BANDUNG BONDOWOSO BERBAGAI VERSI KISAH DAN CERITA
Bandung Bondowoso menyusun batu dan menegakkan candi, beratus-ratus, sampai lewat tengah malam. Aneh, ia tak merasa lelah, tapi tiba-tiba ia dengar suara-suara pagi datang dari jauh.
Ia tak melihat warna fajar, tapi ia tahu ia telah gagal. Ia tak berhasil menyelesaikan 1.000 bangunan dalam waktu yang ditentukan.
Legenda Loro JonggrangNyang menjelaskan asal-usul himpunan candi yang mempesona di Prambanan itu memang sebuah cerita kegagalan.
Ing sak wijining dina, Bandung Bondowoso yang menang perang berhasrat memperistrikan Jonggrang, putri mendiang Raja Baka yang telah dibunuhnya. Gadis itu ketakutan. Kerajaan ayahnya telah jatuh ke tangan kekuasaan Pengging dan itu berarti ia bukan lagi orang yang merdeka. Tak mungkin ia menampik kehendak seorang lelaki yang kini dipertuan.
Tapi ia menemukan jalan lepas. Diajukannya syarat: ia akan mau menerima pinangan pendekar itu bila 1.000 candi ditegakkan dalam satu malam.
BANDUNG BONDOWOSO MENYETUJUI
Kesanggupan itu memang mengherankan, tapi di sini agaknya legenda Loro Jonggrang mengandung sebuah teks lain, yang ingin bercerita bahwa tiap kemenangan selalu mengandung kekalahan. Yang absolut tak ada di dunia. Di Prambanan dan di luarnya, perang tak akan cukup, pembunuhan tak pernah memadai, dan ada yang minus dalam tiap takhta.
Itu sebabnya kita tak tahu apa arti penaklukan: Loro Jonggrang ternyata bukan bagian dari benda jarahan. Ia merdeka. Ia bisa menuntut dengan satu syarat yang sulit, bahkan sebenarnya mustahil.
Bahwa Bandung Bondowoso, sang pemenang pembela Pengging, menerima syarat itu menunjukkan ada ambivalensi dalam hubungan kedua manusia itu. Lelaki itu berkuasa tapi perempuan itu terlepas dari hubungan memiliki-dan-dimiliki. Bahkan Bandung membiarkan dirinya masuk ke angan-angan Jonggrang. Orang bisa mengatakan bahwa yang diniatkan tumbuh dalam hubungan itu adalah cinta, dan cinta dengan atau tanpa membaca kalimat Thomas Kempis pada abad ke-15 tak merasakan beban, tak berpikir tentang kesulitan. Cinta bahkan ”mencoba apa yang melebihi kekuatan diri”, dan ”tak minta dimaafkan di hadapan kemustahilan”.
Tapi bukan sikap angkuhkah yang mendorong Bandung menerima syarat itu? Katakanlah ini yang terjadi: sang perkasa yang telah berhasil membinasakan Raja Baka itu merasa malu untuk menyatakan tak sanggup membangun 1.000 candi dalam satu malam. Tapi keangkuhan dan rasa malu mengandung pengakuan bahwa ada orang lain—dan orang lain itu hadir dalam posisi untuk menilai dan menghakimi. Di sini keperkasaan juga menemui batasnya. Bandung Bondowoso tak dapat menafikan yang lain yang tegak di luar itu yang lain yang memandang ke arahnya.
Saya bayangkan ia Loro Jonggrang. Saya bayangkan pada sebuah senja ia berkata kepada peminangnya : ”Sebenarnya saya takjub. Tuan tak memperlakukan saya sebagai jarahan perang. Bagaimana ini mungkin?”
”Ada hal yang mustahil yang membuat kita memilih dan berbuat,” jawab Bandung Bondowoso.
”Untuk apa?”
Bandung Bondowoso tak menjawab. Ia hanya melipat lengannya dan berjalan kembali ke markas pasukan, melewati deretan panji Pengging yang ditutupi gelap. Sejak ia menemui Loro Jonggrang dan melihat wajahnya yang ketakutan tapi tak merunduk, mendengar ucapannya yang gemetar tapi fasih ia tahu ada yang sia-sia dalam tiap kemenangan. Apa yang didapat para Pandawa setelah membinasakan Kurawa dan menguasai Astina dan Amarta? Seluruh generasi kedua keluarga Pandu yang seharusnya melanjutkan dinasti itu tewas di medan perang. Apa yang dicapai Rama setelah merebut Sita kembali? Ia tak yakin perempuan itu, yang bertahun-tahun disekap di Istana Alengka, seorang istri yang belum dinodai.
Kebanggaan diri dan kejayaan mungkin itulah yang menggerakkan perang. Perang memang mengubah sejarah. Tapi, setelah itu, sejarah mengecoh para pendekar, dan lahir penulis tragedi.
”Jika saya mohon Tuan membangun 1.000 candi di sekitar bukit Prambanan itu, akankah Tuan memenuhinya?” tanya Jonggrang.
”Saya akan gentar. Tapi saya akan membangunnya.”
”Dalam satu malam?”
”Ada hal yang mustahil yang menyebabkan kita berbuat.”
Seseorang pernah mengatakan, manusia membuat sejarah karena dilecut yang mustahil: kemenangan, kejayaan, keadilan, dan hal-hal lain yang dicita-citakan sebagai alternatif bagi hidup yang tak pernah penuh.
Sebuah wilayah dengan seribu candi yang didirikan dalam satu malam adalah satu dari deretan angan-angan itu. Bahasa mencoba merumuskannya, dan itu sebabnya kata-kata tak sepenuhnya transparan. Tak pernah jelas apa yang sebenarnya ditandai dengan kata ”seribu”. Percakapan sehari-hari, retorika resmi dan nyanyian populer, (”tinggi gunung 1.000 janji”, kata sebuah lagu tahun 1950-an), menyebut angka itu lebih sebagai sebuah kiasan yang hendak mengesankan jumlah yang ”tak terhingga”.
Bandung Bondowoso agaknya tahu akan hal itu: ia harus siap menjangkau yang tak terhingga. Ketika sore mulai merayap, ia berangkat meninggalkan markas, sendiri. Konon di bukit itu para roh halus membantunya mengangkat batu dari Merbabu, menyusun dan memahatnya dengan relief yang menakjubkan.
Waktu pun berjalan, tapi apa yang membatasi ”malam” dengan ”pagi”? Fajar yang merekah, cicit burung di hutan, detakan lesung perempuan tani, atau asap dapur di balik gunuk? Atau sebuah kesadaran akan batas yang mengingatkan bahwa yang ”tak terbatas” selalu luput?
Tapi siapa yang mengatakan kisah Bandung Bondowoso hanyalah cerita kesia-siaan tak akan memahami bahwa yang terbatas juga punya daya gugah dan mampu menyentuh hati. Ketika ia tahu ia gagal menyelesaikan 1.000 candi dan gagal pula cintanya kepada Jonggrang Bandung Bondowoso pergi ke belukar dan memahat sebuah patung. Ia ingin mengenang perempuan itu.
Patung itu: sebuah ikhtiar menggapai yang indah. Ia bukan keindahan itu sendiri, tapi tetap berharga hingga hari ini.
KISAH BANDUNG BONDOWOSO
Betapapun itu, dia tetap menang. Meskipun cintanya pada Loro Jonggrang dihabisi waktunya, namun abadi dalam susunan yang keseribu.
Hayat tak menyangsikan apapun. Bersama kepergian para jin, bebatuan disusunnya pada hitungan yang keseribu. Meskipun sebenarnya, matahari belum benar-benar menampakan dirinya. Begitu juga waktu belum genap menunjukan saatnya. Bersama dengan itu pula, kegagalan cintanya termaktub pada anak seorang raksasa pemakan manusia, Loro Jonggrang.
Dia tak sepenuhnya percaya Loro Jonggrang membenci dirinya. Saat Loro Jonggrang meminta dibuatkan sumur yang begitu dalam, bukan kah itu hal yang mudah.
Lebih-lebih seribu candi dalam satu malam, ingatkah ayahnya pun dibunuhnya? Baginya, kecantikan Loro Jonggrang lebih-lebih memabukan. Mungkin kecantikannya kumpulan dari setiap manusia yang dimakan Prabu Boko, ayahnya.
Namun, dia tak menyangka, kegagalan menghampirinya perlahan-lahan. Menyelinap dalam kecantikan yang tiada tara. Mengajaknya berpesta semalam suntuk diiringi dentingan duka lara. Bahkan sebelum lonceng subuh sempat dikumandangkan. Tak ada lagi waktu. Bukan kehabisan. Dia hanyalah pangeran sakti mandraguna yang dihabisi waktunya.
Sesaat setelah pagi benar-benar mempertemukannya dengan takdir, dia hanya berdiri tepat didepan patung. Sebuah patung yang merupakan susunan candi yang keseribu. Patung yang masih begitu segar. Dijamahnya muka patung yang nampak tak sehalus ketika pertama kali dilihatnya. Diluruhkan jemari tangannya pada setiap lengkungan yang meskipun kasar namun terlihat masih begitu indah. Seperti tidak ada yang asing, layakanya ziarah ke tanah makam yang masih basah. Dan memang begitu adanya.
Setelah semuanya membatu, teramat juga cintanya pada Loro Jonggrang, dia tak menginginkan apapun. Selain menanggalkan kesaktiannya. Karena kini kesaktiannya tak lagi berguna. Terlebih dia juga membiarkan harapan-harapannya membatu dalam patung yang baru saja benar-benar mengeras. “Ya, ini aku Bandung Bondowoso. Aku telah menunaikan tugasku. Ijinkan aku mengakhiri semua ini ya, Gusti.”
“Inikah cinta yang senyatanya keras kepala dan tak terusik itu?” Prabu Damar Maya membisikan rasa kecewa yang nyatanya tak juga mampu mengikis hati Bandung Bondowoso yang terlanjur juga membatu. Bandung Bondowoso tetap tak bergeming. Dia tahu, ayahnya hanya ingin membujuknya tetap menjadi panglima perang Pengging. Sembari berkata-kata tentang hal yang remeh temeh tentang cinta, dia juga tahu ayahnya pun juga merasakan kekecewaan yang dirasakannya.
“Entahlah. Kini biarkan saja aku tidur. Semoga saja tak bangun kembali. Karena aku tak ingin terbangun sia-sia. Sama seperti batu yang kubangun dengan kesaktianku.” Bandung Bondowoso meratap bimbang. Namun ucapannya yang nampak seperti kiasan itu, sebenarnya hanya seorang yang kehabisan hasrat. Baginya, tak ada lagi yang harus diperbuat. Perang tandasnya, hanyalah kemenangan-kemenangan yang sama saja. Selalu menemui hilirnya pada hingar bingar dan kelegaan bagi kerajaan. Tidak lebih.
Baru sekejap mata tertidur pulas, Bandung Bondowoso terbangun. Dia mendengar desir-desir kekhawatiran menyergap menghantui ayahnya. Pikirnya, sang ayah jauh lebih hebat meskipun sudah uzur. Maka tak ada yang perlu dilakukan, lebih-lebih untuk beranjak dari peraduan. Tidak perlu. “Bandung Bondowoso, anakku. Keluarlah”
Ah! Salah! Kali ini firasat Bandung Bondowoso jauh lebih jujur dari pada nalarnya. Apa boleh buat. Mau tak mau dia mesti keluar menemui ayahnya. Walaupun baru terkantuk sekejap mata. Langkahnya sedikit gontai, bercampur rasa malas yang sungguhpun itu menggelayuti. “Ada apa ayah? Ku pikir baru sekejap aku menutup mataku”
Prabu Damar Maya begitu gusar. Dia menerima kabar jika kira-kira disisi sebelah barat Pengging ada raja yang sakti mandraguna. Raja itu mampu mengubah bumi seisinya menjadi dunia yang sangat berbeda. Sebuah dunia yang bahkan belum pernah dilihat oleh siapapun. Hanya dalam waktu singkat. Hanya dalam sekejap mata. Bahkan mengancam akan mengubah daerah pengging sesuai kehendaknya. Maka itu, Prabu Damar Maya mengirim Bandung Bondowoso untuk melawan. Namun, bukan Bandung Bondowoso yang mengajukan syarat. Justru Prabu Damar Maya.
“Anakku, aku mengijinkan engkau melepas menanggalkan kesaktianmu. Membatu layaknya anak dari raksasa yang kau cintai, Loro Jonggrang. Asalkan kau mampu mengalahkan raja di sisi barat Pengging tanpa pasukan, tanpa senjata, dan tanpa kesaktian. Sanggupkah kau, Bandung Bondowo, anakku?”
Tak ada yang perlu dipertimbangkan. Bandung Bondowoso menyetujui dan sesegera berjalan menjemput hasratnya. Hasrat yang mungkin menjadi takdir terakhirnya sebagai panglima perang. Dikepalanya hanya berisikan kemenangan yang secepat-cepatnya. Pulang, merayakan arak dalam bejana-bejana besar, lalu abadi bersama Loro Jonggrang,
Di tengah perjalanan ke arah barat, sebenarnya jaraknya tidak terlalu jauh. Namun keputusannya menyetujui syarat Prabu Damar Maya membuatnya sedikit kelelahan. Benar saja, selain berjalan tanpa pasukan, tanpa senjata, dan tanpa kesaktian, Bandung Bondowoso baru menyadari jalan yang ditapakinya terlihat aneh. Begitu keras. Begitu hitam. Begitu panjang. Bahkan begitu panas. Dia belum pernah menapaki jalan yang seperti itu.
Berjalan, berjalan, dan berjalan terus. Akhirnya Bandung Bondowoso sampai pada suatu tempat di persimpangan jalan. Dia begitu tercengang! Dilihatnya candi-candi yang berwarna-warni tertata sesak memenuhi tempat itu. Tak tanggung-tanggung, beberapa candi tak hanya berusaha menyesaki saja, bahkan berusaha merunjamkan ujungnya ke langit-langit. Tak hanya tanah, langit pun mulai nampak sesak. Pikirannya tertuju tajam pada ayahnya. “Apakah ini jebakan? Atau ini memang dunia yang tak pernah dilihatnya?”
Bandung Bondowoso mendapati ratusan bahkan ribuan manusia memenuhi matanya. Kali ini tak hanya tanah dan langit, matanya pun penuh sesak! Manusia-manusia yang dilihatnya berbicara dengan bahasa yang tak diketahuinya. Bahasa yang aneh baginya. Tak ada nyali baginya untuk sekedar masuk dan menyelinap kehamparan ribuan manusia yang bergerak kesana kemari kian berganti-ganti. Hanya berusaha bersembunyi dibalik satu candi ke candi lainnya sembari tidak mempercayai dunia yang dilihatnya.
Di ujung jalan itu didapati keabadian Loro Jonggrang, pikirnya. Tak ada pilihan lain, perjalanan akan terus berlanjut sampai dia menemui raja dari tanah, langit, dan mata yang penuh sesak. Meskipun tak diketahuinya tempat istana tersebut berada.
Sedikit memalingkan pandangnya ke tempat yang begitu penuh sesak, dia mendapati papan tinggi yang bertuliskan “Istana Raja” beserta arah yang menunjukan sedikit berbelok dari tempatnya berdiri. Tergesalah dia mengikuti arah itu untuk menemui sang raja.
“Ini dia! Ya, ini dia tempatnya. Ditempat ini memang tak akan pernah ada Loro Jonggrang. Namun, mungkin saja tempat ini bisa membawaku pada keabadian.”
Sembari menyembunyikan dirinya pada salah satu dari dua pohon besar yang tegak berdiri pada tanah berumput di depan istana, Bandung Bondowoso tidak tergesa. Berharap menemukan celah yang tepat untuk menerobos barisan penjaga istana. Tak lama kemudian, dia hinggap dibawah kereta yang ditarik seekor kuda yang sengaja lewat tidak jauh dari pohon tempat dia menyembunyikan dirinya. Meskipun ada pasukan yang menunggangi kereta kuda, meskipun ada penjaga gerbang istana yang bersiap, dia tetap lolos bersama kereta kuda yang sudah ditebaknya sebagai kereta istana. “Ahooooi, aku menemukan mu hai raja dari tanah, langit, dan mata yang penuh sesak ini!”, tandasnya girang yang mengusir pasukan istana dari sekitarnya tunggang langgang.
“Aku tak sudi berjalan menekuk kaki melipat tangan untuk menemui mu, raja. Keluarlah!”
“Ya, ya, aku paham. Engaku kah kisah muram durja yang dihabisi waktunya dari Pengging yang begitu melegenda itu, Joko Bandung?” Rautnya kaku. Bandung Bondowoso tersentak seketika mendengar sang raja berbicara dalam bahasanya. Lebih-lebih mengenali dirinya sebagai legenda.
“Siapa kau, wahai raja? Apa nama kerajaan yang kau hadirkan ini? Aku hanya ingin datang untuk mengalahkanmu. Sembari menemui keabadianku!” sentak Bandung Bondowoso dengan nafas yang sedikit terhela.
“Aku? Kau tak perlu lelah mencari tahu siapa aku, Joko Bandung. Aku hanyalah raja yang dihabisi sejarahnya. Sejarah, apapun itu namanya, tak ingin mengakuiku lagi. Dan kau, Joko Bandung, ingin mengalahkan aku diatas pijakan yang sebenarnya adalah tanahku?”
Bandung Bondowoso terhenyak. Dia berpikir mana mungkin seorang raja tidak memiliki sejarahnya sendiri. Terlebih, raja biasanya merupakan tahta turun temurun. Atau mungkinkah raja tersebut adalah raja yang baru saja menipu sejarah untuk berusaha menciptakan kekuasaanya sendiri? Kalaupun begitu, berarti ini bukan tanah milik raja itu lagi. Ini adalah tanah tak rakyat pikirnya dalam-dalam.
“Tak ada yang perlu kau pertimbangkan dalam-dalam. Sama seperti ketika engkau tergesa menemuiku. Ya, inilah caraku menghadirkan takdirku sendiri. Takdir yang panjang usia, berkuasa! Dan ucapkanlah selamat datang pada dunia yang tak pernah kau lihat, Joko Bandung. Inilah dunia tanpa sejarah yang ku ciptakan!”
Bandung Bondowoso tak habis pikir. Sekalipun melihat, namun dia tak percaya. Bahkan tak akan pernah percaya. Dunia yang begitu asing baginya benar-benar membuatnya mati berdiri. Raja yang ditemuinya, bahkan tak mampu membuatnya berkata-kata. Belum pernah ditemuinya baik dunia maupun raja seperti yang ada didepan matanya saat ini. Namun, dia teringat, tujuan kedatangannya adalah menemui Loro Jonggrang dalam keabadiannya. Lagi, lagi, dan lagi, tak ada pilihan. “Aku, Bandung Bondowoso, panglima perang Pengging ingin mengantarkan engkau pada takdirmu yang sungguhpun sebenarnya! Marilah berperang melawanku pada tubir-tubir maut!”
“Perang katamu? Di dunia yang tak pernah kau lihat ini, perang sudah tidak berlaku. Yang berlaku hanya sejauh mana engkau dapat berkuasa dengan apapun itu caranya. Pulanglah. Kau memang pangeran yang kehabisan waktu, Joko Bandung.”
Kembali, kembali, dan kembali lagi Bandung Bondowoso terhenyak terpaku. Dunia yang ditemuinya kali ini benar-benar begitu asing, begitu aneh. “Kau, raja yang berkuasa atas tanah, langit, dan mata yang penuh sesak oleh candi-candi yang berwarna warni dan ribuan manusia yang tergesa-gesa langkahnya, apakah benar kau seorang raja yang dipuja?”
“Tak perlu pujaan. Kekuasaan memang butuh pujaan. Tapi tak selamanya. Kebanyakan dari rakyat membenciku. Bahkan aku tak peduli apapun itu alasannya. Dan di tanah yang tak perlu kau tahu juga namanya ini, aku berkuasa penuh meskipun tak lagi istimewa seperti dahulu!”
“Membenci katamu? Aku menggunakan kesaktian ilmu ku guna mendapatkan cinta Loro Jonggrang. Begitu juga menanggalkan ilmu ku untuk menemuinya dalam keabadian. Lalu, apa guna ilmu dan kesaktian jika terpisah dari rasa cinta?” tanya Bandung Bondowoso.
AJIAN ILMU KESAKTIAN BANDUNG BONDOWOSO
1. Ajian Bandung Bondowoso, Ilmu Kebal Hingga Taklukan Raja Jin.
Ajian Bandung Bondowoso adalah salah satu ajian tingkat tinggi dalam kanuragan Jawa, yang berfungsi untuk menaklukkan bangsa jin. Dengan ajian ini jin-jin yang ada di sekitar kita akan tunduk dan takluk kepada kita. Mereka akan mau diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang kita inginkan, mereka akan berdaya menghadapi kita dan menurut atas semua keinginan kita.
Kendati terkenal sangat sakti, ajian Bandung Bondowoso dewasa ini sudah mulai punah. Hanya sedikit dari orang Jawa yang masih memiliki ajian ini. Ajian ini memang sengaja tak disebarluaskan pada orang ramai karena akan dapat menimbulkan marabahaya dan kerusakan dalam kehidupan sosial.
Seseorang yang memilikinya harus memiliki niat tulus, niat yang bebas dari segala rupa keinginan, dan hawa nafsu duniawi.
2. Mantra Bandung Bondowoso tanpa puasa, Ajian Sakti yang Bisa Membuat Manusia Kebal warisan nabi sulaiman - INGSUN AMATEK AJIKU SI BANDUNG BONDOWOSO, KANG AMENGKONI RATUNING WESI, KULITKU TEMBOGO, DAGINGKU WOJO, OTOTKU KAWAT, BALUNGKU WESI, BAYUKU ROSO, DENGKULKU PAROH, HEH YO AKU BANDUNG BONDOWOSO RATUNING KAROSAN KABEH, SARAPANING GEGAMAN TAN ONO SING TUMOMO ING BADANKU.
Ini ajian kebal. Tubuh akan kebal sabetan serta tusukan senjata tajam serta pukulan benda tumpul. Kemampuan tubuh akan berlipat-lipat jika ajian ini dipakai. Efisien jika dipakai untuk lakukan pertahanan diri jika diri kita dikeroyok beberapa orang.
Langkah memperoleh ajian ini: Puasa nglowong 7 hari 7 malam. Mulai hari Sabtu Kliwon. Mantra dibaca waktu ajian akan dipakai.
3. Ajian pamungkas Bandung Bondowoso.
"Wong kang ngambah jerone segoro bakal tinemu dasare bumi..., tapi uwong kang ngambah jerone ati bakal tinemu hakekat sejati..."
Ajian Bandung Bondowoso juga tak asing lagi dikalangan dunia persilatan. Sebab ilmu tersebut juga merupakan ilmu favorit yang harus dimiliki oleh setiap mereka yang menamakan dirinya "Pendekar".
Kehebatan ilmu Ajian Bandung Bondowoso sudah tak dapat diragukan lagi. Siapa yang tak kenal nama "Bandung Bondowoso" seorang tokoh legenda tanah Jawa yang mampu mengangkat gunung dan membuat candi sejumlah seribu dalam waktu sehari semalam.
Ajian Bandung Bondowoso berintisarikan pada kekuatan lahir dan ghaib bagi si-pemiliknya yang telah mampu menyempurnakan penguasaan ajian tersebut.
Di bawah ini adalah metode praktis untuk mempelajari inti ajian bandung Bondowoso (versi) tersebut :
a. Persiapan puasa mutih 3 hari dimulai hari Selasa kliwon
b. Doa ajian dibaca 11x setiap selesai sholat wajib
c. Pada hari terakhir (malam Jum'at) tidak tidur semalaman dengan mengerjakan 2 rokaat sholat hajat dan diakhiri dengan wirid doa ajian tersebut 1000x hingga terbit fajar.
d. Tiap hari ajian harus dirawat minimal 1x bacaan setiap selesai mengerjakan sholat wajib.
e. Doa ajian yang diamalkan adalah sebagai berikut :
"Bismillahir rahmanir rahiim ...
Bismilahi aqwatuhu ...
Bismilahi qooimatuhu ...
Laa khaula wa laa quwata ila bilaa 'aliyil adzim"
SEKILAS CANDI PRAMBANAN
Candi Prambanan
Aksara Jawa :
ꦕꦤ꧀ꦝꦶꦥꦿꦩ꧀ꦧꦤꦤ꧀,
Candhi Prambanan) adalah kompleks candi Hindu (Syaiwa) terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 Masehi. Candi yang juga disebut sebagai Rara Jonggrang ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu dewa Brahma sebagai dewa pencipta, dewa Wisnu sebagai dewa pemelihara, dan dewa Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter, dikarenakan aliran Syaiwa yang mengutamakan pemujaan dewa Siwa di candi ini.
Menurut prasasti Siwagrha, candi ini mulai dibangun pada sekitar tahun 850 masehi oleh Rakai Pikatan, dan terus dikembangkan dan diperluas oleh Balitung Maha Sambu, pada masa kerajaan Medang Mataram.
Nama Prambanan, berasal dari nama desa tempat candi ini berdiri, diduga merupakan perubahan nama dialek bahasa Jawa dari istilah teologi Hindu Para Brahman yang bermakna "Brahman Agung" yaitu Brahman atau realitas abadi tertinggi dan teragung yang tak dapat digambarkan, yang kerap disamakan dengan konsep Tuhan dalam agama Hindu. Pendapat lain menganggap Para Brahman mungkin merujuk kepada masa jaya candi ini yang dahulu dipenuhi oleh para brahmana. Pendapat lain mengajukan anggapan bahwa nama "Prambanan" berasal dari akar kata mban dalam Bahasa Jawa yang bermakna menanggung atau memikul tugas, merujuk kepada para dewa Hindu yang mengemban tugas menata dan menjalankan keselarasan jagat.
Nama lain dari Prambanan dapat berarti 5 (lima) gunung yang dalam bahasa Khmer/Kamboja 5 (lima) adalah Pram dan banam adalah gunung (ប្រាំភ្នំ). Hal ini menggambarkan 5 puncak gunung dari Himalaya di India. Mengingat pada saat yang sama dalam kronik Khmer bahwa Bangsa Jawa pernah menjajah Khmer selama 200 tahun dan Jayawarman ke 2 yang pernah di Jawa merupakan pahlawan yang membebaskan Khmer dari dominasi Jawa.
Nama asli kompleks candi Hindu ini adalah nama dari Bahasa Sanskerta; Siwagrha (Rumah Siwa) atau Siwalaya (Alam Siwa), berdasarkan Prasasti Siwagrha yang bertarikh 778 Saka (856 Masehi). Trimurti dimuliakan dalam kompleks candi ini dengan tiga candi utamanya memuliakan Brahma, Siwa, dan Wisnu. Akan tetapi Siwa Mahadewa yang menempati ruang utama di candi Siwa adalah dewa yang paling dimuliakan dalam kompleks candi ini.
J. Gronemen (1887) berpendapat bahwa nama Prambanan berasal dari kata ramban :
“mengumpulkan dedaunan (untuk keperluan rumah tangga atau obat-obatan), [pra-ramban-an] masih menjadi tempat, lazimnya di hutan, di mana dedaunan itu diramu. Penjelasan seperti ini mengenai nama puning-puning reruntuhan itu, yang niscaya pada satu kesempatan ditemukan di hutan seperti itu, juga termuat dalam kamus yang disusun Roorda; [sebuah penjelasan] yang begitu sederhana dan alamiah sehingga kita tidak perlu mencari penjelasan yang lain." (Groneman 1887:1427 dalam Jordaan, 1996)
kitab Weda dan melaksanakan berbagai ritual dan upacara Hindu. Sementara pusat kerajaan atau keraton kerajaan Mataram diduga terletak di suatu tempat di dekat Prambanan di Dataran Kewu.
Sekitar tahun 930-an, ibu kota kerajaan berpindah ke Jawa Timur oleh Sri Maharaja Mpu Sindok, yang mendirikan Wangsa Dinasti Isyana. Penyebab kepindahan pusat kekuasaan ini tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi sangat mungkin disebabkan oleh letusan hebat Gunung Merapi yang menjulang sekitar 20 kilometer di utara candi Prambanan. Kemungkinan penyebab lainnya adalah peperangan dan perebutan kekuasaan. Setelah perpindahan ibu kota, candi Prambanan mulai telantar dan tidak terawat, sehingga pelan-pelan candi ini mulai rusak dan runtuh.
Bangunan candi ini diduga benar-benar runtuh akibat gempa bumi hebat pada abad ke-16. Meskipun tidak lagi menjadi pusat keagamaan dan ibadah umat Hindu, candi ini masih dikenali dan diketahui keberadaannya oleh warga Jawa yang menghuni desa sekitar. Candi-candi serta arca Durga dalam bangunan utama candi ini mengilhami dongeng rakyat Jawa yaitu legenda Rara Jonggrang. Setelah perpecahan Kesultanan Mataram pada tahun 1755, reruntuhan candi dan sungai Opak di dekatnya menjadi tanda pembatas antara wilayah Kesultanan Yogyakarta (Jogja) dan Kasunanan Surakarta (Solo).
LEGENDA CANDI PRAMBANAN
Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tenteram dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. “Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!” ujar Bandung Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. “Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku,” pikir Bandung Bondowoso.
Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. “Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?” tanya Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang.
Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. “Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya”, ujar Loro Jongrang dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan ?” Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.
“Bagaimana, Loro Jonggrang ?” desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide. “Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya,” katanya.
“Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?”
“Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah.”
“Seribu buah?” teriak Bondowoso.
“Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam.”
Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah. Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. “Saya percaya tuanku bisa membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!” kata penasehat.
“Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!”
Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. “Pasukan jin, Bantulah aku!” teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin menderu-deru.
Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso. “Apa yang harus kami lakukan Tuan ?” tanya pemimpin jin.
“Bantu aku membangun seribu candi,” pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.
Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. “Wah, bagaimana ini?” ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami.
“Cepat bakar semua jerami itu!” perintah Loro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung… dung…dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.
Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. “Wah, matahari akan terbit!” seru jin. “Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari,” sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin.
Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. “Candi yang kau minta sudah berdiri!”. Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!.
“Jumlahnya kurang satu!” seru Loro Jonggrang. “Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan”.
Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka.
“Tidak mungkin…”, kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. “Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!” katanya sambil mengarahkan jarinya pada Loro Jonggrang.
Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan disebut Candi Loro Jonggrang. Karena terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah, Candi Loro Jonggrang dikenal sebagai Candi Prambanan.