SIFAT DAN KEBIASAAN PIYANTUN JAWA
Sifat
& Kebiasaan Orang Jawa menurut Koentjaraningrat (1996) mendefinisikan
masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh
suatu sistem adat istiadat. Herusatoto (1987) mendefinisikan masyarakat Jawa
adalah sebagai salah satu masyarakat yang hidup dan tumbuh berkembang dari
zaman dahulu sampai sekarang dan turun temurun menggunakan bahasa Jawa dalam
berbagai ragam dialeknya serta mendiami sebagian besar Pulau Jawa.
Masyarakat
Jawa kental dengan tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya Jawa hingga saat ini
masih mendominasi tradisi dan budaya nasional Indonesia. Salah satu faktor
penyebabnya adalah begitu banyaknya orang Jawa yang menjadi tokoh negara yang
berperan dalam percaturan kenegaraan sejak zaman sebelum merdeka hingga
sekarang. Nama-nama Jawa juga akrab di telinga warga Indonesia begitu pula
istilah-istilah Jawa.
Seiring
berkembangnya zaman, orang Jawa atau masyarakat Jawa tidak hanya mendiami Pulau
Jawa tetapi kemudian menyebar di seluruh Indonesia. Masyarakat Jawa ini
memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat
daerah lain seperti masyarakat Sunda, masyarakat Madura, masyarakat Batak,
masyarakat Minang, dan lain sebagainya. Banyak di luar pulau Jawa ditemukan
komunitas Jawa akibat adanya program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah.
Suyanto
(1990) dalam bukunya yang berjudul Pandangan Hidup Jawa menerangkan, bahwa
karakteristik budaya Jawa adalah religious, non-doktriner, toleran, akomodatif,
dan optimistic. Karakteristik budaya Jawa ini melahirkan sifat kecenderungan
yang khas bagi masyarakat Jawa seperti: percaya pada Tuhan Yang Maha Esa
sebagai Sangkan Paraning Dumadi dengan segala sifat dan kebesaran-Nya, bercorak
idealistis (percaya kepada sesuatu yang bersifat immaterial-bukan kebendaan dan
hal-hal yang bersifat adikodrati-supernatural serta cenderung ke arah mistik,
lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual, mengutamakan
cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia, percaya kepada
takdir dan cenderung bersikap pasarah, bersifat konvergen dan universal, momot
dan non-sektarian, cenderung pada simbolisme, cenderung pada gotong royong,
rukun, damai, dan kurang kompetitif karena kurang mengutamakan materi.
Sifat Seorang Ksatria Berdasarkan Pepatah Jawa
Tentang
ungkapan glurug tanpa bala, sekti tanpa aji, menang tanpa ngasirake, sugih
tanpa bandha. Seorang ksatria Jawa harus mempunyai keberanian dan tanggung
jawab, mempunyai kemampuan dalam dirinya untuk mencapai tujuan, mempunyai sifat
yang luhur dan tidak merendahkan orang lain serta tepo seliro dan juga kaya
akan pengetahuan, kebaikan serta hal yang baik lainnya.
Sifat
seorang ksatria Jawa :
1.
Nglurug
tanpa bala. Dalam frase nglurug tanpa bala, arti kata glurug adalah datang
dengan membawa rombongan orang banyak atau membawa pasukan dengan tujuan untuk
berperang. Sedangkan kata tanpa bala berarti tidak membawa pasukan ataupun
teman. Jadi frase di atas dapat kita artikan bahwa seseorang yang menghadapi
segala sesuatu sendirian tanpa bantuan orang lain. Prinsip hidup yang ingin
disampaikan dan diajarkan dalam ungkapan ini adalah tentang keberanian di dalam
kehidupan ini untuk bertanggung jawab dan mandiri dalam menjalani dan
menghadapi segala permasalahan yang ada tanpa harus mengharapkan atau bahkan
mengandalkan orang lain (orang tua, saudara, teman dan yang lainnya).
2.
Sekti
tanpa aji. Sekti atau sakti yang dimaksud adalah sebuah kemampuan yang melebihi
dari kemampuan orang-orang biasa, dan dalam hal ini kemampuan yang berhubungan
dengan kanuragan, bela diri, ataupun kemampuan mistis/supranatural. Tanpa aji
yang dimaksud adalah tanpa ilmu bela diri atau ilmu mistis tertentu dan juga
dapat diartikan tidak menggunakan barang berupa pusaka, sehingga boleh
dikatakan bahwa seseorang itu mampu lebih dari kemampuan orang biasa dengan
kemampuan yang ada di dalam dirinya sendiri. Ajaran yang disampaikan adalah
tentang bagaimana kita memberdayakan segala sesuatu yang ada di dalam diri kita
sehingga kita mempunyai kemampuan yang lebih untuk menjalani hidup tanpa
mengandalkan kekuasaan atau jabatan untuk menghadapi semua permasalahan hidup
yang ada.
3.
Menang
tanpa ngasorake. Arti dari kata ngasorake adalah merendahkan atau mengalahkan.
Dalam istilah saat ini yang boleh dikatakan sepadan dengan ungkapan Jawa
tersebut adalah "win-win solution" yang artinya dua belah pihak
merasa menang atau diuntungkan. Ajaran yang ingin disampaikan adalah bagaimana
kita mencapai tujuan kita tanpa membuat orang lain merasa dirugikan ataupun
direndahkan, dan prinsip hidup ini merupakan salah satu prinsip hidup yang
mendasar bagi masyarakat Jawa sehubungan dengan prinsip tepo seliro.
4.
Sugih
tanpa Bandha. Kata sugih dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah kaya
atau berkecukupan, sedangkan tanpa bandha terjemahannya adalah tanpa harta
benda. Dalam frase inipun arti katanya juga bertolak belakang karena kaya
adalah identik dengan mempunyai harta benda yang banyak sedang kata yang
lainnya mempunyai arti tidak punya harta benda. Maksud dari ungkapan ini
adalah: dalam kehidupan ini harta benda bukanlah segala-galanya, karena memiliki
harta benda yang banyak sekali pun tidak akan menjamin ketenteraman dan
kebahagiaan hidup ini. Ajaran yang ingin disampaikan adalah untuk mencapai
kebahagiaan hidup, kita tidak harus mengandalkan harta benda semata tetapi juga
harus kaya di dalam hal yang lainnya juga, misalnya kita kaya dalam hal teman
yang banyak, pengetahuan yang banyak, kebaikan yang banyak dan lain sebagainya
di luar harta benda.
20 Sifat & Kebiasaan Orang Jawa.
1.
Terkenal
Pemalu, Sungkan, Tapi Suka Menyapa. Kebiasaan orang Jawa yang tidak asing lagi
adalah terkenal pemalu, sungkan, tapi suka menyapa, lho. Biasanya orang Jawa
masih malu dan sungkan apabila mereka berada di lingkungan baru atau si orang
Jawa ini baru merantau ke suatu kota. Biasanya ketika disapa, orang Jawa ini
akan menganggukkan kepala saja atau hanya senyum. Berbeda juga sudah kenal
lama, biasanya orang Jawa lebih suka menyapa terlebih dahulu dan suka mengobrol
berbagai hal. Orang Jawa ini suka menyapa, tapi biasanya jarang berani memulai
percakapan.
2.
Menjaga
Sopan Santun. Kebiasaan orang Jawa yang cukup dikenal lainnya adalah menjaga
sopan santun. Baik kepada yang lebih tua atau sesama bahkan yang lebih muda.
Mereka juga menjaga etika ketika berbaur di lingkungan masyarakat. Orang Jawa
juga terbiasa merundukkan tubuh ketika berjalan di depan orang yang lebih tua
atau yang lebih dihormati sebagai wujud penghormatan dan sopan santun.
Merundukkan badan ini sebagai pertanda seseorang sungguh menghargai orang lain
dan dapat menempatkan posisi dirinya. Orang Jawa ini tahu bagaimana caranya
bersikap, misal sedang bertamu atau ketika menjadi tuan rumah.
3.
Dikenal
Kalem. Kalem artinya tidak tergesa-gesa, tenang, santai. Orang Jawa cenderung
menyelesaikan apapun masalahnya seperti masalah pekerjaan dengan kalem. Dalam
hal pekerjaan, orang Jawa dikenal pekerja-pekerja yang baik, mengerjakan apa
yang seharusnya mereka kerjakan. Mereka berdedikasi tinggi terhadap apa yang
menjadi tanggung jawabnya. Orang Jawa juga disiplin dalam manajemen waktu.. Cara
berbicara ke orang lain juga tidak kasar. Oleh sebab itu banyak perempuan jawa
terkenal dengan sifat anggunnya. Selain itu, orang Jawa juga suka untuk selalu
berpikir positif dalam segala keadaan
dan hal ini dibahas dalam buku Nrimo Ing Pandum: Cara Berbahagia Ala Orang
Jawa.
4.
Ramah.
Pernah berpapasan dengan orang Jawa. Biasanya mereka akan melempar senyum
terlebih dahulu. Mereka cenderung ramah kepada siapapun dan berpikir positif ke
orang lain. Biasanya mereka akan menyapa orang yang baru dikenalnya Pak, Bu,
Mas, Mbak. Terhadap orang yang baru dikenalnya saja ramah, apalagi yang sudah
mengenal lama. Hal ini membuat orang Jawa di tempat kerjanya lebih disukai
teman-temannya dan membuat orang lain mudah mengingatnya.
5.
Lebih
Menghindari Konflik di Lingkungannya. Dalam kehidupan sosial, mayoritas orang
Jawa memiliki sifat yang suka mengalah, hal ini bertujuan untuk menghindari
permasalahan lebih panjang. Apabila dihadapkan konflik, orang Jawa memilih
diam. Mereka cenderung memilih mengalah bukan karena takut melainkan karena
mereka tidak suka adanya pertikaian apalagi sampai pertumpahan darah
6.
Sederhana
dan Tidak Neko-neko. Kesederhanaan juga melekat pada orang Jawa. Mereka tidak
melakukan hal-hal aneh. Perangainya tidak glamor, mengutamakan penampilan yang
apa adanya. Penampilan dan sikap berlebihan justru bisa membuat perhatian
hingga ketidaksukaan orang. Contoh saja di lingkungan kerja, orang Jawa akan
dikagumi karena kejujurannya sehingga banyak orang jawa yang menempati jabatan
yang prestisius baik di kalangan swasta maupun pemerintahan. Orang-orang banyak
suka dengan karakter orang Jawa karena tidak suka membanggakan diri dan
menyombongkan harta benda yang dimiliki. Bagi orang Jawa, sederhana yang
penting bahagia.
7.
Pekerja
keras. Pemalas bukan sifat orang Jawa. Orang Jawa terkenal dengan sifat kerja
kerasnya dan kreatif. Bisa dilihat di kota seperti Jakarta yang mayoritas
pendatang dari Jawa, banyak orang Jawa bekerja keras mulai dari buka usaha,
berdagang, asal pekerjaan itu halal dan bisa menghidupi keluarga maka mereka
akan melakukan kerja dengan sungguh-sungguh. Bagi yang bekerja di perusahaan,
ketika mendapat gaji mereka bukan tipe yang boros, mereka akan mempertimbangkan
untuk mengirim orang tua atau saudaranya di kampung. Mereka juga lebih suka
menyisihkan uangnya untuk ditabung.
8.
Menerima
Apa Adanya. Nerimo ing pandume Gusti” artinya menerima apa yang sudah diberikan
Tuhan. Orang Jawa tidak suka bersifat aneh-aneh dan macam-macam. Hal ini juga
berlaku pada kehidupan berumah tangga, harus bisa menerima pasangannya apa
adanya, tidak saling menuntut. Mereka biasanya menerima kondisi apapun dari
pasangannya asalkan saling suka dan cocok. Contoh lain, ketika mendapati Ibu
memasak tempe dan tahu goreng, Bapak atau anak-anaknya tidak menuntut lebih,
mereka akan memakannya dan tidak minta macam-macam. Dalam menghadapi problem
dan tantangan hidup juga seperti itu, orang Jawa cenderung menerima. Menerima
bukan berarti pasrah, melainkan legawa. Bahwa pasti ada hikmah dari setiap
kejadian yang dialami. Hal ini bisa menjadi pembelajaran untuk siapa saja di
kemudian hari. Apabila terulang maka bisa mengantisipasi.
9.
Gaya
dan Nada Bicaranya Lembut. Seperti yang kita ketahui, bahasa Jawa memiliki
strata kasar, sedang, dan halus. Strata halus digunakan ketika orang muda
berbicara kepada orang yang usianya lebih tua, sedangkan untuk seumuran bisa
menggunakan bahasa yang sedang (ngoko alus) atau ngoko. Biasanya orang Jawa
daerah Yogyakarta dan Solo lebih dikenal dengan bicaranya yang lembut dan
anggun.
10. Dikenal Punya
Banyak Aturan dan Larangan dalam Bentuk Mitos. Perlu diketahui, sebenarnya
secara logika, mitos-mitos yang dipercayai orang Jawa hanyalah bagian dari
aturan tatanan kehidupan agar kehidupan masyarakat selaras secara vertikal dan
horizontal. Artinya selaras dengan Tuhan dan selaras dengan kehidupan sesama. Adanya
mitos atau larangan perbuatan ditujukan agar nilai kesopanan dan unggah-ungguh
tetap terjaga. Contoh yang sering diucapkan adalah “ora ilok ngombe karo
ngadek” yang berarti “tidak baik minum sambil berdiri”, sebaiknya minum sambil
duduk. Orang Jawa memang percaya akan pantangan. Tidak heran jika sedikit-sedikit
mereka mengucapkan ora ilok (tidak baik atau tidak diperbolehkan).
11. Luwes. Luwes
bisa diartikan tidak kaku, tidak canggung, mudah disesuaikan. Orang Jawa dalam
hal pekerjaan bisa lebih luwes, cepat menyesuaikan dengan lingkungan. Jika
bertemu dengan orang baru juga lebih luwes, tidak mudah canggung. Orang Jawa
mempunyai sifat mudah berbaur dengan orang-orang dari suku lain, meskipun ada
rasa malu dan sungkan. Sikap luwesnya ini membuat orang Jawa banyak disukainya
orang untuk bergaul dengannya.
12. Memegang Erat
Tradisi dan Budaya. Orang-orang Jawa, meskipun di tanah rantau begitu erat
memegang tradisi dan budayanya. Di beberapa daerah masih kental dengan
tradisi-tradisi Jawa seperti Yogyakarta dan Solo. Meskipun era sudah modern
seperti sekarang ini, budaya di keraton juga masih dipegang erat. Hal ini
membuktikan kuatnya tabiat orang Jawa memegang tradisi dan budaya warisan
leluhurnya. Banyak tradisi yang berasal dari leluhur jawa yang masih lestari
dan dilakukan sampai sekarang. Beberapa tradisi tersebut merupakan
simbol-simbol dari suatu peristiwa penting di masa lalu atau bentuk rasa syukur
yang dikemas dalam bentuk acara. Salah satu tradisi serta budayanya adalah
sajen yang merupakan bentuk manisfestasi rasa syukur serta lambang permohonan
yang tulus dan ikhlas untuk dipersembahkan kepada Tuhan Yang Mahasa Esa. Bentuk
sajen sendiri sangat beragam yang dapat dipelajari pada buku SAJEN dan Ritual
Orang Jawa.
13. Suka Menolong
dan Berkumpul. Pernah mendengar peribahasa mangan ora mangan sing penting
kumpul, itu artinya makan atau tidak makan yang penting kumpul. Saat keadaan
sulit maupun senang sebisa mungkin terus bersama, kurang lebih arti peribahasa
tersebut. Hal ini juga bisa dimaknai dalam kehidupan harus saling tolong
menolong, saling membantu jika ada saudara yang sedang dalam keadaan susah dan
tolong menolong tanpa mengharap imbalan. Migunani tumraping liyan artinya
berguna bagi orang lain.
14. Mudah Bergaul
dan Membaur. Sudah tidak diragukan lagi kalau orang Jawa pandai bergaul dan
membaur. Berkat keramahannya, mereka gampang diajak bergaul dengan orang yang
baru ditemuinya. Mudah bergaul ini dipengaruhi juga karena karakternya yang
suka mengalah, itulah sebabnya di manapun orang Jawa mudah membaur karena minim
konflik.
15. Tata Bahasa
Berdasarkan pada Nilai Kesopanan. Seiring berkembangnya teknologi, pengetahuan
tentang bahasa asing makin mudah dipelajari dan diakses melalui internet. Namun
orang Jawa tetap menjaga kesopanan dalam bertutur kata. Sampai saat ini, masih
banyak ditemui orang Jawa yang bicara berdasar hierarki usia atau dengan siapa
mereka bicara. Struktur bahasa Jawa mulai dari Ngoko-Krama Alus-Krama Inggil.
Ngoko bisa digunakan untuk bahasa sehari-hari dan kepada teman sebaya atau yang
usianya lebih muda. Sedangkan krama digunakan untuk meninggikan derajat lawan
bicara, krama inggil ini merupakan bahasa halus yang biasanya ditujukan kepada
lawan bicara yang lebih dihormati ataupun orang asing.
16. Kebiasaan Muluk.
Kata muluk atau puluk pasti sudah tidak asing lag ikan. Orang Jawa memiliki
kebiasaan makan dengan cara muluk. Kebiasan makan dengan tangan langsung tanpa
menggunakan sendok, garpu, dan alat bantu makan yang lain. Kebiasaan makan
seperti ini sudah dari zaman dahulu dan masih banyak orang Jawa
melestarikannya. Biasanya orang Jawa melakukan makan sambil muluk sembari duduk
lesehan.
17. Memiliki
Filosofi Hidup Mengalir Seperti Air. Orang Jawa biasanya tidak suka neko-neko,
dan lebih suka kehidupannya mengalir seperti air. Asalkan sudah bisa mencukupi
kebutuhan keluarga, bisa beribadah dengan tenang, tidak punya banyak hutang,
mereka sudah sangat bersyukur. Orang Jawa tidak suka menuntut lebih. Terkadang
mereka memilih mengalir seolah tidak memiliki beban yang berat dalam hidupnya.
18. Suka Mengalah. Orang
Jawa memilih mengalah dalam setiap pertikaian. Mereka lebih suka hidup
adem-ayem, tidak banyak masalah. Mereka tidak suka banyak konflik terutama
dalam kehidupan keluarga. Mereka juga lebih suka berdiskusi dalam hal-hal
permasalahan keluarga.
19. Penurut. Ajaran
nurut sudah diajarkan sejak kecil. Misal orang tua menyuruh anaknya untuk
mengaji atau berjamaah ke masjid, maka si anak harus nurut. Mereka tidak suka
membantah jika diperintahkan oleh orang yang lebih tua. Selama apa yang
diperintahkan dalam hal kebaikan, anak-anak lebih mudah nurut yang diajarkan
orang tuanya. Ini berlaku juga dalam hal pekerjaan.
20. Mensyukuri
Apapun yang Terjadi dan Mengambil Sisi Positif Meski Tertimpa Musibah Buruk. Mereka
ketika terkena musibah biasanya akan tetap bersyukur, legawa, mengambil sisi
positif dari setiap kejadian. Contohnya, ada yang mengalami kecelakaan,
motornya rusak, biasanya mereka akan mengucap untung mung motor sing rusak,
sing penting awake sehat, artinya untung hanya motornya yang rusak, badannya
masih sehat. Mereka masih berpikir positif dari segala kejadian atau musibah
yang menimpa.