SYEKH SITI JENAR (SYEKH LEMAH ABANG / ABDUL DJALIL)
Syekh Siti Jenar yang memiliki nama asli Syaikh Sidi Zunnar adalah seorang tokoh sufi asal persia dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Demak. Nama kecil Syaikh Siti Jenar adalah Abdul Hasan bin Abdul Ibrahim bin Ismail.
Syekh Siti Jenar merupakan salah satu tokoh penyebar Islam di tanah Jawa.
Sosoknya kontroversial karena banyak yang menganggap ajarannya sesat, hingga ia disingkirkan oleh para Wali Songo dan dieksekusi mati.
Terdapat beberapa versi terkait asal-usul Syekh Siti Jenar. Ada yang menyebut bahwa ia lahir di Persia pada 1346 H atau 1426 M.
Sementara dalam Kitab Negara Kretabhumi, Syekh Siti Jenar disebut lahir di Semenanjung Malaka dan ayahnya bernama Syekh Datuk Saleh.
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar merupakan anak dari Sunan Ampel.
Literasi lain mengungkap bahwa Syekh Siti Jenar merupakan keturunan Cirebon dengan nama Ali Hasan atau Syekh Abdul Jalil.
Ia dilahirkan di lingkungan Pakuwuan Caruban, yang saat ini menjadi Cirebon. Ayahnya adalah seorang raja pendeta dengan nama Resi Bungsu.
Syekh Siti Jenar juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, dan Syekh Lemah Abang.
Ia memiliki nama kecil Abdul Hasan bin Abdul Ibrahim bin Ismail dan nama aslinya Sayyid Hasan 'Ali Al Husaini.
Saat usianya menginjak dewasa, ia memiliki gelar Syekh Abdul Jalil atau Raden Abdul Jalil.
Pendidikan Syekh Siti Jenar Syekh Siti Jenar pernah belajar lama di Bagdad, Irak, hingga menguasai berbagai ilmu agama Islam dari seorang guru Yahudi yang menyamar jadi orang Islam.
Konon, guru tersebut bernama Abdul Malik Al-Baghdadi, yang kemudian menjadi mertuanya. Saat berada di Bagdad, Syekh Siti Jenar ternyata lebih tertarik pada ilmu tasawuf, yang kemudian ia dalami. Setelah belajar dengan Syekh Ahmad Baghdadi, Syekh Siti Jenar kemudian menganut tarekat Akmaliyah, seperti gurunya tersebut.
Saat usianya menginjak dewasa, ia memiliki gelar Syekh Abdul Jalil atau Raden Abdul Jalil. Pendidikan Syekh Siti Jenar Syekh Siti Jenar pernah belajar lama di Bagdad, Irak, hingga menguasai berbagai ilmu agama Islam dari seorang guru Yahudi yang menyamar jadi orang Islam.
Konon, guru tersebut bernama Abdul Malik Al-Baghdadi, yang kemudian menjadi mertuanya. Saat berada di Bagdad, Syekh Siti Jenar ternyata lebih tertarik pada ilmu tasawuf, yang kemudian ia dalami. Setelah belajar dengan Syekh Ahmad Baghdadi, Syekh Siti Jenar kemudian menganut tarekat Akmaliyah, seperti gurunya tersebut.
MENYEBARKAN ISLAM DI JAWA
Dari Bagdad, Syekh Siti Jenar kemudian pergi ke Malaka dan mengajarkan ilmunya, di mana ia mendapatkan gelar Syekh Datuk Abdul Jalil dan Syekh Jabarantas. Setelah itu, Syekh Siti Jenar pindah ke Jawa, tepatnya ke Giri Amparan Jati dan tinggal bersama sepupunya, Syekh Datuk Kahfi. Selama di Giri Amparan Jati, Syekh Siti Jenar menyebarkan agama Islam dan mendapatkan banyak pengikut. Muridnya datang dari berbagai golongan, baik dari masyarakat umum hingga bangsawan.
Setelah memiliki banyak murid, Syekh Siti Jenar mendirikan sebuah pondok pesantren untuk belajar di Dukuh Lemah Abang, Cirebon.
KONTROVERSI SYEKH SITI JENAR
Ajaran Syekh Siti Jenar dianggap kontroversial karena ia memiliki perbedaan pendapat dengan sejumlah wali dan tokoh Islam saat itu. Dalam sebuah pertemuan di Istana Argapura, Gresik, Syekh Siti Jenar mengemukakan pendapatnya tentang ketuhanan.
Ia berpendapat bahwa dengan beribadah kepada Allah SWT, pada dasarnya sama dengan Allah. Syekh Siti Jenar melanjutkan penjelasannya, bahwa hamba yang memiliki kuasa dan menghukum juga hamba.
Pendapat Syekh Siti Jenar tersebut kemudian mendapat tentangan dari sejumlah wali dan tokoh Islam yang hadir.
Syekh Siti Jenar diminta untuk bertaubat karena dianggap menyamakan dirinya sebagai Tuhan. Akan tetapi, Syekh Siti Jenar tetap pada pendiriannya hingga akhirnya dijatuhi hukuman mati.
SILSILAH KELUARGA
Di bawah ini merupakan silsilah Syekh Siti Jenar yang bersambung dengan Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath hingga Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi (Hadramaut, Yaman) dan seterusnya hingga Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW, berputeri
Sayidah Fatimah az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib, berputera
Husain r.a, berputera
Ali Zainal Abidin, berputera
Muhammad al-Baqir, berputera
Imam Ja'far ash-Shadiq, berputera
Ali al-Uraidhi, berputera
Muhammad al-Naqib, berputera
Isa al-Rumi, berputera
Ahmad al-Muhajir, berputera
Ubaidillah, berputera
Alawi, berputera
Muhammad, berputera
Alawi, berputera
Ali Khali' Qosam, berputera
Muhammad Shahib Mirbath, berputera
Sayid Alwi, berputera
Sayid Abdul Malik, berputera
Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera
Sayid Abdul Kadir, berputera
Maulana Isa, berputera
Syekh Datuk Soleh, berputera
Syekh Siti Jenar
Hubungan keluarga dengan Syekh Nurjati.
Maulana Isa, Kakek dari Syekh Siti Jenar, adalah seorang tokoh agama yang berpengaruh pada zamannya. Putranya adalah Syekh Datuk Ahmad dan Syekh Abdul Soleh (ayah dari Syekh Siti Jenar). Syekh Datuk Ahmad, kakak dari ayah Syekh Siti Jenar, memiliki putra Syekh Datuk Kahfi yang selanjutnya dikenal pula dengan nama Syekh Nurjati.
SYAHADAT PANETEP PANATAGAMA
Sahadat Panêtêp Panatagama
Kang jumênêng Ruh Ilapi,
Kang ana têlênging ati,
Kang dadi Pancêring Urip,
Kang dadi lajêre Allah,
Madhêp maring Allah,
Iku wayangan-Ingsun Ruh Muhammad,
Iya iku Sajatining Manungsa,
Iya iku kang Wujud Sampurna.
Ya Hu Allah.”
Terjemahan :
“Kesaksian Pengokoh Inti Agama,
Adalah sebagai Ruh Idhofi (Spirit Yang Menguatkan),
Yang ada di pusat bathin,
Yang adalah sumber kehidupan,
Yang merupakan satu keadaan dengan Allah,
Yang senantiasa menghadap kepada Allah,
Itulah bayangan/percikan-KU yang disebut Ruh atau Muhammad (Sejati),
Itulah Sejatinya Manusia,
Itulah Wujud Sempurna,
Ya Hu Allah.”
Penjelasan :
Ruh Ilapi/Ruh Idhafi inilah yang :
Kang ana têlênging ati,
Kang dadi Pancêring Urip,
Kang dadi lajêre Allah,
Madhêp maring Allah,
(Yang ada di pusat bathin,
Yang adalah sumber kehidupan, Yang merupakan satu keadaan dengan Allah, Yang senantiasa menghadap kepada Allah)
Dan Ruh Ilalapi/Idlafi ini adalah :
Iku wayangan-Ingsun Ruh Muhammad,
Iya iku Sajatining Manungsa,
Iya iku kang Wujud Sampurna.
(Itulah bayangan/percikan-KU (Allah) yang disebut Ruh atau Muhammad (Sejati),
Itulah Sejatinya Manusia,
Itulah Wujud Sempurna)
Esensi manusia adalah Ruh Idhafi. Disebut pula Muhammad Sejati (Bukan Muhammad bin Abdullah). Dan Ruh Idhafi ini adalah 'Wayangan' (Bayangan) Allah sendiri.
Doa ini adalah mengingatkan senantiasa kepada kita, bahwa kita adalah bayangan Allah. Jadi jangan sembarangan dalam mengarungi hidup dan kehidupan.
SADAT (SYAHADAT) PANETEP PANOTOGOMO
Kadangkala seseorang dalam mengarungi bahtera hidupnya selalu menemui persoalan, seperti kesulitan ekonomi, gagal dalam menggapai cita cita, sering sakit sakitan,kurang berwibawa, kurang disukai orang banyak, bahkan kadangkala jiwanya teramcam.
Untuk semua problema itu hendaklah kita hadapi dengan penuh ketaqwaan dan tawakkal kepada Allah SWT, dan bukan dihadapi dengan jalan yang menyimpang dari ajaran agama.
Oleh karena itu saya sengaja menulis artikeli ini, dengan harapan dapat membantu para pembaca apabila menghadapi problem problem atau persoalan persoalan seperti tersebut di atas dengan mengamalkan Sadat (syahadat) Panetep panotogomo.
Orang Jawa kejawen mengenal istilah sadat panetep panotogomo, syahadat ini menurut saya adalah suatu ikrar atau janji diri sendiri akan sebuah prinsip dasar atau hukum dasar yang bersumber dari Diri Pribadi, yang merupakan tekad bahwa diri ini adalah sifatullaah.
Untuk lebih jelasnya mari kita simak mantra sadat panetep panotogomo sebagai berikut :
Ratu Kesdik, Sidik panetep panotogomo, Niyatingsun angrawuhi sadat panetep panotogomo.
Roh ilapi (idhofi) kang dadi telenging ati,kang dadi telenging ati-kang dadi pancering urip, kang dadi lajering Allah.Kang madhep maring Allah,iya ingsun sejatining manungsa sampurno, slamet donyo slamet ngakherot.
Yen alum, siramono,
Yen doyong, jejegno,
Jeg jejeg saking kersaning Allah, Laa ilaaha illallaahu Muhammadur Rasulullaah.
Penjelasan sebagai berikut :
Esensi manusia adalah Ruh Idhofi/Ilapi,disebut pula dengan sebutan Muhammad Sejati (bukan Muhammad bin Abdullah). Dan Ruh Idhofi ini adalah wayangan/bayangan Allah sendiri.
Dengan doa ini/mantra ini,adalah mengingatkan senantiasa kepada kita,bahwa kita ini adalah bayangan Allah. Jadi janganlah kita sembarangan dalam mengarungi dan menjalani hidup dan kehidupan ini.
Untuk lebih jelas dan mantap mari kita simak mantra sadat panetep panotogomo dalam versi lain, seperti dibawah ini :
Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Syahadat panetep panotogomo kang jumeneng Roh Idhofi, kang ana telenging ati, kang dadi pancering urip, kang dadi lajering Allah madhep marang Allah-iku wayanganku, Roh Muhammad, iyaiku sejatining manungsa, iyaiku kang wujud sampurno, Allaahumma kun walikun, jukat astana Allah, pan kapatullaah, yaa Huu Allah, Muhammad Rasullaah.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa, Kesaksian pengokoh inti syahadat ini adalah sebagai Roh Idhofi (spirit yang menguatkan), yang ada di pusat bathin,yang tidak lain adalah sumber kehidupan, yang merupakan satu keadaan dengan Sang Ilahi,yang senantiasa menghadap Allah, itulah bayangan/percikan Allah, yang disebut Ruh Idhofi atau Muhammad Sejati dan itulah sejatinya manusia dan itulah wujud sempurna.
SYAHADAT
28. Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran. (mantra Wedha, hlm. 54).
(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang hidup tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain adalah Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-tunggal menempati secara abadi memelihara budi, angan-angan selalu menghadap Tuhan).
Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya adalah syahadat Nur Muhammad. Suatu penyaksian bahwa kedirian manusia adalah bagian dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, jelas bahwa kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif, dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam pandangan sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan itu harus memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu, orang tersebut tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang buana menuju asal muasal hidup. Oleh karenanya keadaan kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting adanya syafa’at sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat Muhammad. Nur Muhammad adalah roh kesadaran bagi tiap Pribadi dalam menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka pengalaman kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis kematian yang pasif, atau kematian yang negatif, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang terjadi terhadap hewan.
Kematian itu adalah sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab ia hanyalah pintu menuju keadaan manunggal. Dalam ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum ‘awam (orang yang belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di atas, nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetap tidak kehilangan kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya ia tetap sadar dalam pengalaman kematian itu, bahwa ia sedang menempuh salah satu lorong manunggal. Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan Sang Tunggal. Kematian manusia adalah proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha Hidup), sehingga hanya dengan pintu yang dinamakan kematian itulah, manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang tan kena pati, hidup yang tidak terkena kematian.
29.“Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah. (mantra Wedha, hlm. 54).
(Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman hati, yang menjadi sumbernya kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah).
Syahadat ini adalah sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang umum. Pengucapannya tidak berhubungan dengan waktu, tempat, dan keadaan tertentu sebagaimana syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.
30.“Ini adalah syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
1. Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada pusar, maka bacaan syahadatnya adalah, “la ilaha illalah, Muhammad rasulullah.”
2. Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya adalah “la ilaha illa Anta”.
3. Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya “la ilaha illa Huwa”.
4. Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui jalannya keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat banyak sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya. Jika rohnya tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya roh adalah “la ilaha illa Ana”. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).
Ajaran tentang syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi orang yang belum mampu menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan prasyarat lahiriyah yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah mampu menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang, juga bukan masalah waktu. Kematian termasuk dalam salah satu agenda manunggalnya iradah dan qudrat kawula Gusti dan sebaliknya.
Kalau diperhatikan secara seksama, ajaran Syekh Siti Jenar yang dikhususkan bagi kalangan ‘awam (yang tidak mampu mengalami Manunggaling Kawula Gusti secara sempurna) tersebut hampir sama dengan ajaran Syuhrawardi.
SYEKH SITI JENAR GURU MISTIK SEJATI
Dunia Keris Selamat datang kerabat perkerisan. Sejarah ialah milik penguasa. Dia yang menentukan benar atau salah seseorang, dia juga yang menentukan benar tidaknya suatu cerita. Namun galibnya sebuah kehidupan yaang dipergilirkan, penguasa tidak bisa hidup selama-lamanya mereka dikalahkan oleh waktu dan waktulah yang akan membuktikan apa itu kebenaran dan cerita sesungguhnya yang terjadi.
Di dalam masyarakat Jawa, dikenal adanya tokoh penyiar agama Islam yang hidup pada jaman Kerajaan Demak jaman Raden Patah yang menjadi Sultannya, yang kemudian dihukum mati oleh Raja dan Dewan Wali karena dianggap telah menyebarkan ajaran yang sesat. Tokoh tadi ialah Syeh Siti Jenar yang juga seringkali disebut Syeh Lemah Abang.
Menurut kisah yang beredar dalam masyarakat, Syeh Siti Jenar ini dahulunya berasal dari seekor cacing di dalam tanah lempung yang dipergunakan buat menambal perahu saat Sunan Bonang (salah seorang Walisongo) sedang mengajarkan pengetahuan tingkat tinggi dalam agama Islam kepada Sunan Kalijogo (yang waktu itu masih menjadi muridnya). Baca selengkapnya dalam tulisan Makna Filosofis Cacing dari Sejarah Asal-Usul Siti Jenar.
Dengan kelebihannya, cacing yang turut serta mendengarkan ajaran tadi kemudian disabda oleh Sunan Bonang menjadi manusia. Dalam perkembangannya, manusia yang berasala dari cacing ini kemudian diberi nama Siti Jenar (siti = lemah = tanah, jenar atau abrit = kuning atau merah = lempung = tanah liat) yang nantinya juga turut serta menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa.
Dalam menyebarkan ajaran Islam, Syeh Siti Jenar melakukannya di daerah pedalaman Jawa dan mendapatkan banyak pengikut, baik dari kalangan orang kebanyakan maupun kalangan bangsawan yang merupakan sisa-sisa pejabat di daerah bekas kerajaan Majapahit. Salah satu pengikutnya ialah Ki Ageng Pengging (Ki Kebo Kenongo), yang merupakan keturunan dari Raja Kertabumi, raja terakhir Majapahit.
Namun dalam perkembangannya, apa yang diajarkan oleh Syeh Siti Jenar yang dikenal mengajarkan piwulang manunggaling kawulo-gusti ini dipandang sudah melenceng dari ajaran Islam, dan dianggap sebagai ajaran yang sesat dan harus dilenyapkan oleh Raden Patah (Raja Demak) dan Dewan Wali. Syeh Siti Jenar kemudian ditangkap dan dihukum mati di Demak.
Syeh Siti Jenar dihukum pancung, kemudian dimasukkan ke dalam peti sebelum dikuburkan. Saat jenasah masih di dalam peti pada saat dibuka dan akan dikuburkan, ternyata yang ada di dalamnya bukan jenazah Syeh Siti Jenar, namun bangkai anjing hitam kudisan. Syeh Siti Jenar yang semula berasal dari cacing telah meninggal menjelma anjing hitam kudisan.
Kisah yang disampaikan di atas merupakan sebuah versi yang diceritakan dari mulut ke mulut dan sudah lama beredar dalam masyarakat Jawa. Adakah versi yang lain dari kisah tadi? Buanyaaak. Sayang buat menuliskan versi yang berbeda mungkin pada kesempatan lainnya.
Terlepas dari kesimpangsiuran tentang sumber-usul Siti Jenar, seperti pada judul tulisan ini, setuju atau tidak, kehadiran mistik Syekh Siti Jenar telah mewarnai kehidupan mistik Kejawen. Mistik ini memang unik dan banyak menimbulkan kontroversi. Terlebih lagi, ketika Syekh Siti Jenar berbicara tentang Tuhan dan kematian, bisa jadi bagi sebagian orang hal ini dapat mengundang kebencian. Namun, sebagai sebuah wacana kultur mistik Kejawen hal ini pun patut diketahui. Ada yang berpendapat bahwa ajarannya termasuk golongan keras, bukan lembut dan sejuk. Dia lebih banyak memberikan mistik tajam, bukan lembut.
Berbicara tentang Syekh Siti Jenar dalam konteks mistik memang seringkali diperdebatkan. Setidaknya, banyak pihak selalu meneror bahwa dia penganut ajaran sesat. Dia menyimpang dari petuah atau paugerab yang sudah disepakati para wali. Sementara itu, ada juga yang masih angkat topi terhadap paham mistik Syekh Siti Jenar ini. Paling tidak, yang setuju ini akan berkilah bahwa Syekh Siti Jenar bukan penganut mistik yang sesat. Aika ada yang berkata demikian, berarti pemahaman mistiknya masih sepotong-potong.
Memang, belakangan sempat muncul dua versi kematian Syekh Siti Jenar yang mengimplikasikan dia berada di pihak yang salah atau benar. Pertama, di kalangan pesantren selalu ditekankan bahwa kematian Syekh Siti Jenar dihukum pancung. Alasan hukuman ialah ajaran dia yang dianggap menyesatkan masyarakat. Kedua, seperti yang pernah dikisahkan Abdul Munir Mulkan dalam bukunya Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar (2002) dan Achmad Chodjim dalam bukunya Syekh Siti Jenar, Makna Kematian (2002).
Syekh Siti Jenar mati karena memilih kematiannya sendiri. Proses semacam itu, hampir sama dengan cerita kematian pujangga besar Jawa R. Ng. Ranggawarsita di satu pihak ada yang mengisahkan dia mati terbunuh dan di lain pihak di mati karena mimilih jalan kematiannya.
Bagi pemerhati mistik kejawen, yang vital bukan pada perkara ajaran Syekh Siti Jenar sesat atau tidak, melainkan perlu dipahami mengapa Siti Jenar memandang dunia se-bagai alam kematian. Sedangkan para Walisanga tidak demikian halnya. Inilah tesis mistis Siti Jener yang luar biasa di zamannya. Karena, dia justru telah jenius memikirkan hidup sebagai hakikat. Dia super cerdas dan lebih berpikir tasawuf atau mistis ketimbang berpikir yang lugas.
Mari kita renungkan ajarannya tentang hidup dan kehidupan secara mistis. Dia berpendapat bahwa hidup yang selalu sedih, sengsara, kebingungan, dan sejenisnya ialah penjara. Ini bukan hidup di alam kehidupan, melainkan hidup di alam kematian. Manusia yang demikian sedang terpuruk dalam kematian hidup. Manusia yang terdegradasi nilai, yang curang, yang keras, yang korup, dan sebagainya ialah manusia yang telah mati menurut Siti Jenar. Aika demikian, berarti dunia ini telah dipenuhi berjuta-juta mayat yang kotor, bangkai yang amis, dan struktur kehidupan yang mati tidak karuan pula. Tak sedikit mayat yang kejar-kejaran mengais rejeki yang haram. Tak sedikit pula mayat yang berebut kedudukan. Apakah asumsi mistis semacam ini sesat?
Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa di era kematian ini, manusia terikat oleh pancaindera. Kondisi ini bukan keberadaan yang sesungguhnya. Hidup nyata baru akan ditemukan setelah mati. Di sana keadaan terang benderang, dan semua hal yang mengandung kebaruan. Manusia tidak lagi harus didampingi siapa-siapa. Manusia akan hidup mandiri. Siti Jenar berpandangan bahwa hidup setelah mati lebih indah dan lebih segalanya. Karena itu, dia rindu kematian. Dia sangat rindu terhadap alam real ketika dia belum jatuh ke kematian. Dia ingin kembali dalam keadaan suci atau semula, ketika belum kotor.
Untuk itu, Siti Jenar mengajarkan bahwa hidup manusia akan mengalami proses mistis. Ajaran dia, tersimpul ke dalam lima utama wejangan, yaitu :
Ajaran sumber-usul kehidupan atau Sangkan Paraning Dumadi,
Ajaran tentang pintu kehidupan,
Ajaran tentang loka manusia esok hari yang kekal dan tak pernah mati,
Ajaran alam kematian yang sedang dijalani manusia sekarang,
Ajarang tentang Yang Maha Luhur yang menjadikan bumi dan angkasa.
Kiranya, semua itu yang keliru ialah penerapan mistik Siti Jenar yang disalah artikan. Tak sedikit memang orang yang menerima wejangan dia, lalu berbuat onar, bernuat jelek, bunuh diri, dan seterusnya. Pendek kata, tidak sedikit di antara mereka yang segera ingin mati, karena hidup di kelak kemudian hari justru lebih paripurna. Kalau begitu, yang keliru ialah cara menjalani ajaran Siti Jenar, bukan ajaran itu sendiri. Cinta mati kan sebenarnya bagus, tetapi jikalau mereka segera ingin mati dengan jalan kacau, ini yang salah. Padahal, sejauh pemahaman saya, Siti Jenar tidak mengajarkan orang harus bunuh diri, ini masalahnya.
GURU MISTIK SEJATI
Syekh Siti Jenar sesungguhnya tergolong guru mistik yang brilian. Dia guru mistik sejati yang memahami berbagai hal. Dia juga dikenal sebagai guru sekaligus wali yang menyebarkan Islam Jawa di tanah Jawa secara kontekstual. Dasar penyampaian ajarannya ialah realita, karenanya dalam berbagai hal ada yang disesuaikan dengan kondisi Jawa. Karena itu, ketika Ki Ageng Pengging tidak mau sowan ke Demak Bintara sebagai pembangkangan atas ajaran Siti Jenar, tragedi ini masih perlu ditinjau lagi. Bukankah di dalam karya berjudul Syekh Siti Jenar itu, Ki Ageng Tingkir juga telah mengingatkan secara politis terhadap tindakan Ki Ageng Pengging?
Dalam kaitan itu, Ki Ageng Pengging memang menjadi manusia bebas. Ia hidup di bumi Tuhan, bukan bumi Demak. Paham semacan ini, kalau dipahami secara politis tentu akan keliru. Paham ini perlu diterjemahkan dari aspek mistis bahwa hakikat hidup memang kebebasan itu. Manusia bebas hidup di mana saja. Manusia bebas menentukan apa saja, sejauh dalam kerangka Tuhan. Kalau begitu apakah pandangan Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga itu salah?
Tokoh yang semula tergores mistis dalam syair Semut Ireng lalu ada baris berbunyi : kebo bongkang nyabrang kali Bengawan (kerbau besar yaitu Kebokenangan yang menyeberang ke sebelah barat Majapahit), sebenarnya mulia. Dia pernah lari dari Majapahit, karena tidak mau mengikuti ajaran yang disampaikan Sabdopalon dan Nayagenggong.
Itulah sebabnya, dengan mengikuti paham Siti Jenar, Ki Kebo Kenanga tidak takut menghadapi resiko hidup. Hidup bagi dia ialah pilihan. Kematian bagi dia bukan hal yang sengsara, andaikata harus menerima hukuman mati. Bahkan menurut dia, takdir baginya sulit ditunda. Bagi dia, yang selalu dikendalikan Yang Maha Kuasa. Biarpun utusan Demak datang, dia tidak takut menhadapi bahaya. Karena, di situlah dia berjuang buat hidup. Dalam perjuangan itu, jikalau selesai tugas kejiwaannya akan segera kembali ke alam aning anung yaitu alam bahagia, tentram, tak pernah mati.
Yang menarik lagi dari pandangan dia ialah persoalan belajar (berbudaya). Aika hewan berdasarkan insting, manusia Jawa mengikuti guru. Dalam pandangan Islam Jawa, setidaknya ada empat macam guru :
1. Guru Ujud, yaitu seorang guru biasa, seperti guru di sekolah, guru mengaji, dsb.
2. Guru Pituduh, yaitu guru yang bertugas memberi petunjuk kepada murid-muridnya.
3. Guru Sejati, yaitu guru yang memahami hakikat hidup. Guru ini akan mengajarkan bagaimana menempuh jalan kematian, kesempurnaan, kelepasan.
4. Guru Purwa, yaitu guru yang tertinggi. Ia ibarat manifestasi Tuhan. Dia mengetahui kodrat dan iradatnya.
Tampaknya, Syekh Siti Jenar meletakkan dirinya pada guru sejati dan guru purwa. Hal ini tampak pada pembahasan tentang kematian dia. Masalah proses dan makna kematian, digambarkan dari aspek psikologi Islam Jawa. Proses kematian dan maknanya ditinjau dari aspek kehidupan kejiwaan (psikologi Jawa), manusia harus melepaskan nafs (napas), napas ialah batin (rasa) yang keluar masuk dalam raga. Nafs terdiri dari tujuh tataran kejiwaan, yaitu : jiwa al amarah, jiwa lawwa-mah, jiwa mulhamah, jiwa mutmainah, jiwa spiritual, jiwa lubbi-yyah (kosmik), dan jiwa rahsa (nirwana).
Jiwa al-amarah yang berfungsi mengoperasikan organ tubuh, tidak sekedar membuat orang marah. Jiwa lawwamah, yaitu jiwa yang letaknya lebih dalam lagi, lebih halus, yang ketika orang tidur akan menciptakan mimpi yang menembus ruang dan waktu. Jiwa mulhamah yaitu batin manusia yang menimbulkan mereka dapat menerima petunjuk Tuhan.
Jiwa mutmainah, yaitu batin manusia yang tenang. Aika ini diaktifkan manusia Jawa akan mampu melihat apa yang disebut clairvoyance, yaitu obyek atau tragedi di luar fisik (metafisik). Namun, jiwa ini masih bersifat semu, misalkan kenikmatan seksual, misalkan suami impoten atau isteri figrid nyatanya tidak diperoleh kenikmatan. Berarti masih lahiriah atau batin semu.
Jiwa spiritual, yaitu batin manusia yang mampu melakukan kontak dengan alam gaib. Dalam masyarakat Jawa, tradisi semacam ini dinamakan alam supena, alam mimpi yang mempengaruhi jiwa manusia mampu menerawang terhadap kejadian mendatang. Batin ini ke arah futuristik atau jangka (ramalan), orang Jawa menyebut ngerti sadurunge winarah. Artinya mengetahui yang bakal terjadi. Misalkan lagi, gerak pikiran (batin) merasa nikmat secara otomatis.
Ketika kita harus menganggukkan kepala, menyembah, melambaikan tangan pada saat berhubungan dengan orang lain, ialah wacana batin spiritual. Jiwa lubbiyyah (kosmik), telah meninggalkan alam pikiran, masuk ke alam intuisi. Kehidupan tidak dapat selalu melalui kesadaran panca indera. Misalkan saja ketika orang berdzikir atau pun meditasi, mereka merasa hilang, yang ada hanyalah halusinasi dan ilusi. Dari sini orang akan menerima wisik. Jiwa rahsa (nirwana), yaitu keadaan nafs yang melukiskan bahwa alam ini ialah alam langit, alam murni, penuh ketiadaan (sunyaruri).
Begitulah esensi apa yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar, yang kadang-kadang merasakan ketiadaan Tuhan, dan yang ada ialah ingsun (aku). Tapi pada baik lain, dia juga mengakui adanya Tuhan, misalkan kutipan berikut : Syekh Lemahbang darmastuteng karsa / sumarah ing Hyang dhawuhe. Kata Hyang yang merupakan bukti sinkretisme dengan ajaran Hindu, sebenarnya juga menunjukkan bahwa dia percaya kepada Tuhan. Ia pasrah total kepada Tuhan.
Pada suatu saat, dia memang meremehkan sarengat dan pada bait lain juga menganggap sarengat itu vital dan seterusnya. Tegasnya, ajaran Syekh Siti Jenar masih merupakan teka-teki. Kemungkinan adanya rekayasa kultural dan politisasi ajaran juga sangat mungkin. Maka, pemahaman menyeluruh ajaran dia memang perlu, guna menyelami hakikat Islam Jawa.
Tampaknya, bagi dia ajaran memang diramu dengan mistik kejawen. Aika ajaran ini dipahami sepenggal, maka orang umum akan menyatakan dia musyrik. Padahal, bagi dia hidup ialah proses buat menemukan ananeng, ananing, uninung, uninang. Artinya, hidup buat mencari kejernihan batin. Hidup buat mencari dunung (tujuan). Tujuan hidup akan tercapai melalui sangkan paraning dumadi. Ini paham Islam Jawa yang selalu menjadi misterius.
SYEKH SITI JENAR GURU MISTIK SEJATI DAN SARIPATI AJARANNYA
Ingsun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun, Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar.. sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa, mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun. (R. Ng. Ranggawarsita, WIRID Punika Serat Wirid Anyariyo-saken Wewejanganipun Wali VIII, Administrasi Jawi Kandha Surakarta, penerbit Albert Rusche & Co., Surakarta, 1908, hlm.15-16).
Terjemahan:
Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku, sesungguhnya yg dikenal sebagai Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku), Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yang hidup tidak akan terkena mati, Akulah Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa, Akulah Dzat yang kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku) tidak ada yang samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benerang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku.
Ajaran tersebut dikenal sebagai sebagai ajaran atau wejangan Sasahidan Serat Wirid Hidayat Jati merupakan naskah paling terkenal hasil karya R. Ng. Ranggawarsita.
Menurut R. Ng. Ranggawarsita, naskah tersebut merupakan wejangan wali ke-8. Wali VIII yang dimaksud merupakan Sunan Kajenar atau Syekh Siti Jenar. Ini sesuai dengan pernyataan Ranggawarsita sendiri dalam naskah tersebut pada halaman 5 dan 6, dimana wejangannya merupakan Sasahidan atau Penyaksian. Oleh Ranggawarsita, Sunan Kajenar dikenal sebagai sebagai wali dalam dua angkatan, yakni angkatan pertama di awal Kerajaan Demak dan angkatan dua, yakni pada masa akhir Kerajaan Demak. Melihat pernyataan ini, logis jikalau tahun wafatnya Syekh Siti Jenar ditetapkan pada tahun 1517, sebab setelah kekuasaan Raden Fatah usia Kerajaan Demak tidak berlangsung lama, disambung dengan Kerajaan Pajang.
Dari wejangan Sasahidan itu, nampaklah pengalaman spiritual dan keadaan kemanunggalan pada diri Syekh Siti Jenar terjadi dalam waktu yang lama, dan mendominasi keseluruhan wahana batin Syekh Siti Jenar. Nampak juga bahwa dalam intisari ajaran tersebut, konsistensi sikap batin dan sikap dzahir dari ajaran Syekh Siti Jenar. Bika ilmu tidak ada yang dirahasiakan dalam pengajaran, maka demikian pula pengalaman batin dari keagamaan juga tidak mampu disembunyikan. Dan pengalaman keagamaan yang terlahir tidak harus ditutup-tutupi walaupun dengan dalih dan selubung syariat. Dan akhirnya dalam ajaran Sasahidan itulah, semua ajaran Syekh Siti Jenar tersimpul.
KEMANUNGGALAN KEIMANAN
Adapun manunggalnya keimanan, itu menjadi daerah berkumpulnya jauhar (mutiara) Muhammad, terdiri atas 15 perkara, seperti perincian di bawah ini :
Imannya imam, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan keberadaan Allah.
Imannya tokide (tauhid), maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan panunggale (daerah manunggalnya) Allah.
Imannya syahadat, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan sifatullah (sifatnya Allah).
Imannya marifat, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kewaspadaan Allah.
Imannya shalat, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan menghadap Allah.
Imannya kehidupan, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kehidupannya Allah.
Imannya takbir, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kepunyaan keagungan Allah.
Imannya saderah, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan pertemuan Allah.
Imannya kematian, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kesucian Allah.
Imannya junud, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan wadahnya Allah.
Imannya jinabat, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kawimbuhaning (bertambahnya nimat dan anugerah) Allah.
Imannya wudlu, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan asma (Nama) Allah.
Imannya kalam (perkataan), maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan ucapan Allah.
Imannya akal, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan juru bicara Allah.
Imannya nur, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan wujudullah, yaitu daerah berkumpulnya seluruh jagat (makrokosmos), dunia akhirat, surga neraka, arsy kursi, loh kalam (lauh al-kalam), bumi langit, manusia, jin, belis (iblis) laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya jantung yang dikenal sebagai alam kiyal (alam al-khayal), maksudnya merupakan angan-angannya Tuhan, itulah yang agung yang dikenal sebagai alam barzakh, yang dimaksudnya merupakan pamoring gusti kawula, yang dikenal sebagai alam mitsal, yang dimaksudnya merupakan awal pengetahuan, yaitu kesucian dzat sifat asma afal, yang dikenal sebagai alam arwah, maksudnya berkumpulnya nyawa yang merupakan dipenuhi sifat kamal jamal. (Wedha Mantra, hlm. 54-55).
Ajaran tersebut terkenal dengan sebutan panunggaling iman. Dari aplikasi iman dalam bentuk keimanan Manunggaling Kawula-Gusti tersebut tampak, bahwa fungsi manusia sebagai khalifatullah (wakil real Allah) di muka bumi betul-betul nyata. Manusia merupakan cermin dan pancaran wujud Allah, dengan fungsi iradah dan kodrat yang berimbang. Semua bentuk syariat agama ternyata memiliki wujud implementasi bagi tekad hatinya, sekaligus ditampakkan melalui tingkah lahiriyahnya.
Jelas sudah bahwa dalam sistem sufisme Imannya kehidupan, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kehidupannya Allah, ajaran langit Allah berhasil dibumikan oleh Imannya kehidupan, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kehidupannya Allah. Melalui doktrin utama Manunggaling Kawula-Gusti. Manusia diajak untuk membuktikan keberadaan Allah secara langsung, bukan hanya memahami keberadaan dari sisi nalar-pikir (ilmu) dan rasa sentimen makhluk (perasaan yang dipaksa dengan doktrin surga dan neraka). Imannya kehidupan, maksudnya merupakan jangan ragu dan jangan mensekutukan, engkau merupakan kehidupannya Allah. Mengajarkan dan mengajak manusia bareng-sama merasakan Allah dalam diri pribadi masing-masing.
IMAN
Adapun yang menjadi maksud
Iman, merupakan pangandeling (pusaka andalan), roh.
Tokid (tauhid), panunggale (saudara tak terpisah, daerah manunggal) roh.
Marifat, penglihatan roh.
Kalbu, penerimaan (antena penerima) roh.
Akal, pembicaraannya roh.
Niat, pakaremaning roh.
Shalat, menghadapnya roh.
Syahadat, keadaan roh. (Wedha Mantra, hlm. 54)
Pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut mempertegas maksud Manunggalnya Iman di atas. Di dalam hal ini, Syekh Siti Jenar menjelaskan maksud dari masing-masing doktrin pokok tauhid dan fiqih ketika dikaitkan dengan spiritual. Iman, tauhid, marifat, qalbu, dan akal merupakan doktrin pokok dalam wilayah tauhid; dan niat, shalat serta syahadat merupakan doktrin pokok fiqih. Oleh Syekh Siti Jenar semua itu sirangkai menjadi bentuk perbuatan roh manusia, sehingga masing-masing memiliki peran dan fungsi yang mampu menggerakkan seluruh kepribadian manusia, lahir dan batin, roh dan jasadnya. Itulah makna keimanan yang sesungguhnya. Sebab rukun iman, rukun Islam dan ihsan pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan yang utuh yang membentuk kepribadian illahiyah pada kedirian manusia. Yang dikenal sebagai kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai.
Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesantrian yang beraneka ragam.
Iradatnya artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari pancaindera bagaikan anak gumpitan lepas tertiup. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III Dandangula, 31).
Bagi Syekh Siti Jenar, kodrat dan iradat bukanlah hal yang terpisah dari manusia, dan bukan mutlak milik Allah. Kodrat dan iradat dari Syekh Siti Jenar terkait erat dengan eksistensi sang Pribadi (manusia). Pribadi merupakan eksistensi roh. Maka jikalau roh merupakan pancaran cahaya-Nya, pribadi merupakan tajalli-Nya, penjelmaan Diri-Nya. Pribadi merupakan Allah yang menyejarah. Maka Syekh Siti Jenar mengemukakan bahwa dirinya merupakan sang pemilik dua puluh sifat ketuhanan. Oleh karena itu kodrat merupakan kuasa pribadi, sifat yang melekat pada pribadi sejak zaman azali dan itu langgeng. Demikian pula adanya iradat, kehendak atau keinginan.
Antara karsa, keinginan dan kuasa, merupakan hal yang selalu berkelindan bagi wujud keduanya. Tentu menyangkut kehendak, setiap pribadi memiliki karsa yang mampu berdiri diatas kaki sendiri dan yang berhak merumuskan hanyalah perundingan antara pemilik iradah dengan Yang Maha Memiliki Iradah. Kemudian untuk mewujudkan rasa cipta itu, perlu juga pelimpahan kodrat Allah pada manusia. Untuk itu semua, Syekh Siti Jenar mendidik manusia untuk mengetahui Yang Maha Kuasa, dan mengetahui letak pintu kehidupan serta kematian. Tujuannya kentara, agar manusia menjadi Pribadi Sejati, pemilik iradah dan kodrat bagi dirinya sendiri.
SYAHADAT
Inilah maksud syahadat :
Ashadu : jatuhnya rasa,
Ilaha : kesejatian rasa,
Illallah : bertemu rasa.
Muhammad hasil karya yang maujud, Pangeran, kesejatian kehidupan.
Dalam hal syahadat ini, Syekh Siti Jenar mengajarkan aneka macam macam syahadat dan hal itu selaras dengan konsep utama ajarannya, manunggaling kawula-Gusti, serta tetap di atas fondasi ajaran shalat daim. Syahadat dalam hal ini, merupakan menjadi keadaan roh, bukan sekedar ucapan lisan, dan hasil pengolahan nalar-pikiran, atau bisikan hati. Susunan kalimat syahadat merupakan adonan bahasa Arab dan bahasa Jawa. Hal ini menjadi kebiasaan Syekh Siti Jenar dalam mengajarkan ajaran-ajarannya, sehingga dengan mudah dan gamblang murid serta pengikutnya mampu memahami dan mengamalkan ajaran tersebut, tanpa kesulitan hasil kendala bahasa.
Beberapa wali di Jawa, selain Syekh Siti Jenar juga memiliki dan mengajarkan syahadat. Misalnya syahadat Sunan Giri, Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana sinarawedi, sahadu minangka kencana sinarawedi, dzat sukma kang ginawa mati, kurungan mas ilang tanpa kerana, sira muliha maring kubur.
SYAHADAT SUNAN BONANG
Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, linggih ing maligi mas, ulir sjroh-ning geni muskala, ilang ing kawulat aja kari, ya hu ya hu ya hu, sirna kurungan tanpa kerana.
SYAHADAT SUNAN KALIJAGA
Bismillahirrahmanirrahim, syahadat kencana, kurungan mas, kuliting jati sajatining sukma, ginawa mati, sirna tan ana kari, sukma ilang jiwa ilang, kang lunga padha rupane, dap lap ilang, (Wejangan Walisanga, hlm. 50).
SYAHADAT SYEKH SITI JENAR
Dibawah ini merupakan aplikasi syahadat dari Syekh Siti Jenar. Sebagian syahadat yang ada merupakan dzikir dan wirid ketika Syekh Siti Jenar mengajarkan cara melepaskan air kehidupan (tirta nirmaya) untuk membuka pintu kematian menuju kehidupan sejati di alam akhirat. Syahadat-syahadat sejenis juga diajarkan oleh Ki Ageng Pengging kepada Sunan Kudus, sebelum wafatnya.
Jatuhnya rasa (tibaning rasa) maksudnya merupakan meresapnya Allah dalam kehendak dan kedalaman jiwa. Ini kemudian dipupuk dengan laku spiritual yang melahirkan sajatining rasa (kesejatian rasa), di mana ruang keseluruhan jiwa telah terdominasi oleh al-Haqq (Allah). Kemudian lahirlah ungkapan illallah sebagai puncak, yakni pertemuan rasa, manunggalnya yang mengungkapkan asyhadu dengan sarana ungkapan, yakni Allah.
Kemanunggalan ini memunculkan tenaga dan energi kreativitas positif, dalam bentuk karya yang berbentuk nyata, berguna dan berdaya guna, serta bersifat langgeng, yang diidentifikasikan dengan sebutan Muhammad (Yang Memiliki Segala Keterpujian) sebagai perwujudan riil dari sang Wajib al-Wujud. Maka diri manusia sebagai Pangeran (Tuhan) itulah yang perupakan kesejatian hidup atau kehidupan.
SYAHADAT AJARAN SYEHK SITI JENAR
Syahadat dalam sistem ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah hanya sekedar bentuk pengakuan lisan yang berupa syahadat tauhid dan syahadat rasul. Namun syahadat merupakan persaksian batin, yang teraplikasi dalam tindakan dzahir sebagai wujud kemanunggalan kawula-Gusti. Dengan demikian syahadat mampu melahirkan karya-karya yang berguna.
Mengertilah, bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jikalau tidak tau maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti fauna. Lafalnya mengucapkan merupakan : Syahadat Sakarat Sajati, iya Syahadat Sakarat, wus gumanang waluya jati sirne eling mulya maring tunggal, waluya jati iya sajatining rasa, lan dzat sajatining dzat pesthi anane langgeng tan kenaning owah, dzat sakarat roh madhep ati muji matring nyawa, tansah neng dzatullah, kurungan mas melesat, eling raga tan rusak sukma mulya Maha Suci. (Mantra Wedha, bab 205, hlm. 53).
Syahadat Sakarat Sejati merupakan Syahadat Sakarat (menjelang dan proses datangnya pintu kematian), sudah nyata penuh kesempatan hilangnya ingatan kemuliaan kepada yang tunggal, keselamatan dan kesentosaan itu merupakan sejatinya kehidupan, tunggal sejatinya hidup, hidup sejatinya rasa dan sejatinya rasa dan dzat sejatinya dzat pasti dalam keberadaan kelanggengan tidak terkena perubahan, dzat sekarat roh menghadap hati memuji nyawa, selalu berada dalam dzatullah, sangkar mas hilang, mengingat raga tidak terkena kerusakan sukma mulia Maha Suci.
Syahadat Sakarat merupakan syahadat atau persaksian menjelang kematian. Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu ajaran Syekh Siti Jenar merupakan kemampuan memadukan iradah dan qudrat diri dengan iradah dan qudrat Ilahi, sebagai efek kemanunggalan. Sehingga apa yang menjadi ilmu Allah, maka itu merupakan ilmu diri manusia yang manunggal. Maka orang yang sudah meninggal mencapai al-Insan al-Kamil, juga mengetahui kapan saatnya dia meninggalkan alam kematian di dunia ini, menuju alam kehidupan sejati di akhirat, untuk menyatu selamanya dengan Allah.
Syahadat sekarat yang terpapar di atas, merupakan syahadat sakarat yang bersifat umum, sebab nanti masih ada beberapa syahadat. Semua syahadat yang diajarkan Syekh Siti Jenar menjadi lafal harian atau dzikir, terutama ketika menjelang tidur, agar dalam kondisi tidur juga tetap berada dalam kondisi kemanunggalan iradah dan qodrat. Namun syahadat-syahadat yang ada tidak hanya sekedar ucapan, sebab ketika pengucapan harus disertai dengan laku (meditasi) dan paling tidak mengheningkan daya cipta, rasa dan karsa, sehingga lafal-lafal yang berupa syahadat tersebut, menyelusup jauh ke dalam diri atau dalam sukma.
Syahadat Allah, Allah, Allah lebur badan, dadi nyawa, lebur nyawa dadi cahya, lebur cahya dadi idhafi, lebur idhafi dadi rasa, lebur rasa dadi sirna mulih maring sajati, kari amungguh Allah kewala kang langgeng tan kena pati. (syahadat Allah, Allah, Allah badan lebur menjadi (roh) idhafi, (roh) idhafi lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggallah hanya Allah semata yang abadi tidak terkena kematian). [Mantra Wedha, hlm. 53).
Syahadat paleburan diucapkan ketika (menjalani keheningan = samadhi), menyatukan diri kepada Allah.
Lafal tersebut lahir dari pengalaman Syekh Siti Jenar ketika memasuki relung-relung kemanunggalan, di mana jasad fisiknya ditinggalkan rohnya, sesudah semua nafs dalam dirinya mengalami kasyaf.
Ashadu-ananingsun, la ilaha rupaningsun, illallah Pangeransun, satuhune ora ana Pangeran angging Ingsun, kang badan nyawa kabeh
Penjelasannya :
(ashadu-keberadaanku, la ilaha bentuk wajahku, illallah Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya).
Inilah yang dikenal sebagai Syahadat Sajati. Pengakuan sejati ini merupakan ungkapan yang sebenarnya bersifat biasa-biasa saja, di mana ungkapan tersebut lahir dari hati dan rohnya, sehingga dari ungkapan yang ada mampu diketahui sampai di mana tingkatan tauhidnya (tauhid dalam arti pengenalan akan ke-Esaan Allah), bukan sekedar pengenalan akan nama-nama Allah.
Sakarat pujine pati, maksude napas pamijile napas, kaketek meneng-meneng, iya iku sing ameneng, pati sukma badan, mulya sukma sampurna, mulih maring dzatullah, Allah kang bangsa iman, iman kang bangsa nur, nur kang bangsa Rasulullah, iya shalat albar, Muhammad takbirku, Allah Pangucapku, shalat jati asembahyang kalawan Allah, ora ana Allah, ora ana Pangeran, amung iku kawula tunggal, kang agung kang kinasihan. (mantra Wedha, hlm. 53).
Sekarat ku kemuliaan kematian, maksudnya merupakan napas munculnya napas, yang hilang berangsur-angsur secara diam-diam, yaitu yang kemudian diam, kematian sebagai sukma badan-wadag, kemuliaan sukma kesempurnaan, kembali kepada dzatullah, Allah sebagai labuhan iman, iman yang berbentuk cahaya, cahaya yang berwujud Rasulullah, yaitu merupakan shalat yang agung, Muhammad sebagai takbirku, Allah sebagai ucapanku, shalat sejati menyembah Allah, tidak ada Allah tidak ada Tuhan, hanyalah aku (kawula) yang tunggal saja, yang agung dan dikasihi.
Ini merupakan Syahadat Sakarat Permulaan Kematian. Ketika seseorang sudah melihat akhir hayatnya, maka orang tersebut diajarkan untuk memperbanyak melafalkan dan mengamalkan syahadat sakarat wiwitane pati ini.
Ashadu ananingsun, anuduhake marga kang padhang, kang urip tan kenaning pati, mulya tan kawoworan, elinge tan kena lali, iya rasa iya rasulullah, sirna manjing sarira ening, sirna wening tunggal idhep jumeneng langgeng amisesa budine, angen-angene tansah amadhep ing Pangeran. (mantra Wedha, hlm. 54).
(Ashadu keberadaanku, yang menunjukkan jalan yang terang, yang hidup tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena kematian, yang mulia tanpa kehinaan, kesadaran yang tidak terkena lupa, itulah rasa yang tidak lain merupakan Rasulullah, selesailah berada di alam terang, itulah hakikat Rasulullah, hilang musnah ketempat wujud yang hening, hilang keheningan menyatu-tunggal menempati secara abadi memelihara budi, angan-angan selalu menghadap Tuhan).
Syahadat Sekarat Hati pada hakikatnya merupakan syahadat Nur Muhammad. Suatu penyaksian bahwa kedirian manusia merupakan bagian dari Nur Muhammad. Dari inti syahadat ini, kentara bahwa kematian manusia bukanlah jenis kematian pasif, atau kematian negatif, dalam arti kematian yang bersifat memusnahkan. Kematian dalam pandangan sufisme Syekh Siti Jenar hanya sebagai gerbang menuju kemanunggalan, dan itu harus memasuki alam Nur Muhammad. Bentuk konkretnya, dalam pengalaman kematian itu, orang tersebut tidaklah kehilangan akan kesadaran manunggal-Nya. Ia melanglang buana menuju berasal muasal hidup.
Oleh karenanya keadaan kematiannya bukanlah suatu kehinaan sebagaimana kematian makhluk selain manusia. Di sinilah arti penting adanya syafaat sang Utusan (Rasulullah) dalam bentuk Nur Muhammad atau hakikat Muhammad. Nur Muhammad merupakan roh kesadaran bagi tiap Pribadi dalam menuju kemanunggalannya. Sehingga dengan Nur Muhammad itulah maka pengalaman kematian oleh manusia, bagi Syekh Siti Jenar bukan sejenis kematian yang pasif, atau kematian yang negatif, dalam arti kematian dalam bentuk kemusnahan sebagaimana yang terjadi terhadap fauna.
Kematian itu merupakan sesuatu aktivitas yang aktif. Sebab beliau hanyalah pintu menuju keadaan manunggal. Dalam ajaran Syekh Siti Jenar yang diperuntukkan bagi kaum umum (orang yang belum mampu mengalami Manunggaling Kawula-Gusti secara sempurna) di atas, nampak bahwa dalam kematian itu, seseorang tetp tidak kehilangan kesadaran kemanunggalannya. Dengan hakikat Muhammadnya beliau tetap sadar dalam pengalaman kematian itu, bahwa beliau sedang menempuh salah satu lorong manunggal. Melalui lorong itulah kediriannya menuju persatuan dengan Sang Tunggal. Kematian manusia merupakan proses aktif sang al-Hayyu (Yang Maha Hidup), sehingga hanya dengan pintu yang dinamakan kematian itulah, manusia menuju kehidupan yang sejati, urip kang tan kena pati, hidup yang tidak terkena kematian.
Syahadat Panetep panatagama, kang jumeneng roh idlafi, kang ana telenging ati, kang dadi pancere urip, kang dadi lajere Allah, madhep marang Allah, iku wayanganku roh Muhammad, iya, iku sajatining manusia, iya iku kang wujud sampurna. Allahumma kun walikun, jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah. (mantra Wedha, hlm. 54).
(Syahadat Penetap Panatagama, yang menempati roh idlafi, yang ada di kedalaman hati, yang menjadi sumbernya kehidupan, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku merupakan roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna. Allahumma kun walikun jukat astana Allah, pankafatullah ya hu Allah, Muhammad Rasulullah).
Syahadat ini merupakan sejenis syahadat netral, yakni yang memiliki fungsi dan esensi yang umum. Pengucapannya tidak berafiliasi dengan waktu, daerah, dan keadaan tertentu sebagaimana syahadat yang lain. Hakikat syahadat ini hanyalah berfungsi untuk meneguhkan hati akan tauhid al-wujud.
Ini merupakan syahadat sakaratnya roh (pecating nyawa), yang meliputi empat perkara :
Ketika roh keluar dari jasad, yakni ketika roh ditarik sampai pada pusar, maka bacaan syahadatnya merupakan, la ilaha illalah, Muhammad rasulullah.
Kemudian, ketika roh ditarik dari pusar sampai ke hati, syahadat rohnya merupakan la ilaha illa Anta.
Kemudian roh ditarik sampai otak, maka syahadatnya la ilaha illa Huwa.
Maka kemudian roh ditarik dengan halus. Saat itu sudah tidak mengetahui jalannya keluar roh dalam proses sekarat lebih lanjut. Sekaratnya manusia itu sangat banyak sakitnya, seakan-akan hidupnya sekejap mata, sakitnya sepuluh tahun. Dalam keadaan seperti itulah manusia kena cobaan setan, sehingga kebanyakkan kelihatan bahwa kalau tidak melihat jalan keluarnya roh menjadi lama dalam proses sekaratnya. Bika rohnya tetap mendominasi kesadarannya, tidak kalah oleh sifat setan, maka syahadatnya roh merupakan la ilaha illa Ana. (Mantra Wedha, bab 211, hlm. 57).
Ajaran tentang syahadat pecating nyawa tersebut diberikan oleh Syekh Siti Jenar bagi orang yang belum mampu menempuh laku manusia manunggal, sehingga diperlukan prasyarat lahiriyah yang berupa syahadat pecating nyawa tersebut. Bagi yang sudah mampu menempuh laku manunggal, maka prosesnya seperti yang dilakukan Syekh Siti Jenar, kematian bukan masalah kapan ajalnya datang, juga bukan masalah waktu. Kematian termasuk dalam salah satu rencana manunggalnya iradah dan qudrat kawula Gusti dan sebaliknya. Sekian.
Masih tentang sosok kontroversial, Syekh Siti Jenar serta sekaligus menyambung dua tulisan sebelumnya, Siti Jenar : Guru Mistik Sejati Penggoyang Kemapanan Demak serta Siti Jenar : Guru Mistik Sejati serta Saripati Ajarannya. Pada tulisan ketiga ini akan saya sarikan tentang pengakuan Siti Jenar bahwasanya dia bukanlah Tuhan seperti yang acapkali kita dengar serta baca dari berbagai tulisan selama ini.
Sebelum saya ajak kisanak membincang pengakuan sosok fenomenal karena kekontroversialnya ini, terlebih dahulu saya akan mengajukan pertanyaan sederhana untuk sampeyan semua. Pertanyaan ini sederhana, apa yang terlintas dalam benak sampeyan waktu mendengar nama Syekh Siti Jenar ?
Saya tidak mengatakan seluruhnya, tapi pada umumnya waktu mendengar atau menjawab pertanyaan di atas, biasanya pikiran kita langsung tertuju pada sosok seorang wali yang mempunyai kepribadian aneh, serta tentu saja lengkap dengan kontroversialnya. Benar demikian ?
Ya, harus kita akui, selama ini cerita tentang sosok satu ini penuh kesimpangsiuran yang bahkan sekedar namanya saja adalah sebuah nama yang penuh misteri serta serba gelap. Oleh karena itu pandangan orang-orang Jawa mengenai tokoh Syekh Siti Jenar bercampur antara mitos serta kisah konkret. Keanehan serta kekontroversialannya ini tidak lepas dari ajaran keagamaan yang disampaikan ke warga yang tergolong menyimpang dari pakem yang terdapat pada waktu itu.
Manunggaling kawula-gusti, adalah ajaran yang selalu disematkan pada seorang Siti Jenar. Sampai sekarang ini ajaran ini selalu dipandang sebagai ajaran bahwa makhluk bisa bersatu dengan Tuhan. Dengan kata lain tiada dua antara Tuhan serta manusia. Tidak ayal jika dahulu terdapat sebuah film tentang Syekh Siti Jenar yang menceritakan bagaimana lika-liku perjalanan Sang Syekh sampai menemui ajalnya. Bermula saat Sang Syekh tidak mau menghadap Raja Demak serta menghadiri sidang wali.
Atas putusan raja serta dewan wali diutuslah beberapa orang yang meminta Sang Syekh datang, saat para utusan uluk salam serta menanyakan keberadaan Sang Syekh, dijawab oleh Sang Syekh bahwa dia tidak terdapat yang terdapat adalah Allah, kemudian para utusan pulang berkata bahwa mereka ingin bertemu Allah, maka jawab Sang Syekh bahwa Allah tidak terdapat, yang terdapat adalah Sang Syekh. Akibatnya Sang Syekh harus mendapatkan hukuman pancung oleh dewan wali serta raja Demak, serta yang menyedihkan jenasah Sang Syekh yang berubah jadi anjing.
Inilah cerita keeksistensian Siti Jenar yang selama ini kita terima serta setujui begitu saja. Bahkan tidak hanya kalangan warga umum saja yang mendapatkan cerita itu, melainkan dari kalangan akedemis pun seolah manut, bahkan membumbui lebih ngeri lagi.
Pertanyaan kita, apakah benar Siti Jenar menyebut dirinya sebagai Allah? Apa maksud dari ajaran manunggaling kawula-gusti? Benarkah dia mati dipancung oleh dewan wali serta mayatnya berubah jadi anjing? Siapakah sebenarnya Sang Syaikh itu, benarkah dia wujud dari cacing merah yang terkena sabda sang wali sehingga berubah menjadi manusia? Apakah ilmu yang diperolehnya hanya dari nguping tatkala wali ngudar kaweruh pada muridnya?
Ajaran manunggaling kawula-gusti yang dituturkan Siti Jenar, hakikatnya bukanlah seperti yang dipahami warga pada waktu itu serta sekarang ini. Siti Jenar mengakui memang pernah mengatakan Ingsun Sejating Gusti Allah. Kata-katanya inilah yang kemudian disalahpahami oleh warga. Khalayak ramai menuduh Syekh Siti Jenar sudah mengaku Tuhan.
Syekh Siti Jenar menginsafi bahwa anggapan warga terhadapnya sepenuhnya salah. Meskipun demikian, dia mengaki bahwa warga tidak sepenuhnya benar dalam memahami konsep manunggaling kawula gusti-nya. Menurutnya, sejatinya konsep manunggaling kawula gustisedikit banyakserupa dengan konsep insan kamil (manusia purna) yang digagas Ibnu Arabi. Kemiripannya terletak pada kemenyatuan manusia dengan Tuhan.
Meski memiliki kemiripan dengan konsep insan kamil akan tetapi sebetulnya terdapat perbedaan konsep dengan ajaran manunggaling kawula-gusti. Menurut Siti Jenar, pada dasarnya Tuhan sudah menaruh hadiah yang sama kepada setiap manusia. Setiap manusia adalah bagian dari Tuhan. Ibarat air di samudera luas, manusia adalah molekul air yang terdapat di dalamnya. Molekul-molekul air ini adalah bagian dari air samudera tersebut. artinya, manusia sudah teranugerahi sebagai cermin Tuhan.
Dalam berdakwah, Siti Jenar memang enggan memunculkan istilah-istilah baru ataupun istilah bahasa asing. Ia lebih suka menggunakan bahasa rakyat agar mudah dipahami. Lagi pula, menurutnya, tidak terdapat kata yang cocok untuk menyebutkan proses tajalli (manefestasi Tuhan) seperti gagasan Ibnu Arabi tadi. Oleh karena itu, dia pun menggunakan istilah yang popular saat itu, yaitu manunggaling kawula-gusti. Menurutnya, manunggaling kawula-gusti bukan angan kosong yang tidak bisa dicapai. Ia menegaskan bahwa siapa pun bisa mencapainya, asalkan memiliki kesungguhan tekad serta konsistensi.
Kata kunci untuk menggapai manunggaling kawula-gusti adalah kesadaran. Kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari Tuhan, yang harus senantiasa memancarkan sifat-sifat Tuhan. Yang paling mendasar adalah kesadaran hati. Sebab, hati adalah adalah jembatan untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadist, barangsiapa yang kenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.
Syekh Siti Jenar menyebutkan dasar ucapannya ingsun sejating Gusti Allah intinya adalah manusia adalah bagian dari Tuhan. Selain itu, dia juga menegaskan bahwa kata ingsun dalam kalimat itu tidak harus diartikan sebagai aku (manusia), akan tetapi bisa juga diartikan sebagai ing sun (artinya: di dalam hati).
Pengakuan-pengakuan yang lain, sebagai bentuk penerangan terhadap cerita yang berkembang saat ini, semisal, dia mengakui bahwa bukan berasal dari cacing tanah yang kemudian mengalami tranformasi ke wujud manusia akibat sabda seorang wali. Ia benar-benar manusia seperti kebanyakan yang lain, punya ayah-bunda, memiliki istri serta anak. Pengakuan yang lain adalah dia meninggal global bukan karena dihukum pancung oleh dewan wali serta pihak kerajaan. Meninggalnya akibat penusukan yang dilakukan oleh sirkulasi keras pimpinan Syaikh Jafar dari Yaman.
Aliran ini semenjak dahulu terdapat di wilayah Demak serta sekitarnya, rencana dakwahnya adalah pemurnian Islam (puritanisme). Mereka akan menyerang siapa pun yang mereka anggap sudah menodai kemurnian ajaran Islam (tentu menurut klaim serta penilain mereka sendiri), termasuk para Walisanga serta Syekh Siti Jenar. Tatkala Syekh Siti Jenar mengajari ilmu di Langgar-nya para kelompok sirkulasi keras ini menyerang serta menusuk dari belakang. Jadi kematiannya bukan akibat adanya desakan dengan pihak dewan wali melainkan agresi dari sirkulasi keras.
Jadi, sebenarnya tidak terdapat desakan antara para wali dengan Syekh Siti Jenar sebagaimana anggapan yang masyhur selama ini. Kalaupun terdapat perbedaan di antara kedua belah pihak itu hanya pada tataran konsep penyampaian ajaran saja. Para wali menghendaki penyampaian ajaran dilakukan secara bertahap sedangkan Syekh Siti Jenar menganggap bahwa semua mempunyai hak yang sama. Harus diakui, para wali sedikit kuatir akan adanya kekeliruan pemahaman para santri dalam memaknai ajarannya. Oleh karena itu, para wali acapkali hadir dalam pengajian yang dilakukan Syekh Siti Jenar.