Pangeran Sambernyowo
Ketawang
Clunthang
Lelana
laladan sepi
Wusnya
sepi anggayuh warsiteng adi
Lire
adi sepa sepah ing asamun
Tinarbuka
sagung gumlaring dumadi
Dumadine
tan samar kodrating Widhi
Nulya
labet harjaning gesang sesami
Dhandhanggula
Wonten
malih tuladhan prayogi
Wanodyayu
trahing Witaradya
Dyah
Rubiah tetengere
Tansah
nggegulang kalbu
Amrih
kandel kumandeling ati
Duk
jaman ing samana
Nyata
wus misuwur
Karana
sulistyanira
Risang
Ayu ginarwa Sang Adipati
Trahing
Mangkunagara
(Kaanggit
dening Ki Soedarsono Sa’Tjiptorahardjo)
Teks
Ketawang Clunthang di atas adalah sebuah
gambaran tentang Raden Mas Said, yang dikenal juga dengan nama Pangeran
Sambernyawa, yang Kelak bertahta di Surakarta dengan gelar KGPAA Mangkunegara I.
Mengenal Pangeran Mangkunagara I
Sejarah
perjuangan Raden Mas Said atau biasa disebut dengan Pangeran Sambernyawa.
Pangeran
Sambernyawa, Raja Kecil dari Jawa yang Bikin Belanda Kocar-kacir Raden Mas Said
atau kerap disebut dengan nama Pangeran Sambernyawa. Beliau adalah pejuang
rakyat yang setelah kematiannya mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari
Pemerintah Indonesia.
Tanah
Jawa memiliki sejarah panjang dalam sejarah kerajaan. Sejak sebelum Majapahit
nyaris menyatukan banyak wilayah di Nusantara hingga akhirnya Mataram Islam
pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan KesultananYogyakarta, cerita terkait
intrik kerajaan tidak ada habisnya. Pada zaman Majapahit, tradisi makar mulai
muncul hingga raja terus diserang agar turun tahta. Selanjutnya di era Mataram
Islam, VOC muncul dan mulai mengobrak-abrik semua tatanan yang sudah menjadi
pakem.
Melihat
kelakuan VOC yang semena-mena, seorang pangeran bernama Raden Mas Said mulai
tidak tenang. Jiwa kemanusiaannya tidak bisa dibeli hingga pemberontakan kerap
dilakukan. Raden Mas Said mengajak banyak pasukan untuk melawan VOC dan juga
Kesultanan dan Kasunanan yang tunduk dengan VOC. Kegigihan, keuletan, dan juga
kehebatan dari Raden Mas Said membuatnya dijuluki Pangeran Sambernyawa. Berikut
kisah dari Pangeran Sambernyawa Selengkapnya.
Awal Kehidupan Pangeran Sambernyawa
Kehidupan awal serang Raden Mas Said sama dengan kehidupan pangeran pada umumnya. Dia tinggal di istana, belajar banyak ilmu, hingga belajar berperang. Sebagai salah satu calon petinggi di Mataram, dia dikenal sebagai pribadi yang cerdas. Dia mampu belajar banyak hal dan tidak terlalu suka disetir oleh pihak-pihak tertentu meski itu keluarganya sendiri.
Saat
berusia 19 tahun, kawasan Kartosuro yang masih di bawah kekuasaan dari Mataram
sedang geger akibat masyarakat Tionghoa melakukan penyerangan. Mereka merasa
tidak tahan dengan perlakuan buruk yang dilakukan oleh VOC. Sementara itu pihak
Mataram justru melakukan kerja sama dengan VOC. Dari kejadian ini Raden Mas
Said semakin tidak tahan dan ingin melakukan perlawanan.
Menentang Keras VOC yang Ada di Jawa
Secara
silsilah kerajaan, Raden Mas Said merupakan pangeran yang memiliki posisi yang
penting. Namun, sebagai seorang manusia dan mungkin calon raja, dia
menginginkan rakyat yang ada di bawahnya memiliki hak yang sama. Dia tidak mau
hanya masalah ras dan suku semuanya jadi hancur karena perlakuan yang sangat
buruk.
Dari
kenyataan ini, Raden Mas Said tidak ragu-ragu ikut melakukan pemberontakan
dengan menggempur kawasan istana. Mereka menggempur kawasan Kartasura yang
dianggap sebagai boneka dari Belanda. Setelah melakukan penggempuran di kawasan
ini, Raden Mas Said bergabung dengan banyak pasukan yang menyusup ke pedalaman
Yogyakarta untuk menumpas VOC.
Pemberontakan yang Membuat VOC TUNGANG LANGGANG
Dalam
melakukan aksinya penyerangan, Raden Mas Said selalu membuat VOC jadi kelabakan.
Strategi perangnya cukup sulit ditebak sehingga musuh yang diserang selalu saja
keok dan kekalahan dari VOC semakin besar. Selama 16 tahun Raden Mas Said yang
akhirnya dijuluki Pangeran Sambernyawa oleh
Nicolaas Hartingh terus berjuang tanpa lelah. Dia tidak peduli harus
menyerang VOC dan juga Mataram yang
berisi banyak keluarganya. Selama menyengsarakan rakyat berarti mereka salah.
Selama
menjadi panglima perang, Raden Mas Said pernah melakukan tiga buah serangan
besar yang membuat kerajaan jadi gempar. Raden Mas Said melawan Hamengkubuwono
I dengan kekuatan penuhnya. Dia tidak perlu lagi jabatan orang yang dilawan.
Selama masih bekerja sama dengan VOC, rakyat tetap menderita. Dan itu tidak
bisa dibiarkan.
Raja Kecil dan Laskar Mangkunegaran
Hebatnya
Raden Mas Said dalam peperangan membuat VOC mendesak Pakubuwono III untuk
melakukan perundingan. Mereka meminta pihak kerajaan agar Raden Mas Said diajak bicara baik-baik agar
masalah konflik ini selesai. Dari pertemuan yang cukup pelik itu akhirnya
disepakati kalau Raden Mas Said mendapatkan kekuasaan baru dan dirinya secara
tidak langsung menjadi raja ke-3 yang berkuasa di Jawa bagian Tengah.
Setelah
terjadi kesepakatan, pihak istana memberi banyak kompensasi kepada Raden Mas
Said yang menjadi Mangkunegara I. Bahkan dia sampai bisa membuat istana dan
membangun Laskar Mangkunegara di mana wanita dilibatkan dalam perang untuk yang
pertama dalam sejarah kerajaan.
Beliau
bergerilya melawan penjajah Belanda sejak usia 18 hingga 32 tahun. Jadi selama
17 tahun, hidupnya diabdikan untuk mengusir penjajah. Ia mempunyai garwa padmi
anak dari Pangeran Mangkubumi. Mertua dan menantu ini bahu membahu bergerilya
dari desa ke desa. Tetapi di tengah perjuangan itu Pangeran Mangkubumi berhasil
dibujuk oleh Gubernur Jenderal Batavia untuk ditahtakan di Ngayogyakarta
Hadiningrat dengan gelar Hamengku Buwono I.
Pangeran
Sambernyawa sangat merakyat dannperjuangannya melawan penjajah Belanda juga
bahu-membahu bersama rakyat, Sehingga beliau dalam menyatukan pasukannya selalu
dengan pekikan: “Tiji tibeh, mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh.
Artinya dalam berjuang mengusir penjajah kalau satu mati, semua harus berjuang sampai
mati. Kalau satu berjaya, semua juga harus berjaya. Sama rata sama rasa sama
bahagia.Di tengah perjalanan, di sebuah desa Matah, beliau beristirahat untuk
beberapa waktu. Pada malam hari ada seorang warga desa yang nanggap wayang.
Beliau hanya menonton dari jauh. Tiba-tiba Pangeran Sambernyowo melihat sinar
dari langit turun ke halaman tempat perhelatan. Beliau mendekati cahaya itu dan
ternyata berasal dari paha salah seorang penonton, seorang gadis yang kainnya
tersingkap. Beliau lalu menyobek kain sang gadis di dekat pengasihan. Pada
malam itu hampir semua penonton perempuan tertidur pulas, termasuk sang gadis
yang kainnya tersingkap tadi.
Setelah
pertunjukan usai, sang ajudan diminta memanggil seluruh penonton perempuan dan
berbaris berjajar di hadapan Raden Mas Said. Setelah melihat gadis yang kainnya
disobek tadi maka RMS meminta agar sang gadis bisa segera membawa ayahnya ke
hadapannya.
Begitu
sang ayah dihadapkan ternyata ia adalh Kyai Nuriman guru ngajinya. maka
dimintalah Rubiyah, nama gadis tersebut sebagai istri. Lalu diberi gelar RAy
Patahati, karena lahir di desa Matah dan mematahkan hati sang Pangeran.
Tembang
ke-dua Dhandahanggula adalah untuk menggambarkan siapa Rubiah yang cantik dan
kelak menjadi kepala prajurit wanita yang selalu unggul dalam peperangan. Dan
putra-putrinya kelak, atas didikan sang ayahanda KGPAA Mangkunegara I, setiap
panen padi, tidak ada terkecuali seluruh anggota Puri Mangukenagaran harus
turun ke sawah untuk ikut ani-ani memanen padi.
Pada
usia 22 tahun, R. M. Sahid dijodohkan dengan putri P. Mangkubumi yaitu R. A.
Inten. Oleh mertuanya itu nama R. M. Said diberi gelar Pangeran Adipati
Hamengkunegoro Senopatining Panata Baris Lalana Adikareng Nata. Pesanggrahan
mereka berada di Mataram. Maka atas penghormatan sang menantu, P. Mangkubumi
ditahtakan di Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Kangjeng Susuhunan
Pakubuwono Senopati ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama. R. M. Sahid
kemudian diangkat sebagai patih sekaligus panglima perang dan bergelar Senopati
Kawasa Misesa Wadya. Selama 9 tahun mereka melawan Kartasura dan Belanda.
Ketika
R. M. Said berusia 28 tahun, terjadi perselisihan dengan P. Mangkubumi yang
sekaligus paman dan mertuanya. Pangkal perselisihan adalah ketika Paku Buwono
II wafat, kerajaan diserahkan kepada Belanda. Belanda kemudian membujuk
Mangkubumi akan diberi kekuasaan, yang disahkan dalam Perjanjian Giyanti
(1755M). Inti perjanjian adalah
kekuasaan Mataram dipecah dua. P. Mangkubumi diberi kekuasaan baru di
Yogyakarta yang kemudian disebut Kesultanan dan PB III berkuasa di Surakarta
yang kemudian disebut Kasunanan. Mangkubumi lalu berganti gelar Sultan Hemengku
Buwono Senopati Ngalogo Abdurarahman Sayidin Panatagama.
R.
M. Said bercita-cita menyatukan kembali Mataram, maka ia terus berperang
melawan Belanda, dan itu berarti melawan Kasultanan dan Kasunanan yang mau
bekerjasama dengan Belanda. R. M. Said dalam berperang melawan Belanda dan juga
Kasunanan dan Kasultanan memakan waktu 16 tahun dan terdiri atas 250
peperangan. Ia sendirian melawan
Belanda, Hemengkubuwono I (P. Mangkubumi), dan Paku Buwono III.
Taktik
penyerangan dengan menggunakan 3 cara : dhedhemitan, weweludan, dan
jejemblungan. Menghindar dari musuh yang
berjumlah besar, menyerang musuh ketika lengah dengan secepat-cepatnya, bunuh
musuh sebanyak-banyaknya, setelah itu pergi dan menghilang. Karena taktik
itulah kemudian Raden Mas Said dijuluki Pangeran Sambernyawa.
FILOSOFI
PERJUANGAN PANGERAN SAMBERNYAWA
Dasar
utama perjuangan R.M. Said adalah mengenyahkan Belanda dari bumi Mataram. Di
samping itu adalah usaha untuk menyatukan Mataram dalam satu pemerintahan
(Pringgodigdo, 1950: 9). Cita-cita tersebut ditegaskan de Jonge, Het bleek dat
.hly het heist zou zien datJava door een vorst bestuurd werd, … (de Jonge, X,
1878: 314). Perjalanan perjuangannya selama 16 tahun melawan Belanda merupakan
bukti bahwa R.M. Said merupakan tokoh yang kokoh terhadap prinsip, pantang
menyerah, bahkan sampai akhir perjuangannya tidak pemah dapat ditangkap
Belanda.
Sebagai
keturunan raja-raja Mataram dan dilihat dari sepak terjangnya selama berjuang,
secara tidak langsung dapat diketahui bahwa dasar perjuangannya, hakikatnya
tidak lepas dari konsep kepemimpinan satria Mataram. Barangkali konsep
kepemimpinan yang disyaratkan hams dikuasai oleh seluruh keturunan raja
Mataram telah direfleksikan melalui perjuangannya. Konsep kepemimpinan yang
harus dikuasai oleh keturunan Mataram merupakan wulang-wulang dari Sultan
Agungan (Sastra gendhing) atau guidance bagi setiap Satria Trah Mataram. Hal
tersebut ditulis dalam 2 tembang Dandanggula yang berbunyi.
Kawignyane
Wong- Agung puniki pan sedasa warn yen tan bisa, nistha kuciwa dadine, dhihin
karem ing ngelmu, kaping kalih bisa angaji ,
ping tiga bisa maca, ping sakawanipun, kudu alul anenurat, kaping lima
wig-nya anitih turanggi, ping neme bisa
begsa.
‘Apa
yang digolongkan Orang Agung (trah Mataram) itu, haruslah memiliki sepuluh
kemampuan dasar, jika tidak tidak menguasainya pastilah akan menjadi satria
yang nista dan mengecewakan, pertama harus berilmu (senang menuntut ilmu),
kedua dapat membaca Kur’an, ketiga bisa membaca (selain Kur’an), keempat harus
pandai menulis (mengarang), kelima mempunyai ketangkasan naik kuda, keenam
pandai menari’.
Ping
pitune kudu wruh ing- gendhing, kaping wolu apan kudu bisa, tembung kawi
tembang gedhe, ping sanga bisa iku, olah yudha gelaring jurit, wignya angadu
bala, ping sadasanipun,limpat pasanging grahita, wruh sasmita traping kramaniti
; wruh saniskareng- basa.
‘Ketujuh
harus pandai menghayati (memahami dan memainkan) gendhing, kedelapan harus
mampu dan paham tembang gedhe dan kata-kata bahasa Jawa Kuno, kesembilan harus
menguasai ilmu dan siasat perang, kesepuluh dia harus tanggap akan perubahan
jaman, tahu akan sopan santun, adat, dan tata-krama’.
Jika
diamati secara cermat, kesepuluh kriteria kesatria kepemimpinan keturunan
Mataram di atas, hakikatnya mencakup tiga aspek dasar yaitu :
1. Agama,
2. Moralitas,
dan
3. Budaya.
Dalam
pengertian ini, setiap trah Mataram harus mampu memahami dan melaksanakan
ketiga aspek di atas. Karena penguasaan ketiga aspek itulah yang akan
menentukan kualitas kepemimpinannya. Untuk melengkapi kualitas kepemimpinan
trah Mataram, dalam pengantar transliterasi Babad Keraton, J.J. Ras
menyebutkan bahwa institusi kerajaan Jawa didasarkan atas tiga prinsip yaitu :
1.
kadig-claya.n
(keunggulan militer),
2.
trah
(keturunan), dan.
3.
wahyu
keprabon (anugerah status raja yang diberi oleh Tuhan) (BK, trans. Ras, 1992:
xvii).
Ketiga
aspek inilah yang harus dibuktikan oleh setiap trah Mataram jika ingin diakui
kualitas kepemimpinannya. Keunggulan militer, misalnya merupakan prasyarat
utama yang hams dibuktikan dengan cara menunjukkan kesanggupan mengalahkan
setiap musuh dan dilakukan terus-menerus dengan keahlian memainkan senjata.
Itulah sebabnya, J.J. Ras mengatakan bahwa terjadinya peperangan dan juga
pemberontakan yang banyak dimuat dalam cerita babad, pada hakikatnya adalah
upaya para Pangeran atau Adipati trah Mataram untuk mengeksistensikan dirinya.
Begitu pula halnya dengan penguasaan dan pemahaman seni budaya. Dalam konteks
ini, seorang pemimpin trah Mataram tidak hanya sekedar dituntut mampu
menguasai, memahami, memainkan, dan menciptakan karya seni seperti halnya
gending. Lebih jauh dari pengertian tersebut, pemimpin trah Mataram harus
menghayati dan merefleksikan esensi dan filosofi seni gending yang dia pahami.
Sebagaimana ditulis dalam Wewarah Sultan Agungan bahwa esensi filosofi gending
dapat dilihat dari tiga perspektif yaitu :
1.
raos
kawiraman (rhythmisch g-evoel), yang merefleksi pada rasa runtut, titi, patut,
pratitis, tetap, tatag, mantap;
2.
raos
kasulistyan (aesthetisch gevoel), yang merefleksi pada rasa ecli, pens; resik,
endah, alus, luhur, bening, ‘bagus, bersih, indah, halus, luhur, jernih; dan.
3.
raos
kasusilan (ethisch gevoel)merefleksi pada rasa sua; lebet, santosalejer,
gaclah prabawa, man& ri; buclipakarti,” gesang-bebrayan, ‘suci, kedalaman
berpikir, sentosa, tegar, kewibawaan, kemandirian, kehalusan budi pekerti, dan
kehidupan keluarga clan. berinasyarakat’ (diambil dari Ki Hadjar Dewantara,
1957: 41).
Berdasarkan
penjelasan filosofi penguasaan gending di atas, dapat disebutkan bahwa
penguasaan dan pemahaman gending,
pada
hakikatnya mengarah kepada pembentukan moralitas dan kepribadian (character
building)pemimpin trah Mataram. Karena itu, dari penguasaan aspek-aspek
kepemimpinan di atas, diharapkan setiap pemimpin trah Mataram mempunyai
keseimbangan antara refleksi keagamaan, kemiliteran, dan moralitas.
Apabila
kita menengok aktivitas yang melandasi perjuangan R.M. Said, memang tidak semua
kriteria di atas telah dilaksanakannya secara maksimal. Hal tersebut
disebabkan situasi dan kondisi R.M. Said tidak memungkinkan untuk
melaksanakannya. Kriteria kepemimpinan yang belum dikerjakan dalam arti secara
intens selama perang misalnya, menulis atau mengarang (baik tulisan yang
memakai huruf Arab Pegon maupun huruf Jawa), kendati demikian dalam masa
peperangan R.M. Said sudah mulai menyalin Kur’an. Sebaliknya, kemampuan dan
ketrampilan yang erat kaitannya dengan peperangan telah dibuktikan.
Ketangkasan berkuda, bermain senjata, ketajaman intuisi, kepandaian mengatur
siasat dan strategi perang, konsep-konsep moralitas, dan hubungan antara g-usti
dan abdinya, bahkan kesenian merupakan bagian yang ditonjolkan. Karenanya,
dapat disebutkan bahwa apa yang dikerjakan R.M. Said selama berjuang pada
dasarnya telah mencakup ketiga komponen tersebut. Dengan kata lain,
konsep-konsep kepemimpinan yang dapat dilakukan pada masa perjuangan akan
dilakukan sepenuhnya. Sebaliknya, konsepkonsep yang hanya bisa dilakukan dalam
masa damai akan dikerjakan sesuai dengan kondisinya. Karenanya, jika dilihat
secara keseluruhan kesepuluh konsep kepemimpinan trah Mataram di atas
sebenarnya sudah dijalankan dan merupakan dasar kepemimpinan R.M. Said. Konsep
ini ternyata semakin disosialisasikan pada masa R.M. Said memimpin
Mangkunegaran.
Namun
filosofi utama yang dipakai sebagai dasar perjuangan R.M. Said adalah konsepsi
ajaran Islam. Keyakinan perjuangan yang didasari Islamisme tidak hanya
dilakukan dalam konteks syariah, melainkan diletakkan dalam kerangka perjuangan
secara keseluruhan. Hal ini terlihat secara nyata dalam setiap perilaku dan
dialog antara R.M. Said dengan para wadyabalanya. Keputusan R.M. Said untuk
melawan Belanda hakikatnya juga tidak lepas danfilosofi ini. Dalam pandangan
R.M. Said, pasukan Belanda tidaklah lebih dari kaum kafir yang hams diperangi
dengan cara apapun. Apalagi kaum tersebut mempunyai kekuatan memecah-belah,
menguasai, menghasut tatanan kehidupan kerajaan yang selama itu sudah mapan.
Penempatan Belanda sebagai kaum kafir karena dalam peristiwa-peristiwa tertentu
tidak jarang Belanda merusak tempat-tempat ibadah umat Islam, misalnya saja
pengrusakan terhadap masjid Majasta. Nulya 172,35-
Masjid
Ing Majasta, binasmi dening kumpeni, wau ing-kang kawarno ,… ‘salah satu yang
diceritakan adalah pengrusakan masjid Majasta yang dilakukan Kumpeni’ (BL,
Sinom, 17: 87). Perilaku Belanda tersebut jelas sama dengan perilaku kaum
kafir. Jika Belanda sampai merusak masjid, itu berarti Belanda juga mempunyai
anggapan bahwa masjid adalah salah satu sentra tempat perjuangan umat Islam
untuk melawan dirinya. Karenanya, jika R.M. Said menempatkan Belanda sebagai
kaum kafir yang harus diperangi dan bukan sebagai sahabat, maka hal tersebut
sudah pada tempatnya. Pandangan ini hakikatnya sama dengan pandangan Islam
sebagaimana dikemukakan dalam kitab AlMuhalla yang menyatakan bahwa orang
Islam tidak halal menganggap orang kafir sebagai kawan Rasulullah atau salah
seorang Sahabat beliau (Sahal Machfudz, terj., 1987: 566).
Secara
hukum, konsepsi penyerangan terhadap orang kafir oleh para ulama dikatakan
sebagai fardlu-khifayah (Sahal Machfudz, terj. 1987: 261). Yang termasuk kategori
ini adalah menyerang orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Dengan kata
lain, mereka yang boleh diperangi adalah orang-orang yang berusaha memecah
belah Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jelas, yang dilakukan
R.M. Said dalam perjuangannya melawan Belanda mengambil konsepsi di atas. Di
samping itu, setiap menjelang peperangan disunahkan bagi panglima perang atau
wakilnya untuk menanamkan taqwa kepada Allah, atau setiap perang yang dilakukan
adalah semata-mata karena Allah, ramah kepada anak buahnya serta memberi
petunjuk kepada mereka apa yang perlu dilakukan dalam peperangan, apa yang
wajib, apa yang Karam. Hal ini merupakan kesepakatan ulama mujma’ ‘alaih (lihat
juga Syarah Muslim 7: 298).
Pandangan
dan keyakinan R.M. Said yang meletakkan Belanda sebagai musuh Islam yang harus
diperangi dapat dilihat ketika P. Mangkubumi berontak terhadap Belanda. Pada
saat itu R.M. Said mau bergabung dan sepenuhnya bahu-membahu mendukung
perjuangan P. Mangkubumi. Namun ketika P. Mangkubumi menuruti keinginan
Belanda dan kemudian diberi kekuasaan di Yogyakarta, secara tegas R.M. Said
memisahkan diri. Hal tersebut dinyatakan R.M. Said sebagai berikut, Tahun je
den sengkalani; ponang Liman (8), Lan Turangga (7) , Angrasa (6) Wani (1),
Kangjeng-Pangeran Dlpatya, Arya Amengkunagoro, sampun nekad karsarnipun, pisah
lan rama sang nata.
Pada
tahun Je 1678J/1752M, ‘Kangjeng Pangeran Arya Amengkunagoro sudah bertekad
bulat untuk berpisah dengan ramanda Sang Raja Mataram` (BL, Asmaradana, 50:
248).
Pemisahan
tersebut tentunya terpaksa diambil oleh R.M. Said, karena tidak saja P.
Mangkubumi telah mengingkari janjinya sendiri, tetapi yang lebih prinsip
adalah P. Mangkubumi mau bekerja sama dengan Belanda demi kepentingannya
sendiri. Perilaku tersebut jelas tidak sesuai dengan karakter seorang satria,
terlebih dilihat dari prinsip perjuangan dan filosofi Islam yang selama itu
diyakini kebenarannya oleh R.M. Said. Sebagai seorang muslim, setiap sumpah
yang pernah diucapkan wajib ditepati (Sahal Machfudz, 1987: 671). Pengingkaran
terhadap prinsip perjuangan tersebut akhirnya mengingatkan R.M. Said akan
perilaku P. Mangkubumi terhadap P. Puger sebagaimana laporan utusan P. Puger
ketika P. Mangkubumi berbalik menyerangnya, gusti kula ingutus, mring– pun paman
Puger kang nudin-, kang rumiyin katura, salam taklimpun, lan malih atur
uninga, yen ing– mangke Pangraning Mangkubumi
awangsu ing-kang karsa:
Gusti
(R.M. Said) kawula diutus pamanda Panembahan Puger, teriring salam taklim
beliau pada Pangeran, selanjutnya kami diperintahkan untuk melapor bahwasanya
Pangeran Mangkubumi sekarang telah berbalik pendiriannya, memerangi Pangeran
Puger’ (BL, Asmaradana, 9: 23).
Itulah
sebabnya, secara tegas R.M. Said memisahkan diri dari P. Mangkubumi, karena P.
Mangkubumi dianggap sebagai pemimpin yang tidak dapat dipercaya.
Konsekuensi
pemisahan tersebut mau tak mau R.M. Said menempatkan P. Mangkubumi sebagai
orang yang harus diperangi. Keputusan ini tidak hanya berlaku untuk P.
Mangkubumi, tetapi juga pada Sunan PB III yang menyetujui kerja sama dengan
Belanda.
Walaupun
perjanjian yang dibuat Belanda yang terkenal dengan Perjanjian Giyanti intinya
adalah pemberian kekuasaan, secara tersirat kedua raja tersebut harus mau
membantu Belanda memerangi musuh-musuhnya. Di antara musuh-musuh yang dianggap
sangat merugikan adalah R.M. Said. Dari sudut pandang R.M. Said sendiri, kedua
raja yang juga pamannya, karena mau bekerja sama dengan Belanda, maka mereka
sebenarnya tidak lebih dari Belanda itu sendiri. Karena itu, mati melawan
mereka ditempatkan R.M. Said sebagai seorang pejuang yang mati syahid.
Penegasan terhadap pandangan ini dapat dilihat pada bait berikut :
Sawab
aku wus anekad tur aderah,
batur
kabeh suntari
yen
tresna maring wang
mgsun
tedha mring Allah,
barenga
mati lan mami;
saure
_kukila,
sadaya
kang prajurit. (BL, Durma, 14: 257)
‘Aku telah bertekad bulat, tidak ada pilihan lain mati atau mukti, kalian prajuritku semua, jika kalian semua cinta kepadaku, marilah kita bersama bertempur mati-matian sampai titik darah penghabisan,
andaikata
aku gugur di medan laga, mari kita gugur bersama, gugur di haribaan Allah,
segenap
prajurit menyatakan kesanggupannya’.
Kalimat
ingsun tedha mring Allah jelas menyiratkan bahwa perjuangan tersebut merupakan
perjuangan suci. Perjuangan yang disandarkan sepenuhnya kepada kekuasaan Allah.
Jika ia harus mati, maka R.M. Said akan menerimanya dengan ikhlas, karena
menurutnya semua perjuangan yang dilakukan merupakan suratan dari Allah.
Pasrah dan ikhlas kepada Allah bukan berarti sikap putus asa, karena konsep
pasrah dan ikhlas yang dikembangkan adalah dalam pengertian dinamis, yang
dilandasi usaha keras dan keyakinan kuat sehingga jauh dari pengertian
fatalistik. Konsep seperti ini secara tidak langsung juga menyiratkan bahwa
upaya perjuangan dan landasan kerja tidaklah untuk menonjolkan diri atau
mementin.gkan ambisi pribadi, melainkan lebih pada konsep kebersamaan dan
kesejahteraan umat yang bersandar pada satu keyakinan yang kuat bahwa semua
perjuangan adalah sesuai dengan kebenaran Islam. Hal tersebut sebagaimana
yang selalu ditekankan R.M. Said kepada semua wadyabalanya.
Dyah
Pangeran Adipati Mangkunegara,
Ikhlas
.ma.nah kang wening,
tan
ana katingal,
nanging-
Allah .kang- mulya,
rzganchka
Pangran Dipati
prajuritira,
wong-jero para mantrL (BL, Durma, 45: 260)
‘Kata
Pangeran Adipati kepada para prajurit mantri-lebet, bahwa kalah menang dalam
perjuangannya harus didasari hati yang ikhlas, dan kepercayaan penuh, semuanya
diserahkan kepada kehendak Allah, hanya kepada Allahlah kita menyerahkan diri
dan berlindung’.
Filosofi
seperti inilah yang setiap saat ditanamkan R.M. Said kepada setiap prajuritnya
manakala akan menghadapi peperangan. Baik dalam keadaan terdesak maupun dalam
meraih kemenangan, R.M. Said selalu mengingatkan bahwa perjuangan yang
dilakukan hanya semata-mata karena Allah. Karena itu, mati dalam perjuangan
yang dilakukan adalah mati membela kebenaran agama Allah, mati di jalan Allah,
mati dalam perang sabil, yang berarti mati syahid.
PANGERAN SAMBERNYOWO PENDIRI MANGKUNEGARAN
Namanya
sejak dilahirkan adalah Raden Mas Said. Menginjak dewasa, Raden Mas Said
melakukan perjuangan untuk melawan kolonial. Ia kemudian dikenal dengan
Pangeran Sambernyawa. Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa lahir pada 25
April 1725 di Keraton Kartosuro. Dia merupakan putra Pangeran Arya
Mangkunegaran dan cucu dari Paku Buwono I. Berbeda dengan keturunan raja pada
umumnya yang mendapatkan kemewahan, hidup RM Said diwarnai keprihatinan. Ketika
berumur 2 tahun, ayahnya dibuang ke Srilanka oleh Belanda karena fitnah. Ibu RM
Said, Raden Ajeng Wulan, meninggal saat ia masih kecil. Baca juga: Rumah Ini
Dulu Kediaman Pangeran Sambernyawa, Cikal Bakal Kampung Kauman Mangkunegaran...
Kemudian, RM Said diasuh oleh Raden Ayu Sumarno, neneknya. Kehidupan di luar
keraton telah mendidiknya menjadi seorang yang tangguh dan kuat. Dalam buku
"Sejarah & Warisan Nilai-Nilai Perjuangan Raden Mas Said"
disebutkan, RM Said lebih suka menghabiskan masa kecilnya dengan anak-anak abdi
dalem dan kawulo alit. Pergaulan dengan kalangan ini membuatnya mengetahui
realita kehidupan masyarakat luar keraton dan kehidupan kawulo alit. Awal
perjuangan Raden Mas Said Memasuki usia remaja, RM Said mulai menyadari apa
yang terjadi dengan ayahnya. Kesadaran ini menimbulkan keinginan untuk
melakukan perlawanan atas ketidakadilan.
Bersama
dengan temannya, Raden Mas Sutowijoyo, dan pamannya Wirodiwongso, ia membuat
sebuah pasukan. Pada 1742, bersama Raden Mas Garendi (Sunan Kuning), RM Said
mencoba melakukan penyerangan ke Keraton Kartosuro. Dalam penyerangan ini,
tembok benteng keraton jebol.
RM
Said dan pasukannya dibantu oleh orang-orang Tionghoa. Peristiwa penyerangan
ini dikenal dengan Geger Pacinan. Setelah penyerangan, Paku Buwono II terpaksa
mengungsi ke Ponorogo dan meminta bantuan pihak Belanda dari Batavia. Pihak
Belanda memberikan bantuan kepada Paku Buwono untuk kembali mengambil
kedaulatan Mataram di Kartosuro. Perjuangan RM Said terus berlanjut ke berbagai
daerah. Ketika sampai di daerah Sukowati, Adipati Sujonopuro mengusulkan RM
Said menjadi raja di Sukowati. Dengan posisi sebagai pemimpin, RM Said lebih
leluasa memgembangkan kekuatan pasukannya. Perkembangan kekuasaan RM Said
membuat VOC khawatir. Berbagai usaha dilakukan untuk menghentikan pergerakan RM
Said. Salah satunya, dengan mengirimkan utusan untuk menemui RM Said. Namun,
semua itu ditolaknya.
Perjuangannya
semakin bertambah berat ketika RM Said dihadapkan pada pasukan Paku Buwono III
dan Hamengku Buwono I serta kekuatan VOC. Namun, hal itu tidak
dipermasalahkannya dan tetap berambisi untuk berjuang.
Pada
pertempuran melawan VOC di sebelah selatan negeri Rembang, tepatnya di hutan
Sitakepyak, pasukan RM Said berhasil memukul mundur VOC. Walaupun kalah dari
sisi jumlah pasukan, pasukan RM Said bisa membuat 600 prajurit lawan tewas.
Raden Mas Said juga menebas kepala Kapten Van Der Pol yang saat itu komandan
pertempuran VOC. Raden Mas Said juga berhasil menguasai Benteng Vredeburg di
Yogyakarta. Kejadian tersebut berawal dari pasukan VOC yang melakukan
pengejaran kepada RM Said disertai dengan menjarah dan membakar harta penduduk
desa.
Hal
ini menjadikan dirinya marah dan menyerang VOC yang berada di Yogyakarta. Dalam
waktu sekejap, pasukan RM Said berhasil mengusasai Vredeburg. Namun, pada malam
harinya, pasukan RM Said ditarik mundur. Berkat kepiawaiannya dalam berperang
dan selalu melumpuhkan musuhnya, Raden Mas Said mendapat julukan Pangeran
Sambernyawa. Akhir perjuangan dan mendirikan Praja Mangkunegaran Setelah
berkali-kali melakukan gerilya dari satu tempat ke tempat lain, pergerakan
Pangeran Sambernyawa membuat musuhnya gusar. Berbagai bujukan akhirnya membuat
RM Said dan pasukannya mau melakukan gencatan senjata. Pada 1756, Pasukan RM Said
kembali masuk ke Surakarta. Paku Buwono III mengapresiasi RM Said karena mau
kembali ke Surakarta dan sudah menyiapkan sebuah tempat yang sekarang dikenal
dengan Puro Mangkunegaran. Namun, RM Said tidak mau. Dia menempati rumah
Tumenggun Mangkuyuda yang berada di utara Kali Pepe, atau sekarang dikenal
sebagai kawasan Kampung Kauman Mangkunegaran. Pilihan ini diambilnya untuk
menenangkan hati setelah 16 tahun bergerilya. Akhirnya, pada 17 Maret 1757,
ditandatangani sebuah perjanjian yang memecah kembali Mataram. Perjanjian ini
merupakan solusi penyelesaian konflik perebutan kekuasaan. Perjanjian yang
dikenal dengan Perjanjian Salatiga itu telah menghidupkan Dinasti Mangkunegaran
sebagai daerah praja yang boleh mengurusi wilayahnya sendiri. Namun, Mangkunegaran
tidak memiliki otoritas yang sama tinggi dengan Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta Raden Mas Said
diberi hak untuk menguasai wilayah timur dan selatan sisa wilayah Mataram
sebelah timur. Wilayahnya terdiri dari bagian utara Kota Surakarta (Kecamatan
Banjarsari, Surakarta), kemudian seluruh wilayah Kaupaten Karanganyar,
Wonogiri, dan sebagian wilayah di Gunung Kidul. Raden Mas Said bergelar Kanjeng
Gusti Adipati Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara 1 dan berhak secara
mutlak berhak memimpin Mangkunegaran. Setelah menjadi raja, Raden Mas Said
beserta keluarga tinggal di Puro Mangkunegaran yang sebelumnya telah disiapkan
oleh Paku Buwono III.
Kisah Pangeran Sambernyawa, Ketajaman Batin dan
Kesaktiannya Ditakuti Tentara Belanda
Pangeran
Sambernyawa memiliki kepandaian dan kesaktian yang ditakuti musuh-musuhnya.
Sebagai salah satu keturunan bangsawan dari Keraton Kartasura, sejak usia belia
Pangeran Sambernyawa sudah digembleng dengan beragam ilmu kanuragan. Raden Mas
Said lahir di Keraton Kartasura pada7 April 1725, putra dari Pangeran
Mangkunegara Kendang (putra sulung Amangkurat IV) dan R Ay Wulan, puteri
Pangeran Blitar. Sedangkan kakeknya adalah Sinuwun Amangkurat IV.
Nama
R.M Sahid sendiri merupakan pemberian dari neneknya sebelum wafat, yang artinya
bahwa Sri Sunan masih bisa 'menangi' (melihat) kelahiran cucunya sebelum wafat.
Sejak usia remaja RM Said adalah sosok yang tangguh, kuat dan memiliki bakat
berperang. Sebab itulah ketika usianya menginjak 15 tahun sudah diangkat
menjadi mantri oleh PB II dan diberi anugerah gelar Pangeran Suryokusumo.
Saat
terjadi pemberontakan kaum pedagang Cina di Keraton Kartasura yang lebih
dikenal dengan 'geger pecinan' Raden Mas Said berhasil menumpasnya. Pangeran
Sambernyawa memiliki ketajaman batin yang sangat tinggi. Sering tirakat dan
juga lelaku untuk mendapatkan ilmu kesaktian. Kesaktiannya banyak ditakuti oleh
musuh-musuhnya.
Bahkan
konon Sambernyawa yang memiliki kesaktian supranatural tinggi memiliki ilmu aji
sirep dan panglimunan atau ilmu menghilang. Kemudian ada juga Aji Jayakawijayan
milik Sambernyawa tentu saja, bukan ajian sembarangan
Bahkan
pasukan khusus Pangeran Sambernyawa juga digembleng di Sapto Tirto Pableman
yang saat ini masuk di wilayah Matesih, Kabupaten Karanganyar. Di lokasi
itulah, Pangeran Sambernyawa menjadikannya kawah Candradimukanya para prajurit
Sambernyawa. Selain itu ada juga tempat lokasi pertapaan ketika Pangeran Sambernyawa
ketika menerima wangsit yang untuk mengobarkan semangat bertempur melawan
Belanda berupa sendang (sumber air) yang sampai kini dikunjungi banyak orang
dari berbagai daerah, terutama setiap malam Selasa dan Jumat. Ada juga monumen batu gilang di Nglaroh yang diyakini
sebagai lokasi kali pertama Pangeran Sambernyawa mengatur siasat perang gerilya
yang populer disebut Perang Sambernyawa. Dalam memerintah Pangeran Sambernyawa
ialah yang disebut Tridharma waktu berjuang melawan VOC atau Belanda. Dengan
ajarannya kepada pengikutnya dalam membela negara semuanya harus seluruh bangsa hendaknya rumangsa melu
handarbeni (merasa memiliki), wajib melu hangrungkebi (merasa ikut membela) dan mulat sarira hangrasa wani atau mawas diri.
Strategi
perang gerilya di dapatnya saat menyantap bubur bekatul panas yang dihidangkan
warga di perkampungan kecil di daerah Rembang di mana Pangeran Sambernyawa
singgah untuk istirahat bersama pasukannya.
Ketika akan menyantap jenang katul yang masih sangat panas, sang pemilik
rumah menyarankan agar jangan memakan langsung dari tengah. Namun diawali dari
pinggir memutar baru pas di tengah akan dingin. Pangeran Sambernyawa merenung
mendengar ucapan sang pemilik rumah. Tak lama kemudian saran dari pemilik rumah
itupun dijadikan taktik perangnya. Di mana Pangeran Sambernyawa tak langsung
menyerang ke pusat kekuatan VOC, namun dirinya menyerang pasukan kompeni dari
arah pinggir seperti saat dirinya tengah makan bubur. Strategi itupun berhasil,
Raden Mas Said berhasil menebas kepala kapten Van der Pol dengan tangan
kirinya. Padahal sebelumnya pasukan kompeni ini telah mengepungnya terlebih
dahulu dari segara penjuru Kota Rembang. Belanda sangat mengakui kehebatan
Raden Mas Said, baik kesaktian, maupun strategi perangnya. Sampai akhirnya VOC
menyebutnya Pangeran Sambernyawa karena musuhnya termasuk Kompeni sendiri
menganggapnya sebagai penyebar maut.
Kisah Kecerdasan dan kesaktian Sambernyawa Termasuk
Strategi Perangnya
Perjuangan
Pangeran Sambernyawa tidak terlepas dari kepandaian dan kesaktian yang
dimilikinya. Sebagai salah satu keturunan bangsawan dari Kraton Kartosura,
sejak usia belia sudah digembleng dengan beragam ilmu kanuragan.
Pangeran
Sambernyawa memiliki ketajaman batin yang sangat tinggi. Sering tirakat dan
juga lelaku untuk mendapatkan ilmu kesaktian.
Kesaktiannya banyak ditakuti oleh musuh-musuhnya.
Konon
Sambernyawa yang memiliki kesaktian supranatural tinggi memiliki ilmu aji sirep
dan panglimunan atau ilmu menghilang. Kemudian ada juga
Aji
Jayakawijayan milik Sambernyawa tentu saja, bukan ajian sembarangan
Bahkan
pasukan khusus Pangeran Sambernyawa juga di gembleng di Sapto Tirto Pableman
yang merupakan kawah Candradimukanya para prajurit Samber Nyawa.
Selain
itu ada juga tempat lokasi pertapaan
ketika Pangeran Sambernyawa ketika menerima wangsit yang untuk mengobarkan
semangat bertempur melawan Belanda berupa sendang (sumber air) yang sampai kini
dikunjungi banyak orang dari berbagai daerah, terutama setiap malam Selasa dan
Jumat.
Ada
juga monumen batu gilang di Nglaroh yang
diyakini sebagai lokasi kali pertama Pangeran Sambernyawamengatur siasat perang
gerilya yang populer disebut Perang Sambernyawan.
Dalam
memerintah Pangeran Sambernyawa Pangeran
Samber Nyawa ialah yang disebut Tridharma waktu berjuang melawan VOC atau
Belanda. Dengan ajarannya kepada pengikutnya
dalam membela negara semuanya harus
seluruh bangsa hendaknya rumangsa melu handarbeni (merasa memiliki),
wajib melu hangrungkebi (merasa ikut membela) dan mulat sarira hangrasa wani atau mawas diri.
Stretegi
perang gerilya di dapatnya saat menyantap bubur bekatul panas yang dihidangkan
warga di perkampungan kecil di daerah
Rembang dimana Pangeran Sambernyawa
singgah untuk istirahat bersama pasukannya. Dimana saat itu pasukan
kompeni menyebar dan mengepung setiap
sudut kampung.
Ketika
akan menyantap jenang katul yang masih sangat panas, sang pemilik rumah
menyarankan agar jangan memakan langsung dari tengah. Namun diawali dari
pinggir memutar baru pas di tengah akan dingin.
Pangeran Sambernyawa merenung mendengar ucapan sang pemilik rumah. Tak lama kemudian Pangeran Sambernyawa keluar dan menyerang pasukan kompeni dari arah pinggir hingga akhirnya menewaskan pemimpin pasukan kompeni yang sebelumnya sudah mengepungnya.
Bahkan
sampai saat ‘surut’pun (meninggal) konon makam Sambernyawa tetaplah memiliki
aura yang tidak bisa diterima dengan panalaran namun hanya bisa di rasa melalui
mata batin. Makam Sambernyawa yang berada di Astana Mangadeg dan merupakan
makam keturunan Kerajaan Mangkunegaran.
Kesaktian Pangeran Samber Nyawa, Melawan VOC Dengan
Kekuatan Gaib
Samber
Nyawa. Begitulah sosok legendaris Jawa pendiri Pura Mangkunagaran di Surakarta
pada tahun 1757 itu dikenal namanya sampai kini.
Sepak
terjang serta keberaniannya dalam setiap pertempuran, baik melawan Sultan
Mangkubumi, Susuhunan Pakubuwana III, dan kompeni Belanda telah diakui oleh
para musuhnya.
Sebagai
seorang pangeran dengan nama Raden Mas Said atau Pangeran Mangkunagara I,
Samber Nyawa juga merupakan salah satu pemimpin militer paling berbakat dan
berpengalaman sepanjang sejarah Jawa. Dia memiliki pengikut yang loyal dan
pengagumnya sangat banyak.
Hal
inilah yang kerap membuat Belanda frustrasi menghadapi si Samber Nyawa yang
sejak usia 14 tahun telah berperang dengan kaum pemberontak dan terus berjuang
hingga tahun 1757, saat dirinya berumur 31 tahun.
Tapi,
kecerdikan serta keberanian Samber Nyawa, julukan yang menurut Serat Babad
Pakunagaran 1757 -otobiografi dalam bahasa Jawa paling kuno yang diketahui
sampai sekarang- serta Babad Tutur 1791, diambil dari panji perang yang
dinamakan Samber Nyawa.
Samber
Nyawa terkepung oleh tiga pasukan gabungan yang menginginkan kematiannya di
Pegunungan Kaduwang, 1756. Semua jalan ditutup rapat oleh tiga pasukan gabungan
tersebut. Samber Nyawa posisinya sangat terjepit. Bahkan penasihat utamanya,
Kudanawarsa, yang sedang terluka, sudah terlihat pasrah.
Dalam
posisi kalah secara strategi perang serta jumlah pasukan, Mangkunagara
memutuskan untuk tetap keluar dari daerah pegunungan tersebut. Bahkan, dia
melakukan serangan balik mematikan bagi para musuhnya.
Diceritakan
dari berbagai literatur, sang pangeran akhirnya berhasil lolos bersama sisa
pasukannya dari ketatnya pengepungan dikarenakan mengikuti burung-burung gagak
yang memimpinnya secara gaib keluar dari barikade rapat musuhnya.
Burung-burung
gagak itulah yang menunjukkan jalan keluar Samber Nyawa dan pasukannya melalui
sebuah jalan yang tidak ada satu manusia pun mengetahuinya selama itu.
Setelah
lolos dari kepungan maut, Samber Nyawa pun menyambar-nyambar nyawa musuhnya.
Desa Giyanti tempat persetujuan antara Mangkubumi dan VOC 1755 dibakarnya.
Mendekati daerah Mataram, mereka pun beraksi walaupun pasukannya saat itu masih
dilanda ketakutan serta meminta Mangkunagara untuk mundur.
Tapi
sang pangeran, seperti yang tercatat dalam otobiografi Serat Babad Pakunagaran,
menjawab dengan tegas.
"Walaupun
saya mati, kalau sudah menemui ajal, jangan jauh dari Mataram, tempat pemakaman
para leluhur saya. Mari kita bersama jangan menghitung mati, serahkan diri
kepada Allah, mari kita masuk api!”.
Tidak
selang setahun, pasukan Samber Nyawa pun membuat kasultanan yang dipimpin Sri
Sultan di Yogyakarta dan dibantu Belanda,kocar kacir. Pasukan Samber Nyawa
berperang seperti macan.
Tahun
1755 sampai 1757, perang Surakarta dan Mangkubumi berakhir. Mangkunagara pun
diundang untuk berdomisili di Surakarta dan diberi gelar Pangeran Miji, seorang
pangeran yang lebih tinggi derajatnya daripada semua pangeran lain.
Perdamaian
itu pun disetujui Belanda dengan alasan mereka sudah mengakui bahwa tidak
mungkin mencapai tujuan utama mereka selama ini kepada Mangkunagara yang
dianggap memiliki kekuatan gaib. Yakni membunuhnya.
Pada
28 Desember 1795 (atau Senen-Pon, 16 Jumadilakir, windu Adi, wuku Pahang,
mongsa Kapitu, tahun Jimakir 1722), Pangeran Mangkunagara I si Samber Nyawa
wafat di dalemnya di Surakarta. Dia dimakamkan di Mangadeg, di lereng Gunung
Lawu.