SASTRA JAWA KUNO SERAT Nitiprana (1-18)
Kukum Lan Yudanagara
Serat
Nitiprana (1-2):
Pada
1 sampai 2, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), Serat
Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari Surakarta.
Pamedharing
sarkaraning manis, manising tembung kaliyan tembang, tembunging sastra campure,
Arab lan Jawinipun. Kalihira tan kena sisip, lumampah kalih ira, cinupet tan
purun, yen pisah salah satunggal, yekti gagal ngilangken yudanagari, nagara iku
rosa.
Kuwating
nagara gigirisi, kuwating sarak sabab rumeksa, wajib ngreksa kukum kabeh, kukum
pan kuwat kukuh, angukuhi prakareng buri. Yen mengkono ta padha, wedia mring
kukum, patrapna yudangara, yen ketemu karone dadia becik, becik slamet raharja.
Tafsirnya
/ maknanya :
Pamedharing
(penguraian dari) sarkaraning (tembang dhandhanggula) manis (manis), manising
(manis dalam) tembung (kata) kaliyan (dan) tembang (tembang), tembunging (kata
dari) sastra (sastra) campure (bercampur), Arab (Arab) lan (dan) Jawinipun
(Jawanya). Penguraian tembang dandanggula yang manis, manis dalam kata dan
tembang, kata-kata dalam sastra bercampur, Arab dan Jawa.
Penguraian
tembang-tembang dandanggula di dalam serat ini disampaikan dengan bahasa
campuran Arab dan Jawa. Karena makna yang akan disampaikan berkaitan dengan
tema-tema syariat agama.
Kalihira
(keduanya) tan (tak) kena (boleh) sisip (selisih), lumampah (berjalan) kalihira
(keduanya), cinupet (diputus) tan (tak) purun (mau), yen (kalu) pisah (pisah)
salah (salah) satunggal (satunya), yekti (sungguh) gagal (gagal) ngilangken
(menghilangkan) yudanagari (yudanagara). Keduanya tak boleh selisih, berjalan
keduanya (seiring), diputus tak mau, kalau sampai pisah salah satunya, sungguh
gagal, menghilangkan yudanagara.
Keduanya
tidak boleh berselisih, harus berjalan seiring. Tidak bisa pula diputus, harus
selalu bersama. Tak pula bisa dipisah, harus selalu menyatu. Kalau berpisah
salah satu dari keduanya, maka akan gagal, sehingga menghilangkan yudanagara.
Apa
itu yudanagara? Dalam Serat serat Nitisruti telah kita jelaskan bahwa
yudanagara adalah aturan tatakrama bernegara. Di dalamnya ada aturan-aturan
yang harus dipatuhi. Namun ia bukanlah hukum tertulis yang mengikat secara
positif. Ia tidak sama dengan hukum, tetapi juga menjadi dasar tegaknya negara.
Yudanagara hadir sebagai pendamping hukum, dengan melaksanakannya masyarakat
akan tertib dengan sendirinya.
Nagara
(nagara) iku (iku) rosa (rosa), kuwating (kekuatan dari) nagara (negara)
gigirisi (menggetarkan), kuwating (kekuatan dari) sarak (syari’at) sabab
(karena) rumeksa (menjaga), wajib (wajib) ngreksa (menjaga) kukum (hukum) kabeh
(semua). Negara itu kuat, kekauatan dari negara menggetarkan, kekuatan dari
syari’at karena menjaga, wajib menjaga hukum semua.
Negara
itu kuat, dan kekuatannya menggetarkan. Tidak ada yang mampu melawan negara.
Maka diperlukan pengontrol agar kekuatan itu tidak merajalela. Di sinilah
fungsi syari’at. Syariat itu kuat dan menjadi dasar karena sifatnya yang
menjaga kehidupan. Maka syari’at harus pula menjaga hukum. Agar hukum tetap
berada dalam koridor kemanusiaan.
Kukum
(hukum) pan (akan) kuwat (kuat) kukuh (kokoh), angukuhi (menguatkan) prakareng
(perkara yang di) buri (belakang). Hukum akan kuat dan kokoh, dan menguatkan
perkara yang terjadi di belakang.
Hukum
yang kuat akan menguatkan perkara yang terjadi di waktu belakang. Hukum yang
sudah ditetapkan akan membuat perkara langsung dapat diputus segera. Tidak
perlu wacana atau perdebatan lagi.
Yen
(kalau) mengkono (demikian) ta padha (semuanya), wedia (takutlah) mring (pada)
kukum (hukum), patrapna (laksanakan) yudangara (yudanagara), yen (kalau) ketemu
(bertemu) karone (keduanya) dadia (menjadi) becik (baik), becik (baik) slamet
(selamat) raharja (sejahtera). Kalau demikian semuanya takutlah pada hukum,
laksanakan yudanagara, kalau bertemu keduanya menjadi baik, baik selamat
sejahtera.
Oleh
karena itu, takutlah kepada hukum, patuhilah. Agar tidak melanggar hukum
laksanakan yudanagara. Keduanya menjadi dasar dari tertibnya tatanan
bermasyarakat. Yudanagara yang dilaksanakan akan membuat manusia tidak
melanggar hukum. Dengan demikian hukum tegak, aturan dipatuhi dan negara akan
selamat sejahtera.
DIMEN
MANCUR TYASIRA
Serat
Nitiprana (3-4) :
Pada
3 sampai 4, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), Serat
Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari Surakarta.
Lah
punika sarjuning kang nulis, mantheng ing tyas susetya ngulama, nglapasken
panggraitane. Graitane wong punggung, anggung gawe agunggung dhiri. Dhirinira
keweran, tan weruh ing kawruh, warah wuruk pan tinerak, nerak sarak nora wande
nemu sarik, rusuh rusak kaprangkat.
Sakarepe
rikuh ngrusak ati, ati tiwas ing pati tan nawas, awit akeh was uwase. Wuwusen
sujanayu, karahayon ngesthi ing budi, tumindak ing dadalan, dalan kang mrih
luhung. Tuturing tyas sabar drana, tegesira ngeklasna kalbu kang sukci, dimen
mancur tyasira.
Tafsirnya
/ maknanya :
Lah
(nah) punika (inilah) sarjuning (maksud dari) kang (yang) nulis (menulis),
mantheng (fokus, teguh hati) ing (dalam) tyas (hati) susetya (setia) ngulama
(ulama’), nglapasken (mengeluarkan) panggraitane (pikirannya). Nah, inilah
maksud dari yang menulis, teguh dalam hati setia pada ulama, mengeluarkan
pikirannya.
Maksud
hati dari penulis serat ini, teguh hati berupaya secara keras hendak
menguraikan apa yang menjadi ajaran para ulama. Dengan cara penyampaian sesuai
dengan kapasitas pikiran penulis sendiri.
Graitane
(pikiran dari) wong (orang) punggung (bodoh), anggung (selalu) gawe (dipakai)
agunggung (menyombongkan) dhiri (diri). Pikiran dari orang bodoh, yang selalu
menyombongkan diri.
Bait
ini merupakan pernyataan rendah hati, bahwa si penulis menyadari untuk
menguraikan ajaran para ulama, penulis masih terlalu bodoh. Pikiran penulis
sesungguhnya tak sampai untuk menguraikan ajaran itu. Oleh sebab penulis
hanyalah orang yang menyombongkan diri merasa mampu untuk melakukan itu.
Dhirinira
(dirinya sendiri) keweran (terlantar), tan (tak) weruh (mengetahui) ing (pada)
kawruh (ilmu), warah (ajaran) wuruk (wulang) pan (sungguh) tinerak (ditabrak),
nerak (menabrak) sarak (syari’at) nora (tak) wande (urung) nemu (menemui) sarik
(bala’), rusuh (rusuh) rusak (rusak) kaprangkat (satu paket, semuanya). Dirinya
sendiri terlantarm tak mengetahui ilmu, ajaran dan wulang pun ditabrak,
menabrak syari’at tak urung menemui bala’, rusuh rusak semuanya.
Si
penulis menyadari, dirinya masih belum layak menguraikan ajaran kebaikan.
Dirinya sendiri masih terlantar, tak mengetahui ilmu pengetahuan. Masih sering
menabrak ajaran dan piwulang luhur. Menabrak syari’at hingga menemui balak,
rusuh hidupnya, rusak semuanya.
Tentu
saja pernyataan di atas adalah ungkapan sopan santun seorang penulis. Karena
bagaimanapun seorang penulis ulung seperti Kyai Yasadipura sangat menyadari
bahwa apa yang beliau sampaikan bisa salah. Ini adalah pernyataan tatakrama
yang sering disampaikan oleh para penulis hebat. Rendah hati dan tidak
mengagungkan diri.
Sakarepe
(sekehendaknya) rikuh (segan) ngrusak (merusak) ati (hati), ati (hati) tiwas
(celaka) ing (pada) pati (kematian) tan (tak) awas (awas), awit (karena) akeh
(banyak) was uwase (was-khawatir). Sekehendaknya segan merusak hati, hati
celaka pada kematian tak awas, karena banyak was-khawatir.
Sekehendaknya
segan karena merusak hati. Bila kehendak kita tidak baik, maka hati timbul
perasaan segan atau rikuh. Celakanya, hati masih belum bisa awas pada kematian.
Karena masih sering mengidap was-khawatir. Perasaan itu membuat penglihatan
hati masih kabur pada kenyataan yang sejati.
Wuwusen
(perkataan) sujanayu (sarjana kebaikan), karahayon (kebaikan) ngesthi
(diangankan) ing (dalam) budi (budi), tumindak (perbuatan) ing (di) dadalan
(jalankan), dalan (jalan) kang (yang) mrih (menjadikan) luhung (luhur, mulia).
Perkataan para sarjana kebaikan, kebaikan diangakan dalam budi, perbuatan di
jalankan, di jalan yang menjadikan kemuliaan.
Sedang
penulis ini, dalam anganpun belum baik, bagaimana pula perbuatannya. Padahal
sudah menjadi ajaran para sarjana kebaikan, bahwa kebaikan itu mesti ada dalam
angan dahulu, kemudian dilaksanakan di jalan yang bermuara kepada kemuliaan.
Ngesthi
artinya selalu di angan-angankan, selalu dipikirkan, terpatri dalam angan. Jadi
kebaikan mesti selalu menjadi perhatian dahulu, sebelum bisa diterapkan dalam
perbuatan.
Tuturing
(ajaran dalam) tyas (hati) sabar (sabar) drana (darana=sabar), tegesira
(sartinya) ngeklasna (mengikhlaskan) kalbu (hati) kang (yang) sukci (suci),
dimen (agar) mancur (memancar) tyasira (hatinya). Ajaran dalam hati sabar,
artinya mengikhlaskan hati yang suci, agar memancar hatinya.
Ajaran
dalam hati agar sabar selalu. Artinya mengikhlaskan hati yang suci, agar
memancar hatinya. Dari hati yang ikhlas akan memancar kebaikan ke seluruh
badan.
COMADHONGA
MRING GUSTI
Serat
Nitiprana (5-6) :
Pada
5 sampai 6, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), Serat
Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari Surakarta.
Mancur
ing tyas iku anyumuki, marang badan awakira dhawak, sumrambah kabecikane,
nyupet cilakanipun. Suka sukur ingkang pinanggih, uga manggih kagungan, sinebut
wong agung. Anggenggeng santosanira, rinasanan wong iku ambek basuki, ngusweng
tyas karaharjan.
Harjaning
tyas bisa milawani, marang sakehe napsu kang ala, kang bener pinarekake,
sumingkir marang merdut. Merdut dudut ati tan becik, becika cumadhonga, mring
Gusti kang Agung. Gungna langgeng mring Hyang Suksma. Suksma nrima ing
panuwuning kang abdi. Yen temen tinemenan.
Tafsirnya
/ maknanya :
Mancuring
(memancarnya) tyas (hati) iku (itu) anyumuki (mendesak, memenuhi), marang
(kepada) badan (badan) awakira (dirinya) dhawak (sendiri), sumrambah (menyebar)
kabecikane (kebaikannya), nyupet (memotong, mengakhiri) cilakanipun
(celakanya). Memancarnya hati itu mendesak pada badan, dirinya sendiri,
menyebar kebaikannya, mengakhiri celakanya.
Dari
hati yang ikhlas tadi akan memancar kebaikan, kebaikan itu memenyi pada badan,
badannya sendiri. Selanjutnya, badan tergerak untuk menjalankan kebaikan itu.
Menyebar ke seluruh anggota badan, menjadi watak baginya. Sedangkan sifat dari
kebaikan adalah menolak keburukan. Kalau di badan telah penuh kebaikan, maka
habislah celakanya (keburukannya).
Suka
sukur (rasa bersyukur) ingkang (yang) pinanggih (ditemukan), uga (juga) manggih
(mendapat) kagungan (keagungan), sinebut (disebut) wong (wong) agung (agung).
Rasa bersyukur yang ditemukan, juga mendapat keagungan, maka disebut wong
agung.
Badan
atau diri yang penuh kebaikan tak lagi menyisakan keburukan. Yang ditemui
sesudahnya hanyalah rasa bersyukur. Pribadi yang demikian akan mendapat
keagungan, maka disebut wong agung. Sebutan wong agung biasa dipakai untuk
menyebut orang yang pribadinya besar, yang berjiwa besar. Yakni orang yang
pemurah, pemaaf dan suka membimbing sesama manusia.
Anggeng
(selalu) geng (membesarkan) santosanira (kekuatannya), rinasanan (disebut) wong
(orang) iku (itu) ambek (watak) basuki (bahagia, tenteram), ngusweng
(menyentuh) tyas (hati) karaharjan (kesejahteraan). Selalu memperbesar
kekuatannya, disebut orang itu berwatak bahagia, menyentuh hati kesejahteraan.
Sifat
berjiwa besar tadi selalu memperbesar kekuatan. Orang itu disebut juga berwatak
bahagia, hatinya telah tersentuh sifat-sifat sejahtera. Jauh dari segala
penyakit hati. Apa yang ada dalam hati hanyalah kebaikan.
Harjaning
(kebaikan dari) tyas (hati) bisa (bisa) milawani (melawan), marang (pada)
sakehe (segala) napsu (nafsu) kang (yang) ala (buruk), kang (yang) bener
(benar) pinarekake (didekatkan), sumingkir (menyingkir ) marang (dari) merdud
(yang membangkang). Kebaikan hati bisa melawan segala nafsu yang buruk, yang
benar didekatkan, menyingkir dari segala yang membangkang.
Kebaikan
hati dapat melawan segala nafsu buruk. Mendekatkan kepada kebenaran. Dan
menjauhkan dari segala hal yang membangkang. Membangkang di sini maksudnya
membangkang terhadap Tuhan.
Merdud
(membangkang) dudut (menarik) ati (hati) tan (tak) becik (baik), becika
(sebaiknya) cumadhonga (bersiap-sedialah), mring (kepada) Gusti (Tuhan) kang
(Yang) Agung (Maha Agung). Segala yang membangkang menarik hati tak baik,
sebaiknya bersiap-sedialah kepada Tuhan Yang Maha Agung.
Merdud
artinya segala perbuatan yang membangkang kepada Tuhan. Perbuatan tersebut
menarik hati buruk, maksudnya memunculkan sifat-sfat buruk pada hati pelakunya.
Sebaiknya sebagai manusia sikap yang baik adalah cumadhong, artinya
bersiap-sedia kepada Tuhan Yang Maha Agung. Bersiap menjalankan perintahNya,
bersedia melakukan dengan patuh.
Gungna
(besarkan) langgeng (tetap bersama) mring Hyang (Tuhan) Suksma (Yang Maha
Suci), Suksma (Tuhan) nrima (menerima) ing (pada) panuwuning (permohonan) kang
abdi (hambanya). Besarkanlah untuk teta[ bersama Tuhan Yang Maha Suci, Tuhan
menerima permohonan hambanya.
Tetaplah
menjaga hubungan dengan Tuhan Yang Maha Suci, karena Tuhan selalu mendengar,
menerima dan mengabulkan permohonan hambanya. Dialah yang menciptakan seluruh
kehidupan dan memberinya petunjuk.
Yen
(yang) temen (sungguh-sungguh) tinemenan (akan menemukan). Yang sungguh-sungguh
akan menemukan.
Bagi
siapapun yang sungguh-sungguh mencari jalan, pasti akan menemukan. Man jadda
wajad. (Ù…َÙ†ْ جَدَّ Ùˆَجَدَ ), siapa yang bersungguh-sungguh ia akan berhasil.
PITUNG
PREKARA ALA LAN BECIKING BUDI
Serat
Nitiprana (7-12) :
Pada
7 sampai 12, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), Serat
Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari Surakarta.
Jroning
Kitab Sipatul Ngulaki, tandhaning wong kang kurang budinya, ana pratandha
awake, solah pangucapipun. Kang kanggonan jatining budi, yen katekanan balak,
ing sariranipun, winales ing kabecikan, mring kabuka marang ing sasami sami,
wong luput ingapura,
dene
purwa tutungguling budi. Kaping kalih mantep idhepira, ingkang beciki awake,
lan weruh sriranipun, yen wong luhur dipun andhapi, tur nora palacidra, marang
saminipun. Dene tandha kaping tiga, iya karem wong iku panggawe becik, nyimpang
panggawe ala.
Tandha
ping pat jatmika ing budi. Momot ujar tandha kaping lima, ngucap barang
pangucape, sarta kalawan ngelmu. Tandha ping nem karem amikir, tansah maca
istikpar, eling uripipun, lamun awekasana pejah. Kaping pitu kalamun nandhang
prihatin, panrimaning nugraha.
Nuh
ilang denira prihatin, dene linimput ing panarima, lan andhap asor ambeke, wus
jangkep kaping pitu. Budi ala ginoncang eblis, iya pitung prakara, dene kang
rumuhun, dhemene anganiaya, yen angucap wong iku adoh lan ngelmi, sembrana
amrih cacad.
Kapindhone
digumunggung dhiri, nora dhemen apawongsanakan, manawa asor dheweke. Dene kang
kaping telu, tatakrama den orak-arik. Ingkang kaping sakawan, kereng sarta
lengus. Ping lima jail wadulan. Kaping neme angumpet panggawe becik. Dene kang
kaping sapta,
nora
sabar katekan bilai. Pan wus jangkep kang sapta prakara, iku pancabaya gedhe,
rasakna putraningsun, marang kojah kang wuri-wur. Kalamun sira bisa, matrapken
pitutur, kang wus kasebut ing ngarsa, iku badan umarek mring Mahasukci, sarta
lawan nugraha.
Tafsirnya
/ maknanya :
Jroning
(dalam) Kitab (kitab) Sipatul Ngulaki (sifatul ‘ulaka), tandhaning (tandha
dari) wong (orang) kang (yang) kurang (kurang) budinya (budinya), ana (ada)
pratandha (pertanda) awake (dirinya), solah (perilaku) pangucapipun (perkataannya).
Di dalam kitab sifatul ‘ulaka tanda dari orang yang kurang budinya, ada
pertanda dirinya dalam perilaku dan perkataannya.
Kitab
sifatul ‘ulaka yang disebut dalam serat ini kami belum mendapatkannya. Kami
belum dapat menguraikan lebih jauh tentang kitab ini, siapa pengarangnya dan
kapan ditulisnya. Untuk sementara kita cukupkan dahulu bahwa yang disampaikan
ini ada di dalam kitab tersebut.
Didalam
kitab tersebut disebutkan tentang tanda-tanda dari orang yang kurang budi. Akal
budi tidak berkembang sehingga tidak menimbulkan kebaikan pada orang tersebut.
Namun sebelumnya, serat ini hendak menyampaikan tanda-tanda dari orang yang
berbudi, yang akal budinya telah sanggup menerbitkan sifat-sifat kebaikan.
Kang
(yang) kanggonan (ketempatan) jatining (sejatinya) budi (budi), yen (kalau)
katekanan (tertimpa) balak (bala’, perlakuan buruk), ing (pada) sariranipun
(dirinya), winales (dbalas) ing (dengan) kabecikan (kebaikan), mring (kepada)
kabuka (dibuka) marang (kepada) ing (pada) sasami sami (sesama manusia), wong
(orang) luput (salah) ingapura (dimaatkan), dene (itulah) purwa (awal)
tutungguling (keunggulan dari) budi (budi). Yang ketempatan sejatinya budi,
kalau tertimpa perlakuan buruk pada dirinya dibalas dengan kebaikan, selalu
terbuka kepada sesama manusia, orang bersalah dimaafkan, itulah awal keunggulan
budi.
Bagi yang sudah memiliki budi yang sejati kalau menerima perlakuan buruk, maka dia membalas dengan kebaikan. Hatinya selalu terbuka kepada sesama manusia, tidak pernah menutup diri. Jika ada orang bersalah padanya, dia selalu memaafkan. Itulah tanda pertama dari orang yang unggul budinya.
Kaping
kalih (yang kedua) mantep (mantap) idhepira (pikirannya), ingkang (yang) beciki
(memperbaiki) awake (dirinya), lan (dan) weruh (mengetahui) sriranipun
(dirinya), yen (kalau) wong (orang) luhur (luhur) dipun andhapi (dia merendah),
tur (dan juga) nora (tidak) palacidra (berkianat), marang (pada) saminipun
(sesamanya). Yang kedua mantap pikirannya, yang membaikkan dirinya, dan
mengetahui (kedudukan) dirinya, terhadap orang luhur dia merendahkan diri, dan
juga tidak berkianat kepada sesama.
Watak
budi unggul yang kedua adalah mantap dalam pikiran, tidak mudah goyah. Itulah
yang akan membuat baik dirinya. Dia mengetahui kedudukan dirinya sehingga bisa menempatkan
diri. Terhadap orang luhur dia merendahkan diri. Dan juga tidak berwatak kianat
terhadap sesama manusia.
Dene
(adapun) tandha (tanda) kaping tiga (yang ketiga), iya (yaitu) karem gemar)
wong (orang) iku (itu) panggawe (perbuatan) becik (baik), nyimpang (menyingkir)
panggawe (perbuatan) ala (buruk). Adapun tanda yang ketiga yaitu gemar orang
itu pada perbuatan baik, menyingkir dari perbuatan buruk.
Tanda-tanda
ketiga dari orang yang berbudi unggul adalah orang itu gemar melakukan
perbuatan baik, dan menjauh dari perbuatan buruk. Tanda ketiga ini gampang
dikenali oleh karena yang baik dan yang buruk sangat kasat mata.
Tandha
(tanda) ping pat (keempat) jatmika (tenang) ing (dalam) budi (budi). Tanda
keempat tenang dalam budi.
Jatmika
artinya tenang dan halus budinya. Tidak tergesa-gesa, tidak berangasan, tidak
meledak-ledak. Tidak mengungkapkan perasaan dengan meluap-luap. Tenang, lembut,
halus dan pelan, dalam perkataan maupun perbuatan.
Momot
(memuat) ujar (perkataan) tandha (tanda) kaping lima (yang kelima), ngucap
(berkata) barang (semua) pangucape (perkataannya), sarta (disetai) kalawan
(dengan) ngelmu (ilmu). Memuat perkataan tanda yang kelima, berkata semua
perkataannya disertai dengan ilmu.
Momot
ujar artinya semua perkataannya berbobot. Bukan omong kosong, bukan hayalan
atau kebohongan. Semua yang dikatakannya menpunyai dasar ilmu yang kuat
sehingga yang disampaikan adalah kebenaran. Bukan duga-duga atau angan-angannya
sendiri.
Tandha
(tanda) ping nem (keenam) karem (gemar) amikir berpikir), tansah (selalu) maca
(membaca) istikpar (istighfar), eling (ingat) uripipun (hidupnya), lamun
(kalau) awekasana (akhirnya) pejah (mati). Tanda yang keenam gemar berpikir,
selalu membaca istighfar, ingat hidupnya kalau akhirnya mati.
Tanya
yang keenam adalah gemar berpikir tentang kehidupan. Selalu istighfar, ingat
bahwa hidupnya akan berakhir dengan kematian. Orang yang selalu ingat mati akan
senantiasa memperbaiki kualitas hidupnya, demi kehidupan lebih baik di alam
mendatang (akhirat).
Kaping
pitu (ketujuh) kalamun (kalu) nandhang (mengalami) prihatin (derita),
panrimaning (menerima sebagai) nugraha (anugrah). Ketujuh kalau mengalami
prihatin, menerimanya sebagai anugrah.
Tanda
yang ketujuh dari orang yang unggul budi, bila mengalami derita dia menerimanya
sebagai anugrah dari Tuhan. Tidak
berkurang rasa syukurnya dan tidak pula menghujat kepada sang Pencipta.
Nuh ilang (lalu hilang) denira (dalam dia) prihatin (menderita), dene (adapun) linimput (tertutup) ing (oleh) panarima (rasa menerima), lan (dan) andhap asor (rendah hati) ambeke (wataknya), wus (sudah) jangkep (lengkap) kaping (yang ke) pitu (tujuh). Lalu hilang rasa derita, karena tertutup oleh rasa menerima dan watak rendah hatinya, sudah lengkap yang ketujuh.
Rasa
menerima dan menganggap setiap derita sebagai anugrah dari Tuhan akan
menghilangkan beban deritanya. Segala derita tertutup oleh rasa menerima dan
watak rendah hatinya tersebut. Sudah lengkap watak budi unggul dari manusia.
Sekarang kita lanjutkan tentan tujuh watak buruk dari orang yang kurang budi.
Budi
(budi) ala (buruk) ginoncang (dihentakkan) eblis (Iblis), iya (juga) pitung
(tujuh) prakara (perkara), dene (Adapun) kang (yang) rumuhun (dulu, pertama),
dhemene (sukanya) anganiaya (menganiaya), yen (kalu) angucap (berucap) wong
(orang) iku (itu) adoh (jauh) lan (dengan) ngelmi (ilmu), sembrana (sembrono)
amrih (mengharap) cacad (cela). Budi buruk yang dihentakkan Iblis, juga tujuh
perkata, adapun yang pertama sukanya menganiaya, kalau berucap orang itu jauh
dari ilmu, sembrono mengharap cela (orang lain).
Sebagai
kebalikan dari tujuh kebaikan tadi, ada pula watak dari budi buruk yang juga tujuh
perkara. Berhati-hatilah karena Iblis selalu menghentakkan watak buruk itu ke
sanubari anak manusia. Adapun yang pertama dari budi buruk itu adalah suka
menganiaya dengan perkataan. Kalau berkata jauh dari ilmu, sembarangan berucap
yang tujuannya mengharap cela. Orang Jawa bisaya menyebut kata nyacad atau
mencari-cari cela orang lain.
Kapindhone
(yang keduanya) digumunggung (menganggap besar) dhiri (diri sendiri), nora
(tidak) dhemen (gemar) apawongsanakan (berteman), manawa (kalau) asor (rendah)
dheweke (derajatnya). Yang kedua menganggap besar diri sendiri, tidak gemar
berteman kalau rendah derajatnya.
Watak
kurang budi yang kedua adalah menganggap besar diri sendiri. Orang yang
demikian takkan berteman dengan orang lain, yang dianggapnya lebih rendah
derajatnya.
Dene
(adapun) kang (yang) kaping telu (ketiga), tatakrama (tatakrama) den orak–arik
(obrak-abrik). Yang ketiga, tatakrama diobrak-abri.
Tatakrama
merupakan kumpulan tatacara bergaul dan bermasyarakat. Orang yang mengabaikan
tatakrama berarti enggan untuk bergaul menyatu dalam masyarakat. Suka memakai
aturan sendiri. Tidak peduli dengan aturan orang banyak. Pada akhirnya pasti
kurang rasa empati dan persaudaraannya. Maunya menang sendiri.
Ingkang
(yang) kaping sakawan (keempat), kereng (pemarah) sarta (serta) lengus
(sensitif). Yang keempat pemarah serta sensitif.
Kereng
artinya mudah marah, sedikit perkata bisa menjadi persoalan besar. Tidak punya
hati yang luas untuk menampung kelemahan orang lain. Hatinya jauh dari
pemaaf. Sama halnya dengan lengus atau
gampang sekali tersinggung. Egonya terlalu besar sehingga menenpatkan diri
sebagai selalu dalam pusat perhatian. Jika kehendaknya tak mendapat tanggapan
dia marah.
Ping
lima (yang kelima) jail (jahil) wadulan (tukang mengadu). Yang kelima jahil dan
tukang mengadu.
Jahil
kalau melihat orang lain rukun, lalu mencari cara agar orang lain bertengkar.
Mengadu kalau si A ngomong begini, sehingga membuat si B tersinggung. Padahal
yang diomongkan tidak terlalu penting dibahas. Tujuannya memang hanya agar
orang saling benci dan kemudian bertengkar.
Kaping
neme (yang keenamnya) angumpet (menyembunyikan) panggawe (perbuatan) becik
(baik). Yang keenamnya menyembunyikan perbuatan baik.
Kalau
ada orang lain berbuat baik dia berusaha menyembunyikan, agar orang tersebut
tidak mendapat penghargaan. Perilaku seperti ini biasanya dilengkapi perilaku
lain, suka mengabarkan perbuatan buruk orang lain.
Dene
(adapun) kang (yang) kaping sapta (ketujuh), nora (tidak) sabar (sabar) katekan
(tertimpa) bilai (bencana). Adapun yang ketujuh tidak sabar ketika tertimpa
bencana.
Watak
kurang budi yang terakhir adalah tidak sabar ketika tertimpa bencana. Watak
orang seperti ini suka menyalahkan Tuhan atas nasib buruknya. Padahal yang
namanya orang hidup itu selalu bergantian mengalami suka dan duka, susah dan
senang, bahagia dan menderita. Ketika keadaan baik dia lupa, ketika keadaan
buruk dia mencari kambing hitam. Dia lupa bahwa antara keduanya selalu
dipergilirkan.
Pan
wus (sudah) jangkep (lengkap) kang (yang) sapta (tujuh) prakara (perkara), iku
(itu) pancabaya (marabahaya) gedhe (besar), rasakna (rasakan) putraningsun (anakku),
marang (pada) kojah (perkataan) kang (yang) wuri–wuri (dulu-dulu). Sudah
lengkap yang tujuh perkara, itu marabahaya besar, rasakan anakku, pada
perkataan yang dulu-dulu.
Sudah
lengkap uraian tentang tujuh perkara dari orang yang kurang budi. Itu semua
marabahaya besar bagi hidupmu. Rasakan, anakku, perkataan orang dulu-dulu.
Kalamun
(kalau) sira (engkau) bisa (bisa), matrapken (melaksanakan, menerapkan) pitutur
(nasihat), kang (yang) wus (sudah) kasebut (disebut) ing (di) ngarsa (depan),
iku (itu) badan (diri) umarek (mendekat) mring (kepada) Mahasukci (Yang Maha
Suci), sarta (serta) lawan (dan) nugraha (anugrah). Kalau engkau bisa
menerapkan nasihat yang sudah disebut di depan, itu diri mendekat kepada Tuhan
Yang Maha Suci, dan dengan anugrah.
Kalau
engkau bisa melaksanakan nasihat di depan engkau akan mendekat kepada Tuhan
Yang Maha Suci, juga akan mendekatkan kepada anugrahNya.
EKLASNA
NINGGAL KANG ALA
Serat
Nitiprana (13-14) :
Pada
13 sampai 14, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), Serat
Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari Surakarta.
Utamane
kalakuwan iki, lakonana samubarang karya, kukuhana ing becike, kang tega
tinggal luput, kencengana benerireki. Den kukuh aywa kongkah, kang supaya
bakuh, eklasna ninggal kang ala, lire ala ingkang tinggal saking becik. Becik
iku raharja,
arja
jaya pan aja gumingsir. Singkirena ati kang belasar, dimen adoh sar besare,
sasare ing panemu. Panemune wong ahli ngelmi, akeh kang matekena, marang
badanipun, iku ngelmuning gupala. Nora wande yen kekel aneng yumani, tingal
mati tan awas.
Tafsirnya
/ maknanya :
Utamane
(utamanya) kalakuwan (perbuatan) iki (ini, itu), lakonana (lakukanlah)
samubarang (sembarang) karya (pekerjaan), kukuhana (kuatkanlah) ing (pada)
becike (kebaikannya), kang (yang) tega (tega) tinggal (meningglkan) luput
(kesalahan), kencengana (berusah keraslah) benerireki (pada yang benar).
Utamanya perbuatan itu, lakukan pada sembarang pekerjaan, kuatkanlah pada
kebaikannya, yang tega meninggalkan kesalahan.
Yang
utama dari perbuatan itu, kalau dilakukan semua pekerjaan yang baik. Kuatkanlah
pada kebaikan-kebaikan, dan tegalah untuk meninggalkan yang salah. Jangan
merasa sayang kalau harus meninggalkan perbuatan yang salah. Hati harus kuat
menahan godaan.
Den
kukuh (yang kuat) aywa (jangan) kongkah (tergeser), kang (yang) supaya (supaya)
bakuh (kuat), eklasna (ikhlaskan) ninggal (meninggalkan) kang (yang) ala
(buruk), lire (artinya) ala (buruk) ingkang (yang) tinggal (meninggalkan)
saking (dari) becik (baik). Yang kuat jangan tergeser, yang supaya kuat,
ikhlaskan meninggalkan yang buruk, artinya yang meninggalkan dari yang baik.
Yang
kuat jangan sampai tergeser. Supaya kuat hati harus ikhlas meninggalkan yang
buruk. Yang disebut buruk artinya segala hal yang menjauhkan dari kebaikan.
Becik
(baik) iku (itu) raharja (sejahtera), arja (sejatera) jaya (menang) pan
(sungguh) aja (jangan) gumingsir (bergeser). Baik itu sejahtera, sejahtera itu
menang, sungguh jangan bergeser.
Baik itu wataknya membuat sejahtera, sejahteta
dan menang. Maka sungguh jangan sampai tergeser. Kuatlah!
Singkirena
(singkirilah) ati (hati) kang (yang) belasar (sesat), dimen (agar) adoh (jauh)
sar besare (sesat-sesatnya), sasare (sesat) ing (dalam) panemu (pendapat),
panemune (pendapatnya) wong (orang) ahli (ahli) ngelmi (ilmu). Singkirilah yang
sesat, agar jauh sesat-sesatnya, sesat dalam pendapat, pendapatnya orang ahli
ilmu.
Singkirilah
hati yang sesat, agar jauh dari kesesatan, yang sesesat-sesatnya. Sesat dari
pendapat para ahli ilmu, yang benar-benar mengetahui antara yang benar dan yang
sesat.
Akeh
(banyak) kang (yang) matekena (mematikan), marang (pada) badanipun (dirinya),
iku (iku) ngelmuning (ilmu dari) gupala (arca). Banyak orang mematikan dirinya,
itu ilmu dari arca.
Banyak
orang mematikan dirinya sendiri, itu ilmu dari arca. Karena kesesatannya orang
melakukan perbuatan yang dikiranya baik, padahal malah mematikan dirinya
sendiri. Itulah ilmu sesat, seperti bukan ajaran para manusia, ilmunya patung
dan arca.
Nora
(tidak) wande (urung) yen (kalau) kekel (kekal) aneng (di) yumani (yamani,
neraka), tingal (penglihatan) mati (mati) tan (tak) awas (awas). Tak urung
kalau kekal di neraka, penglihatan mati tak awas.
Orang
seperti itu tak urung akan kekal tinggal di neraka, karena penglihatannya mati
sehingga tak awas. Tak sanggup membedakan yang benar dan yang sesat. Yumani
atau yamani adalah tempat milik Bathara Yama dalam pewayangan, tempat untuk
menghukum para pendosa. Nama lainnya adalah neraka.
AMUNG
RILA MRING HYANG MAHA SUKCI
Serat
Nitiprana (15-16) :
Pada
15 sampai 16, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), Serat
Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari Surakarta.
Sira
kaki dipun ngati-ati, ing nganane ngelmu den waspada, den terus lawan dalile,
miwah Kadising Rasul. Den nastiti dipun methuki, marang para Utusan,
samudayanipun, apa kang winartakena. Sayektine kabar iku nora kidip, yekti
sangking Hyang Sukma.
Wong
kang sampun binuka ing ngelmi, datan ana ingkang kinareman, amung madhep ing
nguripe. Ngreksa sakehing lacut, laku sabar madhep ing Gusti, tan arsa
dhinginana, karsaning Hyang Agung. Tan duwe daya-upaya, amung rila mring Hyang
ingkang Maha Sukci, iku tekad kang nyata.
Tafsirnya
/ maknanya :
Sira
(engkau) kaki (anakku) dipun ngati–ati (yang hati-hati), ing (di) nganane
(kanannya) ngelmu (ilmu) den waspada (yang waspada), den terus (diteruskan)
lawan (dengan) dalile (dalilnya), miwah (serta) kadising (hadits dari) Rasul
(Rasul). Engkau anakku yang hati-hati, di kanan dari ilmu yang waspada,
diteruskan dengan dalil (al Qur’an), serta hadits dari Rasul.
Engkau
anakku, yang waspada. Selain dari ilmu ajaran para sarjana kebaikan tadi,
dampingilah di kanannya dengan kewaspadaan. Lalu, teruskan dengan mempelajai
dalil dari Al Qur’an, serta hadits Rasul.
Den
nastiti (yang teliti) dipun methuki (ditemukan), marang (pada) para (para)
utusan (utusan), samudayanipun (semua), apa (apa) kang (yang) winartakena
(diberitakan). Yang teliti dan temukan, pada para utusan, semua apa yang
diberitakan.
Yang
teliti dalam mempelajari isi dari dalil Al Qur’an dan Hadits itu. Temukan
maknanya dari apa-apa yang diberitakan di dalamnya.
Sayektine
(sesungguhnya) kabar (kabar) iku (itu) nora (tidak) kidip (kidzib, bohong),
yekti (sungguh) sangking (dari) Hyang (Tuhan) Sukma (Maha Suci). Sesungguhnya
kabar itu tidak bohong, sungguh dari Tuhan Yang Maha Suci.
Sungguh
apa-apa yang ada di dalam a’ Qur’an dan Hadits itu tidak bohong. Semuanya
berasal dari perintah Tuhan Yang Maha Suci. Kidib dari kata Arab kidzib, yang
artinya bohong.
Wong
(orang) kang (yang) sampun (sudah) binuka (dibuka) ing (dengan) ngelmi (ilmu),
datan (tidak) ana (ada) ingkang (yang) kinareman (digemari), amung (hanya)
madhep (mantap menghadap) ing (dalam) nguripe (hidupnya). Orang yang sudah
dibuka dengan ilmu, tidak ada yang digemari, hanya mantap menghadap did alam
hidupnya.
Madhep
maksudnya mantap menghadap kepada Tuhan. Itulah watak orang yang telah dibuka
oleh ilmu. Kegemarannya hanya pada hal-hal yang sejati, tidak tertipu oleh
fatamorgana dunia ini.
Ngreksa
(menjaga) sakehing (segala) lacut (melantur), laku (berlaku) sabar (sabar)
madhep (menghadap) ing (pada) Gusti (Tuhan), tan (tak) arsa (hendak) dhinginana
(mendahului), karsaning (kehendak) Hyang (Tuhan) Agung (Yang Maha Agung).
Menjaga segala yang melantur, berlaku sabar menghadap pada Tuhan Yang Maha
Agung.
Menjaga
diri dari segala hal yang melantur, berlebihan, pemborosan dan sebagainya.
Hanya berlaku sabar menghadap Tuhan Yang Maha Agung. Tak hendak mendahului
kehendaknya, hanya pasrah dan sumarah.
Tan
(tak) duwe (punya) daya–upaya (daya-upaya), amung (hanya) rila (ridha) mring
(kepada) Hyang (Tuhan) ingkang (yang) Maha (Maha) Sukci (Suci), iku (itulah)
tekad (tekad) kang (yang) nyata (nyata). Tak punya daya upaya, hanya ridha
kepada Tuhan Yang Maha Suci, itulah tekad yang nyata.
Tak
punya daya-upaya yang lain dari yang dikehendakiNya. Hati hanya ridha terhadap
Tuhan Yang Maha Suci. Itulah tekad yang nyata, tekad yang sejati.
KAMULYANE
DURUNG KARUAN
Serat
Nitiprana (17-18) :
Pada
17 sampai 18, Dhandhang Gula (10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i, 7a), Serat
Nitiprana, karya R. Ng. Yasadipura, pujangga dari Surakarta.
Pan
sanadyan wus kadya punapi, kamulyane pan durung karuwan, mamasih pasrah mring
kang gawe. Yen wis sawise durung, lah ta embuh rasan puniki, yen sira
tinarbuka, yekti sira nggayuh. Kalamun tinarbukaa, yekti bingung pengung
mengeng bibingungi, bingung kang sampun ngongang.
Lire
ngongang bingung meneng kaki, saking jroning tekad ingkang ekak, sira aja
gumangluweh. Yen sira gelem laku, amartapa laku kang becik, bok manawa ta sira,
tinarbukeng kawruh, iku ijeh bokmanawa. Nanging uga lakonana ingkang margi,
sarta palaling Suksma.
Tafsirnya
/ maknanya :
Dalam
bait yang lalu kita dihimbau untuk pasrah atas segala kehendakNya. Tidak boleh
kita mendahului. Semua daya upaya ditiadakan. Mengapa demikian?
Pan
(sungguh) sanadyan (walau) wus (sudah) kadya (seperti) punapi (apa), kamulyane
(kemuliaannya) pan (sungguh) durung (belum) karuwan (tentu), mamasih (masih)
pasrah (pasrah) mring (kepada) kang (yang) gawe (membuat). Walaupun sudah
seperti apa, kemuliaan belum tentu (kita dapat), masih pasrah kepada yang
membuat (hidup).
Karena
walau kita sudah berupaya untuk mencapai kebaikan, bagaimanapun usaha kita,
kebahagiaan belum tentu kita peroleh. Semua masih bergantung kepada yang
membuat kehidupan (Tuhan YME).
Yen
(kalau) wis (sudah) sawise (setelah) durung (belum), lah ta (la) embuh (tak
tahu) rasan (rasa) puniki (ini), yen (kalau) sira (engkau) tinarbuka (terbuka),
yekti (sungguh) sira (engkau) nggayuh (mencapai). Kalau sudah setelah belum,
tak tahulah rasa ini, kalau engkau terbuka, sungguh engkau mencapai.
Kalau
sudah pasrah setelah sebelumnya belum, maka tak tahulah rasanya. Kalau engkau
terbuka hatimu kelak maka pasti akan mencapainya.
Kalamun
(kalau) tinarbukaa (terbukapun), yekti (sungguh) bingung (bingung) pengung
(bodoh) mengeng (menoleh) bibingungi (bingung sendiri), bingung (bingung) kang
(yang) sampun (sudah) ngongang (melongok). Kalau terbukapun sungguh bingung
bodoh menoleh bingung sendiri, bingung yang sudah melongok.
Kalaupun
hatimu telah terbukapun (sekarang), sungguh bingung seperti orang bodoh
menolah-noleh. Bingung karena sudah melongok, melihat apa yang sebenarnya belum
berhak engkau melihatnya. Pengetahuanmu belum sampai untuk memahaminya.
Lire
(arti) ngongang (melongok) bingung (bingung) meneng (diam) kaki (anakku),
saking (dari) jroning (dalam) tekad (tekad) ingkang (yang) ekak (haq, benar),
sira (engkau) aja (jangan) gumang (ragu) luweh (menyepelekan). Artinya melongok
bingung diam anakku, dari dalam tekad yang benar, engkau jangan ragu dan
menyepelekan.
Artinya
ketika melongok engkau akan bingung, karena sebenarnya itu hanya bisa dilihat
dengan tekad yang benar. Tidak bisa dilakukan dengan nggege mangsa, atau
mendahului proses. Engkau jangan ragu dan menyepelekan laku.
Yen
(kalau) sira (engkau) gelem (mau) laku (melaksanakan), amartapa (bertapa) laku
(laku) kang (yang) becik (baik), bok manawa (barangkali) ta sira (engkau),
tinarbukeng (terbuka dalam) kawruh (pengetahuan), iku (itu pun) ijeh (masih)
bokmanawa (barangkali). Kalau engkau mau melaksanakan, bertapa dengan laku yang
baik, barangkali engkau terbuka dalam pengetahuan, itupun masih barangkali.
Karena
itu kalau memang mau melaksanakan, lakukan bertapa dengan laku yang baik.
Barangkali nanti akan terbuka bagimu pengetahuan. Itupun masih berupa
kemungkinan, yang hasilnya akan ditentukan oleh kesungguhanmu dalam menjalani
laku tersebut.
Nanging
(tetapi) uga (juga) lakonana (lakukanlah) ingkang margi (jalannya, sarta
(disertai) palaling (kemurahan dari) Suksma (Tuhan Maha Suci). Namun juga tetap
lakukanlah jalannya, dengan kemurahan dari Tuhan Yang Maha Suci.
Namun
walau semua masih berupa kemungkinan janganlah kendor dalam melaksanakan. Tetap
lakukanlah menempuh jalan itu disertai dengan kemurahan dari Tuhan Yang Maha
Suci.