SERAT NITISRUTI TENTANG KEPEMIMPINAN JAWA DAN ISLAM
Serat Nitisruti adalah buah karya Pangeran Karanggayam. Pujangga besar ini hidup pada masa Kerajaan Pajang, di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijaya. Satu riwayat bahkan menyebutkan, bahwa Panembahan Senopati dan Panembahan Seda Krapyak turut berguru kepadanya.
Serat Nitisruti adalah sebuah naskah kuno karangangan Pangeran Karanggayam dari Pajang, yang selesai ditulis pada tahun 1612 dan berisi petuah-petuah dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Kitab Nitisruti , terdapat beberapa bab yang membahas tentang pentingnya ilmu pertahanan dan keamanan, yang kemudian diharapkan membawa ketenteraman bagi sebuah negara. Sebagai syarat utama, maka seorang pemimpin harus mampu menciptakan kondisi tenteram bagi rakyatnya.
Pangeran Karanggayam menerangkan delapan nasehat yang dituangkannya dalam Serat Nitisruti.
Kedelapan nasehat tersebut antara lain adalah :
1. Nasihat Pertama
Nasihat pertama, seorang raja harus dapat menguasai atau mengendalikan nafsunya sendiri. Hal ini tertuang dalam bait berikut:
Yeku tetep wong murka sawukir, yen sira mangkono iya mangsa den andela maneh, babasane sapa ta kang bangkit, amereki kori. Myang warangsasa anggung
Artinya : Jika orang semacam ini adalah orang yang serakah segunung. Bila mungkin demikian tidak mungkin akan dipercaya lagi. Merujuk dari arti bebasnya ini, bisa kita ibaratkan siapa yang mendekati pintu yang telah di makan rayap ?. Maksud Pangeran Karanggayam adalah, bahwa pemimpin yang serakah dan tidak bisa mengendalikan nafsu maka negaranya akan mudah goyah. Ketenteraman tidak terjaga, pertahanan dan keamanan negara sangat rapuh layaknya pintu yang digerogoti rayap.
2. Nasihat Kedua.
Nasihat Kedua,seorang pembesar haruslah mengolah budi pekerti. Sedangkan dalam tradisi Jawa, maka cara paling tepat untuk mengolah budi dan pekerti adalah lewat semedi.
Kurang guling ing nalikeng ratri, den mindeng semadi, sinahua lampus.
Artinya :
Kurangi tidur di waktu malam, sering bersemedi memusatkan pikiran, jiwa, dan raga, serta belajar mati’.
Mengolah budi dan pekerti ini penting, karena akan mengajarkan seorang pemimpin agar senantiasa awas dan waspada serta tajam perasaannya. Mampu memahami segala sesuatu yang rutin, dan menyimpan rahasia yang tidak layak diungkapkan kepada khalayak.
Ada salah satu pupuh yakni pupuh pucung yang terdapat dalam serat Nitisruti yang khusus mengajarkan tentang cinta kasih terhadap sesama dan terjemahan dibawahnya dalam bahasa Indonesia untuk memudahkan pembaca yang budiman blog ini, memahami isinya.
1
Kang sinebut ing gesang ambeg linuhung,
kang wus tanpa sama,
iku wong kang bangkit,
amenaki manahe sasama-sama.
2
Saminipun kawuleng Hyang kang tumuwuh,
kabeh ywa binada,
anancepna welas asih,
mring wong tuwa kang ajompo tanpa daya.
3
Malihipun rare lola kawlas ayun,
myang pekir kasiyan,
para papa anak yatim,
openana pancinen sakwasanira.
4
Mring wong luput den agung apuranipun,
manungsa sapraja,
peten tyase supadya sih,
pan mangkana wosing tapa kang sanyata.
5
Yen amuwus ywa umres rame kemruwuk,
brabah kabrabeyan,
menco ngoceg ngecuwis,
menek lali kalimput kehing wicara,
6
Nora weruh wosing rasa kang winuwus,
tyase katambetan,
tan uninga ulat liring,
lena weya pamawasing ciptamaya.
7
Dene lamun tan miraos yen amuwus,
luwung umendela,
anging ingkang semu wingit,
myang den dumeh ing pasmon semu dyatmika.
8
Yen nengipun alegog-legog lir tugu,
basengut kang ulat,
pasmon semu nginggit-inggit,
yen winulat nyenyengit tan mulat driya.
9
Kang kadyeku saenggon-enggon kadulu,
ngregedi paningal,
nora ngresepake ati,
nora patut winor aneng pasamuwan.
10
Wong amuwus aneng pasamuwan agung,
yeka den sembada,
sakedale den patitis,
mengetanawarahe Panitisastra.
11
Kang kalebu musthikaning rat puniku,
sujanma kang bisa,
ngarah-arah wahyaning ngling,
yektinira aneng ngulat kawistara.
12
Ulat iku nampani rasaning kalbu,
wahyaning wacana,
pareng lan netya kaeksi,
kang waspada wruh pamoring pasang cipta.
13
Milanipun sang Widhayaka ing dangu,
kalangkung waskitha,
ninga salwiring wadi,
saking sampun putus ing cipta sasmita.
14
Wit wosipun ngagesang raosing kalbu,
kumedah sinihan,
ing sasamaning dumadi,
nging purwanya sinihan samaning janma.
15
Iku kudu sira asiha rumuhun,
kang mangka lantaran,
kudu bangkit miraketi,
mring sabarang kang kapyarsa katingalan.
16
Iya iku kang mangka pangilonipun,
bangkita ambirat,
ingkang kawuryan ing dhiri,
anirnakna panacad maring sasama.
17
Kabeh mau tepakna ing sariramu,
paran bedanira,
kalamun sira mangeksi,
solah bawa kang ngewani lawan sira.
18
Nadyan ratu ya tan ana paenipun,
nanging sri narendra,
iku pangiloning bumi,
enggonira ngimpuni sihing manungsa.
19
Mapan sampun panjenengan sang aprabu,
sinebut narendra,
ratuning kang tata krami,
awit denya amenaki tyasing janma.
20
Kang kawengku sajagad sru kapiluyu,
kelu angawula,
labet piniluta ing sih,
ing wusana penuh aneng pasewakan.
Terjemahan bebasnya :
1
Yang disebut memiliki sifat luhur dalam hidup
yang tidak ada tandingannya,
yaitu orang yang bisa membangkitkan,
menyenangkan hati sesama manusia
2
Sesama makhluk Tuhan yang Hidup,
semua jangan dibeda-bedakan,
tanamkan rasa welas asih,
terhadap orangtua yang jompo tanpa daya.
3
Disamping itu anak terlantar juga dikasihi,
juga terhadap kaum miskin,
anak yatim yang papa,
peliharalah sekuasamu
4
Terhadap orang yang salah berilah ampunan yang besar,
manusia satu negara,
ambillah hatinya supaya muncul cinta kasih,
Hal seperti itu adalah inti bertapa yang senyatanya
5
Kalau ngomong jangan terlalu banyak bicara,
karena banyak yang terganggu,
seperti burung menco yang berkicau,
lupa diri karena banyak bicara
6
Tidak mengerti apa yang diomongkan,
karena hatinya tertutup,
tidak memahami pasemon,
tidak hati-hati terhadap pola pikirnya
7
Kalau tidak bisa merasakan,
lebih baik diam,
terhadap perkara yang tidak diketahui,
dan milikilah perilaku yang tenang
8
Ketika diammu membisu seperti tugu,
dan roman muka cemberut,
penampilan semu dibuat-buat,
jika dilihat akan menyakitkan dan tidak bisa menyenangkan hati
9
Yang seperti itu ketika dilihat,
tidak enak untuk dipandang,
tidak meresap dalam hati,
tidak patut untuk berkumpul dalam sebuah pertemuan
10
orang yang datang pada pertemuan agung,
harus sembodo,
setiap yang diucapkan harus patitis,
ingatlah petunjuk panitisastra
11
Yang termasuk manusia unggul itu,
adalah manusia yang bisa,
menempatkan diri saat waktunya berbicara,
sejatinya tampak dalam roman mukanya
12
Roman muka itu menunjukkan rasa hati,
waktunya bersamaan dengan sorot mata,
Yang waspada tentu tahu terhadap pamor pasang cipta
13
Makanya dahulu sang widhayaka,
lebih waskita,
tahu semua rahasia,
karena sudah putus dengan cipta sasmita
14
Karena hidup itu adalah rasanya hati,
harus mencintai terhadap sesama makhluk hidup,
itu merupakan awal dicintai oleh sesama manusia
15
Untuk itu Anda harus tresno asih lebih dulu,
yang menjadi awal,
harus membangkitkan rasa mempererat,
terhadap semua hal yang terdengar dan terlihat
16
Iya itu yang menjadi kaca benggala,
bisa menghilangkan,
yang tampak pada diri,
menghilangkan kecurigaan pada sesama
17
Semua itu tempatkan pada dirimu,
bagaimana bedanya antara kamu,
dengan solah bawa yang menjengkelkan hatimu
18
Meskipun ratu juga tidak ada bedanya,
tetapi ratu adalah untuk kaca benggala dunia
sebagai kumpulan cinta terhadap sesama
19
Karena sudah diangkat jadi ratu,
juga disebut pemimpin,
ratunya tata krama,
karena perbuatannya menyenangkan hati manusia lainnya
20
Rakyat yang dipikul menjadi senang,
akhirnya senang menjalankan perintah,
karena dari rasa cinta,
sehingga pertemuan di kraton menjadi penuh.
SERAT NITISRUTI ASTRABRATA DALAM PANDANGAN AJARAN ISLAM
Serat Nitisruti berisikan ajaran Astrabrata dalam kacamata ajaran Islam.
Sebagaimana Islam mengajarkan kebaikan, dalam kitab ini juga diperintahkan untuk para raja hendaknya meneladani sikap baik para dewa.
Kitab Nitisruti berisikan ajaran Astrabrata yang telah dilepaskan sepenuhnya dari kitab Ramayana, hingga ajaran ini menjadi terkenal di masyarakat.
Ajaran dalam kitab Nitisruti tak hanya terkenal di kalangan masyarakat Islam Jawa saja, namun juga meluas ke tanah Melayu yang tertuang dalam Tlodho Selawatan Melayu.
Tidak diketahui persis siapa pengarangnya, kitab ini digubah pada era Pangeran Karanggayam, pada zaman Seda Krapyak.
Ada dua versi redaksi dari kitab Nitisruti ini, yang keduanya sama-sama menjelaskan tentang kebaikan para dewa.
Dikutip dari buku Ajaran Kepemimpinan dalam Serat Parta Wigena karya Budhisantoso dkk, dijelaskan uraian sifat para dewa dalam kitab Nitisruti ini.
1. Sifat dewa Indra yang dirumuskan sama dengan Ramayana Kekawin, yaitu menjaga adat-istiadat dunia dengan memberi dana.
2. Sifat dewa Yama, yakni diharuskan menghukum semua penjahat tanpa pandang bulu.
3. Sifat dewa Surya, merangkul semua masyarakat baik yang disukai maupun musuh yang memiliki niatan untuk tobat.
4. Sifat dewa Candra, yang senantiasa membuat senang masyarakat.
5. Sifat dewa Bayu, sebagai mata-mata dunia, derma dan pemaaf bagi orang yang salah.
6. Sifat dewa Kuwera, dewa yang selalu menikmati makan dan minum.
7. Sifat dewa Baruna, digambarkan sebagai dewa yang seram sebagai penghalau musuh dan penguat keinginan untuk selalu ingin belajar, baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat.
8. Sifat dewa Brahma, dewa yang galak.
Intisari yang dapat diambil dari kedelapan sifat dewa yang dijelaskan dalam kitab Nitisruti yakni, konsep tidak pilih kasih dalam segala aspek.
Selain itu, pemimpin juga harus memiliki jiwa pemaaf dan gemar menolong siapa pun yang tengah dalam kesulitan.
Yang terakhir, seorang pemimpin hendaknya memiliki sikap ketekunan untuk memperdalam ilmu agama dan ilmu pengetahuan agar menjalankan kehidupan yang seimbang.
AJARAN KEPEMIMPINAN JAWA DAN ISLAM
Salah satu hasil dari budaya adalah karya sastra. Sebagai warisan kebudayaan, sastra lama juga dapat mengungkapkan informasi tentang hasil budaya pada masa lampau melalui teks klasik yang dapat dibaca dalam peninggalan-peninggalan yang berupa tulisan atau naskah. Di Jawa, naskah yang masih berupa teks tulisan tangan atau yang sudah dalam bentuk salinan disebut sebagai serat. Isi dari naskah Jawa (serat) itu sebagian besar memuat ajaran (piwulang), sehingga disebut naskah didaktik (didactic literature). Ajaran-ajaran yang dimuat dalam naskah Jawa terentang mulai dari esoterisme mistik Islam (tasawuf) hingga etika-moralitas kepemimpinan. Salah satu naskah Jawa yang memuat ajaran kepemimpinan adalah Serat Nitisruti.
Berdasarkan analisis terhadap Serat Nitisruti, maka disimpulkan bahwa: pertama, Serat Nitisruti (niti: kepemimpinan, sikap/perilaku baik; sruti: ilmu, pernyataan), ditulis oleh Pangeran Karanggayam atau Tumenggung Sujanapura, seorang pujangga (penulis sastra) Kerajaan Pajang, sekaligus moyang dari R.Ng. Ronggawarsita, pujangga Keraton Surakarta Hadiningrat. Kerajaan Pajang merupakan penerus Kerajaan Demak sekaligus pewaris Majapahit yang berkuasa tidak lama sekitar setengah abad pada abad XVI.
Serat Nitisruti ditulis pada tahun 1591 dengan sengkalan (kronogram), bahni maha astra candra (1513 Saka atau 1591 Masehi). Naskah salinan Serat Nitisruti tersebar/tersimpan di beberapa tempat, baik di perpustakaan keraton, museum dalam negeri, dan perpustakaan universitas/perguruan tinggi di luar negeri. Sementara dalam penelitian ini, digunakan salinan naskah cetak yang disimpan di Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, dengan nomor Bb.1.82, dengan ukuran kertas 14x21 cm dengan tebal 41 halaman. Teks Serat Nitisruti menggunakan bahasa dan aksara Jawa dalam bentuk puisi Jawa (tembang Macapat), yang terdiri beberapa jenis syair/metrum (pupuh): Dhandhanggula, Asmaradana, Mijil, Durma, Pucung, Kinanthi, dan Megatruh.
Kedua, ajaran kepemimpinan Jawa dalam Serat Nitisruti meliputi :
1) kedudukan yang-dipimpin (kawula), menuntut kepatuhan mutlak dari seorang bawahan/yang-dipimpin kepada atasan/pemimpin;
2) kedudukan pemimpin (gusti), seorang yang menempatkan dirinya sebagai wakil Tuhan dengan berbagai atribut/sifat kepemimpinan yang “dipinjam” dari sifat ilahiah sehingga mematuhi pemimpin berarti mematuhi Tuhan;
3) relasi pemimpin (gusti) dan yang-dipimpin (kawula), sebuah ikatan hubungan kekeluargaan (patron-client) melalui sarana perintah halus atau pasemon untuk mencapai kesamaan/kesatuan maksud, kehendak, atau tujuan, antara pemimpin dan yang-dipimpin (manunggaling kawula gusti). Relevansi ajaran kepemimpinan Jawa dalam Serat Nitisruti dengan pendidikan Islam adalah :
- Pertama, kesamaan konsep kedudukan pemimpin Jawa (gusti) sebagai wakil Tuhan dengan kedudukan manusia sebagai subjek pendidikan, wakil Allah (khalīfah).
- Kedua, kesesuaian konsep tujuan penciptaan (sangkan paraning dumadi) dengan tujuan penciptaan manusia (tujuan pendidikan Islam), sebagai hamba Allah (abdi) atau pihak yang-dipimpin (kawula). Pada akhirnya, sifat-sifat pemimpin yang terdapat pada Serat Nitisruti dapat dikategorikan sebagai model kepemimpinan etis.