BABAD MANGKUBUMI
DAN
NASKAH BABAD MANGKUBUMI
Pangeran Mangkubumi
Disebutkan
bahwa pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya
dalam membela kebenaran. Pejuang yang gagah berani. Kepahlawanan berarti
perihal sifat pahlawan (seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban,
kesatriaan) (Ali, 1991:751). Dalam babad
disebutkan bahwa Mangkubumi adalah seorang tokoh yang banyak memiliki
keunggulan, misalnya wajathnya yang tampan, jiwa raganya yang sehat, gagah
berani (sakti) dan sikapnya
yang
baik terhadap rakyat. Secara geneologis P. Mangkubumi adalah putra dari
Amangkurat IV dan dilahirkan oleh Mas Ayu Tejawati, yakni salah seorang garwa
paminggir dari desa Kepundhung di Surakarta. P. Mangkubumi ditinjau dari garis
ibu adalah putra kedua yang ketika masa mudanya bernama AM. Sujana.
Dalam
peperangan ini, Pangeran Mangkubumi menaklukkan daerah-daerah di sebelah barat
Surakarta, di daerah Mataram. Yang belakang sekali Pangeran Sambernyawa malahan
bentrok dengan Pangeran Mangkubumi. Terjadinya bentrok ini sebab kedua nya sama
sama bersedia mendapatkan supremasi tunggal kedaulatan yang tidak
terbagi.Sambernyawa menjadi pesaing yang serius dari Mangkubumi dalam
mendapatkan dukungan elite Jawa sebab ketika diambil pemungutan suara selang
memilih Sambernyawa atau Mangkubumi maka pilihan dan dukungan kepada
Sambernyawa melebihi dukungan kepada Mangkubumi (Ricklefs, 1991).Melihat
dukungannya menjadi kurang, Mangkubumi menyerang sambernyawa dengan daya bersenjata
tetapi Sambernyawa alih alih dikalahkan, Mangkubumi bahkan menderita kekalahan
yang telak dan serius.Daya bersenjata Mangkubumi kalah telak dengan daya
Sambernyawa.Satu satu nya jalan untuk cepat cepat bisa mendapat separuh
kerajaan Mataram maka jalan pengkianatan dilakukan oleh Mangkubumi.Mangkubumi
berkeinginan Semarang memberinya separuh kekuasaan Mataram dan berjanji setia
dan tunduk kepada Belanda serta bersiap membantu Surakarta dan Belanda untuk
melenyapkan Sambernyawa.Sbg ikatan akad yang baru selang kesan musuh maka
Mangkubumi bersiap untuk memberikan isterinya Raden Ayu Retnosari dari Sukowati
kepada Belanda atau VOC sbg tanda akad persahabatan yang baru
itu.Penghabisannya Pangeran Mangkubumi menjadi raja sendiri; sultan
Hamengkubuwana I di kota baru yang dinamakan Yogyakarta Karya sastra ini memuat
visi Yasadipura dari kejadian di atas ini. Secara umum karya sastra ini
dianggap indah dan mendapatkan kritik yang tidak sewenang-wenang oleh para
pandai kesustraan Jawa.
Sri Sultan Hamengku Buwono I
Bendara
Raden Mas (BRM) Sujono atau akrab dikenal dengan Pangeran Mangkubumi adalah
seorang pendiri dari Keraton Jogja. Semasa hidupnya ia dikenal sebagai sosok
yang memiliki daya intelektual tinggi dan taat beribadah. Ia juga terkenal
dalam keberaniannya melakukan perlawanan terhadap VOC milik Belanda.
Pangeran
Mangkubumi mulai memimpin dan menjadi raja di Keraton Jogja setelah
ditandatanganinya Perjanjian Giyanti oleh Pangeran Mangkubumi dan Paku Buwono
III pada tanggal 13 Februari 1755. Dalam perjanjian tersebut disepakati untuk
membagi wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua yakni Keraton Surakarta dan
Keraton Jogja.
Melalui
perjanjian tersebut, maka secara resmi Pangeran Mangkubumi dinobatkan menjadi
raja pertama Keraton Jogja dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Kisah Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792)
Dikenal
dengan nama Pangeran Mangkubumi, pendiri dan pembangun Keraton Yogyakarta ini
lahir pada tanggal 5 Agustus 1717 dengan nama Bendara Raden Mas (BRM) Sujono.
Pangeran Mangkubumi merupakan putra Sunan Amangkurat IV melalui garwa selir
yang bernama Mas Ayu Tejawati. Kelak, sebagai peletak dasar budaya Mataram,
beliau akan memberi warna dan ruh tidak hanya bagi lingkungan keraton tetapi
seluruh masyarakat Yogyakarta.
Sedari
kecil, BRM Sujono dikenal sangat cakap dalam olah keprajuritan. Beliau mahir
berkuda dan bermain senjata. Selain itu, beliau juga dikenal sangat taat
beribadah sembari tetap menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Budaya Jawa.
Berkat
kecakapan itulah, ketika paman beliau yang bernama Mangkubumi meninggal pada
tanggal 27 November 1730, beliau lalu diangkat menjadi Pangeran Lurah. Yaitu
pangeran yang dituakan di antara para putera raja. Kelak, ketika sudah dewasa,
beliau juga menyandang nama yang sama dengan pamannya. BRM Sujono kemudian
lebih dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi.
Mengenai
ketaatan beribadah Pangeran Mangkubumi secara rinci dikisahkan dalam Serat
Cebolek. Disitu digambarkan mengenai kebiasaan beliau puasa Senin-Kamis, sholat
lima waktu dan juga mengaji Al Quran. Dalam serat ini pula dikisahkan bahwa
beliau gemar mengembara dan mengadakan pendekatan dengan masyarakat, serta
memberikan pertolongan kepada yang lemah.
Sifat
beliau ini menghasilkan kesetiaan yang mendalam di antara para pengikutnya.
Pada tahun 1746, ketika mengangkat senjata melawan Vereenigde Oost-Indische
Compagnie (VOC), Pangeran Mangkubumi memiliki pengikut sebanyak 3000 prajurit.
Pada tahun 1747 jumlahnya meningkat pesat menjadi 13000 prajurit, dimana
diantaranya terdapat 2500 prajurit berkuda. Kesetiaan dan kesediaan mengikuti
beliau ini kemudian meluas hingga ke masyarakat umum pada tahun 1750.
Perjuangan atas Bumi Mataram
Era
tahun 1740 adalah masa-masa berat bagi bumi Mataram. Pemberontakan merajalela,
dimulai dengan Geger Pacina yang dipimpin oleh Sunan Kuning dibantu Pangeran
Sambernyawa, hingga gerakan-gerakan sporadis yang dipimpin oleh Pangeran
Sambernyawa sendiri pada hari-hari selanjutnya. Akibatnya keraton harus
berpindah dari Kartasura ke Surakarta pada tanggal 17 Februari 1745.
Untuk
memadamkan pemberontakan Sambernyawa, Raja Mataram saat itu -Susuhunan Paku
Buwono II mengadakan sayembara yang disambut dan dimenangkan oleh Pangeran
Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi kemudian bermaksud untuk mengendalikan pesisir
utara Jawa sebagai langkah strategis mengurangi pengaruh VOC di bumi Mataram.
Akan tetapi, akibat penghianatan dan kecurangan yang dilakukan oleh Patih Pringgoloyo
yang didukung VOC, langkah Pangeran Mangkubumi menemui jalan buntu.
Atas
dasar peristiwa tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian memutuskan untuk keluar
dari lingkup istana dan memulai serangan terbuka terhadap VOC. Keputusan
tersebut menuai dukungan dari Pangeran Sambernyawa. Bersama Sambernyawa,
Pangeran Mangkubumi berhasil membebaskan beberapa daerah dari cengkeraman VOC.
Di
sisi lain, pada akhir tahun 1749, kondisi kesehatan Paku Buwono II semakin
menurun. Belanda memanfaatkan kondisi ini sehingga muncul traktat yang berisi
penyerahan Kerajaan Mataram seluruhnya kepada VOC pada tanggal 16 Desember
1749. Hanya berselang hari, Paku Buwono II wafat dan kemudian digantikan oleh
puteranya Paku Buwono III. Mengetahui adanya kesepakatan tersebut, maka Pangeran
Mangkubumi dan Sambernyawa semakin sengit bertempur. Akibatnya, garis depan VOC
terdesak dan pasukannya banyak yang tewas. Hanya dalam hitungan bulan, hampir
seluruh wilayah Kerajaan Mataram sudah berada di bawah kekuasaan Pangeran
Mangkubumi.
Kegagalan
menghadapi perjuangan Pangeran Mangkubumi ini mengakibatkan Gubernur Jawa
Utara, Baron van Hohendroff, mengundurkan diri. Selain itu, Gubernur Jenderal
Baron van Imhoff yang berkedudukan di Batavia juga turut merasakan tekanan atas
kekalahan tersebut. Baron van Imhoff kemudian jatuh sakit hingga akhirnya
meninggal dunia. Berikutnya, tampuk kepimpinan Gubernur Jawa Utara yang
berkedudukan di Semarang diserahkan kepada Nicholas Hartingh.
Perubahan kepemimpinan VOC ini membawa perubahan dalam corak penyelesaian masalahnya. Hartingh yang dikenal supel dan lancar berbahasa Jawa, mendapatkan ide bahwa untuk menyelesaikan masalah ini hanya bisa didapat dengan cara mendekati Pangeran Mangkubumi dan menawarkan jalan perdamaian. Sadar bahwa dia tidak bisa melakukannya sendiri maka Hartingh mengutus seorang keturunan Arab, Syekh Ibrahim atau lebih dikenal dengan Tuan Sarip Besar, untuk menawarkan jalan perundingan kepada Pangeran Mangkubumi.
Pada
tanggal 23 September 1754, pertemuan antara Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi
membuahkan hasil. Kesepakatan yang diperoleh merupakan rancangan awal perjanjian
yang kemudian dikenal sebagai Palihan Nagari. Hasil kesepakatan ini disampaikan
kepada Gubernur Jenderal dan Paku Buwono III. Kata sepakat dari Paku Buwono III
diperoleh pada tanggal 4 November 1754. Kemudian butir-butir kesepakatan
tersebut dituangkan dalam naskah Perjanjian Giyanti. Puncaknya pada tanggal 13
Februari 1755, Perjanjian Giyanti ditandatangani oleh pihak-pihak terkait.
Dengan
ditandatanganinya perjanjian tersebut, babak awal Kasultanan Yogyakarta
dimulai. Pada Kemis Pon, 13 Maret 1755 (29 Jumadilawal 1680 TJ) Pangeran
Mangkubumi dinobatkan sebagai raja pertama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan
gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Kasultanan
Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat
Dalam
Babad Nitik Ngayogya, digambarkan mengenai kebijaksanaan dan kearifan Sultan
Hamengku Buwono I. Juga disebutkan mengenai kecerdasan beliau terkait ilmu tata
kota dan arsitektur. Dalam menentukan posisi Keraton Yogyakarta, menurut
catatan itu, beliau mempertimbangkan letak dan keadaan lahan agar berpotensi
menyejahterakan dan memberi keamanan untuk penduduk Yogyakarta.
Keraton
Yogyakarta yang berdiri kokoh hingga saat ini menempati posisi yang sangat
strategis. Terdapat batas-batas alam berupa Kali Code di sebelah timur dan Kali
Winongo di sebelah barat. Di sebelah utara dibatasi oleh Gunung Merapi,
sementara di selatan berbatasan dengan pantai Laut Selatan. Arsitektural
Keraton Yogyakarta sendiri sepenuhnya dirancang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono
I yang juga merupakan arsitek Keraton Surakarta. Tidak hanya tata ruang dan
bangunannya, semua hiasan bahkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam di kompleks
keraton dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki nilai filosofis, dan
spiritual yang tinggi. Selain kompleks keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono juga
membangun kompleks istana air Taman Sari. Atas hasil karya serta karakter kuat
Sri Sultan Hamengku Buwono I, sejarawan menjuluki beliau sebagai “a great
builder”, sejajar dengan Sultan Agung.
Peninggalan
Sri Sultan Hamengku Buwono I bagi Yogyakarta begitu besar. Beliau mencetuskan
konsep Watak Satriya seperti: Nyawiji (konsentrasi total), greget (semangat
jiwa), sengguh (percaya diri) dan ora mingguh (penuh tanggung jawab).
Konsep-konsep luhur ini menjadi credo atau prinsip bagi Prajurit Keraton, Abdi
Dalem, dan juga gerak tari yang disebut Joged Mataram. Sri Sultan Hamengku
Buwono I juga mengajarkan falsafah golong gilig manunggaling kawula Gusti
(hubungan yang erat antara rakyat dengan raja dan antara umat dengan Tuhan)
serta Hamemayu Hayuning Bawono (menjaga kelestarian alam). Semuanya menjadi
nilai-nilai utama yang menjadi pedoman karakter tidak hanya bagi keraton tetapi
juga masyarakat Yogyakarta.
Dalam
bidang seni, peninggalan Sri Sultan Hamengku Buwono I diantaranya adalah:
Beksan Lawung, Tarian Wayang Wong Lakon Gondowerdaya, Tarian Eteng, dan seni
Wayang Purwo.
Sri
Sultan Hamengku Buwono I wafat pada tanggal 24 Maret 1792 (1 Ruwah 1718 TJ),
dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri. Kelak, pada tanggal 3
November 2006, sebuah negara non kerajaan yang proses kelahirannya sangat lekat
dengan keturunan beliau akan menganugerahi Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai
Pahlawan Nasional atas jasa-jasa dalam memperjuangkan jati diri bangsa
NASKAH BABAD MANGKUBUMI
Ing
sakonduripun sanget kaduwunging penggalih tuwan Eseman ingkang maru, bupati
kang jumurung rembag kang lenggah wadana ngantos wonten ingkang pejahipun
kalawe.
Saking
aturipun bupati ingkang jurung rembag wau, sarehning tilas Oprup Surakarta
amemundhuta sawetawis kados angsal. Punika menggah prakawisipun Pangeran
Prangwadana, inggih semanten ugi sanget kaduwungipun dene noyanipun telas.
Semanten
tuwan Panredhe wonten Betawi kathah prekawisipun, anunten ngajal. Sampun
kagentosan Komasaris Jendral, sarta misuwur badhe mertamu dhateng ratu
sekaliyan.
Tuwan
Oprup Iseldhik anglangkungi bingahipun, ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan sareng
mireng yen badhe wonten tamu Kamasaris Jendral. Raden Tumenggung Natayuda
kaapunten, wangsul lenggahipun lami Kaliwoning Patih. Raden Tumenggung
Martanagara lumebet dados prawara sekawan, semanten Ingkang Sinuhun animbali
Oprup Iseldhik kadangu badhe wonten nama punika.
Ingkang
pangandika, “Arep ana gawe apa? Nanging ing kene ora ana apa-apa, lang ingsun
wis karuwan yen kabawah dening Kumpeni Jendral. Amung aja gawe malu bae”.
Aturipun Oprup Iseldhik, “Ingkang punika kula boten mangertos, pangandikanipun
Sultan makaten. Kaliyan dereng kantenan tamtunipun, sebab kula dereng tampi
serat. Sanadyan tamtu mertamu, punapa ingkang dados sumelang sobat Kumpeni lan
Jawi?”.
Ingkang
Sinuhun angandika, “Iku mesthi ewuh luhuring kaurma* an. Yen banget ngungkuli
Gupernur, ingsun pasthi ana kiwa”. Oprup Iseldhik melehaken pangandika wau,”
Sultan sampun angraos piyambak, estu sepuh Kumpeni karatonipun. Nadyan
Komasaris Jendral tamtu boten purun wonten kiwanipun tuwan Sultan”.
Ingkang
sinuhun langkung awrat galihipun, Oprup Iseldhik suda tresnanipun lajeng pamit
mantuk. Kacariyos Oprup Iseldhik pamit dhateng Idlir ing Semawis anuwun tempo
nggenipun jagi Nagari Ngayogya. Sabab asring . seliringan kalayan karsanipun
Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan. Boten wande dados aseman, manggih dedukanipun
Jendral. Lan sampun nate kasendhu dhateng ing tuwan Besar. Sabab lampahing
nagari kagalih sesrama patrap, keranten kaprayogi sawetawis karsanipun
kadherek. Dene ingangkat ratu, Kumpeni priksa yen mursal, kuwasa nglungsur
tuwin damelan teksih kasumitra.
Mila
ing sawetawis den mong, saking dening rumeksa tentreming Nungsa Jawa. Tuwan
Oprup Iseldhik tinurutan, njagi kantor Surabaya dados Sekeber lenggahipun.
Ingkang gumantos Oprup Pandhenbereh, ananging dereng mupakat ngantosi kuntrak
pengangkat.
Ingkang
Sinuhun lajeng suka, dening dhateng Oprup Iseldhik boten condhok. Nujoni dinten
Saptu, Oprup sowan lan Pandhembereh, namung taksih dados Bekahur, lenggahipun
kursinipUn mawi kasuran kasami kalawan Oprup. Saking karsanipun Ingkang Sinuhun
ing benjing masa wandea mawi. Tuwan Oprup Iseldhik sanget nesunipun,
kasuranipun kadhupak dhawah ngarsa daIem. Nanging penggalih dalem ugi leres
ingkang nepsu. Tuwan Oprup lajeng pamit mantuk, para bupati
sangetpengungunipun.
Ing
sawusing kurmat, Oprup Iseldhik pasrah sorog, pamit kesah saking Nagari
Ngayogya. Amitungkas dhateng Raden Tumenggung Natayuda, “Becik kang ngati-ati,
karo dene maneh Pangeran Natakusuma kenaa dirungokake saka nagara kadohan”.
Ing
semanten Oprup Pandhembereh kacariyos, inggih boten patos rujuk akaliyan
Ingkang Sinuhun. Asring sliringan margi saking piyakahipun Ingkang Sinuhun.
Para bupati manglahmanglih saking ewed ingkang linampahan, yen pinuju Oprup
nesu kakresakaken ngrapetaken. Yen Oprup lega, pinakung panuwunipun. Kangjeng
Sultan boten panggah, mubeng sabarang ingkang rinembag, singlar angampunging
bala.
Tuwan
Oprup mutungi pasang, ngantos angaturi rembag dhateng Gupernur ing Samawis.
Ngrembag Kangjeng Sultan, prayogi linorod sinahnan ingkang respati. Kumpeni
kaluhuran winangun kalawan aprang, Idlir Sakeber boten rembag. “pandhembereh
kumawawa angrembug. Dudu bobote anyalini ratu, durung trang kang gedhe, sisip
dahuru jaman agawe tuna, pasthi nemu paukuman”.
Parentah
amung lereh-lirih, ngaturi pratela sabarang solahing ratu masa borong Rat
India. Pandhembereh sareng mireng sakalangkung ajrihipun, Kangjeng Sultan boten
priksa yen dipun maha. Semanten Komisaris Jendral ingkang kawartos rumiyin
dhateng Semawis, saha lajeng suka serat dhateng ratu sekaliyan, nembung badhe amertamu.
Rat
India Nagri Welandiingkang sami pitungkas, kakarsakaken apepanggih sedaya para
Raja-Raja ingkang prasobat dhateng Kumpeni anglulusna kapenedan, ngiras
papriksa kantor Kumpeni ingkang wonten Tanah Jawi.
Yen
lega Ratu kekalih, angrumiyina pepatihipun, tunjuk muka dhumateng ing Semawis.
Barang reh kang sumelang, rinumbug rumiyin. Ing benjing bilih pepanggihan
sampun wonten ingkang simpen galih, patih kalih mangkat dhateng Semawis.
Patih
Danureja kenging rengu, saking wewelingipun Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan
kathah pabelanipun. Komisaris Jendral langkung duka dhateng Oprup Pandhembereh,
“Yen mengkono, Tuwan Ingglar, peten tengah. Gawenen tugu nagara, wates Sala lan
Ngayogya. Ratu loro konen gawe loji, sapa kang mbangkang ora gelem nggarap, iku
wis tita alane, sedheng rinengkuh satru”.
Komisaris
Jendral lajeng dhateng ing nagari Bangwetan. Patih Surakarta tinarima ananging
boten amertamu. Patih Danureja antukipun suntrut, Idlir Singglar amertamu
dhateng Surakarta tuwin Ngayogya andadosaken loji tengah nagara. Dhusun
Kalathen ginarap roroning tunggil, kacariyos sampun kalampahan sarta kaenggenan
wadya Kumpeni, tetindhipun kumendham. Mawi demang jagi tunggu enggon, Ratu
kekalih sami urunan.
Kacariyos
Jendral Setratel tilar dunya, Idlir Wise ingkang gumantos dados Gurnadur ing
Nagari Ngayogya. Raden Rangga Mancanagari ngajal, anakipun gumantos lajeng
kapundhut mantu dening Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan. Dhaup ingkang rayi
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom .Amengkunagara, lan sampun cinetha tiyang
nujum kang alul petangan. Yen benjing dados ratu sapadang-sapanginang tamtu
anglakoni dadi ratu. Alas Pethik kang dipun enggeni, sampun dados pocapan.
Rangga Pethik benjing yen dados ratu, amiwiti rengkaning bumi. Samanten Kyai
Adipati Danureja ngajal, Raden Tumenggung Martanagara ingkang gumantos, nunggak
semi dhateng ingkang eyang ananging sanes wewatekanipun.
Ingkang
eyang ambeg mulyarja, Raden Martanagara ragi gumunggung. Ingkang Sinuhun
langkung asih dhateng mantu tetiga, Raden Tumenggung Sumadiningrat, Raden
Rangga, Raden Patih Renggengkara, putra jaler anggepipun Ingkang Sinuhun
Kangjeng Sultan.
Kangjeng
Gusti Pangeran Dipati ing galih sugun-sugun dhumateng ipe tetiga, amulet sih
para ipe den pasrahi, ingkang sarira tinitipaken. Para ipe sami sumungkem
dhateng Kangjeng Pangeran Dipati, ingkang rama galihipun sakalangkung mengkak.
Dene para ipenipun sami suhud dhateng Pangeran Dipati.
Sabarang
karsanipun den palangi dhateng ingkang rama. Pangeran Adipati langkung kaken
ing galih, dene ingkang rama boten maklum dhumateng ingkang putra. Mantu tetiga
asringasring dhinendha picis, saking galih benter.
Raden
Rangga, Raden Sumadiningrat sami ajrih benggang lan Pangeran Dipati, amung
Patih Danureja saya anjar’ag trapnya. Den ranggoni Pangran Dipati gelarnamar
maras tebih lan patih. Bindondhet wrating tresna, dados sabyantu mangan upas
barang ngemasi. Ingkang Sinuhun mangu ering, karsanipun ingkang putra den
palipir den kewat, dipun semoni. Deres manggung rinaosan, Raden Rangga, Raden
Sumadiningrat ingkang manah mandhek tumolih. Menawi ing benjing kantun lan
patih, sihipun Pangran Dipati yen sampun jumeneng ratu dados rebut dhucung
ngaturi tur sesinglon.
Ingkang
Sinuhun mireng wegah, kang galih sampun ering dhumateng ingkang putra Pangran
Dipati. Asring-asring kang paman Kangjeng Pangeran Natakusuma kadamel ngrogo
batosipun, Raden Patih yen den pilaur ingkang paman sudarma yektos. Danureja
nangga setya Islam, medal saking umat Rasulullah.
Yen
awrata dhateng ingkang paman, boten liya ketang pyuhing manah amung Kangjeng
Gusti. Sanadyan dhateng rama dalem Ingkang Sinuhun, yen tan yukti apeputra ing
Kangjeng Pangeran Dipati utawi salinkarsa, putra Hya ingkang dipun badheni
labih bicara rungsit, Enggala Kangjeng Gusti jumeneng Ratu, temahan sinatru
boten keweda dhateng ingkang rama tuwin dhateng ingkang paman.
Epyuhing
galihipun Pangran Dipati, boten sela-sela dhateng patih masrahaken raga jiwa.
Kacariyos marasepuhipun Pangran Dipati, Raden Sasradiningrat mrina. Ngaturi
penjawil dhateng Kangjeng Pangeran Natakusuma, cethaning wong pepetengan, ajar
tapa ing gunung Wilis. Yen ing berljing Pangran Dipatijumeneng ratu, sabbyantu
nunggil galih kang paman ngembani ratu, mulus kawijayeng rat.
Yen
wong agung kalih sengit, saestu kocar-kacir melasaken Nagri Ngayogya. Gumujeng
kang tinuturan, ingkang pangandika, “Nora sedya, nora ngimpi ngembani, awake
dhewe ora sampet sakabehe. Ora peget
cuwalan, tur nora cukup. Kakang Sasradiningrat asung pemut, trima kasih. Yen
saestu njangka, dede reka daya. Mantune kang dipengetna, yen mamrih karya
sayekti. Sigug wong kebawah, gampang wisesa kang misesani” Andheku kang sinung
sabda, tembungipun, “Ajrih matur, asring boten kadhahar. Salah galih kawastnan
mamrih ungguling putra dalem estri, bicara tanpa wusana”.
Sasradiningrat
sampun mantuk, semanten Kangjeng Pangran Natakusuma, sampun kathah ingkang putra
kakung putri tan dreman yuswanipun. Sepalih ingkang seda, sepalih ingkang
rahipun pait. Wonten kakungnama Raden Mas Salya, sedheng sampun diwasa dados
kanthinipun ingkang raka sepuh piyambak. Putra telenging galih, kala dutane duk
wonten kabar lampor geger gumuruh Nagara Ngayogya. Yen metu budine benjang
tedah ngontragaken nagari. Nalika kang ibu meh anyidham, wonten kapal angrik,
ngupadosi ingkang ibu. Kados kandhuhah najar, kang katrajang bubar tumunten
kaprajaya dhateng Kangjeng Pangeran Natakusuma. Kapal wau pejah, wonten tiyang
ngimpi, ajar njaluk ruwat ngupados ingkang dipun ngengeri. Kacariyos Oprup
gantos Pandhenbereh, pilenggah Oprup ing Surakarta, Waterlo ingkang gumantos
wonten Nagari Ngayogya. Saya resah, Oprup sugih sambutan.
Kangjeng
Sultan remen pepara ing wana, ardi Banyakan kadadosan Indrakila kang nami.
Sakilen Kreseng Kanigara namanipun kinantha pesanggrahan, margi pinrapat.
Nuju
mangsa rendheng mempenging jawah, kidang menjangan sami nebih. Ingkang Sinuhun
langkung cuwa kang galih, pra bupati kabageyan urun ngiseni bebedhagan,
pandamelan awratipun anglangkungi.
Bupati
mantri sami ngresula. Ingkang Sinuhun, nuju mesanggrahan nyare ing Kanigara ing
ardi, badhe nimbali putra santana numpu sarta dhahar eca, kenthing dinten Kemis
eniing.
Semanten
Pangeran Natakusuma kagungan tiyang magangan ing Mangundipuran, Wiryatruna,
saos bekti matur wadi. “Saking jrih munjuk, kawula lit sanget mrina ing
Kangjeng Gusti sabab badhe bineskup dhateng ingkang raka dalem.
Ingkang
Sinuhun wonten ardi, margi para sekawanan punika prantos pasangan. Kangjeng
Gusti ingapus krama, baris pendhem tinedah keping. Ing margi badhe abrubuh,
kula mireng piyambak, boten nyambut pamireng.
Marengi
Kyai Tumenggung ngrembag sabab punika, ingkang Sinuhun parentah. Kula siluman,
nalikeng kabar rehning paduka tinarka boten sumuyud ing raka dalem. Dados
kelilip ing wingk.ing, sum.edya kaimpes ing wana.
Kejawi
saking karsa dalem, prayogi dipun oncati, tengkar prabawaning prang. Begja
singa. tiwas Kangjeng Gusti ngrebat nagari. Tiyang Ngayogya kathah sami sakit
manah, boten sumungkem ing raka dalem, Ingkang Sinuhun.
Kangjeng
Pangeran sareng mireng, kumepyur galih pepanggihan. Partisara ingkang kagalih,
lan angraos saral. Dados kathung lan boten kagungan abdi ingkang prawira, lan
boten angraos galih silib.
Semanten
Kangjeng Pangeran Natakusuma dumugi ing semados. Kemis enjing tindak piyambak
tanpa abdi, amung lan gamel buntut kapal, ingkang abdi kantun sadaya.
Sareng
dumugi ing ardi, tiyang satunggal dereng wonten. Wanci jam sekawan, sareng byar
para sentana sami dhateng ndherek Kangjeng Gusti Pangeran Dipati. Taken ing
paman, wangsulanipun ajrih kantun. Semanten sampun miyos Ingkang Sinuhun, saha
den iring prajurit estri, putra santana sampun bodhol, tuwin prajurit lebet
sami mbebedag.
Ingkang
Sinuhun langkung suka. Sesampunipun kendel anunten dhahar, ingkang Sinuhun
kondur. Lan asring-asring miyos ardi wetan Indrakila. Tuwan Oprup katimbalan,
tuwin lelangen ing seganten.
Samanten
Ingkang Sinuhun sampun kondur, Kangjeng
Pangeran Natakusuma rumiyin, kabar badhe pinrantos wonten ngardi
Kanigara. Kenyataanyen wong bebangus, akaling Mantri Prameya saking kawraten
ing damel mamrih mayar.
Yen
Pangeran purun mirong, nadyan kathah para sentana, dununging sih swarga amung
satunggal punika. Pangeran Natakusuma pantes rame lan ingkang raka. sagendhinge
katadhahan. Wong Ngayogya enggal suyud, wong cilik gampang memecuk sapada
dikinawulan. Rewange gunem, pikir lan Ki Wiryatruna lan sampun dados Mantri
Panuwa, patine ketonjokan sinuduk ing kancanipun.
Kacariyos
Raden Tumenggung Natayuda mentas saos nandhang sakit, mung sedalu lajeng
ngajal. Rerasaning wong, boten liya kajawi Raden Patih kang misayani. Sebab yen
taksih kang uwa, sabarang kajengipun cuwa. Yen sampun sirna, boten saksak
ajengipun dados. Nagari Ngayogya kagem tingaIanjer Tumenggung Natayuda
ngemoning Pangeran Natakusuma.
Entheng
abot sinangga kang rama satru ati. Lenggahing Natayudan lami dereng kagentosan,
kados wonten ingantosan karsa dalem Ingkang Sinuhun.
Dene
Raden Tumenggung Natayuda, tilar anak jaler kekalih, anunten gumantos. Ingkang
sepuh nunggak semi nama Natayuda, ingkang anem nama Nataprawira. Kaliwon Patih
Bekel lowong, mangka wakil Pangeran Dipakusuma ngalih dhateng njawi.
Kathah
bupati anyar, sami liyeran linggih. Kang rinaket dhateng Ingkang Sinuhun, abdi
kadipaten Panji Purwadipura Gedhong tegen pinisepuh.
Semanten
Kangjeng Pangeran Natakusuma, tilaripun Raden Tumenggung Natayuda sanget
prihatin. Raosing galih upami tiyang lumampah kapejahan obor ing margi. Lan
kados baita, layaripun tatas, juru mudhi boten gumilir, pancer juru pandoman
tatas. Juru semprongipun bawur, angin anglangkungi keras. Boten wande gonjing,
katempuh pakewed, lan boten wande kabentur parang.
Semanten
Raden Adipati Danureja sampun salin, sajak angisin-isin dhateng Pangeran
Natakusuma. Dening Natayuda sampun ngajal, dhedhukune wis ora ana. Kados
mekaten semunipun, Raden Patih saya maludag boten wonten kang dipun pakeringi.
Kacariyos,
satilaripun ingkang sami sepuh, kantun ingkang para nayaka anem. Mantu tetiga,
bupati kencong, sami rebat sihipun Pangeran Dipati. Dhasar sami sugih sumekta
bandha, ngrumanteni wisma. Kelangenan ipe nem Raden Rangga anglangkungi
beripun, buda mangreh Mancanagari.
Tansah
angatur-aturi’kang sarwa edi, Raden Patih kewedan temah kasmareng dyah tur
kaponakane. Sinandi den margani dhemit sumesep puyuh, penggalihipun Pangran
Dipati dhateng Raden Patih.
Sareng
kauninga, Ingkang Sinuhun langkung dukanipun. Lebet anggenipun anampeni
penggalih, enget ing kina Trunajaya lan Pangeran Pekik.
Raden
Patih dhinendha picis, bapakipun sanget pinendir lan asring-asring
kinabaur-kinaburaken. Raden Patih sakalangkung prihatinipun, sedya pinolih
boten pakantuk wewah karuntikan. Pisungsunga kang luwih yen dudu iku.
Kacariyos
ingkang putra Kangjeng Pangeran Natakusuma ngabdi dhateng ingkang Sinuhun
langkung kanggep. Lan sampun kawentar yen badhe kapundhut mantu dhateng Ingkang
Sinuhun. Raden Patih jail paekanipun, ingkang kadamel ndhadhani silip, Raden
Mas Sabirilan. Kangjeng Pangeran Natakusuma sampun kapanggih, matur dhateng
ingkang raka anuwun dhuwung kadamel mirong.
Yen
sampun santosa, kula sumangga darmi nglampahi. Mila kula marsudi sanget, sakit
manah kula dene Ingkang Sinuhun boten ngopeni dhateng ing kula.
Kangjeng
Pangeran Natakusuma boten kalentu, tampining galih estu yen punika bujuk.
Ingkang rayi cinepeng astanipun sarta kapopor, ingkang pangandika, “Katon apa,
ujarmu kaya ngame. Aku ora gelah ing ratuku, dene kowe kaya wong baring”
Ingkang rayi sanget arjihipun, sampun balaka yen sandining patih kangi aken
anglobong. Kula yen angsal tandha dhuwung agemipun kangmas, kula kasukanan
lenggah sarta yen rabi kabayangkarya.
Kangjeng
Pangeran sareng mireng sanget getunipun ing gaUh, geteripun ingkang rayi den
arih-arih sarta kaparingan yatra lajeng ndikakaken mantuk.
Kacariyos
ing antawis lami, Raden Mas ginentosaken kabupatenipun. Ingkang uwa, Pratiwa
jawi kiwa asring kasrimpet kasandhung margi, saking akaling patih prebawa
saking sudarmanipun. Dening sumbaga guna, putus ing kawi, renggang rasa,
kacaryan ing ratu. Drengkine saya ketara, keranten dipun akali yen ngungkuli
sariranipun angraos wirang isin bapa tinandhing lan rama.
Raden
Patih angait Bupati lebet. Arya Sindureja panas dhateng Pangeran Arya
Natakusuma. Raden Sindureja mila tumuripun manawi beksa kinembar-kembar.
Ingkang Sinuhun swargi, sanget kamayungyunipun. Ngantos dados galihanipun
ingkang Sinuhun, punika nalika taksih Pangeran Dipati. Ingkang Sinuhun swargi
mrina welas. Sinusupaken pinundhut sihipun, ingkang putra dhaup putri
Kadipaten. Kaping kalih putrinipun seda, reraosanipun tiyang kathah, Sindureja
saya mongkok piyangkahira, ing manah nunggil panceripun lan Pangeran
Natakusuma. Sasolahpatrapipun ingemper den tiru, supe dhateng asalipun.
Kancanipun mantri sami amengeti, sampun nyipta trah kusuma. Ngraosa kawula
yektos, nanging kathah ingkang ngumpak, sabyantu lan Raden Patih. Lan
sinanggupan lungguh sentana, benjing yen dados rekanipun sumilih Pangran
Natakusuma.
Raden
Patih abapa yektos bekti boten sela-sela, Riya Sindureja sengit dhateng Pangran
Natakusuma. Nunten Riya Sindureja sakit lumpuh. Raden Patih ing manah langkung
cuwa. Putra sentana sami kinait sungkema dhateng ing Kadipaten, ananging
Pangeran Dipati taksih ajrih dhateng ingkang rama. Amung supados kathaha
ingkang pisungsung, Raden Patih ingunggar-unggar, kawuron nggenipun amamrih
sih. Raden atih ngepak dagangan, anglangkungi kathah sambutanipun.
Yen
tinagih, malang kodhok tetawa picis ing jro kadhaton. “Aja kuwatir bab panyaur.”
Para putra santana ing manah sami ketir dening kasagahanipun Raden Patih.
Ingkang Sinuhun priksa yen patih kathah sambutanipun, cipta ambadheni ingkang
putra badhe meksa dipun andhemi.
Semanten
Pangeran Natakusuma saking watiring galih, matur dhateng Pangran Dipati, mugi
den supeketna pun thole kalawan Prawara tiga.
Pangran
Dipati wangsulanipun makaten,” Punika prakawis punapa?”. Kangjeng aturipun,”
Mupung dereng, saking kuwatir kula”. Pangeran Dipati wangsulanipun,” Enggal
sukaa priksa ing kula, kula ingkang abersihaken. Lan yen adhi Natadiningrat
dados ipe, masa kula sanesaken kaliyan tiga punika”.
Semanten
sampun luwaran, Pangeran Natakusma lajeng dhateng ing Danurejan nuju kang rama
Raden Patih wonten, tuwin Raden Rangga. Ingkang pangandika Kangjeng Pangeran,”
Si kakang Danukusuma mangka sahit. sarehning wong nom yen ana laiine
saprayogane angelingna”.
Danukusuma
sagah,” Yen adhimu iku besuk katriman putrane kangmas Sinuhun, aja ana kang
benceng pikir. Kelut panasing wadon, meri padha sadulure. Sapira kamuktene wong
ngaup padaning sinjang, lali marang sesanak. Yen nemu susah, tunggal wekase”.
Aturipun
Raden Patih,” Dhateng leres rama, boten sumilir sarambut”, ucapipun sarwi mesem
dhateng Raden Rangga wangsulanipun, “Dhateng kasinggihan”.
Semanten
Kangjeng Pangeran Natakusuma sampun kondur. Kacariyos Ingkang sinuhun Kangjeng
Sultan, Raden Ayu Sriwulan nama kangjeng Ratu Kancanawulan.
Ratu
Anem, ingelih namanipun anama kangjeng Ratu Mas. Nama Ratu Anem, kaparingaken
ingkang putra Raden Ajeng Sepuh, jumeneng Ratu Anem. Ingkang embok-embok sedaya
Raden Ayu, Sumadiningrat kanamekaken Ratu Bendara. Ratu Angger kaparingaken
dados namanipun Raden Ayu Patih, dene Raden Ayu Rangga nama Ratu Maduretna
sarta sami kaparingan upacara.
Kacariyos,
Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan amemantu Raden Tumenggung Natadiningrat ingkang
kapundhut mantu dhaup lan ingkang putra Kangjeng Ratu Anem. Marengi wulan
Jumadilakir, Ingkang Sinuhun langkung suka kadumugen karsanipun.
Semanten
putranipun Pangeran Ngabehi, putra estri kapundhut sinareng kepanggihipun
Pangeran Jayakusuma. Tuwin anakipun Kyai Mangundipura kapundhut mantu anama
Raden Jayadipura. Sekawan penganten putra dalem Ingkang Sinuhun, putranipun
Yudakusuma saking peksanipun ingkang rama. Dene garwanipun ingkang Sinuhun
tiga, dados pangaring. Putra jangkep tiga, Ingkang Sinuhun among ing garwa,
pinarak dhateng loji.
Oprup
Puterlo kang njagi pista ing Danurejan tuwin Srimanganti. Pangeran Ngabehi semu
meri, Pangran Dipakusuma dados aseman tinerka angrojongi anjunjung ing
lurahipun. Ngundhamana Pangran Dipakusuma, wicantenipun Raden Patih,” Ora ana
ta weruhi, Liyane kejaba seka Kangjeng Gusti Pangeran Dipati. Dene liwat iuwih
ngidhepken para Tumenggung”
Pangeran
Dipakusuma wicanten dhateng Raden Rangga, “Keranten kula pepundhi, dening sami
kang rayi Kangjeng Gusti tuwin ki lurah punika. Nama penganten, ageng alita
ical sikuning nagari. Ngangge awisan saprayoginipun, saestu kenging. Punika
adatipun, karsa Ingkang Sinuhun swargi”.
Raden
Patih mireng, saya s§nget nepsunipun. Sareng sampun sami dumugi anggenipun
dhaharan, lajeng bibaran. Pangeran Natakusuma utusan mriksa panggenanipun
ingkang puttra, sareng dumugi Kepatihan utusan tinangkep ing Raden Patih.
Raden
Patih sarwi jelih-jelih, sanget nepsunipun. Wicantenipun, “Jer rama ora ngandel
menyang aku, aku ora wedi rama, wedi Kangjeng Gusti”. Utusan wau lajeng
wangsul, Raden Patih matur dhateng ingkang eyang,” Kula boten saged nglampahi
lampahan kados makaten punika, kula ajrih wayah dalem Kangjeng Gusti.
Rama,
pun adhi tamtu enggal surut Kyai, Kangjeng Gusti tamtu enggal surut Kangjeng
Sultan, mila Kangjeng Ratu Kedhaton sanget gethingipun dhateng Ratu Kancana.”
Pangandikanipun
ingkang eyang,” Lumrahe wong nunggoni panganten disugun-sugun. Munduran teka dituturi,
dawa cendhaking umur”. Kacariyos, Pangeran Natakusuma sareng mireng enget
pitungkasipun Raden Tumenggung Natayuda rumiyin. Estu sanes watekipun kang
eyang Raden Patih. Punika samanten Raden Patih, aremen angrong ing pawestri,
para putri sami ginribig. Kacariyos Ingkang Sinuhun mireng solahipun Raden
Patih, saya sangga runggi. Lan boten surut dhendha picis, sewu, kalih ewu.
Raden Patih yen atur-atur penggalih dalem, trima lowung. Saestu Ingkang Sinuhun
boten samar dhateng pamrihipun tiyang juti, Raden Patih saya njarag-njarag.
Ciri wanci, lelahi ginawamati. ngGenipun nyengkiwing boten mantun dhateng
kancanipun bupati, Dipun uwus-uwus dhinendha saya ndelarung, mantunipun amung
sakedhap.
Kacariyos
Raden Tumenggung Natadiningrat; kawulang dhateng Ingkang Sinuhun. Pangandika
dalem,” Kang kenceng, aja gumedhe. Rasa sedheng, sapatute. Yen besuk dadi ratu,
tuwa kowe dititeni. Yen loba mburu aleman, pryogane mung aja den sengiti. Yen
raket, panas galihingsun. Wis, wadining Ratu rong prakara. Kadipaten, Kepatihan
wakamu, Natayuda wong lebda dadine nyenyengit. Ana meningan pepatih, nanging
ingsun wedi ngrasani. Batine wani menvang aku, dene Sumodiningrat wong sentosa,
nanging pepikiran laku. Si Rangga dhasar jawal, nanging ladekediranggoni. Mung
penjalukku marang kowe; di sepakon parentah anglokoni. Kowe kaponakanku, anake
adhimas. Iku bae aja ngandelken ing ati. Ngawula, ya ngawula”. Raden
Tumenggung, mituhu ing weling.
Kacariyos,
Raden Patih langkung panas manahipun dhateng ingkang rayi Raden Tumenggung
Natadiningrat dumugi ingkang garwa. Sabab angraos sumbaginipun kantun tumempuh
dhateng ingkang rama Pangeran Natakusuma. Ananging sandenipun sae, lan sedaya
putra sentana sami karuket mamrih anggening mbaceri para Pangeran sinludhah.
Mila
ing semanten, Raden Patih kathah sambutanipun. Lan ing saben dalu reroyoman.
Amung Pangran Kusumayuda ingkang boten tumut, awrat tresna dhateng ingkang
raka. Ananging dipun persudi, lan sabarartg patrap gampil kadamel rungsit,
menggahing bicara ageng.
Kacariyos
Nagari Batawi, Jendral Wise .kendel. Kagentosan Jendral Laut, nama Dhandheles
Mareskal. Susuhunan Prasman Napoliyun ingkang ndamel. Lawan wonten
sor-soranipun nama, Jendral Mayor Wekes punika ingkang jagarunani yen wonten
pambenganing Jendral Dhandheles Mareskal, punika ingkang anyambeti. Lan sampun
mupakat, pundi ingkang dados bawahing Kumpeni sadaya, ing Nagari Ngayogya
ingkang pineleng. Kocap Ratu ing piangkah dhateng Oprup dipun rengkuh abdi,
dhateng Kumpeni tanpa kering. Rembag badhe kasalinan Oprupipun, amilih Welandi
ing Betawi nama Piteriglar. Punika ingkang sumarah, anyagahi andhesek nata
Ngayogya.
Sarta
bisa bicara, berbudi. Ing Surakarta inggih semanten ugi, Tuwan Pambram ingkang
tinedah mantuk, wonten Idlir saking
Semawis, Idlir Aglar linepas, mung Landros kang tengga Surakarta.
Ngayogya salin Oprupipun, Waterlo dhateng Surabaya. Ingglar Oprup ing Ngayogya,
nunten sinussulaken prentah malih saking karsanipun Jendral kang nama Oprup
Minareng sarta Minister namanipun atas kang anedah wakiling pangreh Gupremen. Mister
Ngayogya anggentosi pangwasanipun Gupernur ing Semawis, lan sinung tandha
bintang sarta winenang payung mas padhang bulan.
Lan
Kangjeng Sultan lenggah jajar ngajengaken ing Ratu, Minister boten kenging
trapipun, sami lan Kangjeng Sultan. Ing sanalika campur ing pundi-pundi nggen
pinarak Kangjeng Sultan. Boten kenging angungkuli ing Minister, lan kenging
manggung topinipun.
Yen
Kangjeng Sultan minum, inggih boten kenging Minis ter angladosi. Lan yen
Minister dhateng utawi mantuk, Kangjeng Sultan enggal jumenenga. Yen besiyar
pethuk, boten kenging yen mudhuna saking tumpakan. Amung bukak topi, wenang
Minister angagengaken urmat.
Ingkang
Sinuhun Kangjeng Sultan, sareng mireng sakalangkung kaget ing galih. Sanget
pangungunipun, angraos dhinesek karatonipun. Ingkang Sinuhun nunten amasang
lelungit, nanging Minister angirih-irih boten angragoni, prentah kadamel
selotselotipun kemawon.
Kacariyos
Jendral Wikes angejawi medal Surapringga, lajeng dhateng ing Surakarta.
Kangjeng Sunan sampun kentir saaturipun Minister Pambram, boten suwala
linampahan. Wonten Solo boten lami, nunten Jendral Wikes dhateng Ngayogya.
Raden Adipati Danureja, Raden Tumenggung Natadiningrat methuk wonten ing
Kalathen. Putra Pangeran Mangkudiningrat ing Kalasan pamethukipun lan ingkang
rayi Pangran Mangkubumi.
Pangeran
Dipati wonten Jenu pamethukipun, Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan wonten
Wanayasa. Sor timbang Idlir ing Semawis, amung kaotipun Jendral yen lengggah
wonten tengenipun Ingkang Sinuhun. Boten antawis lami Jendral Wikes wonten
Ngayogya, nunten wangsul dhateng Surakarta malih.
Kangjeng
Sunan kaparcaya urmatipun anglangkungi, ing semanten Jendral Wikes sampun
mantuk saha lajeng layar dhateng ing Nagri Welandi.
Kacariyos
Dhandheles Mareskal Gurnadur Jendral, badhe kuliling dhateng Tanah Jawi.
Prajurit pinepak, kirang langkung saradhadhu pitungewu. Sabab bok menawi wonten
prakawis, sampun suka srat dhateng Ratu sekaliyan Surakarta tuwin ing
Ngayogyakarta. Nalika punika kaleres wonten nagari Semawis. Kacariyos
Prangwadana sowan dhateng ing Semawis, katrima dhateng Kumpeni sinung tandha
bintang dening Tuwan Besar. Ingangkat putra wuragil, mangsuk dados prajuritipun
Kumpeni. Wondene namanipun Pangeran Arya Prangwadana.
Kacariyos
Ratu sekaliyan sampun tampi serat, Kangjeng Sunan miturut sumangga pmaraka,
Tuwan Panbram ingkang ndhalangi. Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan ing Ngayogya,
ing galih salah tampi. Ubeg sadhiya kuda, warastra. Horeg tiyang sanagari,
sarta mirantos.
Tuwan
Jendral sareng mireng, sanget runtikipun. Lajeng suka srat dhateng Ratu
sekaliyan, yen panuju nggalih putra tuwin santana wontena kang dhateng Semawis
supados sami ningalana pirantosing gelar yen tiyang Inggris andhatengi.
Surakarta
anglampahaken niyaka santana, Pangeran Mangkubumi. Ing Ngayogya ingkang
tinedah, Rangga Prawiradirja kinanthen Pangeran Adinegara, Pangeran Dipakusuma
kalih ngiras Surati.
Sampun
dhateng ing Semawis, lajeng amangsuh ing Tuwan Besar. Ananging Jendral semu ewa
dening manthelang lajeng ndikakaken ningali galadhi, lajeng ndh;kakaken mantuk.
Ingkang
Sinuhun Kangjeng Sultan, tumimbang sarapeksa. Jendral mireng sanget dukanipun,
Pangeran Prangwadana pinalih prajuritipun. Ingkang sapalih mangsuk Loji
Ngayogya,” Nanging aja salah gawe, yen durung masa” ‘Dumugi Ngayogya lajeng
mlebet ngloji, Minister lngglar ingkang anyareteni.
Ingkang
Sinuhun Kangjeng Sultan sareng mireng, anglangkungi dukanipun. Para putra
santana sami katimbalan, aprituwin bupati wadana prajurit. Ingkang pangandika,
“Kepriye karsane Jendral penganggepe menyang sariraningsun, ngrasa temen ingsun
iki kang ngangkat Ratu iya Kumpeni. Wedi, njarag tunggak kemadhuh. Digepyokake
menyang aku Negara gumelar tan milu menyang akerat. Wong urip wekasan mati,
audu wong lanang yen wediya tandhing Prangwedana”.
Sawega
kang sami mireng, labuh ngasmaradilaga, paglaran binarisan. Raden Patih dhateng
ngloji, mratelakaken dedukanipun Ingkang Sinuhun. Wangsulanipun Minister,”
Sampun kuwatir ing galih, sebab Pangeran Prangwadana sampun mangsuk Kumpeni.
Sampun tunggil saradhadhu kathah, sampun dede Jawi, kang abdi Tuwan Besar.
Milane lumebet ing loji, ngungsi papan Semarang akeh pagering, Kula kang
tumanggah, yen ngantosa ngrusuhi. Ujer Raden Dipati sok kurang pesaja ing
Kangjeng Tuwan Besar, mangayale pepatih sabyantu Ratune sring dirasani”.
Kacariyos
Jendral dhateng Surakarta, sipeng ing Salatiga. Ing Ampel kinecu bersih,
lacaking tiyang awon dhateng ing Kedhu bawah ing Ngayogya. Kecu padha mreyayi
amanggo pedhang Jepan, Jendral tumameng Sala pinuja rengga anglangkungi.
Kangjeng Sunan pikantuk dhateng Kumpeni, boten lami Jendral dhateng
Surapringga.
Patih
Surakarta tumut, boten liya marunipun ingkang rinaosan. Nenajemi ngaben singat
andaka, mendakaning prekawis lajeng suka serat dhateng patih Danureja aken
ngupadosi kampak dene kecu anyenthulani Tuwan Besar.
Kacariyosan
Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan sareng mireng, kagurawaning galih sinayomaning
Jendral tepang lan Surakarta, pepatih den reh ing patih. Putra santana bupati
pratiwa sami kang katimbalan, saking penggalih dalem yen tamtu wonten prakawis.
Manawi kirang cengkar, kadang kadeyan sami kawedalaken ginenah-genah
panggenanipun. Wedalipun saking ngarsa dalem lajeng wonten Sri Manganti.
Raden
Patih gedheg-gedheg, ing batosipun boten suwawi yen putra santana kakersakaken
cengkar dhateng ing padhusunan. Inggih yen tamtu wonten prakawis, leheng sedaa
wonten ing ngarsa dalem.
Kacariyos
Jendral wonten ing Surawesthi tansah kasukan nutug, Patih Danuningrat semu
kelajuk denya lebda micara langkung saking wewelingipun Kangjeng Sunan. Kathah
narajang dhateng wewadi suwadining Ratu. Pambram kakersakaken nakeni antekipun
Danuningrat, yen est’u Sultan Ngayogya pamursale menyang Kumpeni,” Wong Sala
apa tan oncat?” Aturipun,” Inggih boten oncat, angsal nagri wangsul dados
satunggal”. Tuwan Pambrem mangsuli, “Ora kena, nagara kagunganing Kumpeni.
Karsaning Gurnadur Jendral mung dadiya tepa palupi, supaya Ngayogya lusuh
galihe” Danuningrat ewed, amangsuli,” Anglendot ing Ratunipun?”
Kacariyos
Tuwan Besar wangsul dhateng Surakarta malih, Wilter Idglar angaturi priksa yen
Sultan Ngayogya sadhiya ing prang. Putra sentana sampun sami kinersakaken
medal, pinarnah panggenanipun. boten ndhahar aturing patih tuwin Minister,”
Tuwan Besar sanget ing dukanipun, prentah saradhadhu ginenah genah
pabarisanipun turut ing margi. Pangeran Prangwadana samekta sadhiya, Jendral
amangsuli serat pemut dhateng Minister ing Ngayogya.
Tuwan
Besar angaring-aring tindak dhateng Kartasura, bebedhil cangkrama lan Pangeran
Dipati. Danuningrat boten kantun lan sejanipun ing manah nyenyamar rawuh.”
Tuwanku, ing saecanipun prang, taksih eca cangkrama lan dhahar roti, Tuwan
Besar, langkung eca”. Dumadya sirna sihipun dhateng Danuningrat, weruh yen
siniwering runtik, ulatipun kados mayit.
Kacariyos
Tuwan Ingglar. sampun tampi serat, enggal marek Ingkang sinuhun Kangjeng
Sultan. Atur priksa, yen Tuwan Jendral benjing-enjing badhe rawuh pinarak Nagri
Ngayogyakarta pitungewu ingkang prajurit.
Pangandika
dalem Ingkang Sinuhun, “Ing kene ana apa, mulane ingsun sedhiya ing biyen ingsun
diwehi wruh bakal ana mung suh Inggris nekani. Roroning atunggal sabiyantu,
ingsun uga sedhiya saos bantu”. Aturipun Minister, “Mila Tuwan Jendral kathah
ambekta prajurit, sabab trang kang pamireng yen putra sentana kawedalaken
pinatah papan ing dhusun”.
Pangandikanipun
Ingkang Sinuhun, “Semonoa iku, ingsun ora ngarepake Gurnadur. Kang ora pegat
dadi pangrasa mung wong Prangwadanan kang ana ngloji”.
“Rumiyin
kula sampun pratela dhateng Raden Patih, kula ingkang nanggel bab tiyang
Prangwadanan. Mila sabarang karsa, anantuna dhateng ing kula. Mokal Jendral
mamriha dedenipun dhateng Sultan. Kula ingkang nanggel, dadosa banten prajurit
kawis”. Ing pangandika dalem, “Trimakasih, bangsa bodhoa kang momong Ratu
pesthi amrih becik”.
Minister
matur malih, “Prayoginipun Raden Patih mundhiya seratipun Sultan, sarenga
lampah kula amangkat mangke bangun enjing”. Ingkang Sinuhun langkung
kayogyaning galih, Tuwan Ingglar sampun medal. Sareng wanci tengah dalu, sadaya
sami katimbalan punapa dene para bupati. Ingkang Sinuhun lenggah ing panepen,
lan ki pangulu sakancanipun pinisepuh.
Pangandikanipun
Ingkang Sinuhun,” Iki Jendral arep teka nggawa bala, pitung ewu. Padha ingsun
pundhut supatanira” Lajeng sadaya sami sumpah, putra sentana tuwin bupati.
Kacariyos
Pangeran Dipati ing galih,” Kapiriye dadine ing wuri, Kangjeng Rama ora welas
menyang aku. Dene renggang lan Jendral, ora bisa memetsih. Temah negarane, seje
kang duweni. Yen mengkonoa Kangjeng Rama, awakku kudu bisa dhewe”.
Kangjeng
Sultan ngandika malih, “Sokur-sokur adu tumbakcucukan, kaya iku kang kena
supata”. Kocap serat dalem ingkang bedhe dhu’mateng Tuwan Besar sampun dados.
Raden Patih sampun tampi weling dalem, Raden Patih nangga setya sarta aturipun,
“Sinuhun yen taksih kula, mugi sampun kuwatir ing galih dalem”.
Panji
Purwadipura ingkang andikakaken tumut dhateng Raden Patih, semanten Minister
Ingglar lan Raden Patih ingkang dhateng Surakarta. Jendral sampun boten wonten,
mantuk dhateng Samawis, Utusan kalih lajeng wangsul dhateng Ngayogya, katur ing
Sinuhun sakalangkung kaduwungipun ing galih saha sanget lingsemipun.
Kacariyos
ing antawis lami Tuwan Minister anyanthelaken atur, anyaosi prayogi mugi Sultan
atura pratandha ingkang warna arta. Wonena saking kalih kethi, dhumateng ing
Tuwan Besar. Dene Kangjeng Sultan, kaloka kajanapriya sugih. Amrih pikantuka
ing sudara, sarehning Tuwan Besar mangsa punika kathah karsanipun. Atur kula
punika mugi kadhahara, saking cipta mangudana ing panjenenganipun Sultan.
Ingkang
sinuhun lajeng nimbali ingkang putra Kangjeng Pangeran Dipati lan para bupati
ingkang sami anyepeng parentah. Pangandikanipun,” Prakara rembuge Ingglar, iya
banget tarimaku, ananging yen semono kake.han, Sanggupku limang leksa, iku nama
nyambut. Senadyan rembug prayoga, yen kakehan ora patut, ing satemah gawe
mlarat”.
Aturipun
rekyana patih,” Leres timbalan dalem, nanging yen angsal leksa kemawon, ingkang
Sinuhun ragi kuciwa. Ingkang pitungkas Minister, Kedhik-kedhikipun kalihkethi,
boten tuna. Apunten dalem, manawi lepat”.
Ingkang
Sinuhun sareng mireng, kagugu yen patihipun sugih sambutan rumaos dipun akali.
Kawedhar ingkang deduka, dhateng Raden Patih,” Anak putu nora layak,
anyramakake kagunganingsun, pira lawase supata”.
Lajeng
sami tinundhung medal, Raden Patih lajeng dhateng ing loji. Minister sareng
mireng agedheg-gedheg, byar tangan,” Punapa den ucap sampun boten karsa ing
priyogi, inggih sampun”.
Kacariyos
antawis lami, mangsa adat maringi pisungsung pengangkat Jendral: lancang-mas
lawan paidon-mas, dhuwung, gelas sami mas tuwin lapal.
Raden
Patih ingkang lumampah lan Raden Natadiningrat, Tumenggung Sindunagara,
Tumenggung Sumonagara, .carik dalem Kyai Prawirasastra, pengiriding lampah
boten liya Tuwan Minister Ingglar, dragunder kaliwelas mirantos, utusan
wakilipun Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan.
Utusan
Surakarta, Patih Danuningrat. Tuwan Jendral kala semanten mentas saking
Surapringga, andandosi beteng muwara. Boten sah wira-wira Semawis Surapringga.
Tuwan Pambram langkung kangge, kangge saking danarasa.
Kacariyos
Tuwan Pambram, kajunjung lenggahipun anama Jendral Kecil, miwah Kum’endhur
wonten Nagari Semawis. Ing Surakarta kaiiras saking Semawis, Minister Ingglar
langkung merang.
utusan
patih kekalih sampun dumugi ing Semawis, serat sampun tinampen tuwin pisungsung
sedaya. Nanging Jendral nilar tetamu, mantuk dhateng Betawi. Ingkang mangsuli
patih kekalih amung Sekretaris jendral, adamel srat trima kasihipun dhateng
Ratu sekaliyan.
Lan
pisungsun wangsulan sampun tinampen, lajeng sami mantuk.
Adipati
Danureja dumugi ing Ngayogya, sowan ing ngarsa dalem. Mungel sekretaris Jendral
kang mangsuli serat, kang kekalihipun ingkang Sinuhun ngraos kandhap den
endhak. Lan ingkang Sinuhun mireng kala mangkat dhateng Semawis, Raden patih
mawi wangsul dhateng ing kadipaten. Ginalih wewadosiun, anitipaken kang sarira.
Kacariyos
sampun gentos wulan, Minister Ingglar saya wegah, lan merang. Sesarenganipun
Pambram, sampun angsal damel, pamit dhateng lurahipun nuwun tempo ngenipun jadi
Nagari Ngayogya.
Tuwan
Jendral katuju kang galih, begadring Nagari Ngayogya. Saangkuh-piyangkuhipun,
beteng Betawi den undur..Jagange wiyar, kapurancang. Anama Mister Nelis kutha
inten binukarjembatan pinotongan.
Para
rat sami mambengi, dening loji pusaka ing Kutha Inten Wiwitipun, Tuwan
Dhandheles malah gusar sami ajrih sadaya. Kacariyos ingkang badhe Minister
Ngayogya saweg rinembag, milih Welandi ingkang sapakon amung majeng lawan
parentah. Sampun angsal nama Tuwan Wise, gumantos Minister Ngayogya.
Yen
Grebeg dhateng ing sitinggil, kurmat mriyem gangsalwelas. Ingkang Sinuhun
mengkak kang galih, nanging boten punapaa. Selamine Minister Wise, mendha
bicara amung remeh kemawon.
Kacariyos
Kangjeng Ratu Anem, wawrat pitung wulan. Ingkang Sinuhun sugun-sugun anyirami
ingkang putra mawi kairing ing Kumpeni, putra sentana, bupati mantri.
Wiyosipun
saking kedhaton sarta urmat mariyem ing loji, tuwin nahka’babar putranipun
kakung. Ingkang eyang Sinuhun Sultan langkung asih, kaparingan nama Raden Mas
Mahmud tuwin Pangeran Dipati Supragnya paring memanis.
Dene
kang eyang Pangeran Natakusuma apitambuh, yen wonten ing pasemowan weweka,
ciptaning kathah mera-meri ing bebayi, lumuh ujar sumakeyan.
Kacariyos
Raden Patih gadhah mitra sarip ing Semawis, nama Tuwan Muhkamad. Dipun ken
mersanja dhateng Natadiningratan, sesampunipun angunjuk wedang Raden Mas Timur
marengi pinangku ingkang rama, kinudang dhateng Tuwan Sarip.
“Raden.
Mas iki, besuk dadi Pangran Dipati Anom Amengkunagara”, dene pyuh telenging
galih kang eyang Sinuhun Sultan. Raden Tumenggung mangsuli,” Tuwan teka
memedeni, ngudang madukara wisa, boten dados renaning manah. Nadyan ngudang
bebaya sipi, gedhe sesiku”.
Tuwan
Sarip kumesar, panglobonge boten pikantuk, lajeng pamit mantuk. Kacariyos Tuwan
Pambram saking Semawis aleket Nagari Ngayogya, manginten Kangjeng Sultan.
Wonten margi pethukan lan Raden Rangga, Tuwan Pambram bukak topinipun, Raden
Rangga kapalipun kesit, boten tumimbang bukak topi. Tuwan Pambram langkung
Serik, ngantos katur Ingkang Simbun Sultam. Lajeng ndikakaken nyuwun apunten,
Raden Rangga ingampunan dhateng Tuwan Pambram.
Kacariyos
Tuwan Pambram sampun pulang ing Ngayogya, Obrusipun Jendral nalika solahing
Nagari semanten sampun ngaturi priksa, yen Jendral badhe mertamu, horeg
tetiyang sanagari lan Ingkang Sinuhun asring andangu sinten abdi dalem kang
sanipun priksa ing Tuwan Besar. Ka.dos pundi menggah ing solahbawanipun.
Kacariyos
Tuwan Besar dhateng ing Surakarta rumiyin, Tuwan Pambram boten .kantun, Rad
India satunggal ingkang ndherek, Kolonel satunggal. Kangjeng Sunan pikantuk
anitipaken kang putra lan ingkang rayi, Tuwan Besar sampun mangkat saking
Surakarta dhateng Nagari Ngayogya.
Ingkang
ndherek Raden Cakranegara Sastrawijaya, tiyang Ngayogya methuk ngurmati.
Pangeran Mangkudiningrat, Pangran Mangkubumi methuk wonten Kalathen. Pangran
Dipati ing Kalasan, Ingkang Sinuhun wonten Gawok. Ingkang boten pisah, mantu
dalem tetiga. Raden Patih atur priksa, yen Jendral rawuh. Sinuhun enggal
tedhak, Tuwan Besar mudhun saking titihan kareta lajeng atetabeyan. Mangkat
kondur rawuh nagari, lngkang Sinuhun pinarak ing loji.
Ing
antawis dangu Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan pamit kondur angsung tabe, nanging
Jendral taksih lenggah ing kursinipun. Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan dados
galihipun, lajeng sampun angadhaton. Raden Patih, kautus dhateng Minister,
denten Tuwan Besar boten ngurmati, ngewahi panjenenganipun.
Ingkang
njunjung Ratu inggih Kumpeni, satemah cinamah piyambak. Pangandikanipun
Jendral, “Ya aku ingkang luput”. Nanging panggalih ken kena angeneng-ngenengi
bayi abeka. Kurmat mariyem, rumiyin sangalas. Sapunika dadosa sangalikur. Tima
kasihen, aja ambeka. Kurmat Jendral, telung puluh siji kacek sepuluh. Wis, aja
njaluk maneh”.
Raden
Patih sampun matur, Ingkang Sinuhun langkung suka. Ing semanten sampun rapet
wong agung sakaliyan gegentosan purug-pinurugan. Dhateng ing loji, dhateng ing
kadhaton. Ing nalika badhe konduripun, Tuwan besar, mawi dhateng kadhaton.
Ingkang
Sinuhun langen prajurit estri, tegar ing palataran. Sartanipun Kangjeng Sultan
inggih mawi tedhak ing loji, angsung selamet pulang. Saha langkung bonyo
pangujenganipun wong agung sekaliyan. Raden Riya Sindureja dhateng ing Bojong,
Tuwan Besar mangkat saking Nagari Ngayogya. Pangeran Dipakusuma kang ngrakit
sugata rawuh ing Bojong, Tuwan Besar sampun binoja, pirena ing galih tarima
kasih.
Jendral
mangkat rawuh ing Secang, bebahan Surakarta. Bupatinipun Mangkuyuda, bapakipun
Dipati Danuningrat kang dipun genah ngladosi pratiwa kalih Ngayogya.
Dhatengipun sampun kedalon, Tuwan Besar taksih sare. Pinanggohan juru basa,
kiwa prenahipun. Juru basa pitaken dhateng Raden Natadiningrat tuwin Raden
Sindureja, “Punapaa Kangjeng Sultan, dene rerenggi dhateng kang eyang, kula
boten kadugi”. Wangsulanipun Raden Tumenggung Natadiningrat,” Mila Kangjang
Sultan kagungan jenggama, nalika prajurit Prangwedanan wonten ing loji. Dipun
kathaha tiyang, sampun satunggal punika”. Raden Sindureja anyambeti,” Lan
prakawis Danuningrat kala kinecu ing Ampel, su.ka srat dhateng ki lurah.
Tembungipun kathahkathah, aken ngupadosi kecu sarta mranani basa mawi mungel
inggih ugi angawis ing Tuwan Besar. Jer kaping kalih, sratipun sami damel
panggrayangan.
Tuwan
Wikes kala kondur dhateng Surapringga. Prentah mepa.k baita ngajak semadosan
tepang rembag sakarongron ngedak kados parentah bukak meja. Jendral nunten
miyos, sasampunipun dhahar Tuwan Besar pagujengan. Raden Tumenggung kang
sinogok, “Ngayogya, banyak menjangan kakiknya dua. Sukak pasang pistul”. Raden
Tumenggung nimbangi suka lan ningali kalangenanipun ‘Kangjeng Sultan. Jendral
langkung gawok,” Lah, aku wis tarima kasih. Aja banjur menyang Semarang.
Mandhega ing kene bae”
Raden
kaiih matur sandika, Tuwan Besar lajeng minggah tidur. Juru basa Krisman
anjawil Raden Tumenggung Natadiningrat ” Mangke dhatenga pondhokan kula
piyambak kemawon, dede prakawis kang kabincanten punika.”
Kula
nedha kapal, sasampunipun bibar kula lajeng dhateng pondhokanipun juru-basa.”
Keranten Raden kula aturi, kula mengeti prayogi. Raden punapa boten gadhah
karsa anitipaken sariranipun ing Kangjeng Tuwan Besar, mupung panggih piyambak.
Raden Tumenggung, mantunipun Kangjeng Ratu Kancanawulan. Ratu ing wingking,
Pangeran Dipati ingkang gumantos. Garwane Raden, Ratu Anem, mangsa wandeya den
siya-siya, dipun temu kuwuk”.
Panasing
galih kawedhar, Raden Tumenggung langkung kaget. Ngaturi Raden Sindureja,
sampun dhateng. “Paman kula sencaya, begja kula katuju dene sareng lampah lan
paman.” Tuwanjuru basa peling, amrih kula anitipna ing awak kula dhateng Tuwan,
angger, dhateng ing Tuwan Besar wau, Selak kasesa, dereng kula wangsuli. Yen
Kangjeng Gusti jumeneng ratu, boten wande kula den siya-siya”.
Wangsulanipun
Raden Tumenggung makaten, “Inggih Tuwan jurubasa sanget trima kasih dene tuwan
angsung penget. Ananging pangraos kula, boten ‘sedya boten ngimpi anitipna ing
awak, Raosing manah boten sanes yen Kangieng Gusti jumeneng Ratu, inggih Ratu
kula.” “Angger sami rayinipun, estu mangsa samiya lan ingkang rayi Kangjeng
Ratu tiga punika, sabab tunggal ibu. Langkung begjane ngawula kedah den
siya-siya, Alah kang mayangaken ing kawula”.
Juru
basa mintak ampun,” Mugi sampun dados galihipun raden, amung gegujengan
kemawon” “Inggih, ananging dede gegujengan”. Juru basa Krisman langkung getun.
Kacariyos
enjingipun Tuwan Besar kondur dhateng Semawis. Raden kalih sampun mangkat
mantuk, dumugi Ngayogya lajeng dhateng Danurejan sampun kapratelakaken sadaya
nalika wonten Secang.
Wicantenipun
Raden Patih,” Amung bab olehe angsung pemut Tuwan juru basa menyang adhi
Natadiningrat iku bae, aja munj’uk menyang Kangjeng Sinuhun utawa Kangjeng
Gusti. Dadi, teka nggawa wisa kejaba menyang Kangjeng Rama. Alabecik kudu
ngentek”. Nunten sami sowan malebet ing kedhaton. Tuwan Minister anyaosaken
trima kasihipun Tuwan Besar lan Raden Tumenggung Natadiningrat, Raden Riya
Sindureja kamakluman boten dumugi ing Semawis. Ingkang Sinuhun langkung suka,
Tuwan Minister sampun amantuk. Para prawira ngandikan malih, ingkang Sinuhun
andangu, “Ana ujar apa maneh”.
Aturipun
Raden Tumenggung,” Yen Tuwan Besar eram ningali kalangenan dalem”. Ingkang
Sinuhun saya mewah sukanipun lan juru basa pitaken dening Sinuhun sandeya
dhateng Tuwan Besar sandhiya samektaning prang Kula warti, liripun tiyang
prangwedanan, boteh liya amung punika. Paman Sindureja anambeti,” Prakawis
punika, pun Danuningrat seratipun kang dados pangraos”.
Pangandika
dalem,” Bener Natadiningrat, Sindureja keladuk. Ya mung wong prangwedanan, kang
dadi sangga runggi”. Lajeng sami tinundhung medal, enjing Pangeran Natakusuma
tuwi ingkang putra. Keparing kang Sinuhun tedhak, karenan ing pawartos.
Kangjeng
Pangeran lajeng sembuni, Kangjeng Sultan ndhedhes Tumenggung,” Boten wonten
malih, amung punika”. Ingkang Sinuhun lajeng kondur. Kangjeng Pangeran sampun
panggih lan ingkang putra, ingkang putra sampun matur. Linalar sadaya nalika
wonten Secang, pangandikanipun ingkang rama,” Sokur kowe engetan. Kang kaya
mangkono ing crita ngranggoni kaya Jayasungkana. Sareh nari wong tuwa, wedi
lumancan ing bapa Ora liya panerkaku kang masangi kala piwulang. Yen mangkono
kowe matur Pangeran Dipati, panengeran setya, balaka. Menawa nukma ing
pangrahah, kangmas Sultan kinikiban. Menawa dukane kabutuh, satemah kowe kang
pinurikan”.
Raden
Tumenggung Natadiningrat lajeng sowan Pangran Dipati, sampun matur naiika
cinoba ing Tuwanjuru basa. “Ingkang punika Gusti, mugi sampun konjuk ing rama
dalem Ingkang Sinuhun. Yen ngantosa konjuk, kula sakelangkung ajrih”. Pangran
Dipati sareng mireng, pyuh galihipun dhateng ingkang rayi”. “Tujune adhi, kowe
pinter ora kena cinorok basa. Nadyan Ratu, ing wuri yen mengkono mangsa benera.
Wong kaniaya, dununge nora nglulusake adat. Aku ora sela-sela menyang Dhi
Ajeng, apa maneh awakmu. Wis aja nganggo sumelang. Kangjeng rama yen mireng,
dukane ngambra-ambra. Mejanani ing karaton, rasa ngendhak pangwasa”. Raden
Tumenggung, sampun ndikakaken mantuk.
Kacariyos,
Minister Wise sanget enggenipun amulut galihipun Ingkang Sinuhun Kangjeng
Sultan. Ngraos salah dhateng Kumpeni, sencaya aturipun boten yektos.
Prakawis-prakawis pamedaling sararig burung, mbayar saleksa ing saben taun, pan
nebasi susuh ingkang katur Kangjeng Sultan. Damel sandi, manawi ndikakaken
anenuwun ujuran atasJendral kang parentah, pituwas anggenipun njagi Ratu. Kala
Tuwan Besar rawuh, kabicanten boten ngraos. Ing satemah atur-atur ingkang warni
dhedhaharan utawi kelangngenan. Ananging Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan boten
kersa, kawangsulaken.
Tuwan
Minister manahipun umob, cipta muksa, langkung merang. Dumadya nuwun tempo
nggenipun njagi Nagari Ngayogya, sampun kalilan. Kacariyos, ingkang badhe
kagentosaken Minister Ngayogya Petor ing Banten, anama Tuwan Moris. Punika
ingkang sagah andhesek karaton Ngayogya.
Minister
Wise, sampun mantuk. Tuwan Moris ingkang gumantos sampun katur Ingkang Sinuhun
Kangjeng Sultan yen Minister langkung jarot. Para bupati saking dhawuh dalem
kakersakaken sami mangertos, angatos-atos.
Kacariyos
wonten mantri dhusun nama Raden Tirtawijaya, tengga dhusun ing Tersana,
ipenipun Pangran Dipakusuma. Pernah rayinipun Den Ayu Nayadiwirya, wonten ing
Nglimpung den trimani kang rayi Kangjeng Ratu Kencanawulan. Raden Tirtawijaya
ing semanten paben lawan tiyang pesisir Ngastina, tyang ing Tersana pejah.
Raden
Tirtawijaya nedha diyating raja pejah, mawi serat wadining Kumpeni. Kados
semutangabengajah, antiga kapit ing sela lungit.
Serat
kacepeng Pelor Ngastina, katur ing Jendral asanget ing dukanipun. Lajeng paring
srat dhateng Tuwan Moris, tembungipun kathah-kathah ngantep ingkang Sinuhun
Kangjeng Sultan.
Tirtawijaya
lan Jendral dipun piliha, yen pinelaur Kumpeni, Tirtawijaya kepejahana. Yen
lepat saking panedha kula, Pepatihe Dipati Danureja kula titipaken umuripun.
Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan sareng mireng, langkung kampitaning galih.
Raden
Tirtawijaya sampun katangsulan, lajeng kapercayakaken dhateng Tuwan Minister.
Aturipun Tuwan Minister, “Kangjeng Sultan angiindhung kukuming ngelmi dereng
katrap. Cipta yen kawedhara mundhut, pangraos roroning tunggal nanging dhalangipun
boten wonten.
Ingkang
dados dhalang pijer gupruk cempalane tinitir, dening Tirtawijaya kathah
pambeganipun. Ing semu sami keraos”. Tuwan Moris wicanten dhateng Raden Patih,
“Boten kayaa, ngewuhake matine wong siji. Yen kukum Jawa, teksih mubaham sampun
tetingaling kathah. Wedang, .kinang iya mateni, paekan ora.tuku. Katur Ingkang
Sinuhun, meksa boten kelu, kewedan dening garwa. Dados semanta ing kathah.
Pangandikanipun,”
Prakara Tirtawijaya, patrapane amung ingsun buwang. Yen tekan patine, ingsun
nora tumanggah. Agama kang ingsun wedeni”. Aturipun Danukusuma,” Ing kina kala
pejah, pun Jangrana ngangkat Ratu kasuwun ing Kumpeni pejah wonten
kamandhungan.”
Pangandika
dalem,” Iya aku trima Danukusuma, nanging mengko karsaningsun takprasrahaken
Kumpeni. Nadyan pinatenan aku aja weruh, ingsun ngilari duraka. Aran biyen
nedya sunukum dhewe, dening pasrah pitaya Tuwan Besar ora sumlang maneh marang
ingsun.
Yen
manut adilingsun, nedya sun ukum kene. Menyang Semarang katon ing ake_h,
nyilikake ati. Ngayogya ora kuwasa, pinrih patine. Gampang-gampanganing abot,
byar angan Tirtawijaya paringena menyang loji.”
Minister
Moris sampun tampi, lajeng mangkat dhateng Semawis. Raden Tirtawijaya kapejahan
wonten Nagari Weleri, bangke kabucal pinggir margi kapupu anak putunipun.
Kacariyos
Kiyai Dipati Purwadiningrat seda, margi saking gerah sepuh, kasarekaken ing
Pacalan. Kemagedan kapalih, seba sebab putranipun kalih. Kang sepuh Raden
Sasradipura, kang anem Raden Sasrawinata kapundhut mantu dening Ingkang Sinuhun
Kangjeng Sultan. Kangjeng Natakusuma sasedanipun ingkang paman, cipta kados
ical suhipun. Dene ingkang wayah sadaya ing manah sanget badhe wanuh ing
Pangeran Natakusuma dipun aturi.
Kangjeng
Pangeran enget sengadinipun yen boten priksa Pangeran Dipati, cipta kudu kenal
lan dereng wonten adatipun yen sareng putra dalem ingkang binadhe Ratu.
Ajrih
yen boten kauningan kakangmas Sinuhun Sultan. Tuwan Minister langkung gela,
Pangeran Natakusuma atur priksa Pangeran Dipati. Entyarsa dening sinencaya
ngantos ing pitedah. Tuwan Minister suka priksa ing Raden Patih, nggenipun
ngaturi Pangeran Natakusuma boten karsa. Wangsulanipun Raden Patih, “Yen
paringa priksa ing patih boten wonten ewedipun. Yen rama simpen galih, mila
sengadi mawi adat. Nalika Tuwan Ingglar rumiyin, Pangeran Panengah panggih mawi
pratela. “Kula inggih sae kemawon, rama punika saking sanget boten kersa. Pyayi
kruci amumpungan.
Kangjeng
Gusti semaya kaepeyaning Ratu, tuwin Kangjeng Gusti. Raden Tumenggung
Natadiningrat mangsuli, “Yen presaben ki lurah, punapa nanggel sesikunipun
Kangjeng Rama. Kangmas Panengah pyayi alit, gampil penanggelipun”.
Tuwan
Minister langkung marsudi nggenipun badhe panggih Pangeran Natakusuma, lajeng
anyanthelaken atur. “Dhawuh dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan binawur
ingarampak. Sadaya putra santana dhatenga ing loji, sarta ninundhang bupati.
Antawis sami den aturi dhahar dhateng loji, pepak para putra santana.
Tuwan
Moris aturipun dhateng Pangeran Natakusuma,” Mila kula suwun ing Kangjeng
Sultan, saking kedah wanuh. Ciptaning manah tunggal bapa biyung Kumpeni lan
prawira Jawi”.
Pangeran
Natakusuma mangsuli, Trima kasih”. Sasampunipun dhahar, nunten amawi dedolanan
kados lare alit. Ngobong sada kang kepaien brama, wonten ken lenggak-lenggok
anunggang gelut tuwin merkangkang ngambung siti. Para putra sentana langkung
dening saru, Raden Patih mendhet tigan tinampen Minister.
Pangeran
Natakusuma kaaturan tigan, adegna ing kenap. Selayaning galih, tigan
wiku-wikuning antiga, putih jaba kuning jero. Apatya winales wedhus, estri,
biyung bibijinah boten pilih lawan. Lan ken nggites kutu, kutu sinunggi kepala.
Pemalese memangsa ngrenges, ngacemil. Cinegah kaemutan, Pangeran Demang, tutuk
ambayari suka, udreg lan Minister lajeng den cangar ing telor.
Bubaripun
wanci bangun, Raden Sumadiningrat boten saged ningali dhateng putra sentana
sadaya, den cecamah ing kekeran. “Warga putra iku kuncaraning Ratu”, katur
dhateng Ingkang Sinuhun Kahgjeng Sultan. Kang jaja kadi tinotok dhateng Raden
Patih, paraning rengu.
Raden
Patih wadul dhateng Tuwan Moris, lamun Sumodiningrat kang ngoweh guyup.
Minister njarem kang manah, lan manggih buk Oprup. Yen Minister rumiyin, yen
wong njero ora layak. Sumodiningrat kang marahi anggladhi wisayaning prang,
nora ngandel Gupermen. Tuwin yen weling atur serat saking Raden Patih, ketula
wong njero kang ndedangii, nora gati rehing Jendral.
Nalika
Mangundipura kang dadi kori, tuwin kala Ingglar srat saking Patih linanthelaken
Purwadipura, boten katur seratipun. Mubeng suwe, boten konjuk dumeh Kangjeng
Sultan tegar. Wicantenipun Tuwan moris,” Cobak, aku den ubengake arep weruh bae
wonge kang malang Mesthi kongkon aku, tak kon banjur”.
Marengi
dinten Saptu. Simbarjaya kang lumampah utusanipun Ingkang Sinuhun mundhut
sesekaran dhateng ing loji. Lan nyaosi anggur kahh botol, Tuwan Moris boten
purun tampi. Adat, margi saking Patih. Tuwan Moris langkung nepsu, dening
mantri cumantaka gumuna apeksa kumawi.
Simbarjaya
gumeter, badhe tinapuk gendul malencing. Kathah kala, dutane Kangjeng Sultan
benggang lan sahudara.
Kacariyos
Kangjeng Sultan ameng-ameng ing baluwarti lan para garwa, kang njajari ing
lurung Minister, cinegat. Kapal, kareta dipun gendholi, padha wani wawalan.
Kusir mecut, winales gitik, Pinisah wong pinituwa, Tuwan Moris nebut boten
trima, boten wonten wusananipun. Dereng lami kapethuk malih wonten margi,
sampun surup. Nuju Ingkang Sinuhun tindak dhateng Natadiningratan, kreta
lajeng. Minister boten ngurmati, Kangjeng Sultan boten trima. Raden Patih notol
dhateng loji, Tuwan Moris, mangsuli, boten priksa yen Kangjeng Sultan lan
peteng mangsanipun.
Raden
Patih bebuwuh, “Tindak menyang mantune kekasih, mila peteng geluyuran”. Ing
antawis dinten, Mipro Minister kuliling kapethukan Ingkang Sinuhun. Kang
ndhedherek sampun kaprantos, jajaran canggah kapandhi ngajeng. Kreta enggal
nulak, kasanderaken. Tuwan Minister boten. Raden Patih mbebilah singlar, amung
nuturaken dyatmikanipun pangeran Ratu Angger Anem, tindaka dhaterig loji.
Lelingsen wanuh lan nyonyahipun. Langkung prayogi lan priyanipun ngiring,
punika yen marengi Kangjeng Sultan, yen boten pareng inggih sampun.
Ingkang
Sinuhun amarengi sonten, pinethuk ing kreta. Ing nalika punika wonten
ngalun-alun boten mawi tumedhak, sebab kang garwa boten marengi. Lajeng atur
priksa ing Pangeran Dipati, sarta dipun praceka. Negara Ngayogya, Pangeran
Dipati loro. Nanging Pangeran Dipati waged ing galih, boten sumengit. Sampun
sami dumugi ing loji, Raden Tumenggung kinanthi ing Minister.
Tuwan
Minister wicantenipun, “Ing nalika punika, sinten tiyang ingkang tumimbang
kados Raden Tumenggung. Mantu kekasih pyambak, mila yen wonten siguging Ratu
den angrengkuh kang tumanggah. Lan ampun wedi-wedi matur, kula wong liyan
brayan lawan Jendral yen suka prayogi yektos boten saking rumeksa. Cipta kula
damel memangsuli kang sih welase Tuwan Besar, mbaureksa sarirane”.
Wangsulanipun
Raden Tumengguh Natadiningrat,” Inggih, Tuwan leres. Estu boten nisir, ananging
sinten kula, kamipurun angrengkuh”. Lajeng sami dhahar, semanten Ingkang
Sinuhun Kangjeng Sultan boten sah nahka sokhipun ingkang wonten ing loji.
Ing
sesampunipun dhahar, anunten bibar. Utusan ing nalika wau sampun matur, ing
sasolah patrapipun kala wonten loji, Raden Patih, Raden Tumenggung
Natadiningrat.
Kacariyos
Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan, ing nggalih saya panas dhateng Raden Patih.
Nuju masagrebeg, Kangjeng Sultan mundhut kurmat dhateng tuwan Minister yen
miyos saking wingking. Kangjeng Sultan langkung meriu, yen ing Minister nganggo
saangkatipun dhateng sitinggil. Kasompokken pabenipun, sampun kasaosan.
Nuju
masa ngabekti, pepak kang pancen ngabekti. Ingkang Sinuhun sesmita, rasa
pinemri, galih mungal-mungil. Nalika Pangeran Natakusuma ngabekti, rinangkul
ingepuk-epuk,” Lah, iki kyai besan rewang momong putuku.” Lajeng ngandika
dhateng Pangeran Dipati, “Sira iki, yen sun sawang kaya jambe nom pinaro lan si
Danureja. SoJah semune ora silir. Wingi ingsun nimbali wayahingsun Den Mas
Bagus milu menyang Danurejan”. Pangeran Dipati atur sembah, Raden Patih boten
kumejot malah bingah, lajeng bibaran.
Kacariyos
ingkang garwa Raden Rangga Kangjeng Ratu Maduretna seda, sinarekaken ing Ardi
Bancak. Raden Rangga sekelangkung-langkung rinten dalu nungkemi kuburing garwa.
Sesambatipun amung badhe tumut ngemasi, lan boten kenging sandhing gegaman.
Laraning jiwa saya amrati. Ingkang para bupati, angsung pemut. Sareng sampun
aring, gurunipun Raden Rangga dhateng, nama Kyai Kaliyah. Wicantenipun Kyai
Kaliyah dhateng Raden Rangga,” Dene dhingin wis tak tuturi, aja ngresula
nampani kanugrahaning Allah. Iki lagi wiwit, ing buri iki sihing Allah kang
dhumawuhkuthaMaespati. Allah jumurung lan dianteni garwamu”.
Kacariyos
Pangeran Dipakusuma asung serat dhumateng Raden Tumenggung Natadiningrat,
penglayadipun ingkang Sinuftun, katur ‘Racne Patih. Kapriksa ing seratipun,
tanduk anitipriksa. Amung wonten mungel angayuh basa, tanduk ringkesing aksara
kathah. Ingkang prakawis sareng pangastutinipun ingkang wayah-wayah sadaya,
prayojaning bekti sumengka ingkang eyang Kangjeng Ratu tetiga. Raden Patih
langkung cumeri-ceri, serat ingendhak atur priksa.
Raden
Patih angsal rambatan, ing nalika dhateng Semawis seratipun wonten kang angayuh
basa. Kangjeng Sultan langkung dukanipun, semanten atur weling yen wonten
kengkenanipun Pangeran Dipakusuma. Tembunging serat boten prayogi, mila ajrih
Raden Patih angaturaken. Serat meksa pinundhut, sawitining angajeng-ajeng
dening sanget kasusahan ati rena ing tulis.
Priksa
yen patihipun nyengkiwing serat, kaparingaken Raden Tumenggung Natadiningrat,
kakersakaken ngraosaken kang lepat. Ingkang Sinuhun ing nggalih, pepatih
dahwen. Raden Tumenggung Natadiningrat ajrih ngraosaken piyambak. Sinencaya ing
akathah, Raden Sindureja kang dados kori, tepang lan Raden Patih. Tur katur
lepating srat pemut, dening asmanipun garwa dalem kacaruk. Sampun sami
lepatipun lan Raden Patih, tuwin kala kautus dhateng Semawis Pangeran
Dipakusuma kapatrapan dhendha kathah.
Sareng
katur, Kangjeng Sultan lingsem. Kawelehing patih, puruging runtik dhateng Raden
Tumenggung Natadiningrat. Kacariyos Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan, ing
sasurudipun ing kang putra Ratu Maduretna kados kecalan manik. Ing nggalih,
Raden Ajeng Surati, anggentosi karangulu. Kados ginelak anggenipun badhe
kapundhut besan. Semanten Raden Patih sasurudipun Kangjeng Ratu Maduretna,
sakelangkung bingah. Sebab suda kalilipipun, lan anggumyahaken pawartos yen
Raden Rangga kemantu malih. Lan damel paribasan, yen ungguh aku angur dipocot
lan den trimani. Melasake Kangjeng Gusti yen jumeneng Ratu”.
Kacariyos
Tuwan Moris angangkati, sabab gilang kalenggahanipun Kangjeng Sultan kasuwun
mantunipun. Menawi boten anglilani, Minister neda lungguh wonten gegilang sami
lan Kangjeng Sultan, netepi kang dados prentahipun Tuwan Besar. Tamtu boten
kenging Kangjeng Sultan angungkuli cangkemipun Moris, mesthi boten panggih
Minister lan Kanjeng Sultan menawi boten tinurutan. IngkangSinuhun Kangjeng
Sultan, sarengmireng aturipun Raden Patih bab panuwunipun Minister,” Wis
ndiklah, nora kena si Moris arep ndhedheh, ingsun ora kena ngungkuli, Dene
Minister kang dhisik-dhisik nora nana naruciru Tuwan Besar wis priksa gegilang,
milu nglunguhi. Ya kelakon temenan, ora temu-tinemu lan ingsun. Kerpiye kono,
sanak-sanak, gilang blabag linabuhan gawe rentenging nagara.”
Aturipun
para putra santana tuwin para bupati,” Inggih yektos yen kajeng, nanging sampun
kangge lenggahan. Punika keprabon Ratu”. Pangeran Natakusuma aturipun,” Rumiyin
nalika mindhak kurmatipun Minister sadaya, asayogi katimbangan Angger Pangeran
Dipati, boten saru wonten ngarsa dalem, tetambel betah cukup”.
Pangandikanipun
Kangjeng Sultan,” Iku payung ditimbangi anakira Ki dipati, payunge mlebu
plataran”. Pangeran Dipati aturipun, “Leres paman, reh punika kula tumut wonten
nggegilang, saru. Nampuri langkung ajrih”.
Kangjeng
Sultan ngandika malih,” Banget nggone memedeni, agul-agul Tuwan Besar. Jendral
mono, maksih kawulaning Allah, kaya sarira ningsun”. Aturipun Raden Patih,”
Bilih boten tinurutan, kasuwengaken ing loji. Kabekta dhateng Semawis, jalan
kaki tuwin drugunder.”
Pangandikanipun
Ingkang Sinuhun,” Luwih karepe dhewe, asal aja cidra seka jenengingsun. Kumpeni
isih sunsangga tunggon lan picis, prakara gilang iki pesthi sun labuhi lara
pati, ingsun sandhang tuwan”. Tuwan Minister Moris langkung kawedhengan
manahipun, anuju masa sowan para bupati sami dhateng ing loji. Wicantenipun
Tuwan Minister,” Bok. ana kang ngrewangi, prakara gilang mamrih lunture
Kangjeng Sultan”. Para bupati ajrih sadaya, Raden Patih mangsuli “Kejawi adhi
Natadiningrat dening kekasih”. Minister wangsulanipun, “Mindhak ngrubedi,
kejawi milih kang kedaging Pangeran Dipati”.
Raden
Patih mrayogekaken, boten liya kejawi Raden Sumadiningrat, lajeng bibaran.
Raden Sumadiningrat kaundang dhateng loji, nanging sanget ajrih. Lajeng pamit
dhateng Ingkang sinuhun, kahlan ingkang sarta tampi piwehng dalem.
Raden
Sumadiningrat sampun panggih lan minister, binoja pinrih mendemi. Nanging Raden
Sumadiningrat boten supe, amung ngestu dhawuh dalem kang dipun kekahi. Lan
boten samar ulahing patih amasang.kala pracik.
Nuju
dinten Senin Raden Tumenggung Natadiningrat sowan ragi enjing, kapanggih lan
minister kang wicanten, “Raden, kula ngresaya ibu jengandika. Dening kekasih
Ratu Kencanawulan,prakawis gilang punika mugi medala karsaning ratu. Boten
karsa ngagem gilang, mindhak samun kang
prakawis. Awit sakingboten karsa pyambak, yen kelampahan tamtu kathah pemangsul
kula dhateng Raden Tumenggung”.
Wangsulanipun,
“Trima kasih. Ananging bab prakawis punika, kula langkung-ajrih”.
Kacariyos
nalika samanten kathah prakawising Nagari, kala ngelar beteng ngapit pagelaran
celangap marep ing ngloji. Tuwan Minister boten trima, tinanggel ingkang
anunggama lan abdi dalem sudagar kautus dhateng Semawis, tinaken belaka yen
Kangjeng Sultan yasa maryem kathah.
Punika
Tuwan Minister boten trima’, sabab larangan Kurnpeni. Lan Raden Ayu Natayuda
marak, kapethuk ing margi kaliyan pudhakipun Tuwan Minister. Nunjang jajaran,
ginebugan saged medal rahipun. Minister
boten trima, sampun kacepeng rinante tiyang Natayudan sarta ginebugan nunten
kaluwaran. Nuju Kangjeng Ratu Mas tindak dhateng dalemipun ingkang putra.
wonten margi kapethuk saradhadhu Ambon nunjang jajaran.
Nanging
jejaran ering, udreg lan lurah Keparak estri, den agar ing lumayu, Kanjeng
Sultan boten trima, den bicara ing Raden Patih. Sara dhadhu Ambon lajeng dipun
res.
Kacariyos
ing Nagari Ngayogya, kathah tiyang damel yatra reyal semat tanpa aji, amung
regi ngalihwelas uwang. Minister srengen Raden Adipati, “Kadi pundi, Den
Dipati, semat regane nganti ngrolas wang. Benere dhuwit kadhaton winratakna ing
wong cilik. Dhuwit kadamel punapa, niku busananing nagara. Tin mpuk tanpa
damel, lan akeh wong gawe dhuwit wang Kumpeni kang baru, wartane akeh linebur.
Den Dipati den yitna. ing benjing manggih bilahi”.
Wangsulanipun,”
Kula boten kainan, undhang-undhang den bendheni. Nemlikur teng, sedhuwit reyal
pesmat reginipun. Kang damel yatra saya kemasan, gendhing, pandhe. Kang angreh
Purwadipura”. Minjster mangsuli,” Kula boten ndeleng, liyane Patih”. Lajeng
sairii maglaran, wedana lebet dipun ken medal, sampun kawartosan.
Aturipun
Panji Purwadipura,” Kados pundi Ki Lurah anggenipun nyapih ing alit, damel
yatra, ngupados siti payah. Marasipun manah kula, kang Sinuhun mundhut yatra,
dereng wonten yektosipun. Kumpeni dereng anggalih, tiyang alit damel yatra
dipun sendhu. Kula sumangga karsanipun Ki Lurah”.
Raden
Patih mireng, wangsulanipun Panji Purwadipura langkung nepsu, lajeng sami
bibaran. Dinten Kemis wonten duta kang dhawuh dhumateng Tumenggung Resanagara
ginrudug den betheki. Prakawis yatra bandar kapundhut ingkang sapalih,
Resanagara sagah. Ngantos antawis lami boten anvaosaken yatra malih, keton
semat dereng cukup Tumenggung Resanagara nglindhung repotipun jimsing, Ingkang
Sinuhun dhawuh sawarnining tiyang kang saged damel yatra kaIilan”.
Raden
Patih manahipun kadi ginerus, langkung sengit dhateng Raden Purwadipura.
Kacariyos
Pangeran Dipati mantu Raden Ajeng Pangarsa, angsal Raden Wiryawijaya putranipun
Raden Wiryadiningrat. Nanging mung ijab kemawon, bawahan kepanggih wingking.
Dening Raden Rangga susah anyar, katimbalan dhateng amung maleni. Nanging
taksih leng-leng suntrut, Raden Rangga dhatengipun samudana dhateng Kepatihan.
Kawartosan
saliring pakewed, prakawis gegilang. Aturipun Raden Rangga,” Boten saged
mireng, leheng den abena sudukan, kakersakna anyuduk Welandi. Yen kantun
samining bupati, suka lila, pun Rangga lajeng mantuk”.
Sasampunipun ijab, Raden Rangga lajeng mantuk.
Raden Patih dhateng loji, Tuwan Moris tinuturan yen Raden Rangga nantang
Kumpeni. Ananging Tuwan Moris boten gumun, dening susahnya leng-leng kapegatan
mardu. Raden Patih gela manahipun, nuju mangsa Mulud, Raden Rangga sampun
dhateng sakancanipun.
Kacariyos
Tuwan Besar parentah dhateng Tuwan Minister Ngayogya kang mancanagari,
kajengipun ingepakan katumbas sadaya kabekta dhateng Surapingga. Tuwin tanah
ing Surakarta, boten sanes tanah panggenan kajeng kajagi Walandi. Dhusun
Pengrantunan lajeng den tedha, tinebas pisan suprih sampun dados kastori.
Katur
Kangjeng Sultan, kang pangandika,” Asal aja dadi susahing cilik, jer upajiwane
kayu. Sapa-sapa tukua, mesthi bayar murwat lan sareganing kayu. Amung desa kang
tinebas, pinikir kang becik. Danureja lan si Ranggga rembuge kapriye”.
Aturipun
Raden Rangga,” Yen katebus ewed ing wingkingipun, ing satemah dados prakawis.
Kula pilalah tumut ngreksa balok-balok ingkang dipun rantuni, yen ical katempah
sagah.”
Raden
Patih mangsuli,” Mindhak rubed, terkadhang wetah dipun awataken ical. Temah
anempahi, leheng sami bebasan. Seprandene dhusunipun alit lan kedhik cacahipun.
Kalihdene malih, miturut mituhu Tuwan Besar. Yen panedhane nglanjak, sinten
ingkang sagah pepalangan nanggung”.
Pangandikanipun
Ingkang Sinuhun,” Lah, mulane pikiren kang aruntut. Amung sira Rangga, den
apanggah aja kena den prewangi”. Nunten bibaran, lajeng sami karembag para
ageng-ageng. Antawis ngantos lami ubeng-ubengan boten rampung. Raden Rangga
awis sowan, dening teksih telasih kegagas ing garwanipun. Nuju mangun bicara
sanggeman lawan Minister, Raden Rangga boten kaprentahan. Tiyang Danurejan, Ki
Danukrama, supe. Raden Patih dhateng ing loji, enjing dereng wonten kang
dhateng. Raden Patih wewartos dhateng Tuwan Minister, yen karig ngrubedi rembag
punika Dhi Rangga Prawiradirja. Kangjeng Sinuhun sampun ngeli; pitajeng dhateng
adhi Rangga, dhasar ladak antemipun Kangjeng Sultan Wong janget kinatelon, lan
malih ngandelaken ingkang eyang tate prang pakewet. Boten kados awak kula,
run-temurun momong kumpeni”.
Tuwan
Moris sareng mireng, langkung nepsunipun. Sampun pepak para ageng-ageng, mung
kantun Raden Rangga. Ingenggalaken wong Danurejan, sUngsun~sungsun. Raden
Rangga boten ngraos kaprentahan enjing, lan wanci sampun kasep. Raden Rangga
lajeng pambengan, sampun katur yen Raden Rangga boten dhateng gerah puyeng
awatipun.
Tuwan
Minister ngatak redenas angundang Raden Rangga, Raden Rangga langkung kaget
salah tampi. Rencangipun ken sadhiya samektaning prang, kang yoga pareng lina.
Raden Rangga boten basahan, amung crigan. Pusakanipun kang boten kantun, numpak
kapal sesanderan dumugi ing loji. sampun lenggah sila tumpang odheg, tanganipun
malangkrik. Tuwan Moris pitaken. “Raden Rangga mau brani Kumpeni”. Raden Rangga
nungsung, lan kula boten kadhawahan.
Raden
Patih gugup, noleh wingking taken rencangipun. Yektos menawi boten kadhawahan.
Raden Patih ulatipun biyas, wicantenipun Raden Patih, “Empun adhi, kula njaluk
ngapura saking awoning rencang”. Raden Rangga lajeng nangis sarwi wicanten,”.Ki
Lurah, kula pejah gesang kapusthi ing patih. Kadamel putih, biru, jingga tamtu
dados sakarsa sampeyan. Mengku prakawis balok punika, sumangga darmi kula
tetengga kemawon. Masa boronga Ratu Kumpeni. Ki Lurah wrananing Ratu tuwin
Minister, mangka wakilipun Kangjeng Tuwan Bes’ar. Angsal gilig sakaliyan, kula
dhateng sandika nglampahi.”
Minister
lilih penggalihipun, angsung tabe dhateng Raden Rangga, sarta mintak ampun
lajeng sami bibaran. Kacariyos Tuwan Minister langkung remen dhateng Raden
Rangga boten pegat pepanggihan. Lan den mintasraya bab prekawis gegilang, Raden
Rangga boten sagah nanging supeket manahipun. Raden Rangga suka warti dhateng Minister,
yen Raden Patih ngiwat tiyang estri saking Surakarta, badhe kasaosaken Pangeran
Dipati, wonten ing Reksanagaran nggenipun”.
Minister
boten ngandel, lajeng utusan. Nalika yektos, Tuwan Moris semanten sampun niteni
cirinipun Raden Patih, ana raden wacika.
Kacariyos
nalika punika Patih, pengulu, Kangjeng Sultan estu geseh. Pangeran Dipati sring
tirakat, Raden Patih boten. kantun. Ingkang Sinuhun sareng mireng, langkung ewa
dhateng ingkang putra, tuwin dhateng Raden Patih, tansah dipun raosi Raden Patih
semu maras.
Kacariyos
ing Surakarta, patihipun sinalinan. Dipati Danuningrat, sampun kapocot
ginentosan Cakranagara. Wondene prakawisipun awit saking adhinipun dados demang
dhusun nama Raden Jayeng pati, dados bebundhel tiyang awon.
Yen
ngecu ngampak digdaya, nglantrah bawah Kumpeni. Sampun katur ing Tuwan Besar,
lajeng kapundhut pejahipun Raden Jayengpati dipun kintuna dhateng Semawis.
Jayengpati
sampun katangsulan, kakangipun Dipati Danuningrat, sanget isinipun. Ciptanipun
manah, sampun ngantos waradin ing akathah, adhenipun nunten dipun pejahi lajeng
kapetak sinuwuraken rnati nglamong. Kumpeni boten percaya, dhinudhuk
bangkenipun, nyata Jayengpati. Sareng katur Tuwan besar langkung dukanipun
dhateng patih,” Wong nora suhut pracaya”.
Punika
prakawisipun Dipati Danuningrat nggenipun kapocot. Semanten Kangjeng Sunan
nonjok srat dhateng ingkang painan Kangjeng Sultan ing Ngayogya. Ing mangke
lintu patih adegipun Cakranagara, srat saking Surakarta, Minister sru suh
ingangkah, ciptanipun manah angsal gegaman boten purun dipun timbali, yen
Kangjeng Sultan teksih wonten gegilang.
Serat
pinundhut, datan suka. Sareng katur Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan, panggalih
dalem “aja kainan ing laku”. Pinethuk nampan mas, lan songsong agung marapit.
Kang sarta Moris ngandikan, “Ananging Tuwan Minister mogok, yatalah wis dilalah
gegilang arep diundur. Den kongsi mangga bathanga, ingsun labuhi. Mapan ana
kang nglelawas menyang d.uta, anakmas Sunan. Minister kang makewuh”.
Kacariyos
Tuwan Minister Moris nedya mutungi pasangan, inargi telas akalipun. Minister
kesahan dhateng Surakarta, Semawis. Yen sepi Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan,
miyos ngalunalun ngrampok tuwin ngaben-aben. Kang timbalan Kumendham Belem
ingkang” ngladosi. Saking penggalihipun Kangjeng Sultan minangka tandha asih
Kumpeni, boten sedya renggang.
Kumendham
Belem langkung bingah, Ingkang Sinuhun ugi langkung suka. Telenging penggalih
amung Welandi ingkang boten sarju, Tuwan Minister Moris. Dene ing mangke saweg
marengi wawalan praniti, kadi dene Jendral rumiyin yen Kangjeng Sultan kondur
boten ebah. Sampun kahanan paekanipun yen kaaturan mangsuk dhateng loji, inggih
tindak. Sawab kurmating Jendral kang ngangkat Ratu, dene Tuwan Besar boten
kurmat. Wong padha saseneng-senenge linggih. Arsa mungkul Kangjeng Sultan,
punika gelaripun karsa ingkang Sinuhun.
Dene
Minister Moris badhe ngrupak gelar, Kangjeng Sultan bebontrek pasemon. dimen
ngarsa ing layu. Mila asring-asring cangkrama, kiter ngaben sima ngalun-alun
kidul tuwin mawatreja. Ananging mangke Purpupok sami umangkring, sami
pengangkahipun. Tuwan Minister Moris anggeriipun wira-wiri dhateng Semawis,
sowan dhateng Kumendur Pambram marengi pasamoan kitir mawatreja, para pratiwa
pepak sedaya.
Raden
Patih ngangge kapal saking Minister Moris, lorodanipun Kangjeng Sultan. Tuwan
Minister atur-atur, titihan kore palangka. kawangsulaken. Kangjeng Sultan
ngagem, boten kadugi. Kapal wadining galih, nalika punika dipun angge Raden
Patih. Penggalihipun Kangjeng Sultan kawentar langkung dukanipun dhateng Raden
Patih, yen sampun ningali dhateng ingkang putra Pangran Dipati, ugi kolu
nguntabena ing pati. Animbali wadana prajurit, nama Prawiranata. Ngemban
deduka, sampun kadhawuhan ing Raden Patih boten kalilan sowan-sowan, Ingkang
Sinuhun boten sotah.
Kalilan
ugi sowan, yen Raden Patih ngiring-iring Tuwan Minister Moris, yen amarengi
ngandikan Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan. Ing mangke karsa dalem, ingkang
nampeni sabarang prakawis Raden Tumenggung Natadiningrat minangka kori. Sadaya
bicara saking loji, patih anyanthelna aturing Raden Tumenggung Natadiningrat
tuwin paturanipun tiyang sanagari, punapa dene kukum ngadil. Sedaya tiyang
weling atur, boten kenging margi Jiyanipun. Tuwin dhawuh timbalan dalem, boten
liya marginipun satunggal Raden Tumenggung Natadiningrat lan sampun sami ugi
lan kuwasaning patih.
Nanging
sabarang prakawis boten kenging tilar patih. Patih damelipun kalih prakawis.
Abdi dalem’ mancanagari kang paben ing nagri tetiga, pasisir Surakarta, Nagri
Ngayogya teksih ginarap ing patih.
Sebdanipun
dhateng ingkang rayi Raden Tumenggung Natadiningrat, “Kowe bae adhi, dadi
warananing Ratu”. Ingkang rayi wangsulanipun, “Kula malih Ki Lurah,, sageda”.
Raden Patih ing nalika punika saged sareh, kathah kang keraos-raosing manah,
Semanten Raden Danukusuma tinundhung saking nagari kakersakaken dhedhekah
wonten ing Melangi dados bantenipun ingkang putra Raden Adipati.
Raden
Patih, saya panas dhateng ingkang rayi Raden Tumenggung Natadiningrat, dumugi
lan garwanipun sengit dhateng rayi Kangjeng Ratu Anem, Tansah manggung
rinaosan, winastan Kangjeng Gusti kekalih. Ingkang nama Pangeran Natakusuma
ningah ingkang putra, ing galih samepyanipun rare wonten bandhulan,
sanginggiling sumur. Dening putra dados kori, cipta nenutuh kang mangreh manawa
nora tulus. Kaniaya marang bocah, bok temah wong asih dumadi lalis. Watake kang
saben ora sah, rinumpaka ing ati. Ingkang putra lajeng ndikakaken sowan Pangran
Dipati, Raden.Tumenggung Natadiningrat mituhu tuduhing rama, lajeng sowan
Pangeran Dipati. Pangandikanipun,” Aja owah kaya biyen, uger Danurejan adhi
bisa, apa kowe bocah cilik, amung langi nuruti deduka teka lakonana bae”.
Raden
Tumenggung lajeng ndikakaken mantuk, sampunkatur sadaya pangandikanipun
Pangeran Dipati dhateng ingkang rama. Ingkang rama sareng mireng, Iidok mono
ira sisip rasaning ati.Besuk dadi bencana, tiwas kawistara sanegara. Mukti,
wirya reraguman. Kang ngragum, sanak-sanake”.
Kacariyos,
bumi Geladhag ing mangke kapundhut besat saking Raden Patih. Kyai Jaganagara
langkung bingah, sabab cecenggringing Raden Patih winastan maro tingal.
Bumi
Geladhag kaasta Ingkang Sinuhun piyambak, Kyai Jaganagara manahipun mongkok.
Wonten mantri geladhag saking Danurejan, anama Jagadimurti. Kangjeng Sultan
saya wewah kang deduka, dene mawi anama Murti, nayakeng dyah nama Murtiningrat.
Raden Patih, cirinipun saya lebet, Nunten nimbali ingkang putra, Pangeran
Dipati kaarih-arih kalih dinten kapeteking galih. Dumadya anut, animbah
Sindunagara lan carik. Damel srat sayogi katameng Gurnadur Jendral. Wiyosipun, Kangjeng
Sultan sampun boten karsa gadhah pepatih pun Danureja. Sarehning maksih rare,
kathah kekiranganipun. Kang nggentosi pepatih Sindunagara, ugi sami nalaripun
anak putu Danurejan. Ingkang damel srat Pangeran Dipati, ngrakit adangjyahipun.
Kyai Sindunagara mundhi serat dalem dhateng ing loji. Raden Tumenggung
kadhawahan wangsit pinenging kesah-kesah.
Karsanipun
Ingkang Sinuhun sampun priksa serat dalem ingkang kabekta dhateng ing loji.
Dhateng Kyai Tumenggung Sindunagara, dhihin prakara durung mesthi. Kaping kalih
surasaning serat punika dede bab sariranipun, nanging wonten kengkenaning patih
ngenggalaken sowan dadya lumampah, cipta tunggil wasita.
Raden
Tumenggung Natadiningrat kang dhateng rumiyin, nunten Kyai Tumenggung
Sindunagara. Serat dalem sampun katampen Tuwan Minister, rengrengipun kawaos
Tuwan Jurubasa Gor. Tuwan Minister sampun mangertos sadaya, sawiraosing srat.
Raden Patih nangis senggruk-senggruk, sabdanipun Minister dhateng Kyai
Sindunagara,” Serat punika boten tetela ungalipun, Danureja ngabdi wong agung
kalih. Kangjeng Sultan boten wenang mocot yen boten gilig sekaliyan Kangjeng
Tuwan Besar. Cacading srat, dumeh nem. Rumiyin sangkaning lare, kajunjung dados
patih. Danureja sepuh sapunika lan rumiyin. Kathah kekiranganipun, ingkang pundi
kang boten pareng lan karsane Kangjeng Sultan. Prayogi katelakna, menawi kula
diburu dhateng Tuwan Besar. Kula sanget ajrih”.
Kyai
Tumenggung Sindunagara sampun wangsul saha sampun katur sadaya wangsulanipun
Tuwan Minister. Ingkang Sinuhun dheleg-dheleg, kewedan karsa belaka, sompok
wadining kang putra kang damel serat. Yen serat kadamela piyambak, boten mawi
sancayaning putra. Kangjeng Sultan sampun ering, sabdanipun KangjengSultan,”
Iya ora ana alane maning, benere wus ora arep iya wis rampung. Upama wong laki
rabi, yen wus ora dhaup jodho, jamake uwis. Minister ndadak takon tetelane.
“Dumadya srat dalem wonten ing loji, baul prakawisipun.
Kacariyos
Raden Patih ing nalika punika supe yen kawulaning Gusti. Cipta badhe pulih
getih, amemales lara wirang. Nora wurung ing tembe pinocot maning, pangulah
danukrama lunga moyang, telabul ngelmu, anyantrik Wali kadi kuwasa, ingkang
sreban gunje gepeng, tan teles ngambah laut, laku dharat nitih angin, duwe
gelap tanpa udan, danukrama mangulon purugipun, langkung amati raga.
Kocap
Raden Patih gegirih ing Pangeran Dipati, campur rasa jiwa satu. Aturipun,”
Kangjeng Gusti, sampun pijer eca-eca lelangen. Sudibya putraning raja, teksih
wonten ingkang mejanani. Jar jana guna kastawa manah, sumyur rum sanegari
angendhih kuwagedan Kangjeng Gusti, nipis ing pageripun.
Kangjeng
Gusti, Ngayogya jati katlusuban luyung. Parangmuka wonten ing canglakan, kula
ajrih angaturna dening mangawit ing kadhaton. Sampun pijer mukti dhahar eca,
danakrama tanpa hasil. Kathah-kathahing putra santana, taksih wonten
anggegujeng ing Kangjeng Gusti. Upami kajeng mandera, lami-lami angendhih wit.
Margi saking rama dalem kasengseming garwa. Tamtu badhe yen puwara, Kangjeng
Gusti sampun dumeh suhud, dipun tetela. Rama dalem supe dhateng Kangjeng Gusti,
lan ibu dalem susahipun punapa boten kagalih, ing mangke ngunduri sepuh,
mindeng anggadho manah. Kalindhih Ratu sesengkan anyar, sinten yogenipun
ngicalna sengkelipun ibu dalem, kejawi Kangjeng Gusti. Sapunika saya santosa,
dhi Rangga badhe dipun petheti mangka pepulihing prang, kagulung nagri
ngamanca. Mila nglantrah sumekta cadhang prang, pakewed. Ing saulat, gora godha
supados ringkesa galih. Kangjeng Gusti, tepang lan pun paman wetan, sapunika
sring-asring kepanggih pun Rangga lampah anelamur. Numpak tandhu kajang, tanpa
rewang. Kados matengken rembag. Lan sinten sagah nulak gunane pun paman,
ngarawit, pangulah putranipun adhi Natadiningrat.
Mulet
galihipun rama dalem, lan boten kirang tresna ing wayah lan putra. Tepanipun
Pangeran Mangkunagara, Pangeran Prangwadana inggih wayah kang dados Pangeran
Dipati.”
Sareng
mireng aturipun Raden Patih, temah supe welingipun ing swargi. Ical tresnanipun
dhateng .ingkang paman Pangeran Natakusuma. Sakelangkung dipun sigeni,
ingajengken sesiku. Pangandikanipun, “Iya adhi, prakara awakku, ngalangna
ngujurna ora” deleng liyane, mung kowe, Biyen, mengko mungguh awakku, ora liya
ngarep-arepku mungguh guna sektimu. Adarma kasrah, bang-bang, alum-alum,
amis-bacin.
Gemah,
rusak, dhedhak, merang, aku ora meruhi. Nanging aja lena, lan ta rasa aturmu
mau bener. Lelejeme Kangjeng rama ketara, orahe tanpa reringa kagungan kekasih.
Kegawa dhi ajeng Ratu Nom”.
Sampun
prajangji sekaliyan, Raden Patih nangga setya, lajeng mantuk. Semanten Raden
Patih, lir tiyang nekad. Jarag-jarag
prakawis, boten jenak wonten griya. Yen siyang cangkrama nambut reta,
dhateng loji, langen mugut pantun, para putri ingajak. Kang eyang saweg gerah
boten kaetang, wira-wiri kelangkungan boten mawi mampir. Kang eyang langkung
serik galihipun, ngantos miyos kang prasapa, “Apa dudu putuku, angkuhe
kagilagila. Apa kang tinemu”.
Raden
Rangga Prawiradirja nalika punika kelangkung bekti dhateng kang eyang,
nguraheni sakarsanipun priyayi sepuh. Tuwin sesaosan urmat busananing seda,
nelangsa centhulane rumiyin.
Kacariyos
Pangeran Natakusuma marengi sowan kang ibu lan Raden Rangga kepanggih. Raden
Rangga matur,” Kula mireng kabar saking Mangkubumen, witipun ki lurah wewadul
dhateng Pangeran Dipati katur dhateng Natakusuman, anunggang tandhu yen dalu
wira-wiri. Rumiyin, sapisan kepranggul lampahipun ki lurah, sepisan sowan
dhateng Kadipaten. Rencang kula sampun kula wangsit, den awatna tiyang estri
kang tinandhu. Raden Ayu Singaranu, mantuk saking Kranggan maksa badhe kabiyak
kang tandhu”.
Kang
eyang gumujeng, suka, wekasan prihatin. Kangjeng Pangeran sabdanipun, “Mung
sapisan aku seba, yektine. Karodene maneh wartamu mau luwih karsaning Allah.
Yen rineksa, ora kena rinusak pepadhaning wong. Yen pesthi, druhakaning sesama
sapa sanggup nulak bilahi. Ron sajaratil mustaha, kawula wus pinanci-panci”.
Raden Rangga mangsuli. “Leres, pangandikanipun rama”.
Kacariyos
ingkang rayi Raden Patih, kapundhut mantu Pangeran Dipati nama Raden
Martawijaya. Ing antawis sampun lami, Raden Ayu kagungan putra. Pangeran Natakusuma
tetuwi, sareng konduripun wonten margi kapethuk tandhu saking wetan kang
njajari sekawan para nyai kedhik.
Pancenipun
sampun samar, petenging dalu, pareng aken nyimpang. Sareng celak priksa yen
Ratu Angger kang tindak. Kang abdi ndikakaken mungkur, Kangjeng Pangeran
sumimpang. Wonten para nyai wicanten, “Nunjang bae, wong Natasuman. Ana
Kangjeng Ratu tindak, wis celak tanpa kering”. “Boten pirsa, kula westani dede
Anak Ajeng Ratu kang tindak”.
Langkung
ngungun samargi-margi, ing nggalih uga seje tuture menyang kang lanang. Pasthi
tuture yen dijarak. Nunten ing dinten Jumungah Paing, marengi gengipun peken,
Raden Patih bakda Jumungah saking masjid. Dumugi ing radinan, bapakipun
lumampah wingking. Wonten tiyang Natasuman, lurah prajurit truna kinanthi lan
tiyang kadipaten belantikan tukar kapal, yen wonten Raden Dipati, nanging boten
mireng. Raden Patih priksa yen tiyang
Natasuman. Lajeng cinekel, dipungebugi..Radenngunus waos, kapal ingkang winaos.
Tiyang kadipaten kang gadhah kapal rnarbes mili, Raden Patih dipun engetaken
bapakipun malih, malah tinantang. Raden Patih lajeng mantuk, sedaya rencangipun
ndikakaken sedhiya piranti. Bok wonten dukanipun kang rama Pangeran Natakusuma,
Raden Patih langkung kuwatir. Kasrat ing Pangeran Dipati, leheng rebat rumiyin,
manawi karumiyinan. Amargeng resmining dyah; kang serat dimene mandi. Kangjeng
Pangeran Natakusuma sareng mireng prakawis abdinipun lurah truna kinanthi,
nunten nimbali putra Raden Tumenggung Natadiningrat ndikakaken lumampah dhateng
Kepatihan. Sampun panggih lan garwa Raden Patih, sadaya sampun kajelentreh
nalika kapethuk margi lan garwa Raden Patih. Wangsulanipun Raden Patih,” Ya
adhi, matura rama ora pisan memalesi, bokayumu ora tutur lakune yen kapregokan
tindake rama. Seka abdine rama, lurah truna kinanthi kang banget manasati,
tanpa kering ing patih wrangkaning ratu.
Ing
saikine, apuntene rama. Kapindhone aku ora weruh yen abdine rama”. Raden
Tumenggung Natadiningrat sampun pamit, lajeng dhateng kadipaten. Panggih lan
Pangeran Dipati, pangandikanipun. “Adhi, ana apa dene seba aku”. Aturipun,
“Mila kula sowan, kautus paman dalem rama. Atur priksa, masa wandeya kauningan.
Ing peken kagegeran, wonten abdinipun rama kaprawasa ing ki lurah. Kapalipun
dipun tatoni, nanging kapalipun abdi dalem ing kadipaten ngriki”. Pangeran
Dipati kaget, dene nganggo jaran kadipaten.
“Inggih
Gusi, wantonipun linton anggen, belantikan tuwin kala pamethukipun sampun katur
sadaya”. Pangandikanipun Pangeran Dipati, “Paman sung uninga menyang aku, aku
nedha lan takrasakne kang yoga. Adhi, aja milu-milu ambeg runtike paman”.
Raden
Tumenggung Natadiningrat sampun pamit, lajeng sowan ingkang rama lajeng katur
sadaya. Lurah parajurit truna kinanthi, lajeng kapocot dening dados bebanten
wisuna. Ing antawis lami, wonten Sarip mrasanja dhateng Natadiningratan.
Sumitranipun Raden Patih.
Wicantenipun
Tuwan Sarip, “Angger, manah kula nglokro, dene raka sampeyan Dipati sapunika
panggih pepanggiling Ratu. Mutungi, jarag-jarag. Kula aturi sampun boten
ndhahar pisan atur kula. Kula dipun oso-oso, langkung gela manah kula, Wajibing
gesang, tumempel kang angsal wahyu. Boten liya angger, kang sayoga gumantos
patih. Sanadyan angger timur, winongwong ing rama. Pesthi Ngayogya suyud dados
janget kinatigan. Wangsulanipun Raden Tumenggung Natadiningrat, “Langkung
saking kemokalan sebdane Tuwan, boten saged dados patih. Kados Ratu boten
karsa, Kumpeni boten ngrembagi lan dede bibiting patih. Rama boten sarju,
punika mung dados kori, Yen sampuna, mangga peksa. Menggah maesa, sampun ngoek.
Boten wrat kangelanipun, tengah mangsuli sihing Ratu. Mung bilaine kang boten
kuwawi manggul”. Tuwan Sarip mangsuli, “Pundi wonten, boten ginalih. Wajibing
gesang minta kanugrahaning Allah. Mamrih indhaking sarira, kenging pinalar,
kula ngengeri. Deres pawartosipun, yen angger dados patih. Dene Sindunagara
mung wela.” Raden Tumenggung Natadiningrat saya tan sarju, Tuwan Sarip
kawelantah semu kacuwik, lajeng nyuwun pamit.
Kacariyos
RadenPatih sowan Pangeran Dipati. Aturipun, “Gusti, kula sanget kuwatir,
prakawis ing loji. Yen kula pambengan, boten wonten ingkang njangkung. Pun adhi
Natadiningrat, bilih kalebet reh kang saking paman dalem Pangeran Natakusuma.
Wantuning guna, boten kawistara.
Kumpeni,
manawi sumela kagungan karsa sanes. Prayoginipun, pun bapa kemawon dipun damel
nelusup. Mung sageda tepang damel. Yen boten sapunika, sanget kuwatir manah
kula. Pangeran Dipati sumerep, marengi, arta, katujon galihipun lajeng santun.
Raden
Patih nuju ngandikan ingkang rama, Pangeran Dipati matur, “Pamrinanipun ingkang
rayi, Raden Tumenggung Natadiningrat, sanget melasaken dening tanpa kanthi. Yen
marengi kangjeng rama, prayogi uwakipun pun Danukusuma amonga”. Ingkang Sinuhun
kewedan, wit dening dede kang karsa. Ing satemah. nuruti. Lenggah sewu,
tambahing sabin ginempalaken lenggah Danurejan.
Parentah
sampun dhumawuh, yen Danukusuma lenggah kaliwon miji. Semanten Raden Patih
sanget anggubel dhateng Tuwan Minister Moris. Lan wewadul, ambeg suranipun
Kangjeng Sultan. Lan bokmanawi, pyambakipun pinrih ing pati dene Ingkang
Sinuhun.
Wangsulanipun
tuwan minister, “Kadi boten tumama, Raden Patih, abdine Tuwan Besar. Yen
kuwatir, kula ken jagi dragunder”.
Raden
Patih, angres manahipun, “Lan yen kenginga kang gumantos leheng pun bapa
pyambak, Kyai Danukusuma. Yen kula boten kinukup kumpeni, kadospundi Tanah
Jawi? Mesthi, karisakan”.
Minister
mangsuli, “Ampun, akeh-akeh kang dipikir. Kula ngrewangi Raden Patih. Saking
banget panasing ati, prakara gegilang boten kodal”. Raden Patih, pamit mantuk.
Kacariyos,
Cina ing Demak kinecu bresih. Tumpes donyanipun, kenging tiyang Demak. Sewu
tigangatus, sedhiya Jayengsekar. Tetindhih, kaliwon satunggal. Angodhol,
nelasah kampak. Lacak kajedheg ing Wirasari, tepang Grobogan, bumi Ngayogya,
Gabus namanipun. Kaliwon, milungguh dhusun ing Gabus sinanggyan pretinggi
prapat mancalima.
Jayengsekar
rusuh, ngrayah, ngobongi griya, kagegeran. Dipun kathahi dhateng tiyang
Jayengsekar, lumajar.
Mantri,
keliwon, kantun ing Ngebyak cinekel sampun binanda. Lajeng kasaosaken, Raden
Tumenggung Sasranagara marengi jagi, boten sowan dhateng Nagari Ngayogya.
Mantri
kaliwon lajeng kaaturaken Raden Rangga dhateng nagari. Sampun, mangkat.
Kacariyos,
landros ing Semawis angsung srat dhateng Minister Moris sarta bantu prajurit
dhateng Demak mawi kumpeni tetindhihipun. Dhusun Gabus, kinepang. Tiyangipun
sami dipun cepengi, angsal tiyang sanga. Pengulune katut.
Raden
Tumenggung Sasranagara, semu ering. Dening Walandi Tuwan minister, sampun tampi
srat saking Semawis.
Minister
nunten bicara lan para bupati. Enggal anglampahaken putusan. Juru basa Gor, lan
bupati satunggal Raden Sasrakusuma. Prentahipun Raden Patih, “Lamun kapergok
lan kaliwon kebaktaa lajeng dhateng Semawis. Sampun ngantos dhateng Ngayogya.
Juru-basa Gor lan Raden Sasrakusuma pepriksa dhateng Grobogan ngurus nalaring
prakara.
Yen
mantri kaliwon binanda, enggal uculana.”
Sampun
sami mangkat ingkang kautus, sareng katur dhateng Ingkang Sinuhun Kangjeng
Sultan, sanget dukanipun. Raden Rangga kautus ngrebat Kaliwon Demak, prajurit
kerangkat lumampah. Saking penggalihipun Ingkang Sinuhun, “Bok digawe
saprayogane, sathithik aja sesoroh”. Temah duka dalem tumpa-tumpa dhateng Raden
Patih tuwin sabapakipun, nunten wonten serat dhawuh pemut yen Raden Danukusuma
boten kalilan sebab mangsuk pancaniti. Mandhega ing galadhag, Raden Patih
langkung serik. Tuwan Minister sampun tinuturaken, semanten kang njujul
Kaliwon, kapethuk margi. Dipun tedha juru basa Gor, kekah. Tiyang Grobogan
inggih kekah, lajeng den srahaken ing tiyang Kranggan. Raden Sasrakusuma angerihi
dhateng juru basa Gor, ingajak manuta, Prandene para bupati ageng-ageng lan
kang njujul punika, mundhi karsaning ratu. Runtut lan Minister rembag punika,
ugi angger ingkang kantun Tuwan jurubasa sampun ngeli. Kaliwon kasrah wong
Keranggan, sampun dumugi ing Ngayogya. Raden Rangga suka-suka atur priksa
dhateng Kadipaten prakawis punika. Pangeran Dipati sumingkir, lajeng ndikakaken
anyaosana Kaliwon den rantun wonten Kepatihan.
Sareng
katur, Ingkang Sinuhun langkung suka. Para bupati sami kakersakaken dhateng
griyanipun Raden Patih amriksa Kaliwon Demak. Aturipun ndikakaken nyerati,
saking karsanipun Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan amemales ing patrap. Tuwan
Minister sareng mireng langkung nepsunipun, Raden Patih ngilikilik lan atur
pemut dhateng Pangeran Dipati sampun tumut-tumut prakawis punika. Ambeg
suranipun ingkang rama,. boten kandel dhateng Gupremen. Pangeran Dipati
miturut, Tuwan Minister angsung srat dhateng Raden Patih nedha Mantri Kaliwon
dening iku abdine Tuwan Besar. Lan sapa ingkang duwe atur ngrojongi Kangjeng
Sultan, sapa bupatine. Sareng priksa, Ingkang Sinuhun enggal ndikakaken
maringaken. Minister tumangap, sampun tampi. Kangjeng Sultan, mundhut tiyang
sanga kang saking Gabus ingkang sampun kabekta saking Semawis. Aturipun Raden
Patih “Tiyang sanga sampun tinetepaken kecu. Lingsem wagugen Kangjeng Sultan,
semanten Tuwan Minister kang manah lir antiga kapiting sela lungit. Dening
purun gantung srat saking Surakarta, gandhek ngantos tigang wulan wonten Nagari
Ngayogya.
Kangjeng
Susuhunan boten trima, Kumendhur pambram dhateng Ngayogya, badhe ngrampungi
saklir kastori. Raden Patih ageng manahipun, para bupati sami prihatin. Ingkang
sarta Raden Patih wewadulipun nelas, lan juru basa kekalih Tuwan Gor, Tuwan
Krisman. Punapa raosing manah ingkang badhe katamakaken Kangjeng Sultan, sampun
rinacik dhateng Kumendhur Pambram.
Raden
Patih kang nenajemi ing saulat solah nangga setya, “Amung titip Pangeran Dipati
enggal jumenenga Ratu. Ingkang rama megawana, sampun tiling lan Kangjeng Ratu kedhaton
kasilep. Ratu sesengkan anyar, Ratu Kencanawulan, saturipun ginega dhateng
Ingkang Sinuhun lan sanget sengit dhateng kuwalon Kangjeng Gusti Pangeran
Dipati. Lan enget yen puputra priya, sapunika tepang lan besanipun, Pangeran
Natakusuma, dhateng Kangjeng Gusti boten yukti.
Prajurit
lebet kang nayaka, kadangipun Ratu Kencana, kalih sami nama bupati wewah Ki
Rangga Prawiradirja, badhe kamantu malih. Kangjeng Gusti kesisan ing batos,
ingkang leres mopoa, dados tanpa tolihan dhateng Kangjeng Gusti:
Ki
Rangga kang manah saya malembung, Ratu Kencana sampun resep. Nanging ingkang
sanget dados kawatir mung rama Natakusuma, pyayi miguna. Lembat putra dados
pangulah sabarang aturipun, rembag kadhahar ing Sinuhun mingo ing Pangeran
Dipati. Kula pinrihing pati, Kangjeng Sultan pangangkahipun yen Raden Rangga
sampun rabi putri mangka agul-aguling panduk.
Karanten
Kangjeng Sultan wangkal, pasang rehipun Tuwan Besar, ngandelaken mantu lan
besan. Ing sapunika sampun katawis, prajurit Natakusuman, Kranggan, Natadiningratan
tandha badhe purun ing tuwanku. Kula sampun kainan, rehning rumeksa nagari
asal-asal sampun kapratela. Lan Kangjeng Gusti nelasaken yen tan wonten ingkang
pangukup, Kangjeng Tuwan Besar dhateng ingkang wayah Kangjeng Pangeran Dipati.
Kula boten awet dados patih, ngraos boten saged anglampahi yen teksih wau
punika. Sukering praja dados kalilip, liya punika sampun suyud sadaya dhateng
Pangeran Dipati tuwin dhateng Gupremen. Yen ical tiga punika, boten angel
Kangjeng Sultan, alit kang galih, Tuwan Besar sakarsanipun dados. Kangjeng
Gusti sumangga kang eyang, lan pitungkas yen wonten prakawis saking Kang Eyang
Tuwan Besar. Sandi lair manut kang rama saking ajrihipun”. Tuwan Pambram
mangsuli,” Trima kasih, lan empun akeh-akeh kang dirasani. Pesthi kula matur
ing Jendral, ampun susah yen atur seka kula wis pesthi lamun ginugu. Dene ing
saniki, perlune gawe kula mung prakarane Minister Moris gegilang lan layang.
Minister
kang kula tutuh, temah ngadu-adu ing Ratu. Lan tempuh arta Cina Demak, kang
kinecu wong Gabus lan ing Kedhu akeh kampak.”
Wangsulanipun
Raden Patih, “Dhusun Kedu, boten nguwasani Sabdanipun Pambram, boten deleng
Hyane ing pepatih. Inggih tuan, boten kula oncati. Asal Kangjeng Gusti jumeneng
ing samangke, nuwun duka. Yen tuwan bicara wrana, dipun sumentor. Kangjeng
Sultan remen gelar rewa-rewa, tuwin geladhi wonten alun-alun kidul. Kangmas
Sumodiningrat kang rumojong, sampuri ged-geden.
Ingkang
judheg, sumelanging manah inggih amung Pangeran Natakusuma. Nukma paekan
alangkung lembat, lan tilar murwat sentana kados kang mengku nagara.
Saatur-aturing patih Danukrama lan juru basa Gor, ingkang nyerati badhe katur
ing Tuwan Besar. Sampun katur Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan, enjing Tuwan
Panbram katimbalan pinanggihan wonten taman.”
Kangjeng
Sultan kewedan dening gegilang, Pambram sampun nama Kumendhur dados Puhnak
Jendral maSa gelema ana ngisor. Kranten sinamun ing taman boten mawi gegilang.”
Penggalihipun
Ingkang Sinuhun, mangsa oraa gawa prakara agung, sipi gedhe tur mahaprana.
Nantun dhateng ingkang putra, “Sapa bupati kang yoga ngadhep?”
Aturipun
Pangeran Dipati, “Boten wonten kejawi adhi Danureja, Kakang Sumodiningrat, tiga
pun Sindunagara”. Kangjeng Sultan miturut Tuwan Pambram, sampun tetabehan
lajeng tata lenggah. Aturipun Tuwan Pambram, juru basa Krisman kang nggatosaken
aturipun Tuwan Pambram, “Rehning mangke Minister Moris selaya lan Sultan,
prakawis gegilang bok inggih tinurut aturipun. Dening adat, swarga, yen lenggah
pendhapi kadhaton boten mawi gabancik gilang. Yen manggihi Oprup dipun timbali,
sanes gilang, sela-sela renggang wijiling witana. Sampun nalurine kang rumiyin.
“Moris netepi parentah Minister, sami lan Sultan. Ing sanalika, pundi nggen
lenggah jajar, campur wangun kaurmatan. Temah mangke kasor lenggahipun, yekti
ajrih parentah. Mila dados kastori,. bok inggih lutur galihipun Sultan. Sepele
dados rembag, dening gilang bancik kayu asil punapa”.
Kangjeng
Sultan nitya sumirat dadu,” Ya bener iku balabag, ananging manjing wiranging
Ratu. Lan wus sun gawe segah kala Jendral rawuh den pinaraki sakaongron lan
ingsun. Para Idlir kabawah, yen dudu karsane pasthi sinaru. Wis oran ana angin
barat, ana babagan nusuli. Kang anjunjung Ratu ingsun, Kumpeni. Ingsun ora
lali, maksih emut. Nadyan iku blabag, wus sun enggo. Ora ngeman wirangingsun,
ingsun iki putraning Jendral didhedheli si Moris. Wirang deleng ing sapepadha”.
Wangsulanipun
Tuwan Pambram, “Timbalanipun Gurnadur, kala pinarak Ngayogya boten patos
angyektosi yen gilang kajeng. Kagalih gilang sela, tetep naluri. Sareng tetela
yen tranging karsa, Kangjeng Sultan mantunana netepi prentahipun Minister. Yen
boten kersa, loji Gupremen suwung kabekta dhateng Semawis. Juru basa manesel,
nuwun tempuh sewu Demak kang kinecu tuwin Kedhu. Yen boten ical tiyangipun
awon, Jendral karsa tindak pyambak birat tiyang kang samijurit”
Pangandikanipun
Kangjeng Sultan,” Kejaba wus praniti, keprabonipun gilang trima lowung didol si
Moris. Untunge dinulur ing Tuwan Besar. Loji Gupremen kang jaga Sinuhun, iku
beneh cahak. Luwih karsane anguningani, asal aku aja cidra sesangganku tunggon
barang tuwin picis, jaluk tempu sewu meksih mulur nalare. Desa Kedhu, pinundhut
pilih margane rinusak jeksane dhewe.”
Begadring
wawalan, temah sami kendel. Tuwan Pambram matur, “Kula mireng wartos
rawat-rawat, yen Tuwan Sultan wonten ingkang tusuk. Dados sandeyaning putra,
kosek lan Pangeran Dipati. Yen yektos, kula badhe mireng kaparingana priksa”.
Kangjeng
Sultan langkung kaget, “Iku pawarta corah, dene dhingin Tuwan Besar angsung
pemut, ingsun pinenging nggugu ujar kang ora yukti. Ki Dipati, apa sira ngrasa
padudon lan ingsun”.
Aturipun
Pangeran Dipati, “Boten pisan suwala, langkung ajrih”. Tuwan Pambram pamit
mantuk. Ingkang sami sowan sadaya tinundhung medal, para bupati kang wonten
njawi anungsung wartos. Raden Patih ‘ajarwa anggarjita, para bupati temahan
prihatin. Tuwan Pambram sampun mantuk.
Kacariyos,
Minister Moris kendel, ginentosan Minister Iglar dhateng Ngayogya malih.
Wondene prakawis gilang, kadehik sewang kadamel sidhang siring. Yen Minister
sowan pinanggihan ing sri menganti. Kangjeng Sultan teksih pinarak ing
gegilang, naluri kang swargi.
Kacariyos
Sekretaris Jendral, Tuwan Pirkes, dhateng Ngayogya mertamu. Pangeran Dipati lan
para putra santana sami manggihi wonten ing loji. Amung kalih dinten, enggal
mantuk.
Minister
matur ing Kangjeng Sultan, wonten parentahipun Jendral. Sebab tiyang memara
dhateng pesisir, yen boten mawi srat pas saking pepatih lan Minister tuwin kaji
kang sami ngampungaken tedhak Rasulullah, yen boten wonten tandhaning yektos
saking salasilah, den tepenga kasrah ing Gupremen. Boten kenging mbekta
gegaman, bedhil siji dipun beskup. Kangjeng Sultan Surakarta, sampun
ngestokaken anglampahi. Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan merang anglampahi, dene
mawi manut Surakarta. Pangandikanipun,” Dene nganggo tununtun seka Sala, apa
ingsun iki kebawah anak mas Sunan. Ingsun lumuh niru, salah gawe. Kaniaya
marang wong talabul eknu, den kon anyekeli. Yen ora aweh, dadi galap menang.”
Raden
Patih tinggal pratela dhateng Minister. Semanten Kangjeng Ratu Anem, babar
putra kakung. Saya kathah reraosanipun, tiyang ingkang sami anggeni. Dene
sihipun Ingkang Sinuhun matambah dhateng Tumenggung Natadiningrat.
Kacariyos
Raden Tumenggung Sumodiningrat, dosa ing Kangjeng Sultan, amejahi tiyang nama
Brajalesana. Panasing manah, piniji lan Amatahir kautus nalika dhateng Crebon,
kala bedru Kumpeni wonten karaman tiga.
Ki
Sidhun Kuburangin, tembung kasbut wau kajengipun namanipun ing tetiyang tiga:
Ki Sudhum, Ki Kulur, Ki Rangin. Wedananipun kasingkur, mila Raden Sumodiningrat
ngincih. Lajeng kapesat medal lenggah mijil njawi. Sareng wonten kabar yen
badhe- wonten Jendral mertamu dhateng Nagari Ngayogya sarta anggegirisi, Raden
Tumenggung Sumodingrat wangsul dados nayaka lebet malih. Dimana ing Kangjeng
Sultan, pinuji ing damelipun, pikandel agul-agul.
Semanten
Lurah Blambangan mati, nama Ngabehi Dasamuka, ing impen nuju memet abdenipun
Ratu Kedhaton. Dhusun dipun cekeli, wonten alun-alun kidul, kalunasan. Kangjeng
Ratu Kadaton langk.ung merang. Lan wonten santananipun mantri Japan, dosa ing
Gupremen, kanggenan saradhadhu saking Surapringga. Ngungsi dhateng Japan,
kadakwa ngekahi saradhadhu kinurung wonten kemandhungan. Kangjeng Ratu Kadhaton
sangsaya muadhut guna sektining mantu, Adipati Danureja. Mamrih kang putra
enggal dados Ratu. Lan ing manah, boten kuwawi anahanakening maru, Ratu
Kancana.
Dhateng
ingkang raka kolu, Pangran Dipati inggih, kolu. Raden Patih sagah, srana tulak
tumbal saujaring dhukun den lakoni sidhekah wreni-wreni. Anglabuh seganten,
ardi, wong kasurupan, lan impen pinuji-puji. Tetumpeng gogohan den bekteni.
Mila
rumiyin wonten nama Tirtasengaja, ngaken angsal gaib. Kangjeng Sultan langkung
panas, dipun pejahi. Lan wonten tiyang nama Setrawijaya, Wangsakartika mung
pocodaning marasepuhipun ingkang putra Pangeran Dipati. Lan wonten tiyang
estri, nama mBok Kertakusuma ngaken meryayang dhayang. Inganggep guru dhateng
Kangjeng Ratu Kedhaton, Kangjeng Sultan langkung ewa.
Gurunipun
Pangeran Dipati, nama Ki Danakusuma, sami tiyang penceng kiblatipun. Saaturipun
ginugu ing Raja putra, Raden anyagahi bab kang dhateng Welandi. Raden Riya
Sindureja, kang sagah samarata putra santana dipun rampasi. Patih Japan, sampun
den luwari saking Raden Patih, maraet sihipun Minister Ingglar. Semanten
Pangeran Dipati, roroning tunggal lan patih. Tiga Pangran Hadikusuma, pocapane
mangan upas bareng mati.
Putrining
sentana tuwin para bupati kang ayu, Raden Patih mangangkah Pangeran Dipati kang
mundhut. Kathah kang sami kentir, sabab sami dipun bandhani. Semanten Kangjeng
Ratu Kadhaton, ningali polahipun Raden Rangga pacuk Den Ajeng Suratmi, sanget
rudatin ningali kang wayah-wayah. Rame lan Ratu Kancana, sapatrapipun tanpa
kering. Peparing sampun kathah, Ratu Kancana dhateng badhe mantunipun.
Kacariyos
Raden Patih rembag lan Surakarta, Patih Cakranagara pratela dhateng Kumpeni wit
salahipun Raden Rangga ngingu tiyang Pranaraga nama Wirabrata, bengkok kecu.
Semanten Pranaraga, Mediyun sami gentos kecu-kinecu. Ing Mediyun mangun kutha,
sedaya manca dipati sami anyambut damel. Mariyem wonten baluwarti ing
Pranaraga, kawon angkok lan Madiyun.
Kacariyos
Kangjeng Sunan wewadul dhateng Jendral, minta adil Gupremen: Nuju ngajengaken
Garebeg Siyam, Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan bicara urmat mariyem yen miyos,
badhe kasuwun mantunipun, sebab dede angger Kumpeni. Raden Tumenggung
Natadiningrat kuwur manahipun, dening den bebidhung. Tampa pemut saking
Danurejan, lajeng kasaosaken Pangeran Dipati. Pangandikanipun, “Yen prakara
urmat atas Kangjeng Rama pyambak, aku wedi matur”. Lajeng sowan dhateng sri
menganti, kapareng sare Kangjeng Sultan. Serat kacanthelaken Raden
Brangtakusuma, Raden Tumenggung lajeng mantuk. Sareng wungu, serat tiningalan.
Raden
Brangtakusuma kautus dhateng Natadiningratan, ing sarehning urmat lamun miyos
mantuk, Kangjeng Sultan langkung runtik. Lajeng atur serat ing Raden Patih,
kepareng sampun mangkat sowan. Serat dipun tingali, Raden Patih gedheg-gedheg
mirsa ungeling srat. Mawi mampir ing loji, kapanggih Minister sampun kawartosaken
sadaya. Raden Patih lajeng dhateng pageiaran, pepak sadaya putra santana tuwin
bupati.
Raden
Sumodiningrat, Purwadipura andhawuhaken timbalan dhateng Raden Patih,yen urmat
boten- mawi. Mangke yen Minister dhateng, Kangjeng Sultan boten jumeneng. Tumenggung
Sindunagara andhawahaken dhateng Loji.
Minister
sareng mireng mutung, masang angkah. Timbalan, boten sowan. Ing satemah baul,
Grebegipun sepi sebab Kangjeng Sultan boten miyos. Bakda Grebeg, putra dantana
tuwin bupati sowan ngabekti. Kangjeng Sultan andhawahaken,” Aja na narka, yen
ingsun baceri Ratu lan Gupremen. Utawa ana kang ngandon-adoni, mamrih renggang.
Poma pacuwaningsun, ora owah belengket.
Amung
lagi rebut, udur-uduran aprakara urmat lan penjaiukingsun sapa kang tabeyana.
Liyane Minister kang njaga ingsun, lan ora ningali Jendral. Amung pulmahe kang
sun tingali, kang aweh urmat Minister Moris diga.we salah. Apa Minister
galagala, mulane njaga ratu mesthi Walanda pilihan, cukup mangertine. Lan apa
mulane Minister tak undang, nora teka. Apa ana kang gegasah, banget petenge
galihingsun. “Aturipun ingkang rayi, Pangeran Natakusuma,” Leres
pangandikanipun Ingkang Sinuhun”.
Mireng
aturipun ingkang rayi, suka pyuh dhateng ingkang rayi. Cumeplong galihipun,
ingkang pangandika,” Iku bener, ciptane adhimas. Sedyaku ya mengkono.”
Sasampunipun dhedhaharan, lajeng sami katundhung sadaya. Sobating Patih,
awewadul piyangkuhipun Kangjeng Sultan dhateng Gupremen. Pangran Natakusuma
ngrojongi, malah cumacat Minister Inggiar Walanda baung. Raden Patih tansah
nggegasah Minister, temah ical sedaya sih palimarma kang dhateng Pangeran
Natakusuma. Sandi upayane dipun kencengi. Damel srat wewadul dhateng Jendral.
Carik tiga kang ndamel tuduh pinangkanipun, Danukrama, Trunasastra, Tuwan
Dritecara Welandipun tepang lan Pangeran Dipati, Cundhaka Wiryapuspita lan
ingkang rayi, Pangeran Mangkubumi,
Amangsuli
cariyos malih ing saderengipun bada Garebeg. prakawis Madiyun Pranaraga. Dhusun
Ngembel tiyang ing Pranaragi, kapejahan tiyang Kranggan si Narayuda. Raja
pejah, gandhek Pangeran Dipakusuma, Ja.yadipura, tiga Somanagara. Surakarta
nguruni Bupati Tumenggung Arungbinang, utusan Gupremen Kaptin Krisman. Sami
landrat, temtu tiyang Ngembel pejah. Kaptin Krisman adamel leresan sampun den
ecapi, Arungbinang sampun suka tandha.
Pangeran
Dipakusuma dereng, ajrih ing ratunipun, kedah atur priksa rumiyin, lajeng sami
mantuk. Raden Rangga taksih wonten Ngayogya, sareng siyam Raden Rangga kalilan
mantuk. Bak.da siyam, wangsula. Sesanggeman bakda, den leresi wulan Sawal,
Raden Rangga sowan, katunjel Kumendur Prambam dhateng, mundhi serat Gumadur.
Serat
supatranipun kekalih, kang satunggal bab Raden Rangga pinrih mintak ampun
dhateng Bogor pinanggil Jendral. Srat ping kalih, rehning Kangjeng Sultan damel
kori, Raden Tumenggung Natadiningrat punika, Jendral boten marengi. Sebab
putraning sentana kathah ewedipun ing wewadosing kang rama. Boten sadu dados
sesendhoning nagari, mabubrah tata. Cilakaning ratu, kasusahaning Gupremen. Yen
boten anut, pesthi Jendral runtik mutungi pasangan rawuh ing Ngayogya, amangun
tata lan patrap.
Ingkang
Sinuhun Kangjeng Sultan langkung gugup sanget, kang paminta sampun ngantos
Jendral mariki, supe subasita pamrih wong kang dudu. Saking kumetering galih,
Kangjeng Sultan kapengkering lingsem, tinitih Kumendur Pambram. Raden Patih
gumapyuk, ginubel ing sih ela-ela dhateng Pangeran Dipati. Sedaya ingkang dados
pakewed, sampun kasumbageng manah. Sanak mantu, kulit daging nirtyeng purwa
duksina. Cipta etang buruh, sanak-sanak abot telak. Kipa-kipa lir anyuthat
wrejid cacing marang sanak kaponakan. Supe welingipun swargi, sadaya ingkang
gadhah pengangkah saaturipun ginugu. Penyananing galih mokal, gepok kang
sarira. Mila sedaya ingkang dados runahing putra Pangeran Dipati lan patih,
cipta abuwang uwuh aja. Gendheng anyukeri dhiri.
Raden
Rangga sampun kadhawahan lumajar dhateng Bogor, mintak ampun ing Jendral lan
kancane tetiga. Raden Rangga nuwun kaanthi, ipe Pangran Dipakusuma. Kangjeng
Sultan jumurung, anunten saling karsa Kyai Danukusuma kadamel kanthi. Pangran
Dipakusuma sande, kathah pamrihipun Kangjeng Sultan. Karane bapa patih tinedah,
yen lakune harja estu dados surati. Mapan landakipun Raden Rangga, marnrih
jetmikanipun.
Yen
Rangga kinarya sirna, aja ana bebaluhi dadi watir. Raden Rangga ngenes manahipun,
den bebungah kartine den utus Ratu Kancana. Sungsungipun Raden Rangga ing manah
nglaIu, ngraos kothor sampttn nipis pangabdinipun, Dening tanpa ta’ngsuI,
ingkang mamrih byuha mahraja.
Kang
masangi iuwang langkung bingah, mupung dhudha dereng kamantu maning. Den
dhedheli dhadhahan, ilanga kabeh kang dadi keiilip. Mila ing manah, Raden Patih
kesusu selak kudu salin ratu, 3umedya patih patah gul anung murba misesa, darma
bae ratune mukti kadhaton.
Ngangkuh
ratu kejaba Raden Rangga nekad liwung, bubuk antuk supana. Raden Rangga ing.
cecengil, pinrih giris lir pejah sajiomng gesang. Saking mapuhining manah,
Raden Rangga ngupados margi nggenipun kesah.
Nuju
dalu Raden Rangga sowan ingkang rama Pangeran Natakusuma, nuinpak tandhu
kajang, kepareng Raden Patih salengepan dhateng kadipaten. Sinapa trampil
sauripun, ngaken Raden Ayu Singaranu mantuk saking mancanagari. Nanging
ingsakalihipun, boten samar sami yitna tinanem ing manah. Wadosipun Raden
Paiih, lajeng dhateng kadipaten.
Raden
Rangga sampun sowan ingkang rama Pangeran Natakusuma, lajeng njujug lir wekaang
panggih. Aturipun, ” Kula punika sampun ngraos bilahi dados pasrahan dhateng
Gupremen, saking pitenahipun Danureja. Danukusuma sareng ingkang rayi Raden
Tumenggung Natadiningrat sowan ingkang raka, sebadanipun Raden Rangga dhateng
ingkang rayi,” Pinten banggi adhinias, awet ningali warninipun kakang Rangga.
Boten sotah pengangkuhe sitaha, iftanah kmasampunteias. Amung adhimas den saged
suwita nagri Ngayogya. Pun kakang kados boten mantuk, lajeng kabucal. Majeng
pejah, mundur pejah. Yen pejah ing margi, awis rencang ingkang bela. Lan keraos
duraka, kuIa salamine gesang. Pun kakang tengeh ngecani manahing tiyang, tansah
dame! sakit sak. Amung kedah nusul mbok jengandika. Fuji kula, yen pejah
winalesa ing dalem dunya sadaya kang sami motangaken ing kula. Mayar alam
akerat, suka. den rujita. Sampun aggendhong memala”
Kang
rama ciptaning galih, guruning pracaya ing Allah, keciwadhag. Kawedhar sabda,
angrapu,” Sokur lepas kawruhmu, ananging keciwa. Uruna prentahing Allah, lagi
kinongkon menyang Bogor, Prentahing Ratu Bethara, nunggal prentahing Allah.
Ing
nitipraja, dikon ngambungi pipining naga kang galak ora wiyang nglakoni.
Sanadyan pati, sakit sabil ingkang nulya. Dudu si Danureja kang aweh lara pati,
yen regag saka pitenah. Wong durung, kowe nglakoni, kawruh mateng bali mentah
temah nora precaya. Lan sira isih nom, wajib amalar sihing ratu, kang kari aja
cupet kurang ihtiyar. Yaiku, dadining gaib Allah, sipat rahman. Angsung
pamintaning umat, angger boboding awak. Jaluk dudu walake, iku wong mamak
duraka”.
Aturipun
Raden Rangga, “Tiyang kathah, was-wasipun kanggenan ngelmuning setan, kirang
amaitis ing Sukma”. Pangandikanipun ingkang rama, “Juwed, dene basamu kumethak.
Lod-lodan, lowe. Pamupusan, wong urip budi ihtiyar. Endi ciptane kang mangsut,
yaiku guruning nyata. Ora ana ngucap lara pati, linakonan”.
Raden
Rangga atur sembah, kojah dhateng ingkang rayi Raden Tumenggung Natadiningrat
yen sariranipun katurunan songsong jene ing salebeting impen. Ingkang rama
mireng ewa, kang galih sampun gela, narka yen anglamong. Lajeng katundhung
medal, ingkang rayi Raden Tumenggung Natadiningrat kapendhet titihanipun sandi,
kabekta dhateng ing Bogor.
Semanten
Raden Rangga, lir wong mayangi solahipun lan sanget bekti dhateng kang eyang.
Sedheng kang para bupati kalempakan ing Danurejan, angrembag nggenipun badhe
dhateng Bogor den sarah panceding dinten lan putusan gupremen. Raden Rangga
boten ngudhoni, sampun penangganipun. Amung sumangga kemawon, iajeng bibaran. Raden
Rangga wonten margi tansah sesambat garwanipun, amung kedah nusul.
Kacariyos
Pangeran Natakusuma, ngandikaning kang Sinuhun Kangjeng Sultan. Sabab ingkang
putra lan Pangeran Dipati tuwin Raden Tumenggung Natadiningrat. Pangandikanipun
Ingkang Sinuhun,” Mulane adhimas sun undang, ana layange Jendral. Sabab anakmu
dadi lawang Tuwan Besar, ora rembug. lng mengko ingsun lakoni tulak bilahi,
adhimas nyingkiri wong ingkang rame kang gumanti lawang vvakane Sindunagara.
Ora ewuh, sapuluh-puluh ana setan ngiwi-iwi. Aja dadi atimu miwah
Natadiningrat”.
Aturipun
ingkang rayi, “Leres karsa dalem, kula langkung rumojong. Sampun rumiyina, mila
yen puruna, matur sanget nuwun kangmas. Sareng pun Natadiningrat kinarsakaken
dados kori, kula langkung watir. Mantuk sanget, pepondhas sasat katrahan ing
nugraha raosing manah, kaowel bilainipun. Begja pun Natadiningrat”.
Ingkang
Sinuhun kajron tampi, raos anglulu matur loba, “Adhimas, nora mengkono. Mung
mari tepung prakara kang menyang Gupremen, yen nampani karsaningsun misih
Natadiningrat.”Kang rayi matur persudi, “Sinuhun ketanggelan dadosa bupati
mijen, manah kula langkung eca boten wonten kang munasika. Punika supadosipun”.
Anyambeti
Pangeran Dipati, “Leres, paman. Dados resikipun adhi Natadiningrat,.manahipun
saged eca boten cowong”. Asreng ngandika Kangjeng Sultan,” Kaya bocah katriwal,
dadi miji sasat nganggur”. Aturipun ingkangrayi,” Asal teksih momong putri,
mangsa kantosa katriwal”. Nunten Raden Brangtakusuma angemban timbalan dalem
Ratu, dhumateng ing Danurejan. Raden Tumenggung Natadiningrat, mantun dados
pintu ginentosanKyai Tumenggung Sindunagara. Ingkang rayi Pangeran Natakusuma
tinundhung medal sarta pinoma-poma sampun ngantos dados galihipun. Kangjeng
Pangeran Natakusuma lajeng kondur.
Semanten
ing dalu, wonten daru ngaler ngilen dhawahipun. Enjing Tuwan Pambram mantuk,
sampun pupus sadaya saliring bicaranipun. Ingkang Sinuhun langkung suka. Pedhak
sonten tetegar, semanten Raden Rangga Prawiradirja ubanggi, kirang nem dinten
mangkat nusul Tuwan Pambram, tata dhateng Semawis.
Denya
ngandika ing Jendral, lajeng sowan dhateng Bogor Sandi ngirabaken bala
wira-wiri wonten margi, nanging Raden Rangga boten tumut manggihi putra sentana
bupati. Amung selamet ing paran, sampun jaga taha-taha sasolahipun tiyang Kranggan
nggeladhi sarta mapan prajurit gentho kumebul,
Ing
sabibaring tamu, Raden Rangga galenikan lan Pringgakusuma kalayan mantri njawi
nama Ngabehi Pusparana, prenah kaki ing Sokawati. Raden Rangga sampun pracados,
boten priksa yen kekalih punika dados pangulahing patih. Kang wau sampun
pratignya mangan upas, bareng mati temah mandayeng jangji balik dhateng Raden
Patih. Mangka pikandel ngawula padha pyayi, gleca-glece sasolahipun.
Raden
Rangga winadulaken dhateng Raden Patih, wanci bedhug dalu Raden Rangga daut
margi ing wingking ler wetan. Ambobok banon, kadamel margi baris kapalan,
gumrebyug langkung kaget kang kamargan. Raden Rangga dumugi Jenu lereh, boten
tinututan. Prajurit gentho kari, sampun oleh dangdanan.
Raden
Pringgakusuma, Pusparana amung ngaterken ing margi lajeng dhateng ing
Danurejan, dhatengipun Ki Martalaya atur priksa ing patih, langkung sumringah
netyanipun. Enggal Raden Danukusuma dhateng loji, atur priksa ing saderengipun
Raden Rangga morod, Raden Patih kang ngaturi penjawil.
Pangeran
Adikusuma, Pangeran Mangkubumi, tunggilipun Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan
kapinta ing galih. Para prawara ngandikan, ingkang dereng dhateng katimbalan
Raden Patih. Kengkenanipun sumebar, lan nalika ingkang rama Pangeran Natakusuma
lelejeming den waspaosna kang yektos. Kangjeng Pangeran sampun dangu sinowan
ingkang abdi sampun katuran priksa dhumateng ingkang putra Raden Tumenggung
Natadiningrat.
Nunten
wonten utusaning patih, anyaosi priksa lolosipun Raden Rangga, katunjel gandhek
animbali enggal-enggalan. Kangjeng Pangeran sampun sowan, Pangeran Ngabehi
sarenganipun. Ingkang Sinuhun nunten bebilas dhateng ingkang rayi, wonten
terkaning batos. Ingkang rayi ing semu, tampi. Katujune pun Rangga boten
wonten, dandosan kula den gabrul. Amung Natadiningrat kenging kapalipun
satunggal, Ingkang Sinuhun semu mengkak sebab Ratu Kancana kathah kengingipun.
Nunten
amatah punggawi, ingkang nusul nututi Raden Rangga. Raden Purwadipura,
tetindhihipun prajurit lebet, sapratigan urunan tiyang sanegari. Bebantheng Ki
Martalaya, Dipadirja putranipun Raden Arya Sindurja, Pringgakusuma. Nanging
welingipun Ingkang Sinuhun, binujug sangkaning lirih, darapon Rangga elinga.
Pangran
Natakusuma, boten. suwawi. Prayogi kabrubuh Ngayogya kerigan. Sokur kacandhak
ing margi pun Rangga, yen boten kepapas ing benjing kathah pambekanipun.
Kamadhihan ngajak sempal, Raden Patih mengo, sedaya boten wonten rembag. Ngetok
budining praja, sawet gangga ketok ponjen. Inggih boten pantes, tuwin amicanten
kagengen lampah.
Mila
pamrihipun, Raden Patih purnaa saking Kumpeni. Dapak-dapak Kangjeng Sultan
manggih ciri, den embut Rangga pinrih aweta. Dhawuhdaiem Ingkang Sinuhun, kang
anglurug den pracayakna enggal dhateng minister lan anedha kanthi dragunder
Walandi.
Raden
Patih ingkang lumampah, lan ndik.akaken cecereng. Yen Kangjeng Sultan, nora
tunggak milu-milu. Rangga, alane dhewe. Kejaba ing kana, yen ana sabyantu,
ingsun ora pisan angajani. Apa maning Ki Dipati nora wruh, aja ngawak-awaki.
Raden
Patih langkung rujuk, welingipun Ingkang Sinuhun, malih damel; yen sampun
dhateng loji lapur, ken ngrayah pondhokan kranggan.
Raden
Tumenggung Natadiningrat ngiring, sampun panggih minister, sinung kanthi Tomis
Litnan kumpeni. Purwadipura sampun bidhal, Raden Patih lajeng dhateng Kranggan.
Patih Singapadu kongsi abang biru, wira-wiri mundhi tumbak. Sakehing tiyang
dipun cepengi, ingkang tengga pondhokan katalikung. Ingkang den genah malebet
ing griya, Raden Tumenggung Natadiningrat, binekta carik ing Danurjan. Anyerati
barang ingkang kantuh, yen sampun kepanggih cacahipun lajenga den usungi
dhateng Danurejan.
Raden
Patih boten tumut malebet, mite ugi wonten pamrihipun. Sesampunipun baresih,
barang lajeng kausungan dhateng Danurejan. Raden Patih atur priksa dhateng
ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan.
Kacariyos
ingkang dhateng Madiyun, Raden Rangga pinethuk Tumenggung Somanagara.
Rerangkulan, dipun tangisi. Tumenggung Somanagara nganta-anta, “Pringgakusuma
bareng gelema menyang Mediyun, kauiku ta pepurak. Ora nyana putune Pangeran
Juru sanggup dadi dhalang gingsir.
Mutene
lurahku Iimut, seka dheweke kang ngomyang. Ngaku oleh wangsit, kon madeg ratu
jumeneng Sunan Alaga. Dining kanang sab, pepak dheweke kang ngarani. Saben dIna
lurahku diicuk-icuk, baya angur mati mergagah.” Dhasar alas pethik, cintha kraton
gedh.e, jangka kalih ketangga, sarah. topi bandera lelayu. Prathisthane wong
prawira, mati ngrebut nagara. Tandha pembaiikipun, sampun kaurmatan.
Raden
Rangga madek ratu, jejuluk Sunan ing Alaga, kekutha ing Maespati, sinidhikara
para ulama, Raden Tumenggung Somanagara, Panembahan Senapatining baris nama
Pangeran Dipati Surya Jayapurusa sampun damel punggawa sakawan. Saha
nglampahaken serat, nelukaken mancanagari Surakarta tuwin pasisir bawah Gupermen. Para tumenggung sami tampi
srat, lajeng atur priksa ing ratunipun.
Bupati
pasisir atur priksa dhateng gupermen, lereyanipun kang sagah nunggil sabyantu
sarni cidra. Prabu tiron muringmuring, Jipang Panolan sampun kawon prangipun.
Kacariyos
ingkang ibu Prabu tiron ngugud-ugud. Siyang dalu tansah muiar kang putra, dipun
tangisi muwah santana estri. Ananging sampun liwung, alah mati kena wisaya
angur matiya mregagah. Mesthi yen ngukup lamun menang. Tiwas neinu pati, wedi
mati. Dudu wong perwira rebut nagara.”
Den
tangisi tanpa gawe, durung karuhan yen mati. Prabu Rangga sampun nekad,
dedameling Ngayogya dhateng. TumenggungPurwadipura boten purun ngesuk dhateng
ing kutha, tebih pondhokipun antawis lampahan nem jam. Prabu Rangga ngluruk
dhateng ing Magetan, semanten Raden Sasrawuiata marengi sakit, ngili dhateng
ardi. Amung Raden Sasradipura ingkang methukaken, prangipun kawon. Negari ing
Pemagetan, kabrokan. Tumenggung Purwadipura ing manah jendhel, ngantos tiyang
mancanagari dereng wonten ingkang dhateng.
Amangsuh
cariyos Nagari Ngayogya, kala Raden Tumenggung Natadiningrat lan ingkang raka
Raden Patih angrayah ing Karanggan. Raden Tumenggung Natadiningrat ginenah ing
lebet mangke cukul.
Ngabehi
Pusparana, katilaran srat. Kekalih dhateng Raden Rangga rumiyin, satunggalipun
dhateng Raden Tumenggung Sumodiningrat. Kang satunggalipun dhateng Raden
Tumenggung Natadiningrat.
Purwa,
Raden Rangga pamitipun, astuti dhateng Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan.
Angaturaken manah kang suci, boten sedheng gumiwang dhateng Ingkang Sinuhun.
Yen angsal brekah dalem, sedya ngumpulken tanah Jawi. Eman pinilih lan
Surakarta tuwin pasisir. Wangsulipun, Raden Rangga nenuwun sampun ngantos
Ingkang Sinuhun tumut-tumut amunasika.
Karanten
sapunika pun Rangga yen menang prang, boten liya ingkang kula pekayaken amung
Kangjeng Sinuhun. Memuri Eyang Rangga, sarta kang Sinuhun swargi. Yen tiWas pun
Rangga, den bubuha sampun ngantos anglepati sarira dalem. Lan pitungkas dhateng
Raden Tumenggung kekalih.
Ing
sapengkeripun Rangga, jembatan Elo ken mutus. Suprih sampun andadosaken kuwatir
mengsah saking Semawis, dene loji Ngayogya masa borong kang kantun. Tuwin
rumeksanipun dhateng Ingkang Sinuhun, kapretandhan lak wungu. Pusparana,
sinrahken ing patih. Raden Dipati langkung bungah, den angkuhangkuh srat
kekalih mangka gegaman. Sampun masa srat dadi kalangan kali, cundhaka
Pusparana.
Nuju
Raden Tumenggung Natadiningrat sowan ingkang rama Pangeran Natakusuma, Ngabehi
Pusparana dhateng, sampun panggih lan Raden Tumenggung. Srat kalih katur lajeng
tumameng ingkang rama. Kyai Pusparana enggal katimbalan. Dinangu matur
nalaripun. “Kula marengi gilir tengga ing pondhokan ing Kranggan, nuju wonten
lare manggih srat kekalih awor uwuh. Sareng kula priksa, den capi, tingkeman
sampun kabuka. Ungelipun, langkung ajrihning sipi, premana mawi nebut putra
dalem. Saking dening rumeksa, boten petang yen kula kareh pun kakang
Danukusuma.
Mila
dereng koningan srat punika, ing mangke sampun katur, kula sumangga Kangjeng
Gusti.” Pangran Natakusuma maos istipar, ngandika dhateng ingkang putra,”
Layang iki caosna ing Pangeran Dipati. Nalaren seka Pusparana, sarta gawanen
wonge”.
Pusparana
matur, “Ajrih ing Raden Adipati, winastan malumpat palang” “Kangjeng Pangeran
maklum ora teka, sira milua. Ngakua panedyamu, layang iki katur Danurejan.
Kepapag dalan lan anaku, laku gati linakon belaka. Dadi kacekel layange, sampun
ora pakewuh nunggal wekas rumeksa nagara”.
Pusparana
atur sembah, Raden Tumenggung Natadiningrat enggal dhateng ing kadipaten. Raden
Tumenggung canthel atur den timbali, atur surat sarta kanalar. Tiga pisan, sami
api kaget. Pusparana boten den timbali, pangandikanipun Pangeran Dipati,
“Layang iki pasthi katur rama Sinuhun “Raden patih tanggap, “Serat punika
bilaeni, anyenyorengi rama dalem. Wadosipun Tuwan Minister, yen boten enggal
katur sasat tenung ingkang kasipengan”.
Sebdanipun
Pangeran Dipati, “Saiki wis tanggung, esuk takaturake kangjeng rama”. Raden
Tumenggung Sumadiningrat, sampun dangu dhatengipun. Kaparingan priksa srat,
anjola nepsunipun sanget. Rinapu Pangran Dipati, sarwi nempal sabda mamrih
hardaya, sampun mirapet tarkaning wadi. Naggutuk lor, kena kidul ngandika
dhateng Raden Tumenggung Natadiningrat,” Wis, adhi matura menyang ramamu.
Paman, layang iki wis tampa gawe. Paman, aturana mramedha Mangkudiningrat kang
duwe pokal nalika bareng, ngrarepake minggat. Si Rangga katemu lan adhimas
Mangkudiningrat lan paman Adikusuma. Loro iku, ora ngenaki ati. Rina wengi,
talikane paman aja pedhot”
Raden
Tumenggung atur sembah, sampun bibaran lajeng matur ingkang rama. Sampun katur
sadaya, Kangjeng Pangeran Natakusuma boten gumun. Amung maras ningali ingkang
putra tuwin ingkang sarira. Enjing samingandikan, pepak putra sentana, bupati.
Srat panggihan ingkang karembag, Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan langkung
gugup. Serat badhe kabesmi, Raden Patih kipa-kipa. “Mugi, kapreyakna minister.
Tedah Ingkang Sinuhun boten sepen inggalih. Lan estu, tetela resik karsa dalem.
Serat, lare alit ingkang manggih wonten pondhokipun pun Rangga kala karayah.
Kula boten tumut malebet adhi Natadiningrat ingkang kula genah malebet. Kula
kantun njawi ingkang mbalengrah inggih adhi Natadiningrat Serat punika
tingkeman, sareng kapanggih ing lare sampun kabuka Langkung-langkung minister
nggenipun mriyogi. Yen dhimas Natadiningrat mayar sabab boten tumut ngrayah
pondhok”
Raden
Patih semanta, sadaya angleresaken Raden Patih. Kangjeng Sultan menggah
kumakalucem, netya semu putih margup sidhakep kang asta, Semanten telas sadaya
tresnanipun dhateng Raden Tumenggung Natadiningrat. Boten wonten ingkang
kantun, rasa risi kanggenan tuwin dhateng ingkang rayi Pangeran Natakusuma.
Lajeng sami tinundhung medal, Raden Patih dhateng loji lan bapakipun, Raden
Danukusuma, boten kantun.
Semanten
Ingkang Sinuhun tansah mirangu, perlu nimbali ingkang putra Ratu Anem. Sareng
kang putra sampun marakan, padamel amung den adhep. Saking genging tresna,
upama dhaun kinulup kados den dhahara malih. Dening priya mangke, dados
prakawising nagari. Ingkang putra langkung tresna, ing kakungipun.
Lan
sampun patutan, kekalih sami jaler. Priye nggone misah, Kangjeng Sultan boten
saged ningali ingkang putra lajeng ndikakaken kundur. Sareng sonten, putra
sentana, para bupati sinumpah sadaya wonten salebeting kadhaton.
Tuwan
Minister Ingglar nesek, sabab kang nglurug dening boten odhil. Purwadipura
cabar, tinedha kukumipun cara Walandi. Raden Patih masengit, ngranggeni wewadul
yen Raden Purwadipura nyambi wade keton pesmat lan dagangan apyun. Yatra
patedhan dalem ingakal, boten kawradinaken dhateng kancanipun. Ingkang Sinuhun
Kangjeng Sultan, langkung duka. Matah bantu, anyalini senapati, Pangran
Adinagara, Pangran Dipakusuma. Putra kademangan kalih, Wiryakusuma,
Wiryataruna, lan 3amadiwirya tuwin Raden Citradiwirya. Sesampunipun sadhiya den
precayakken ing loji, dedamel nunten mangkat.
Semanten
Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan, langkung awis ingkang nggalih. Tanpa
kantha-kanthi, dhinesek dening pepatihipun, den gegila dening kumpeni. Kangjeng
Sultan angrangkul, mamet sihing patih. Saaturipun den lampahi. Pangeran Dipati
langkung suka, amung mbebagusi kemawon.
Pangeran
Mangkubumi, Pangeran Adikusuma sampun salin sajakipun. Nunten minister dhateng
ing kadipaten, mangun rembag, nanging, Raden Patih boten tumut. Sesampunipun minister
mantuk, Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan sampun tanpa karsa. Punapa rembaging
patih lan putra Pangeran Dipati, manut kemawon.
Ingkang
Sinuhun, langkung alit kang galih. Dening mireng saking aturing patih
anggegiris. Semanten Pangeran Dipati, puhapa aturing patih, langkung nggenipun
ambebagus. Kacariyos, Pangeran Ntakusuma punapa malih ingkang putra, Raden
Tumenggung Natadiningrat sampun kadamel tebih, asring cinengkolong rembag.
Ingkang
Sinuhun langkung cumene-cene dhateng ingkang rayi Pangeran Natakusuma tuwin
dhateng ingkang putra. Semanten wonten srat dhateng saking Raden Sasradipura,
yen Nagari Magetan bedhah rinisak tiyang Karanggan. Nunten ingkang Sinuhun
parentah sadaya putra santana, sedhiyaa aprang badhe nglurug dhateng Pemagetan.
Tuwin para bupati, tetindhih Raden Dipati.
Nanging
dereng kantenan pancetipun ing dinten menggah angkatipun. Ingkang Sinuhun rewel
ingkang karsa, ingkang kantun utawi ingkang kesah punika dereh genah. Karembag
lan putra santana, tuwin para bupati ingkang ageng-ageng. Ananging rembag tanpa
dados, lajeng sami katundhung medal.
Pangran
Natakusuma, laju kondur ing dalemipun. Sedayaputra santana, sobating patih sami
tumut dhateng Kadanurejan, sami reroyoman. Raden Patih, malang kadhak sarta
amicanten, “Ala watir ing Madiyun. Dene watir ing Ngayogya. Besuk ana ratu
loro, yen ora nuli kapapas. Lurahe rama Adikusuma. Nanggung maning yen gelema,
terkaku kaya ora linyok”. Antawis sampun dangu, lajeng bibaran. Semanten
Pangeran Dipati animbali Raden Tumenggung Natadiningrat. Ingkang pangandika,
“Karane, adhi takundang. Minister Ingglar, kalane mrene anodhi menyang aku.
Prakara layang temon, dadi sumelang. Kowe kagepok ing kothor, manawa si Rangga
tepung lan paman, kekosodan ingkang dhuwur, Rengganga lan gupremen. Yen oter, mayar
kang pamrih. Mokal si Rangga wania yen dudu, pengajane paman. Jeneng Sunan
Alaga iki, jeneng wrana. Besuk kang sumambung jumeneng Prabu Alaga, Kakang
Sumadiningrat tipis. Sira kandel, teka paman.
Nanging
aku kang nanggung menyang awakmu. Yen dhasar Natadiningrat sedheng, pangawulamu
sanakku belangkep. iku. Ya, aku dhewe kang mrewasa, ora susah gupremen”.
Aturipun
Raden Tumenggung Natadiningrat, “Gusti, leres ingkang pananggel. Saupami
sapunika, inggih kirang punapa sih dalem Ingkang Sinuhun. Tuwan paman dalem
rama boten kekmpahan sisipa. Punapa tanpa patolihan, katresnan
gendeng-ginendeng.”
Pangran
Dipati ngandika, “Lah, mulane ingsun kiyat. Minister nganti tasentak-sentak”.
Raden Tumenggung Natadiningrat, lajeng katundhung mantuk. Semanten, Pangeran Natakusuma,
ingkang putra Raden Mas Salya, kakersakaken mbibrah pondhokanipun Raden Rangga
kang wonten ing dhusun Bogem. Raden patih mireng, amicanten,” Dene sumeca-seca,
kajaba Danureja mati wurung wruh tanah sabrang”.
Ing
nalika punika, Ingkang Sinuhun ing galih langkung kasesa. Dening Rangga, lami
dereng pejah. Adamel srat undhang-undhang, dhumawuh sadaya ingkang bawah
Ngayogya.
“Ingsun
mundhut uga, si Rangga enggala mati. Gehde ganjaraningsun, sapa kang nangkep si
Rangga. Mantri, munggah bupati. Prawara, munggah panewu. Panewu, sun tambahi.
Si Rangga, satruning bumi. Mungsuh wong agung tetelu. Dhingin mungsuh
panjenenganipun. Kapindho, anak Prabu Sunan Surakarta. Ping telu, mungsuh
gumadur. Nuli den sirnakna. Wis ucul seka kulit daging.
Satru
mahaprana, gawe cilakaningsun. Yen aseje, kang oleh gawe gupremen tuwin wong
Sala luput saka atasingsun. Sipi gedheing wiyata, gawe melaratingsun. Sapa kang
ora mituhu, wong kolu, musakatingsun den padha rebut begja. Sapa ora sedya
nglinapsuh, ora oleh brekating ratu. Manjing satruningsun, lepas wong Ngayogya
tumurun putraningsun Dipati Mengkunagara. Ora andi ngawulakake serat undhang
paglaran wulih-wulih”.
Semanten
Pangran Natakusuma lan ingkang putra, Raden Tumenggung Natadiningrat, langkung
dening prihatin. Gerah, kapit dening ratu lan gupremen. Nanging ing galih
sampun sumendhe ing takdir.
Kacariyos,
serat jendral dhateng. Rumpakaning patih, minister kang angsung papan.
Mangsenipun, Raden Danukusuma. Drite ingkang anrat Danukusuma. Tandukipun,
kumendur Pambram anusuk ing Jendral Dhandheles. Inganggep sarta memandeni.
Kapratandhan, cap ageng Nagari Pranesman Jendral Rat Ageng Dhandheles Marsekal,
sami ugi lang angusung pangwasa.
Sunan
Bonaparte Ingkang Napaliyun, sayogi dhateng ingkang prasobat Kangjeng Sultan
Amengkubuwana kaping kalih Ngayogyakarta. Wiyosing surat, kula ngantep dhateng
Sultan. Dening Sultan sring nikelaken tedhaing gupremen. Minister tan
pinreduli. Utawi Patih Danureja awak gupremen saaturipun, boten dhinahar. Lan
srat panggihan ingkang dados yekti. Anyina yen Sultan mamrih cidra ing
gupremen. Bupati ingkang kasebut srat kekalih, Sumadiningrat lan Natadiningrat,
ugi sami dosa ing gupremen, pun Sumadininingrat anglurugana pun Rangga. Yen
boten saged angrampungi, boten sumelang den lokken sadosanipun.
Sami
pun Rangga, anglurug rumiyin Purwadipura. Langkung jahat, pinten kadare pun
Rangga. Dene pun Natadiningrat punika, kula boten kainan. Pemut kula
wanti-wanti in Sultan, prakawis kang mekasi bab Pangeran Natakusuma tetep
kaliliping nagari. Kangjeng Sultan, amiyosna pangandika satunggal, Jendral lan
ingkang rayi. Yen pinilih ingkang rayi, Kangjeng Sultan den prayitna. Kula
tamtu, adhatengi ing Nagari Ngayogyakarta, sarta ngewahi tata. Dene welas ratu
ing wingking.
Jendral
tan lyan, saking mirma putra wayah saturunipun Sultan. Yen miturut ing
gupremen, ingkang rayi Pangeran Natakusuma kula tedha saputranipun. Kinintuna
dhateng Semawis sinimpen ing gupremen. Sultan sampun kuwatir, ingkang rayi
boten sinung pendamelan mardika bawah gupremen. Amung kesaha saking Nagari
Ngayogya”.
Ingkang
Sinuhun Kangjeng Sultan, njenger karuna. Luhipun darewesan. “Priye ki dipati?
Kuwur galihingsun. Mangsa bodhoa, sira kang bakal mengku ing buri”. Pangeran
Dipati njorogaken ing paman, aturipun, “Leheng ingkang kathah, lan satunggal
kalih. Dening malih, slira kaprabon dalem. Manawi jendral mutik, sanes ingkang
mengku karaton ing Ngayogya. Kangjeng rama punapa boten welas dhateng kula?”.
Kangjeng
Sultan kelut, mantoning sabda,” Iya, bener sira, ingsun nanggung ora wani. Karo
wis takdire adhimas Natakusuma lepas seka Tanah Jawa. Mung, Natadiningrat dene
maksih bocah Apa ora kena pinisah? Sebab, adhimu si beng, banget tresna menyang
kang lanang, Kemaraten, manawa gonjing”.
Aturipun
Pangeran Dipati, “Estri, kenging cinukup. Angsal kang manah eca, gampil
pulihing pawestri, Yen pun Natadiningrat, tamtu tresna ing paman. Kados boten
kenging pisah, ndadosaken kuwatir manawi mbilaheni.”
Kangjeng
Sultan ngandika, “Mungsuh prakara nggoningsun ndhawuhi menyang pamanira. Yen
tak asapa pemogoke, dadi kasusahaningsun. Lan wedi walering swarga. Upama sun
apusi, adhimas pinter lembut. Weruh kedhap kilat”.
Pangeran
Dipati kewedan aturipun. Raden Patih-ngandika,” Boten kantun, bapakipun Raden
Danukusuma, Pangeran Ngabehi, Pangeran Demang, Pangeran Mangkudiningrat,
Pangeran Mangkubumi. Sampun sami kaparingan priksa, aturipun inggih sami boten
kadugi nanggel aturipun raden patih.
Kejawi,
kula kamandaka sinandi dados gegadhen. Yen Rangga sampun pejah, rama nunten
kondur nggenipun wonten Semawis. Abdi kathah kedhik, sakarsanipun kalilan. Dene
yen rama Natakusuma mogok, tamtu silip. Nadyan dados leleburan, tan ina
paukumipun. Yen bangun turut, kula lan kyai ngiring sandika karsa dalem Ingkang
Sinuhun. Lan boten kalilan mantuk kula utawi kyai”.
Ingkang
Sinuhun Kangjeng Sultan sampun amarengi. Sakelangkung sukanipun ing galih. Kang
ngandikan sampun sami tinundhung medal. Semanten Raden Sumadiningrat,
pinundhutaken sampun ing Tuwan Minister. Sampun ingapunten. Raden Sumadiningrat
sampun dados kanthenipun patih. Semanten Pangeran Natakusuma, langkung prihatin
lan ingkang putra. Raden Tumenggung Natadiningrat, ing galih langkung
pratignya. Tinarka, angubungi mironge si Rangga.
Den
bicara, toh umur. Yen saking kalabetan swargi sihe, dadi sesiku ^inulang. Kabeh
iku, saka barkatan tinggalane wonguwa. lara wirya, panduming Allah. Wis tulis,
lohmahpullah. Tinahanken ing galih, dhateng ing Danurejan nuju sami wontenipun
bapa lan anak.
Pangeran
Natakusuma, pangandikanipun, “Anak, mila kula dhateng, rehning rayine kesiku
ing gupremen marga layang panggihan. Rayine masa bodhoa, anak patih. Dene
tinarka sedheng ing ratu. Ian si Rangga, kena yen tinanggung, mawi supata, kula
milu. Liya sefca niku, dukane Kangjeng Sultan Sinuhun, luwih Allah. Sumangga
ing prentah”
Wangsulanipun
raden patih, “Boten wonten prakawis malih, amung bab srat panggihan. Mangke
rama rawuh, saha miyosaken pratignya. Inggih kula kang nanggel pun adhi. Prentah
jendral, pun adhi ngandikan dhateng Semawis, dameMpun amung nrwun ampun. Kula
kang nglarapaken, yen sampun nunten mantuk”.
Kasaru
wonten hirdenas. saking loji, mintonaken prakawis anuwun indhaking urmat
Pangeran Dipati. Kufoasaa sedaya prajurit, Kangjeng Sultan pasraha. Yen Raden
Patih sampun, nunten den cap~ecap ageng Banaparte, raden esmu watir. Dene kang
rayi priksa, tambuh nggenipun mangsuli. Semados pukul pitu dhateng loji.
Pangeran Natakusuma pamit kondur. Sonten wonten gandhek andhawuhaken Pangeran
Natakusuma saosa ingkang enjing. Winangsulan sandika. Sareng enj’ing Pangran
Natakusuma sampun sowan nunten ingandikan.
Raden
Tumenggung Natadiningrat kantun wonten pagelaran. Pangeran Dipati, raden patih,
sampun dangu wonten ngarsa dalem, Ingkang Sinuhun, seret ngandika,” Adhimas,
karane sun undang. Layange gurnadur, sira pinrih menyang Semarang, lan anakmu.
Prakara si Rangga, balik sira kena rerasan. Mokal, si Rangga wani madeg ratu,
yen ora sira kang akon. Dene anakmu, layang temon kang dadi yekti. Terkane
jendral, ngreka puter nagara.
Sumadiningrat,
wus diampun. Natadiningrat, jendral misih sumeteng. Yen ora metu lan sira kudu
tundhuk muka, banget dadi watire. Yen Rangga wismati, sira pesthi nuU mulih.
Danurja, Danukusuma ngiring yen muUh barang sira. Kapriye mungguh adhimas?”.
Aturipun
kang rayi, “Pun Natadiningrat, prayogi nunten katimbakn”. Kangjeng Sultan,
ngandika, “Gampang, Natadiningrat anusup ing buri, menawa salah tampa”.
Ingkang
rayi, boten manesuli. Raden Tumenggung Natadiningrat inggal ngandika, “Sampun
sowan”. Pangeran Natakusuma nunten matur dhumateng ingkang raka, “Kula miturut.
Ing satedah Kang Sinuhun, kula lampahi”.
Kang
Sinuhun ngandika, “Iku bener, adhimas. Aja salah tampa, kana kene bumine
Allah”. Ingkang rayi, nyundhul atur, “Kula nglampahi tedah satimbalan saweling.
Kula darmi lumampah. Saha malih, prakawis kesah kula pahit, panggiha urmat
gupremen. Utawi, nistha kula sentana ratu, sampun sami walang galih. Lawan
pitulunging Allah, kula saged sowan wangsul. Sampun nggahh gela”
Kangjeng
Sultan ngandika, “Pesthi sira nuli mulih. Mung nganti patine si Rangga”.
Ingkang rayi, andonga ing batos,” Ratu wrananing Allah. Sasebdane trus, Rangga
mati aku mulih”.
Ingkang
rayi matur malih, “Lan kula puniki sring seliringan lan pun Danureja. Ing
mangke, wrating pangutus, lepat-lepat, pidana ing pejah. Mugi, kapundhuhna
lebura saking parentah”. Kangjeng Sultan naidi, “Sapa wiwit maning ora becik”.
Pangeran
ngandika dhateng patih, “Sampun lega, anak manah kuk, kaiden ingkang Sinuhun.
Rebut balung tanpa isi, tuwas punapa. Diutus ratu, tumpang so selaya budi.
Nunggil Ungsem ing ratu”. Raden patih ulatipun putih boten mangsuU. Pangeran
Dipati ingkang mangsuli,” Aran sampun prayogi, Wau aturipun paman nenuwun ing
kangjeng rama. Mugi sampun sumelang. Nadyan paman mangsuli, Insya allah,
ngestoken. Boten kumedhap, kacipta satimbalanipun kang rama, kangmas Sinuhun.
Sarta, emut weling kang swargi”.
Kangjeng
Sultan, sareng mireng luh kumocor. Ing nggalih keraos, “Kepriye nggone muryani
wedi ing tuwan jendral”. Sampun pancet menggah badhe angkatipun dhateng
Semawis. Lajeng sami katundhung medal. Pangeran Natakusuma lajeng kundur.
Semanten Pangeran Natakusuma boten simpen galih, pitajeng ing raden dipati.
Pusakanipun waos, nama Kyai Buyud lan turunanipun, Kiyai Kaki, mangka srana
tumbal tulak bilahi.
Lan
malih, arta sewu reyal. Ingkang pangandika,” Yen Danurja, ati raharja. Aku,
pasrah tumbak. Tulusa dadi pusaka. Yen si Danurja cidra, si Buyud dadiya
tenung”.
Ingkang
putra, Raden Mas Salya, ingkang lumampah. Waos kalih, sarta arta sewu reyal
sampun katampen. Raden patih langkung bungah manahipun. Semanten, minister
ngrumiyini dhateng Semawis. Ingkang Sinuhun, marengi. Sonten malem Setu
Pangeran Natakusuma ngandikan bujana ing kadhaton. Ingkang Sinuhun, marengi
supe dhateng kang rayi. Tetilaran ingkang rama swargi. Raden Tumenggung
Natadiningrat, kaparingan supe ing pangran dipati. Sesampunipun dumugi, lajeng
sami katundhung medal. Setu enjing, Pangran Natakusuma sampun sowan. Utawi
ingkang putra Raden Tumenggung Natadiningrat. Raden patih, sabapakipun, Raden
Danukusuma.
Lajeng
sami ngabekti dhateng ingkang Sinuhun, sesampuning ngabekti nunten bidhalan
dhateng loji. Minister Ingglar, dereng
mangkat. Pangeran Natakusuma, sampun kepanggih lan minister. Wonten
utusan dalem ingkang Sinuhun, aparing srat dhateng minister. “Ing mangke,
ingkang Sinuhun paring kuwasa minister tuwin raden dipati mangka palmaking
ratu. Punapa sareh kang ndadosken suka lega pajujunging ratu, ecaning wadyabala
sadaya. Utawi, putra santana sayogya samya umiring. Saprentah, linakonana.
Pema-pema, dhawuh dalem.” Minister manabda ing Pangeran Natakusuma,” Punika
prentahipun ingkang raka Sinuhun Sultan”.
Pangran
Natakusuma mangsuli, “Inggih, mapan sampun tanpa kajeng. Sumangga rehe kang
adamel”. Nunten gegaman kang mangkat, Raden Danukusuma kang wonten ngajeng.
Kangjeng pangeran utawi ingkang putra, wonten ing wingking.
Raden
patih kang wonten ing wingking pisan. Sampun lajeng lampahipun, dalu lerep ing
Klathen. Minister nungkak lin mipro, numpak kreta dhateng Surakarta.
Enjing
Pangeran Natakusuma mangkat, langkung prayitna prajurit Danurejan. Dalu kendel
ing Bayalali, enjing Patih Surakarta Cakranagara ngrumiyini.
Pangran
Natakusuma, sampun mangkat wonten SaIalitiga sedalu. Enjing budhal lumampah
Raden patih ngrondhe wingking, sumadosan lan minister dangu nggenipun ngantosi.
Minister Ingglar nunten dhateng. Sarta wewartos saking Sala wonten prentah
jendral boten kenging bekta abdi kathah kang sami dhateng Semarang.
Patih
Cakranagara, kedhik tiyangipun. Sanes Patih Danureja, tiyang atusan. Wakiljng
ratu, sabab ngirid pangeran. Namung ing sarehning badhe nuwun ampuning lepat,
kirang jetmika ing gurnadur. Yen kathah mbekta abdi, datanpa damel. Leheng,
sami ken mantuk.
Wangsulanipun
Pangeran Natakusuma, “kiggih tuwan, ngentosi pun anakmas Danureja. Punika,
ingkang kula turut”. Minister, nunten pamit angrumiyini.
Raden
patih enggal dhateng sarta matur anungsung wartos, Pangran Natakusuma, sampun wewartos sedaya
minister ing rembagipun. Aturipun raden patih,” Wau, nalika kapanggih wonten
Salahtiga boten anglairaken punika. Ing mangke wonten prentahing jendral. Ewed,
yen boten Hnampahan. Lan sampun wonten dhawuh dalem Ingkang Sinuhun, Ingglar
pu)makirig ratu. Arnung prayoginipun, abdidinipun rama utawi rencangipun adhi
Natadiningrat wetaha. Ngakena, rencang kula. Utawi, kyai sonten rawuh Ungaran,
sedalu kendel wonten ing Ungaran. Raden atur priksa yen wanci jam pitu badhe
kapethuk k.areta. Lan estu boten kenging bekta abdi prajurit kathah. Mung
ngampil panakawan ingkang kalilan. Pangran Natakusuma miturut. Enjing kareta
sampun dhateng. Pangeran nitib kareta, lan Raden Patih, Raden Natadiningrat,
Raden Danukusuma. Kareta pinecut mamprung. Para lurah Natakusuman, tuwin abdi prajurit
kang sami tresna kathah kang sami nangis. Dene boten saged nututi.
Sampun
rawuh ing Semawis, tumenggung Semawis methuk. Mesanggrahan griya Gemulakan.
Tuwan juru basa amicanten, “‘Yen dinten punika pangeran tuwin raden dipati ken
ngaso. Benjing Kemis, ngandikan ing jendral. Tumenggung Semawis, nuwun ngatas
ing jendral estu. Wonten pundi, pondhokipun pangeran utawi ihgkang putra.
Kyai
Secanagara, enggal dhateng sareng klas mayor. Aturipun, “Tamtu wonten’ ing
Gedhong Papak. Yen Danureja badhe tumut tuwin Danukusuma sami kalilan”
Pangeran
sampun nitih kreta, lan ingkang putra tuwin raden patih Ian bapakipun. Sampun
dumugi ing loji, para tuwan langkung kathah. Tuwan brigedhir, nunten
adhawuhaken parentah. Juru basa Krisman kangqgartosaken parentahing gurnadur,
dhawuh ingkang wayah Pangeran Natakusuma mugi seleha dhuwung.
Kangjeng
Pangeran mangsuli, “Paran, anak Danurja”. Aturipun raden dipati, “Boten
kenging, kula mot dudukaning jendral. Angraosaken, boten kuwawi. Kula masa
andeya gesang. Kedah labuh, badhe nglurugi pun Rangga.”
Raden
patih, nunten kesah sabapakipun. Sowan dhateng loji Bojong, bicara lan
gurnadur. Semanten Tumenggung Semawis anyaosi kothak pranti wadhah dhuwung.
Aturipun Tumenggung Semawis, “Gusti, yen panuju ing galih, mugi, paringena. Saking
cipta ngudrana, kenginga kula ajeng-ajeng. Pembalik, singgih ing wingking.
Dening kang eyang kang mundhut.
Sinten
malih kang tinurut, iya Kangjeng Tuwan Besar. Asal Kangjeng Gusti nggalih suci,
kula ingkang ngrencangi” Dhuwung nunten kaparingaken, tuwin kang putra kalih
sampun sami srah dhuwung. Raden patih, saunduripun saking loji Bojong, angungak
ing Gedhong Papak. Langkung sukaning manah, ngraos ical kalilipipun. Barang ing
Natakusuman kang saking Ungaran, lajeng bineskup inganggep jarahan, utawi
barang Natadiningratan.
Para
lurah tuwin prajurit sampun sami den brundhuli, lajeng sami mantuk enjing.
Tumenggung Semawis anyaosaken abdenipun pawestri, Pangran Natakusuma, abdi
jaler ken medal. Semanten Raden Mas Salya, sinandi grah ken medal manakawan ing
raden patih. Tumenggung Sumawis kang masrahaken perlonipun, saking sanget welas
ningali abdinipun sadaya.
Kacariyos,
Tuwan Besar nggenipun bicara sampun putus, sami anyanggemi. Kumendur Pramban,
Minister Ingglar, sekawan Raden Patih Danureja. Tamtu badhe nglungsur Kangjeng
Sultan Ngayogya, ngangkat ingkang putra Pangeran Dipati.
Prajurit
kumpeni sampun mangkat tuwin Pangeran Prangwedana. Kelathen den jegi, nanging
jendral dereng mangkat. Semanten Tumenggung Semawis, katrima ing gupremen.
Jinunjung, nama dipati.
Wanci
pukul kalih dalu tuwan brigadhir lan juru basa ingutus jendral. Saking pamrina
asih, Semarang kathah sesakit. Nagri pengangsalan, prayogi yen Rangga kondur
Ngayogya:
Pangeran
Natakusuma sampun mangkat lan ingkang putra. Kumetir upsir kekalih nama Tuwan
Mantero lan kaptin kapal dumugi Nagri Lepentangi pukul gangsal. Pukul wolu
rawuh Nagari Kendhal. Pukul pat sonten kendel. Nagari Batang.
Pukul
kaUh dalu, ngaturan mangkat dhateng Nagari Tegal. Kendel Sedayu; Landros suka
srat parentahipun jendral. Mangke dalu pukul kalih mangkat dhateng Carebon
Nagari. Pangeran lan ingkang putra, sampun mangkat. Kumetir kekalih boten pisah
dhateng Carebon Nagari. Ing sadumugenipun, lajeng kendel ing Alberek Nagari,
gedhong caket lan loji.
Pukul
kalih dalu, mangkat malih dhateng Nagari Sumedhang. Bupatinipun nuju sepi
ngandikan dhateng Betawi. Amung patihipun, kang angladosi. Lajeng mangkat
dhateng Jurugagung, kendel sedalu. Pukul kalih, dhateng Nagari Bogor. Lajeng
dhateng, Misterkurnelis.
Pangeran
lan ingkang putra lerep ing Albereh, pinanggihan lan Tuwan Kurnel Obrus. Direkturipun boten
wonten, lajeng dhateng kantor Baru.
Pangeran
ingkang putra sampun manggen. Deriktur Iseldhik weling dhateng Welandi kang
njagani Pangeran Natakusuma. Sampun sakit manah, witning kedah nunten panggih.
Ajrih ing jendral, lan maHh yen dereng trang kang sayektbs kumetir kalih sampun
wangsul. Antawis sedasa dalu, direktur Iseldhik tetuwi, sareng panggih gentos
ciuman.
Pangran
Natakusuma, anungsung wartos menggah bab sariranipun. Iseldhik, wangsulanipun,
“Amung kadamel witing pangapus Rangga nggenipun ngraman. Pangeran tinarka
angubungi. Sadhatengipun sudara mriki, pun Rangga boten lami nunten pejah,
Prakawise kang sayektos, Pangran tinarka salah. Mamrih Pangeran Dipati,
putranipun Pangeran Raden Tumenggung ngendhih Patih Danureja. Kathah nggenipun
angranggeni, dupeh kadang Natayuda. Pangeran rosa, sakarsanipun. Kula sampun
den takeni ing lurah kula. Kula matur sayektos. Selami kula wonten Ngayogya
nembe las taun, dereng priksa pangeran yen naI:al. Lan malih, kang rama swargi
sanget sih. Nunten, Kumendur Pambram, nyogok kathah-kathah. Aturipun, dupeh ibu
saking Bumijo pinduhut ing ratu. Nora tempung lan Pangeran Dipati. Nanging kula
kendel, boten surnaurs Kalihdene malih, yen dados susahing gupremen. Yektine,
anak njegal bapa. Pepatih pusing kepala”.
Iseldhik
tumetes luhipun. Margi sihipun kang rama pangeran, Ingkang Sinuhun Kangjeng
Sultan Swarga. Lajeng pamit pulang. Kacariyos, jendral tamtu dhateng Ngayogya.
Kangjeng Sultan hnorod, ingkang putra Pangran Dipati kajunjung anama Kangjeng
Raja ing Matawis. Purba, Patih Danureja. Minister, tumut mengku. Ingkang rama,
sampun boten kuwasa. Anung, Grebeg siyam.utawi Mulud Besar, ken miyos jajar lan
ingkang putra tiga. Minister ahgapit.
Liya
wiyosan tiga punika, sampun tanpa damel. Pangwasa wonten ingkang putra. Tuwan
Besar saunduripun saking Ngayogya, lajeng dhateng Surapringga. Nunten kundur
dhateng Betawi.
Kumendur
Pambram boten pisah. Semanten Pangeran Natakusuma den begadring. Langkung ewed,
Pambram ingkang ngekahi. Direktur Iseldhik, kang dados tantinganipun Tuwan
Besar kalayan Kumendur Pambram.
Sabdanipun
Iseldhik, dhateng Pambram, “Kapriye, pangrasamu Pangran Natakusuma. Lan
apa.dosane kang prana. Dene lawas ora rampung. Lawas ana kene, mesthi lara ati.
Tepakna awakmu dhewe.”
Direktur
Iseldhik kabrangas, supe Pambram sampun jendral kecil inggil-inggilanipun. Kala
alit, Pambram ngenger direktur. Langkung merang asmu ering. Ing batos sanget
nepsu, anjarem saserikipun dhateng Tuwan Dhirektur lseldhik. Lajeng bibaran.
Semanten
Kumendur Pambram sanget ngupaya akal mersudi tepang lan Waterlo, Mnister
Ingglar, Serat wira-wiri dhateng Crebon, laju dhateng Ngayogya. Dumugi ing
patih, tuwin raja putra. Nalika punika, Pangran Dipati, Raden Patih, sasoroh
arta utawi dhusun. Sampun ngantos kang paman, Pangran Natakusuma, kondur
dhateng Ngayogya. Den bucala ing Bandhan, utawi ing Se!ong Ngambon. Ing mangke
jendral dereng trang raosing panggalih. wonten mitraning welas ing Pangran Natakusuma
badhe tuwi. Saking aturipun Dhirektur Iseldhik, Pambram pengging langkung
kedhep, aturipun, “Pramila ing saaturipun langkung kedhep, margi saking
mipronipun. Tuwan Iseldhik matur marsudi ing Tuwan Besar. Bab Pangeran
Natakusuma lan kang putra, kasuwun manggen ing griyanipun. Keranten sapunika,
ing manah langkung watir dhateng Tuwan Pambram pangulahipun.
Tuwan
Besar boten amarengi, pangandika, “Direktur, warahen aja kuwatir. Pangran lan
putrane enggal takpikir nggone mulih, mung nganti titane Ngayogya. Sultan
miturut, apa mogok. Saiki sedhiya prang, Sumadiningrat kang marahi baris mapan.
Nora tepung. Pangeran Dipati. Ing biyen wis miturut. Wusana ing sapungkurku,
ora geleni. Yen Sultan ora lila sun srah putrane Pangeran Dipati, pasthi
takbaleni. Rusak Nagara Ngayogya. Wus tamtu ancur. Yen pangran takulihna,
sumelang pamrinaku ketawur dahuru jaman. Anatara harja, nagara pesthi ngudur
nggawa pracayaku. Dhuwunge pangeran utawa putrane, aja kuwatir. Wis
takpasrahake Sultan”.
Tuwan
Iseldhik nuwun tandha asta suprih tetepa pangeran lan ingkang putra. Jendral
nunten nurati, tinampen Iseldhik. Lajeng, kapenggih Pangeran Natakusuma
nedahaken tandha astanipun jendral. Tuwan Iseldhik lajeng mantuk.
Semanten,
agul-agulipun Tuwan Besar. Jendral Girnadir pejah. name Obrus Pragemim. Ing
galih, Tuwan Besar kados kecaUui manik saardi agengipun. Lir sempal bafeu
kering. Dening ngajengaken mengsah Laggris, semanten wonten koloneI utusanipun
Susuhunan Prasman PeUcet, Nagari Betawi. Samuning dhawahken parentah, tigang dalu
mantuk.
Kacariyos,
Kumendur Pambram ginubel saking Ngayogya prakawis Pangeran Natakusuma lan
ingkang putra simaa saking Nagari Batawi. Watir dening den badheni Direktur
Iseldhik. Ingkang rembag sampun giHg. Kumendur Pambram, Minister Ingglar, Waterlo,
Pangran pinrih wonten ing Carebon. Tengah-tengahing Betawi, lan ing Ngayogya.
ing benjing dumugi ing seda.
Jendral,
Ratu, sareng SinggIar, Waterlo, kang dados pangulah. Mipro Pambram angawaki,
mamrih untungi.ng priya. Tuwan Besar sampun miturut dening pembananipun mipro
Pambram. Enggal nenurat, Kskal Besar kang ingutus andhawahi Pangeran Natakusuma
lan ingkang putra manggena wonten Cirebon. Prayogi Tuwan Waterlo kang ngemongi.
Sami lan Direktur Iseldhik, pra sobatan lami.
Enjing
Pangeran enggal mangkata. Sareng enjing, enggal mangkat. Kumetir kalih, sareyan
sepuh, kopral satunggiI sampun dumugi ing Carebon. Tuwan Waterlo methuk.
Sareyan suka srat, winaos ing Tuwan Landros. Sampun mangertos sadaya., lajeng
amicanten, “Timbalanipun jendral, kuIa ken angreksa Pangeran wonten ing kitha
rumiyin. Benjing wonten parentah malih. Pinten banggi, manggiha harja utawi
ingkang putra. Jangan susah, ada sini”.
Pangran
mangsuU, “Trima kasih”. Tuwan Waterlo lajeng pamit mantuk. Ing antawis pendhak
dinten, Petor tetuwi ing pangeran. Sartanipun suka kabar langkung gati. Yen
wonten kabar yektos, inggih boten samar kumpeni besar kang paring priksa. Yen
Tuwan Jendral ngatas dhateng Kangjeng Sultan Nga ogya, bab pangeran putrane.
Wangsulanipun Kangjeng Sultan, “Sampun, trima kasih: Boten arsa tampi, sumangga
kumpeni.”
Sampun
ingundur lenggah saking Ngayogya, Ratu Anom utawi ibunipun Raden Tumenggung
Natadiningrat, yen sampun antawis dinten dipun kramakaken mahabupati. Ratu Anom
badhe dipun paringaken adhinipun Dipati Danureja. Tuwin sadaya sakagunganipun
Pangeran, sampun kajarah kausungan dhateng kadhaton.
Nanging
Pangeran sampun prikra yen upaya-sandi. Amung mangsuli, trima kasih dening
Pitor suka kabar. Ing antawis pendhak dinten malih Tuwan Waterlo nggenipun
gadhah pamrih boten tumama dening Pangeran. Utawi putranipun. Wau, boten
wontene kadya kang wau pamrihipun pejaha. Salah saking soIahipun pyambak.
Tuwan
Petor lajeng minum bremduwin, enggal murugi panggenaning Pahgeran. Pinrenah ing
gedhong Carebon, ingkang nglangkungi weridipun.
Sandenipun
mengsah Inggris pakuwatir, yen wonten nginggil prayogi wonten ngandhap. Lan
parentahejendral pisaha lan putra, boten kalilan tunggil.
Semanten
sampun kapisah panggenanipun, abdenipun estri Pangeran sampun kawedalaken.
Gedhong nunten tinutup. Petor damel pangulah rungsit, mistri ken mbaureksa,
saben enjing boten. pegat sandi mrina suka jampi.
Ing
saben-saben dheleg-dheleg, boten kolu angetrapna ing wisaya. Ing satemah mopo.
Waterlo salin karer.ah. Wisaya, den wor dhedhaharan. Bupatinipun kang ngladosi
ing sadinten-dintenipun, sakalangkung dening lembat. Angrencangi basa loba.
Sedheng
ngunjuk her panas wanci jam gangsal sonten, jam nem Pangeran utawi ingkang
sareng, grah sedalu. Pangran dhiri bengkak. Dhiri kaluwar dharah. Raden
Tumenggung Natadiningrat, napasipun cekak. Mundhut tirta degan, boten angsal.
Sareng enjing, wonten dhanganipun. Bupati kang njagi angladosi, sampun nampeni
pirantosipun seda.
Kacariyos
Walandi kang njagi, nama Jagupsari, Pangeran den tangisi. Pamicantenipun, boten
saged ningali pangeran utawi ingkang putra. Ing sasaged kula ngupaya srana,
tulak tumbal.
Pangeran
sampun mulya, lir adat saben. Utawi ingkang’ putra Raden Tumenggung
Natadiningrat. Jakupsari, anyaosi jimat sinerat ing singat. Pangeran mangsuli
kathah-kathah “Trima kasih., datan kuwawa mangsulaken”. Semanten Petor,
langkung kewedan enggenipun gadhah pamrih. Ambeg sura badhe dipun kasab.
Sareng
pagut paningal, Pangeran ngandika, “Mugi tuwan untab^ken awak kula, sampun
memanjang siksa”. Petor kanggeg sareng mireng, nunten kesah. Enggal kumendham
dhateng, sarta angliga padhang sarta nudingi. Ujer Pangeran piyambak kang ciri,
cilaka budi. Wangsulanipun Pangeran, “Punapi ing sakarsa. Mugi katamakna enggal
ing awak kula”.
Bebanten
Jakupsari dipun tundhung, dupeh raket lan Pangeran. Sinalinan Welandi langkung
kasar, Pangran minta sliring kori, Welandi kang njagi mbekus, “Kula weii
ngengani. Panas pisan, wong tinutup gedhong gelap”.
Semanten
Pangeran utawi ingkang putra sampun boten ngraos panjang yuswanipun. Rinten
dalu mung ngesthi seda, semanten selamenipun wonten gedhong. Lir tingkahing
mukmin, kang sampun kas kang makripat.
Kacariyos
Nagari Surapringga wonten jendral mentas saking jalanidhi. Cundhakanipun
Susuhunan Prasman anama Jendral Yansennes. Gupernur nagari ing Ekap, mbekta
prajurit pitungewu sami kulit pethak sedaya. Sepalih taksih wonten laut,
sapalih ingkang mentas amung sipeng sedalu.
Enjing
pangkat, kados den sawat-sawatna enggala rawuh ing Nagari Betawi, enggala rawuh
ing Nagari Crebon. Ingkang ndherek jendral mayor saunggal, pusdhak satunggal.
Sarta mbekta pethi alit, isi serat palekat. Jendral rawuh Karangtangkil, Petor
langkung bingung. Tuwan besar andangu ing Petor, “Ing kene ana apa?”.
“Boten
wonten kawis-kawis, prakawis wonten ugi pyayi Matawis. Rama lan putra, kang
rayi Sultan ing Ngayogya nama Pangran Natakusuma. Putranipun, nama Raden
Tumenggung Natadiningrat. Namung sampun kadamel putus ing jendral, dene ing
sapunika sumangga.”
Pangandikanipun
Jendral Yansennes, “Iya, nanging ing saiki durung atasku”. Sareng pulul kalih,
mangkat.
Kacariyos
Tuwan Jendral Dhandheles kintun bintang ing Pangeran Dipati Ngayogya. Bintang
Retna Mandaya, tandha raja, Sanes lan rumiyin.
Jendral
Yansennes, sampun rawuh ing Nagari Betawi. Ing antawis pepak sadaya ingkang
para rat. Serat palekat kawaos Tuwan Pakis, sikretaris jendral.
Jendral
Dhandheles mantuk ,dhateng ing Nagari Welandi, Pangeran Natakusuma lajeng
katimbalan dhateng Betawi saking aturipun Direktur Iseldhik, punapadene ingkang
putra Raden Tumenggung Natadiningrat.
Tuwan
Petor langkung merang ngraos yen badhe bilahi. Pangeran Natakusuma utawi
putranipun sampun dumugi Nagari Betawi. Sampun manggen wonten prenahipun lami,
sekretaris jendral kang asring tetuwi dhateng pangeran utawi Direktur Leldhik.
Kacariyos
Nagari Ngayogya, Pangran Dipati abebana ing minister kathah-kathah
pamintanipun. Sa’bab mireng yen kang paman Pangeran Natakusuma, wangsul dhateng
Betawi. Mugi sampun ngantos kondur Nagari Ngayogya. Sertipun minister sampun lumampah,
katur ing Gurnadur Jendral. Ananging boten kaparingan wangsulan.
Aturipun
Minister Ngayogya dening Tuwan Besar, Tuwan Pakis sekretaris jendral lajeng
dhateng pondhokipun Pangeran Natakusuma. Sampun kepanggih, sebdanipun
sekretaris jendral, “Kula kautus Tuwan Besar, atur priksa .yen Pangeran Dipati
Ngayogya dereng surut dukanipun dhateng kang paman”. Aturipun minister,
“Pangeran boten kenging den konduma, tuwin raden tumenggung”.
Wangsulanipun
Pangeran Natakusuma, “Dening Pangeran Dipati kepati-pati, rumiyin wonten
punapa?”. Wangsulanipun Tuwan Pakis, “Rumiyin wewaduling jendral. Yen Pangeran
rnamrih salahe Pangeran Dipati tepang Ratu Kancana. Tusuktusuk dhateng Sultan,
Pangeran sring panggih pyambak. Putrane Raden Tumenggung, ngendhih lenggahipun
Dipati Danureja. Pangeran mireng, legeg. Mangsuli, “Angger, Pangeran Dipati,
Salamine dereng katingal duka dhateng kula. Pitungkasipun rumiyin, kyai kang
swarga tuwin rama ken ngaken bapa. Yektos, kula boten kalilan basa. Sanget
anggenipun angraketaken. Pinaring tandha supe dening kang eyang, Rama Sinuhun
Swargi. Yen punika, estu saking Danurejan akalipun. Menggah welingipun swargi,
adating kumpeni mangka pinisepuh sadaya antero.
Yen
damel leres jejeg, boten goyang. Ruwet, alus dipun jum. Kang nakal den ungkal,
wani den temeni. Ladak dipun dak, linyok den nyonyok. Mursal siningsal. Crah
den angkah, epeh den puh. Kang goroh, ginurah. Kang jail, pinrail. Wong ala,
ingala-ala.
Kumpeni
badha, boten bodho. Wicaksuh, trusing paningal. Estu, sampun kauningan sadaya”.
Idlir Pekis, langkung suka. Antawis dangu, sampun dumugi pamit mantuk. Lan
punapa raosing galih Pangeran, kawrata ing serat sadaya. Tuwan Pekis sampun
mantuk.
Kacariyos
ing Nagari Batawi geger. Prajurit Inggris, ngambang ing sedanten. Pangeran
Natakusuma lan ingknag putra, kaelih ing Nagari Bogor. Katiga Sultan Banten,
sakawan kawitan ingkang ngateraken. Sarta animbali prajurit ingkang wonten ing
Bogor. Prajurit Bogor, enggal mangkat.
Pangeran
utawi ingkang putra tiga Sultan Banten, kareksa ing Tuwan Petor Pekis. Keranten
adhinipun Tuwan Pekis sikretaris jendral. Amangsuli cariyosipun kala Tuwan
.Iendral Sen, jumeneng anyar.
Seratipun
Dipati Danureja, kathah kacepeng wewadulipun dhateng Tuwan Moris. Mungel yen
Kangjeng Sultan, abunuh patihipun. Pangeran Natakusuma kang angrojongi.
Milanipun sanget agubel ing Tuwan Besar, salina ratu angangkat Pangran Dipati.
Tuwan Besar baru priksa, langkung dukanipun. Badhe rawuh Ngayogya amangun
pranata utawi paturan. Sarta abekta Pangeran Natakusuma utawi ingkang putra,
kasaru selak tiyang Inggris andhatengi. Lajeng prang wonten Minister Kornelis.
Jendral Yansenes kacedan, lajeng dhateng ing Bogor.
Ing
antawis dinten, lajeng tindak dhateng Nagari Semawis. Pangran Natakusuma utawi
putranipun inggih lajeng dhateng Semawis, tiga Sultan Banten. Pondhokipun,
anunggil para upesir.
Kacariyos
ratu sekaliyan, sami ngatas panuwun parentah, saos bantuning prang, tetulung
ing Tuwan Besar. Namung pamundhutipun Tuwan Besar, ngalihwelas ewu ratu
satunggalipun. Ing Surakarta, Ngayogya amung anyaosi angalih ewu prajurit, ing
penggalihipun Tuwan Jendral tanpa damel yen amung ngalih ewu.
Kacariyos
Pangeran Prangwadana abantu prang, bekta prajurit kalih belah ewu. Sampun
dumugi ing Karangsambung, parentahipun Tuwan Besar tinulak baris Srondhol.
Kacariyos
ing Nagari Ngayogya ingkang Sinuhun Kangjeiig Sultan, selaminipun ingkang rayi
Pangran Natakusuma kesah saking Nagari Yogya utawi ingkang putra Raden
Tumenggung Natadiningrat, sakalangkung ruharaning galih.
Sanget
angajeng-ajeng mugi wontena karsaning gupremen amangsulaken ingkang rayi utawi
putra mantu. Semanten kagungan karsa badhe meminta ing gupremen, mugi kang rayi
tuwin mantu kawangsubia ing Ngayogya,
Nanging
ingkang putra Kangjeng Raja ing Matawis saha Dipati Danureja, amopo yen ingkang
kinunduraken kekudhung Tuwan Besar Dhandheles Marsekal.
Semanten
Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan, sampun belah ngalih telenging sih. Pangeran
Mangkudiningrat ginadhang-gadhang, pinuji ing galih kang sarta kawewahan
lenggahipun. Ingkang raka priksa semuning rama. Ingkang rayi, Pangeran
Mangkudiningrat rinaket, nanging ingkang rayi manglesi.
Kacariyos
ing Nagari Semawis prajurit Inggris sampun rninggah. Pangran Natakusuma tuwin
ingkang putra tiga, Sultan Banten kaelih Nagari Surapringga.
Kacariyos,
Tuwan Besar Jendral Yansen sampun prang lon prajurit Inggris ing Srondhol.
Ananging, perangipun boten pikantuk. Pangran Surya Prangwadana, murut dening
prajuritipun risak kathah pejah.
Dene
bantu Surakarta, tetindhih pangran kekalih sami songsong jene. Boten purun
celak, kados tiyang ningali kemawon. Prajurit Inggris, langkung kapurunanipun.
Kados saradula, boten kandheg pinetaran.
Jendral
Jansenes nedya ngungsi Salahtiga, jembatan lepen Tuntang pinotong tiyang
Surakarta. Pangran Surya Prangwadana sampun gendring, palajengipun. Wondene
bantu saking Nagari Ngayogya sampun mangu-mangu wonten ing wingking. Angon
ulat, nggenipun badhe lumajar.
Semanten
bupati pasisir, kathah kang tiwas pejah nalika prang punika.
Jendral
Jansenes, langkung getun. Trapipun tiyang Jawi sekaliyan, dene boten netepi
jangjining kontrak. Semanten Jendral Jansen, sampun katengkep dhateng prajurit
Inggris. Sampun tundhuk, kelayan pengagengipun.
Jendral
Jansen, mintak ampun lajeng tabeyan kaliyan Admiral Inggris. Ing sampuning
omongan, lajeng numpak kareta kondur dhateng Nagari Semawis. Parentahipun
Admiral Inggris, sawarnining tetiyang Jawi sampun wonten geger, salah tampa.
Boten munasika ing pyambakipun, mila Inggris angejawi saking aw’las bumi Jawa.
Sumedya tetulung, wong Prastman agawe sangsara. Seka Jendral Dhandheles, kang
agawe rusak.
Karsane
Raja Inggris, pinulihake kaya ing kuna. Amung, netepi kang wis muni ing kontrak
lan saiki ngalih jeneng gupremen.
Kacariyos
nagari tanah wetan bawah angin, sampun kagulung ing Inggris. Kalayan
sawarnining kang den niaya ing Jendral Dhandheles, sampun sami kaluwaran.
Ingkang boten amung trah Mangkuratan, Natakusuma utawi ingkang putra.
Ing
sadinten, boten sah kaUyan Tuwan Sekeber Ulbah, pengagengipun Nagari Surapringga.
Kacariyos
prajurit Inggris, Tuwan Admiral Aproseldhik, kuliling sedaya tanah pasisir
wetan. Para bupati sampun sami sumuyud, senianten dhateng Surapringga sampun
mentas saking jabnidhi.
Tuwan
Sekeberulbah methuk kalayan Dipati Surabaya sekaliyan. Ingkang ndherek Tuwan
Admiral, kumendur satunggal, kamisaris satunggal, kalayan putra ing Madura.
Lajeng
dhateng nagari, Tuwan Sekeberulbah matur, “Yen kanggenan trah Mataram, kang
rayi Sultan Ngayogya rama kalayan putra. Ingkang nama, Pangeran Natakusuma.
Ingkang putra, nama Raden Tumenggung Natadiningrat.”
Ingkang
pangandika Tuwan Admiral, “hig besuk-besuk, muga katemu lan aku”. Semanten
Sultan Banten, sampun kaantukaken negarinipun.
Sareng
enjing, Pangeran Natakusuma kalayan Tuwan Sekeberulbah sampun mangkat.
Sareng
panggih kaliyan Tuwan Admiral, pangran den cium. Utawi ingkang putra pangeran
pinanggihan wonten salebeting kamar. Sebdanipun Admiral dhateng Pangeran
Natakusuma. Juru basa ingkang ngartosaken, “Kadospundi karsanipun, dene atilar
nagari?”
Pangran
amangsuli, “hig sapunika kula boten gadhah kajeng. Mangsa borong, kang mangreh
ingkang kawasa. Sampun tumimbal kapirig tiga, karsa Allah taksih gesang.
paturan kula, sampun nelasaken wonten kantor Betawi.
Bilih
winangun, nalaripun inggih matur nalar. Ingkang kula pratelani rumiyin,
idhripun teksih sedaya. Yen pinerdata, kula punika sinten rencang kula pabenan.
Jeksa, ainangku pabenipun. Kalayan kula, tanpa seksi. Sinten ingkang maelu
dhateng kula. Ingkang maelu dhumateng kula, ingk_ang amamrih kagungan karsa
kang murba nagari.
Ing
pundi nggen kula, nungsung adil. Jeksanipun tumut anganiaya, angangkah pejahing
tiyang.. Bineselan rerubaning sih. Kukuming landrat, ngangge dhandhang mungel
kuntul. Jeksa sarnpun ngukup arta. Mung kantun sagah mejahi, kirang sakedhik
meh dumugi ing pungkasan.
Nanging,
taksih rineksa ing Allah. Menggah saking kajeng kula, mantuka lan wilujeng
sarta adilipun jeksa kepala ing Rat Jawi.
Tuwan
Albah, amantoni saking sanget salahipun Pambram, adamel onar kalayan kadamel
kasugihan. Anggega tiyang, tusuktusuk. Anunten dipun tempeli, tinimbang
kathahing yatra kang sampun kaartggep.
Yen
kasundhul yatranipun, inggih enggal kaungkal. Saking cipta, sok sugiha. Aku
wong liya, ora kelangan dadahdulang. Jendral Dhandhles giri-girinipun andi
kianat, amung estri lan yatra.’
Yen
pun Pambram estu tiyang palsu. Jendral Dhandheles punika nglangkungi ngrejasa.
Campur raos, jiwa satunggil kalayan pun Pambram.
Ing
suprandosipun sapunika, taksih gesang. Boten nuhoni ubanggi. Ingkang adamel
srat putus pangeran saputranipun, dumugi seda inggih Pambram.
Pitulunging
Allah, wisa boten tumama. Ingkang anamakaken kogel. Mung sapisan, pangeran
ngantos sakit sanget. Admiral Pronseldhik mireng, tumetes kang waspa. Sarta
cariyos, manawi Jendral Dhandheles ketangkep.
Sampun
kabelok ing wesi geUgiran, lan donyanipun kelangkung agung. Kang rupa mas,
dhuwit, inten. Suprandosipun, boten anggadhahi amung inung kang den angge.
Tuwan
juru basa matur ing Pangeran, “Yen kirang tigang dinten, admiral layar dhateng
Negari Betawi. Atur priksa, prakawising nagari kang wetan langkung karsanipun,
jendral ing lebih besar.”
hig
sesampunipun dumugi, nunten bibaran.
Pangeran ing sawedalipun saking kamar, para prawira bang wetan sami
amanggihi utawi para sayid pambektanipun tuwan admiral.
Amangsuli
cariyosipun kala Jendral Yansen Nesmen tan jumeneng anyar, boten sotah ing
Tuwan Pambram. Lajeng kapocot lenggahipun Pulmak Jendral, sabab priksa yen
jalaranipun minggah, margi saking mepronipun.
Kawangsulaken
dados minister wonten ing Surakarta. Ananging Jendral Yansenes boten surut
gusaripun dhateng Pambram. Lajeng pinocot, lenggahipun minister
sapawingkingipun.
Samanten
Nagari Surapringga, sawarnining kang njagi sampun prajurit Enggris sadaya.
Tuwan
Sekeber Hulbah, angsung wartos ing Pangeran Natakusuma utawi dhateng Adipati
Surapringga, yen direktur Iseldhig langkung kanggep dhateng Enggrisman. Kabar
badhe mariki, ingkang sinung pawartos sakalangkung suka.
Kacariyos
Nagari Ngayogya, Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultansaking sanget kabyatan ing
lingsem, kang sarira sanget susut.
Ingkang
ibu Pangeran Natakusuma asring gerah. Dening pyayi sepuh, anglangkungi susah
ing galih. Ingkang putra Raden Tumenggung Natadiningrat winong ingkang eyang
Sinuhun Kangjeng Sultan.
Ing
sanalika boten kenging sah. Ingkang parentah benjing ingkang wayah anggentosi
ingkang rama Raden Tumenggung Natadiningrat lenggah ing Natakusuman. Sampun
pinrail, dinum para putra santana.
Padaleman
ingkang ngebroki, saking aturipun Raden Dipati, Kangjeng Raja. Miturut Pangeran
Natakusuma, kang abdi wus buyar pindundhut Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan.
Tuwan Besar boten suka. Keranten, Pangeran Natakusuma kawestanan dados kelilip.
Saking
akalipun Dipati Danureja, semanten Pangeran Mangkukusuma, Raden Mas Salya
kapipit dipun ken dalem ing Danurejan.
Semanten
karsa dalem Ingkang Sinuhun, putra dalem Kangjeng Ratu Anem anama Kangjeng Ratu
Ayu, tansah tinantun krama dhumateng ingkang rama.
Ananging
sanget lumuh krama, liya saking kang raka Raden Tumenggung Natadiningrat tansah
dipun antosi.
Putra
dalem, Raden Ajeng’ Sepuh, anama Ratu Anem, samekta sampun Pangabehan.
Ingkang
kapundhut mantu, kaparingan nama Raden Tumenggung Purbakusuma, pinutra danu,
rinengga Rajamenggala. Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan nalika penganten Raden
Patih, wewah kasendhu. Kawestanan kirang urmat. Wondene ingkang nggentosi,
wadana mancanagara Pangeran Dipakusuma, Ing semanten Nagari Ngayogya, tansah
wuyung-wuyungan solahing bupati, mantri, putra santana, ing sarehning taksih
gelura menggah dununging sumiwi.
Kangjeng
Raja kalayan ingkang rama dredahsabab pang-wasa. satemah sakahhipun sami “susaK
ing gaHh. Raden Dipati .ntos kuru saking kuwuwur manahipun.
Amangsuli
cariyosipun malih, kala Jendral Dhandheles dhateng Nagari Ngayogya anglungsur
Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan, anjunjung ingkang putra, Kangjeng Sultan
langkung duka. Tan taha, musthi talempak. Para putri anggondhlei. Ingkang
putra, Kangjeng Raja, amangsengi sarta mulet suku. Mugi Kangjeng Rama engeta.
Punapa boten welas ing kula.
Ing
satemah lilih dukanipun. Raden Sumadiningrat aturipun kedah pinethuk prang,
nalika Raden Patih sambuni, boten katingal.
Jendral
salaminipun wonten Ngayogya dereng kepanggih lan Ingkang Sinuhun. Amung asring
pista dhateng kadipaten. Kangjeng Sultan asring nyelamur nginte. Sajakipun
ingkang putra Kangjeng Raja inggih asring pista dhateng loji.
Kacariyos
Raden Rangga, sapejahipun ginantung lan tabelanipun. Utawi Tumenggung
Sumanagara kang garwa Kangjeng Raja, jinunjung nama ratu, katiga pisan. Ingkang
Sinuhun, amung prajurit ingkang taksih, kekah kaasta pangwasanipun. Ingkang
sarta, anglangkungi prayitna ingkang mengangkah kadho manahipun.
Kacariyos
ing Nagari Betawi, ingkang jumeneng Litnan Guprenur Jendral ingkang nguwasani
sadaya wadyabala Inggris, nama Tomas Setamprot Raplesen, kalih Tuwan Jakup
Wilem Kransen ingkang minangka sikretaris rat.
Sarripun
sami pangwasanipun, lan kang angsung pangwasa Kangjeng Raja Inggris. Sampun
sami mupakat kang parentah atas bawah angin, sawarnine ingkang kabawah Negari
Ingglan, yen Jendral Tumas Setamprot Raplesen mangka pangidhepipun. Kocapa ing
Nagari Surapringga, admiral sampun layar dhateng Nagari Betawi. Semanten Tuwan
Sekeber Ulba, sampun kendel.
Ginentosan
Inggris, nama Kurnel Gibes ingkang nguwasani Nagari Surabaya.
Kacariyos
Tuwan Gupernur Semawis, amriksani sadaya tanah pasisir sampun kawradinan
sadaya. Wonten Surapringga kalih dalu. Nunten mantuk ing Semawis. Saha sampun
dhateng karaton kekalih Ngayogya Surakarta.
Wondene
ingkang nggentosi minister njagi negari ing Surakarta sapocotipun Pambram,
Kurnel Adam sarta residhen, mantu minister, Dene residhen ing Ngayogya anama
Tuwan Krapper, Minister Ingglar sampun dhongkol wonten Semawis.
Kacariyos,
ing Nagari Ngayogya Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan sampun puhh menggah
kawibawaning ratu, saking Gupremen Inggris pengangkatipun. Adipati Danureja,
manggih cela, kabendon ing Tuwan Gupernur ing Semawis. Kaliban nggenipun datan
yukti, atur-atur dhateng Semawis warni mas inten, punika jalaranipun.
Ing
seprandene boten sah mamrih silib. Boten sencaya dhateng ing ratunipun.
Kacariyos, Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan saya sanget crah lan pepatihipun
Adipati Danureja. Ing satemah limut supe ingkang mungel srat prajangjining
kontrak. Adipati Danureja kabunuh wonten salebeting kadhaton. Boten mawi
amratela ing Gupremen. Wondene prakawisipun kapejahan, sampun kacariyosaken ing
ngajeng wau sadaya. Raden Patih boten jenak ing nagari. Asring medal sajawining
nagari, saking ciptanipun alabuh ing raden patih.
Kacariyos
Tuwan Guprenur ing Semawis mireng Kangjeng Sultan amejahi pepatihipun. Boten
anetepi prejangji kontrak yen jiwaning patih kekalih dados satunggal. Sampun
supata ing Gupremen, patih dede abdine Sultan pyambak. Yen mawia pracaya, lapur
ing Gupremen. Amesthi sakarsanipun tinurutan.
Semanten
Nagari Ngayogya, siniwer ing weri supados anelangsa. Guprenur ing Semawis
sampun anglampahaken prajurit gangsal atus sami pepilihan. Kangjeng Sultan
tinantang ing semu, yen Sultan ngajak main sinapan, sesiratan, bum, murtir,
Inggris bangun turut.
Tuwin
amiturut manah suci, saatase kang eklas, aja manah siingsun. Gupremen Inggris
padha ujar sapisan, amung toh potong. Yen Kangjeng Sultan mintak ampun, amesthi
ingapura.
Semanten
ratu sekaliyan sami reresahan rebat bawah. Corok cinorok padhusunan,
sekalangkung dening truwu.
Kacariyos,
ing Nagari Surabaya pageblug. Kathah tiyang pejah utawi sakit. Guprenur ing
Semawis dhateng Nagari Surapringga. Kasusulan serat saking Betawi, tumameng ing
guprenur. Aparing priksa, yen jendral badhe tumedhak ing Nagari Surapringga
apepriksa ‘nagari ing bang wetan, lan pangeran ing Ngayogya kang dinunung
Surabaya, utawi putrane.
Rad
Indhia, gilig estu yen suci. Kena apus, sinikara den pengaruhi. Ing mengko
Nagara Ngayogya mangkat ndhedher angkuh. Sayogyane Pangeran Natakusuma dadi
panduk-pandam sesuluh Gupremen. Akale kang raka Sultan, Pangeran Natakusuma
pinanggil ing Semarang.
Jendral
arsa patemon ing Nagari Semarang. Tuwan guprenur enggal angutus Kapitan Dhewi
methuk saha kareta. Pangeran Natakusuma sampun rawuh ing loji.
Sesampuning
tetabeyan, sebdaning guprenur, “Kula tampi srat saking Betawi Tomas Raplesen
Guprenur Jendral. Trang ing karsa ingkang parentah, Tuwan Pangeran ngandikan
kondur dhateng Nagari Semawis, panggihan kang eyang”.
Pangeran
Natakusuma amangsuli, “higgih, tuwan. Yen kula ngandikan dhateng Semawis
sakarsa lir nugraha. Kadqs pundi karsaning jendral ingkang trang, punapa lajeng
kawangslaken Ngayogya? Utawi kakangmas Sultan ingkang mundhut. Yen amung tulung
mantuk, punapa dene sulaya kalayan kangmas, kula nuhun duka, leheng pintih
pejah kang tebih Nagari Ngayogya. Cupet pocapanipun ingkang kantun-kantun”.
Tuwan
guprenur mireng sumirat luh medal, kemokalan pangeran. Pangandikaning jendral,
“Tetulung yektos, kondur lan urmatipun sarta amrih ecaning galih. Ing benjing,
sampun ngantos wonten nagari taksih walang galih, enggal pratelaa.
Kula
kang njagi Semawis. Mangke sonten pukul sanga, tuwan Pangeran nunten mangkat”.
Kumetir Kaplinhanten ka’wangenan kaUh dalu dumugi Nagari Semawis.
Pangeran
Natakusuma langkung suka sakarsaning galih, luwaran saking loji. Sareng sonten
pukul sanga, Pangeran Natakusuma utawi putra sampun mangkat. Antawis kalih
dinten,
Tuwan
Gope, Guprenur ing Semawis, sampun mangkat mantuk dhateng Semawis, pinethuk
sekretaris. Sipeng loji Bojong sedalu. Enjing manggen wonten griyanipun Dipati
Semawis.
Tuwan
Besar sampun rawuh ing Nagari Semawis. Sareng enjing, kasmayor kautus saha reta
animbali pangeran tuwin kang putra. Sampun teka ing loji, Tuwan Besar teksih
wonten salebeting kantor panggiban Tuwan Guprenur.
Jendral
sampun angrenggani kantor, kang njagi mandhi rotan mas, amerapit ing pintu.
Tuwan Pambram tinuju nelas pandangunipun yen wonten buk. kaselempit kapundhut
sadaya. Nalika rawuhipun Pangeran Natakusuma, Pambram ken medal ngadeg
njawining penjagen. Ing antawis, boten. dangu jendral miyos tansah juru basa
Krisman.
Ing
sesampuning tetabeyan lenggah, jendral nabda cara Inggris. Juru basa
ngartosaken. Tuwan Besar ingkang timbalan salampahipun Pangeran utawi kang
putra. Purwa wusananipun Tuwan Besar sampun trang sadaya. Langkung seneng suka
pracaya dhateng pangeran tuwin dhateng kang putra. Jendral ngadeg sarta angawe.
Pangran rinangkul kinanthi ing kamar, kori kinunci, Sesampuning bicara, Raden
Tumenggung Natadiningrat katimbalar. malebet kamar, tuwan Gope kang ngirid.
Tuwan
Besar ngambil surat saking Ngayogya. Ken inaos Raden Tumenggung, wondene
tembunging nawala. “Ingkang surat Kangjeng Sultan Amengkubuwana saha Ingkang
Putra Kangjeng Raja kang sudibya.
Awiyos
kula suka priksa dhumateng Eyang Jendral yen patih kula pun Adipati Danureja,
kula pocot margi kathah kekiranganipun. Kang nggentosi, budhakipun Tumenggung
Sindunagara. Namanipun inggih naluri Dipati Danureja”.
Dereng
tamat pamaosing srat rinebut binucal. Pangandikaning jendral dhateng Pangeran
Natakusuma, “Kadipundi, raka ndika Sultan Ngayogya. Degsura, Jendral Inggris
den gorohi. Kangjeneng Patih Danureja, ujare dilorod. Yektina dibunuh. Sedya
ngungkuh Gupremen. Anake dhewe diangsa, jinabel panguwasane. Ratu ora nganggo
pratela, yen mekoten sajenenge tinggal adat prejangjean Nungswa Jawa kabeh,
atase Guprenur Jendral Pangeran kadipundi?”
Inggih,
tuwan, kula ajrih anglahirna tedah tiyang tanpa nraos. Sanadyan temah layon,
kula .pilalu yen dados karsanipun Tuwan Besar.” Kasaru Patih Surakarta dhateng,
tunjuk muka bicara, kendel. Pangeran sampun pamit. Patih ing Ngayogya boten
dhateng. Ing antawis dinten, Sultan ing Ngayogya den begandring malih.
Jendral
alon sabdanipun, “Pangeran, kula bakak ati. Raka dika Sultan, lamun kenging
amung kula lusa. Saking sanget welas kula rusake Tanah Jawa. Lan kathah damel
ageng kantos ing Betawi. Sdheng titaning antara raka ndika Sultan engetane, yen
saya muthingkrang boten wurung kula gepuk mangsa trang, udan inesthi kula
baleni. Yen ing sapunika, pangeran kula cudaka matura rakane Sultan, yen arsa
sanak wong Inggris sarta lulusing karaton. Kula amung nedha kalih prakawis.
Dhingin:
Panguwasa ratu, kang tumurun ing putra mugi kawangsukia rekane Dhandheles
rumiyin.
Kaping
katih: Pejahe Patih Danureja mugi mintak ampun. Yen teksih karsa pyambak,
menggah ratu inggih yen sampun tepang kula, wenang amemundhut. Rinembag kang
prayogi langkung begiane Sultan. Nganggo ngewuhake kang putra niku, salah.
Yen
empun puwas marang putra, kathah putrane Sultan ing benjang sami karembag yen
sampun bedhami. Dene yen Sultan nurut, kula nuk nusul. Kula anteni lampah
pangeran. Benjang, karuhane tumurude lan aduwa. Empun mbekta rewang, amung lan
kumetir siji. Putrane pangeran, kula angreksa.”
Pangran
Natakusuma anyagahi, “Sandika, rehing Gurnadur boten moneng ing sesana. Amung
anyipta wekasing pitedah kautus”. Jendral langkung suka, “Muga kang pinter,
ngarih-arih rakane Sultan. Dene yen miturut, Prakara bumi kang padha ingambil
Jendral Dhandheles sesanggemaning putra, bokmenawa bisa batt”.
Pangran
Natakusuma lajeng sinung warastra, enjing enggal mangkat. Sareng bibar sadaya
ingkang sami bicara. Sareng enjing, nuju dinten Akad, Kapten Hanten ampun tampi
srat urmat ing kumisi. Pangran Natakusuma, sampun mangkat saking Nagari
Semawis. Kendel wonten ing Kalathen anyipeng sedalu. Enjing mangkat, Pangeran’
sampun anglampahaken srat dhateng Risidhen Kraper, langkung suka manahipun.
Kumendham
tinuduh methuk, saha reta ngirid dragunder. Wonten ing Jenu, kumendham sampun
kapanggih kalayan Pangeran.
Lajeng
sami anumpak kareta. Rawuh Negari Ngayogya dinten Isnen. Nalika urmat, mariyem
mungel. Usrek para ageng-ageng, sami salah grahita. Pangeran Natakusuma sampun
kapanggih Tuwan Kraper, aturipun dhateng Pangeran, “Sarawuh tuwan ing Ngayogya,
Pangeran, kumisi jendral lir sakit angsal jampi. Tuwin lampah peteng dalu,
sinung damar lilin trangipun manah kula”.
Pangran
Natakusuma amangsuii,” Trima kasih. Wondene lampah kula punika tuwan, kula
kautus Tuwan Besar dhumateng kakangmas Sultan, Amung bab ingkang kalih prakawis
boten winehng malih. Utawi serat inggih boten mawi”. Tuwan Kraper
wangsulanipun, “Alah, srat daluwang, dening srat pangeran Inggris. Kang raka
Sultan tetela yen akal tikus. Mau lawan macan”.
Tuwan
Kraper lajeng mendhet buk tetunggakan prakawis nagari, tinedahaken Pangeran.
Sesampuning tiningalan, Pangeran Natakusuma ngandika, “Inggih, tuwan. Ing
nalika punika, dede garapan kula. Dhateng kula, amung nglampahi panuduh. Yen
sampun, nunten wangsul dhateng Nagari Semarang”.
Tuwan
Kraper wangsulanipun, “Tuwan Besar sampun dhedhawuh kula, boten susah Pangeran
kondur Nagari Semawis. Tuwan Besar dhateng Surakarta, benjing kepanggih ing
ngriki. Sampun sumelang ing putra, winong Dipati Semawis.”
Pangeran
Natakusuma mangsuh, “Trima kasih”. Kesaru para bupati malebet ing loji, sami
mbujung dhateng Pangeran. Tuwan Kraper nabda dhateng patih,” Punika Pangran
kumisi Tuwan Besar, nojari kang raka Sultan”.
Pangeran
lumebet kamar, Raden Patih katimbalan. “Kula niki kakang Danureja, ndika matur
kangmas Sinuhun, ingutus jendral amirapet ing rengu. Sampun kaduk tampa, estu
amrih prayogi. Yen kadhahar, samangke tumeka besuk kangmas ratu kula. Utawi
boten ginalih, kula ndika siya-siya. Tinulungan Jendral Inggris, saprentahe
kula mesthi nglakoni.
Den
kongsi nuku umur, tekad pakoning Allah. Kula weruh, Ngayogya tulungan
Gupremen”. Kyai Danureja gumeter. Bilih pareng, yogi Pangeran Dipakusuma
katimbalan. Pangandikanipun Pangeran,” Ewuh, liyaning patih begandring bicara
iku. Wekasan, yen kangmas boten ndhahar, wekas bilahi”.
Raden
Patih pamit matur Kangjeng Sultan. Dipati Danureja sampun sowan matur sadaya.
Ingkang Sinuhun kapintaning galih. Putra sentana kinerik.
Katuripun
Kangjeng Raja, awon sae prayoginipun nunten katimbalan. Kangjeng Sultan rupak
ing galih. Pinupus yen dados prang anak lan sanak, leheng anak kang gumanti.
Enggal utusan raden patih. Pangeran Dipakusuma tembung animbali Pangeran
Natakusuma. Tuwan Kraper, anyentak boten suka. Lan malih, yen malebet kadhaton
punapa lenggah kursi punapa lenggah ngandhap”. Pangeran Natakusuma
pangandikanipun,”
“Prakara
pUniku sepele. Kula taksih amrih prayogine”. Sareng enjing Kangjeng Sultan
sampun sedhiya badhe manggihi tamunipun. Partisara, sinamun pepak bupati,
mantri, prajurit kebet prayitna miranti.
Pinarak
ing srimenganti, putra sentana ken sembuni. Pangran Natakusuma sampun mangkat
saking loji. Dragunder teji ngajeng. Prajurit Cipai mangapit. Boten sah kalayan
Tuwan Kraper Sareng dumugi ngajengan lajeng ngabekti. Tuwan Kraper tabean lan
Ingkang Sinuhun. Sasampuning pembage arja, Pangeran meh tumetes kang waspa
ningali kang raka sanget manglih kungsut, risaking sarira.
Antawis
dangu sami pengangkahipun. Nunten ingkang rayi matur, “Kula ingutus betul ing
Tuwan Besar. Saha ingkang tabe kathah-kathah dhumateng kakangmas Sinuhun.
Ingkang katih, dening malih sarehning sapunika puter-puter pranata.
Jendral
Dhandeles witipun, enyerekken pangwasa dhateng angger Pangran Dipati. Ginentos
Jendral Yansen, boten ewah.
Sareng
salin kepala ing Rat Bumi, Tuwan Enggris atas kang kawasa.
Sinuhun
anjabel karatoning putra, boten suda. Boten pratela Jendral Enggris, rengat
pawong sanak. Yen sinuhun anut, mugi kawangsulna dhateng putra.
Yen
jendral sampun bedhami kalayan kangmas, wenang anglahirna sakarsa. Rinembag
kepala Gupremen, amrih pikantuk. Kalih, prakawisipun pejahing Patih Dipati
Danureja.
Patih,
badan palihan gupremen ratu. Sami kagungan abdi, Sinuhun rumaosa yen sisir.
Mintaka ampun ing Tuwan Besar.” Legeg boten saged ngandika, satu pandurat
gunjing mustaka. Andres sumirat kang luh. Antawis lajeng ngandika,” Kepriye,
adhimas, Bapa lan anak upama banyu pinerang.
Paman,
wis ora apa-apa. anakmu wis narima. Kari nutugake supeketku. Ora pisan nedya
pisah lan Gupremen. Bingen, mengko, nedya belengket.”
Nunten
Pangran Dipati matur, “Kangjeng rama, sampun nggega paman. Wirangipun
anglangkungi yen pangwasa kawangsulna.”
Kangjeng
Sultan ngandika dhateng kang rayi, “Adhimas, luwih panyukupmu mungguh
kalingsemaningsun dadi ratu, apa maning anakmu Ki Dipati. Lan galihingsun
banget peteng menyang sira. Ingsun njaluk muiih. Ping pindho, layangingsun tan
oleh wangsulan. Banget kangenku, tuwin si Beng anakmu banget ngarep-arep tekane
kang lanang. Ing satemah kinongkon anglungsur maning, ingsun ora bisa
nglakoni”.
Kang
rayi aturipun, “Kados kenging sinamun, suprih sampun katupiksa ing alit. Amung
nama wangsul yen cundhuk kalayan Tuwan Besar”. Sinuhun ewed punapa kalayan
jendral mirapet salir prakawis”.
Kangjeng
Sultan gedheg. Pangeran dipati anyambeti, “Mugi, Kangjeng Rama kendela kemawon.
Sanget atur kula, sampun nggega paman”.
Pangeran
Natakusuma langkung nepsu. Ngandika sareng dhateng Raden Sumadiningrat, “Kula
punika punapa den cara sentana jajar, wedi antakanira, boya ngalap opah. Matur
wekasing rahayu. Boten dhinahar, sampun.”
Tuwan
Kraper ngadeg, pangera.n jinawil. “Sampun boten kadadosan. Suwawi kondur
dhateng loji”. Sampun pamit, lajeng medal. Sareng dumugi ing loji, enggal damel
srat dhateng Semawis. Kapitan Hanten kang mantuk, atur priksa yen Kangjeng
Sultan nduwa.
Semanten
Kangjeng Sultan, ka!empakan para k.adang, putra santana, bupati. Estu dadi
pakewuh kang ana sajroning loji. Pangeran Dipati langkung condhong kang rama
sereng lawan kang paman. Parentah baris tugur sangubengi kang baluwerti.
Semanten
kang ibu Pangeran Natakusuma, tuwin kang garwa putranipun ingkang teksih timur,
sami dhateng loji utawi para abdinipun.
Kacariyos
lngkang Sinuhun Kangjeng Sultan, kang galih saya kuwatir. Dene kang rayi
panggah, boten kenging ingengkok liring. Tuwan Kraper angrojongi. Marengi
Grebeg, kang rayi ngandika boten purun. Saya boten sakeca kang galih. Sedhih
wor miris. Lajeng adamel srat, amung lan Pangran Dipati, Patih Danureja, Pangran
Dipakusuma, gangsal carik. Serat wangsulan dhateng Tuwan Besar. Makaten
tembunging srat,”
“Tuwan
Besar. Sarehning adhimas ingkang pinutus sampun dhateng ing kaluputan kula,
kang galih prakawis ingkang punika, kula miturut sadaya.
Ingkang
rumiyin, panguwasa kula wangsulaken dhateng putra kula Ki Dipati. Ananging
kedhik wira-wiri wirang rupiksa ing bala. Yen sampun pepanggihan, tamtu kula
tedha malih.
Kalih,
sisip kula mejahi Danureja. Sampun ngaken kalepatan kula. Kula minta ampun ing
Gupremen. Ananging ingkang punika, kula sengit wirang. Sisip menggah dhateng
adhimas Natakusuma. Kula suwun mantuka dhateng kula netepi lenggah lami.
Rumiyin,
mangke, benjang, kula asih dhateng adhimas. Nanging yen adhimas teksih wonten
ing loji yen tuwan rawuh Ngayogya, kula boten saged angampah.
Ingkang
manah sangga runggi. Utawi para kadangipun sadaya gurup rembag kalayan kula.
Sumangga ing penggalih”.
Tiningkem,
cap Sultan Amengkubuwarta. Danureja, Dipakusuma, iriban lumebet ing loji.
Wanti-wanti winekas, kang rayi sampun ngantos priksa. Kalayan Tuwan Kraper
sampun kepanggih, nampeni srat. Prawara kalih sampun wangsul.
Srat
lajeng kabuka. Karengrengipun wonten ngarsaning pangeran. Sesampunipun
tinupiksa, Tuwan Kraper manabda,” Kadospundi kang karsa, Pangeran, raosing srat
punika?”
Pangeran
Natakusuma pangandikanipun, “Kula wirang, anglahirna. Sakajeng tedah, bot.en
priksa ing awak. Rumiyin mila Kangjeng Sultan sadulure mung kula kang
sineganan. Mila sampun kudangan swargi kangmas. Watekipun kados pandam
kanginan. Dene kula sumangga Tuwan Besar kang mangreh Nungswa Jawi. Kula darmi
anglampahi lan boten gadhah rembag. Tanpa kanthakanthi, kathung amung lan anak
loro. Kang siji, kari Semarang. Boten langkung, ingkang kula ajeng-ajeng
pitulunganipun Tuwan Besar kang boten mawi kuwatir kalayan ecaning manah.
Menggah
wawrat timbang Tuwan Guprenur, yen sejaning gesang nracak,pinten tebihipun
lambe ngandhap nginggil” Tuwan Kraper langkung suka.” Yen mekaten, kula nusul
Tuwan Besar mbekta srate Sultan”. “Mangsa borong kang anuduh. Jendral sampun
rawuh, Nagari Surakarta mesthi lajeng mariki”. Kumendham pinanggih, pininta
ngreksa ing Pangeran. Tuwan Kraper, sampun mangkat kintun tabe Pangeran katur
ing Tuwan Besar.
Kacariyos,
ing Nagari Surakarta Tuwan Jendral bicara langkung pakewed. Patih Candranagara
manggih cacad ing Gupremen. Pinten banggi ngukup.
Tuwan
Kraper sampun dumugi Nagari Surakarta. Serat saking Kangjeng Sultan sampun
katur ing Tuwan Besar. Lajeng bicara.Ing sasampunipun bicara, Tuwan Kraper ken
mantuk rumiyin. Jendral adamel wangsulan dhateng Kangjeng Sultan Ngayogya.
Ingkang kautus. Idlir Menting. Manah alus, tur ririh guna.
Tuwan
Kraper, sampun dumugi ing Ngayogya. Pangran Natakusuma anungsung wartos.
Wangsulanipun Tuwan Kraper,”
Idlir
Menting meh dhateng. Welandi prameng guna tur ngrampungi saklir prakawis.”
Semanten
Tuwan Idlir Menting sampun dhateng kalayan kapitan kekalih. Ing sesampunning
bujana, Tuwan Kraper suka priksa Kyai Danureja. Wonten utusan nama Idlir
Menting.
Wanci
pukul sanga malebet kedhaton panggih Sultan. Semanten Pangeran Natakusuma
ingaturan Tuwan Idlir malebet kamar. Sasampuning tabe, sebdanipun Tuwan Idlir,
“Kula punika, kautus pinanggih kang raka Sultan. Ing mangke Sultan sampun
miturut ing Gupremen. Salir prakawisipun kalepatan sampun miturut. Minta ampun
sedaya, ing sapunika kang raka Sultan kang karsa Tuwan Besar sampun manggih
prayogi.
Dene
ing mangke, Pangeran asowana kang raka Sultan. Sarta den genging urmat.
Pinundhutken tambah bumi ing raka Sultan, mangka tingal Gupremen. Yen Pangeran
boten lega, anglahirna raosing galih. Tuwan Besar anuruti sasenengipun Pangeran
Natakusuma”.
Wangsulanipun,
“Kula, kados ringgit, Tuwan Besar dhalangipun Panggung. Punapa ingkang karsa
tamtu kula anglampahi. Nanging ing wingking, yen wonten watiring manah amesthi
kula pratelan. Sapunika malih saea, kathah tiyang sumengit.”
Idhr
Menting mireng, hentyarsaning manah, “Yen sampun dhangan, kula tumut Pangeran
malebet kadhaton panggih kang raka Sultan. Yen boten mangga, boten pineksa”.
Pangeran
Natakusuma wangsulanipun, “Yen ing karsa Tuwan Besar punika, kula inggih
sowan”. Idlir Menting langkung suka, “Punika tekad utama, enget ing sadherek
sepuh”.
Sareng
dumugi pukul sanga, bupati dhateng. Tuwan Idlir, sampun mangkat. Wonten
sitinggil, pinethuk damar lilin. Pinanggihan wonten ing srimenganti. Kangjeng
Sultan sampun tampi srat. Ungelipun cara Inggris, lajeng ingkang maos Tuwan
Idlir piyambak. Sarta kamuradan roasing srat. Wondene ungelipun ing nuwala,
“Ing sarehning Kangjeng Sultan ing mangke sampun miturut ing Gupremen, saliring
kalepatan sampun mintak ampun, graning cudaka, kang rayi Pangran Natakusuma
harja boten jalidra ing raka Sultan. Tuwin dhateng Gupremen, kang rayi Pangeran
dumugi kang putra den kaniaya. Lampahipun tinulung ing Gurnadur, saha kapercaya
ing Gupremen. Dados semelanging raka, dipun tedha wangsul mantuka kedhaton
Ngayogya.
Ananging
Pangeran Natakusuma tuwin kang putra sadhanganing manah, yen kraos sowan ing
Sultan, sokur sewu, Gupremen titip sampun ngantos kasusahan. Benjing lusah,
Tuwan Besar dhateng karsa amangun sumpah prejangjeyan ageng.”
Kang
surat sampun tamat. Idlir Menting, anantun Pangeran Natakusuma,” Kadospundi,
Pangeran. Kula ajeng mantuk dhateng loji, punapa kantun sowan kang raka, punapa
kondur dhateng loji. Kula, nuruti”
Kangjeng
Sultan gugup ngandika, “Adhimas, arep takjaluk lumebu kadhaton. Anake banget
“kangenku, tuwin putune loro pisan wis padha gedhe. Lan karodene maneh, pada
eling welinge swarga”.
Tuwan
Idlir sampun tabeyan pamit mantuk. Kangjeng Sultan lajeng ngedhaton. Kang rayi
boten kenging pisah. Tuwin Pangran Dipati, para garwa sami methuk. Ratu Kancana
anglangkungi dhateng besanipun.
Ratu
Ayu, pitaken ingkang raka. Kawangsulan teksih wonten Semawis. Sareng sampun
dumugi, lajeng bibaran. Pangeran Natakusuma boten kondur ing dalemipun, wonten
Natadiningratan.
Saking
karsanipun ingkang raka Sultan, sareng enjing Kangjeng Sultan utusan maringaken
sadaya sakagunganipun ingkang rayi kang wonten ing kadh’aton. Barang kang
katriwal, kang Sinuhun singlar tan nguningani. Miwah dhuwung pusaka, kang
kapendhet raden patih rumiyin.
Kangjeng
Sultan kipa-kipat. Trekaning galih, amung sang anak anung ngaku nora weruh.
Tuhu mencuri loro, Adikusuma Mangkubumi. Nanging Kangjeng Sultan boten karsa
nalar.
Sampun
dumugi ing ubanggi, enjing Kangjeng Sultan ewah adatipun kados ingkang sampun
kalampahan. Semanten Pangeran Natakusuma boten tumut methuk.
Saking
rehipun kang raka, sandi ngayemna kang sarira. Tuwan Besar sampun rawuh ing
loji. Utawi Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan ubanggi benjing tindak dhateng loji
amangun prejangji.
Kangjeng
Sultan sampun kondur angadhaton. Sonten utusan dhateng kang rayi Pangeran
Natakusuma, Paring priksa yen benjing-enjing mangun prejangji pepageran.
Pangeran boten kalilan tumut, kados kala methuk damelipun kangjeng Sultan
pyambak. Jangji Ratu lan Gupremen. Kangjeng Pangeran sampun sumlanging galih.
Kang tampi dhawuh matur sandika. Utusan, sampun wangsul.
Wondene
pamrihipun Kangjeng Sultan mila kang rayi sinilep yen manggih urmating jendral.
Dening resep dhateng kang rayi Pangeran Natakusuma.
Enjing,
Kangjeng Sultan sampun rawuh ing loji. Anunten damel srat kontrak. Urmatipun
Kangjeng Sultan kantun kaping pitulas. Urmat kaping pitulas, urmat kaping
pitulikur lepas.
Lajeng
aprejangji, sumpah urmat maryem wanti-wanti. Sareng ngajengaken dhahar, Tuwan
Besar pitaken,” Dening kang rayi, Pangeran Natakusuma boten katingalan”.
Kangjeng Sultan, gupuh anuduh mantri kaparak aken dhawuh ingkang rayi. Soten
Tuwan Besar malebet kadhaton badhe kapanggih kalayan Pangeran Natakusuma
sakedhap.
Wondene
wangsulanipun Kangjeng Sultan dhateng Tuwan Besar, “Adhimas mila boten
katingalan anentremaken sariranipun.” Ing sasampuning dhaharan, bibaran. Sonten
Tuwan Besar dhateng kedhaton. Kangjeng Sultan mangun suka kelangkung rumengga
dhateng tamunipun.
Sareng
dhadhaharan medal, Tuwan Besar anakekaken Pangeran Natakusuma. Kangjeng Sultan
gugup, animbali kang rayi. Sareng sampun sowan, Tuwan Besar sanget murina.
Angsung rembag ing Kangjeng Sultan, “Prayogi kang rayi, lenggaha nginggil
wonten ing kursi ngajeng. Jajara paraupesir sedaya, kalayan lenggah bumi
kedhik-kedhikipun sami lan patih. Kalih ewu, boten tuna”.
Kangjeng
Sultan wangsulanipun, “Inggih netepi adat kemawon. Saru yen linggiha nginggil.
Kalayan kangmas Behi punika, sanes adhimas, prenah nem. Tuwan Besar. ngawe
Pangran Natakusuma. Kaparingan priksa yen rakandika Sultan lan Gupremen empun
sobat lan Ngayogya jadi satu. supeket tak bolih pisah, Gupremen trima kasih,
kula mulih Semarang. Layange Pangeran nimbali putrane pengandel, kula kang
nggawa”.
Kangjeng
Sultan ngandika dhateng kang rayi, “Layange adhimas, kang nggawa Tuwan Besar.
Rasane kagedhen laku. BecikeDanureja kirim tulis menyang Natadiningrat”.
Pangeran
Dipati anyandhak, “Mangke wingking karembag.paman. Sae anunten mundur, nunggil
putra sentana”. Pangeran mundur enggal saking ngarsanipun kang raka Kangjeng
Sultan. Tuwan Besar sinegah bujana datan karsa dhahar. Mung ngambil buah jeruk,
pinanringaken Pangeran Natakusuma. Juru basa Krisman kautus andhawahaken
pangandikanipun Tuwan Besar. “Pangeran sampun susah. Kang gaUh, kang eca. Tuwan
Besar boten mangertos karsanipun kang raka Sultan. Dene boten pesaja dhateng
kang rayi. Amung Tuwan Besar tuhu asih dhateng Pangeran. Ing saben satengah masa,
kaparingan tigang ewu. Nanging kesrawung kathah prekawis, benjing mangsa trang
jawah wonten pranatan malih. Pangran kang sabar, sokur narima sabarang karsa
kang pinundhut Tuwan Kraper, sampun kadhawuhaken putra santana. Tumeling,
nanging boten wonten mireng.
Tuwan
Besar sampun pamit, anunten bodhol. Wanci bangun, tuwan jendral mangkat kondur
dhateng Semawis. Seratipun Dipati Danureja, sampun mangkat, kang nimbali Raden
Tumenggung Natadiningrat.
Ing
nalika semanten, Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan karaos-raos sihipun dhateng
kang rayi Pangeran Natakusuma. Pangandikanipun, “Amung sira, sadulurku kang
lanang. Rewangku, lara kasmala. Sakehe kaluputaningsun aja dadi atimu. Narimaa,
wus karsaning Allah.”
Enjing
sonten, bujana mintir saking kadhaton kaparingaken kang rayi.
Kacriyos
Tuwan Besar amung sipeng sedalu wonten Semawis. Lajeng layar dhateng ing
Betawi. Utusan Ngayogya, sarta seratipun Dipati Danureja sampun dumugi tinampen
Dipati ing Semawis. Katur Tuwan Guprenur, langkung duka. Dene kang surat aut kang
kertas lan boten wonten tandhanipun Pangeran Natakusuma.
Boten
tumrap srating patih tuwin Kangjeng Sultan utawi residen Ngayogya. Kang utusan
katulak. Semanten Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan tinotol ing Tuwan Residhen
Kraper dening lepating utusan ingkang nimbali Raden Tumenggung Natadiningrat.
Kangjeng
Sultan langkung gugup, enggal damel srat sarta prajurit lebet k.en mapak.
Utusan sampun mangkat, wangsul dhateng Semawis.
Tuwan
Guprenur sampun tampi sratipun Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan, sarta residhen
amertandhani sumekta lawankang methuk. Raden Tumenggung Natadiningrat, sampun
pamit ing Tuwan Guprenur saha Dipati Semawis.
Dumugi
ing Ngayogya, kepanggih tuwan residhen. Lajeng sowan ing kedhaton. Ingkang
Sinuhun langkung oneng dhateng ing mantu. Sesampuning dumugi kaonengan
ndikakaken kondur dalemipun kalayan garwa.
Kacariyos
Raden Tumenggung Danukusuma sapejahipun kang putra, Raden Patih Danureja lajeng
kapocot. Ananging duka dalem boten surut, saya amrati. Raden Danukusuma
kapejahan, wonten ing wana Pacitan.
Semanten
kang Sinuhun Kangjeng Sultan, sakonduripun kang rayi pangeran Natakusuma, kang
putra saya melok kalayan patih nggenipun angakali anjegung panjenengan, wewah
tambah kang bendu.
Abdinipun
kang putra Pangeran Dipati kang sami priksa ing wadi, pinundhut cinepengan.
Lurah pitu ginedhong, kalebet pikandel suranata sami kahmbang aturipun.
Kang
satunggal kabucal ing wana agung. Kang nenem kaluwaran. Pangran Dipati
mangunggut-unggut. Kagalih sampun alit. Rerengganing raja, ambok kang anjageni
kasaosaken kang rama. Jejuluk, nama raja tuwin bintang boten karsa mundhut.
Tansah nggegering kang manah. Temah kados anekad, Pangran Dipati pinupus. Mung
cipta ngungsi gesang. Kang sarira pinasrahaken Kepala Buntut Babah Jim Sing,
den bebaluhi sekretaris pasrah ing residhen. Sanget mintak tulung saking dukane
kang rama. Maras yen dibunuh lir patih.
Semanten
Pangeran Mangkudiningrat. ing gaUh mingis. Ngangkah gumantos ing raja putra.
Babah”Jim Sing ingebang Pangran Dipati. Yen dhinahar aturipun ing Gupremen,
pinunjung sabin sewu. Yen kang sarira tulus jumeneng Ratu Ngayogya, den kartuna
sawiii sewawi, sumangga. Angger mung dadosa, nanging yen teksih kang rama boten
saged anglampahi. Sebarang karsanipun geseh. Kang rama ambeg piangkuh dhateng Gupremen,
tanpa kering.
Kang
putra yen mambengana, nuwun boten anglat, tansah ingangsa-angsa. Rumiyin Patih
Danureja sampun pejah wewah bapakipun. Tiyang kadipaten telas sadaya. Urmating
raja katur taksih manginggi-inggit. Pangeran Natakusuma sadhatengipun, nenajemi
kang raka kalayan Pangeran Mangkudiningrat. Mila Pangeran Dipati, yen sonten
boten ngraos priksa enjing. Yen enjing, boten dumugi siyang saking sanget
kekesing manahipun. Ingkang punika, sumangga ing Gupremen.
Pejah
gesang amung ngungsi gesang. Tuwan Residhen Kraper welas. Jim Sing kon matur,
muga kang sareh, lagi atur priksa ing jendral. Amung kedhik, aja rtgrasani
Pangeran Natakusuma, kekasihe Tuwan Besar. Pangeran Dipati sareng mireng yen
saged, analangsa dhateng kang paman. Nanging rikuh, dening kang rayi Pangeran
Mangkudiningrat ingkang dipun Ungsemi. Lajeng ngundhangi sadaya abdinipun,
sampun wonten purun dhateng tiyang ing Natakusuman, Kalayan sawarnining prawara
kang dados gauhipun kang paman rumiyin, boten karsa katempelan.
Pangeran
Adikusuma ketail. Amung kang rayi kalih, ingkang rinaket. Pangeran Panengah,
Pangeran Mangkubumi, semanten Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan katungkul among
lulut kalayan tansah cene-cene dhateng kang putra.
Kacariyos,
semanten Raden Tumenggung Sumadiningrat jinawil utusanipun Kangjeng Susuhunan
Surakarta anama Ranawijaya, ken matur ing Kangjeng Sultan.
Pangandikanipun
Kangjeng Sunan, “Paman Sultan, apa ora priksa. Paman Natakusuma kekasihe
gurnadur. Sakarsane sinludah residhen. Darma tunggu barang jroning loji. Sasat
kagungane paman Natakusuma kabeh. Patih Cakranagara ora nyilih mata, kuping.
Weruh dhewe lagi ana ing Semarang anggepe jendral menyang paman Prabu. Muga
kang saged momong kang rayi, den saged mulut tresna. Sabab, iku yen krodha kaya
Narpati Mandraka. Kadi rane Candhabirawa. Wong Inggris, kelar badhog Negara
Ngayogya. Lan ora wurung angembeti panjenenganingsun.
Nalasrewu,
yen wis wedran, kaya priye dadine”. Kangjeng Sunan karsaning galih ngabeni
subraja lungit, angadubata remuka sakarone. Semanten Raden Sumadiningrat,
enggal matur Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan, yen pyambakipun kadhatengan
utusan Surakarta, saking Kangjeng Sunan.
Ingkang
Sinuhun Sultan mireng njenger, galih langkung barubah. Kang rayi arsa ginuled
kang sayektos, was-was dhateng kang putra. Yen kaajengna, watir dening
wali-walikaniaya. Lan wis gedhe d.angdanane kinanthi gurnadur. Ing galih
keran-keron. sinukma ora siwah. Bobot lungguh sewu, kurang sawang luwih uwong.
Dados Pangeran Mangkudiningrat tinuduh nalika kang paman kalayan kadangipun
kang sami nunggil galih.
Semanten
Pangeran Natakusuma sampun pindhah dhateng padalemanipun lami, awit saking
karsanipun ingkang raka Sinuhun Sultan. Sabab kang rayi yen dereng ngalih
saking Natadiningratan, kang galih boten sakeca. Kalayan sawarnaning ongkos
andadosi dalemipun kang rayi, patedhan dalem sadaya saking sihipun. Ingkang
Sinuhun sring tindak amriksani kang sami anyambut damel.
Kacariyos
Raden Sumadiningrat panasten, boten sarju lan kang rayi Raden Jayaningrat. Yen
ndulu asring katimbalan ing Pangeran Dipati, boten liyan ingkang rayi rinaosan
amung Kangjeng Sultan, dening raketipun ingkang rayi.
Pangeran
Natakusuma anglangkungi saking watir, boten wande abibrahaken nagari. Mila
Raden Sumadiningrat wicantenipun, “Adhi, kowe matura ingkang Sinuhun. Sabab
Rama Natakusuma rinaket. Aku ora suwawi. Utawa pinundhut rembuge ora eca. Wantu
wis awak Gupremen. Mangsa ngartakna garasak ulat winor pengarah. Kayu mandira
upamane menawa angendhih wit. Tekane saka sabrang iki solah tingkahe apa jenate
ki patih Bobote, tikel sewu pamalese.
Katemu
pirang prakara yen ora sedya malesi, wong wis nemu lara wirang”. Dhasare pyayi
wegig, lembut sandine. Melas asih, mundhuk-mundhuk nggutuk watu. Yen lena
mesthi jongorake. Kabeh sentanane Sinuhun, mung siji iku kang wani. Sabab apa,
gendhinge kang raka kaduga anyembadani agal lembute. Prawara kadang kabeh rusak
atine.
Sama
Natakusuma, yen ginega ing Sinuhun darah Kedhu, kuwat angrontog nagara. Kang
dhingin dhi Rangga. Nuliki Lurah kang mati wong padha ngrusuhi jaman. Aja cacak
iku maning, metu budine mesthi jagad dahuru. Ngilangake tingkahe wong andon
mukti, Nagara Ngayogya kocar-kacir. Karo dene maneh, Kangjeng Sunan wus ngaturi
penjawil adhi Brangtakusuma. Yen welas menyang Sinuhun, enggal matura”. Wangsulanipun
ajrih.
Raden
Sumadiningrat nepsu, “Sapa wani matur, liya adhi. Sarta den sukani kapal
sapirantosipun. Raden Brangtakusuma mongglok manahipun, purun matur. Kangjeng
Sultan ing galih glana mor mukswa. Panas prih kadi rinujid, kagol enggenipun amendhet
sihipun kang rayi, lajeng makung. Amung kang putra Pangeran Dipati tinedha
jroning semadi, cupeta. Semanten Pangeran Dipati, saya sanget anggubel dhateng
jim sing.
Nanging
residhen taksih tengah-tengah. Kangjeng sultan tinodhi. Punapa kang tresna putus,
yen sampun puwas miyosna pangandika, kados pundi kang karsa. Utawi, yen
ingampun kang pulih dhateng putra, sampun ngantos angrewedi rembag.
Kangjeng
Sultan tampining galih slingan. Tinarka Pangeran Dipati anyambat ngrogoh
njajagi kang galih. Temah wangsulanipun basa cangkriman. “Biyen, mengko, kang
sungadhang iya Dipati. Dene ala sapa wruh. Allah kang ngadili. Anak bisa golek
bapa. Bapa bisa golek anak.”
Tuwan
residhen boten mangertos, tinarka Kangjeng Sultan limut. Ingkang Sinuhun macut
kang duka. Kang ibu Pangeran Dipati den betheki. Kang Ratu Kadhaton dadi
lelaran. Pamrihipun ing galih, pyayi estri kakipun pyambak dudu atasing
Gupremen. Supados kang putra kitir, anak molah sayekti kapradhah, biyung
katempuh. Jer dheweke kang nggegasah memarahi.
Pangeran
Dipati byuh, alangkung wirang adamel srat dhateng Jim sing. Lajeng Tumameng ing
tuwan residhen, langkung mangres manahipun. Enggal damel srat katur ing Tuwan
Besar. KaptinJim Sing saya agelak nenajemi wewadul ing residhen, yen Kangjeng
Sultan badhe mejahi pyambakipun. Tuwin dhateng kang rayi Pangeran Natakusuma
sampun boten pesaja. Sanget nggenipun nyigeni, pundi kang raket kalayan Tuwan
Jinenggaman langkung dipun gethingi.
Saking
Kangjeng Sultan boten rujuk ing tuwanku, utawi pejahipun Peken Ageng, mila
boten kalilan dhateng ing Peken Gadhing sadaya.
Residhen
mireng, langkung nepsu. Mukane dadi getih. Enggal parentah kumendham ken
ngetengi sadaya maryem ing loji. Sadaya prajurit Gupremen angati-ati, sebab yen
Sultan sedya amrih ngukup kang rayi tuwin kadipaten, aja kenen. Inggal aku
tulung pangeran. Jim Sing griyanipun jinagi prajurit Cipahi.
Tuwan
Residhen lajeng kengkenan pengandelipun, nungsung wartos ing Pangeran
Natakusuma. Aturipun Encik Amat, “Saking Kang tabe, kula kautus kang saudara
anuwun priksa punapa Kangjeng Pangeran punapa sampun eca kang galih.
Kamireng
saking loji, den angkah ing raka dalem Sinuhun. Kang punika, yen tamtu kaangkah
enggala lapura dhateng loji, Pesthi prajurit Gupremen lajeng tetulung. Kalayan
kagungan dalem arta kang teksih wonten ing loji, patedhanipun jendral rumiyin
punika sampun la’mi dhatengipun.
Kalayan
saking Tuwan Adam, sapunika ajrih njagi Nagari Surakarta. Ngraos boten kadugi,
Tuwan Gope ingkang gentosi. Nagri Semawis tinilar Tuwan Garnam, ingkang njagi
kawarti ing Gupremen ratu kalih sabyantu jangji sareng lebur ing prang.
Sabarang
pamundhutipun Tuwan Besar ing Sala, Cakranagara pangulah putusan mantri nama
Ranawijaya. Raden Sumadiningrat nyanggemi putusan. Kaji Brahim Kalayan mantri
ketanggung mudhi sratipun Kangjeng Sultan. Dening pangolah. andel ipe dalem
Raden Prawira diwirya.
Surakarta
Pangeran Buminata, sosoging srat wira-wiri. Punika ingkang saudara angresaya
dhumateng Kangjeng Pangeran. Mugi kacepenga tiyang kang dados sandi
penglampah.”
Wangsulanipun
pangandika Pangeran Natakusuma, “Mungguh panyekele gampang. Nanging aku isih
kawengku ing ratu kangmas Sultan. Karo dene maneh, wong kang padha diutus darma
nglakoni. Wong cilik wis wajibe. Wong ngawula, anut sakarsaninggusti. Yen tuwan
residhen nari aku, banget nora rembug. Karane Gupremen Welandi ngadegake loji
Kelathen anjagani tunggu nagara. Mangsa biyen ora kena ratu bebalangan tulis,
yen ora pelawangan Welanda. Barang kangmas Sinuhun iki, Pangeran Dipati kang
marahi dhawuh Cakranagara. Wong kadipaten dadi ular-ular. Jenenge Tirtayuda iku
ana Cakranagaran. Utawa anakku sring kongkon-kinongkon. Nanging padha bupati,
tunggal gawe among nagara, bab padu-paripadu.
Dene
Tuwan Minister takon enake atiku, kepriye nggonku ora enak. Asalku Ngayogya,
ciptaku rina wengi mung sudaraku kang tak deleng saking pulmaking jendral
tumeka Rat Jawa anyatroni. Angsal jendral misih tresna, ora giris maras. Sarta
wekasane, nglindhung Allah. Sarate. ngandel Gupremen. Apa ingkang takwedeni?”.
Encik
Amat matur malih, “Kalayan malih, Tuwan Minister nyuwun priyogi babing bandar.
Badhe kasuwun gadhuh, kaindhakan paosipun.
Ing
Surakarta, Kangjeng Sunan sampun miturut. Yen raka dalem Kangjeng Sultan boten
marengi, bumi-bumi sanggemanipun Pangeran Dipati dhateng jendral Dhandheles
badhe dipun dhadhali sadaya”. Pangeran Natakusuma pangandikanipun, “bab bandar,
aku ora sumurup. Mangsa bodoa sudaraku lawan kang duwe nagara”.
Encik
Amat sampun pamit. Semanten nuju Mulud Grebegan, Pangeran Natakusuma boten
sowan. Amung abdenipun prajurit boten ewah kados adatipun. Tuwin pengangge
anglangkungi prajurit dalem. Para ageng-ageng, langkung panasmanahipun.
Kangjeng Sultan, kang rayi rinaosan, “Adhimas, wis besar ati. Wong sarirane
Tuwan Besar”.
Kacariyos
Tuwan Minister ngangkatianuwungadhuhbandar, kawrat ing srat. Ingkang Sinuhun
Kangjeng Sultan kekah boten suka.
Terkaning
galih cawang ro. Kang rayi Pangeran Natakusuma, Pangeran Dipati kang ambyantu
minister. Tuwan Jan Kraper langkung nepsu. Lajeng sowan, para putra santana,
bupati pepak sadaya. Aturipun Tuwan Minister, “Tuwan Sultan, bab prakawis
bandar tamtu kula suwun gadhuh. Kangjeng Sunan Surakarta sampun miturut”.
Ingkang
Sinuhun langkung cukeng, ingkang pangandika, “Nganggo wewatoning Sala, seje
ratu seje tata nagara”. Tuwan Minister matur malih, “Kados boten wonten
sanesipun, menggah panjenengan ratu ing Tanah Jawi, sigar emangka. Utawi
Gupremen anggepipun tamtu asih tuwin urmatipun boten wonten kaotipun ratu
kekalih. Ing mangke tuwan pyambak ingkang kedah bawur, lumampah kasanesaken
kalayan Surakarta. Langkung sukur ampang gampil”. Ingkang Sinuhun Kangjeng
Sultan kapetek kang galih. Dangu boten ngandika, sareng badhe ngandika, pinapas
ing tuwan minister, “Tuwan Besar timbalanipun, benjing trang jawah sawarnining
bumi-bumi Kedhu, mancanagara kang sampun mungel ing buk ingkang dados pasrahan
sanggemanipun kang dhateng Jendral Dhandheles rumiyin, kasaosna kang enggal.
Tuwan
minister lajeng pamit mantuk. Sesampuning tabeyan, Ingkang Sinuhun Kangjeng
Sultan jenger muwun. Ngandika dhateng kang rayi Pangeran Natakusuma, “Adhimas,
ing sapungkurmu prakara bumi iku ingsun ora ngrasa amewehake buke. Jaluk
capingsun, sun dipeksa. Dene olehe nuli ana ing loji. Ing mengko mecah
gegedhohing ati”.
Ingkang
Sinuhun gumeter sumamburat, kang galih sanget kuwur. Kang putra Pangeran
Dipati, kados sinuduk kagapyuk. Kang rayi amung atur sembah, kang sami sowan
langkung gumeter. Pangeran Dipati anangis. Kangjeng Sultan kecoh, nunten
kundur. Semanten Raden Dipati ing galih, posing sanget kuwatir.
Tengah
dalu pamempenging jawah, dhateng loji. Andadosaken rembag tansah Jim Sing sagah
ngengani pintu. Tuwin saliring bumi-bumi pinundhut sadaya, narima dados ratu
belanjan. Asal kang rama kesah saking Tanah Jawi. Punapa rehing jendral. Tamtu
sandika anglampahi. Datan tahan yen pinurih pejah. Pangeran dipati nangis,
sarta panggubelipun sanget Kang sarira celong kusut, saking awis dhahar tuwin
sare.
Tuwan
minister kang manah kados sinendhal. Langkung pyuh, gentos ciyuman sarta sanget
pitungkasipun. Minister wantos-wantos dhumateng paman Pangeran Natakusuma,
“Sukur saged ngrangkul, yen boten saged amung aja salah cipta, iku kekasih
Gupremen. Aja dadi sandhungan, lan salahe kang rama Sultan, muga kang paman
tinedahane.
Prakara
bumi sanggemahe, sebab manawa labuh abot sanggane bilaine. Minister nemu dukane
gurnadur. Pangeran Dipati ngeres, “Pamenggah kang dhateng paman sampun kasep,
sanget su,mengit dhateng ing kula. Inggih mangsa boronga ing tuwan, mamrih
prayogi”. Tuwan minister anyagahi angrapetaken andum pantes. Pangran Dipati
sampun kondur, boten kantun P.abah Jim Sing. Tuwan minister enggal adamel srat
wawekasan bicara, katur ing Gurnadur-Jendral yen dhateng Kangjeng Sultan sampun
putus besar.
“Sayogenipun
kang putra Pangeran Dipati pantes yen tinulung, amlasaken, pasrah ngungsi
gesang. Punapa kang dados reh Tuwan Besar, saestu kalampahan yen sampun dados
ratu. Sanadyan ing benjang gampil. Ing sakarsanipun Gurnadur, Gupremen. boten
kaniaya. Nalar trahing luput, yen liya saking punika kang jumeneng ratu,
kedah-kedah anyumektani tetulung sayektos.
Yen
datan makaten kang praniti Gupremen, tedah anganiaya. Yen angsal kang wicaksuh
manah, saking pengraos kula boten pikantuk. Ing wingking karembag malih,
gampil. Wondene Pangeran Natakusuma, mahardika ing Gupremen. Putra wuragil,
kekasihing jendral kados Pangeran Mangkunagara ing sapunika inggih Pangeran
Suryaprangwadana. Sor timbangipun, menggah lenggahing siti kalayan antekipun
dereng kantenan.
Tandhanipun
dhateng gupremen, ingkang punika sumangga ing gurnadur. Sampun kula wawrat,
saha malih mugi tuwan sediyaa prang dhumateng Nagari Ngayogya.”
Semanten
srat sampun lumampah, anunten Tuwan Kraper kalayan upsir Ngayogya, kang sajak
winawrat kabar karsanipun Kangjeng Sultan yasa maryem baru, waja, kejen,
tembaga sari, kurang mimis sela. Semanten Pangeran Dipati, langkung sandeya
galihipun. Boten panggih kalayan kang paman, ananging kang manah majeng mundur.
Den aturi manawi boten kenging, lajeng utusan abdi estri ngaturi kang paman.
Kepareng kang paman Pangeran Natakusuma boten wiyang. Margi saking kedah priksa
watesing.galih kang putra Pangeran Dipati.
Ananging
surti angatos-atos, kang putra sami ndherek tuwin samektanipun kang abdi.
Pangeran Natakusuma rawuh kadipaten, sepi amung kang tungguk. Pratandha yen
boten simpen galih. Aturipun Pangeran Dipati dhateng kang paman, “Mila paman
kula aturi, saking paningal kula sarawuhipun paman saking Betawi, saking
panyipta kula, upami jeksa ing pramudita senadyan dede damelanipun.
Paman
priksa saha paben kula kalayan rama prakara bumi. Ingkang kapaben sumerep dados
pasrahan dhateng Jendral Dhandheles rumiyin. Nalika Kangjeng Rama linungsur,
kula kang pineksa nggentosi. Prentahipunjendral.boten linampahan, mesthi risak
sadayanipun.
Dados
kula pilalu, pangwasa kula tampeni. Yen sampuna kabetah rama sampun sepuh,
kantun pinten kang yuswa. Kalih, tiyang sampun wajib kula.
Jendral
mahabala, menuhi kekuwu wonten pondhokan Karanggan, anedha binayar beton.
Susahing saradhadhu, mila partisara ing prajangji panjenengan manawi pun Rangga
nggitik. Begja pun Rangga sampun pejah. Punika Gupremen sayahipun karegen.
Anedha epah, kirang langkung kalih kethi yatra binayaraken Gupremen.
Tumunten
jendral anedha malih, mancanagari kalayan Kedhu. Gupremen kang pacak baris,
boten kabibaraken yen dereng sok dhusun.
Kula
dipun undhang jendral dhateng loji, dipun ken damel srat prajangjen, pasrahan
bumi punika. Sareng dados, dipun ken ngecapi, capipun kangjeng rama. Kula
sencayakaken sadaya, sami rembag dumugi putra dalem kekasih adhimas
Mangkudiningrat, tumut urun wudhu maringna cap.
Sanget
ndadosaken susah, Gupremen kang tugur baris sunggatanipunlangkung kathah. Ing
satemah tiyang Ngayogya mupakat, nunten cap kaparingaken. Idhep-idhep tulak
bilahi, ing buri ana rembug. Sadaya inggih sami guyup. Ing mangke dhoging awon,
kula pyambak. Punika menggah paman kados pundi?”
“Serat
kalayan cap, punapa boten angger angecapi?” wangsulanipun ingkang paman.
“Menggah ingkang punika, sami raosipun. Prenata Tanah Hendia, tandha asta, ciri
cap. Barang prekawis, sepalihipun supata”.
Pangeran
Dipati sanget mireng sebdanipun ingkang paman. Pangeran Dipati manabda malih,
“Bilih paman anutuh kula boten amewehaken bumi. Gemet, resik punika nalaripun
ing benjang yen pinaben ing jendral, paman mugiingkang wening”.
Pangeran
Natakusuma mesem mangsuli malih, “Inggih, angger. Ananging dede damel kula bab
nagari. Sadhateng kula, dereng sumerep Ngayogya solah bawanipun”.
Raja
putra tembungipun ngasin-asin, ‘Sebab kening godhanipun kang wonten toya sumurup,
mila rawat-rawut. Sapunika emut, welingipun swargi, paman sudarma kula utawi
pun adhi sadherek kula yektos. “Anunten sugata medal, sesampuning dumugi,
Pangeran Natakusuma lajeng kondur.
Semanten
kapriksa dhateng Ingkang Sinuhun, manawi ingkang rayi dhateng kadipaten. Raden
Tumenggung Natadiningrat ingandikan, dinangu nggenipun dhateng kadipaten.
Sampun katur sadaya, yen patembunganipun mbebilas prakawis srat angecapi siti.
Kangjeng Sultan langkung duka, males ambebilas”. Besuk maning, ramakmu yen gelem
diundang Ki Dipati, pecah karo ingsun, apadene sira. Wantu kaprenah nom sira,
yen ingundang wangsulana wedi yen ora katur marang ingsun. Wong wis muyab,
bingung. Wis metu, teka manusa besuk, apa kang tinemu”.
Raden
Tumenggung Natadiningrat atur sembah. Rayi dalem, kula ngandikan awrat kang
galih. Rinaos ajrih ing Sinuhun. Dening putra binadhe aji, Kangjeng Gusti
Pangeran Dipati pangaubaning witning purwaning sikara. Wonten pacuh sanget
leganing kang galih”.
Raden
tumenggung sampun tinudhung medal. Semanten Pangeran pati mireng yen den
sotaken kang rama, methentheng r.ialah nantang. Beleh supatane malati. Pisuhe
panasten, lengus menyang ahak ora ngenaki ati. Apa bedane, padha kawulaning
Allah. Wajibing wong, ihtiyar tulak bilahi”.
Kacariyos,
Pangeran Natakusuma ingaturan minister dhateng loji, kalayan ingkang putra
sepuh Raden Tumenggung Natadiningrat. Tuwan minister aturipun dhateng pangeran,
“Punikawonten parentahing jendral, kala wingi dhatengipun. Timbalanipun Tuwan
Besar, ing mangke kang raka Sultan tita degsura, sumitra boten tuhu purun
dhateng Gupremen. Jendral badhe nginggahi mariki, mawi mawa bala kulit item
pethak, ngayoni kang raka Sultan. Ananging yen kapok, biangsut pesthi ing
benjing ginalih malih.
Wondene
menggah jumeneng ratu malih, sampun boten patut. Ingkang nggentosi dereng
kantenan, kirang priksa putra utawi kadang. Ananging tuwan Pangeran tamtu
mardika ing Tanah Jawi, kaluhuran punapa raja mengku pangwasa pyambak. Nagri
pasisir, agung pundi ingkang tuwan senengi. Nadyan Ngayogya kemawon, sor
timbang kalayan ratu. Karsanipun kangjeng Gupermen, para ratu kaprabonipun
dipun uruti. Sampun ngegungaken angkah, kadosa para ratu pasisir. Punapa kang
den pengini mung ratu njaga jagul, njaga kebon mung ginajih.
Sanes
kalayan tuwan pangeran, putra waruju ing jendral tur kekasih”.
Pangeran
Natakusuma alon pitaken mangsuli, “Sinten den angkat ratu? Sami-sami, luhung
ngapura kang rama. Yen sampun kapok,
lulus boten licin kados kang putra”.
Tuwan
minister sabdanipun, “Sampun marduli, sanes Tuwan Besar prentah dhateng kang
sarira. Karaosna, suka tirma kasih saking sih wilasa Tuwan Besar. Yen boten
arsa, kados pundi wangsulanipun. Utawi kogel dhateng kang raka Sultan dados
mengsah Gupremen”.
Pangeran
Natakusuma kendel. Dangu boten amangsuli. Enget wewelingipun kang swargi kala
nabda pakepung Surakarta rumiyin. Kangjeng Sultan bebana dhateng Idlir Yan
Grepe. Ing benjing sapengkeripun kang eyang, menggah Kraton Ngayogya kang mugi
pinara tiga. Pangeran Dipati, Pangeran Ngabehi, Pangeran Natakusuma. Tiga
punika, dados ratu sadaya kabawah Surakarta. Kalayan pangulu ratu tiga, nuwuna
idin pangulu Surakarta. Kalayan malih wonten srat Gupremen kasrahna Surakarta.
Sunan
ingkang andum ratu tiga Ngayogya. Mung punika, boten miyangkah nagari. Ingkang
Sinuhun Swarga mireng, langkung duka. Putra tiga wineling, sampun ajrih karenah
sampun wonten melik.
Pangeran
Natakusuma lajeng mangsuli, “Trima kasih, punapa parentah Gupremen kula mituhu
anglampahi. Ing panedyaning manah, amemales ing tuwin anak putu kula ing puja
bekti. Sumambung, nanggulang repoting bapa ing pandamelan kang tulung sih”.
Tuwan
minister langkung suka, “Tamtu, sampe ing putra wayah lulus sihipun Gupremen.
Turun-temurun, tetepa cepeng lungiya anyilum.” Lajeng sami prejangji, sumpah.
Sinten ingkang anyidrani boten manggih kayuwanan.
Tuwan
minister mangka wakil sumpahipun Gurnadur Jendral. Tuwin Raden Tumenggung
Natadiningrat atur sumpah ing Gupremen. Tuwan minister lajeng damel tandha
asta. “Pangran Natakusuma, saking panuwunipun sebarang karsanipun Gupremen mugi
kula suwun nuntenipun.
Manawi
solah kawanguran, tiwas kacingklak ngajeng. Saklangkung nganeaya, yen lepat
katikel pengajengipun susah. Kalayan kula, tiyang ngabdi sampun agantung
dirgama.”
Tuwan
minister langkung condhong. Inggih nunten kalampahan karsanipun Tuwan Besar.
Sapunika sampun wiwit, icir lebeting nagari kirang kalih. Tuwan jendral rawuh
Ngayogya, kontungipun kang raka Sultan. Pangeran Natakusuma, lajeng kondur ing
dalemipun. Tansah abdenipun prajurit ginulang solah tingkahing prang sampun
sumekta sangkep astraning prajurit.
Pangeran
Dipati utusan Ki Wiraguna amaringi arta. Tembungipun, kaulipun kang putra
Pangeran Dipati angsal kondur kang paman. Seket reyal kathahipun. Arta sampun
tinampen, utusan wangsul. Semanten kang Sinuhun Kangjeng Sultan, pating selusup
kang telik anuksma ing Natakusuman. Sampun katur sadaya ing sasolahipun kang
rayi. Pangandikan, “Sukur, adhimas anyata yenjamprah”.
Semanten
prajurit Inggris, ‘saya kathah ingkang dhateng saking Betawi, Bogor, Surapringga.
Lebetipun icir yen dalu, sandi angungsi pangan Ngayogya kang loh jinawi.
Jendral
taksih wonten ing Betawi, amatengaken rembag kaliyan Jendral Gilesse. Admiral
hantem ing prang titir, mbedhah nagara, anyengkalak para ratu kang mecah Nagari
Melaka, utawi Nagari palembang.
Ing
loji sampun penuh prajurit. Jim Sing kang anyanggi segahipun, saking ciptaning
manahipun adola kucir tinemah. Nadyan kantun kelambi momohan, amung sida prang.
Yen
sandi prang, pasthi den talikung, tumpes sabrayatipun, Kocap Pangeran
Natakusuma, saya sesek panggladhenipun prajurit. Matuhken kridhaning prang,
sandinipun nggegirisi. Kang rayi Pangeran Adikusuma telikipun kang raka Kangjeg
Sultan, ing saben dinten boten sah.
Kacariyos,
Pangeran Adipati sanget mulet ing Raden Sumadiningrat tuwin Pangeran Dipakusuma
rinangkul mudhari wadining kang paman. Supados manggih bilahi, cupeta
lampahanipun. Ngamungna kang sarira kanishan ing Gupremen. Utawi, reka pitenah
tampingan ngumpulna kecu kang julig, kendel, durjana. Sedya kinecu ing wengi
dalem Natakusuman, kang pinurih layon kinebon amuk. Bawura, sapa wruh wong,
kinampak.
Tampingan,
Pajang, Mataram mopo sadaya. Aturipun kang mantri, boten wegah dhateng. Kang
abdi sayektos mung walatipun dening kusuma anyar gcrah galih mentas angluwari
tarak brangta. Tamtu darajadipun kombul.
Raja
putra anyanggupi anyanggi saliring walat. Siparat, edan, buyana, tinembah kang
sarira. Nanging para demang tampingan meksa mopo. Raden Sumadiningrat sampun
matur ing Kangjeng Sultan, yen kang rayi Pangeran Natakusuma sandiningInggris.
GaUh dalem Ingkang Sinuhun wayang-wuyungan. Dereng pracaya kang yektos, lajeng
tindak tetuwi ingkang rayi. Samudana, boten kantun para wanodya tuwin para
putra sami ndherek. Katingal kang rayi samekta, amung sakedhap lajeng kondur,
Nunten pendhak sonten, Pangeran Dipati mertamu tambuhtambuh rikuh ing galih.
Rumaket
mundhut hertih, kumesaja lalawora kepengin pinggang pedhang cara Inggris.
Sinaosan, angres pangandikanipun Pangeran Dipati sampun kondur.
Semanten
Sinuhun Kangjeng Sultan, rerembagan kalayan Raden Sumadiningrat badhe amangun
sumpah. Dadakan, pating garubyug gandheg kontrang-kantring. Sowanipun icir,
kang rayi Pangran Natakusuma kantun nggenipun sowan. Sareng dhateng, Kangjeng
Sultan lega kang galih. Raden Sumadiningrat nembah, noUh mradinaken kanca. Mila
winangun kang sumpah, sebawanipun ing Ngayogya anyalawadi boten sakeca. Ing
loji prajurit penuh. Yen wonten gadhah pangulah angrojongi lir punika, mamrih
ngrisak panjenengan, punika kenging supaos. Lajeng sami supata, pengulu, ketib,
andongani. Pintu sadaya kinunci. Kasaru tiyang atur warti, pecalang kang wonten
Prambanan, yen, wonten prajurit Inggris dhateng malih kathahipun kalih atus.
Ingkang
Sinuhun langkung gugup. Angutus Raden Janingrat kalih Kyai Martalaya angadhangana
ing margi. Parentah ken dugi-dugi, aja miwiti anyorek. Yen lestari, aja alpa
kalayan margi kang dhateng kelangenan sangkrah borang kang brukut. Kang Sinuhun
angandika, “Ana apa kiye. Mungguh ingsun, ora ana apa-apa “. Aturipun Pangeran
Dipati, “Sae minister kadangu dene kathah Enggris dhateng”. Kangjeng Sultan
miturut. Angutus Pangeran Dipakusuma, Danunagara. Wangsulanipun Tuwan minister,
“Boten wonten punapa-punapa. Rehning bangsa Enggris anyar, badhe priksa Tanah
Jawi. Sadaya kantor kawradinan. Sampun adatipun lintu panggenan”.
Utusan
wangsul, sampun katur sadaya. Galihipun kang Sinuhun lereh, bibaran kang mangun
sumpah.
Kacariyos
Tuwan Besar Tomas Setamprot Raples sampun rawuh Nagari Semawis. Semanten Kyai
Danureja lumampah ngaturaken pisungsung dhateng Semawis, tuwan minister
sarengipun.
Ananging
lampahipun Dipati Danureja dipun ken kendel ing Jambu. Minister ingkang lajeng
dhateng Semawis. Sandinipun, sarenga patih Surakarta Cakranagara. Yektosipun
kang lampah sampun tinarima, tuwan minister sampun panggih Tuwan Besar.
Sesampuning bicara, lajeng mantuk.
Adipati
Danureja, lami wonten ing Jambu, ngatas boteh winangsulan.
Putranipun
Sindunagara ngajak mantuk. Ananging, bapakipun boten purun, amung mresaben
kemawon. Tuwan Minister, dumugi Ngayogya boten malebet kadhaton.
Kang
Sinuhun mundhut priksa lampahipun Dipati Danureja, aturipun, Boten praduli,
sinten priksa. Katumpa surating patih dhapur atur priksa yen tinilar margi
ngantos parentah sinentak wonten ing Jambet nggenipun mondhok.
Galih
dalem kang Sinuhun langkung glana ruhara, dhawuh dalem ken sabar, “Yen wis
tita, enggala mantuk”. Horeg, Nagari Ngayogya. Prajurit dhusun, kinerig sadaya.
Putra santana, saben dalu giUr saos. Para bupati, tugur sadaya. Prajurit
Enggris ewon jejel ing salebeting loji.
Semanten
Raden Sumadiningrat seja ngewani Ingkang Sinuhun.Kangjeng Sultan. Yen boten
dhahar aturipun, suka dipun pocota. Menggah Pangeran Natakusuma utawi kang
putra Raden Tumenggung Natadiningrat kang punika yen kawengker, pinasrah
kalayan kang abdi wonten ing ngarsa dalem.
Pangeran
Natakusuma kapipit kalayan putranipun. Sabab yen estu jendral dhateng, inggih
punika kadamel methuk paben. Amesthi yen Tuwan Besar kepapan sarta wande
nggenipun gadhah pamrih juti.
Yen
jendral meksa.angroda Pangeran Natakusuma, gampil ampun wonten asta dalem.
Tuwin putranipun lajeng kababaraken pisan. Kang Sinuhun kagunturan ing atur,
kelu. Dumadya angaraharah. Ratu Ayu katimbalan, binoyong malebet kadhaton.
Sandinipun, samar taksih wonten ing njawi. Yen dados prang, kakungipun nindhihi
prajurit.
Raden
Sumadiningrat sampun matur Pangeran Dipati, yen kang rama sampun miturut badhe
ngangkah kang paman. Utawi Pangran Mangkudiningrat sampun katuran priksa ical
sandining Gupremen.
Para
putra lega kang galih. Kangjeng Ratu Ayu, wonten salebeting kadhaton. Putra
kalih sanget anggenipun budi. Kang ibu ingajak kondur, tansah sesambat kang
rama. Kang Sinuhun, angres kang galih. Lajeng ndikakaken kondur. Semanten
Pangran Natakusuma nuju saos wonten sitinggil witana, kang abdi miranti. Tuwan
minister utusan, ngaturi pangeran. Enget saos, wakil kang putra nem. Sampun
panggih minister, raden rinangkul ingarih-arih. “Durung masa ngemot prakara
wadi, wis kondura. Rakamu Raden Tumenggung bae, panggiha sakedhap. Wonten,
preluning Gupremen”.
Raden
Mas wangsul, katur sadaya dhateng kang rama. Kesaru utusan dalem nimbali
pangeran malebet kadhaton kalayan tetindhih bupati kang jaga sami ngandikan,
“Pangeran Natakusuma, sampun sowan ngarsanipun kang raka. Kang Sinuhun ningali
kang rayi, dumadakan dukane larut. Ing galih kelangkung dening welas.
Ingarih-arih, rinaket sinandhing lenggah dhahar, boten kadhahar.
Kang
rayi pinanci, sinambi ringgitan. Langkung kathah pangandika dalem, “Wingi si
Danureja atur yen isih mandheg ing Jambu. Nganti patih ing Sala, Sunan pesthi
ngumel-umel. Minister prentah, ora semayan. Pisungsung akeh, den rukti. Iki
minister wis teka. Si Danureja ngatas, teka ora pinreduli. Karo dene maneh, ing
loji gegaman sukup iku ana apa?”.
Aturipun
kang rayi, “Apunten dalem Sinuhun, tuwan minister kala dhatengipun, boten pisah
kalayan Cina Jam Sing.” Kanggeg kang Sinuhun, ngandika, “Lagi kanggep si setan
gundhul”.
Sasampuning
gupita, lajeng bibaran. Kang rayi, tinundhung medal. Dumugi njawi, kang putra sepuh
methuk. Lajeng ndikakaken dhateng loji, dados wakilipun kang rama. Semanten
Raden Sumadiningrat, Pangeran Dipati telikipun pating selulup, pating talusup.
Kang manah glana, dene kang Sinuhun wande baceri kang rayi.
Raden
Sumadiningrat nedya mutungi pasangan. Yen kang rayi Pangeran Natakusuma boten
kariwus seja mbelayang dhateng Gunung Kidul. Sampun ngait putra santana,
angrebahaken Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan. Ngangkah-angkah pinrih kang rayi
ketungkul.
Raden
Tumenggung Natadiningrat sampun kepanggih minister. Tinuturan prakawis punika,
tamtu jendral sampun wonten Salahtiga. Kula katimbalan, karodene malih
sapungkur kula den rumeksa kang rama yen watir, leheng nalebu loji barukut.”
Wangsulanipun Raden Tumenggung, “Tuwan Besar dereng rawuh ing loji, boten
sakeca. Leheng taksih wonten ing njawi. Kalayan malih, atur kula ing tuwan,
luhung Kangjeng Sultan, pinarsudi kapokipun”.
Minister
wangsulanipun, “Leres, Raden Tumenggung, mrina gadhah mara sepuh. Nanging
sampun kasep, sampun putusbesar. Wontena kang nggenteni, mangsa ndika
kaprentaha kang rama. Atas bawa pyambak, benjing yen jendral rawuh Nagari
Ngayogya, kang rama samektaa saprajuritipun. Methuka ngloji kemawon”.
Raden
Tumenggung mangestu wehng, wangsul dhateng sitinggil. Sampun katur sadaya dhateng
kang rama. Sareng byar rahina Pangeran Natakusuma kondur. Katungka wonten
gandhek utusan dalem. -Mangke sonten ngendikan kalayan sedaya putra sentana.
Badhe dhahar eca wonten srimenganti. Gandhek kawangsulan yen pambeng gerah
puyeng. Mila kang galih sampun sumelang. Pangeran Natakusuma, lajeng ngendika
dhateng kang putra Raden Mas Salya, “Wis, kulup. Ing saiki, lelakon wus ora
enak. Kangmasmu tuturana, aku mengko wis ora kemit, luhung binrubuh ngomahku.
Wong siji loro ana kang mbela. Ana kepranten, nuli disumur.”
Kang
putra, Raden Mas Salya, enggal matur, Kang raka sareng mireng, ing galih sampun
nekad. Tan karsa sowan, sanetya sinamun ngunggar-unggar abdi.
Semanten
kang Sinuhun, temtu bujana kanggeg. Dening kang rayi boten sowan. Kesaru wonten
juru langlang atur priksa yen jendral sampun mariki dumugi ing Bayawangsul.
Pangeran Prangwadana methuk wonten ing Ngasem saha samektaning prajurit. Galih
dalem kang Sinuhun langkung kagegeran. Bubar sadaya ingkang sowan. Sareng
enjing sami pinepak. Pangeran Natakusuma dhawuh sowana wanci bedhug. Parentah
poma-poma gerah ndikakake nitih tandhu. Raden Sumadiningrat sedhiya mepak
prajurit wonten ing griyanipun. Tandang ingkang para kadang, Raden Janingrat,
Wiryawinata, mobat-mabit ambeg krura, mung Raden Janingrat sesumbar padha
mangku putri adi. “Si Adhi Natadiningrat, sabudimu aja salah tandhing lan aku
sedheng wirota.
Dene
rama Natakusuma, donya akir sesembahanku, “Sedheng lawane kangmas Sumadiningrat
angling kras.” Rama Natakusuma, masa malatana. Trah Mataram wus mangsuk
Enggris. Sedya bawur, wangun-wangun tinilarane’kang swarga”.
Sareng
enjing Pangeran Natakusuma marengi geladhi prajuritipun, wonten utusan dalem
animbali Kangjeng Pangeran. Prajurit kang geladhi, dhikakaken singidan. Gandhek
ndhawuhaken timbalanipun raka dalem kang Sinuhun, mangke wanci bedhug ngandikan
menggah pambengan, kapesakna.
Pangeran
mangsuli, “Sandika” Utusan sampun mesat. Nunten wonten utusan saking loji,
Encik Amat. Sampun pinanggih kalayan Pangeran, aturipun Encik Amat, “Gusti, sadinten
punika timbalanipun Tuwan Besar Kangjeng Pangeran mugi malebet ing loji. Tuwan
Jendral sampun rawuh ing Prambanan. Tuwan minister kala wau sampun mangkat
methuk. Kalayan malih atur, tandha Enggris kaanggea abdi sadaya tumrap wonten
bau kang kiwa. Pun Jim Sing wau inggih sampun kaparingan”. Encik Amat sampun
pulang. Pangeran Natakusuma enggal nimbali kang putra Raden Tumenggung
Natadiningrat. Boten dangu nunten dhateng, amung kalayan kang garwa.
Pangeran
Natakusuma sampun mangkat dhateng loji. Prajurit Enggris kaget dening wonten
dedamel saking wetan. Sareng priksa tandha, ken lajeng. Nunten wonten utusan
dalem pelajengan anututi. Tembung kathah-kathah, animbali sampun boten lumampah
sapunika.
Wangsulanipun
Kangjeng Pangeran, “Kowe matura menyang Kangjeng Sinuhun. Aku malebu loji
dhisik, sabab aku ngrungu warta rawuhe Tuwan Besar. Iki ngangkat angger
Pangeran Dipati, kang sarira bakal dilungsur. Poma enggal matura”.
Kangjeng
pangeran lajeng dhateng loji. Pinethuk sekretaris, sampun pinarnah panggenanipun.
Abdi prajurit baris angubengi, babah Jim Sing kethip-kethip, momonganipun
kantun malebet ing loji.
Tuwan
sekretaris keUthian, angrangu Pangeran Dipati. Nagari Ngayogya sakalangkung
dening trewu. Putra santana, bupati, sampun sami mapan methuk ing prang. Raden
Sumadiningrat anutuh-nutuh Kangjeng Sultan. “Lidok mono, ujarku. Lambe kaya
gopel ora nganggo dhinahar”.
Ingkang
Sinuhun jenger, tansah nebut asma Allah, dene adhimas anemeni. Putra santana,
tinodhi sadaya menggah anteping prang. Sagah, boten angoncati.
Anunten
peleler medal. Langkung kathah-kathah, kang kamireng jatah mantri.
Prasetyanipun, waos, dhuwung, salebeting kadhaton binage ing wadya sadaya.
Tuwin sesotya, retna. Ananging kathah kang lajeng minggat.
Ingkang
Sinuhun lengleng, kang rayi Pangeran Adikusuma ingunggar-unggar mantuk
lenggahipun lami. Tur ingebang-ebang yen sanggup nanggulang wirane kang ana
ngloji, antepana sentana nglurahi.
Pangeran
Adikusuma nangga setya. Sareng dumugi dalemipun, malencing dhateng Jalasutra
sarayatipun. Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan, langkung dening sungkawa dhateng
kang putra Pangeran Dipati, rikuh celaka. Pangeran Mangkudiningrat cipta den
badheni. Utawi para kadang sami nunggil boten pisah njagi damel ngarsaning rama
tuwin Pangeran Ngabehi pinulet sihipun. Sanajan sepuh, tatya wrin baya.
Pangeran Ngabehi, marengi gerah binoyong kadhaton.
Kacariyos
Tuwan Besar sampun rawuh kalayanjendral prang, anama Gilespe. Pangeran
Natakusuma, methukaken. Sami pyuh galih, gentos ciyuman. Kapri tuwin jendral prang
rawu’hipun wanci pukul gangsal sonten.
Nunten
Raden Tumenggung Natadiningrat, utawi kang rayi Raden Mas Salya, ingajak
basiyar tuwan minister. Pinenging bekta abdi, mung satunggal kang ndherek.
Enggris
pilihan tigangdasa, sami kapale teji, dhateng lurung kadipaten memanuki
Pangeran Dipati. Ananging boten wonten medal, m”ung krewalang galih.
Tuwan
minister’, langkung ajrih dhateng jendral. Rancanganipun selisir, kang wau
rembagipun genah katur Pangeran Dipati lawan kang paman sampun nunggil galih.
Sarawuhipun
jendral, methuk wonten ing loji sekahyan. Ing satemah boten wonten katingal.
Tuwan minister, muring-muring, lajeng ngidul ngetan, angubengi kenaka taman.
Raden
Janingrat kang baris mepeti margi, kang dhateng Natakusuma, mantri mergangsa
kang den irid kalayan kaparak tengan ngrisak ing Natakusuman.
Sawek
marengi mangkat reramu, nunten minister dhateng. Dragunder nunjang baris,
dhadhal. Raden Janingrat, marangincih waos sami nguman-uman, “Adhimas,
Natadiningrat den eling. Dene mantu kekasih rinengga, teka abahk”.
Kawangsulan,
“Insa Allah, kula emut boten gothang. Sinten witipun kang anyidrani, estu boten
betah rinagum tiyang sa-Ngayogya”. Tuwan minister ngejepi dragunder, lajeng
ngedrel pistul. Raden Janingrat kras, ngancari waos.
Raden
Nayadiningrat ingkang pinrih. Kaptin gancang Raden Janingrat pinedhang, waos
nggregeli. Drijinipun rantas, den rerompo binekta mundur.
Kathah
tiyang kang tatu kenging mimis. Kesaput dalu, minister lajeng wangsul dhateng
loji, kalayan Raden Tumenggung Natadiningrat tuwin kang rayi Raden Mas Salya.
Lajeng mangsuh ing Tuwan Besar lan atur warti yen sampun acak prang.
Janingrat
nandhang tatu. Enggris kalih kang pejah. Pangandikanipun jendral, “Tak jadi
apa. Karo dene malih, Prangwedana teka, Pangeran empun nganggo sumelang. Mila
kula timbali, sabab paturane rakandika Sultan kajeng muring-muring ngrungu
Prang wedana milu mariki”.
Pangeran
Natakusuma, mangsuk, “Sami damelipun Gupremen kang rinembat. Mas putu
Prangwedana ing mangke kanca kula”.
Samanten
kang Sinuhun priksa Raden Janingrat tatu kapetek ing galih.
Sida
dadi prakara. Sadhasaring kadhaton geger. Kangjeng Ratu Kancana angesah angles
kang galih.
Raden
Janingrat ndikakaken sumingkir dhateng taman. Para putra santana utawi para
bupati kenthel manahipun. Miris Raden Sumadiningrat, ningali kang rayi ta’tu.
Bekah-bekuh sarwi nangis. Yen puruna, kadi ngamuk sanalika. Ngremet satru, kang
wonten ing loji. Pulih getih, nanging kepalang maras.
Kacariyos
Pangeran Prangwadana cinegad margi. Raden Sindureja kang ngadhangi, prang daIu
popok. Sindureja wegah, satiyangipun sumingkir. Pangeran Surya Prangwadana
saged lumebet nagari. Nanging
prajuritipun risak, kathah kang nulak wangsul, bekakas kabucalan. Kartining
prang, tandhon mimis, obat kagunganing Gupremen binucal ngalas.
Pangeran
Prangwadana sampun dumugi ngloji panggih kang eyang Pangran Natakusuma
sakelangkung amulut galih. Aturipun, “Kula anungsung wartos. Kados pundi
karsanipun gurnadur. Dene kula boten mawi kaparingan priksa”.
Wangsulanipun
ingkang eyang, “Kula boten pae lan mas putu. Amung nglakoni tuduh, sedya males
kang tulung sih kula bali wruh Ngayogya saking reh Gupremen. Boten etang dados
pocapan, cipta nglakoni prentahing Allah”.
Nunten
jendral miyos saking kamar. Pangran kalih, kon golong aja na benceng pikir.
Sarehne amrat gawe Gupremen. Ing dalu boten kacariyos, sareng enjing jendral
mangun bicara kalayan minister. Pintu kinunci, ngantos pukul satunggal.
Pangeran ingaturan amalebet ing kamar, tembungipun minister, “Tuwan Besar karsa
ninjok srat prayojana dhateng kang raka
Sultan. Sinten prayogane ingkang ingutus mundhi surat gurnadur. Punapa
kula pyambak utawi sor-soran kula”.
Wangsulanipun
Pangeran Natakusuma, “Kula boten priksa werdining srat, dadospakewedanggenkula
amrayogi”. Srat nunten binuka dhapur parentah Kangjeng Gupremen. Kangjeng
Sultan ing mangke luraungsura, ginentosan dhateng kang putra Pangeran Dipati
jumeneng Sultan. Ingkang kalih, dene malih kang rayi Pangeran Natakusuma
pinundhut Gupremen, lumuh kalereh Sultan. Setya tuhu, sakarsane tinurutdan.
Putra Gupremen, jendral. Kang punika mugi Kangjeng Sulan muwun, adados
pepundhening putra.
Yen
welas ing putra wayah kalayan risaking nagari, dahuruning kawula alit, mugi
amituruta. Kangjeng Sultan sampun sepuh. Tuna dungkap, nggarap rembag saya
kathah longkanganing gaUh. Priyogi, mbegawan sarta sinuhun-suhun ing putra kang
jumeneng ratu.
Pinunjung,
eca adhahar, sare boten wonten den ronaken. Punika sampun adat, para ratu ing
Nuswabumi. Yen sampun lumuh pranata girientosan putra, eklas parentah Gupremen.
Ingkang punika, boten kenging wali-wali pinancet. Pukul empat yen Kangjeng
Sultan kekah boten nuruti, pasthi mariyem ing loji mungel ametar wangun
karaton.
Pangeran
Natakusuma ngungun mireng ternbunging srat, “Ingkang punika tuwan Minister,
sampun tamtu manawi kangmas Sinuhun Kangjeng Sultan anekad. Boten petang,
sapisan kaping kaUh tamtu males anyenjata.
Wondene
ingkang mundhi srat tuwan, juru basa kemawon prayogi. Sampun kayogyan, Tuwan
Besar langkung suka. Juru basa Kresman enggal numpak kareta ngaturken serat
dhateng karaton. Lajeng sowan irg ngarsa dalem, serat alajeng katupiksa. Sareng
sampun maos srat, kapinta galih dalem kang Sinuhun Sultan gumeter tingal dadu.
“Sapa
kang bisa nglakoni, awakku dipurak anak lanang lan sadulur. Menawa sira juru
basa, awakmu gelem ingsun dhendheng ing lading, uyah asem kang mangka boreh?”.
Aturipun Krisrnan, “Kula tiyang alit, darmi kautus. Punapa parentah, inggih
kasaosaken”. Kangjeng Sultan mempeng suraninggalih. Merang dhateng kang putra
Pengeran Dipati. Kang putra ingipat-ipatan.” Dipati sedyamu angrontok
kaparaboningsun Muga sira aja lumrah padhamu uwong, dadiyajajalanat”.
Pangeran
Dipati mulet suku, sanget nangis dinukanan kang rama. Aturipun, “Nuwun, nuwun.
Boten gadhah sir salugut yen ngangkah angendhih Kangjeng Rama. Anyanggi
saliring supata, kula sagah. Dipun ken nggentosi, kapeksa mopo. Jiniyat ing
jendral, boten trus suka leganing manah. Anahging kang rama sampun boten
preduli supatane Pangeran Dipati.
Sampun
jenggan, tinebihaken anunten tinundhung kondur ken baris dalem pyambak ing
kadipaten. Tuwan juru basa Krism’an anerang; karsa. Kangjeng Sultan boten
mangsuli, lajeng parentah dhateng bala, tandang prang angusung sendawa, mimis,
kestabel sampun mapan.
Juru
basa langkung ajrih, enggal medal lajeng numpak kareta ngerap. Sampun .matur
sadaya sasolahipun dinuta, Tuwan Besar sampun pasrah pangwasanipun ing loji
dhateng Jendral Gilepse. Pinudya danu, rinengga sinidikara jendral prang.
Lajeng damel panggung kadamel nyemprong salebeting kedhaton. Prajurit Cipai lir
solahing monyet, sarta.sampun ginenah-genah kang baris ing lelurung.
Prajurit
Natakusuman tuwin prajuriting Prangwedanan sarni kanthi Cipai utawi Enggris.
anunten kaptin mariyem prentah ambabadi pohun-pohun kang ngrembaka. Mariyem
sinuled. Jendral prang baris wonten totogan wetan. Kolonel kilenipun. Dene
lurung kang ler, mayor kalih kaptin. Tuwan Besar boten sah kalayan Pangeran
Natakusuma utawi kang putra kalih. Tuwin Pangeran Prangwadana wonten salebeting
loji ageng, boten pisah kalayan gurnadur.
Jangji
pareng mati saurip. Anunten wiwit anyipat wangunan, maryem sungsun-sungsun ing
karaton malesi. Baris sampun sami mapan, Enggris utawi prajurit Ngayogya
kalihipun boten nedya purun nyorok angrumiyini.
Kathah
tiyang pejah kenging mimis, tuwin pohun-pohun. Wangunan sami sempal kaprapal,
wondene kang para bupati sami kawar-kawur boten panggah anggagahi. Sami pating
blilulung, tiyang alit sarsaran miris dening mariyem Enggris. Sasonten gentos
pataran, ananging prajurit karaton sampun awis males. Kestabe-Upun kathah
kesah, boten betah ginrujug mimis.
Samanten
lajeng kasaput dalu. Kendel, ingkang sami prang. Tuwan Besar, anuduh abdinipun.
Raden Tumenggung Natadiningrat ken angedom nalika polahipun Kangjeng Sultan,
kalayan pirembagannipun. Andhekor utawi jengkar saking kadhaton. Mantri kalih,
sampun lumampah. Sami angrojod, saperti buruh.
Bucal
tandhaning Enggris, lampahipun anyimpang margi. Angsal warta, yen Kangjeng
Sultan dereng wegah. Teksih mempeng kapurunanipun. Sampun katur sadaya dhateng
Tuwan Besar.
Jendral
Gilepsi anebda ing Pangeran Natakusuma, “Saudara, sampun ngraosi bab prang. Eca
dhahar wonten meja kalayan Tuwan Besar, yen Gilepsi misih idhup amung mranani
pundi panggenanipun kang raka Sultan. Menggah prenahipun Utawi ruji trancangan
ginalebet tebel, pager banonipun boten polih wuluh sinapan”.
Wangsulanipun
Pangeran Natakusuma, “Tuwan, menggah rembag kula inggih amung den nenes ing
mariyem, sampun ngenggopi. Wataking tetiyang Jawi, mawut mesthi kangmas Sinuhun
Sultan kendhang. Sampun ngantos katiwasan, utawi tatu. Sayektos, salebeting
prang kula sanget boten saged aningaJi”.
Jendral
Gilepsi amangsuli, “Begjanipun kang’ raka, boten seda. Wit ning yen bebala,
mangidul ratu tamtu tinut ing bala. Kedhikipun tigang ewu, kalih ewu. Kula lami
wonten ing Ngayogya, temah ing Tanah Jawi. Yen kang raka Sultan nurut ingkang
percaya, tamtu boten kula sedani”.
Pangeran
Natakusuma sampun utusan melebet kedhaton tiyang estri abdenipun kang putra
Kangjeng Ratu Ayu. Begja saged medal. Aturipun, tetela yen ingkang Sinuhun
sampun ngongkang. Tansah solah ing galih. Boten kenging mosik, tansah lengleng,
gajah sela boten dhahar boten sare. Kang prawara, ngatas gelaring prangjenger.
boten winangsulan.
Parentah
sediya jengkar dhateng Krengsengsande. Mung ngandika, “Aja nimbangi kerep
pambedhilmu. Milu-muluwa adhimas Natakusuma kang sugih obat mimis.”
Tuwan
Besar langkung suka. Parekanipun ginanjar satus ringgit. Semanten jendral
utusan andel Natakusuman dhateng Semawis, bekta srat dhateng mepronipun kang
garwa.
Raden
Sindureja kang baris Jenu, utusan sakawan bineskup dipun suduki ing ngajeng,
sampun pejah. Sareng enjing, tuwan minister nedya angrangu Pangeran Dipati
kalayan tuwan sekretaris. Lurah Natadiningratan ingkang tinantun. Dumugi butulanipun
Jim Sing, minister saweg ungak-ungak lurung kadipaten, sampun salin ingkang
tugur prajurit kraton.
Mila
saking rehipun ingkang rama Sultan, kang putra Pangeran Dipati tinunjang.
Ananging ngepon, boten kersa medal Ruwet, dening kang paman Pangeran Natakusuma
wonten ing loji sarta kanthi Pangeran Prangwedana.
Sareng
pukul kalihwelas, kendel prang, bukak meja. Pukul sakawan, wiwit prang malih.
Pangeran Prangwadana, tinedah baris ing totogan sarta nganthi prajurit ing
Natasuman. Tuwan minister, adamel srat undhang dhateng tiyang sanagari saking
palimarmanipun. Ananging Jendral Gilepsi boten suka. Mangsa ora den bobot
dhewe, laraping mimis sumawur lan pucuking pedhang. Pangraping jaran, yaiku
minangka pemut. Tuwan minister dhateng totogan wetan. Amung Pangeran Dipati
kang wonten manah, dening siwah kalayan rancanganipun. Aturipun dhateng
jendral, “Rumiyin tiyang Ngayogya sampun sumuyud. Pangeran Dipati, boten damel
risaking kathah. Ing satemah, tiyang alit kathah kang pejah. Baluwarti ing kadipaten,
baris jejel, mariyem sami den iseni. Prajurit keprabon kang tugur, dede tiyang
kadipaten. Tuwan minister murugi pratandha sucining manah, ngobat-abitaken
srebet putih. Pengraosipun, tiyang Sultananan penungkulipun Gurpemen.
Wonten
punggawa ngajari, yen minister temen-temen ngajak wawuh. Pangeran Natakusuma
den aturana mriki. Pangeran Prangwedana, den singgahena. Minister mireng
langkung bingah, pengraosipun kang pitedah Pangeran Dipati, sumelanging galih
badhe panggih kang paman ingajak sareng dhateng loji. Minister enggal utusan
dhateng jendral. Pangeran Natakusuma den aturana sarta parentah Pangeran
Prangwedana kon mundur. Tuwan Besar enggal ngatag Pangeran Natakusuma, lajeng
mangkat kalayan kang pura kalih.
Prajurit
kraton priksa Pangeran kalayan kang putra, murugi baluwerti. Mempen,
ngatos-atos ngadhepi mariyemipun. Tiyang kadipaten kekes, gulune salit.
Pangeran Natakusuma pitaken ing minister, “Punika kadospundi, punapa prang
punapa mapag. Yen mapag, ingkang pinapag pundi?
Tuwan
minister asmu marang. Temah prawedana gegaman dede tiyang kadipaten. Wondene
tiyang kadipaten kathah ingkang ndhelik. Wonten lenger-lenger, boten saged
wicanten.
Tuwan
minister wangsul Pangran Natakusuma pitaken malih, Minister gedheg-gedheg.
Kados sampun pejah kabunuh kang rama. Prajurit Enggeris boten priksa wadosipun
minister. Sami kaken manahipun, amung selak kudu prang. Minister sanget
ngampah. Pangeran Natakusuma lajeng kondur, saha tuwan minister.
Sareng
pinanggih jendral, ngiwa sami rerembagan Tuwan Besar amung kalayan tuwan
minister. Pangeran kantun wonten njawi, sareng dalu bibaran dhateng loji malih.
Tuwan
Besar pitaken malih dhateng Pangeran Natakusuma, “Mungguh Cina si Jim Sing,
punapa wong ala, Punapa wong pened?”
Wangsulanipun
Pangeran Natakusurna, “Yen minister ingkang mastani sae, inggih sae. Aprituwan
tuwan minister kang nacad, tamtu Cina penyakit”.
Semanten
ing dalu wonten kabar Raden Sumadiningrat badhe nutup ing loji, kebon sadaya.
Bekakasing prang ingusungan dhateng ing loji wetan. Mariyem uluk-uluk ing dalu,
boten pegat prajurit ing dalu kathah sami nglolosi kesah. Wondene ing
salebeting kadhaton inggih busekan. Kabar dalu punika sinipat. Sanjata murtir,
jawah dahana. Tratak, wangunan welit, den dhadheli. Pangeran Mangkudiningrat
ingkang anjenengi. Putra tuwin sentana kang setya ing ratu, pepak dumunung
wonten salebeting kadhaton.
Ciptaning
Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan, boten liya kang den ajeng-ajeng amung rekane
kang putra Pangeran Mangkudiningrat, sayoga sumilih Pangeran Dipati. Uatawi
kang raka Pangeran Ngabehi boten kenging benggang.
Mangka
jimat, pinetri dening Pangeran Dipati, sampun boten kenging malebet kadhaton.
Rinengkuh satru, manahing kawula bingung. Atusan kang minggat ing wengi.
Raden
Sumadiningrat sampun benggang sareng metek prakawis embok dadi pasrahan dhateng
loji, ulatipunt biyas. Byar rahina, nuju dinten Jumungah boten patos w’onten
prang. Amung petar-petaran.
Jendral
prang langkung muring-muring. Mangun bicara, sedya amukul kadhaton. Sampun
ginambar sedaya kenaka wanguning genthan.
‘
Pinrapat ingkang prajurit, sinidhang den awas kidul ingkang sinantosan. Jendral
Gilepsi nedya mungkasi prang. Boten bedhah ing sadinten benjing enjing, Tuwan
Gilepsi langkung wirang. Pangeran Natakusuma pinanggil ningali gambaring karaton.
Karsaning jendral, ngamuk wuta ngobrak-abrik samantara isining kadhaton.
Lajeng
mundhut balok, kadamel andha kalayan bambu sampun mirantos sadaya. Tuwan Besar
mundhut abdi Natakusuman, mantri ingkang prayogi methuk bantuning prang, sampun
mangkat. Kapethuk wonten margi, kathahipun tigang atus. Tindhih, mayor
satunggal. Tuwan Besar langkung duka.
Sareng
dalu adamel piranti ngrangsang beteng. Enjing tiyang Natakusuman,
Natadiningratan, tuwin ing Prangwadanan, sampun pinatah-patah ginenah,
pinanci-panci kang mangetan, mangidul, utawi ingkang mangileri.
Tuwan
Besar, boten sah amung kalayan Pangeran Natakusuma utawi kang putra. Wanci
pukul tiga sampun tata lampah, sampun mangkat.
Jendral
Ginepsi langkung krodha. Prajurit mancanagara, Pangeran Dipakusuma, Tumenggung
Danunagara kelulun, dhadhal lumajeng. Tiyang lebet sinrang sura. Para prajurit
Dhaeng kawon, tetindhihipun Tumenggung Ranadiningrat tatu.
Tuwan
minister sampun lumebet ing kadipaten kapanggih sepi. Pangeran Dipati, lumajar
ngilen sedya ngumpul salebeting kadhaton. Kang rayi Pangeran Jayakusuma nginepi
kori, lajeng ngungsi dhateng taman. Abdinipun buyar sadaya. Amung ampil kang
ndherek, utawi garwa putranipun.
Pangeran
Dipati kekudhung pratandha Enggris. Jendral Gilepsi, waspaos tiyang kudhung
pratandha, cinepeng estu Pangeran Dipati kang badhe ingangkat Sultan.
Ingurmatan, kinanthi astanipun sarta pinrenahaken nggen kang kiwa.
Jendral
Gilepsi lajeng ngupadosi Kangjeng Sultan ing pundi panggenanipun. Ingkang baris
wetan, Pangeran Adinagara sampun prang kalayan mayor. Putranipun kathah kang
tiwas. Pangeran Adinagara lumajeng, Raden Sumadiningrat ing baluwarti kidul
wetan enggenipun baris kanthi Kyai Tumenggung Martalaya. Sampun prang kalayan
Pangeran Prangwadana.
Langkung
rame, gentos kalindhih. Mayor saking ler, anglambung dhateng Raden
Sumadiningrat. Kyai Tumenggung Martalaya lumajar. Raden Sumadiningrat pejah.
Kang wonten alun-alun kidul prajurit Belambangan, mantri cublin arahan dhusun
Tindhih.
Prawiranata,
Panjang, Brangtakusuma, sampun kawon prang kalayan prajurit Cipai. Ingkang
wonten ngalun-alun ler ing pagelaran, Tumenggung Prawiradiwirya sampun kawon.
Para Pangeran kang wonten sitinggil, kang sagah tresna ing ratu, sami lumajar.
Para
prajurit, pelajaripun medal ing palataran. Sedaya putra ingkang wonten kadhaton
ngadhangi kang lumajar. Ananging sampun boten keringan. Pangeran
Mangkudiningrat nangis, sumungkem ing padanipun kang rama. Kados tungkeping
rat, sadaya supe. Estu dedukane kang Mahakuwasa, kang dhumawuh ing Kangjeng
Sultan, boten kenging dipun tulaki.
Kang
Sinuhun langkung lengleng, tangis abata rubuh. Sanget kapetek ing galih,
ngenes. Daleming lenggah kados seda wonten dhampar, animbali Puspakusuma.
Sinungan bandera putih. “Sira, sunkongkon menyang loji. T.emua adhimas Natakusuma.
Ingsun njaluk apurane. Ing sasurute kang suwarga, salawase adhiku idhep menyang
ingsun. Kurange pemuleningsun, apadene kabeh kaluputan aku wis angrasa. Dene
iki, luluse jenengingsun tamtu amung adhimas rewangku tunggu nagara. Lan ingsun
titip anake Ki Mangkudiningrat den pracayakna ing jendral, dadiya Pangeran
Dipati.
Kakangane
den buwanga, ingsun wus ora sudi. Lan ingsun wus ngakeni salah. Kalah prang,
njaluk brenti prang. Biluk ing Gupremen”,
Puspakusuma
enggal mangkat. Kepareng Raden Mas salya sampun ngrampit pagelaran kepanggih
Puspakusuma. Lajeng den irid sowan kang rama, sampun putus sadaya punapa
sawelingipun Ingkang Sinuhun. Pangeran Natakusuma mireng tengkung angres kang
galih. “Puspakusuma, matura menyang Kangjeng Sultan. Ing saiki, wus nora bisa
nututi balang tiba. Wong Enggris wis akeh mati. Lidok pabatangku ora nalisir
sarambut, endi sihh kang tresna. Anggugu wong ndaleming, banget ora pyandel
menyang aku. Aku karo kangmas Sinuhun, wis andungkap kaki-kaki. Gus Mahmud dudu
putuku dhewe. Kang sarira panas prih katempuh memala gedhe. Rusake tinut wong
sabumi. Iki sulih Tuwan Besar, becik matura kang trang”.
Tuwan
Besar anyentak, “Temuadhewe lan aku, apa kang winicara undangen tekaa ing
loji”. Otusan guras wangsul dhateng kadhaton. Semanten pangeran Dipati sampun
kepanggih kalayan sekretaris, Suka kang galih, ngrasa yen gesang. Nanging
busananipun garwa putra, telas pinalocodan prajurit Cipai kang resah.
Tuwan
sekretaris, sanget mrinani, kalihe mbrebes mili ingaturan dhateng loji. Pangeran
Panular boten kantun, manut ing putra. Mantri Natasuman kang ndherekaken,
Pangeran Dipati sampun rawuh ing loji, sampun panggih Tuwan Besar. Pangeran
Dipati rinangkul kang paman.
Ingaturan,
“Paman tiyang sepuh kula, adhi Natadiningrat sadulurku yekti”. Pangeran Panular
nangis, angrangkul sampeyaning raka muled pada. Lajeng dhateng Pangeran Dipati,
“Dika kang dadi ratu. Kang rama Sultan kula purtil. Yen boten miturut, kula
bunuh”. Pangeran Dipati mireng, bembreng. Sami sekedhap sedyanipun ingkang sarta
sumungkem- wentisipun. Jendral mangsuli, “Trima kasih banyak-banyak”.
Wondene
Jendral Gilepsi ngosak-asik panggenanipun Kangjeng Sultan, kabar wonten taman
Suranatan kang den jaga. Srawungan kalayan tiyang keplajar, kabutuh pojoking
banon.Wonten sarageni satunggal, nyanjata sambi lumajar. Jendral Gilesi kenging
baunipun, butul. Dragunder lajeng ngedrel tiyang lumajar. Kabutuh banon, tiyang
pejah tanpa wicalan. Lajeng malebet ing kadhaton. Tuwan Gilepsi langkung nepsu
katuju minister, dhateng Jendral Gilepsi dipun gondheli.
Kangjeng
Sultan ing galih langkung gumeter amulet kang raka Pangeran Ngabehi..Nanging
sampun luwasing damel, kalayan saweg gerah. Jendral Gilepsi ningali Kangjeng
Sultan, tambah kang bendu. Tuwan minister angarih-arih lajeng wangsul dhateng
loji. Tuwan minister nunten tabeyan kalayan Kangjeng Sultan, sarta pedhangipun
tininggal, para putra santana jomblong sadaya. Minister tansah netah-netah,
rumiyin mila Kangjeng Sultan atur kula boten dhinahar. Punika sae dadosipun,
Lebur papan tulis, dedukanipun gurnadur saking tuwan pyambak, mupung-mupung ing
praniti. Kangjeng Sultan sret pangandikanipun, “Apan uwis kelakon. Luputku, apa
ingkang den rasani ingsun mintak ampun banyak-banyak. Ananging ta, awakingsun
wis ora kanggo dadi ratu, iya uwis. Dene panedhaku kang gumanti ingsun amung
Mangkudiningrat. Yen kang dadi si Dipati, ora Ula ing dunya tumeka ing akerat.
Mulane
lelakonku pecah crah lan Gupremen, iya simengkono kang mawa njlomprongake ing
bapa. Sapa bisa nglakoni, jinegal anak lanang”.
Tuwan
minister aturipun, “Inggih sampun kekathahen pangandika. Tuwan Sultan pinanggih
jendral dhateng loji sami rembagan. Pangeran Mangkudiningrat badhe ingangkat
ratu. Dene Pangeran Dipati binucal dhateng laut. Mugi enggal sampun kelayadan,
suwawi tedhak dhateng loji.”
Kang
Sinuhun awrat ing galih. Prajurit Enggris saya katah kang dhateng, ing
palataran penuh. Pangeran Mangkudiningrat mothah, sarwi nangis. Kang rama,
ginelak-gelak enggala dhateng loji. Boten priksa, upaya sandi denya ujar
sayektos.
Tuwan
minister lajeng anyepeng astanipun Kangjeng Sultan, kinanthi. Pangeran Ngabehi
kang manah glana, ajrih tumut dhateng loji. Para putra buyar, kathah umpetan.
Ingkang Sinuhun mangkat indak ririh kinubeng pedhang leligan.
Prajurit
Natakusuman angapit. Tiyang lebet, sakantunipun sami ndherek wangsul margi.
Amung putra tiga kang dherek. Pangeran Mangkudiningrat, Pangeran Martasana,
Raden Mas Yakup. Sentana Pangeran Demang, Pangeran Kusumayuda, Martanagara,
Yudawijaya, sami manut kang rama.
Sumawijaya
langkung boten gewang tresnaning ratu, Kangjeng Sultan rawuh ing loji kebon.
Tuwan Besar, wonten ing loji wetan. Minister ngatas, kados pundi kang karsa
Kangjeng Sultan.
Parentah
ken nglajengaken sarta Kangjeng Pangeran Dipati, Pangeran Natakusuma tuwin kang
putra. Yen Kangjeng Sultan katingal sampun wonten ewah saking palenggahan.
Ingkang Sinuhun langkung masemohan, ngajeng Pangeran Dipati masang semu
ngedhangkrang, sarwi ngraketi ing jendral.
Kangjeng
Pangeran Natakusuma, mamar mangres kang galih. Istipar daleming dagih, tumon
ing Pangeran Dipati. Sareng celak, katingal warnanipun kang raka tumungkul,
waspa mbrabas boten saged ningali ingkang raka. Punapa malih kados mugut
yuswaning idhup. Lir boten ningali ing dalem dunya. Sumingep kang paningal.
Raden Tumenggung Natadiningrat utawi kang rayi boten aningali. Mangres kang
galih, angesahi.
Tuwan
minister menging. Kurang sobat lan Enggris, nganggo was-was. Mandheg mangu,
pundi kang dados daruna. Sampun mantun ngrenggani karaton.
Pangeran
Dipati mireng, wewah malang kadhak. Kangjeng Sultan lajeng kaeres, wonten ing
gedhong eler kalayan kang putra sentana tuwin Sumadiwirya’.
Tuwan
minister matur ing Pangran Natakusuma. “Sinten sobat kang sayektos, pesthi
nunten ingampunan Tuwan Besar”.
Wangsulanipun,
“Sadaya atas sami. Amung anak Mangkudiningrat kalayan adhimas Kusumayuda
amelasaken sasolahipun priksa ing dhiri, menawi tiyang alit”.
Minister
matur ing jendral. Pangeran kalih nunten kaluwaran. Sadaya sami dhateng ing
loji kilen. Tuwan Besar lenggah wonten palowanu kalayan Pangeran Dipati utawi
kang garwa kekalih.
Tandha
lamun nggentosi madeg Sultan. Pangeran Natakusuma pinasrahaken angubengl
kadhaton mbekta parentah Gupremen ungundhangi tiyang Jawi sadaya.
Ing
mangke kang dados ratu, Pangeran Dipati. Tiyang Ngayogya ngumpula kang enak
manahipun. Boten ewah kalayan adat. Kang parentah, Tuwan Besar Tomas Setamprot
Raplesen sarta Gurnadur Jendral.
Pangeran
Natakusuma lumayar kalayan kang putra tuwin kang abdi, prajurit kumetar litnan
satunggal ingkang njujug salebeting kadhaton.
Sampun
rawuh ing srimanganti, lajeng malebet kadhaton. Pangeran Natakusuma, boten mawi
kumedhap saking titihanipun, aningali kang raka Pangeran Ngabehi rinubung
Cipai. Tuwin kang putra wayah sampun sami risak busananipun. Prajurit Cipai
sinapih pinengetaken lajeng sami bibaran.
Pangeran
Behi ingaturan sarta kang sabar ngantosi parentah jendral. Para Den Ayu sami
ngumpul dados satunggal. Ananging, barangipun sampun sami teias. Kangjeng Ratu
Kedhaton sampun manggih pamrina saking kudhung pratandha Enggris saking kang
putra, boten priksa sabarangipun lebur.
Pangeran
Natakusuma lajeng medal saking kedhaton angubengi lurung, sepi boten wonten
tiyang langkung. Kang abdi ken parentah undhang ngangkat Sultan.
Patih
Danureja, kacriyos ing nahka utusan sampun angsal penjawilipun minister
sarehanipun. Saking Jambu singidan wonten dhusun, pisungsung kabekta.
Sareng
nagari bedhah, malebet dhateng nagari sowan ing Tuwan Besar, ngaturaken
pisungsung. Jendral sampun narima kasrah Pangeran Dipati.
Tuwan
Besar malebet kadhaton, boten kantun Patih Danureja. Pangeran Prangwadana
ndherek tuwan minister, kantun anata tempat mantri. Pangeran Dipati sampun
nusul malebet kadhaton. Pangeran Natakusuma saking kilen kapethuk minister
ngajak wangsul Pangeran boten karsa, “Tuwan, dede garapan kula nguni-uni njro
kadhaton. Kula ken parentah ingkang sampun”.
Tuwan
minister wangsulanipun, “Sakathahipun para bupati, dipun kalempakna dhateng
loji. Tuwan Pangeran kang nimbali. Yen boten purun tunjuk muka, sadaya tiyang
Ngayogya dhateng Pangeran boten inganggep dhateng Tuwan Besar”.
Tuwan
minister lajeng dhateng kedhaton. Raden Tumenggung Natadiningrat utawi kang
rayi ingajak saabdinipun sadaya ken ngusung keton pesmat. Jim Sing kalayan
sekretaris, boten kantun minister.
Pangeran
Natakusuma lajeng dhateng loji kebon, Boten dangu wonten utusanipun Tuwan Besar
animbali Pangeran, sampun malebet.
Jendral mubeng, pepriksa sarta parentah ing Dipati Danureja. Barang tuduhipun
Pangeran ken nglampahi. Enggal Danureja matur sandika. Tuwan Besar ngandika
dhateng Pangeran Natakusuma, “Sekathahe tilarane kang raka, mungguh wong wadon
kula mangsa boronga Pangeran. Amung rajabrana punika atas kagunganing
Gupremen”.
Pangeran
mangsuh, “Trima kasih”, lajeng parentah Patih Danureja ken nenggani sadaya.
Para estri pinarnah kadhaton wetan. Tuwan Besar nunten miyos. Pangeran Ngabehi
kabekta. Para putra kang sami singidan ngatirigal, lajeng ndherek ngiring
Pangeran Natakusuma. Kangjeng Ratu Kancanawulan kedah tumut ing besanipun
dhateng loji. Kawangsulan, sonten prayogi, kalayan ngantosi kang putra.
Semanten para pratiwa, niyaka, jatha, mantri, sadaya sampun sami sowan ing
Pangeran Natakusuma, tuwin mancanagari sadaya.
Sareng
sonten Raden Tumenggung Natadiningrat methuk mara sepuhipun. Raden Ayu tetiga
kang kedah tumut ndherek, sampun rawuh ing loji. Gumerah kang tangis, lir
kapejahan. Semanten Mas Gandadiwirya ngraos kapinten awakipun, dhateng Pangeran
Natakusuma, ciri dene sekuthu kalayan patih kang sampun pejah. Dhaterg kang
gumantos ratu, tan wande siniya-siya, sebab kekasihipun kang rama. Lajeng
cumanthel tiyang kadipaten, katengga griyanipun. Babah Jim Sing rumeksa barang
tuwin tiyang estri. Sareng dalu Mas Gandadiwirya kang nunggil tiyang kadipaten,
tansah ingilas-ilas. Jim Sing tumut nguwus-uwus. Mas Gandadiwirya liwung, suka
pejah anglabuhi ratunipun. Wanci bangun rahina ngamuk, tiyang pejah langkung
kathah. Babah Jim Sing, tatunipurt kerep. Nanging taksih gesang. Ing Pacinan
geger. Cipai kang njagi, tetulung ngedreli tiyang kadipaten. Cilaka saya kathah
kang pejah. Kang ngamuk medal, tinampen sanjata. Mas Gandadiwirya sampun pejah,
enjing piskal dhateng Pacinan.
Tiyang
kang taksih gesang, cinepengan. Bangke ingusung, pinardata nalaripun. Tuwan
minister sanget nepsu. Ajrih, isin dhateng jendral, dening tiyang kadipaten
boten ngarusi. Pangeran Mangkudiningrat kang dados aseman. Prakawis sandinipun
Tuwan minister, pengamukipun Mas Gandadiwirya atas pakoning kang rama. Pangeran
Mangkudiningrat ginrumug Enggris tuwin Cipai. Pitaken nalar, boten wonten
ingkang mangsuli. Pangeran Mangkudiningrat tinutup wonten ing loji wetan,
pinisah kalayan’ ingkang rama.
Tuwan
minister enggal ngaturi Pangeran Natakusuma, “Pangeran, kula boten nduga si Jim
Sing sinandhang bilahi, den amuk Gandadiwirya. Yen tetep Pangeran
Mangkudiningrat kang ngajani, sanadyan anak ratu, bakal kula gantung. Punapa
dene Sultan tamtu kula sedani”.
Wangsulanipun
Pangeran Natakusuma, “Kados tebih yen pakoning kangmas Sultan. Menggah anak
Mangkudiningrat, kula boten saged nukup. Kalayan sinten ingkang kautus dhateng
Kangjeng Sultan?”. Tuwan Besar suka priksa dhateng Pangeran Natakusuma, yen
Pangeran Mangkudiningrat sireping tiyang nusul dhateng kamar jendral, sampun
sare. Nedha lenggah tigang ewu dados Pangran Dipati Sampun adat lumrahe wong
dadi ratu, anake dhewe kang cinadhang anama Pangran Dipati, kudu sadulur kang
dados.
Sapunika,
kula ken nutup malih lan sahe sudarmane, sedheng nglabuhana kang sinung sabda
langkung gegetun. Jendral lajeng malebet kamar. Tuwan minister bebisik Pangeran
Dipati, “Boten saged anglampahi dados ratu bilih teksih adhinipun Pangeran
Mangkudiningrat wonten Tanah Jawi. Mila kawangsulaken tinutup. Dene
palimarmane, tuwan jendral sampun tarima kasih”.
Pangeran
Natakusuma kendel ngartika ing galih. Nalika bedhah Nagari Ngayogya, Setu
enjing. Akad sonten, pukul gangsal Pangeran Dipati ingangkat ratu, pepak para
ageng-ageng.
Jendral
teksih wonten kamar kalayan Pangeran Natakusuma. Sasampuning bicara, Tuwan
Besar nunten miyos. Pangeran Dipati dhateng palowanu, sampun tata
lenggahanipun. Juru basa lajeng maosaken srat parentah Gurnadur Jendral.
Sultan. Sepuh ing mangke sampun kamantunan dene kathah cacadipun. Kaping kalih,
sring dora angimpe umur.
Ping
tiga, boten damel eca rongehing kawula ageng alit. Sayogyane ingkang putra kang
nggentosi, Pangeran Adipati, Sultan Amengkubuwana ping telu Ngayogyakarta.
Raden Mas Bagus sinengkakaken ngaluhur dados Pangeran Dipati Anom
Amengkunegara. Sapa ora mituhu, pasthi mungsuh Gupremen – Sadaya ingkang sowan
sami jumurung. Anunten Sultan baru, sinungan dhuwung pusaka bandhangan saking
kang rama. Utawi ingkang putra Pangeran Dipati lajeng agung-agungan Enggris
tetabeyan. Tiyang Jawi boten ewah kados adadipun ingkang sampun kalampahan.
Anunten
Sultan anyar kondur dhateng kadipaten. Sabab ing kadhaton taksih kotor bangke,
rudira. Semanten Pangeran Natakusuma tansah kalayan Tuwan Besar. Ing
sakarsanipun, Pangeran linire. Yen karsa wonten Demak, utawi senenging Bumija.
Ing benjing kang wonten ing Sala kumpul. Pangeran boten kalereh ing ratu yen
wonten para ratu kang mungkar, dadiya gitik.
Tuwan
minister nambungi, “Beteng karaton kula radin. Lan Sultan dipun kirangi
saradhadhu. Sedaya para santana tuwin para bupati boten wenang gadhah prajurit
saking sadasa. Mriyem karaton kula rumb.ag sadaya. Senapan Ngayogya,
kaparingaken Pangeran. Ratune rfiung ukur-ukur, dene tanah ing Bumija
nggegembese Tanah Jawa. Arta pinten, pangraose dhateng gupremen”. Pangeran
Natakusuma aturipun, “Sumangga, pangreh Gupremen.
Awrat
entheng, mawrat utawi nginten, ametawis Gupremen sampun rugi. Ingkang lampah
sampun ngantos masakat”. Minister matur ing Tuwan Besar, “Sampun, inggih
kapanggiha kula kalayan Pangeran. Ing wingking tamtu kula rembag”.
Pangeran
Natakusuma nunten atur pratandha warni dhuwungdhateng jendral kekalih, utawi
dhateng minister pyambak. Sarta mratelakaken menggah tiyang estri tetilaranipun
Kangjeng Sultan sumangga ing asta kalih, menawi wonten karsanipun Tuwan Besar,
Jendral narima kasih, boten kersa.
Sareng
sonten, Tuwan Besar malebet karaton, saha para ageng-ageng Gupremen. Pangeran
Natakusuma kalayan ingkang putra kekalih, Pangeran Prangwadana boten kantun.
Kangjeng Sultan dereng pindhah kadhaton. Jendral sampun rawuh kendel wonten
srimanganti. Tuwan minister nusul ngaturi gupuh pelajengan. Kangjeng. Sultan
kusung-kusung, esmu jrih. Sampun rawuh salebeting kadhaton, aglar wonten ing
pendhapa. Pepak sadaya ingkang sowan, juru basa Krisman lajeng maosaken serat.
Ingkang parentah Gurnadur Jendral, Pangeran Natakusuma ingangkat anama Kangjeng
Pangeran Adipati Pakualam Sudibya, putraning Gurnadur Jendral.
Raden
Tumenggung Natadiningrat sinungan nama Pangeran Arya Surya diningrat. Ingkang
rayi, Raden Mas Salya, anama Pangeran Arya Suryaningprang.
Kangjeng
Sultan nangga asta, sebda langkung jumurung. Sampun mupakat sadaya ingkang sami
sowan. Kangjeng Sultan ngandika dhateng kang paman, “Kangjeng Pangeran Adipati
Pakualam dipun ngraos sepuh. Sampun supe, gegentose kang rama. Kula ratu lola.”
Aming
kawangsulan, “Inggih”, lajeng sami luwaran. Tuwan Besar, rawuh loji, Pangeran
Dipati ngandika ingminister. “Menggah kangmas Sultan kados pundi. Wekasipun,
benjing dening sampun tanpa karsa. Telas
galihipun, menawi ingapunten jendral, andhedheprok mungkul ngibadah. Nrima,
bumi sakalasa amung sampun kesah saking Tanah Jawi.”
Wangsulanipun
tuwan minister, “Dede, pangeran, atasipun yen menggah prakawis punika. Awrat,
kedah nanggel. Langkunglangkung putranipun payambak jumeneng ratu. Namung tamtu
yen walang gahh” Sareng wanci bangun, Tuwan Besar budhol kondur. Pangeran
Prangwadana anyarengi antukipun. Pangeran Suryaningrat, Pangeran
Suryaningprang, andherekaken Tuwan Besar dumugi Kartasura, ndikakaken wangsul.
Kocap
ing Surakarta, kineker ing piangkah dhateng Kangjeng Gupremen. Kestorinipun
pinapas abebanten pepatihipun, Dipati Cakranagara kalayan Demang Ranawijaya,
bilahi kabucal. Wondene ing Nagari Ngayogya sawarnenipun kang rinaket
kekasihipun Kangjeng Sultan Sepuh, ingkang priksa wadi utawi kang asring kautus
dhateng Surakarta, tinutup Karsanipun kadamel bebilasan. Sultan Baru singlar
solahing rama bebantentiyang alit mamrih kandel dhateng tuwan minister.
Semanten
Sultan Sepuh, prekawisipun sampun putus. Kang putra kalajeng supenipun, tangeh
karsa ananggung kang rama, inganggep satru. Lajeng kabucal dhateng Pulo Pinang.
Angkatipun kalayan ingkang putra kalih.
Sigeg,
cariyos Nagari Ngayogya lan Nagari Surakarta. Rampunging panededhak ing dinten
Saptu, tanggal kaping 17 Wulan Jumadilawal, ing taun Jimawal, angka 1853 utawi
kaping 6 Januari 1923.


