dari
trah Brawijaya, melalui trah Kalijaga diturunkan Raden Tresna yang disebut juga
Pandewulung dari Kudus Ia menurunkan Sekh Japarudin dari Mataram yang
menurunkan Sekh Sekh Abdul Muhi dari Pamijahan yang selanjutnya menurunkan Sekh
Mohammad Abdul Sobirin, yaitu Mbah Dalem Cinagara pepunden masyarakat di Dukuh
Kawung.
Demikianlah
itu Sarasilah Caringin sebagaimana telah diuraikan oleh Ki Jumanta dari
Cikodok, yang sangat tekun mendalami sejarah sekarang diurutkan pula nama-nama
tempat dan desa tempat para Karuhun di pusarakan dalam damai.
Di Lemah Duhur dan Pancawati :
Eyang
Kartasinga, Ki Sarian dan Ki Rasiun di Tarik Kolot.
Eyang
Ranggawulung dan putra-putranya, beserta ayah Haji Abdul Somad di Tarik Kolot.
Eyang
Badigul Jaya, ayah Ursi dan Eyang Ragil di Pancawati.
Eyang
Rasiyem di Legok Mahmud.
Aki
Anyar dan Nini Siti Mastiyah di Tanjakan Saodah.
Pangeran
Jayakarta, putra Wijayakrama, yang memiliki petilasan di Pulo Gadung, berputra
Eyang.
Sagiri,
yang petilasannya terdapat di Bojong Katon.
Eyang
Bangalan di Cikodok, Kampung Legok.
Ki
Jaka Kadir dan Ki Jaka Bledek di Legok Antrem.
Nyi
Antrem dan Ki Kartawirya di Legok Jambrong.
Ajengan
Kuningan, Haji Sulaiman ayah Iming, uwak Esah anak Badigul Jaya, Aki Age, Setyawati Kusumah dari Mataram dan Ki Jambrong anak Jaya
Perkosa, semuanya di Kebun Tanjur.
Di Cimahi Jaya :
Tidak
ada yang tercatat telah dipusarakan di tempat ini.
Di Pancawati :
Aki
Ariyam dan Ki Suwita di Legok Nyenang.
Di Ciherang Pondok :
Nini
Amsiah di tengah kawasan desa.
Haji
Abdul Kohar atau Mbah Ageng di perbatasan Ciawi.
Nini
Sarinem di Blitung-Cikeretek.
Hadikusuma,
putra Tubagus Gelondong di Cibolang.
Di Muara Jaya :
Batara
Kresna, Aki Arya Kusuma di Rawayan.
Adipati
Wirasembada di Kampung Nyenang, dan mbah Muhi.
Di Pasir Muncang :
Aki
Wirakerta dari Kuningan, Nini Antri, putri Ki Anyar, cucu Sekh Asnawi di
Cipopokol Girang.
Aki
Aliyun di Cipopokol Hilir.
Suryadiningrat,
cucu Sekh Malik Ibrahim di Ciburial.
Di Cinagara :
Raden
Suryapadang di Kampung Curuk Kalong.
Mbah
Dalem Cinagara dan Mbah Dalem Asihan di Dukuh Kawung.
Di Tangkil :
Aki
Degel, Haji Muid, dan Ni Jabon, istri Suryadiningrat di Kampung Loji.
Nini
Rasa dan Ki Jambrong di Legok Batong, yang juga disebut Aki Palasara.
Di Pasir Buncir :
Batara
Karang atau Pangeran Jayataruna dari Ponorogo.
Di Ciderum :
Bango
Samparan dari Ponorogo, kakak dalang Asmorondono, dan Ki Kastiwa.
Di Caringin :
Galuh
Pakuan atau Walasungsang atau Cakrabuwana; Ki Kartaji; Aji Tapak Ireng; Aji
Wisa Ireng, dan Aji
Wisa
Kuning di Kampung Curuk Dendeng.
Ki
Umang, Aki Ranggading, dan Ki Kumpi di Cigintung.
Di Cimande Hilir :
Reksabuwana
atau Bayureksa di tanjakan Ciberang, dan Eyang Bangala.
Demikianlah
selesai kami urutkan
sarasilah,
nama tokoh dan petilasan di Caringin
Babad Caringin
Ucapkanlah
Asma Yang Maha Agung di Pasir Karamat kagumilah alam pada batu besar di
Pancawati hormatilah peninggalan yang sangat tua di Pasir Kuda bersemadilah
pada goa dengan air terjun di jurang Citaman pergilah menapak tilas kelima
tempat Siliwangi di sepanjang Cisalada hingga ke Curuk Merot pelajarilah
warisan Cimande pada guru yang rendah hati Kunjungilah Bumi Kawastu untuk
merundingkan perjuangan datanglah ke Legok Antrem untuk mempererat persaudaraan
dan dengarkanlah dengan teliti isi kisah babad Caringin yaitu Caringin Kurung
dari masa lalu dan Caringin Kurung dari masa yang akan datang Kemudian dengan
tekad membaja dan semangat membantu negara bersama-sama mengucapkan manggala,
sebagaimana telah disusun di Sasaka Antrem:
“Kertajaga
Bumi Kawastu, Mugi rahayu di Legok Antrem, Mugi jaya di Tegal Laga, Mejangkeun
teras hibar Karuhun”
Semoga
semua rela menata dengan jujur, Semoga memperoleh harta rohani dalam bejana
budi pekerti yang mendatangkan ketentraman, yang mendatangkan kesejahteraan.
Inilah
riwayat babad Caringin, babad yang telah disampaikan dari yang tua kepada yang
muda:
Dari
ketinggian di Sasaka Jati Pasir Karamat memandang ke bumi Pakuan memohon dan
memperoleh terang batin: “Surya Padang Caang Narawangan” menghargai dengan
hormat Bukit Baduga di Rancamaya menyaksikan dengan kagum Mandala Keratuan di
Batu Tulis melayangkan pikiran ke Watu Gigilang, yang kini terletak di negeri
Banten meneliti perjalanan sejarah di dataran yang berada di antara kedua
gunung.
Di
sini pernah terjadi gejolak dan gemuruh peperangan ketika terdengar kabar
berlangsungnya perang antara Pajajaran dan Banten juga ketika kemudian tentara
Banten meliwati daerah menuju Cikundul untuk menyerbu Begitu pula para
prajurit, perwira dan tokoh-tokoh persilatan yang turut mengalami api perubahan
jaman dan bergantinya masa; seterusnya menanamkan ciri dan corak keperkasaan
ketika bermukim di Caringin membanggakan keberanian dan kejantanan di samping
ketakwaan dan kesalehan yaitu semangat keprajuritan sebagaimana terkandung
dalam sasmita-kata :
“Bojong Katon Pasir Bedil Lemah Duhur Pangapungan Pancawati
Denda”
Ratusan
tahun yang lalu berdiri sebuah tangsi tentara Mataram yaitu di tempat yang
sekarang disebut Pasar Caringin yaitu pada jalan yang menuju ke Maseng, Pasir
Bogor, lalu Cihideung dan Kota Bogor Jauh sebelum jalan mulai menanjak dan
berbelok-belok di situlah bersemayam Tumenggung Wiranegara pemimpin pasukan
dari wetan yang gagah perkasa yang sedang berusaha keras menahan pengaruh dari
kota di utara sebagai perwira Mataram dan sebagai kusuma bangsa sebagai tokoh
perjuangan yang tak lelah berkarya.
Kapan
dan bagaimana para perwira Mataram tiba tentunya ditanyakan peristiwanya oleh
banyak orang walaupun benar dan tidaknya itu masih sulit ditentukan tetapi
beberapa bukti menunjukkannya sebagai kemungkinan.
Pada
tahun 1628 dan 1629 tentara Mataram dan Sunda datang menyerbu kedudukan Belanda
di Negeri Betawi pada kedua peristiwa itu mereka akhirnya dipukul mundur Karena
kalahnya persenjataan dan terbakarnya gudang-gudang makanan ingin kembali ke
timur jalan laut terhalang armada kompeni maka terpaksa mengambil jalan darat
di sepanjang pegunungan tengah pada peristiwa itulah mereka meninggalkan nama
dan bekas.
Rawa
Bangke tempat gugurnya ribuan pasukan Matraman tempat mereka bermukim beberapa
lama Ragunan yang bukan tidak mungkin berasal dari nama Wiragunan lalu adanya
beberapa makam dan petilasan Kuno di Caringin seperti Bayurekso-Reksobuwono di
tanjakan Ciherang ia di pusarakan dan ia disebut sebagai anak Radyaksa, cucu
Jayadiningrat dari Kartasura.
Kembali
kepada periwayatan babad Caringin Kurung katanya tangsi tentara Mataram itu
dikurung tembok dan di dalamnya ditanam pohon Caringin atau Beringin yang
dengan demikian melahirkan nama Caringin Kurung Menurut kisahnya tempat itu
pernah digadaikan kepada Belanda yang menolak untuk menyerahkan kembali ketika
hendak ditebus karena itu muncul sengketa yang berkepanjangan yang akhirnya
pecah menjadi suatu pertempuran panjang.
Semua
kekuatan pribumi baik yang gaib maupun nyata dikerahkan untuk merebut Caringin
Kurung dan mengembalikan hak Wiranegara dari kampung Gembrong di belakang
Maseng Arya Wiryakusuma membantu juga Suryakancana yang di luhurkan di
kabupatian Bogor di Pasir Muncang-Muara Jaya tegak berdiri Batara Kresna Ki
Kartaji, Aji Tapak Ireng dan Aji Wisa Ireng di Curuk Dengdeng tidak ketinggalan
pula Galuh Pakuan yang dihadirkan untuk memperkuat seluruh pasukan-pasukan
pribumi Jaka Kadir dan Jaka Bledek menahan jalan di Legok Antrem Eyang Bangala
di Cimande Hilir, Ranggawulung di Pancawati serta Aki Ranggagading dan Ki Kumpi
di Cigintung-Caringin hanya satu tokoh pribumi memilih untuk memihak Belanda
yaitu Hadikusuma, putra Tubagus Gelondong, di Cikeretek-Cibolang Dalam adu
senjata di hibar Caringin pada medan laga di bumi Pakuan itu karena kehendak
Yang Maha Kuasa pasukan pribumi tak berhasil mencapai maksudnya Bersama dengan
perjalanan waktu yang mengikis dunia kebendaan lenyap pula tempat dilingkup
tembok dimana terdapat pohon beringin itu tetapi rupanya tetap dikenang lalu
dilontarkan ke masa depan dijadikan ramalan melalui kata-kata orang tua :
“Lamun geus ngadeg Caringin Kurung, didieu bakal rame, didieu
bakal makmur”
Demikianlah
babad Caringin Kurung menurut penuturan Ki Jumanta benar tidaknya kiranya
hanyalah Tuhan yang mengetahui tetapi satu hal saja hendaknya jangan dilupakan
oleh para pewaris ini adalah tanah perjuangan, tanah keperwiraan dan tanah
keperkasaan Ini adalah tanah orang yang beribadah, bekerja keras dan membangun
kemuliaan Karena itu bangkitlah untuk Caringin, untuk tanah air dan untuk masa
depan.
Semoga menerima berkat Yang Maha Kuasa
Semoga memperoleh restu para pendahulu
Semoga mewarisi semangat para leluhur