RAMALAN JAYABAYA GUBAHAN SUNAN GIRI III DALAM KITAB ASRAR / MUSASAR
Ramalan Jayabaya atau sering disebut jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kadiri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yg dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Asal-usul utama serat ramalan Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuat ramalan-ramalan tersebut.
“Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani”.
Meskipun demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut bahwa bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya tulis dalam kitab-kitab mereka yang berjudul Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya. Kakawin Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan Bharatayuddha, sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu Kresna ingin menikah denganRukmini dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).
Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah “Perdikan” yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak. Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong.
Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.
Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).
Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam’iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.
SUNAN GIRI
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton,yang berkedudukan di daerah Gresik,Jawa Timur. Sunan Giri membangun Giri Kedaton sebagai pusat penyebaran agama Islam di Pulau Jawa yang pengaruhnya bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudro. Ia lahir di Blambangan tahun 1442 dan dimakamkan di desa Giri, Kebomas Gresik.
SILSILAH
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya kemudian melengkapinya bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu melalui jalur keturunan :
1. Husain bin Ali
2. Ali Zainal Abidin
3. Muhammad al-Baqir
4. Ja'far ash-Shadiq
5. Ali al-Uraidhi
6. Muhammad an-Naqib
7. Isa ar-Rumi
8. Ahmad al-Muhajir
9..Ubaidillah
10. Alawi al-Awwal
11. Muhammad Sahibus Saumah
12 Alawi ats-Tsani
13. Ali Khali' Qasam
14. Muhammad Shahib Mirbath
15. Alwi Ammil Faqih
16. Abdul Malik Azmatkhan
17. Abdullah Azmatkhan
18. Ahmad Syah Jalaluddin Azmatkhan
19. Husain Jamaluddin AkbarAzmatkhan
20. Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-Samarqandy (Ibrahim Asmoroqondi)
21. Maulana Ishaq Azmatkhan
22. Sunan Giri, Muhammad 'Ainul Yaqin
Pendapat ini disepakati berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur dan catatan nasab Sa'adah Ba 'Alawi Hadramaut.
HIKAYAT BANJAR
Dalam Hikayat Banjar disebutkan, Pangeran Giri (alias Sunan Giri) merupakan cucu Putri Pasai (Jeumpa) dan Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI). Perkawinan Putri Pasai dengan Dipati Hangrok melahirkan seorang putera. Putera ini yang tidak disebutkan namanya menikah dengan puteri Raja Bali, kemudian melahirkan Pangeran Giri. Putri Pasai adalah puteri Sultan Pasai yang diambil isteri oleh Raja Majapahit yang bernama Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI). Mangkubumi Majapahit masa itu adalaha Patih Maudara.
Menurut Hoesein Djajadiningrat dalam Sadjarah Banten (1983), Nyai Pinatih adalah janda kaya raya di Gresik, bersuami Koja Mahdum Syahbandar, seorang asing di Majapahit. Nama Pinatih sendiri sejatinya berkaitan dengan nama keluarga dari Ksatria Manggis di Bali (Eiseman, 1988), yang merupakan keturunan penguasa Lumajang, Menak Koncar, salah seorang keluarga Maharaja Majapahit yang awal sekali memeluk Islam.
Bayi yang tersangkut di kapal itu diambil oleh awak kapal dan diserahkan kepada Nyai Pinatih yang kemudian memungutnya menjadi anak angkat. Karena ditemukan di laut, maka bayi itu dinamai Jaka Samudra. Setelah cukup umur, Jaka Samudra dikirim ke Ampeldenta untuk berguru kepada Sunan Ampel. Menurut Babad Tanah Jawi, sesuai pesan Maulana Ishak, oleh Sunan Ampel nama Jaka Samudra diganti menjadi Raden Paku.
DAKWAH DAN KESENIAN
Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Giri. Dalam Babad Tanah Jawi, dikisahkan bahwa Raden Paku dan Raden Mahdum Ibrahim pernah bermaksud pergi ke Mekkah untuk menuntut ilmu sekaligus berhaji. Namun, keduanya hanya sampai di Malaka dan bertemu dengan Maulana Ishak, ayah kandung Raden Paku. Keduanya diberi pelajaran tentang berbagai macam ilmu keislaman, termasuk ilmu tasawuf. Di dalam sumber yang dicatat pada silsilah Bupati Gresik pertama bernama Kyai Tumenggung Pusponegoro, terdapat silsilah tarekat Syathariyah yang menyebut nama Syaikh Maulana Ishak dan Raden Paku Sunan Giri sebagai guru Tarekat Syathariyah, yang menunjuk bahwa aliran tasawuf yang diajarkan Maulana Ishak dan Raden Paku adalah Tarekat Syathariyah.udian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera (terutama bagian selatan) dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, dan Cublak Suweng; serta beberapa gending seperti Asmaradana dan Pucung.
ASAL-USUL SUNAN GIRI
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Sunan Giri membangun Giri Kedaton sebagai pusat penyebaran agama Islam di Jawa, yang pengaruhnya bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudro. Ia lahir di Blambangan tahun 1442, dan dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Di awal abad 14 M, kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Mena Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agam Hindu dan sebagian ada yang memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Parbu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula permaisurinya pasalnya puteri mereka satu-satunya jatuh selama beberapa bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati tapi sang puteri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad tanah jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu mengadakan sayembara, siapa yang dapat menyembuhkan puterinya akan diambil menantu dan siapa yang dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati atau Raja Muda. Sayembara disebar hampir keseluruh pelosok negeri. Tapi sudah berbulan-bulan tidak juga ada yang dapat memenangkan sayembara tersebut.
Permaisuri makin sedih hatinya, prabu Menak Sembuyu berusaha menghibur isterinya dengan menugaskan Patih Baju Sengara untuk mencari pertapa sakti guna mengobati penyakit puterinya.
Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Baju Sengara berangkat melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal dipuncak lereng-lereng gunung, maka kesanalah tujuan Patih Bajul Sengara.
Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang mengetahui adanya tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud adalah Syekh Maulana Ishak yang sedang berdakwah secara sembunyi-sembunyi dinegeri Blambangan.
Patih Bajul Sengara bertemu dengan Syekh Maulana Ishak yang sedang bertafakkur disebuah goa. Syekh Maulana Ishak mau mengobati puteri Prabu Menak Sembuyu dengan syarat Prabu mau masuk atau memeluk agama Islam. Syekh Maulana Ishak memang piawai dibidang ilmu kedokteran, puteri Dewi Sekar Dadu sembuh sekali diobati. Wabah penyakit juga lenyap dari wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishak dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Kemudian diberi kedudukan sebagai Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
HASUTAN SANG PATIH
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishak menjadi adipati baru di Blambangan, makin hari semakin bertambah banyak penduduk Blambangan yang memeluk agama Islam. Sementara Patih Bajul SE ngara tak henti-hentinya mempengaruhi sang prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini.
Patih Bajul Sengara sendiri sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan teroe pada pengikut Syekh Maulana Ishak. Tidak sedikit penduduk Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishak diculik, disiksa dan dipaksa kembali pada agama lama.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak sadar bila diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung akibatnya. Maka dia segera pamit kepada isterinya untuk meninggalkan Blambangan.
Akhirnya, pada tengah malam dengan hati yang berat karena harus meninggalkan isteri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishak berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishak.
Dua bulan kemudian dari rahim Sekardadu lahir bayi laki-laki yang elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa senagn dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan itu. Bayi itu lain daripada yag lain, wajahnya mengeluarkan cahaya terang.
Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara, dibiarkannya bayi itu mendapat limpahan kasih sayang keluarganya selama empat puluh hari. Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu wabah penyakit berjangkit kembali di Blambangan, maka Patih baju Sengara berulah lagi.
Bayi itu!
Benar Gusti Prabu!
Cepat atau lambat bayi itu akan menjadi bencan dikemudian hari. Wabah penyakit inipun menurut dukun-dukun terkenal di Blambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang memancar dari jiwa bayi itu! Kilah patih Bajul Sengara dengan alasan yang dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu. Namun sang Patih tiada bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji yang akhirnya sang Prabu terpengaruh juga.
Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samudera.
JOKO SAMUDRA
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi selat Bali. Ketika perahu itu berada ditengah-tengah selat Bali tiba-tiba terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundurpun tak bisa.
Nahkota memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab kemacetan ini, meungkinkah perahunya membentur karang. Setelah diperiksa ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga. Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu. Semua orang terkejut karena didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan rupawan. Nahkoda merasa gembira menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu, tapi juga mengutuk orang yang tidak berprikemanusiaan.
Nahkoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran ke pulau Bali. Tapi perahu tidak dapat bergerak maju. Ketika perahu diputar dan digerakkan kearah Gresik ternyata perahu itu melaju dengan cepatnya.
Dihadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya raya pemilik Kapal Nahkoda berkata sambil membuka peti itu. Peti inilah yang menyebabkan kami kembali ke Gresik dalam waktu secepat ini. Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali, kata sang nahkoda.
Bayi…?
Bayi siapa ini ?
Gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
Kami menemukannya di tengah samudera selat Bali, jawab nahkoda kapal.
Bayi ini kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang anak. Karena bayi ini ditemukan di tengah smudera maka Nyai Ageng Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samudra.
Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut beberapa sumber mula pertama Joko Samudra setiap hari pergi ke Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan agar anak itu mondok saja dipesantren Ampeldenta supaya lebih konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Pada suatu malam, seperti biasanya Raden Rahmat hendak mengambil air wudhu guna melaksanakan sholat Tahajjud, mendoakan muridnya dan mendoakan umat agar selamat di dunia dan di akhirat. Sebelum berwudhu Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah seorang santrinya. Selama beberpa saat beliau tertegun, sinar terang itu menyilaukan mata. Untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya bersinar itu maka Sunan ampel memberi ikatan pada sarung murid itu.
Esok harinya, sesudah sholat subuh Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
Siapakah diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan? Tanya Sunan Ampel.
Saya Kanjeng Sunan…..ujar Joko Samudra.
Melihat yang mengacungkan tangan adalah Joko Samudra, Sunan Ampel makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samudra, kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang asal-usul Joko Samudra.
Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samudra ditemukan ditengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi dirumah Nyai Ageng Pinatih.
Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishak sebelum berangkat ke negeri Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan Nyai Ageng Pinatih agar nama anak itu diganti menjadi Raden Paku. Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh kepada wali besar yang dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung seorang Pangeran Majapahit itu.
RADEN PAKU
Sewaktu mondok dipesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab bersahabat dengan putera Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim. Keduanya bagai saudara kandung saja, saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba ilmu pengetahuan yang lebih tinggi di negeri seberang sambil meluaskan pengetahuan.
Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandung yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishak. Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama Islam. Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan datang.
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa haru dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishak ayah kandung Raden Paku yang tak pernah melihat anaknya sejak bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan ditengah samudera dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Pinatih dan berguru pada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya di saat berdakwah di Blambangan sehingga dipaksa harus meninggalkan isteri yang sangat dicintainya.
Raden Paku menangis sesegukan mendengar kisah itu. Bukan menangis kemalangan dirinya yang disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada. Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di negeri Pasai banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat, hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai Ilmu Laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Bagdad dan Gujarat yang banyak menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya dimiliki ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya gelar Syekh Maulana Ainul Yaqin.
Setelah tiga tahun berada di pusat Pasai. Dan masa belajarnya itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, kedua pemuda itu diperintahkan kembali ke tanah jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah.
Kelak, bila tiba masanya dirikanlah pesantren di Gresik, carilah tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau membangun pesantren, demikianlah pesan anahnya.
Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintahkan Makdum Ibrahim berdakwah di Tuban, sedangkan Raden Paku diperintah pulang ke Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih.
MEMBERSIHKAN DIRI
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal barang dagangan ke pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya dengan senang hati. Nahkoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu habis terjual di Pulau Banjar maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari pulau Banjar yang sekiranya laku di pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat ganda, tapi kali tidak, sesudah kapal merapat dipelabuhan Banjar, Raden paku membagi-bagikan barang dagangannya dari Gresik itu secara gratis kepada penduduk setempat.
Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku, Raden….kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?
Jangan kuatir paman, kada Raden Paku. Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar saat ini sedang dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka, sudahkah ibu memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka? Saya kira belum, nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri.
Itu diluar wewenang saya Raden, kata Abu Hurairah. Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam gelombang dan badai?
Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa dagangan pulau Banjar akan dibeli.
Paman tak usah risau, kata Raden Paku dengan tenangnya. Supaya kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.
Memang benar, mereka dapat berlayar hingga dipantai Gresik dalam keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu berjalan meninggalkan kapal untuk bertemu dengan Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan Abu Hurairah benar. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal.
Sebaiknya ibu lihat dulu pinta Raden Paku.
Sudah, jangan banyak bicara. Buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja hardik Nyai Ageng Pinatih.
Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu mereka terkejut. Karung-karung itu isinya menjadi barang-barang dagangan yang biasa mereka bawa dari banjar, seperti rotan, damar , kain dan emas serta intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang dagangan yang disedekahkan kepada penduduk Banjar.
PERKAWINAN RADEN PAKU
Al-kisah ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh didepan rumahnya. Setiap kali ada orang yang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku tanpa sengaja lewat didepan pekarangan Ki Ageng Supa Bungkul. Begitu ia berjalan dibawah pohon delima tiba-tiba pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul pun tiba-tiba muncul dan mencegat Raden Paku dan ia berkata, kau harus kawin dengan puteriku Dewi Wardah.
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan puterinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
Tak usah bingung, Ki Ageng Bungku adalah serang muslim yang baik. Aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal itu menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu. Demikian kata Sunan Ampel.
Tapi…….bukankah saya hendak menikah dengan puteri Kanjeng Sunan Yaitu dengan Dewi Murtasiah ujar Raden Paku.
Tidak mengapa? Kata Sunan Ampel. Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiha selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.
Itulah liku-liku perjalan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkuk seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau. Sambil berlayar itu beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya, ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan, andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur digoa yang sunyi, 40 hari 40 malam beliau tidak keluar goa. Hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.
Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai. Dia pun berjalan berkeliling daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku didaerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, ia pun mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah ditempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah Pesantren Giri. Giri dalam bahasa sansekerta artinya gunung.
Atas dukkungan isteri-isteri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan ampel, tidak begitu lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh nusantara.
Menurut Dr.H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan diatas bukit di Gresik dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Diatas gunung tersebut seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri Kedatin (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru, seperti Maluku, Madura, Lomnok, Makasar, Hitu dan Ternate. Demikian menurut De Graaf.
Menurut babad tanah jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir diseluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun mesjid sebagai pusat ibadah dan pembentukan iman umatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.
Disekitar bukti tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.
PERESMIAN MASJID DEMAK
Dalam peresmian mesjid Demak Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit binatang.
Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang bergambar manusia haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut Sunan Giri.
Jika sunan Kalijaga mengusulkan peresmian mesjid Demak dengan membuka pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan agar mesjid Demak diresmikan pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan Sholat jamaah Jum’at.
Sunan Kalijaga berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan Sunan Giri. Sebelum Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi, lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan Sidang para wali. Keran tidak bisa disebut gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.
Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan Giri. Karena itu Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga dinamakan Sang Hyang Girinata yang arti sebenarnya adalah sunan Giri yang menata.
Maka perdebatan tentang peresmian mesjid Demak bisa diatasi. Peresmian itu akan diawali dengan sholat jum’at kemudian diteruskan dengan pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki dalang Sunan Kalijaga.
JASA-JASA SUNAN GIRI
Jasa yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah jaw bahkan ke nusantara.
Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham Pantheisme dan meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Dengan demikian sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah.
Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi tanpa dicampuri dengan adat istiadat lama.
Di dalam kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam antara lain: jamuran, Cublak-ublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
Sembari melakukan permainan yang disebut jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan :
"Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang gilar-gilar,
Nundhung begog hangetikar."
(malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman, mengambil dihalaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir gelap yang lari terbirit-birit)
Maksud dari lagu dolanan padhang bulan ;
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan, dimuka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M, memerintah kerajaan Giri kurang lebih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton beliau bergelar Prabu Satmata.
Pengaruh Sunan giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di jawa maupun di luar jawa. Sebagi buktinya adalah adanya kebiasaan bahwa apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah Sunan Giri meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
1. Sunan Dalem
2. Sunan Sedomargi
3. Sunan Giri Prapen
4. Sunan Kawis Guwa
5. Panembahan Ageng Giri
6. Panembahan Mas Witana Sideng Rana
7. Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri
8. Pengeran Singosari
Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker. Sesudah pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan Giri Kedaton. Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.
ANTARA SUNAN GIRI III DAN SRI AJI JOYOBOYO
Ramalan atau Jangka Jayabaya begitu bertuah dan termahsyur bagi kalangan orang Jawa. Orang Jawa dengan sisa kepercayaan animisme dan dinamisme yang kental dengan klenik dan ramalan belum terpisah dengan kehidupan sehari-sehari. Banyak cara klenik atau ramalan yang digunakan untuk melihat masa depan, kejadian-kejadian, fenomena alam, jodoh, penguasa, bahkan kematianpun di ramalkan. Dan salah satu kiblat agung ramalan orang Jawa adalah Jangka Jayabaya. Salah satu ramalan Jangka Jayabaya yang termahyur adalah ramalan Nusantara (sebelum kemerdekaan) dan penguasanya. Dan konon katanya ramalan tersebut sesuai sejarah Indonesia. Sebagai contoh ramalan tentang penjajahan jepang yang berlangsung selama tiga sengah tahun. Ramalan tersebut berbunyi :
“Tanah Jawa bakal dikuwasani dening Ratu Kuning, sajroning tempo lawase saumure jagung,
banjur bali marang kang duwe”. (Tanah Jawa akan dikuasai oleh Ratu Kuning lamanya seumuran jagung, kemudian setelah itu kembali dikuasai lagi oleh yang empunya).
Ramalan semacam ini yang menjadikan Jangka Jayabaya membumi.
Kebenaran Jangka Jayabaya yang dianggap sebagai karya agung Prabu Jayabaya dapat dilacak dan dibuktikan kebenarannya melalui :
Pertama, kitab induk (karena banyak versi) Jangka Jayabaya yang ditulis oleh beberapa pujangga.
Kedua, Sejarah Prabu Jayabaya pada masa memerintah kerajaan Kediri.
Ketiga, jenis bahasa jawa yang digunaka dalam penulisan kitab Jangka Jayabaya. Dari ketiga kriteria ini, asal usul Jangka Jayabaya dapat dilacak.
Prabu Jayabaya adalah raja Kerajaan Kediri yang memerintah pada tahun 1135-1157 M. pada zaman Prabu Jayabaya hiduplah Empu Sedah yang ditugasi menggubah Kitab Kakawin Bharatayuddha. Sebelum selesai Empu Sedah meninggal kemudian dilanjutkan Empu Panuluh juga menggubah kitab Gatutkacasraya, dan Hariwangsa. Dalam catatan sejarah kitab Jangka Jayabaya tidak tercantum sebagai peninggalan Sastra Kerajaan Kediri karena sampai saat ini pun tidak pernah ditemukan buktinya. Bahasa yang digunakan pada masa itu adalah bahasa Jawa Kuno.
Kitab Jangka Jayabaya yang beredar dan tersebar di masyarakat lebih dari sepuluh. Kitab yang menjadi sumber pertama yang dijadikan rujukan, sumber inspirasi, bahan kutipan, adalah kitab “ASRAR” karya Sunan Giri ke-3. Ditulis pada tahun 1618 M. Dan Kitab Jangka Jayabaya, karya Pangeran Wijil I sebutan Pangeran Kadilangu II dari Demak. Dua kitab ini lah yang menjadi rujukan penulisan kitab Jangka Jayabaya selanjutnya. Beberapa versi kitab Jangka Jayabaya antara lain, Kitab Muasarar, Kitab Jangka Ratu, kitab Jayabaya, Kitab Musarar lambang Raja, Kitab Musarar Jayabaya, Kitab Musarar Syeh Subakir, Jangka Jayabaya karya R. Ng. Ranggawarsita, dan Kitab Musararki Tuwanggana. Dan dari sekian versi ini yang paling banyak adalah gubahan R. Ng. Ranggawarsita berjumlah Sembilan. R. Ng. Ranggawarsita (15-03-1802 sampai 24-12-1873) adalah pujangga Kraton Surakarta yang terkenal. cicit dari R. Ng. Yasadipura I, dan cucu R. Ng. Yasadipura II yang juga merupakan pujangga masyur. Melihat jaman hidup Prabu Jayabaya pada abad ke-11 masehi, maka hasil karya sastra yang dihasilkan pada zaman itu bukanlah ditulis dengan bahasa Jawa tengahan, tetapi dengan bahasa Jawa kawi atau bahasa Jawa Kuno. Padahal kitab Jangka Jayabaya yang ditemukan dan yang ada sekarang menggunkan bahasa Jawa Tengahan, bahasa Jawa yang digunakan pada abad ke-14 hingga abad ke-18.
Sebagaimana dijelaskan diatas, kitab ASRAR digubah oleh Sunan Giri III dan pangeran Wijil I.
dari Kadilangu dengan kitab Jangka Jayabayanya. kitab ASRAR di gubah Sunan Giri sebagai renungan akan hal-hal yang dipandang bisa membahayakan bangsa Jawa dan Nusantara dan berkehendak agar terhindar dari bahaya dengan jalan mengingatkan penguasa kepada jalan yang benar. Dalam kitab ini Sunan Giri mengingatkan kepada Sultan Agung Mataram agar mengurungkan niatnya menundukkan semua Bupati dan Adipati di tanah Jawa karena menyebabkan Hura-Hura. Karena musuh sebenarnya dari asing, yakni kekuasan VOC yang menginjakkan kakinya di Batavia dengan monopoli perdagangan dan salah satu misinya kristenisasi.
Sedangkan dalam kitab Jangka Jayabayanya karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (Pangeran Kadilangu II) terselip maksud untuk menghilangkan saling curiga-mencurigai. yang menyebabkan peperangan dengan Kerajaan Mataram.
Sebagai sumber utama, kedua kitab diatas dapat dihitung selisih masa atau jarak antara Prabu Jayabaya dengan masa kanjeng Sunan Giri Perapen dan dengan pangeran Wijil I :
1. Selisih masa antara Pangeran Wijil I (1741) dan Sunan Giri Perapen (1613) adalah 128 tahun.
2. Selisih masa antara Pangeran Wijil I (1741) dan pemerintahan Prabu Jayabaya (1135-1157) adalah lebih 600 tahun.
3. Selisih masa Sunan Giri Perapen (1613) dan pemerintahan Prabu Jayabaya (1135-1157) adalah 460 tahun.
Dengan memperhatikan selisih jarak hidup ketiga tokoh tersebut dan para penggubah setelah Pangeran Wijil I jelas jauh sekali masanya. Maka antara kitab JANGKA JAYABAYA DAN SANG PRABU JAYABAYA TIDAK ADA SANGKUT PAUTNYA.
Dari peninjauan ketiga aspek di atas maka terbukalah bahwa sebenarnya apa yang disebut dengan ramalan Jangka Jayabaya itu diragukan hasil karya Prabu Jayabaya.
Orang-orang yang menggubah atau membuat kitab ramalan Jayabaya itu, meminjam kewibawaan dan kemasyuran pribadi Prabu Jayabaya untuk ditempelkan pada kitab gubahannya, agar orang tertarik, meningkatkan popularitas dan menarik konsumen. Kemungkinan juga ini sebagai penghilang jejak penulis atas kritik terhadap penguasa.
Untuk menguatkan persepsi bahwa ramalan Jangka Jayabaya itu diragukan hasil karya Prabu Jayabaya akan penulis kutipkan beberapa tulisan yang konon karya Prabu Jayabaya terlihat jelas dari bahasa penulisan sastra yaitu era Bahasa Jawa Tengahan :
“akeh udan salah mangsa, akeh prawan tua, akeh randa nglairake anak, akeh jabang bayi lahir nggoleki bapake.” Artinya banyak hujan turun bukan pada musimnya, banyak perawan tua yang terlambat menikah karena terlalu memilih-milih pasangan dan juga mementingkan karier. Banyak janda melahirkan anak (akibat hubungan bebas) dan banyak yang lahir mencari siapa ayahnya.
Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran artinya Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
Tanah Jawa kalungan wesi artinya Pulau Jawa berkalung besi.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan Jangka Jayabaya bukanlah karya sastra Prabu Jayabaya Raja Kediri. Rujukan induk Jangka Jayabaya adalah kitab-kitab ASRAR digubah oleh Sunan Giri III dan pangeran Wijil I dari Kadilangu dengan kitab Jangka Jayabayanya. Ramalan-ramalan itu muncul dari keinginan, pemikiran, dari pengarang sesudah beliau berdua. Kitab ASRAR yang islami tak pernah terkuak petuahnya. Dibungkus dengan kemasyuran ramalan Jayabayanya, bisa dikatakan ini bentuk nativisasi.
ISI RAMALAN JONGKO JOYOBOYO
Dan berikut ini isi ramalan Jayabaya lengkap :
Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran — Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
Tanah Jawa kalungan wesi — Pulau Jawa berkalung besi.
Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang — Perahu berjalan di angkasa.
Kali ilang kedhunge — Sungai kehilangan mata air.
Pasar ilang kumandhang — Pasar kehilangan suara.
Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak — Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
Bumi saya suwe saya mengkeret — Bumi semakin lama semakin mengerut.
Sekilan bumi dipajeki — Sejengkal tanah dikenai pajak.
Jaran doyan mangan sambel — Kuda suka makan sambal.
Wong wadon nganggo pakeyan lanang — Orang perempuan berpakaian lelaki.
Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman— Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik
Akeh janji ora ditetepi — Banyak janji tidak ditepati.
keh wong wani nglanggar sumpahe dhewe— Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
Manungsa padha seneng nyalah— Orang-orang saling lempar kesalahan.
Ora ngendahake hukum Hyang Widhi— Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
Barang jahat diangkat-angkat— Yang jahat dijunjung-junjung.
Barang suci dibenci— Yang suci (justru) dibenci.
Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit— Banyak orang hanya mementingkan uang.
Lali kamanungsan— Lupa jati kemanusiaan.
Lali kabecikan— Lupa hikmah kebaikan.
Lali sanak lali kadang— Lupa sanak lupa saudara.
Akeh bapa lali anak— Banyak ayah lupa anak.
Akeh anak wani nglawan ibu— Banyak anak berani melawan ibu.
Nantang bapa— Menantang ayah.
Sedulur padha cidra— Saudara dan saudara saling khianat.
Kulawarga padha curiga— Keluarga saling curiga.
Kanca dadi mungsuh — Kawan menjadi lawan.
Akeh manungsa lali asale — Banyak orang lupa asal-usul.
Ukuman Ratu ora adil — Hukuman Raja tidak adil
Akeh pangkat sing jahat lan ganjil— Banyak pejabat jahat dan ganjil
Akeh kelakuan sing ganjil — Banyak ulah-tabiat ganjil
Wong apik-apik padha kapencil — Orang yang baik justru tersisih.
Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin — Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
Luwih utama ngapusi — Lebih mengutamakan menipu.
Wegah nyambut gawe — Malas untuk bekerja.
Kepingin urip mewah — Inginnya hidup mewah.
Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka — Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
Wong bener thenger-thenger — Orang (yang) benar termangu-mangu.
Wong salah bungah — Orang (yang) salah gembira ria.
Wong apik ditampik-tampik— Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
Wong jahat munggah pangkat — Orang (yang) jahat naik pangkat.
Wong agung kasinggung — Orang (yang) mulia dilecehkan
Wong ala kapuja — Orang (yang) jahat dipuji-puji.
Wong wadon ilang kawirangane — perempuan hilang malu.
Wong lanang ilang kaprawirane — Laki-laki hilang jiwa kepemimpinan.
Akeh wong lanang ora duwe bojoV— Banyak laki-laki tak mau beristri.
Akeh wong wadon ora setya marang bojone — Banyak perempuan ingkar pada suami.
Akeh ibu padha ngedol anake — Banyak ibu menjual anak.
Akeh wong wadon ngedol awake — Banyak perempuan menjual diri.
Akeh wong ijol bebojo — Banyak orang gonta-ganti pasangan.
Wong wadon nunggang jaran — Perempuan menunggang kuda.
Wong lanang linggih plangki — Laki-laki naik tandu.
Randha seuang loro — Dua janda harga seuang (seuang = 8,5 sen).
Prawan seaga lima — Lima perawan lima picis.
Dhudha pincang laku sembilan uang — Duda pincang laku sembilan uang.
Akeh wong ngedol ngelmu — Banyak orang berdagang ilmu.
Akeh wong ngaku-aku — Banyak orang mengaku diri.
Njabane putih njerone dhadhu— Di luar putih di dalam jingga.
Ngakune suci, nanging sucine palsu— Mengaku suci, tapi palsu belaka.
Akeh bujuk akeh lojo— Banyak tipu banyak muslihat.
Akeh udan salah mangsa— Banyak hujan salah musim.
Akeh prawan tuwa— Banyak perawan tua.
Akeh randha nglairake anak— Banyak janda melahirkan bayi.
Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne— Banyak anak lahir mencari bapaknya.
Agama akeh sing nantang— Agama banyak ditentang.
Prikamanungsan saya ilang— Perikemanusiaan semakin hilang.
Omah suci dibenci— Rumah suci dijauhi.
Omah ala saya dipuja— Rumah maksiat makin dipuja.
Wong wadon lacur ing ngendi-endi— Perempuan lacur dimana-mana.
Akeh laknat— Banyak kutukan
Akeh pengkianat— Banyak pengkhianat.
Anak mangan bapak—Anak makan bapak.
Sedulur mangan sedulur—Saudara makan saudara.
Kanca dadi mungsuh—Kawan menjadi lawan.
Guru disatru—Guru dimusuhi.
Tangga padha curiga—Tetangga saling curiga.
Kana-kene saya angkara murka — Angkara murka semakin menjadi-jadi.
Sing weruh kebubuhan—Barangsiapa tahu terkena beban.
Sing ora weruh ketutuh—Sedang yang tak tahu disalahkan.
Besuk yen ana peperangan—Kelak jika terjadi perang.
Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor—Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
Akeh wong becik saya sengsara— Banyak orang baik makin sengsara.
Wong jahat saya seneng— Sedang yang jahat makin bahagia.
Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul— Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
Wong salah dianggep bener—Orang salah dipandang benar.
Pengkhianat nikmat—Pengkhianat nikmat.
Durjana saya sempurna— Durjana semakin sempurna.
Wong jahat munggah pangkat— Orang jahat naik pangkat.
Wong lugu kebelenggu— Orang yang lugu dibelenggu.
Wong mulya dikunjara— Orang yang mulia dipenjara.
Sing curang garang— Yang curang berkuasa.
Sing jujur kojur— Yang jujur sengsara.
Pedagang akeh sing keplarang— Pedagang banyak yang tenggelam.
Wong main akeh sing ndadi—Penjudi banyak merajalela.
Akeh barang haram—Banyak barang haram.
Akeh anak haram—Banyak anak haram.
Wong wadon nglamar wong lanang—Perempuan melamar laki-laki.
Wong lanang ngasorake drajate dhewe—Laki-laki memperhina derajat sendiri.
Akeh barang-barang mlebu luang—Banyak barang terbuang-buang.
Akeh wong kaliren lan wuda—Banyak orang lapar dan telanjang.
Wong tuku ngglenik sing dodol—Pembeli membujuk penjual.
Sing dodol akal okol—Si penjual bermain siasat.
Wong golek pangan kaya gabah diinteri—Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
Sing kebat kliwat—Yang tangkas lepas.
Sing telah sambat—Yang terlanjur menggerutu.
Sing gedhe kesasar—Yang besar tersasar.
Sing cilik kepleset—Yang kecil terpeleset.
Sing anggak ketunggak—Yang congkak terbentur.
Sing wedi mati—Yang takut mati.
Sing nekat mbrekat—Yang nekat mendapat berkat.
Sing jerih ketindhih—Yang hati kecil tertindih
Sing ngawur makmur—Yang ngawur makmur
Sing ngati-ati ngrintih—Yang berhati-hati merintih.
Sing ngedan keduman—Yang main gila menerima bagian.
Sing waras nggagas—Yang sehat pikiran berpikir.
Wong tani ditaleni—Orang (yang) bertani diikat.
Wong dora ura-ura—Orang (yang) bohong berdendang.
Ratu ora netepi janji, musna panguwasane—Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
Bupati dadi rakyat—Pegawai tinggi menjadi rakyat.
Wong cilik dadi priyayi—Rakyat kecil jadi priyayi.
Sing mendele dadi gedhe—Yang curang jadi besar.
Sing jujur kojur—Yang jujur celaka.
Akeh omah ing ndhuwur jaran—Banyak rumah di punggung kuda.
Wong mangan wong—Orang makan sesamanya.
Anak lali bapak—Anak lupa bapa.
Wong tuwa lali tuwane—Orang tua lupa ketuaan mereka.
Pedagang adol barang saya laris—Jualan pedagang semakin laris.
Bandhane saya ludhes—Namun harta mereka makin habis.
Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan—Banyak orang mati lapar di samping makanan.
Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara—Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
Sing edan bisa dandan—Yang gila bisa bersolek.
Sing bengkong bisa nggalang gedhong—Si bengkok membangun mahligai.
Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil—Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
Ana peperangan ing njero—Terjadi perang di dalam.
Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham—Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
Durjana saya ngambra-ambra—Kejahatan makin merajalela.
Penjahat saya tambah—Penjahat makin banyak.
Wong apik saya sengsara—Yang baik makin sengsara.
Akeh wong mati jalaran saka peperangan—Banyak orang mati karena perang.
Kebingungan lan kobongan—Karena bingung dan kebakaran.
Wong bener saya thenger-thenger—Si benar makin tertegun.
Wong salah saya bungah-bungah—Si salah makin sorak sorai.
Akeh bandha musna ora karuan lungane—Banyak harta hilang entah ke mana
Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe—Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram—Banyak barang haram, banyak anak haram.
Bejane sing lali, bejane sing eling—Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
Nanging sauntung-untunge sing lali—Tapi betapapun beruntung si lupa.
Isih untung sing waspada—Masih lebih beruntung si waspada.
Angkara murka saya ndadi—Angkara murka semakin menjadi.
Kana-kene saya bingung—Di sana-sini makin bingung.
Pedagang akeh alangane—Pedagang banyak rintangan.
Akeh buruh nantang juragan—Banyak buruh melawan majikan.
Juragan dadi umpan—Majikan menjadi umpan.
Sing suwarane seru oleh pengaruh—Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
Wong pinter diingar-ingar—Si pandai direcoki.
Wong ala diuja—Si jahat dimanjakan.
Wong ngerti mangan ati—Orang yang mengerti makan hati.
Bandha dadi memala—Hartabenda menjadi penyakit
Pangkat dadi pemikat—Pangkat menjadi pemukau.
Sing sawenang-wenang rumangsa menang — Yang sewenang-wenang merasa menang
Sing ngalah rumangsa kabeh salah—Yang mengalah merasa serba salah.
Ana Bupati saka wong sing asor imane—Ada raja berasal orang beriman rendah.
Patihe kepala judhi—Maha menterinya benggol judi.
Wong sing atine suci dibenci—Yang berhati suci dibenci.
Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat—Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
Pemerasan saya ndadra—Pemerasan merajalela.
Maling lungguh wetenge mblenduk — Pencuri duduk berperut gendut.
Pitik angrem saduwure pikulan—Ayam mengeram di atas pikulan.
Maling wani nantang sing duwe omah—Pencuri menantang si empunya rumah.
Begal pada ndhugal—Penyamun semakin kurang ajar.
Rampok padha keplok-keplok—Perampok semua bersorak-sorai.
Wong momong mitenah sing diemong—Si pengasuh memfitnah yang diasuh
Wong jaga nyolong sing dijaga—Si penjaga mencuri yang dijaga.
Wong njamin njaluk dijamin—Si penjamin minta dijamin.
Akeh wong mendem donga—Banyak orang mabuk doa.
Kana-kene rebutan unggul—Di mana-mana berebut menang.
Angkara murka ngombro-ombro—Angkara murka menjadi-jadi.
Agama ditantang—Agama ditantang.
Akeh wong angkara murka—Banyak orang angkara murka.
Nggedhekake duraka—Membesar-besarkan durhaka.
Ukum agama dilanggar—Hukum agama dilanggar.
Prikamanungsan di-iles-iles—Perikemanusiaan diinjak-injak.
Kasusilan ditinggal—Tata susila diabaikan.
Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi—Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
Wong cilik akeh sing kepencil—Rakyat kecil banyak tersingkir.
Amarga dadi korbane si jahat sing jajil—Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit—Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
Lan duwe prajurit—Dan punya prajurit.
Negarane ambane saprawolon—Lebar negeri seperdelapan dunia.
Tukang mangan suap saya ndadra—Pemakan suap semakin merajalela.
Wong jahat ditampa—Orang jahat diterima.
Wong suci dibenci—Orang suci dibenci.
Timah dianggep perak—Timah dianggap perak.
Emas diarani tembaga—Emas dibilang tembaga
Dandang dikandakake kuntul—Gagak disebut bangau.
Wong dosa sentosa—Orang berdosa sentosa.
Wong cilik disalahake—Rakyat jelata dipersalahkan.
Wong nganggur kesungkur—Si penganggur tersungkur.
Wong sregep krungkep—Si tekun terjerembab.
Wong nyengit kesengit—Orang busuk hati dibenci.
Buruh mangluh—Buruh menangis.
Wong sugih krasa wedi—Orang kaya ketakutan.
Wong wedi dadi priyayi—Orang takut jadi priyayi.
Senenge wong jahat—Berbahagialah si jahat.
Susahe wong cilik—Bersusahlah rakyat kecil.
Akeh wong dakwa dinakwa—Banyak orang saling tuduh.
Tindake manungsa saya kuciwa—Ulah manusia semakin tercela.
Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi—Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
Wong Jawa kari separo—Orang Jawa tinggal setengah.
Landa-Cina kari sejodho — Belanda-Cina tinggal sepasang.
Akeh wong ijir, akeh wong cethil—Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
Sing eman ora keduman—Si hemat tidak mendapat bagian.
Sing keduman ora eman—Yang mendapat bagian tidak berhemat.
Akeh wong mbambung—Banyak orang berulah dungu.
Akeh wong limbung—Banyak orang limbung.
Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka—Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.