BIOGRAFI R. NGABEI RANGGAWARSITA
SULUK SUNGSANG BALIK
(DESA PALAR SUATU KETIKA)
Amenangi jaman edan
Ewuh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Dilalah karsaning Allah
Begja-begjane wong lali
Luwih begja kang eling lawan waspada.
Terjemahan Serat Kalatidha pupuh Sinom 7 karya Ranggawarsita tersebut, sebagai berikut :
//Menghadapi jaman gemblung/Serba repot dalam bersikap/Ikut nggemblung tak tega/Bila tak ikut nggemblung/Tidak mendapatkan jatah kepemilikan/Akibatnya menanggung lapar/Namun kehendak Allah/Seberuntung-beruntungnya orang lupa/Lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada//
Malam seketika hening seusai Nyai Tutur memupus lantunan tembangnya. Pupuh Sinom dalam Serat Kalatidha yang digubah Raden Ngabehi Ranggawarsita Kaping Telu. Pujangga pamungkas dari Surakarta yang masih merupakan benih pertemuan trah Kebo Kenanga dan Pangeran Tumenggung Sujanapura dari Pajang.
Di bawah beringin yang serupa raksasa berambut gimbal, Nyai Tutur duduk bersimpuh di atas hamparan tikar mendong. Mendongakkan wajahnya untuk menatap purnama yang berlapiskan kabut. Sejenak kemudian, Nyai Tutur memalingkan wajah keriputnya ke arah kuburan mendiang Ranggawarsita di Desa Palar yang serasa dingin dalam gigil itu. Segigil kehidupan sang pujangga di masa silam. Kehidupan yang mengajarkan bagi orang-orang untuk selalu eling dan waspada di tengah gebalau jaman gemblung.
Dalam diam, Nyai Tutur yang kembali teringat tentang kisah perjalanan hidup Ranggawarsita dari mendiang ayahnya Ki Wiracarita itu hanya menghela napas. Kisah hidup sang pujangga yang dapat dilukiskan seperti gunung. Semakin di puncak semakin heneng, hening, dan henung dalam terpaan angin kencang. Henang di balik kematiannya yang berselimutkan kabut kerahasiaan.
Seirama purnama yang hampir bersinggasana di titik langit terpuncak, malam merayap diam-diam. Tak ada suara yang tertangkap oleh jaring telinga Nyai Tutur, selain nyanyian serangga dan derik ular dari balik bebatuan di luar makam mendiang Ranggawarsita. Nyanyian malam yang seolah mengisyaratkan waktu terbaik bagi orang-orang untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Perlahan-lahan, Nyai Tutur beranjak dari hamparan tikar mendong. Langkah kakinya diarahkan lurus ke kuburan mendiang Ranggawarsita. Seusai membakar kemenyan, ia melafalkan doa. “Dhuh, Gusti Kang Hamurbeng Gesang. Hamba memohon pada-Mu untuk senantiasa mengampuni segala dosa sang pujangga! Lapangkanlah surganya! Berikan ketabahan bagi keluarga yang ditinggalkannya! Amin, amin, ya robal alamin.”
Nyai Tutur mengusap wajahnya yang berkeriput dengan kedua tapak tangannya. Meninggalkan kuburan mendiang Ranggawarsita. Melangkahkan kakinya menuju hamparan tikar mendong di bawah pohon beringin yang menggugurkan daun-daun kering. Bersimpuh sembari kedua tangannya sibuk melipat-lipat tiga lembar daun suruh yang telah dibubuhi selelet injet dan secuwil gambir.
Selagi mengunyah kinang, sepasang mata Nyai Tutur menangkap sesosok tubuh lelaki muda yang tengah berjalan menuju kuburan mendiang Ranggawarsita. Seolah tak berkedip, perempuan paruh baya itu mengawasi lelaki muda yang tampak khusyuk berdoa di kuburan sang pujangga.
Nyai Tutur tak bergeming, saat lelaki muda yang seusai berdoa di kuburan mendiang Ranggawarsita itu menghampirinya. Dengan nada ramah, perempuan paruh baya yang sedikit menggeser pantatnya itu mempersilakan lelaki muda itu untuk duduk di tikar mendongnya.
“Terima kasih, Nyai.” Lelaki muda itu meletakkan pantatnya di atas tikar mendong. Menjabat tangan Nyai Tutur erat-erat. “Perkenalkan, Nyai. Namaku Pangripta Lelana. Aku datang dari Kampung Yasadipuran. Kalau boleh tahu, siapa nama Nyai?”
“Orang-orang Palar memanggilku Nyai Tutur, Nak.”
“Apakah Nyai Tutur, peziarah dari jauh?”
“Tidak, Nak. Aku tinggal di desa ini. Sekalipun aku punya gubug buat mengistirahatkan tubuhku yang mulai renta ini, namun aku selalu menghabiskan malam-malamku untuk tirakat di sini. Itu pesan leluhurku.”
“Kenapa demikian, Nyai?”
“Agar aku dapat mengenang kehidupan sang pujangga Ranggawarsita. Seorang yang berhasrat besar untuk menjadikan negeri ini semakin beradab. Sekalipun beliau harus berakhir menelan kekalahan oleh kebiadaban jaman gemblung. Meninggal sesudah memuntahkan darah hitam dari lubang mulutnya. Darah yang baunya seanyir kebusukan jaman.”
“Kebusukan jaman yang mencerminkan bangkai peradaban itu hanya memanjakan lalat-lalat dan belatung-belatung nagari untuk hidup makmur. Sementara sang pujangga yang ingin membakar bangkai itu harus disingkirkan dengan cara keji. Bukankah demikian?”
“Begitulah kenyataannya.” Nyai Tutur tersenyum dingin. Meludahkan dubang dari mulutnya ke tanah. “Oh, ya. Selama ini, aku belum pernah melihat Nak Lana berziarah di sini.”
“Benar, Nyai. Memang baru pertama kali ini, aku berziarah di makam sang pujangga. Itupun karena aku ingin memenuhi panggilan hidup. Mengabadikan riwayat hidup sang pujangga ke dalam sebuah kitab.”
“Tujuanmu sangat mulia. Apa yang bisa aku bantu?”
“Bila Nyai Tutur mengetahui tempat tinggal Ki Wiracarita di Desa Palar ini, tunjukkan padaku! Aku ingin menghadap beliau. Karena menurut bisikan yang aku terima di makam Yasadipura di Desa Pengging itu, bahwa hanya beliau yang dapat menuturkan riwayat hidup sang pujangga.”
“Betapa sayang, Nak!” Wajah Nyai Tutur sontak serupa purnama bercadarkan awan tipis. “Nak Lana tak lagi dapat menghadap Ki Wiracarita. Beliau telah meninggal beberapa tahun silam.”
Mendengar penuturan Nyai Tutur, Pangripta Lelana sontak menghela napas. “Kalau begitu, Nyai. Kedatanganku di Desa Palar ini hanya sia-sia. Hasratku untuk mengabadikan kisah hidup sang pujangga hanya berakhir sebagai impian terindah yang pupus saat pagi tiba.”
“Mimpi terindahmu itu akan terwujud, Nak.”
“Maksud Nyai?”
“Kalau hanya kisah perjalanan hidup sang pujangga Ranggawarsita, aku dapat menceritakannya.”
“Sungguh, Nyai?”
Nyai Tutur hanya menganggukkan kepala.
“Terima kasih, Nyai,” jawab Pangripta Lelana dengan nada riang. “Kalau begitu ceritakan padaku tentang kisah perjalanan hidup sang pujangga itu, Nyai! Sudah tidak sabar aku ingin menyimaknya.”
“Bersabarlah, Nak! Karena aku akan menceritakan kisah sang pujangga itu tidak sekarang.”
“Kenapa, Nyai?”
“Kau tampak sangat lelah dan mengantuk. Tidurlah, Nak! Sesudah tubuh dan jiwamu kembali segar, aku akan penuhi janjiku itu.”
Mendengar perkataan Nyai Tutur, Pangripta Lelana perlahan-lahan merebahkan tubuhnya di atas hamparan tikar mendong. Tak seberapa lama, anak muda itu telah memejamkan mata dan terlelap dalam tidur. Sementara perempuan paruh baya itu masih berjaga. Hingga langit jingga di ufuk timur kembali mengingatkan kalau pagi telah tiba.
Matahari setinggi tombak. Cahayanya menebar ke seluruh permukaan ladang-ladang jagung yang menghampar hijau di tepian Desa Palar. Burung-burung yang hinggap pada pohon beringin di tepian kuburan mendiang Ranggawarsita itu berkicauan lepas. Sebagaimana orang-orang, burung-burung itu seperti tak ada beban dalam memaknai hari dengan suka cita.
Seusai menyapu dedaunan beringin kering yang berhamburan di tanah, Nyai Tutur dan Pangripta Lelana meninggalkan kuburan mendiang Ranggawarsita. Melangkahkan kaki beriringan menuju gubug yang tak jauh dari makam itu. Seusai memasuki ruangan depan gubug itu, mereka duduk di ambenan bambu.
“Nak Lana….”
“Ya, Nyai.”
“Mandilah dulu di sumur belakang! Biar tubuhmu menjadi segar!”
Pangripta Lelana beranjak dari amben. Keluar dari gubug. Melangkahkan kaki menuju sumur di belakang gubug itu. Seusai menimba tujuh ember air untuk dituang ke dalam kolah yang berpagar rangkaian bleketepe, Pangripta Lelana memasuki kamar mandi. Telanjang. Jongkok di depan kolah. Menyiramkan segayung demi segayung air ke tubuhnya yang terasa lekat dan bau.
Pangripta Lelana telah mengenakan pakaiannya kembali. Dengan tubuh yang terasa segar, Pangripta Lelana keluar dari kamar mandi. Kembali memasuki gubug itu. Duduk di ambenan bambu yang di sampingnya telah tersaji secangkir minuman teh panas dan setambir kecil jagung rebus.
“Silakan dinikmati hidangannya, Nak!”
“Terima kasih, Nyai.” Pangripta Lelana meraih gagang cangkir yang berisi teh panas. Seusai meniupnya berulangkali, ia mereguk minuman teh itu. Kehangatan minuman itu perlahan-lahan menghangatkan sekujur badannya. “Oh ya, Nyai. Bukankah Nyai Tutur telah berjanji padaku untuk menceritakan kisah perjalanan hidup sang pujangga Ranggawarsita?”
“Aku tak akan mengingkari janjiku itu, Nak.” Nyai Tutur memasukkan lipatan tiga lembar daun suruh yang telah dibubuhi leletan injet dan secuwil gambir ke dalam mulutnya. Mengunyah-ngunyah kinang itu dengan giginya yang masih utuh. “Apakah kau sudah siap menyimak kisah perjalanan hidup sang pujangga?”
“Ya, Nyai.” Pangripta Lelana meletakkan cangkirnya yang masih menyisakan separuh minuman teh. “Segeralah bercerita, Nyai! Aku ingin mendengarnya dari awal hingga akhir kisah itu.”
Nyai Tutur terdiam sesaat untuk mengatur keluar-masuknya napas. Dalam diam, ia kembali mengenang perjalanan hidup sang pujangga Ranggawarsita yang pernah dikisahkan mendiang ayahnya – Ki Wiracarita. Seusai meludahkan dubang ke dalam kecohan, ia yang serupa seorang ahli tutur itu memulai kisahnya dengan sepenuh penghayatan.
KELAHIRAN BAGUS BURHAM
Pamintaku nimas sida asih
Antut runtut tansah reruntungan
Ing sarina sawengine
Datan ginggang sarambut
Lamun adoh cakete ati
Yen celak tansah mulat
Sida asih tuhu
Pindha mimi lan mintuna
Ayo nimas bareng hanetepi wajib
Sida asih bebrayan.
Terjemahan tembang Dhandhanggula Padasih tersebut, sebagai berikut :
//Harapanku dalam hidup berumah tangga dinda/Selalu rukun dan saling membutuhkan satu sama lain/Baik siang maupun malam/Tak terpisahkan sejengkalpun/Bila jauh dekat di hati/Bila dekat selalu saling memperhatikan/Itulah kehidupan suami-istri yang sesungguhnya/Seperti mimidan mintuna/Marilah dinda untuk bersama memenuhi kewajiban/Hidup berumah tangga yang penuh cinta dan kasih//.
Tembang yang barusan Kangmas Sudira lantunkan itu sungguh membuatku terlena." Nyi Ageng Pajangswara yang berbaring di samping Sudiradimeja itu melontarkan senyuman manis dari setangkup bibir mawarnya. Perlahan-lahan putri Suradirja Gantang itu memiringkan tubuhnya, hingga wajahnya dapat menangkap dada bidang Sudiradimeja yang berbulu. "Sungguhkah Kangmas Sudira mencintaiku sampai kaken-ninen?"
"Tak hanya sampai kaken-ninen. Namun cintaku pada Diajeng Pajangswara sampai delahan."
"Semoga apa yang Kangmas katakan itu tulus dari hati. Karena kenyataannya, banyak lelaki yang mengucapkan kata cinta pada wanita hanya sedangkal bibirnya. Tak sampai sedalam jiwanya. Bahkan kata cinta lelaki itu hanya dijadikan kunci untuk menggagahi tubuh wanita. Ibarat kekupu. Sesudah mendapatkan sari bunga, lelaki itu pergi untuk mencari bunga yang baru."
"Tapi, lelaki yang kau lambangkan sebagai kekupu itu bukanlah aku! Percayalah, Diajeng! Cintaku itu seperti lentera dalam malammu. Detak dalam jantungmu. Merah dalam darahmu."
"Ya, Kangmas. Melalui pancaran kedua matamu, aku dapat menangkap cahaya cintamu yang meneduhkan jiwaku malam ini."
"Syukurlah, Diajeng."
Nyi Ageng Pajangswara meletakkan tapak tangan yang selembut sutra itu ke dada bidang berbulu Sudiradimeja, hingga detak-detak cinta lelaki pujaannya itu dapat dirasakan oleh kepekaan nalurinya. Hingga kehangatan tubuh lelaki pujaannya itu serasa kehangatan api unggun di ujung malam musim kemarau. Menghangatkan tubuhnya yang mulai kedinginan.
Menangkap makna di balik usapan tapak tangan Nyi Ageng Pajangswara di dadanya, Sudiradimeja perlahan-lahan memiringkan tubuhnya. Menyibak rambut, mendekap erat tubuh, dan mencium lembut kening istrinya. Keduanya kemudian menyatu dalam satu pagutan.
Tiga bulan sesudah malam pengantin, hati Sudiradimeja berbunga-bunga. Manakala Nyi Ageng Pajangswara yang sering muntah-muntah di pakiwan itu mulai mengidam ikan laut dan buah-buahan. Tidak hanya apel yang berasa manis, namun pula jambu air, kedondong, belimbing, kokosan, duku, kemundung, pakel, dan mangga mentah.
Pada bulan kehamilan Nyi Ageng Pajangswara yang ketujuh, harapan Sudiradimeja untuk mendapatkan buah hati semakin tampak di ujung mata. Pada waktu itulah, sepasang suami-istri itu bersiaga untuk melakukan upacara mitoni. Suatu upacara yang dimaksudkan agar si jabang bayi kelak lahir selamat. Diharapkan agar sesudah dewasa, jabang bayi itu menjadi manusia pinunjul yang berguna bagi nusa, bangsa, dan negaranya.
Menjelang malam upacara mitoni, perempuan-perempuan yang tinggal di sekitar Dalem Yasadipuran sibuk memersiapkan ubarampe. Sepasang kelapa gading yang bergambar wayang Arjuna dan Dewi Subadra, sesaji, pengaron-pengaron berisi air kembang setaman, serta tujuh macam jarik yang masih baru.
Selepas waktu isya', upacara mitoni dilaksanakan di halaman pendapa Dalem Yasadipuran. Bermula dari Tumenggung Sastranegara, Ki Suradirja Gantang, hingga kelima sesepuh yang mengenakan blangkon dhepes, beskap putih, dodot cinde, jarik, dan pendok itu menyiramkan segayung air kembang setaman ke tubuh Nyi Ageng Pajangsawara dan Sudiradimeja. Seusai upacara siraman, Nyi Ageng Pajangswara menyalin jarik basahan dengan enam macam jarik baru. Sebelum jarik ketujuh yang dianggap pantas itu dikenakannya.
Di halaman pendapa Dalem Yasadipuran yang basah air kembang setaman itu; orang-orang tersentak manakala menyaksikan wajah Nyi Ageng Pajangswara yang telah mengenakan jarik kawung dan kebaya baru warna kuning gading itu tampak bercahaya. Hingga mereka berkata dalam hati, bahwa istri Sudiradimeja itu tengah dijelmai Sang Hyang Bathari Widhawati. Bidadari tercantik yang pernah menjelma ke dalam raga Dewi Shinta dan Wara Subadra.
Upacara mitoni telah usai. Halaman Dalem Yasadipuran telah sepi dari orang-orang. Namun di ruangan pendapa; Tumenggung Sastranegara, Ki Suradirja Gantang, Sudiradimeja, dan para sesepuh masih berbincang sembari menikmati hidangan, sigaret, dan kinang. Perbincangan semakain hidup, manakala para pengageng Kasunanan Surakarta yang baru saja hadir itu turut terlibat di dalamnya.
Saat kokok ayam jantan pertama, pendapa Dalem Yasadipuran kembali sepi. Para sesepuh dan pengagengdari Kasunanan Surakarta itu telah pulang ke rumahnya masing-masing. Dalam suasana sepi, Sudiradimeja memasuki ruangan tidurnya. Menatap wajah Nyi Ageng Pajangswara yang telah tertidur pulas itu dalam-dalam. Wajah seorang dewi yang bakal melahirkan putra pinunjul. Bagaikan matahari emas yang bakal dimuntahkan dari rahim bumi.
Kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan menandakan bila waktu telah menginjak titik titi yoni. Waktu di mana malam akan kembali menyerahkan matahari yang disandranya itu kepada sang fajar. Waktu yang membangunkan orang-orang di sekitar Dalem Yasadipuran. Manakala pintu rumah mereka diketuk Tanujaya. Abdi kinasih Tumenggung Sastranegara yang mengabarkan bahwa Nyi Ageng Pajangswara telah melahirkan seorang bayi laki-laki.
Pagi masih buta. Namun Dalem Yasadipuran telah diramaikan oleh orang-orang Kampung Yasadipuran. Perempuan-perempuan memenuhi ruangan pringgitan dan dalem jero. Sementara, laki-laki memenuhi ruangan pendapa. Mereka mengucapkan selamat pada Sudiradimeja, Nyi Ageng Pajangswara, dan Tumenggung Sastranegara atas kelahiran bayi lelaki itu.
Selepas matahari terbit di ufuk timur, sebagian orang-orang itu kembali ke rumahnya masing-masing. Sementara, sebagian perempuan yang tertinggal di dalam dapur Ndalem Yasadipuran sibuk membuat brokohan. Serangkaian menu yang terdiri nasi duk, gudangan, telur ayam rebus, pisang raja, dan jajan pasar untuk dibagi-bagikan pada tetangga kiri-kanan.
Malam harinya, sesepuh-sesepuh berdatangan di pendapa Dalem Yasadipuran untuk melakukan jagongan atas kelahiran bayi lelaki Sudiradimeja. Mereka yang mengenakan blangkon, surjan, dan sarung itu duduk bersila di gelaran tikar mendong dengan tubuh bersinggungan pada sisi tembok ruangan pendapa.
Seusai Tanujaya beserta kaneman dari Kampung Yasadipuran itu menyajikan hidangan yang berupa minuman teh dan aneka nyamikan, acara jagongan diawali dengan sambutan Ki Demang Branjang. Seorang sesepuh yang dipercaya oleh keluarga besar Tumenggung Sastranegara sebagai wakil tuan rumah.
"Para sepuh yang terhormati. Atas nama keluarga Gusti Tumenggung Sastranegara, kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran para sepuh untuk mangayubagya atas kelahiran putra Nakmas Sudiradimeja. Karenanya, sebelum acara macapatan yang dimaksudkan untuk menebarkan getar-getar petuah luhur pada si jabang bayi, terlebih dahulu kita nikmati hidangan yang telah tersaji di hadapan kita. Mangga kula dherekaken."
Disertai Demang Branjang, para sesepuh yang berkumpul di ruangan pendapa itu menikmati hidangan. Selang beberapa saat, acara macapatan pada malam jagongan pertama itu dimulai. Satu per satu dari mereka mengidungkan syair-syair tembang macapat yang bermula dari pupuh Mijil, Sinom, Asmarandana, Pangkur, Gambuh, Kinanthi, Durma, Dhandhanggula, Megatruh, Pucung, hingga Maskumambang dengan penuh penjiwaan.
Malam demi malam, pendapa Dalem Yasadipuran dipenuhi orang-orang yang melakukan jagongan. Dengan suka cita, mereka melakukan tirakatan sambil mengidungkan tembang-tembang macapatan demi jabang bayi Sudiradimeja. Bayi yang konon sewaktu dilahirkan oleh Nyi Ageng Pajangswara itu memancarkan cahaya di wajahnya. Sebagaimana cahaya matahari di kala pagi.
Tidak terasa bagi orang-orang Kampung Yasadipuran, kalau malam jagongan telah menginjak pada malam ketujuh. Malam terakhir di mana Sudiradimeja akan memberikan nama pada jabang bayi. Pemberian nama yang kemudian akan mendapatkan kesaksian dari Tumenggung Sastranegara, Ki Suradirja Gantang, Panembahan Buminata, Sri Susuhunan Pakubuwana, dan para sesepuh lainnya.
"Kangjeng Sri Susuhunan Pakubuwana yang hamba hormati siang dan malam. Adi Panembahan Buminata, Rama Tumenggung Sastranegara, Rama Suradirja Gantang, dan para sepuh yang kami hormati. Sudilah kiranya Kangjeng Sri Susuhunan Pakubuwana dan para sepuh menjadi saksi, bahwa putra kami yang genap berusia tujuh hari ini....." Sudiradimeja menghirup semilir angin beraroma kasturi yang menerobos melalui pintu pendhapa yang terbuka. Melafalkan kalimah bismillah dengan sepenuh jiwa sembari menatap wajah si jabang bayi yang tertidur pulas di pangkuannya. "Kami beri nama, Bagus Burham."
"Nama yang sangat bagus, Sudiradimeja!" Sri Susuhunan Pakubuwana yang menjadi tamu istimewa pada malam jagongan terkahir itu mengangguk-anggukkan kepala sembari setangkup bibirnya menyunggingkan senyuman madu. "Semoga langit dan bumi turut menjadi saksi."
"Terima kasih, Kangjeng Sunan."
"Sudiradimeja!"
"Hamba, Kanjeng Sunan."
"Tak ada yang pantas aku sumbangkan padamu malam ini, selain Kidung Hartati. Semoga getar-getar pesannya kelak menjadi bekal Bagus Burham untuk selalu berbakti pada kedua orang tuanya yang telah mengukir jiwa dan raganya. Apakah kau berkenan menerima sumbanganku ini?"
"Dengan senang hati, Kanjeng Sunan."
Tanpa melontarkan sepatah kata, Sri Susuhunan Pakubuwana membuka Serat Hartati pupuh Pangkur. Seusai mengatur keluar-masuknya napas, raja Kasunanan Surakarta itu mulai mengidungkannya.
"Ki Hartati medhar sabda
Sadurunge kaki sira dumadi
Aneng pundi dunungipun
Yektine saking ora
Bapa biyung dadi lantaran tumuwuh
Tan nedya yoga mring sira
Mung nekaken hardeng kapti.
Tibaning kang rahsa mulya
Neng manikem urip lawan pribadi
Bunder samrica binubut
Kumedut salaminya
Sumrambah ing angga bisa dadi wujud
Bayi lair ing wetengan
Dadi manungsa sejati."
Terjemahan Serat Hartati pupuh Pangkur yang dikutip dari Serat Centhini jilid III adalah sebagai berikut :
//Ki Hartati bersabda/Sebelum kau hidup/Di mana tempat persinggahanmu/Sesungguhnya tiada lain/Ayah dan ibu telah menjadi perantara/Meski tak berhasrat mendambakan sebagai putra/Selain hanya mengikuti hasrat asmaranya//Menetesnya benih /Ke dalam rahim kehidupan dan kepribadian/Berbentuk bulat sebesar lada/Berdenyut selamanya/Menjalar ke seluruh tubuh/Hingga terwujudnya/Bayi di dalam kandungan/Menjelma sebagai manusia sejati//.
Usai Serat Hartati itu dikidungkan Sri Susuhunan Pakubuwana, suasana di ruangan pendapa sejenak hening. Namun tak seberapa lama, suasana itu dipecahkan oleh tangisan lantang bayi Bagus Burham. Tangisan yang mereka tangkap sebagai ungkapan hati akan betapa beratnya untuk hidup sebagai manusia sejati. Manusia yang harus memiliki kesentosaan jiwa. Laksana karang di tengah lautan zaman yang penuh amuk gelombang dan badai.
Bayi Bagus Burham yang beralih di gendongan Nyi Ageng Pajangsawara dari pangkuan Sudiradimeja itu telah terdiam dari tangisnya. Manakala bayi itu telah lelap dalam hangat gedongan di atas ranjang samping ibunya, acara macaptan di ruangan pendapa Dalem Yasadipuran kembali dilanjutkan. Satu per satu dari mereka mengidungkan tembang-tembang karya para leluhur Jawa yang menebarkan aura kedamaian bagi jiwa.
Selepas jam gandul yang melekat di dinding pendapa itu berkeleneng duabelas kali, acara macapatan diakhiri dengan doa bersama. Suasana berubah sunyi, sesudah Sri Susuhunan Pakubuwana dan para sesepuh Kampung Yasadipuran itu berpamitan dengan Tumenggung Sastranegara, Suradirja Gantang, dan Sudiradimeja. Pulang ke tempat tinggalnya masing-masing.
Detik-detik yang merangkak melintasi titik-titik menit telah berubah menjadi jam. Jam-jam yang bergerak melintasi titik-titik hari telah berubah menjadi minggu. Minggu-minggu berubah menjadi bulan. Bulan-bulan berubah menjadi tahun. Hingga tidak terasa bagi Tumenggung Sastranegara, bila Bagus Burham cucunya itu telah genap berusia duabelas tahun.
Tumenggung Sastranegara merasa senang bila melihat perkembangan tubuh Bagus Burham yang sempurna. Kulit anak itu bersih kuning nemu giring. Wajahnya tampak bersinar. Kedua matanya berkilauan seperti bintang kembar. Gerakannya sangat lincah dan seolah tak mengenal lelah. Di mata sang tumenggung, Bagus Burham memiliki raga dan jiwa yang sangat sentosa. Memiliki otak yang cemerlang. Hinga ia selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Terkadang sesuatu itu bertentangan dengan ajaran-ajaran leluhurnya.
Berlainan dengan Sudiradimeja yang selalu membatasi gerak-gerik Bagus Burham, Tumenggung Sastranegara lebih memanjakan anak itu. Segala kemauannya dituruti. Sang tumenggung tak selalu memberikan apa yang diminta cucunya itu. Tidak hanya mainan, namun pula uang. Bahkan ia tak pernah marah, saat cucunya itu diconangi telah mencuri uang dari slepen-nya. Buat berjudi dadu dan bersabung jago bersama Tanujaya dari Kampung Yasadipuran hingga ke kampung-kampung di tlatah Kasunanan Surakarta.
Mendengar desas-desus tentang perilaku buruk Bagus Burham dari orang-orang Kampung Yasadipuran, Tumenggung Sastranegara hanya terdiam. Bahkan sang tumenggung hanya mengangap bahwa perilaku buruk cucunya itu sekadar bentuk kenakalan seorang bocah yang ingin tahu tentang segala hal. Ia pun tak pernah marah, sekalipun cucunya yang disertai Tanujaya saat berjudi dadu dan bersabung jago itu pulang dengan membawa kekalahan. Seluruh uang di saku baju dan celananya habis terkuras di arena perjudian.
"Ramanda Tumenggung...." Sudiradimeja yang tengah menghadap Tumenggung Sastranegara di ndalem jero pagi itu tampak menunjukkan rasa kekecewaannya. "Aku heran. Kenapa Ramanda selalu membiarkan perilaku buruk Burham? Bahkan Ramanda selalu memberikan uang pada Burham untuk berjudi dadu dan taruhan di arena sabung jago itu? Apakah Ramanda senang bila Burham kelak menjadi penjudi yang bila mengalami kekalahan selalu bermata buta untuk mencuri dan merampok harta dan benda orang lain?"
"Sabar! Sabar, anakku!"
"Tidak, Ramanda. Dalam hal ini, aku tak bisa sabar." Wajah Sudiradimeja berubah bagai piringan tembaga yang terbakar. "Terus terang, Ramanda. Bila Ramanda Tumenggung selalu membiarkan Burham untuk mengembangkan perilaku buruknya itu, lebih baik aku harus mengambil tindakan. Memasung Burham di dalam senthong."
"Apa? Memasung Burham?"
Rekaman video. Siswi melahirkan di kelas
Recommended by
Tanpa melontarkan sepatah kata, Sudiradimeja yang bekerja sebagai carik di Kasunanan Surakarta itu meninggalkan ndalem jero. Setiba di halaman pendhapa, ia melangkahkan kakinya menuju gedhogan. Mengeluarkan kuda hitamnya. Seusai duduk di gigir kuda itu, ia melari-kencangkannya ke arah istana Kasunanan Surakarta. Berkerja pada Sri Susuhunan Pakubuwono sebagaimana hari-hari sebelumnya.
Selepas Sudiradimeja, Tumenggung Sastranegara meninggalkan ndalem jero. Menuju samping kiri dapur Ndalem Yasadipuran. Menghampiri Bagus Burham dan Tanujaya yang tengah memandikan jagonya. "Burham! Mulai hari ini, kau tak boleh bersabung jago, dan bermain dadu."
"Kenapa, Kek? Bukankah selama ini, Kakek tidak pernah melarangku untuk bersabung jago dan bermain dadu?"
"Rama-mu tadi marah-marah padaku atas perilaku burukmu yang suka bersabung jago dan bermain judi itu. Karenanya hentikan perilaku burukmu itu, bila kau tak ingin dipasung oleh ayahmu di dalam senthong!"
Mendengar penuturan Tumenggung Sastranegara, wajah Bagus Burham tampak seperti matahari yang terperangkap awan tipis. "Baiklah, Kek. Aku tidak akan bersabung jago dan bermain judi lagi. Asal Kakek memenuhi permohonanku."
"Apa yang menjadi permohonanmu?"
"Berikanlah aku uang, Kek! Lebih baik, aku pergi dari rumah. Ketimbang dipasung di dalam senthong lantaran perilaku burukku itu."
"Aku penuhi permohonanmu, Burham." Tumenggung Sastranegara memalingkan wajahnya ke arah Tanujaya yang barusan memasukkan jago Bagus Burham ke dalam kurungannya. "Tanujaya! Ikutlah aku sebentar!"
Tanpa berpikir panjang, Tanujaya mengikuti langkah Tumenggung Sastranegara. Meninggalkan Bagus Burham yang masih berdiri sendirian di tepian kurungan jagonya. Menuju ruang pendhapa. Berdiri dengan wajah setengah tertunduk di hadapan Tumenggung Sastranegara yang telah duduk di kursi jati berukir warna coklat tua itu.
"Tanujaya...."
"Hamba Gusti Nggung."
"Sesungguhnya aku merasa keberatan bila Burham harus meninggalkan Ndalem Yasadipuran. Namun demi masa depan Burham, aku terpaksa mengabulkan permohonan cucuku itu."
"Mohon ampun, Gusti Nggung! Bagaimana masa depan Gus Burham akan lebih baik, bila Gusti Nggung membiarkan ia pergi tanpa juntrung?"
"Jangan berpikir bodoh, Tanujaya! Karenanya sebagai pemomong, kau harus membawa Burham ke tempat yang tepat! Bawalah ia ke pondok pesantreng Gebang Tinatar di Desa Tegalsari! Mudah-mudahan Kakang Imam Besari dapat mendidik Burham sebagai manusia yang berguna."
"Jadi maksud Gusti Nggung, hamba harus membawa Gus Burham ke pondok pesantren Gebang Tinatar? Menyerahkan Gus Burham pada Kiai Imam Besari?"
"Tepat, Tanujaya. Ah.... Sebentar!" Tumenggung Sastranegara beranjak dari kursi. Menuju ruang kamar pribadinya. Sesudah menulis surat untuk Kiai Imam Besari dan mengambil dua kantong mori yang berisi uang, Tumenggung Sastranegara kembali memasuki ruangan pendhapa. "Tanujaya...."
"Hamba, Gusti Nggung."
"Sampaikan surat ini pada Kakang Imam Besari!"
"Perintah Gusti Nggung akan hamba laksanakan."
"Selain itu, Tanujaya. Terimalah dua kantong mori berisi uang ini sebagai perbekalanmu dan perbekalan Burham! Bawalah kuda sebagai kendaraanmu menuju pondok pesantren Gebang Tinatar!"
Sepeninggal Tanujaya dari ruangan pendhapa, Tumenggung Sastranegara menuju halaman untuk melepaskan kepergian Tanujaya dan Bagus Burham cucunya. Air mata meleleh di pipi Tumenggung Sastranegara yang mulai berkeriput, saat ia menyaksikan kuda yang dikendarai Tanujaya dan Bagus Burham itu meninggalkan halaman Ndalem Yasadipuran. Menuju pondok pesantren Gebang Tinatar. Tanpa sepengetahuan Sudiradimeja yang tengah bekerja di istana Kasunanan Surakarta. Tanpa sepengetahuan Nyi Ageng Pajangswara yang tengah berkunjung di rumah orang tuanya Ki Suradirja Gantang di Desa Palar.
Tanpa memperdulikan terik matahari yang terasa membakar ubun kepala, Tanujaya yang membawa Bagus Burham menuju pondok pesantren Gebang Tinatar itu melaju-kencangkan kudanya. Meniti jalanan tanah coklat yang sontak mengepulkan debu musim kemarau. Setiba di tepian sungai kecil di Desa Sukoharja, Tanujaya menghentikan laju kudanya. Bersama Bagus Burham, ia turun dari gigir kuda.
Tanpa kudanya, Tanujaya yang disertai Bagus Burham menuruni jalan setapak menuju sungai kecil. Seusai membasuh kaki, tangan, dan wajahnya yang lekat dengan keringat, mereka menaiki jalan setapak itu. Menuju bawah pohon randu berdaun rimbun di tepian sungai. Duduk di tanah untuk melepas lelah. Mengisi perutnya dengan nasi berlauk wader goreng yang dibawa dari Ndalem Yasadipuran.
Semilir angin bertiup dari arah timur. Di depan sepasang mata Bagus Burham, Tanujaya yang kemudian membuka bajunya lantaran keringat semakin membasahi tubuh kerempengnya itu bersandar pada pohon randu. Melaras suasana siang yang teriknya perlahan-lahan diredam semilir angin. Melantunkan tembang Sinom dengan suara sangat parau.
"Nuladha laku utama, tumrape wong tanah Jawi, wong agung ing Ngeksiganda, Panembahan Senapati, kapati amarsudi,sudanen hawa lan napsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang-ratri, amangun karyenak tyasing sesami. Samangsane pasamuan, mamangun marta martini, sinambi ing saben mangsa, kala kalaning asepi, lelana teki-tekil, gayuh geronganing kayun, kayungyun eningin tyas, sanityasa pinrihatin, puguh panggah cegah dhahar lawan nendra. Saben mendra saking wiswa, lelana laladan sepi, ngingsep sepuhing supana, mrih pana pranawan kapti, tis tising tyas marsudi, mandawaning budya tulus, mesu reh kasudarman, neng tepining jala nidhi Sruning brata kataman wahyu jatmika...."
"Sudah! Sudah, Paman Tanujaya!" pinta Bagus Burham sambil tertawa ngakak. "Tembang itu sesungguhnya memiliki makna yang pantas direnungkan bagi pengelana. Sebagaimana, kita sekarang ini. Namun karena suara Paman sangat parau, bukannya membuat aku ingin merenungkan maknanya. Melainkan ingin mentertawi cara Paman melantunkan tembang itu."
"Maaf, Gus! Bila Gus Burham tak berkenan untuk mendengarkan tembang yang barusan hamba lantunkan."
"Sudahlah, Paman! Kata-kataku tadi tidak perlu dimasukkan ke dalam hati. Sebaiknya, kita segera tinggalkan tempat ini. Bukankah pondok pesantren Gebang Tinatar masih jauh?"
"Baiklah, Gus." Tanujaya beranjak dari duduknya. "Mari kita lanjutkan perjalanan! Mumpung matahari telah bergulir ke barat, Gus."
Tanpa sepatah kata yang terlontar dari setangkup mungil bibirnya, Bagus Burham beranjak dari duduknya. Mengikuti langkah Tanuju ke arah kuda yang masih menyantap rumputan liar. Seusai Tanujaya melompat ke gigir kuda, Bagus Burham mengikutinya. Duduk di gigir kuda di belakang Tanujaya. Tak seberapa lama, kuda yang telah menyeberangi sungai kecil itu kembali berlari kencang. Meninggalkan Desa Sukoharjo.
Matahari sore menebarkan cahaya layung di tepian tlatah Blora. Tanpa berpikir jauh, Tanujaya membelokkan langkah kudanya ke arah rumah seorang jagabaya. Setiba di halaman rumah itu, Tanujaya beserta Bagus Burham turun dari kuda. Mencencang kuda itu pada sebatang pohon sawo. Mengetuk pintu gebyok pendhapa rumah joglo yang dibiarkan terbuka oleh pemiliknya itu. Mengucap salam pada jagabaya yang tengah melaras sore dengan menikmati anggungan perkutut, teh tubruk kental dan panas, dan sigaret menyan di ruangan pendhapa itu. "Kula nuwun! Kula nuwun, Ki!"
"Mangga!" Jagabaya beranjak dari kursi kayu. Melangkah menuju pintu. "Mari-mari! Silakan masuk!"
"Terima kasih, Ki." Disertai Bagus Burham, Tanujaya mengikuti langkah jagabaya. Memasuki ruangan pendhapa. Duduk di salah satu kursi yang menghadap lurus ke arah kursi jagabaya. "Maaf, Ki! Kami berdua telah memberanikan diri untuk datang di rumah Aki."
"Tak mengapa, Kisanak." Jagabaya tertawa dingin sembari memandang Tanujaya dan Bagus Burham dengan penuh curiga. "Oh ya, Kisanak. Bolehkah aku tahu siapa nama Kisanak ini? Datang dari mana?"
"Perkenalkan, Ki. Namaku Tanujaya. Abdi kinasih Gusti Tumenggung Sastranegara dari Kampung Yasadipuran, Surakarta."
"Lantas.... Siapakah lelaki berusia belia yang duduk di samping Kisanak Tanujaya itu? Apakah putra Kisanak?"
"Bukan!" jawab Tanujaya singkat dan tegas. "Ketahuilah, Ki! Ia adalah putra Gusti Sudiradimeja. Dialah cucu Gusti Tumenggung Sastranegara yang lahir dari Nyi Ageng Pajangswara."
"O..., o..., o...." Jagabaya mengangguk-anggukkan kepala seperti perkutut yang tengah manggung di sangkar di bawah atap sudut ruangan pendhapa itu. "Benarkah apa yang dikatakan Kisanak Tanujaya itu, Nak Mas?"
"Benar, Paman. Namaku Burham. Nama Paman siapa?"
"He..., he..., he...." Jagabaya tertawa lepas. "Reksa Sentana."
"Maaf, Ki." Tanujaya menyela pembicaraan. "Kalau menilik namanya, apakah Aki seorang yang memiliki kedudukan sebagai jagabaya di desa ini?"
"Pertanyaan Kisanak Tanujaya sudah mengandung jawabannya. Akulah jagabaya di desa ini." Reksa Sentana tertawa ringan. "Oh, ya. Apa tujuan Kisanak Tanujaya datang di rumahku ini?"
"Bila diperkenankan, Ki. Aku dan Gus Burham ini ingin menginap barang semalam di sini. Sebelum esok pagi, kami harus melanjutkan perjalanan."
"Tentu, aku perkenankan. Asal...."
"Asal apa, Ki?"
"Kisanak Tanujaya bersedia membayar."
"Tentu, Ki. Kami akan membayarnya."
"Bagus!" wajah Reksa Sentana tampak sumringah. Tak seberapa lama, Reksa Sentana memanggil pelayan perempuannya yang tengah menyapu di halaman pendhapa itu dengan suara lantang. "Darsi!"
"Ya, Tuan." Darsi menghentikan pekerjaannya. Seusai menyandarkan sapu lidi di dinding luar pendhapa samping pintu gebyog itu, Darsi menghadap Reksa Sentana. "Ada apa, Tuan?"
"Antarkan Kisanak Tanujaya dan Nak Mas Burham ini ke dua kamar kosong di ndalem jero! Mereka berdua ingin menginap semalam di sini."
"Perintah Tuan akan aku laksanakan." Darsi memalingkan wajahnya ke arah Tanujaya dan Bagus Burham. "Mari Kisanak! Ikut aku! Akan aku tunjukkan kamar Kisanak berdua."
Disertai Bagus Burham, Tanujaya beranjak dari kursi. Mengikuti langkah Darsi. Memasuki ndalem jero.
Seusai Tanujaya dan Bagus Burham memasuki kamarnya masing-masing, Darsi kembali ke halaman pendhapa untuk merampungkan pekerjaannya. Sementara Reksa Sentana yang masih duduk di pendhapa kembali melaras sore yang hampir merapat ke titik senja. Menikmati anggungan perkutut, teh tubruk kental yang mulai dingin, dan sigaret menyannya.
Tanujaya yang baru saja terbangun sesudah tertidur semenjak ambang senja itu keluar dari kamarnya. Melangkahkan kaki menuju depan pintu kamar Bagus Burham yang dibiarkan terbuka. Menyaksikan momongan-nya tidak berada di dalam kamarnya, ia menghampiri Darsi yang tengah menjahit robekan pada kebayanya di pringgitan. "Apakah Nyi Darsi tahu kemana perginya Gus Burham?"
"Bersama Tuan Reksa Sentana, Nak Mas Burham pergi ke balai desa kalurahan. Menyaksikan pertunjukan tayub di halaman balai desa itu."
"Kalau begitu, aku akan segera menyusulnya, Nyi."
"Apakah Kisanak Tanujaya tahu dimana balai desa kalurahan itu?"
"Ehm.... Ya, belum."
"Makanya ketimbang tersesat di tengah jalan, nanti Kisanak Tanujaya aku antarkan. Tapi, tunggu sebentar! Aku akan selesaikan pekerjaanku ini dulu."
"Ya, Nyi."
Dengan ibu jari dan jari telunjuknya, Darsi kembali sibuk dengan jarum berekor benang dan kebayanya. Tak seberapa lama, robekan pada kebayanya itu terjahit dengan sempurna. "Nah.... Pekerjaanku telah selesai. Tunggu sebentar di sini, Kisanak Tanujaya. Aku akan berganti pakaian dulu."
"Jangan lama-lama, Nyi!"
"Tentu!" Darsi beranjak dari kursi. Meninggalkan pringgitan. Memasuki kamarnya. Sesudah berias dan berganti kebaya, jarik, dan kembennya; Darsi keluar dari kamarnya. Menuju pringgitan. Dimana Tanujaya tengah menunggunya dengan hati yang semakin gelisah. "Kita pergi ke balai desa kalurahan sekarang, Kisanak Tanujaya."
Tanpa melontarkan sepatah kata, Tanujaya beranjak dari kursi. Bersama Darsi yang telah mengunci pintu pendhapa rumah Reksa Sentana itu, Tanujaya mengayunkan langkah kaki. Menuju balai desa kalurahan dengan meniti jalanan yang hanya diterangi kunang-kunang dan taburan bebintang di langit.
Di tengah bulak sawah yang jarang dilewati orang-orang pada malam hari itu, Darsi menghentikan langkah. "Kisanak, Tanujaya! Perutku tiba-tiba terasa mulas. Rasanya ingin buang hajat. Tunggu sebentar di sini ya! Aku ingin buang hajat di parit samping gubug sana itu."
"Tidak, Nyi. Sebaiklah aku antarkan Nyi Darsi ke sana."
Diikuti Tanujaya, Darsi turun ke pematang sawah. Dengan hati-hati, mereka meniti pematang. Menuju parit di samping gubug itu. Setiba di tujuan, Darsi turun ke parit yang mengalirkan air setinggi mata kaki. Mengangkat jariknya tinggi-tinggi. Berjongkok di parit itu. Membuang hajat.
Menyaksikan samar-samar paha Darsi, Tanujaya yang duduk di ambenan gubug itu merasakan sumbu berahinya terbakar. Entah syetan apa yang merasuk ke dalam benak Tanujaya. Hingga lelaki beranak satu yang sekian lama tak berhubungan asmara dengan istrinya itu ingin membuang hajat berahinya.
"Sudah terasa lega perutku, Kisanak Tanujaya! Ayo kita segera pergi ke balai desa kalurahan!"
"Sebentar, Nyi. Rasanya aku ingin buang hajat."
"Segeralah ke parit! Aku tunggu."
"Yang aku maksud bukan buang hajat besar, Nyi."
"Maksud Kisanak Tanujaya, hajat kecil?"
"Juga bukan."
"Lantas, hajat apa?"
"Hajat asmara dari seorang lelaki pada perempuan."
"Oh.... Aku tahu maksudnya. Hasrat berahi bukan?"
"Tepat, Nyi," jawab Tanujaya cepat dan singkat. "Tapi, kepada siapa aku harus mengalamatkan hasrat berahiku itu. Masak kepadamu, Nyi?"
"Ya.... Kalau Kisanak Tanujaya menghendaki tubuhku sebagai alamat dari hasrat berahimu itu, lakukanlah!"
"Tapi bagaimana dengan suamimu?"
"Aku sudah lama menjanda." Darsi duduk di ambenan gubug di samping Tanujaya. "Aku pun sudah merindukan tubuhku disentuh lelaki. Karenanya bila Kisanak menghendaki tubuhku, lakukanlah! Aku pasrah. Sebagaimana kepasrahanku pada Tuan Reksa Sentana, saat duda tak beranak itu ingin bermain kuda-kudaan denganku saat malam dingin."
Mendengar jawaban lugas dari Darsi, Tanujaya merapatkan tubuhnya ke tubuh perempuan itu. Merebahkan tubuh Darsi ke ambenan gubug. Melepaskan kebaya, kemben, dan jariknya. Selang beberapa saat, Tanujaya yang telah melepaskan pakaiannya itu menggagahi tubuh Darsi. Serakus singa lapar yang tengah menggaglak daging rusa.
Pengembaraan berahi Tanujaya dan Darsi telah mencapai puncak. Sesudah membasuh selangkangannya dengan air yang mengalir di parit itu, mereka mengenakan pakaiannya kembali. Meninggalkan gubug. Meniti pematang sawah. Berjalan beriringan menuju balai desa kalurahan yang telah dihingar-bingarkan dengan pertunjukan tayub.
"Ayo mas, kijing miring, ayo mas, kijing miring.
Kijing-kijing miring, kambil tuwa sisa bajing.
Ayo mas iki piye, ayo mas iki piye. Blarak disampirke, omahe cerak ra ngampirke...."
Seirama lantunan lagu Kijing Miring dari seorang pesinden, rampak gamelan mengiringi lenggokan gemulai empat penari tayub di arena pertunjukan di halaman balai desa kalurahan. Seluruh penonton bersorak-sorai, manakala Reksa Sentana yang telah mabuk berat itu turun di arena. Ngibing dengan salah seorang penari tayub dengan gerakan yang sedikit semrawut.
Babak ke dua pertunjukan tayub itu telah berakhir. Dengan bejalan setengah sempoyongan, Reksa Sentana menuju luar arena. Di saat itulah, Tanujaya beserta Darsi yang telah sampai di tepian arena itu segera menyibak jubelan penonton. Menuju tempat, dimana Reksa Sentana telah kembali berkumpul dengan perangkat desa lainnya.
"Maaf, Ki!" Tanujaya memberanikan diri untuk bertanya pada Reksa Sentana. "Kemana Gus Burham? Bukankah kepergian Ki Reksa Sentana di balai desa kalurahan ini tadi bersama Gus Burham?"
"Aku tak tahu. Barangkali ia masih bermain dadu di belakang balai desa kalurahan ini."
Tanpa berpikir jauh, Tanujaya meninggalkan Reksa Sentana dan Darsi. Mengarahkan langkah kakinya menuju belakang balai desa kalurahan yang tak kalah ramainya dengan arena pertunjukan tayup itu. Orang-orang yang terdiri dari pemasang koin, bandar, dan dolopitu membentuk kalangan-kalangan. Setiap kalangan, para pemasang koin itu melemparkan koin-koin pada lembaran gambar. Sebagian mereka melemparkan koin pada gambar cliwik. Sebagian mereka lainnya melemparkan koin pada gambar lorek, palang, slewah, abang, atau ijo.
Dari kalangan ke kalangan, Tanujaya menyapukan pandangannya pada orang-orang yang melemparkan koin pada lembaran gambar. Hingga pada kalangan terakhir, Tanujaya menyaksikan Bagus Burham yang barusan melemparkan koin pada gambar cliwik. Tanpa harus berpikir tiga kali, Tanujaya menarik kerah baju Bagus Burham dari belakang. "Gus Burham harus pulang sekarang! Esok pagi, kita harus melanjutkan perjalanan ke Gebang Tinatar."
"Tidak Paman! Aku belum akan pulang ke rumah Reksa Sentana, sebelum dapat menggulung bandar dadu itu."
"Kalau Gus Burham tidak menuruti kata-kataku, lebih baik aku besok pulang saja ke Kampung Yasadipuran."
"Ehm...." Wajah Bagus Burham yang telah mengumpulkan banyak koin dari bandar dadu itu mencerminkan rasa kekecewaannya. "Baiklah. Kali ini, aku ikuti kata-kata Paman."
Disertai Bagus Burham, Tanujaya meninggalkan arena permainan dadu di belakang balai desa kalurahan itu. Menuju arena pertunjukan tayub. Menghampiri Darsi yang tengah ngobrol dengan salah seorang perangkat desa berwajah thukmis itu. "Nyi Darsi.... Aku dan Gus Burham harus kembali ke rumah Ki Reksa Sentana sekarang. Bagaimana dengan kunci rumahnya?"
"Kisanak Tanujaya ingin pulang sekarang?"
"Ya, Nyi."
"Baik! Kalau begitu, kita pulang sama-sama."
Sebagaimana Darsi, Tanujaya dan Bagus Burham meninggalkan tepian arena pertunjukan tayub itu. Meninggalkan Reksa Sentana yang kembali ngibing dengan penari tayup pada babak ke tiga itu. Menuju rumah jagabaya. Setiba di dalam rumah, mereka memasuki kamarnya masing-masing. Tidur hingga pagi kembali membangunkan mereka untuk menyongsong kehidupan yang baru.
Matahari setinggi pohon kelapa. Tanujaya dan Bagus Burham meninggalkan tepian tlatah Blora itu, sesudah membayar uang kamar pada Reksa Sentana. Mereka memacu kudanya. Melintasi desa demi desa. Menyeberangi sungai dengan air setinggi betis. Memasuki hutan liar yang masih banyak dihuni binatang-binatang buas, seperti: ular, harimau, singa, kera, dan lainnya.
Sehari semalam, Tanujaya dan Bagus Burham menempuh perjalanan jauh dengan kuda. Mereka menghentikan langkah kudanya setiba di tlatah Ponorogo. Di tlatah itulah, mereka menginap di Kampung Madusari yang baru saja panen padi. Tepatnya, mereka menginap di rumah megah Nyi Raminten. Janda kaya yang memiliki banyak sawah; piaraan sapi, kerbau, kambing, itik, angsa, dan ayam aduan; perhiasan emas, serta uang.
Di ruangan pendhapa dengan salah satu dindingnya berhiaskan jam gandhul dan lampu minyak yang menggantung di atas meja tamu; Tanujaya, Bagus Burham, dan Nyi Raminten yang berpayudara montok itu duduk di kursi kayu jati berukir buatan Jepara. Mereka berbincang sambil menikmati hidangan yang barusan dihidangkan oleh para pelayan lelaki berusia muda itu.
Selepas jam gandhuldi salah satu dinding pendhapa itu berkelenang sepuluh kali, Bagus Burham telah tertidur di salah satu kamar berdipan dengan kasur berseprai bunga-bunga. Sementara Tanujaya masih melanjutkan perbincangan yang semakin lama semakin mengakrabkan keduanya.
"Maaf, Nyi!" Tanujaya melanjutkan perbincangan yang sejenak terputus. "Semenjak kapan Nyi Raminten menjanda?"
"Kenapa kau tanyakan soal itu, Kisanak Tanujaya? Apakah ada maksud lain di balik pertanyaanmu itu?"
"Tidak, Nyi. Aku hanya ingin tahu."
"Ketahuilah, Kisanak Tanujaya! Aku menjanda semenjak menceraikan suamiku yang lebih memilih hidup sebagai warok. Lelaki yang lebih suka bersetubuh dengan sesama jenisnya untuk menambah kesaktiannya itu."
"Semenjak menjanda, bagaimana dengan hasrat asmara Nyi Raminten?"
"Pertanyanmu semakin nakal, Kisanak Tanujaya. Apakah kau ingin memenuhi hasrat asmaraku?"
"Ehm...." Tanujaya tampak geragapan saat mendengar pertanyaan Nyi Raminten yang lebih nakal dari pertanyaannya sendiri. "Maaf, Nyi. Aku sekadar bertanya, Nyi."
"Ketahuilah pula, Kisanak Tanujaya! Di rumah ini, aku menjadi raja. Dengan uang, aku sanggup membeli lelaki-lelaki muda untuk memenuhi hasrat berahiku. Bahkan sebagian besar pelayanku yang bertubuh perkasa dan berwajah tampan itu sanggup memenuhi hasrat berahiku dengan cuma-cuma."
"Hebat! Nyi Raminten benar-benar telah menjadi raja di rumah sendiri!"
"Itulah aku sekarang. Hanya dengan harta dan benda, aku dapat menjadi raja. Sekalipun, aku sadar. Bila harta dan bendaku habis, maka aku akan lebih hina dari sampah. Jaman memang sudah gila dan kejam!"
"Apakah Nyi Raminten yang telah menyadari tentang hal itu tak pernah berpikir untuk berubah. Melakoni hidup dengan eling lan waspada?"
"Apa? Eling lan waspada?" Nyi Raminten tertawa ngakak. "Hanya orang-orang bodoh dan munafik sajalah yang ingin menjaga hidupnya untuk eling lan waspada. Aku percaya, bahwa Kisanak Tanujaya juga akan merasa kesulitan untuk hidup eling lan waspada. Aku percaya bahwa Kisanak Tanujaya akan memilih mendapatkan kenikmatan dunia sekalipun itu hanya sementara dan sekaligus berdosa besar di hadapan Tuhan. Bukankah demikian?"
"Ehm...."
"Sudahlah, Kisanak Tanujaya! Kau tak perlu menjawab pertanyaanku! Malam telah larut. Aku sudah ngantuk. Tapi, ingat! Bila Kisanak Tanujaya ingin tidur dengan selimut tebal, tidurlah di kamarku! Tapi bila ingin kedinginan, tidurlah sendiri di kamar yang telah dipersiapkan oleh pelayanku! Selamat malam...."
Sepeninggal Nyi Raminten dari ruangan pendhapa itu, Tanujaya masih mematung di atas kursi. Ujung-ujung jarinya diketuk-ketukkan lembut pada meja. Sejenak berpikir untuk menentukan pilihan. Namun saat teringat payudara montok Nyi Raminten yang diam-diam telah menggugah hasrat berahinya, Tanujaya sontak beranjak dari kursi. Meninggalkan pendhapa. Melintasi pringgitan. Menuju ndalem jero. Membuka pintu kamar Nyi Raminten yang dibiarkan tidak terkunci. Tak seberapa lama, tak ada suara di dalam kamar. Selain deritan-deritan dipan kayu dan lenguhan dan desahan yang keluar dari mulut sepasang anak manusia yang tengah dimabuk candu berahi.
Sayup sampai adzan subuh terdengar dari sebuah surau. Tanujaya bangkit dari tidurnya. Seusai mengenakan pakaiannya yang berserakan di lantai, Tanujaya meninggalkan kamar Nyi Raminten. Menuju sumur di belakang rumah janda itu. Membuang hajat kecil dan membasuh selangkangannya yang masih lekat dengan lendir-lendir berahi semalam.
Dari sumur, Tanujaya kembali memasuki ndalem jero. Memasuki kamar Bagus Burham dan membangunkannya. Sesudah keduanya berpamitan dengan Nyi Raminten yang rambutnya masih acak-acakan itu, mereka melanjutkan perjalanan. Bagaikan anak panah yang terlepas dari busur, kuda yang ditunggangi Tanujaya dan Bagus Burham itu melesat menembus pagi berlautan kabut. Menuju pondok pesantren Gebang Tinatar di tlatah Desa Tegalsari.