Kakawin Sumanasantaka
Kerajaan Kediri berdiri pada abad ke-11
dengan Sri Samarawijaya sebagai raja pertamanya. Selama hampir dua abad
berkuasa, kerajaan ini mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Raja
Jayabaya (1135-1159). Di bawah kekuasaan Raja Jayabaya, bidang sastra
berkembang pesat, sedangkan wilayah kekuasaannya meliputi beberapa pulau di
Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan Sriwijaya. Pada masa
Kerajaan Kediri banyak terlahir karya sastra. Bahkan periode kekuasaannya
Kediri disebut sebagai zaman keemasan Jawa kuno. Sebab, dari masa ini
dihasilkan karya-karya sastra, terutama dalam bentuk kakawin, yang sangat
penting dan bermutu tinggi. Salah satu alasan karya sastra di Kerajaan Kediri
berkembang pesat adalah berkat perhatian raja-rajanya terhadap kehidupan
kebudayaan kerajaan, terutama dalam hal kesusastraan. Selain itu, para pujangga
juga kebebasan berpikir dalam mengembangkan seni sastra oleh rajanya.
Beberapa pujangga terkenal dari Kerajaan
Kediri adalah Mpu Sedah, Mpu Panuluh, dan Mpu Tanakung. Berikut ini karya
sastra peninggalan Kerajaan Kediri :
1. Kitab
Bharatayuddha Salah satu karya sastra yang terkenal di Kerajaan Kediri adalah
Kitab Bharatayuddha, yang ditulis oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada zaman
kekuasaan Raja Jayabaya (1135-1159). Cerita Kitab Bharatayudha merupakan
penggalan dari Kitab Mahabharata, yang mengisahkan tentang perang 18 hari
antara Pandawa dan Kurawa di Padang Kuruksetra yang dikenal sebagai Perang
Bharatayuddha. Dalam gubahan Kitab Bharatayuddha, nama Jayabaya kerap disebut
sebagai bentuk sanjungan terhadap raja. Kitab ini selesai ditulis pada 6
November 1157.
2. Kitab
Kresnayana Kitab Kresnayana ditulis oleh Mpu Triguna pada masa pemerintahan
Raja Jayaswara, yang memerintah Kediri antara 1104-1115. Isi kitab ini
menceritakan tentang perkawinan antara Kresna dan Dewi Rukmini.
3. Kitab
Smaradahana Karya sastra pada masa Kerajaan Kediri yang berisi tentang pemujaan
Raja Kediri adalah Kitab Smaradhana. Kitab ini menceritakan tentang sepasang
suami istri, Smara dan Rati, yang menggoda Dewa Syiwa yang sedang bertapa.
Smara dan Rati akhirnya terkena kutukan dan mati terbakar oleh api (dahana)
karena kesaktian Dewa Syiwa. Akan tetapi, mereka dihidupkan kembali dan
menjelma sebagai Kameswara dan permaisurinya. Kitab Smaradahana ditulis pada
zaman Raja Kameswara (1190-1200) oleh Mpu Darmaja, yang juga terkenal dengan
karyanya Cerita Panji.
4. Kitab
Lubdaka Kitab Lubdaka ditulis oleh Mpu Tanakung pada zaman Raja Kameswara, yang
berkuasa antara 1190-1200. Kitab ini bercerita tentang seorang pemburu bernama
Lubdaka yang mengadakan pemujaan terhadap Dewa Syiwa sehingga rohnya yang
semestinya masuk neraka menjadi masuk surga.
Kitab Sumanasantaka
Kitab Sumanasantaka adalah sebuah puisi
(kakawin) berbahasa Jawa Kuno yang ditulis oleh Mpu Monaguna pada masa Sri
Jayawarsa (1104-1115). Mpu Monaguna menggubah karyanya ini berdasarkan kitab
milik penyair terkenal dari India. Kitab Sumanasantaka berisi lebih dari 1.100
bait, yang terdiri atas bait pemujaan, narasi, dan epilog. Kitab Hariwangsa
Selain Kitab Bharatayuddha, Mpu Panuluh sendiri juga menggubah Kitab Hariwangsa
ketika Raja Jayabaya (1135-1159) berkuasa. Kitab ini menceritakan kisah ketika
Prabu Kresna, yang merupakan titisan Batara Wisnu, yang menikah dengan Dewi
Rukmini, titisan Dewi Sri. Baca juga: Kitab Mahabharata: Penulis, Isi, dan
Kisahnya Kitab Gatotkacasraya Kitab Gatotkacasraya merupakan karya Mpu Panuluh
pada masa Raja Kertajaya (1200-1222). Isi kitab ini menceritakan tentang
perkawinan putra Arjuna yang bernama Abimanyu dan Siti Sundhari dengan bantuan
Gatotkaca. Kitab Wertasancaya Pada masa kekuasaan Raja Kameswara (1190-1200),
lahirlah Kitab Wertasancaya karangan Mpu Tanakung. Kitab ini merupakan buku
puisi yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik.
Kakawin Sumanasantaka (Mati
karena Bunga Sumanasa, karya Mpu Monaguna)
Kakawin Sumanasantaka, puisi epik abad
ke-13 karya Mpu Monaguna, adalah sebuah gubahan kedalam bahasa Jawa Kuno dari
cerita Kalidasa tentang Pangeran Aja dan Putri Indumati yang dikisahkan dalam
Raghuvamsa, karya berbahasa Sanskerta yang termasyur. Dalam kakawin ini, sang
pujangga memanfaatkan cerita yang menjadi sumbernya untuk melukiskan dan
membahas kehidupan di alam Jawa pada masanya.
Dalam buku
Sumanasantaka; Mati karena Bunga Sumanasa karya Mpu Mpu Monaguna ini,
para penulis mempersembahkan suntingan dan terjemahan kakawin karangan Mpu
Monaguna, dengan menyertakan pendahuluan mengenai penyuntingan naskah-naskah
dan sejarah kakawin ini maupun ceritanya, terutama dalam kaitan dengan Raghuvamsa.
Teks dan terjemahan dilengkapi dengan komentar berupa keterangan panjang lebar
atas masalah-masalah yang dihadapi para penulis dalam menafsirkan teks.
Isi dari kitab Sumanasantaka
Kitab Sumanasantaka menceritakan bidadari
yang dikutuk lalu menikah dengan seorang raja dan melahirkan seorang putra yang
bernama Dasaratha yang kemudian menjadi ayah dari Rama di Ayodya. Kitab ini
ditulis oleh Empu Monaguna pada kurang lebih tahun 1104, pada masa pemerintahan
Prabu Warsa Jaya di Kediri.
Sumanasantaka (versi 2)
Kakawin Sumanasantaka dimulai dengan
pemujaan kepada Sang Hyang Hyang yang disthanakan pada lembar tulis Sang Kawi.
Sang Hyang Hyang adalah Shiwa yang ‘dialami’ sebagai hakikat Aksara itu
sendiri. Bijaksara [benih aksara] tersebar baik di atas lembar tulis maupun di
balik keindahan alam.
Setelah pemujaan itu, diperkenalkan tokoh
Trnawindu, seorang pandita taruna yang telah menguasai ajaran gurunya, Bhagawan
Agastya. Ia menjalankan ajaran gurunya dengan Tapa, yaitu memanaskan dengan
menutup semua lubang, dan dengan Japam, yaitu pemusatan pikiran dengan menyebut
berulang-ulang silabel suci terpilih yang luar biasa ketatnya. Samadhi, yaitu
keheningan Buddhi suci tingkatan tertinggi dalam Yoga telah pula dicapainya.
Yoga dijadikan sarana sehingga seluruh indera takluk di hadapannya. Pikiran
sebagai raja indera juga telah takluk. Ia pun menguasai Astha Eswarya [delapan
jenis kesaktian pikiran]. Dengan delapan kesaktian pikiran itu ia mencapai
tingkat kesadaran Sadashiwa.
Kehebatan Trnawindu ternyata mencemaskan
para dewa di sorga. Dewa Indra kemudian menugaskan bidadari Dyah Harini, yang
kecantikan badan kasamya bisa melemahkan pikiran setiap yang melihatnya.
Kehalusan bahasa serta keindahan pikirannya menyebabkan orang bisa terperangkap
tanpa jaring. Dia juga konon telah mendapatkan delapan kesaktian pikiran itu.
Tugasnya satu, menggagalkan tapa Trnawindu. Hanya karena rasa bakti, ia
menerima tugas itu walau tahu sangat berbahaya, karena itu bukan Swadharmanya.
Swadharma adalah panggilan tugas-kerja (gina) berdasarkan kualitas diri (guna).
Sia-sialah orang yang mengerjakan apa yang bukan Swadharmanya walau bhakti
sekalipun sebagai alasannya. Maka Dyah Harini pun berangkat diam-diam
menyongsong kesia-siaan itu.
Perjalanan Dyah Harini dan alam Dewa menuju
dunia manusia melalui angkasa menerobos awan. Sulitnya perjalanan itu, dan
membayangkan berbahayanya tugas yang diemban, menyebabkan ia secara diam-diam
memohon belas kasihan Sang Hyang Ishwara. Ia melewati puncak Panca Giri [lima
gunung] yang terletak di lima arah mata angin langit. Dan puncak gunung
Gandhamadana ia melihat sebuah pertapaan di lereng selatan gunung Himawan.
Memancar cahaya dan pertapaan itu menandakan pertapanya telah menguasai indera.
Asap pahoman menjulang tak putus-putus seperti Ongkara lengkap dengan Windu dan
Nada. Dyah Harini bergerak menuju sasaran. Setelah siap mempertontonkan
kecantikannya untuk membangkitkan nafsu birahi, ia pun lantas duduk di sebuah
balai kecil.
Ketika itu Trnawindu sedang memuja Shiwa
denganjapam. Ia mengolah Triguna-Tattwa dengan membasmi Guna-Tamah memakai api
Guna-Rajah, sehingga Guna-Satwam terus terjaga. Ia pun mencapai tingkatan
Asthaguna. Tingkatan Moksa sudah hampir dicapainya. Ia hanya terpisahkan
selembar kelir dengan Shiwa. Kelir itu tiada lain badan jasmaninya sendiri.
Setelah usai memuja, ia pun berjalan-jalan di sekitar pertapaan. Dilihatnya
Dyah Harini. Ia pun menyapa.
Kakawin Sumanasantaka (versi 3)
Kakawin Sumanasantaka atau Kakawin
Sumanasāntaka adalah sebuah puisi epik berbahasa Jawa Kuno abad ke-13 karya Mpu
Monaguṇa. Pujangga Kediri ini menuliskan kakawin epik karyanya berdasarkan
mahākāvya Raghuvaṃśa karya Kālidāsa, seorang penyair terkenal abad ke-5 dari
India. Kakawin dari periode Jawa timur ini dimulai dengan bait pemujaan, diikuti
narasi, dan diakhiri epilog. Kakawin Sumanasantaka memiliki panjang lebih dari
seribu seratus bait. Pemujaan dalam kakawin ini hanya terdiri atas dua bait dan
epilog dari tiga bait yang relatif pendek.
Asal-usul penamaan judul puisi ini belum
dapat dipastikan. Frase sumanasāntaka berarti 'kematian karena bunga sumanasa',
tidak terdapat dalam Raghuvaṃśa, dan juga judul itu tidak dikenal dalam
kesusastraan Sanskerta pada umumnya. Akan tetapi, yang dimaksud dengan 'sĕkar
sumanasa' kemungkinan besar berasal dari kata sumanas, yang dalam bahasa
Sanskerta memiliki beragam arti: 'budiman; ramah; dewa; (jamak) nama golongan
tertentu dewa; (jamak atau kata majemuk) bunga-bunga; bunga melati besar,
leks'. Zoetmulder menyimpulkan bahwa kata sumanasa muncul untuk menyebut pohon
tertentu dan bunganya, sejenis campaka. Hal ini diperkuat oleh penggunaan kata
campaka dalam kutipan dari Kidung Sumanasantaka.
Kakawin Sumanasāntaka (Mati
Karena Bunga Sumanasa)
Kakawin Sumanasāntaka (Mati Karena Bunga Sumanasa) merupakan salah satu sumber penelusuran jejak istilah karawitan dari sekitar 22 Naskah kesusastraan berbahasa Jawa Kuno awal. Tulisan ini merupakan bagian dari hasil penelitian yang berjudul “Melacak Jejak Karawitan dalam Naskah Jawa Kuno: Kajian Bentuk, fungsi, dan Makna”.
Pembahasan ini dimaksudkan untuk memperjelas bentuk dan fungsi instrumen musik pada masa periode Jawa Timur sekitar abad ke-10. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu, melalui tahapan heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi . Pada tahap heuristik ditemukan sebuah kakawin Sumanasantaka yaitu karya Worsley, P., S. Supomo, M. Fletchert dan T.H. Hunter. Tahun 2014, ditemukan juga tulisan berjudul Kakawin Sumanasāntaka, Mati Karena Bunga Sumanasa, Karya Mpu Monaguna.
Bentuk dan
fungsi Instrumen karawitan dalam kakawin Sumanasāntaka, tidak terlepas dari
fungsi instrumen musik pada masa Jawa kuno yaitu sebagai sarana upacara dan
sebagai pengiring kegiatan kebudayaan.
Asal Usul Filosofis Kakawin
Sumanasantaka
Suatu tradisi yang menganggap bahwa sastra
milik bersama, memberikan peluang besar
pada penyalin untuk memasukkan pandangan-pandangannya, atau menafsirkannya seolah-olah
bertindak sebagai pengarang. Kajian KakawinSumanasantaka adalah yang disebut salah
satu dari sekitar
dua puluh puisi naratif
Jawa Kuno sebagai Kakawin,yang
datang dari Jawa masa
lampau. Kecuali Ramayana,yang
kemungkinan besar ditulis di Jawa Tengah pada
pertengahan abad ke-9, semua Kakawinadalah produk
kegiatan sastra pada periode Jawa
Timur dalam sejarah Jawa
antara abad ke-10
dan pertengahan abad ke-16. Hampir
semua Kakawinsecara langsung atau
tidak langsung meminjam tema
narasi dari berbagai
sumberIndia, sebagian besar dari epik Mahabharata dan Ramayana, Purana,
serta Mahakavya. Adapun narasi
Sumanasantaka diambil dari
Raghuvamsa, Mahakavya yang ditulis
oleh penyair kondang India abad
ke-5 Kalidasa (S. Supomo, 2014:3).Namun
seiring dengan perjalanan
waktu seperti disampaikan
penyair dalam bait-bait penutup
karyanya, KakawinSumanasantaka yang
ditulis oleh Mpu Monaguna menggubah
kisah Sumanasantaka, ia mempersembahkan kakawinciptaannya kepada Sri Warsajaya. Apapun mungkin
terjadi, tampaknya pasti bahwa
Sumanasantaka telah lama menghilang dari percaturan sastra di tanah Jawa yang
sampai kepada kita saat ini. Meskipun di tanah asalnya karya sastra ini telah lama
menghilang, namun di Bali semua naskahnya masih
ada dan bertahan menghadapi
perjalanan waktu, berasal dari Bali dan memberikan kesaksian
yang terang benderang tentang
kenyataan bahwa para
penyalin Bali dari generasi ke
generasi terus menerus
menyalin kembali puisi ini di
seluruh Bali. (S.Supomo, 2014:25) salah
satunya yang telah disalin Drs. I Ketut Sukanthajaya, dengan judul Lontar
KakawinSumanasantaka, jumlah Lontar 151 lembar, ukuran Lontar : panjang 45
cm, lebar 3,5 cm, dan merupakan milik Pusat
Kebudayaan Bali. Adapun ringkasan isi
Sumanasantaka menurut Zoetmulder (1974 :
298-305), beserta isi dari yang disebut KakawinSumanasantaka
memiliki ciri struktural dan
tematik, keseluruhan karya ini dibagi menjadi 11
episode, disertai nomor pupuh KakawinSumanasantakadan diikuti
petikan Raghuvamsa (Rag). Hal tersebut bertujuan untuk memberikan
gambaran asal-usul dalam karya ilmiah ini, agar penelitian menjadi lebih jelas
dengan dukungan data yang akurat.
Sinopsis Kakawin Sumanasantaka
Penyair
memohon kepadaSang Mahadewa,
asal muasal dan
tujuan terakhir puisi ini
agar berkenan turun
ke puisinya yang
diumpamakan sebagai candi. Bercita-cita
menjadi taruna dalam
persaudaran penyair, sang
penyair mohon restu kepada Dewauntuk memulai ceritanya Sumanasantaka
(Mati karena Bunga Sumanasa).
Episode 1: Penggodaan Trnawindu dan
kematian Harini (1.3 -9.3)
Indra
mengutus Harini untuk
menggoda Trnawindu. Dewa Indra karena takut
kepada brahmana muda,
Trnawindu yang terkenal
dengan keunggulannya dalam bertapa,
mengutus Dyah Harini,
bidadari paling jelita
di Surga Wisnu, untuk menggoda sang pertapa. Karena
rasa hormat dan dharma bakti kepada raja para Dewaitu, Harini
bersedia pergi melaksanakan
titah Indra. Dia
berangkat pagi-pagi buta sendirian, dan secara rahasia. Mengetahui bahwa
mengganggu tapa brata pertapa adalah
perbuatan nista yang
mendatangkan bencana, dia
tak henti-hentinya menangis,
meratapi nasibnya. Dia mengarungi angkasa, menelusuri Sungai Gangga.
Setelah melewati pengunungan Windhya, Gunung
Indrakila, Gunung Rewataka dan Gunung Gandhamadana,
dia tiba di
pertapaan Trnawindu yang terletak
di lereng selatan Himalaya. Di sana ia mandi di telaga.Harini memasuki
pertapaan, berjalan lesu
tertatih-tatih karena baru pertama kali menginjakkan kaki di hutan
pertapaan. Dia kemudian duduk di balai dan
menunggu Trnawindu yang
sedang semedi Siwa.
Selesai bersemedi Trnawindu keluar.
Ketika melihat perempuan cantik duduk
di balai ia
mendekati perempuan itu. Meskipun perempuan itu bertelanjang dada,
Trnawindu tak tergiur karena jiwanya telah ditempa oleh tapa yang berat. Tak
ada secercahpun nafsu di hatinya.
Dia menyambut perempuan
itu dan bertanya
siapa dia dan
mengapa mengembara di hutan
sendirian. Percaya bahwa
perempuan secantik itu
tidak mungkin manusia, ia bertanya apakah perempuan itu datang dari
surga Indra dan apa tunuannya.
Harini menjawab bahwa
dia tidak datang
dari surge Indra melainkan diutus
oleh DewaDharma untuk melayani
Trnawindu sebagai hadiah atas keberhasilannya menyelsaikan
semedi.Setelah yakin bahwa
perempuan itu datang
untuk menggodanya atas perintah
Indra, Trnawindu memelototinya
dan menudingnya dengan
tangan kiri, mengutuknya :
Harini akan menjadi
manusia dan tidak
akan pernah kembali
ke surga. Menangis sedih,
Harini mohon ampun
kepada Trnawindu dan
memohon belas kasihan para Dewa, tapi semua sia-sia. Para Dewadiam saja,
takut bernasib sama seperti Harini. Akhirnya Bhagawan Trnawindu merasa
kasihan kepada Harini dan menetapkan jangka
waktu kutukannya. Diberitahunya Harini bahwa suami perempuan
itu dalam kehidupan
terdahulu telah lahir
kembali sebagai Pangeran Aja,
putra Raja Raghu, Harini kelak menikah
dengannya, dan melahirkan anak. Tetapi
bunga Sumanasa akan menyebabkan kematian
Harini dan mengakhiri kutukannya. Setelah
delapan tahun aja akan wafat dan mereka akan hidup
bersama lagi di
surga. Jadi akhirnya Harini menganggap kutukan
itu sebagai berkah. Setelah menghormat kepada sang Bhagawan, Harini
menemui ajal di tempat ia menggoda Trnawindu, DewaAgni muncul
dari jasad Harini,
dan jasad itupun terbakar habis.
Episode 2 : Kelahiran dan masa kecil Putri
Indumati (10.1 –15.2).
Harini terlahir di Widarbha sebagai Indumati, anak perempuan raja yang memerintah bangsa Krathakesika, dirawat dengan
penuh kasih sayang oleh para dayang, dan
para abdi. Ketika berumur dua belas tahun, tibalah waktunya
tampil di istana sebagai
seorang gadis. Raja sangat menyayanginya
dan member apaun yang menyenangkan putrinya dan
memanjakannya. Namun raja sudah tua dan sakit parah. Mengetahui ajalnya
sudah dekat ia
mengumumkan bahwa putranya Bhoja, akan
menggantikan menjadi raja
serta menyuruh Bhoja
untuk merawat adiknya dan
berpesan kepada Indumati agar berbakti kepada kakaknya.
Episode 3 : Persiapan Swayembarauntuk
Putri Indumati (15.3 –21.6).
Pangeran Bhoja naik tahta. Dibawah pemerintahannya, negeri Widarbha
makmur, dan tidak ada kejahatan. Indumati tumbuh Dewasa dan tiba waktunya menikah. Bhoja memutuskan bahwa Indumati
harus dinikahkan melalui Swayembara. Raja mempertimbangkan perkara
ini masak-masak bersama Ratu dan mengumumkan niatnya tersebut
kepada kerabat istana. Diminta pula perkenan Raja Raghu agar Pangeran Aja dapat
hadir memenuhi undangannya. Kabar bahwa Aja
akan datang menyebar dengan cepat kekalangan kerabat
istana. Dayang kesayangan sang putri, Jayawaspa khusunya menantikan kedatangan
Pangeran Aja, karena berharap sang pangeran akan hadir ditemani penyair
muda, Kawidosa. Sebelum menjadi abdi sang
putri, Jayawaspa dikenal sebagai
Madhudaka, dan Kawidosa yang dulu
dikenal sebagai Madhusudana, adalah kekasihnya. Orang tua Jayawaspa tidak
merestui hubungan mereka, dan ketika mencoba kawin lari, mereka dipaksa berpisah.
Madhidhaka dikirim menjadi abdi putri Indumati dan diberi nama Jayawaspa, sedangkan si penyair muda melarikan
diri ke Ayodhya dan menjadi abdi Pangeran Aja.
Episode
4 : Perjalanan
Pangeran Aja ke
Widarbha untuk mengikuti Swayembara.
Pangeran
Aja memohon diri kepada orang tuanya sebelum berangkat dari
Ayodhya. Raja member
wejangan sementara ibunya
memberi semangat bahwa putranya pasti
Berjaya dalam ajang Swayembara. Kemudian
sang pangeran berangkat diiringi
rombongan besar dengan
para Brahmana, Resi,
pemuja Siwa dan penganut
Buddha di barisan
terdepan. Kawidosa adalah
abdi setia sang pangeran. Pangeran
Aja dan rombongan
meninggalkan Ayodhya dan
menempuh perjalanan melalui pedesaan, persawahan dan mengunjungi berbagai
pertapaan. Ketika mereka tiba
di sungai Narmada,
pasukan diperintahkan berhenti dan
mendirikan tenda. Tiba-tiba
seekor gajah meneyerang
mereka. Dalam pertempuran yang
terjadi kemudian, Pangeran Aja memanah kepala gajah itu dan membunuhnya. Pada
saat itulah bangkai
gajah menjelma menjadi widhyadara. Namanya Priyambada, putraCitraratha, raja gandharwa. Sebagai tanda
terima kasih Priyambada menghadiahi Aja senjata Sangmohana atau “Lelap”
panah yang tidak membunuh, tetapi
membius musuh. Selanjutnya
Pangeran Aja dan rombongan melintasi alam liar di pesisir
dan pegunungan berhutan. Dan akhirnya sampailah rombongan Pangeran Aja di
Widarbha.
Episode
5 :
Dalam
episode 5 dilakukan
upacara pidudukan yaitu suatu
upacara pranikah untuk
Indumati dilakukan di
bagian dalam istana.
Dia mengenakan busana lengkap
nan indah dan
duduk di balai pamidudukan, dikelilingi para
kerabat istana mereka
menari dan menyanyi
serta sang putrid menghadiahkan berbagai lencana kepada
para abdinya.
Episode 6 : SwayembaraPutri Indumati.
Dalam Swayembaraini semua peserta
berkumpul di pelataran pertemuan. Satu
demi satu, tujuh raja dan Pangeran
Aja datang ke sana.
Kemudian Putri Indumati mendekati mula-mula Raja Magadha, lalu Raja Angga,
Raja Aswanti,Raja Pratipa, Raja Susena, Raja Hemanggada, Raja Pandya, dan
akhirnya Putri Indumati memilih Pangeran Aja sebagai suami.
Episode
7 : Pernikahan
Pangeran Aja dan
Putri Indumati.
Prosesi pernikahan Pangeran
Aja dan Putri
Indumati dimulai dari
upacara ritual tawur, selanjutnya
mengelilingi Agni, DewaApi, ritual peras, persenggamaan pengantin, upacara
kraban kalasa,maka berkahirlah semua
prosesi upacara pernikahan Pangeran Aja dan Putri Indumati.
Episode
8 :
Menceritakan perjalanan
Pangeran Aja dan
Putri Indumati ke Ayodhya
setelah menghadap kepada
Raja Widarbha untuk
kembali ke Ayodhya namun di tengah perjalanan tujuh raja
yang ditolak lamarannya mencegat Aja dan
Indumati, dengan mempergunakan panah api-Rudra dan tujuh Raja menembakkan
panah-api Durga. Panas
yang terpancar dari
senjata itu menyebabkan
Narada meminta kepada sang
Pangeran mematikan api
senjatanya dan menggunakan senjata pemberian Priyambada,
Sangmoghana. Akhirnya Aja menang dan
semua raja kembali ke kerajaan mereka masing-masing. Perjalanan dilanjutkan
kembali.
Episode
9 : Pangeran
Aja dan Putri
Indumati akhirnya tiba
di Ayodhya.
Kepulangan Aja disambut raja dan ratu Ayodhya
dengan senang sekali melihat putra mereka
memenangkan Swayembara.
Mereka menyambut Indumati
sebagai menantu. Dia istri yang cocok untuk Aja, bukan saja cantik
tetapi juga keponakan mereka sendiri. Selanjutnya
Pangeran Aja naik
tahta mengganti raj yang sudah tua.
Raja Aja dan ratu Indumati
dikaruniai seorang putrabernama
Dasaratha. Kawidosa dan Jayawaspa
hidup bahagia sebagai
suami istri dan menduduki jabatan
tinggi.
Episode 10 : Indumati kembali ke Surga (164.1-172.10).
Pada suatu hari Aja dan Indumati
bersantai di taman
kerajaan, sambil menikmati keindahan taman yang tampak asri bagai surge Dewa Kama. Mereka
manndi di danau, setelah keluar dari air mereka menyusuri
taman, kemudian beristirahat di balai mahari. Disana mereka membaca sajak yang
ditulis oleh raja pada papan bambu. Ratu sangat terharu, dia menjadi cemburu tapi
raja menenangkannya. Dalam perjalanan kembali
ke istana, mereka melewati lembah, jurang dan gua sepi. Ketika tiba
di istana, mereka
beristirahat di bawah pohon karang. Sementara Raja dan Ratu menikmati
kelezatan cinta, Dewa Siwa bersenang-senang
menghibur diri di Gunung Gokarna.
Itulah saatnya Siwa akan mengakhiri
kutukan Bhagawan Trnawindu
kepada Dyah Harini.
Tujuh resi, Narada yang utama, memohon
kepada Siwa agar
Harini dapat kembali
ke Surga sebagai bidadari.
Sangat terharu Siwa
memanggil DewaKama (Madamastra),
memasangnya pada tangkai
bunga sumanasa, dan
melepaskannya ke istana Ayodhya. Terbawa
angin, panah itu
jatuh ke payudara
Indumati. Ia meninggal dipangkuan Aja.
Tenggelam dalam keputusasaan,
Aja pingsan. Ketika
siuman ia sangat sedih
dan mencaci maki
bunga sumanasa. Mendengar
ratapan raja, Indumati hidup lagi dan
pamit mati serta mengungkapkan
harapan semoga kelak mereka
bersatu kembali. Setelah
melakukan sembah hormat
kepada raja, dia ambruk
di pangkuan suaminya
dan mati. Jayawaspa menyusul
Indumati pergi ke alam
baka dengan menikamkan
belati ke tubuhnya
sendiri. Raja menangis
dan berusaha membangunkan Indumati tetapi sia-sia.Ketika Raja sedang
berduka, datanglah seorang resi tua utusan Bhagawan Wasista. Dia
memberitahu raja penyebab
kematian mendadak Indumati,
bahwa dulu Dyah Harini diutus DewaIndra mengganggu tapa Bhagawan
Trnawindu, san bhagawan murka dan
menjatuhkan kutukan bahwa
Dyah Harini akan
menjadi manusia dan tidak
akan pernah menjadi
Dewi lagi. Dyah Harini
menangis dan memohon agar sang
bhagawan bermurah hati kepadanya. Sang bhagawan iba dan menganugrahinya penawar
kutukan berwujud bunga sumanasa. Dyah Harini mati di pertapaan
itu dan terlahir
kembali sebagai Indumati,
putri kerajaan Widarbha. Dalam swayambarayang digelar
untuknya, dia ingat pernah menikah dengan Aja di surga.
Maka dia memilih
Aja sebagai suami.
Sekarang karena kutukan
telah berakhir, dia menjadi putri Dewalagi dan kembali ke surga Indra.
Jasad sang ratu diperabukan dan Aja ditinggalkan di dunia selama delapan tahun.
Episode 11 : Raja mangkat dan bersatu
kembali dengan Indumati.
Setelah kematian Indumati, Raja Aja
menjadi murung karena merindukan mendiang
istrinya. Sesudah delapan
tahun berlalu, Pangeran
Dasarata naik tahta. Tak lama kemudian Aja beserta Kawidosa
mengakhiri hidup dengan mencebur ke pertemuan
Sungai Gangga dan
Sungai Sarayu. Dengan
mengikuti petunjuk yang terkandung dalam sebuah puisi yang
ditinggalkan Indumati untuk mereka, roh Aja dan
kawidosa menemukan jalan
ke surga dan
bertemu dengan instri
tercinta di taman Nandana. Di
sana Aja dan Indumati hidup bahagia bersatu dalam cinta satu sama lain.
Epilog (182.3-183.2)
Tamatlah kisah Sumanasantaka sebagaimana
yang diceritakan dalam kitab Raghu. Kitab ini telah digubah ke dalam bahasa pribumi
dalam bentuk kakawinuntuk
dipersembahkan kepada raja seperti layaknya air suci. Inilah upaya pertama
untuk menulis puisi naratif oleh Mpu
Monaguna, murid Sri Warsajaya,
guru terkenal dalam seni syair. Akhirnya pengarang memohon berkah bagi semua
orang yang membaca, mendengarkan, menyalin
dan memiliki kitab Sumanasantaka. Semua
uraian diatas, untuk memberikan gambaran
mengenai ringkasan cerita tersebut sesuai dengan sumber cerita aslinya.
1. Ajaran Tatwa Dalam Kakawin
Sumanasantaka
Intisari dan dasar dari keyakinan umat
Hindu adalah Panca Sradha. Dalam ajaran
agama Hindu Panca
Sradha merupakan lima
dasar keyakinan umat
Hindu yang terdiri dari Widhi Sradha,
Atma Sradha, Karmaphala Sradha, Punarbhawa Sradha, dan Moksa Sradha.
Adapun pokok-pokok ajaran
agama Hindu yang terdapat dalam
KakawinSumanasantakaadalah sebagai berikut :
Ajaran Karmaphala Sradha Karmaphala adalah
keyakinan tentang kebenaran adanya karmaphala atau hasil perbuatan. Setiap
perbuatan baik(susila) atau perbuatan buruk (asusila) yang kita lakukan
pastinya nanti akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang kita perbuat,
perbuatan baik yang kita tanam maka hasil yang dipertik pun adalah hasil yang baik
pula begitu juga
sebaliknya. Karmaphala inilah
yang akan membawa roh
kita setelah meninggal
akan mendapatkan tempat
yang bagaimana. Sang Hyang
Yamadipati sebagai Dewa Dharma tentunya akan mengadili setiap manusia
sesuai dengan perbuatnnya
selama hidup di
dunia, apakah akan
mendapat sorga atau neraka.
Tetapi sebagai umat
Hindu tujuan kita
mendapat sorga atau
neraka kita akan dilahirkan
kembali di dunia
tetapi jika kita
bisa mencapai moksa
kita akan mengalami kebahagiaan
yang tertinggi karena atma telah bersatu
dengan Brahman / Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ada
cara untuk membebaskan
diri dari hukum karma yang selalu
mengikat diri kita
oleh ikatan duniawi yaitu dengan cara mengubah perbuatan dan
hasilnya menjadi yoga, maksudnya segala perbuatan dan
hasil yang kita lakukan dan kita
peroleh wajib dipersembahkan dahulu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena kita yakin
semua yang ada dan aka nada berasal dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.Adapun pembagian Karmaphalaadalah sebagai
berikut :
(1) Sancita Karmaphala, yaitu phala dari
perbuatan kita terdahulu yang belum habis dnikmati dan masih
merupakan benih-benih yang
menentukan kehidupan kita
yang sekarang;
(2) Prarabda Karmaphala, yaituphala dari
perbuatan kita pada kehidupan ini
tanpa ada sisanya;
(3) Kriyamana Karmaphala, yaitu hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati
pada saat berbuat sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang.
Keyakinan terhadap adanya karmaphala dalam KakawinSumansantaka dinyatakan dalam
pupuh 7 wirama Jagadnathabait 20, 21, adalah sebagai berikut :
Nahan
rasa ni de nikanangis aminta winaluyaken ing kaDewatan,Udhani bhagawan pangawruhana
de nira mulat amanis wawang lipur,Apuy siniram ing jawuhpada ni sungsut ira tan
agegeh wawang padem,Sereh wangi lawan duh ing wwah arames ri waja pada ni de
nirangucap.(Sumanasantaka, 7: 20)
Terjemahan :
Begitulah ratapannya saat memohon
dikembalikan ke alam Dewa. Dilihat dari
tatap lembutnya dan
sikapnya yang tiba-tiba
tenang, sang maha Begawan
pasti telah kembali
menguasai diri. Bagai
api tersiram hujan, amarahnya berkelip-kelip dan padam. Ketika
ia bicara, seolah
daun sirih wangi dan sari buah
pinang berkelindan di giginya. (Sumanasantaka, 2014 : 79)
Paran
karika tan sihangkwa ri kitanaku kita karikapan uttama,Manusya tuwi sawakanya
yan aton mara-mara hinidep kadang-kadang,Kunang sang agawe laranta paramartha
nira sira bhatara Sangkara.Lukat ni kapalang nikang sukrta marga ni kapalang I
denta Dewati. (Sumanasantaka, 7: 21)
Terjemahan :
Bagaimana
mungkin aku tidak
bersimpati padamu, Nak,
karena kau memang paling
cemerlang. Bahkan kalaupun
kau menjadi manusia, apapun yang
kau inginkan akan
terkabul dan sanak
kerabatmu akan mengasihimu. Yang menyebabkan
kau berduka, dalam kenyataannya,
DewaSangkara. Kebebasan dari kekangan
yang dikenakan pada
mereka yang melakukan perbuatan
baik adalah adalah
alasan kenapa kau
tidak diperkenankan menjadi Dewi lagi. (Sumanasantaka, 2014 : 79). Dari kutipan
di atas dapat
disimpulkan bahwa phala atau hasil
perbuatan Dyah Harini yang baik akan memperoleh hasil yang baik pula.
Begitupun setelah terkena kutukan karena
melaksanakan swadharma sebagai
seorang abdi, beliau akan
memperoleh kebebasan dari
perbuatan yang buruk
dengan menggoda tapa seorang Begawan yang suci dan mulia.
2. Ajaran Punarbhawa Sradha
Punarbhawaatau kelahiran yang
berulang-ulang di dunia ini disebut juga penitisan atau samsara. Kelahiran yang
berulang-ulang di dunia ini akan berakibat suka dan duka. Punarbhawa atau
samsara ini terjadi karena jiwatma terbelenggu oleh maya atau kenikmatan duniawi.
Punarbhawa atau Samsara erat sekali kaitannya dengan karma, karena karma
itulah yang menyebabkan penitisan
dan pembebasan atau Moksa. Dalam KakawinSumansantaka dinyatakan dalam pupuh
7 wirama Jagadnathabait 22, 23, 24 dan 25 adalah sebagai berikut :
Priyanta
ring anadijanma dadi manusa lituhayu suryawangsaja,Narendra Raghu rakwa manak
aniru prakasitasubhageng purantara, Apanjy Aja dhanurdharanwam isi ning
Raghunagara turung smaraturaTuhun kita dine bhatara yugalanya muwah akurenasihe
kita. (Sumanasantaka, 7: 22)
Terjemahan :Suamimu dalam kehidupan
terdahulu telah menjadi manusia tampan yang lahir dari
wangsa Surya. Konon
Raja Raghu memiliki
anak yang sebagai dirinya sendiri, terkenal dan ternama
di kerajaan lain. Putra Mahkota Aja, seorang pemanah, muda belia dan
permata kerajaan sesungguhnya mengalami sakitnya
cinta. Sesungguhnya Dewa telah menakdirkanmu menjadi istrinya, dan kau akan
menikah dengan orang yang mencintaimu.
(Sumanasantaka, 2014 : 79). Dari
kutipan di atas
menyatakan bahwa pada
saat manusia menjelma dipengaruhioleh hasil karmabaik ataupun karmaburuk terdahulu
yang mempengaruhi kelahiran kembali
atau punarbhawa. Adapun Dyah
Harini yang telah menerima
kutukan dari Bhagawan
Trnawindu akan bereinkarnasi
menjadi Indumati dan akan menikah dengan Pangeran Aja. Dia menerima
kutukan menjadi sebagai berkah berkat
karma baiknya taat
akan swadharmanya sebagai
seorang bidadari. Nantinya setelah
menjalani reinkarnasi menjadi
putri Indumati dan menjadi
istri Pangeran Aja,
dalam masa kehidupan
berumah tangga beliau
akan mendapatkan kebahagiaan sesuai dengan hasil karmanya terdahulu.
3. Ajaran Tri Hita Karana
Bersahabat
dengan alam adalah
satu unsur dari
filsafat tiga keselarasan (Tri Hita Karana) yang lahir dari
perpaduan religiositas Hindu dan kearifan adat-istiadat Bali. Dua unsur lainnya adalah relasi berkeseimbangan antara manusia dan manusia, serta
hubungan yang vertical dengan Tuhan.
Ketiga unsur itu tidak dapat dipisahkan satu
dengan lainnya, tetapi
harus menyatu sebagai suatu kesatuanyang berkeseimbangan. Praktek
adaptasi itu di Bali adalah dengan selalu menjaga keseimbangan antara “pengambilan” dan
“pengembalian”. Artinya pemanfaatan sumber-sumber
daya alam harus dikembalikan, bahkan
pengembaliannya dengan jumlah yang lebih banyak. Inilah esensi pelestarian dan
pengembangan. Banyak seniman-seniman Bali yang
menggunakan tema berdasarkan Tri Hita Karana, hal ini
disebabkan karena Tri Hita Karanasecara visual merupakan sebuah konsep yang
sangat menumental dan bersifat adi
luhung. Pancaran nilai
estetik yang sangat tinggi memberikan daya tarik yang
sangat kuat bagi para penciptaannya. Pencipta sangat tertarik mengangkat Tri Hita
Karanadi Bali sebagai sumber ide
penciptaan karya seni karena upacara-upacaranya sangat unik dan artistik dengan
penuh variasi yang ditemukan dalam setiap upacara yang ada di Bali.Dengan demikian
betapa perlunya kita
mengamalkan Tri Hita Karana. Untuk menjaga keharmonisan hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia
dan manusia dengan
lingkungan. Dalam Kakawin Sumanasantaka
terdapat ajaran Tri Hita Karana yaitu :
a. Parhyangan
Hubungan
Manusia dengan Tuhan
(Parhyangan) dapat dilihat
dari kutipan
KakawinSumanasantaka, pupuh 3,
Wirama Nawaharsa bait 1-3,
sebagai berikut :
Bhagawan
Trnawindu sedeng ajapa nitya Siwasmarana, Asamadhi kumol katemu hening I buddhi
nira n humeneng, Dwija sukla susila sira pinakadarsana ring patapan,Kadi
Waisnawawimba pawulatan ira n pamuter guduha.( Sumanasantaka, 3: 1)
Terjemahan :
Begawan
Trnawindu tak henti
menggumamkan doa dalam
semedi Siwa. Pikirannya terpusat,
inderanya terkendali. Kesadarannya
bening dalam hening. Ia
Brahmin berjiwa suci
dan mulia, teladan
bagi semua penghuni pertapaan. Saat
memutar tasbih, ia
mirip patung Wisnu. (Sumanasantaka, 2014 : 61).
Dari kutipan kakawindi atas dapat
disimpulkan bahwa hubungan manusia dengan Tuhan
dapat dilihat dari
bakti sang Brahmin
muda yang bernama
Bhagawan Trnawindu yang sangat
khusuk bertapa memuja DewaSiwa, dengan menghilangkan segala
hawa nafsu sehingga
tapa beliau tidak
tergoda oleh bidadari
sebagaimanapun cantiknya Dyah Harini yang dititahkan oleh DewaIndra untuk menggoda
tapa beliau, tetap
tidak bergeming, bahkan
saking marahnya beliau mengutuk
Dyah harini untuk
menjelma menjadi manusia
selamanya di bumi.
b. Pawongan
Hubungan
Manusia dengan manusia
(Pawongan) dapat dilihat
dari kutipan
KakawinSumanasantaka, pupuh 16,
Wirama Sardulawikridita
bait 4 –5, sebagai berikut :
Yawat
dharma ngaranya ring dadi manusyawashiweh yan pinet,Lwir suksma maganal bhatara
gumawe tingkahnya yan mangkana,Yadyastusn jalu-jalw amerta swawanyeng janma
haywasali,Byakteweh niki kimpunah kita yan ing stri-stri n mameta priya.(
Sumanasantaka, 16 : 4)
Terjemahan :
Berusaha menjalankan kewajiban jelas tak
mudah bagi seorang manusia.Dalam
bentuk materi atau
non materi, Dewata telah
menggariskan semuanya.Jika pria mencari pasangan yang sederajat, ia
tidak perlu ragu.Jelas lebih sulit bagimu sebagai wanita untuk mencari
suami.(Sumanasantaka, 2014 : 115)
Dari kutipan kakawindi atas dapat
disimpulkan bahwa hubungan manusia dengan manusia dapat dilihat dari adanya
janlinan hubungan kekerabatan antara kakak Sri Indumati yang
akan menikahkan adiknya
dengan para raja
atau pangeran dariseluruh
kerajaan, dan Sri
Indumati disuruh untuk
memilih suami. Dari
hubungan tersebut akan terlihat
adanya hubungan yang
harmonis antara manusia
dan manusia dengan ikut sertanya para raja mengikuti swayambara.
c. Palemahan
Hubungan
manusia dengan lingkungan
( Palemahan )
dapat dilihat dari kutipan
KakawinSumanasantaka, pupuh 30,
Wirama Basantatilakabait 2 –6,
sebagai berikut :
Lwah
Narmada katemu de naranathaputra,Sang brahmanasabha –sabha ri ya sari-sari,Atyanta
nirmala pangawruhane suciya,Marmanya n uttama wijilnya sakeng sasangka.(
Sumanasantaka, 30 :2)
Terjemahan :
Pangeran tiba di Sungai Narmada. Tempat
Brahmin berkumpul setiap hari. Tanda kemurniannya ialah bahwa sungai ini
benar-benar tanpa cela. Sungai ini begitu mulia karena lahir dari bulan.
(Sumanasantaka, 2014 : 161)
Hangsaputih
ri tengah adyus angumbang-umbang, Kombak tinub ing angin adres
anginggek-inggek,Mogararas-raras arum karengo swaranya,Kady awarah yan alango
ri hananya ring wwai.( Sumanasantaka, 30 :6)
Terjemahan :
Angsa-angsa putih mandi, mengambang di
tengah sungai.Mereka bergoyang di
gelombang yang diaduk
angin kencang dan mengombak.Tiba-tiba seruan mereka yang
lembut menawan bisa didengar,Seolah mereka mengabarkan betapa indah berada di
air. (Sumanasantaka, 2014 : 161). Dari
kutipan di atas dapat
disimpulkan, bahwa ajaran Tri
Hita Karanapada bagian Palemahan
yang terdapat dalam KakawinSumanasantakadilihat dari menceritakan keindahan alam di
Sungai Narmada pada cerita
pertemuan antara Pangeran Aja dengan
Pryambada di Sungai Narmada. Begitu
keindahan yang terdapat di Sungai Naramada sehingga menyebabkan adanya hubungan
yang harmonis antara makhluk
hidup dengan alam
di sekitarnya. Dengan terjalinnya hubungan yang harmonis antara
manusia dengan lingkungan sekitar
mengakibatkan tumbuhnya bunga-bunga
yang indah sehingga menarik perhatian bagi orang melihat
dan berteduh di sekitar Sungai Narmada.