KUPAT (KETUPAT)
Kupat
atau ketupat bagi orang Jawa memiliki makna simbolis.
Kupat
dapat berarti ku-ngaku pat-lepat. Ngaku lepat (mengaku kesalahan) baik
kesalahan yang dilakukan secara kasar (nyata/disengaja) maupun yang halus
(tidak kelihatan/tidak disengaja).
Digunakan
untuk parikan pada acara tertentu, parikan tersebut adalah :
Kupat
kecemplung santen, menawi kathah lepat nyuwun pangapunten (kupat dicelup kuah
santan, kalau ada salah mohon dimaafkan).
Kupat
atau Ketupat merupakan makanan khas yang berasal dari beras yang dibungkus
dengan daun janur yang dianyam berbentuk segiempat kemudian direbus.
Lebih
dari sekedar tradisi taunan, kupatan memiliki makna yang cukup mendalam.
Kupatan dianggap sebagai simbolisasi keislaman manusia yang sudah
sempurna. Kupatan berasal dari kata ngaku lepat yang berarti mengakui kesalahan.
Mengandung makna filosofis bahwa manusia diperintahkan untuk mengakui
kesalahannya, saling bermaafan dengan ditandai tradisi silaturrahim ke rumah
sanak keluarga dan tetangga saat hari raya Idul Fitri. Kupat berasal dari
bahasa Arab kuffat yang berartisudah cukup harapan.
Setelah
berpuasa selama 1 bulan dan 6 hari setelah lebaran, maka orang-orang yang
kuffat merasa cukup ibadahnya, sebagaimana hadits Nabi hal demikian bagaikan
puasa 1 tahun penuh. Janur sebagai bungkus ketupat berasal dari kata ja a nur
yang berarti telah datang cahaya. Makna yang terkandung adalah bahwa umat
muslim mengharapkan datangnya cahaya dari Allah SWT yang senantiasa membimbing
mereka pada jalan kebenaran yang diridhai oleh Allah SWT.
Isi
ketupat berasal dari beras terbaik yang dimasak sampai menggumpal kempel,
memiliki makna kebersamaan dan kemakmuran. Bentuk ketupat yakni segiempat, menjadi simbol/perwujudan cara pandang kiblat papat lima pancer yang menegaskan
adanya hamonisasi dan keseimbangan alam.
Empat
arah mata angin utama yaitu timur, selatan, barat dan utara yang bertumpu pada
satu pusat. Maknanya adalah bahwa dalam kehidupan ini, ke arah manapun manusia
melangkah hendaknya tidak pernah melupakan pancer yaitu Tuhan Yang Maha
Esa. Tradisi kupatan dibawa oleh walisongo khususnya sunan Kalijaga sebagai upaya
untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat yang mayoritas beragama Hindu.
Para
wali memasukkan dan mengganti adat hindu dengan nilai-nilai Islam tanpa merubah
budaya lokal yang telah mengakar kuat. Disinilah terlihat betapa Islam masuk ke
tanah Jawa dengan perdamaian. Proses asimilasi yang berlangsung justru membuat
masyarakat lebih mudah menerima Islam dengan terbuka tanpa mengurangi
kesakralan nilai-nilai aqidah Islamiyah.
Kupatan
dilaksanakan sebagai bentuk syukur atas nikmat yang diberikan. Nikmat dapat
melaksanakan puasa satu bulan penuh, tanpa ada gangguan. Secara kesehatan
mengkonsumsi kupat, yang memiliki tekstur lembek, akan mengembalikan sistem
pencernaan. Setelah sebulan berpuasa, maka terjadi regenerasi dan perbaikan
sel-sel tubuh. Pengistirahatan alat pencernaan, sehingga lebih sehat. Setelah
tidak berpuasa, agar kerja alat pencernaan tidak terlalu berat, maka dianjurkan
mengonsumsi makanan yang teksturnya lembek, dan ketupat adalah pilihan yang
tepat.
BADO KUPATAN
Bakdo
Kupat atau Kupatan merupakan tradisi masyarakat Jawa, khususnya daerah Mataraman
yang diperingati sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri (Riyoyo Bodo). Kupatan
merupakan simbol doa dari orang tua yang pernah gagal melahirkan bayi karena
keguguran.
Tradisi
bakdo kupat merupakan kepercayaan masyarakat Jawa secara umum. Menurut
kepercayaan Jawa, bakdo kupat merupakan bakdo atau lebarannya para bayi miskram
itu. Selain syukuran makan kupat, para orang tua mendoakan anak-anak yang tidak
sempat lahir. Orang tua memasang satu pasang kupat di pintu masuk dan keluar.
Kalung Kupat
Selain
bakdo kupat, ada juga kepercayaan kalung kupat. Menurut kepercayaan masyarakat
Jawa, jika kupatan tidak dilakukan, maka anak-anak yang tidak sempat dilahirkan
itu akan merasa tidak diperhatikan. Kupatan pada umumnya selalu digelar sepekan
atau sepasaran dalam penanggalan Jawa.
Berdasarkan
tradisi di keraton Solo, Grebeg Syawal dan Kupatan bertepatan dengan para
bupati di Kasunanan Surakarta sebo atau menghadap tanda kesetian pada kerajaaan.
Dalam setahun ada dua grebeg yakni grebeg besar saat sekaten dan grebeg syawal.
Di
situ diadakan makan-makan dengan simbol kupat. Di Solo ada dua macan kupat,
kupat isi dan kupat luar. Kupat itu ada maknanya lagi, Grebeg Syawal juga
bermakna simbolisasi dengan alam. Kalau orang dulu, hewan ternak dikalungi
kupat luar. Juga jika ada yang pernah keguguran memasang kupat luar itu di
pintu.
Bakdo Kupat
Menurut
kepercayaan kupat memiliki filosofi ngaku lepat atau mengaku bersalah. Lalu,
ada pula kupat lepet yang memiliki filosofi silep sing rapet atau dilipat yang
rapat. Menurutnya, di beberapa daerah seperti Klaten disebut legondo atau
leganing dodo.
Di tempat saya, kupat lepet digantung di pintu. Tradisi ini dipercayai menyambut leluhur.
Ada pula kepercayaan, bakdo para bocah yang meninggal sebelum dilahirkan, Ada kepercayaan bahwa kupat tidak harus dibiarkan mengering sampai syawalan depan. Lalu, tidak harus yang punya bayi miskram yang memasang kupat lepet di pintu.
Menurut
H.J. de Graaf dalam buku Malay Annual, ketupat merupakan simbol perayaan hari
raya Islam pada masa kesultanan Demak yang dipimpin Raden Patah awal abad
ke-15. De Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur berfungsi untuk
menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa.
Ketupat
bukan sekadar makanan yang disajikan untuk menjamu para tamu pada hari raya
Idul Fitri maupun merayakan genapnya enam hari berpuasa sunah pada bulan Syawal.
Ketupat memiliki makna yang sangat dalam. Nama ketupat atau kupat merupakan
singkatan dari bahasa Jawa; ngaku lepat (mengaku salah), yang disimbolkan
dengan anyaman janur kuning yang berisi beras lalu dimasak. Nasi dianggap
melambangkan nafsu manusia. Nasi yang dililit dengan janur memiliki arti; bahwa
manusia harus mampu menahan hawa nafsu dunia dengan hati nurani mereka.
Selain
itu, cara bagian ketupat lainnya juga memiliki makna tersendiri. Anyaman janur
menggambarkan kesalahan manusia, kemudian bentuk segi empat dari ketupat
memiliki makna kemenangan umat Islam setelah menjalani puasa selama satu bulan.
Butiran beras yang dibungkus dalam janur juga merupakan simbol kebersamaan dan kemakmuran.
Penggunaan janur sebagai kemasan pun memiliki makna tersembunyi. Janur dalam bahasa Arab yang berasal dari kata jaa a al-nur bermakna telah datang cahaya. Sedangkan masyarakat Jawa mengartikan janur dengan sejatine nur (cahaya).
Dalam arti lebih luas berarti keadaan suci manusia setelah mendapatkan pencerahan cahaya (iman) selama bulan Ramadan.
Anyaman janur yang melekat satu sama lain
merupakan ajakan bagi seseorang untuk melekatkan tali silaturahmi dan
mempererat persaudaraan tanpa melihat perbedaan class sosial.
Bagi
sebagian masyarakat Jawa, bentuk segi empat pada ketupat memiliki makna kiblat
papat limo pancer. Papat dimaknai sebagai simbol empat penjuru mata angin
utama : timur, barat, selatan, dan utara. Artinya, ke arah manapun manusia akan
pergi ia tidak boleh melupakan pacer (arah) kiblat atau arah kiblat (salat).
Ketupat
kerap disajikan kuah santan yang dibubuhi kunyit berwarna kuning keemasan,
melambangkan emas dan keberuntungan, dalam tradisi China. Selain itu, santan
atau dalam bahasa Jawa disebut santen dapat memiliki makna nyuwun ngapunten
yang berarti saya memohon maaf.
Kupat, Lepet dan Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah yang pertama kali memperkenalkan pada masyarakat jawa tentang filosofi ketupat. Sunan Kalijaga membudayakan 2 kali bakda, yaitu bakda lebaran dan bakda kupatan.
Dalam
filosofi Jawa, ketupat bermakna ngaku lepat dan laku papat. Ngaku lepat artinya
mengakui kesalahan. Tradisi sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang
tua, bersikap rendah hati dan saling memaafkan.
Laku
papat bermakna 4 tindakan :
1.
Lebaran
(menandakan berakhirnya lebaran).
2.
Luberan
(meluber / melimpah yang bermakna zakat fitrah).
3.
Leburan
(saling memafkan satu sama lain).
4.
Laburan
(dari kata labur dengan kapur yang bermakna supaya manusia menjaga kesucian lahir
dan bathin).
Sedangkan
janur diambil dari bahasa Arab Ja’a Nur (telah datang cahaya).
Bentuk
fisik ketupat yang segi empat ibarat hati manusia. Selama orang mengakui
kesalahannya maka hatinya putih bersih seperti ketupat yang di belah. Hati
tanpa rasa iri dengki, karena hatinya sudah terbungkus oleh cahaya (ja’a nur).
Lepet,
silep kang rapet, kita kubur dan tutup yang rapat. Setelah mengakui kesalahan
dengan meminta maaf, tidak terulang kembali kesalahan itu maka persaudaraan
semakin erat seperti lengketnya ketan dan lepet.
Kita
semakin mengetahui betapa besar peran para Wali Sanga memperkenalkan agama
Islam kepada masyarakat waktu itu yang tidak faham bahasa Arab. Inilah cara
dakwah yang mengajak, tanpa harap menginjak pemahaman masyarakat.
FILOSOFI
KUPAT (KETUPAT)
Setelah
melewati 30 hari bulan Ramadhan orang-orang muslim menyambut dengan bahagia
akan datangnya bulan Syawal. tepat pada 1 syawal atau biasa yang dikenal dengan
hari lebaran atau Idul Fitri dimana
semua orang muslim merayakan kemenangannya karena telah melewati 30 hari bulan
Ramadhan. Menahan nafsu makan, minum, serta segala sesuatu yang dapat membatalkan
puasa.
Setelah satu bulan penuh kita melaksanakan puasa Ramadan dalam adat Jawa, ada istilah bakda dua, bakda lebaran dan bakda kupat. Bakda dalam bahasa arab berasal dari kata بعد yaitu berarti setelah.
Jadi Bakda Lebaran adalah Hari Raya Idul Fitri
dimana seluruh umat Islam diharamkan untuk Puasa. Bakda Kupat adalah hari raya
orang yang melaksanakan puasa Syawal selama enam hari.
Sejarah Kupatan
Ketupat
sebenarnya sudah ada sejak zaman Hindu-Budha di Jawa. Pada tahun 1600-an, di
mana Islam mulai menyebar di Jawa, ketupat diperkenalkan dengan filosofi
bermakna. Sosok yang memperkenalkan filosofi ketupat adalah Raden Mas Sahid
atau yang dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Pada masa ini, Sunan Kalijaga memperkenalkan ketupat sebagai makanan dengan filosofi khas lebaran. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat. Ketupat menjadi simbol perayaan hari raya Idul Fitri pada masa kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.
Lebaran
ketupat dilaksanakan tiap 8 Syawal di mana sebelumnya umat Islam melakukan
puasa Syawal pada tanggal 2-7 Syawal. Perayaan tradisi lebaran ketupat ini
dilambangkan sebagai simbol kebersamaan dengan memasak ketupat dan
mengantarkannya kepada sanak kerabat.
Berbagai
macam ketupat disajikan dalam menyambut makna tradisi lebaran ketupat oleh
masyarakat Jawa ini. Ada ketupat glabed yang berasal dari Tegal, ketupat
babanci dari Betawi serta ketupat bawang khas Madura
Puasa
6 hari di bulan syawal ini merupakan ibadah sunah yang sangat dianjurkan oleh
Nabi Muhammad SAW karena keutamaannya yang sangat besar.
Nabi
Muhammad SAW bersabda :
"Barangsiapa
yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia
berpuasa seperti setahun penuh." (HR Muslim)
Tradisi Kupatan
Hari
raya Idul Fitri merupakan momentum terbaik dalam menjalin silaturrahim terhadap
sesama muslim. Berbagai macam cara dilakukan dalam rangka menyemarakkan hari
raya idul fitri ini. Orang Jawa sendiri mempunyai tradisi khusus dalam
menyambut lebaran yang dinamakan tradisi Kupatan, yang merupakan hasil dari
pemikiran para Walisongo dalam menyebarkan dakwah Islam melalui budaya.
Kupatan
adalah tradisi keagamaan yang berhubungan dengan tradisi Islam. Tradisi ini
merupakan salah satu bentuk warisan budaya leluhur yang sampai sekarang masih
dilestarikan.
Waktu
perayaan kupatan biasanya dilakukan seminggu setelah hari raya Idul Fitri.
Biasanya
masyarakat desa berkumpul di suatu tempat seperti masjid atau musholla untuk
melakukan selamatan dan seluruh warga membawa hidangan yang didominasi dengan
ketupat. Hal ini merupakan perwujudan rasa syukur setelah mengerjakan puasa
satu bulan penuh dan disempurnakan dengan puasa sunah enam hari di bulan
syawal.
Kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari kalimat ngaku lepat yang berarti ‘mengakui kesalahan’. Oleh karena itu, saling berbagi dan memberi kupat di hari raya lebaran Idul Fitri adalah simbol atas pengakuan kesalahan dan kekurangan diri masing-masing terhadap Allah SWT, keluarga dan terhadap sesama.
Kupat merupakan makanan yang terbuat dari beras yang dibungkus dengan selongsong dari anyaman daun kelapa yang masih muda (janur). Masyarakat desa biasanya membuat sendiri anyaman tersebut lalu diisi dengan beras yang telah direndam air. Selanjutnya kupat tersebut direbus berjam-jam sampai matang. Makanan ini biasanya disajikan bersama sayur pelengkap, seperti opor ayam dan lainnya. Warna isi ketupat yang putih melambangkan kesucian hati setelah kita meminta maaf atas atas kesalahan yang dilakukan pada orang lain.
Lalu, daun janur yang
dipakai juga mengandung makna jatining nur atau hati nurani. Ketupat sudah
menjadi maskot makanan khas lebaran. Namun dalam tradisi Jawa, makanan ini
bukan hanya sajian pada hari kemenangan, tetapi makna filosofis yang mendalam
dalam tradisi Jawa.
Ketupat
atau kupat sendiri memiliki banyak makna sebagaimana yang telah diketahui oleh
masyarakat Jawa. Kupat di artikan sebagai laku papat yang menjadi simbol dari
empat segi dari ketupat. Laku papat yaitu empat tindakan yang terdiri dari
lebaran, luberan, leburan, laburan. Maksud dari empat tindakan tersebut antara
lain :
1.
Pertama,
Lebaran yaitu suatu tindakan yang berarti telah selesai yang diambil dari kata
lebar. selesai dalam menjalani ibadah puasa ramadhan dan diperbolehkan untuk
menikmati makanan.
2.
Kedua,
Luberan berarti meluber, melimpah yang menyimbolkan agar melakukan sedekah
dengan ikhlas bagaikan air yang berlimpah atau meluber dari wadahnya. Oleh
karena itu tradisi membagikan sedekah di hari raya Idul Fitri menjadi kebiasaan
umat Islam di Nusantara.
3.
Ketiga,
Leburan berarti lebur atau habis. Maksudnya adalah agar saling memaafkan
dosa-dosa yang telah dilakukan. sehingga segala kesalahan yang telah dilakukan
menjadi suci bagai anak yang baru lahir.
4.
Keempat,
Laburan berarti bersih putih berasal dari kata labur atau kapur. Harapan
setelah melakukan Laburan agar selalu menjaga kebersihan hati yang suci.
Manusia dituntut agar selalu menjaga perilaku dan jangan mengotori hati yang
telah suci.
Oleh
sebab itu, diharapkan pada bulan syawal ini kita sebagai manusia mampu bersikap
arif dengan cara mudah memaafkan kesalahan orang lain.
Tradisi
Lebaran Ketupat atau Kupatan ini, juga ditafsirkan dari bahasa Arab kaffatan
yang artinya kesempurnaan, dalam konteks kembali ke fitrah dimomen Idul Fitri.
Dengan
logat orang Jawa, lafadz kaffatan akhirnya menjadi Kupatan.
Mangan
kupat
Dicampur
santen
Menawi
lepat
Nyuwun
ngapunten
Ketupat memiliki arti ngaku lepat, yaitu mengakui kesalahan. Semua manusia pasti punya kesalahan dan sebaik-baiknya orang adalah mereka yang mau mengakui kesalahannya. Selain itu dari seluruh komponennya kupat memiliki arti lagi.
Bahannya yaitu janur. Janur menurut filosofis Jawa merupakan kepanjangan
dari sejatine nur yang melambangkan seluruh manusia berada dalam kondisi yang
bersih dan suci setelah menlaksanakan ibadah puasa. Selain itu, juga menurut
orang Jawa, Janur memiliki kekuatan magis sebagai tolak bala. Karena itu banyak
juga yang menggantungkan kupat di depan pintu rumah mereka sebagai tawasul agar
jauh dari bala.
Dan
selanjutnya dari anyaman kupat yang sangat rumit memiliki arti bahwa hidup
manusia itu juga penuh dengan liku-liku, pasti ada kesalahan di dalamnya. Kupat
juga memiliki bentuk segi empat yang menggambarkan empat jenis nafsu dunia
yaitu al amarah, yakni nafsu emosional; al lawwamah atau nafsu untuk memuaskan
rasa lapar; supiah adalah nafsu untuk memiliki sesuatu yang indah; dan
mutmainah, nafsu untuk memaksa diri. Dan orang yang memakan kupat menggambarkan
pula telah bisa mengendalikan keempat nafsu tersebut setelah melaksanakan
ibadah puasa.
Selanjutnya,
isi ketupat yang berbahan beras sebagai bentuk harapan agar kehidupannya
dipenuhi dengan kemakmuran. Selain itu saat kita membelah ketupat, kita akan
menjumpai warna putih yang mencerminkan kita memohon maaf atas segala kesalahan
dan juga berharap bisa seputih isi kupat tersebut.
Terakhir,
dari cara memakan ketupat yaitu dengan sayur cecek dan lain sebagainya,
terkhusus biasanya berbahan santen. Santen berarti juga pangapunten, yaitu
memohon maaf atas kesalahan. Dari itu ada istilah Mangan kupat nganggo santen.
Menawi lepat, nyuwun pangapunten (makan ketupat pakai santan, bila ada
kesalahan mohon dimaafkan.
Demikian
arti filosofis kupatan, tradisi yang diajarkan Sunan Kalijaga. Tradisi semacam
itu harus dilakukan dengan sebijak mungkin agar tidak disalahgunakan menuju
kesyikiran, tetapi tetap dilestarikan sebagai bagian dari syiar Islam Indonesia
yang berciri khas akulturasi budaya. Mari kita lestarikan bersama tradisi
tersebut agar anak-anak kita dapat merasakannya juga kelak.
TRADISI
KUPATAN MASYARAKAT JAWA
Masyarakat Jawa mengenal budaya yang bernama kupatan secara filosofis tradisi ketupat berasal dari kiroto boso (akronim) Jawi dari kata kupat yang berarti ngaku lepat (mengaku salah). Melalui tradisi ketupat ini manusia diingatkan agar pada saat lebaran saling mengakui kesalahan.
Kupat juga sering dimaknai sebagai
simbol kata khufadz yang berarti menjaga. Maksudnya orang yang sudah mengakui
kesalahan hendaknya menjaga diri agar tidak melakukan kesalahan lagi. Ketupat
terbuat dari janur dari kiroto boso jaa nur yang berarti datangnya cahaya.
Maksudnya orang yang telah mengakui kesalahan dan bisa menjaga diri dari
kesalahan akan memeroleh cahaya kehidupan.
Ketupat berbentuk segi empat melambangkan empat arah mata angin (kiblat papat). Maksudnya, dari empat penjuru mata angin manusia ada yang menjaga dan mengikuti yang dikenal dengan sebutan sedulur papat dalam pandangan kosmologi manusia Nusantara. Pandangan ini kemudian digunakan untuk mentransformasikan ajaran Islam mengenai adanya malaikat pencatat amal yang selalu mengikuti perjalanan hidup manusia.
Melalui tradisi ketupat, Wali Songo
mengingatkan bahwa kehidupan ini senantiasa diawasi dan dicatat oleh malaikat
atau sedulur papat. Selain dalam kosmologi Jawa juga ada istilah limo pancer
sebagai pengendali dan pusat dari sedulur papat. Limo pancer bermakna diri
pribadi manusia itu sendiri beserta seluruh amal perilakunya.
Sumber
tradisi yang pertama kali diajarkan oleh salah satu Wali Songo, penyebar agama
Islam di pulau Jawa yakni Raden Mas Sahid atau yang biasa disebut dengan Sunan
Kalijaga di masa Kerajaan Demak. Dimana Sunan Kalijaga membudayakan dua kali
Bakda, yaitu Bakda Idul Fitri dan Bakda Kupat. Bakda Kupat dimulai seminggu
sesudah Idul Fitri. Pada hari yang disebut Bakda Kupat tersebut, di tanah Jawa
waktu itu hampir setiap rumah terlihat menganyam ketupat dari daun kelapa muda.
Setelah selesai dianyam, ketupat diisi dengan beras kemudian dimasak. Ketupat
tersebut diantarkan ke kerabat yang lebih tua, sebagai lambang kebersamaan.
Dalam
filosofi Jawa, ketupat lebaran bukanlah sekadar hidangan khas Hari Raya
Lebaran. Ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa
merupakan kependekan dari ngaku lepat dan laku papat. ngaku lepat artinya
mengakui kesalahan dan laku papat artinya empat tindakan. Ngaku lepat, tradisi
sungkeman menjadi implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan) bagi orang
Jawa. Prosesi sungkeman yakni bersimpuh di hadapan orang tua seraya memohon
ampun, dan ini masih membudaya hingga kini. Sungkeman mengajarkan pentingnya
menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan, dan ampunan
dari orang lain, khusunya orang tua.
Laku
papat, laku papat artinya empat tindakan dalam perayaan Lebaran. Empat tindakan
tersebut yakni lebaran, bermakna usai, menandakan berakhirnya waktu puasa.
Berasal dari kata lebar yang artinya pintu ampunan telah terbuka lebar.
Luberan, bermakna meluber atau melimpah. Sebagai simbol ajaran bersedekah untuk
kaum miskin. Pengeluaran zakat fitrah menjelang lebaran pun selain menjadi
ritual yang wajib dilakukan umat Islam, juga menjadi wujud kepedulian kepada
sesama manusia. Leburan, maknanya adalah habis dan melebur. Maksudnya pada
momen lebaran, dosa dan kesalahan kita akan melebur habis karena setiap umat
Islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain. Laburan, berasal dari
kata labur atau kapur. Kapur adalah zat yang biasa digunakan untuk penjernih
air maupun pemutih dinding. Maksudnya, supaya manusia selalu menjaga kesucian
lahir dan batin satu sama lain.
Sedangkan
filosofi dari ketupat atau kupat itu sendiri mencerminkan beragam kesalahan
manusia. Hal ini bisa terlihat dari rumitnya bungkusan ketupat ini. Kesucian
hati setelah ketupat dibuka, maka akan terlihat nasi putih dan hal ini
mencerminkan kebersihan dan kesucian hati setelah memohon ampunan dari segala
kesalahan. Mencerminkan kesempurnaan, bentuk ketupat begitu sempurna dan hal
ini dihubungkan dengan kemenangan umat Islam setelah sebulan lamanya berpuasa
dan akhirnya menginjak Idul Fitri.
Oleh para wali kemudian disimbolisasikan dengan lepet yang menjadi pasangan dari kupat. Lepet ini berbentuk bulat panjang mencerminkan bahwa diri manusia harus tegak lurus secara vertikal menuju Allah.
Ada juga yang menaknai simbol kupat
dan lepet merupakan transformasi dari simbol lingga yoni. Lepet sebagai simbol
yoni yang tegak luruh vertikal sebagai cermin hubungan pada Allah. Kupat
sebagai transformasi simbol lingga-lingga.
Pertemuan
lingga yoni akan melahirkan kehidupan, harmoni dan keseimbangan, tradisi
kupatan juga memiliki makna menjaga harmoni dan keseimbangan untuk menjaga dan
menumbuhkan kehidupan baru. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam mengenai
tawassuth (moderat), tasammuh (toleran), tawazzun (proporsional), dan i’tidal
(adil).
Kosmopolitanisme Islam (hubungan dengan liyan)
Menurut Azyumardi Azra sejarah
awal Islam sangat jelas memberikan pelajaran kepada kita, bahwa ajaran Islam
terbuka dan inklusif. Ajaran kosmopolitanisme sudah melekat dengan Islam sejak
kelahirannya. Itulah mengapa Islam bisa diterima oleh manusia dengan latar
belakang berbeda dan karenanya berkembang dengan pesat. Islam bisa berdialog
dan bahkan melebur dengan budaya setempat.
Hubungan
Islam dan liyan dalam situasi damai sangatlah harmonis. Piagam Madinah bisa
menjadi contoh konkret. Suasana saling menghargai dan bekerja sama dengan liyan
merupakan semangat yang dibawa Islam sejak awal. Tentu, pemahaman saya ini
terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut.
Saya
tidak ingin bernostalgia dengan masa lampau, tapi mengajak hadirin untuk
sejenak menengok ke belakang dan merawat pelajaran berharga yang masih sangat
relevan untuk masa kini.
Kosmopolitanisme Islam berangkat dari kesadaran bahwa manusia setara dan
ajaran Islam bersifat merengkuh. Perbedaan adalah fakta sosial dan kehadirannya
tidak lantas menjadi alasan untuk berdiri secara diametral dan selalu
berbenturan. Hanya dengan penerimaan kesetaraan, diskusi dan kerja sama
lintasaktor dapat dilakukan secara bermakna.
Karenanya, menghimbau serta mengajak untuk tidak terlalu mudah bermain sebagai korban untuk banyak masalah yang dihadapi umat Islam. Dikhawatirkan, hal tersebut muncul karena kegagalan menilai diri sendiri secara jujur.
Sardar,
misalnya, meningatkan kita, bahwa masalah umat Islam ada tiga : gagal
mengapresiasi kekuatan diri, gagal memahami realitas dunia komtemporer, dan gagal
meresponsnya dengan cepat. Akibatnya, umat Islam terjebak dalam sikap yang
reaktif, lari dari satu jalan buntu, ke jalan buntu lain; dari satu kuldesak ke
kuldesak lain.
Karenanya,
melihat masa lalu secara jernih sangat penting untuk mendesain masa depan. Di
sana akan ditemukan banyak mutiara yang masih valid kita jadikan rujukan, tentu
dengan tafsir yang lebih progresif.
Kita
ambil satu contoh. Apakah penguasan kapital penting dalam sebuah peradaban ?
Sebagian dari kita mungkin langsung teringat kemuliaan orang miskin yang
bersyukur atau ajaran hidup sederhana. Tapi jangan lupa, kemajuan peradaban
memerlukan kapital.
Ketika
Zaman Keemasan, misalnya, negara dan para orang kaya menunjukkan rasa gandrung
dengan pengembangan sains dengan memberikan dukungan dana yang melimpah. Saat
itu, salah satu episentrum pengembangan sains ada di Bagdad. Ketika krisis
ekonomi melanda Irak pada abad ke-11, dukungan dana menurun drastis dan para
ilmuwan pun akhirnya berpencar. Dua pilar pengembangan sains saat itu, yaitu
dukungan dana dan komunikasi antarilmuwan, runtuh.
Sejarah
juga mencatat, abad ke-11 merupakan awal kemunduran peradaban Islam, yang
dibarengi dengan menurunnya perhatian kepada pengembangan sains. Tentu, jika
disepakati, pengembangan sains dapat menjadi salah satu inspirasi strategi
kebangkitan peradaban Islam masa depan.
Konsep
kosmopolitan, Islam kosmopolit atau Islam kosmopolitan dan kosmopolitanisme
Islam pernah dan tetap relevan dengan Islam Indonesia di masa silam dan kini
dan mendatang. Tetapi jelas, secara historis dan sosio-relijius kosmopolitanisme
Islam Indonesia juga mengalami pasang naik dan juga pasang surut akibat dampak
pengaruh internal maupun eksternal di Indonesia dan dunia lebih luas.
Kosmopolitan secara sederhana dapat diartikan sebagai sikap atau pandangan dunia bahwa seluruh manusia di dalam kosmos merupakan komunitas tunggal. Dalam pengertian lebih luas dan lebih longgar kosmopolitan berarti world-view yang bersifat mendunia/kosmos. Meski dalam makna aslinya, menyatakan manusia sejagad raya sebagai komunitas tunggal, kosmopolitanisme dalam pengertian longgar berarti pandangan dunia (world-view) menjagad, melintasi batas wilayah, budaya, ras, agama, dan seterusnya.
Kosmopolitanisme juga dapat dipahami sebagai pandangan dunia, paham atau semacam ideologi tentang kemenduniaan atau kesejagadan. Dalam konteks itu, konsep kosmopolitan, kosmopolitanisme, Islam kosmopolitan atau kosmopolitanisme Islam dan cendekiawan Muslim kosmopolitan sekali lagi pernah dominan dan tetap relevan dalam perjalanan historis Islam Indonesia.
Secara historis, Islam Indonesia sejak masa awal penyebarannya pada abad 13 dan seterusnya berkarakter kosmopolitan terutama karena Indonesia adalah benua maritim yang menjadi wilayah lintas pelayaran; menjadi lokus perdagangan internasional, wilayah pertukaran sosial budaya mondial dan tempat pertemuan berbagai agama dunia. Islam Indonesia masa kini dengan tradisi Islam wasatiyahnya juga kosmopolitan karena karakternya yang akomodatif dan inklusif, sehingga menjadi Islam yang menarik bagi publik Eropa, Amerika, dan bahkan Dunia Arab dan wilayah Muslim lain.
Figur-figur yang menonjol/prominen dalam
pemikiran dan diseminasi Islam wasatiyah secara global dapat disebut sebagai
cendekiawan Muslim Indonesia kosmopolitan.
Kosmopolitanisme
positif atau negatif atau penting atau kurang penting dalam kehidupan Islam
Kepulauan Nusantara dan Islam Indonesia sekarang. Kosmopolitanisme jelas
positif dan baik dan sangat perlu atau dibutuhkan, khususnya dalam kehidupan
sosio-religio, religio-kultur, religio-politik. Dengan kosmopolitanisme orang
dan komunitas berbeda dapat berinteraksi dan menjalin hubungan baik dan
produktif untuk memajukan peradaban dunia dalam berbagai aspek yang disebutkan
tadi : sosial, budaya, politik dan seterusnya.
Banyak
kalangan Muslim dan non-Muslim kadang-kadang mengeluh dan menganggap,
kosmopolitanisme Islam Indonesia dan cendekiawan Muslim Indonesia kosmopolitan
cenderung semakin sedikit. Boleh jadi anggapan itu benar dalam batas tertentu.
Dan boleh jadi juga, keadaan tersebut disebabkan terbatasnya jumlah cendekiawan
Muslim Indonesia yang terlibat dalam interaksi dan pertukaran gagasan
kosmopolitan. Peningkatan neo-konservatisme di kalangan umat Islam Indonesia
belakangan ini, juga membuat kian banyak sarjana dan cendekiawan Muslim Indonesia menghabiskan
banyak waktu untuk meresponi berbagai isyu lokal, bukan isyu menjagad. Gejala
ini membuat banyak cendekiawan Indonesia tidak hanya yang Muslim berpikir dan
bertindak seperti katak dalam tempurung.
Masyarakat
Muslim Indonesia dan ummah Islam global membutuhkan karakter kosmopolitan dan
kosmopolitanisme, Baik dalam konteks Islam Indonesia, Muslim Indonesia dan
Islam global atau umat Muslim dengan karakter dan pandangan dunia kosmopolit
dan kosmopolitan sangat mendesak diperlukan. Hanya dengan kosmopolitanisme,
Islam wasatiyah ada masa depan Islam lebih baik atau Muslim lebih baik; selama
tidak ada kosmopolitanisme itu, selama itu pula Islam dan kaum Muslim sulit
mencapai kemajuan dan berinteraksi secara positif dan produktif dengan budaya
Barat khususnya untuk membangun peradaban dunia yang lebih damai dan maju.
Pemikiran Islam kosmopolitan yang dikemukakan Gus Dur merupakan salah satu indikasi adanya kelompok kecil yang mengambil peran dalam mewarnai corak sistem pada masyarakat menuju sistem dan tatanan yang lebih baik. Pandangan Islam kosmopolitan adalah suatu pandangan yang mengakui perlunya reformulasi substansial dari peradaban yang ada, kerangka institusional, moral, spiritual, dan etika sosial guna merespon hak-hak dasar universal menghormati agama, ideologi dan kultural lain serta menyerap sisi-sisi positif yang ditawarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Islam kosmopolitan menuntut adanya sikap inklusif, pengakuan adanya pluralisme budaya dan heterogenitas politik sehingga umat Islam dapat berdialog dengan peradaban global, memunculkan sikap kritis, dan mengoreksi budaya sendiri.
Sedangkan pemikiran Islam kosmopolitan yang dikemukakan Gus Dur (bapak pluralisme), lebih memberikan perhatian pada persoalan-persoalan kemanusiaan universal dan menghindari simbolisme serta formalisasi Islam dalam melawan kekuatan yang datang dari luar Islam.
Konsep ini berakar pada ajaran universal Islam sebagaimana termaktub dalam lima jaminan dasar berikut ini : keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an- nafs), keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-adin), keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl), keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal), dan keselamatan hak milik dan profesi.