JAGAD GUMELAR, JAGAD GUMULUNG
Dalam kasanah spiritual Jawa dikenal istilah Jagad Gumelar, Jagad Gumulung. Istilah itu hendak mengatakan suatu proses penciptaan yang melibatkan evolusi kehidupan multidimensional. Evolusi berarti perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Perubahan-perubahan ini disebabkan oleh kombinasi tiga proses utama :
1. Variasi.
2. Reproduksi dan.
3. Seleksi.
Multidimensional adalah permasalahan lebih dari satu, merupakan keadaan suatu negara yang sedang mengalami berbagai macam masalah (pertentangan) dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan lain sebagainya, keadaan ini sedang berlangsung dan sulit untuk diselesaikan. Peradaban demi peradapan telah dilewati oleh manusia bumi. Pada pandangan Jawa atau Nusantara Klasik semua logos (menaksir, menghintung, rasio, menjelaskan, argumen, peraturan, naratif, penjelasan, frasa, berbicara tentang, kata, kalimat, perkataan Tuhan atau Wahyu atau Firman), didalam realitas dunia ini bersifat dialektis antara dua hal yakni Jagad Gumelar, Jagad Gumulung. Dialektik berasal dari kata dialog yang berarti komunikasi dua arah, istilah ini telah ada sejak masa yunani kuno ketika diintrodusir pemahaman bahwa segala sesuatu berubah.
Tatanan Mikro Kosmos atau Jagad Gumulung atau Buwono Alit (mikrokosmos), disebut individu, pribadi atau keluarga atau wilayah Res privata, sedangkan Buwono Agung yaitu makrokosmos/alam semeseta seluruhnya atau Res Publica (kepentingan umum), masyarakat, bangsa negara, dan internasional (dunia), mengalami perjumpaan dengan apa yang disebut Buwono Langgeng (abadi), atau Sang Waktu lahiriah batiniah ada menuju perjumpaan dengan Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, atau Bathara Tunggal.
Sang Hyang Wenang adalah nama seorang dewa senior dalam tradisi pewayangan Jawa. Ia dianggap sebagai leluhur Batara Guru, pemimpin Kahayangan Suralaya. Ia sendiri bertempat tinggal di Khayangan Alang-alang Kumitir.
Sang Hyang Tunggal adalah suami dari Dewi Wiranti dan menjadi ayah dari Batara Ismaya, Batara Antaga, dan Batara Manikmaya. Ia merupakan anak dari Sang Hyang Wenang yang berkedudukan di Kahyangan Alang-Alang Kumitir atau Ondar-Andir Bawana di Istana Tampaksiring.
Sang Hyang Tunggal merupakan suami dari Dewi Wiranti putri dari Sang Hyang Rekatatama. Serta ayah dari Batara Ismaya (Semar), Batara Antaga (Togog) dan Batara Manikmaya (Bathara Guru).
Pada episode Dewa Ruci, ia muncul kepada Dewa Ruci dan bersua Bima di dasar Laut Selatan. Bentuk wayangnya (dalam wayang kulit) termasuk kecil, seukuran wayang kulit bayi. Tokoh ini jarang dipertontonkan dalam pertunjukkan wayang kulit, karena episode yang memunculkannya memang sangat sedikit. Sang Hyang Tunggal merupakan anak dari Sang Hyang Wenang. Ia mempunyai kedudukan di Kahyangan Alang-Alang Kumitir atau Ondar-Andir Bawana di Istana Tampaksiring.
Kisah mistis perjalanan batin yang dialami oleh Bima sehingga bersua dengan Sang Hyang Tunggal dalam Dewa Ruci sangat elok kepada diambil pelajarannya.
Pada proses dialektis tersebut hasilnya ditemukan sebagai buah perbuatan, tindakan dengan kemungkinan-kemungkinan pada acuan metafor / tamsil / alegori adalah :
1. Semar/Ismoyo.
2. Togog dan.
3. Batara Guru.
Atau dalam istilah lain konsep ini disebut proses perjumpaan anasir dalam Pancer yaitu Kiblat Papat Lima Pancer menjadi Sadulur Papat Lima Pancer, dan Episteme (pengetahuan) sembah Rasa mencari Tuhan dalam konteks Manunggaling Kawulo Gusti.
Rasa atau Roso adalah nilai cara hidup manusia Jawa adalah Jawani dimana tahapannya berlangsung dalam proses berurutan mulai dari :
1. Sembah Raga, Sembah Cipta.
2. Sembah Jiwa dan.
3. Tertinggi Adalah Sembah Rasa.
Hanya dengan rasa memungkinkan kita mengetahui bahkan pengetahuan mistik atau misteri berjumpa dengan Tuhan Maha Esa.
Rasa / roso bisa dihasilkan dengan menginternalisasikan sikap :
1. Eling.
2. Waspodo, dan.
3. Ojo Dumeh.
ELING LAN WASPADA
Esensi dari sikap eling dan waspada adalah segala pikiran, ucapan, sikap dan perbuatan kita dalam interaksi dengan sesama manusia, seluruh makhluk, dan lingkungan alam selalu dilandasi oleh keluhuran budi pekerti, arif dan bijaksana.
Menjalani kehidupan ini dengan kaidah-kaidah kebaikan dan welas asih seperti tersebut di atas agar senantiasa dilimpahkan rahmat dan kebaikan dari Tuhan.
Sing sapa nggawe bakal nganggo, siapa menanam akan memanen, barang siapa menabur angin akan menuai badai. Dalam kondisi alam bergolak, hukum sebab akibat akan mudah terwujud dan menimpa siapapun. Kecuali orang-orang yang selalu eling dan waspada. Karena kebaikan-kebaikan yang pernah kita lakukan kepada sesama, kepada semua makhluk, dan lingkungan alam sekitar, akan menjadi pelindung yang menjauhkan dari malapetaka, bahaya, kesialan bagi diri pribadi.
Falsafah Jawa banyak mengajarkan tentang kebijaksanaan hidup. Beberapa diantaranya adalah falsafah tentang konsep Eling dan Waspada dalam kasusastran yang ditulis oleh Pujangga besar Jawa dari Kasunanan Surakarta yakni Raden Ngabehi Ronggo Warsito (Rangga Warsita) dalam serat Kalatida.
Secara utuh kalimat tersebut berbunyi sabegja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling klawan waspada, seberuntung-beruntungnya orang yang lalai, lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada.
Namun tidak semua orang mengerti secara persis makna dari falsafah Jawa tersebut. Berawal dari realitas tersebut perlulah kiranya ada sedikit uraian agar petuah yang luhur ini mudah dipahami, dihayati dan diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Terlebih lagi hari ini, saat kita hidup di jaman hyper reality yang serba tidak pasti, ketika semesta sedang bergolak banyak musibah juga bencana. Pepeling (peringatan) tersebut menjadi penting untuk dihayati dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Perlahan mari kita kupas satu persatu makna dari Eling lan Waspada.
ELING
Eling secara harfiah berarti (eling, ingat, pikiran pulih kaya sakawit, mengerti maneh marang perkara sing wis lawas, ora lali, ngrumangsani, weruh marang kahanane dewe).
Eling secara harfiah bermakna ingat dan ngrumangsani (sadar) dengan keadaan. Sikap eling ini jika ditinjau lebih jauh meliputi kesadaran tentang dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.
ELING DIMENSI KETUHANAN
Eling atau ingat berdasar dimensi ketuhanan maksudnya adalah kita memiliki kesadaran (conciousness) tentang asal usul penciptaan, tujuan penciptaan, tujuan manusia hidup, bagaimana menjalani hidup dan bagaimana manusia menjalani kehidupan setelahnya (after life). Singkatnya adalah Tuhan sebagai sangkan paraning dumadi, dari Tuhan semua berasal menuju Tuhan semua berakhir, kehendak Tuhan atas semua dan ciptaan-Nya.
Pemahaman ini mengajarkan kita untuk menyadari bahwa tak ada cara untuk menafikkan penyebab adanya diri kita saat ini yakni sang Causa Prima atau Tuhan Maha Esa (God). Kesadaran ini akan mendorong manusia untuk selalu manembah kepada Hyang Mahakuasa.
Eling bahwa kita harus menjalani kehidupan fana ini sebagai syarat utama yang akan menentukan kemuliaaan kita kelak di alam kelanggengan (after life) nanti, alam yang mana akan menjadi tempat tujuan kita ada (paraning dumadi). Manembah bukan hanya dalam batas sembah fisik, namun lebih utama mempraktekan sikap manembah tersebut dalam pergaulan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat untuk menggapai ikhlas dan Ridho-Nya.
ELING DIMENSI KEMANUSIAAN
Di samping kesadaran spiritual terkait hubungan vertikal terhadap Tuhan/Gusti, eling sebagai peranan dalam relasi manusia yang saling hidup berdampingan sesama makhluk Tuhan juga menjadi keutamaan (Eling mring sesama). Eling dalam dimensi kemanusian menganjurkan kita agar selalu instrospeksi diri atau mawas diri sebagai modal utama dalam pergaulan yang menjunjung tinggi perilaku utama (lakutama) yakni budi pekerti luhur, atau (mulat laku kautamaning bebrayan).
Eling dalam dimensi kemanusiaan dapat kita wujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.Pertama, sesama manusia harus saling menghormati. Kedua, sesama manusia harus saling menolong. Ketiga, sesama manusia harus saling mengingatkan
Eling siapa diri kita bertujuan agar jangan sampai kita bersikap sombong atau takabur. Selalu mawas diri atau mulat sarira adalah cara untuk mengenali kelemahan dan kekurangan diri pribadi juga untuk menahan diri (self control) untuk tidak berbuat yang merugikan orang lain. Sebaliknya selalu berbuat yang menentramkan suasana terhadap sesama manusia. Selagi menghadapi situasi yang tidak mengenakkan hati, dihadapi dengan mulat laku satrianing tanah Jawi yaitu tidak benci jika dicaci, tidak gila jika dipuji, teguh hati, sabar walaupun diterpa nestapa dan kesusahan.
Kesadaran akan peran manusia dalam dimensi kemanusiaan akan mendorong kita untuk bisa memahami dan mengerti kebaikan yang telah orang lain lakukan kepada kita (niteni kabecikaning liyan). Berusaha ikhlas, berhenti pamrih dan berhenti menghitung-hitung untung rugi, melupakan dan memendam jasa atau kebaikan yang pernah kita perbuat untuk orang lain, sebaliknya kita harus niteni kebaikan yang orang lain pernah lakukan kepada kita.
Hutang budi merupakan hutang paling berat. Jika kita kesulitan membalas budi kepada orang yang sama, balasan itu bisa kita teruskan kepada orang-orang lain. Artinya kita melakukan kebaikan yang sama kepada orang lainnya secara estafet, maka kebaikan akan selalu bertebaran. Bertindak tulus ikhlas karena Gusti Yang Maha Kuasa tanpa mengharap pamrih kepada manusia.
WASPADA
Waspada artinya adalah kita sadar akan hal-hal yang bisa menyebabkan diri menjadi hina dan celaka. Kewaspadaan dapat diwujudkan dengan waspada ing lair (kewaspadaan terhadap bahaya yang tampak nyata), waspada ing batin (kewaspadaan yang hakiki), waspada saka panggada (menangkal godaan yang menjerumuskan), waspada tan kena lena (lengah sekejap bisa lenyap), dan waspada tan kena keblinger (mewaspadai jebakan yang menyesatkan).
Hukum yang berlaku disekitar manusia adalah hukum sebab-akibat (causalitas). Hukum Kausalitas merupakan hukum keniscayaan bagi alam semesta, dan merupakan fitrah manusia untuk memahaminya bahwa setiap akibat/peristiwa merupakan hasil dari sebuah sebab. Begitu pula dengan kehidupan, setiap perilaku sekecil apapun, perbuatan sekecil apapun akan mendapat pembalasan/perhitungan. Jika menghendaki diperlakukan baik maka berlakulah dengan baik.
WASPADA KEPADA DIRI SENDIRI
Menghindari juga mewaspadai perbuatan dan perilaku yang negatif penting untuk selalu dilakukan. Perbuatan-perbuatan negatif yang mengakibatkan hina, celaka dan menderita, kita harus menjaga diri, menjaga lisan dan ucapan, sikap dan perbuatan yang berpotensi mencelakai sesama manusia, makhluk lain, dan lingkungan alam semesta. Misalnya perbuatan-perbuatan angkara yang membawa cela seperti menghina, iri, dengki, merugikan orang lain, mencelakai, merusak dan menganiaya terhadap sesama manusia ataupun sesama makhluk semesta.
Waspada terhadap apapun yang bisa menghambat kemuliaan hidup terutama mewaspadai diri pribadi dari perilaku badan dan perilaku batin. Mewaspadai diri pribadi berati kita harus bertempur melawan kekuatan negatif dalam diri, nafsu dan angkara. Yang menebar aura buruk berupa kehendak untuk menangnya sendiri, butuhnya sendiri (egois) dan benernya sendiri.
Adigang adigung adiguna, kita harus mewaspadai diri pribadi dari nafsu mentang-mentang yang memiliki kecenderungan eksploitasi dan penindasan : adigang, adigung, adiguna juga nafsu aji mumpung/mentang-mentang: ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya nggawe rekasa, tutwuri nyilakani (di depan karena berkuasa atau memimpin maka menyalahgunakan kekuasaan, bila di tengah membuat masalah/ menyusahkan, di belakang justru mencelakakan.
WASPADA DAN CERMAT MEMBACA BAHASA ALAM
Waspada dalam arti cermat membaca bahasa alam (hanggayuh kawicaksananing Gusti). Bahasa alam merupakan perlambang apa yang menjadi kehendak Tuhan. Bencana alam bagaikan perangkap ikan. Hanya ikan-ikan yang selalu eling dan waspada yang akan selamat. Semoga kita selalu dianugerahkan keselamatan.
Mengejawantahkan Wejangan Eling lan waspada merupakan falsafah yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa. Falsafah tersebut mengajarkan manusia untuk selalu ingat dan hati-hati dalam menjalani hidup. Falsafah Jawa ini mencul dan mulai dikenal setelah tercantum dalam karya Rangga Warsita dalam salah satu bait tembang sinom Serat Kalatida.
Secara khusus, dua baris terakhir tembang tersebut, yakni begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling klawan waspada, seberuntung-beruntungnya orang yang lalai, lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada (halaman 9-10). Warisan wejangan Jawa ini menunjukkan bahwa orang-orang Jawa memiliki kepercayaan bahwa apa pun yang terjadi di dalam hidup merupakan sebuah keberuntungan.
Ketika seseorang sedang ditimpa musibah hingga sakit parah, bahkan sampai salah satu bagian tubuhnya mengalami cacat seumur hidup, orang Jawa akan berkata, Masih beruntung hanya menerima cobaan seperti ini, hanya sakit cacat, tidak sampai meninggal dunia. Sebaliknya, ketika terdapat seseorang mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia, orang Jawa akan mengatakan, Beruntung langsung meninggal dunia, daripada harus hidup tapi harus menanggung cacat seumur hidup.
Orang yang lali (lupa) pun bisa begja (beruntung). Hanya saja, keberuntungan orang yang lupa merupakan sebuah kabegjan (kebetulan bernasib baik). Keberuntungan ini sifatnya hanyalah sementara. Berbeda dengan orang yang ingat, maka ia akan mendapatkan keberuntungan yang hakiki. Dengan begitu, wejangan leluhur Jawa ini menunjukkan bahwa meskipun orang yang lupa bisa merasakan keberuntungan, namun akan lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.
Sebagaimana paparan buku ini, eling lan waspada dapat diwujudkan dengan beberapa bentuk, di antaranya adalah Eling marang Gusti (selalu dekat kepada Tuhan). Sikap eling seperti mencakup eling sangkan paraning dumadi, eling sing ngenekake, eling sing nyirnaake, eling sing matekke, eling sing nguripke, dan eling sing peparing.
Wujud lain adalah Eling mring sesama (peduli kepada sesama manusia). Di dunia, manusia tidak hidup sendiri. Manusia ada bersama sesamanya. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya manusia peduli dengan sesamanya. Hal itu sejalan dengan falsafah eling mring sesami. Maka dari eling mring sesame bukan sekadar ingat, tetapi lebih mendalam, yakni peduli terhadap sesama manusia. Eling mring sesami dapat diwujudkan melalui berbagai tindakan-tindakan sebagai berikut.
Pertama, sesama manusia harus saling menghormati. Salah atu keinginan dasar manusia adalah dihormati. Tidak ada seorang pun yang tak ingin dihormati, bahkan manusia berkepribadian buruk atau suka berperilaku nista sekalipun. Ia tetap ingin dihormati karena pada dasarnya manusia secara hakiki adalah sama. Setiap manusia sama-sama berada di dalam kandungan ibunya selama sembilan bulan sepuluh hari, tidak berpakaian saat dilahirkan, dan ketika mati tidak membawa apa pun kea lam baka selain amal perbuatannya.
Kedua, sesama manusia harus saling menolong. Ajaran eling lan waspada bertujuan untuk mendorong manusia saling menolong sesamanya. Telah menjadi naluri manusia sejak lahir bahwa mereka akan saling menolong. Ketika masih anak-anak, seseorang menolong adiknya atau teman sebaya yang terjatuh. Adapun ketika beranjak remaja, ia menolong temannya yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Saat sudah dewasa, ia memberikan pinjaman kepada sahabatnya tanpa meminta imbalan apa pun. Dan seterusnya sampai akan mati pun manusia masih punya naluri untuk menolong sesama.
Ketiga, sesama manusia harus saling mengingatkan. Di dalam diri orang Jawa telah tertanam sifat dan sikap saling mengingatkan dalambentuk pesan, harapan ataupun nasihat kepada keluarga atau orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, ketika seorang anak berpamitan untuk bepergian, maka orang tua selalu berkata, “Sing ngati-ati!” atau “Berhati-hatilah!” Peringatan itu bukan sekadar patut-patute (basa-basi), tetapi ada makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Orang tua tersebut mengingatkan sang anak untuk berhati-hati lair lan batine (secara lahir dan batin) agar selamat dalam perjalanan. Keselamatan yang dimaksud mencakup saat dalam perjalanan, sewaktu berada di tempat tujuan, serta ketika kembali ke rumah (halaman 18-21).
Sementara, kewaspadaan dapat diwujudkan dengan waspada ing lair (kewaspadaan terhadap bahaya yang tampak nyata), waspada ing batin (kewaspadaan yang hakiki), waspada saka panggada (menangkal godaan yang menjerumuskan), waspada tan kena lena (lengah sejejap bisa lenyap), dan waspada tan kena keblinger (mewaspadai jebakan yang menyesatkan).
Dalam menggapai kebahagiaan sejati, bab terakhir buku ini juga membahas Laku utama anggayuh memanising pati (menggapai akhir hidup yang indah). Memanising pati bisa dimaknai kembali dalam keadaan baik dan indah. Kematian itu terjadi pada saat seseorang tengah melakukan sesuatu kebaikan sebagaimana biasa dilakukannya. Artinya, dalam kehidupan sehari-hari, orang itu senantiasa berbuat baik. Laku utama menjadi pedoman dalam segala tindakannya (hal: 242). Jika ditarik dalam pembahasan agama, orang seperti ini bisa disebut dengan julukan khusnul khatimah (happy ending).
OJOH DUMEH
Ojo Dumeh adalah Falsafah lama yang berasal dari bahasa Jawa yang memiliki arti ojo adalah jangan, dan Dumeh adalah mentang-mentang.
Apabila nilai-nilai falsafah yang sederhana ini dimanfaatkan dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari maka akan mempunyai kekuatan yang sangat luar biasa karena nilai-nilai ini adalah ini nilai-nilai lama bangsa Nusantara, khususnya masyarakat Jawa yang tidak pernah pudar.
Ojo dumeh artinya, sikap untuk tidak mentang-mentang. Sebagai sebuah nilai, ojo dumeh memiliki makna sangat dalam dan masuk dalam ranah yang luas, bisa mengenai kedudukan, kekuasaan, kekayaan, dan status sosial. Ia merupakan ajaran Jawa di mana orang harus sadar bahwa kehidupan itu berputar. Suatu saat di atas dan saat lain di bawah. Ketika di atas, misalnya ketika berkuasa dan memiliki akses banyak, jangan mentang-mentang dan berperilaku semena-mena terhadap orang lain atau bawahannya. Kekuasaan bisa dijadikan momen untuk beramal sholeh dengan menjadi tempat bertanya, tempat menyelesaikan persoalan dan tempat berlindung banyak orang, sehingga orang merasa nyaman karena kehadirannya.
Di samping ojo dumeh, ada dua pilar utama lain yang terkandung dalam falsafah ini. Ketiga pilar tersebut adalah :
1. Ojo Dumeh.
2. Ojo Gumunan.
3. Ojo Kagetan, yang masing-masing mempunyai daya implementatif.
Pada masyarakat Jawa, pesan ini biasanya disampaikan oleh orangtua kepada anaknya sejak kecil hingga dewasa, dengan maksud agar anaknya tidak menjadi orang yang suka mentang-mentang dan harus selalu menghargai yang lainnya. Ajaran ojo dumeh menyarankan kepada kita agar jangan sampai berlebihan dalam berperilaku. Berlebihan dalam hal ini bisa dalam bentuk kekayaan, keahlian, jabatan, ketampanan atau kecantikan, kepopuleran, ataupun keturunan. Ojo dumeh adalah salah satu ajaran yang introspektif. Ingin ditanamkan di sini nilai kepedulian diri terhadap sesama manusia, lingkungan sekitar, dan kepada Sang Pencipta.
Ojo Dumeh adalah pembatas bagi seseorang ketika ia sudah dihinggapi dumeh dengan segala predikat yang disandangnya. Keseimbangan dalam ojo dumeh yang sering kita dengar adalah kalimat koyo ngono yo koyo ngono ning ojo koyo ngono yang diartikan secara bebas adalah “begitu ya begitu tapi jangan begitu. Kandungan makna dari kata tersebut adalah kita boleh saja menjadi apa yang kita inginkan tapi kita harus selalu ingat bahwa harus ada keseimbangan antara apa yang kita telah sandang (sebagai penghormatan diri) dengan penghormatan kita terhadap orang lain. Keseimbangan tersebut akan menghasilkan: Komunikasi yang baik, sikap menghargai dan menghormati orang lain, tidak menaruh prasangka, meningkatkan rasa kepedulian terhadap sesama.
Dalam konteks hukum, Ojo Dumeh memiliki sebagai nilai etis, maka yang memunculkan dan dan mengedepankan nilai baik dan buruk jan juga benar dan salah.
Sebagai contoh :
Mentang-mentang menjadi pejabat/addi negara kemudian berlaku seenaknya terhadap yang lain. Posisi dia yang secara individu adalah baik, sebagai pejabat/abdi negara adalah baik, namun yang tidak baik adalah perlakuan seenaknya (mentang-mentang sebagai pejabat/abdi negara) terhadap yang lain. Sifat mentang-mentang dengan melanggar nilai-nilai etis itu yang tidak baik.
Ojo Dumeh adalah bagian dari upaya untuk mengenyampingkan segenap keinginan pribadi. Orang yang menerapkan falsafah Ojo Dumeh akan senantiasa menganggap orang lain pada posisi yang sangat manusiawi, melaksanakan aturan, menghormati hak orang lain dan menaati hukum yang ada dalam lingkungan sosialnya. Orang yang menerapkan falsafah Ojo Dumeh tidak akan mengorbankan orang lain demi kepentingannya sendiri atau demi mempertahankan kepemimpinannya dirinya sendiri.
Ketika menjadi orang kaya juga jangan sombong terhadap orang lain, yang mungkin di bawahnya. Kekayaan yang dimiliki bisa bermakna bagi orang lain. Misalnya, bisa membantu orang lain yang memerlukan dan sedang kesulitan. Ketika memiliki ilmu yang banyak pun tidak congkak dan keminter. Kelebihan ilmu yang dimiliki bisa dimanfaatkan untuk ikut memintarkan orang lain. Kita bisa menggunakan filsafat padi semakin berisi semakin merunduk. Mungkin ini sulit sebab naluri manusia selalu ingin lebih dari yang lain dalam banyak hal. Maka itu perlu agama yang mengajarkan nilai-nilai luhur dan meredam nafsu manusia untuk tidak serakah, sombong, menyepelekan orang lain dan seterusnya.
Jika ditelaah mendalam, sebagai sebuah nilai, ojo dumeh bisa menyelamatkan manusia di mana pun berada. Tatkala di atas dia bisa menghargai orang lain, sehingga jika suatu saat di bawah masih banyak orang menghargainya. Karena orang akan teringat jasa baiknya, maka dia masih tetap menghormati orang yang pernah berjasa. Sebaliknya, jika saat berkuasa atau punya kedudukan tinggi berlaku semena-mena terhadap orang lain, maka tatkala tidak lagi berkuasa orang akan enggan menghormatinya.
Karena kedelaman nilai yang dikandung, ojo dumeh menarik untuk dikaji secara akademik. Tak ketinggalan seorang antropolog bernama Nico Schulte Nordholt pernah melakukan penelitian tentang nilai Jawa ini.
Pada Jagad Gumelar, Jagad Gumulung, dapat dipahami dengan menggunakan :
1. Sastra Gendhing dimana Alam Bersifat Relasional Dialektis dimana Sastra (Simbol Yang Ilahi).
2. Gendhing merupakan simbol manusia manusia dan kehidupannya dan.
3. Keselaras kehidupan (metafora Gendhing) indentik dengan musik keselarasan kesatuan.
Metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Metafora adalah majas yang mengungkapkan sesuatu secara langsung berupa perbandingan analogis dengan menghilangkan kata seperti layaknya, bagaikan, dan lain-lain. Maka jika metafora sastra Jawa dimana Alam Bersifat Relasional Dialektis seturut dengannya disinilah manusia menjadi berguna, dan nilai guna manusia itu disebut Memayu Hayuning Bawana (memperindah alam semesta ekologi lingkungan).
Contoh kata yang sering dipakai :
1. Hamemayu Hayuning Bantolo (tanah).
2. Hamemayu Hayuning Wono (Hutan).
3. Hamemayu Hayuning Samodro (laut).
4. Hamemayu Hayuning Tirto (air).
5. Hamemayu Hayuning Howo (udara).
6. Hamemayu Hayuning Manungso (memulyakan martabat manusia).
7. Hamemayu Hayuning Budayo/budaya dan seterusnya.
Implikasi lain Memayu Hayuning Bawana pada Serat Paramayoga atau Dharma Manusia dengan Manusia, Manusia dengan Alam, dimana alam ini dipahami sebagai entitas Manunggal atau Memayu Alam sebagai Keluarga misalnya :
1. Bapak Angksa, Ibu Pertiwi, Kakak/Kakang Kawah, Ade Ari-ari.
2. Tata Nama tokoh manusia hewan: Gajah Mada, Kebo Ijo, Kebo Anabrang, Lembu Sora, Hayam Wuruk, Kidang Walengka, Maiso Jenar dll.
3. Nama benda atau barang, memakai nama Kyai, Kyaine untuk tombak, senjata, keris, pakaian, dan seterusnya.
Dengan Manunggal atau Memayu Alam sebagai Keluarga artinya Alam ini sebagai Tanggunjawab Moral atau tugas hidup manusia :
1. Momong, mengasuh, menjaga.
2. Momor, mendekat, membaur, menyatu dan.
3. Momot, menerima, menanggung.
Akhirnya dengan cara ini maka telos (tujuan akhir) hidup :
1. Ngunduh Wohing Pakarti.
2. Memayu Hayuning Bawana (memberi keindahan dunia, diinternalisasi dalam hidup kita menjadi nyata kongkrit dan berkeutamaan kebaikan)
Hasil dialektis pada proses seperti dijelaskan sebelumnya maka Manusia sabagai Jagad Gumulung atau Buwono Alit (mikrokosmos) memilki keutamaan yaitu :
1. Gung Binathara (Agung seperti batara dewa).
2. Mbahu Dendha Nyakrawati (pemeliharaan hukum dan dunia).
3. Berbudi Bawa Leksmana (berbudi baik, selaras kata dan perbuatan) dan.
4. Ambeg Adil Para Marta (menegakan keadilan tanpa kecuali) sebagai dokrin manusia paripurma versi Indonesia Klasik atau Jawa Kuna.
Kematangan diri, dapat dicirikan oleh sikap :
1. Kompetensi.
2. Gemar menuntut ilmu.
3. Mampu ngaji (Aji/Kemulyaan).
4. Mampu membaca/memahami (hermenetika).
5. Pintar Menulisi aneka gamelan.
6. Tampil dengan Kuda/kenderaan.
7. Mampu Menari (olah rasa, rasa, tim).
8. Pandai mengayati Musik (seni).
9. Menguasi Bahasa Jawa, dan Tembang Gede.
10. Menguasai Siasat Perang, mampu beradaptasi tanggap pada dinamika zaman.
KONSEP HIDUP PIYANTUN JAWA
Bahwa konsepsi hidup yang dimiliki masyarakat Jawa itu memang unik dan lekat dengan nilai-nilai filosofis.
Banyak konsepsi yang sangat relevan untuk terus-menerus diterapkan dalam menghadapi realitas kehidupan kekinian yang penuh dengan problematik. Dan salah satu konsepsi itu dapat diambil dalam istilah memayu hayuning buwana.
Secara etimologi, istilah memayu hayuning buwana terdiri dari tiga premis yang saling berkaitan. Memayu berasal dari akar suku kata mayu yang mendapatkan imbuhan me, memiliki arti mempercantik, memperindah, dan atau meningkatkan keselamatan.
Memayu ini merujuk pada suatu konsep :
1. Tidak mengubah tatanan yang sudah ada.
2. Tidak mengganggu keselarasan yang sudah ada dan.
3. Tidak menimbulkan konflik baru terhadap tatanan yang sudah ada.
Istilah selanjutnya hayuning, yang berakar dari suku kata hayu dan mendapatkan imbuhan ning atau ing. Istilah ini, dalam falsafah Jawa merujuk kepada arti cantik, indah, dan selamat.
Dan terakhir buwana yang merujuk kepada arti dunia. Istilah dunia, dalam pandangan masyarakat Jawa memiliki dua kategori :
1. Pertama, jagad gumelar atau makrokosmos yang terdiri dari unsur-unsur dunia dan alam semesta yang ada.
2. Kedua, jagad gumulung atau mikrokosmos yang merupakan pribadi individual masyarakat atau manusia.
Berdasarkan etimologi di atas, memayu hayuning buwana merupakan usaha untuk memperindah indahnya dunia. Dalam realitas masyarakat Jawa, secara mendasar, hubungan alam dan manusia memiliki hubungan dalam bingkai ketersalingan.
Hubungan antara dunia dan manusia adalah saling topang-menopang. Manusia hidup dengan bantuan apa yang ada di dunia. Pun dengan dunia, pada tahapan tertentu, membutuhkan manusia untuk merawat ekosistemnya supaya bertahan lebih lama. Keduanya memiliki persamaan pada, bersumber, menuju, di dalam, dan diliputi unsur Ilahiah.
Namun untuk sampai pada pemahaman memayu hayuning buwana ini prosesnya tidak mudah apalagi murah. Manusia pertama-tama perlu mengasah dan menambah wawasannya.
Masyarakat Jawa memberi nama laku itu dengan rahayuning buwana kapurba waskitaning manungsa atau kesejahteraan dunia tergantung pada kewaskitaan manusia. Karena untuk mempercantik dunia diperlukan akumulasi wawasan dari masa silam yang diramu dengan realitas hari ini guna membaca kemungkinan yang bakal terjadi di masa depan.
Setelah memperoleh bekal wawasan, manusia perlu mendarmakannya dalam bentuk kebaikan-kebaikan pada level terendah dalam hidupnya atau darmaning manungsa mahanani rahayuning negara. Seperti misal menjaga kebersihan diri sendiri, pekarangan rumah, sampai pada perangai membuang sampah sesuai tempatnya.
Kalau kebaikan yang dianggap remeh, sederhana, dan mudah saja bisa ditunaikan dengan baik, maka perkara-perkara yang besar akan lebih mudah diselesaikan. Hal ini juga berlaku sebaliknya.
Namun itu saja belum cukup, jika di dalamnya tidak memuat nilai-nilai kemanusiaan atau rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane. Budi pekerti, tata krama, dan bagaimana ia menjadi manusia dan memanusiakan apa yang ada di sekitarnya menjadi prinsip yang mesti ada dalam berelasi dengan dunia, di level apapun.
Masyarakat Jawa meramunya dengan tiga langkah sederhana atau tri-no, tetapi kerap luput tidak diamalkan.Niteni adalah cara pertama dalam usaha ini. Istilah ini memiliki arti mengingat-ingat, mengenali dan memahami. Cara ini menghendaki manusia untuk belajar ke luar, mengamati gejala-gejala yang ada sebelumnya, kemudian dijadikan pengetahuan untuk memahami kejadian berikutnya.
Selanjutnya, nirokake yang berarti menirukan, mengikuti, dan mengambil pelajaran dari perjalanan dunia atau sunnatullah. Cara ini menghendaki untuk tidak hanya belajar ke luar, tapi juga ke dalam yakni mengenal diri kita sendiri. Pada cara kedua ini, setiap manusia dituntut untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan dirinya sendiri.
Terakhir, nambahi yakni memberi nilai tambahan atau meningkatkan ke arah yang lebih baik dan kondusif terhadap alam semesta. Artinya, kehadiran manusia dapat menambah keindahan dan menjadikan dunia yang sudah penuh manfaat menjadi lebih bermanfaat.
Cara ini hanya kalau bisa dilakukan. Kalau tidak bisa, minimal manusia dapat tetap menjaga kestabilan dunia yang sudah ada, tanpa merusak dengan seenaknya.
Atas dasar konsepsi memayu hayuning buwana ini, pandangan-pandangan masyarakat Jawa mengenai dunia saya rasa dapat ditafsirkan dalam tiga hal :
1. Pertama, dunia sebagai yang sakral. Konsep ini selaras dengan yang ditawarkan Seyyed Hossein Nasr dengan ecosophy-nya, yang sebenarnya telah jauh lebih dulu dilakukan oleh masyarakat Jawa.
Dunia diposisikan sebagai sesuatu yang sakral atau suci. Setiap manusia tidak boleh sembarangan dalam bertindak. Ada kode-kode etik tertentu yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan ketika berhubungan dengan dunia.
2. Kedua, dunia sebagai keluarga. Istilah ini memiliki tujuan menghindari adanya eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya yang terkandung di dalamnya. Dunia, dengan segala keindahannya, menyimpan rahasia kebaikan berlimpah yang patut diambil hikmah dan sekaligus memberikan kepadanya sebuah penghargaan.
3. Ketiga, dunia sebagai tanggung jawab. Ini adalah wujud dari kesadaran bahwa manusia adalah khalifatullah fil ardh. Bentuk dari tanggung jawab ini meliputi ‘momong’ atau mengasuh atau menjaga; ‘momor’ atau mendekat atau membaur; dan ‘momot’ atau menerima serta menanggung apapun kondisinya, baik itu menguntungkan maupun merugikan.
Implikasi diterapkannya konsepsi hidup seperti ini akan mengarahkan pada terciptanya harmoni, keselarasan, dan kesejahteraan antara manusia dengan dunia seisinya. Selain itu juga menegaskan karakter sejatining manungsa atau insan kamil yang ada pada diri setiap manusia.
Mungkin pada tataran tertentu, melalui memayu hayuning buwana ini, manusia dapat mensyukuri apa yang ada di sekitarnya dengan cara menjaga dan merawat. Bisa jadi juga, laku ini dapat mengantarkan manusia pada manunggaling kawula Gusti dengan makna sederhana bahwa, manusia sebagai hamba tidak lantas bisa berlaku semena-mena pada dunia dan seisinya.
FILOSOFI MEMAYU HAYUNING BAWANA
Filosofi Memayu Hayuning Bawana, Bentuk Kearifan Lokal yang Ciptakan Keselarasan Alam.
Kearifan lokal merupakan unsur-unsur kebudayaan yang berasal dari pandangan-pandangan bijaksana masyarakat lokal, sehingga membentuk suatu sistem pengetahuan, perilaku atau aturan yang dianggap baik dan menjadi acuan pada satu kelompok masyarakat di wilayah tertentu, serta diyakini kebenarannya untuk mewarnai pola perilaku masyarakat tersebut. Akan tetapi sistem pengetahuan, perilaku dan aturan tersebut belum tentu dianggap baik juga oleh masyarakat di wilayah lainnya.
Suatu sistem pengetahuan, perilaku atau aturan dapat dikatakan sebagai kearifan lokal apabila berisikan beberapa konsep, antara lain: berasal dari waktu dan pengalaman yang panjang, dapat digunakan sebagai petunjuk untuk melakukan suatu tindakan, tidak terlepas dari suatu wilayah tempatnya berasal, serta bersifat dinamis dan terbuka, sehingga dapat disesuaikan dengan keadaan dan kondisi. Kearifan lokal seringkali berkaitan dengan alam, karena mencakup suatu etika dan moralitas yang menjadi petunjuk masyarakat di wilayah tertentu dalam mengelola dan mengembangkan alam. Selain berkaitan dengan alam, kearifan lokal juga berkaitan dengan hubungan antar manusia dengan manusia lainnya serta hubungan manusia dengan yang gaib. Dengan kata lain, kearifan lokal mencakup hubungan vertikal dan horizontal manusia.
Adanya kearifan lokal memiliki banyak fungsi antara lain sebagai pengatur kehidupan masyarakat, baik secara praktis maupun teknis, sebagai konsepsi tentang kehidupan, sebagai pemberi kerangka referensi, pijakan, pedoman, pengontrol, tata kelola kehidupan, dan rambu-rambu untuk bersikap, bertingkah laku dan berperilaku dalam berbagai dimensi kehidupan, baik saat berhubungan dengan yang yang gaib, dengan sesama manusia maupun dengan alam. Sehingga secara sederhana kearifan lokal memiliki fungsi sebagai penciptanya keselarasan alam.
Sebagai makhluk hidup yang berpikir dan berkebudayaan, manusia memiliki peranan yang sangat besar dalam menjaga keselarasan alam. Manusia harus turut serta merawat alam, karena menjadi tempatnya tinggal dan alam juga selalu memenuhi kebutuhan hidup manusia. Selain merawat alam manusia juga harus paham bagaimana sebaiknya manusia bersikap terhadap alam.
Perwujudan dari peran manusia untuk menjaga keselarasan dan bersikap terhadap alam dapat dilakukan dengan cara mengembangkan keyakinan dan pengetahuan yang baik mengenai cara menjaga keselarasan alam. Salah satu caranya dapat dilakukan melalui kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Terdapat banyak sekali kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan penjagaan keselarasan alam.
Kearifan lokal yang terkenal dan telah mendunia mengenai keselarasan alam adalah konsep Tri Hita Karana di Bali. Konsep Tri Hita Karana merupakan konsep yang terdiri dari aktivitas mengenai tanggung jawab sosial, karena didalamnya mencakup keharmonisan hubungan antar manusia, alam semesta dan yang gaib. Kearifan lokal ini memiliki peran yang sangat besar terhadap keselarasan yang ada di Bali. Para wisatawan dan juga penduduk lokal sangat menaati Tri Hita Karana, sehingga keselarasan alam dapat diciptakan dan berjalan dengan sangat baik.
Konsep-konsep semacam Tri Hita Karana di Bali, tidak hanya mencakup kearifan lokal, tradisi, atau budaya. Akan tetapi dalam sejarahnya, konsep tersebut juga termasuk ke dalam fenomena sosial politik. Sebagai contohnya, penggunaan konsep Tri Hita Karana di Bali digunakan sebagai sebuah upaya untuk merevitalisasi dan melestarikan budaya aslinya.
Sama seperti konsep Tri Hita Karana di Bali, terdapat juga beberapa contoh kearifan lokal yang masih tersimpan di Indonesia, antara lain Sak-Sak di Pulau Lombok, Pikukuh Baduy pada Masyarakat Baduy Banten, serta masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa juga memiliki kearifan lokal sebagai suatu sistem pengetahuan, perilaku atau aturan dalam menjalankan kehidupannya.
Dalam pandangan hidup masyarakat Jawa, kehidupan yang dilakukan tidak terlepas dari alam sebagai tempat tinggal. Masyarakat Jawa akan terus berinteraksi dan bergantung dengan alam secara berkelanjutan, sehingga hal tersebut membuat masyarakat Jawa memiliki kearifan lokal yang digunakan untuk terus menciptakan keselarasan alam. Masyarakat Jawa percaya bahwa mereka memiliki kewajiban untuk turut serta menciptakan keteraturan agar tercipta kosmos yang harmonis, adil, dan teratur. Kewajiban tersebut tertuang dalam ungkapan Jawa Memayu Hayuning Bawana, untuk membangun keindahan dunia serta Memasuh Malaning Bumi sebagai poros penting mencapai tujuan tersebut.
MEMAYU HAYUNING BAWANA
Memayu berasal dari kata Hayu atau Ayu yang memiliki arti indah atau aman yang kemudian mendapat awalan Ma dan memiliki arti memperindah atau memberikan keamanan. Selain itu kata Mamayu juga dapat diartikan sebagai memayungi, yang berarti melindungi dari segala hal yang dapat mengganggu keamanan atau dari ketidak amanan akibat sesuatu. Kata Mamayu kemudian sering diucapkan Memayu. Kata Hayuning berasal dari kata Hayu dengan menambahkan akhiran Ning (milik), yang memiliki arti keindahan atau keselamatan (keselamatannya). Sehingga ungkapan Memayu Hayuning dapat dimaknai sebagai upaya yang mengutamakan keselamatan, kebahagiaan, dan keharmonisan.
Sedangkan kata Bawono atau Bawana memiliki arti dunia, dari segi dunia fisik maupun dunia batin, mental, atau spiritual. Bawono menurut masyarakat Jawa terdiri dari tiga macam arti, yaitu: Bawono Alit (kecil) artinya pribadi dan keluarga; Bawono Agung (besar) artinya masyarakat, bangsa, negara dan internasional (global); Bawono Langgeng (abadi) artinya akhirat. Kata Hayuning Bawana juga dapat dilihat sebagai objek yang dilindungi atau dipayungi. Objek yang dimaksud bisa berarti alam semesta yang diharapkan dapat terus lestari. Hal tersebut menjelaskan bahwa adanya ancaman bagi kelestarian alam dari satu pihak dan upaya mempertahankan keharmonisan alam dari pihak yang lainnya.
Makna terjemahan Memayu Hayuning Bawana memiliki arti membuat indah keindahan alam. Para leluhur masyarakat Jawa memiliki tujuan agar konsep tersebut dapat digunakan untuk mengkonservasi, menjaga, dan memelihara alam, serta memiliki tekad untuk mengelola alam tanpa merusak segala yang ada di alam semesta sebagai suatu amanah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Memayu Hayuning Bawana merupakan sebuah filosofi Jawa yang mencerminkan bentuk perilaku masyarakat Jawa dalam menyelaraskan antara makrokosmos (jagad gumelar) dan mikrokosmos (jagad gumulung). Falsafah tersebut bersifat universal dan mencakup pedoman mengenai berbagai masalah sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, serta lingkungan hidup. Masyarakat Jawa percaya konsep ini tidak hanya sebagai filosofi hidup tetapi juga sebagai karakter yang harus dimiliki setiap orang.
Peran Memayu Hayuning Bawana dalam Menciptakan Keselarasan Alam.
Tidak dapat dipungkiri bahwa alam seringkali mengalami kerusakan yang disebabkan oleh perilaku manusia, selain itu akibat-akibat dari kelalaian yang dilakukan manusia dalam mengelola alam juga dapat menyebabkan kecelakaan pada manusia itu sendiri. Sehingga dari permasalah tersebut, manusia berkaca dan mencari solusi yang paling tepat.
Masyarakat Jawa telah mempunyai kearifan lokal Memayu Hayuning Bawana sebagai bentuk kebijaksanaan yang dapat digunakan manusia untuk mengelola alam.
Sejak dinasti Mataram Islam, Memayu Hayuning Bawana memiliki peran yang sangat besar untuk mengajarkan masyarakat Jawa mencapai keselarasan antara manusia sebagai makrokosmos dengan alam sebagai mikrokosmos, selain itu juga tidak dapat dilepaskan dengan konsep hakikat hidup manusia. Memayu Hayuning Bawana menjadi upaya penciptaan harmonisasi ikatan antara manusia dengan Sang Pencipta, antar sesama umat manusia, antar manusia dengan makhluk yang gaib dan umat manusia dengan alam yang selaras dan seimbang. Kosmos, termasuk kehidupan, benda-benda dan peristiwa-peristiwa di dunia merupakan suatu kesatuan yang terkoordinasi dan teratur, suatu kesatuan eksistensi yang membuat setiap gejala, material dan spiritual memiliki arti yang jauh melebihi segala sesuatu yang dapat dilihat. Masyarakat Jawa memiliki anggapan bahwa alam merupakan ungkapan kekuasaan yang akan menentukan kehidupan manusia. Melalui alam semesta, manusia akan menyadari adanya ketergantungan pada kekuasaan-kekuasaan adiduniawi yang tidak dapat diperhitungkan.
Analisis kosmologi mengenai Memayu Hayuning Bawana merupakan pencerminan kepekaan masyarakat Jawa dengan alam semesta. Kepekaan tersebut didasari oleh keadaan nurani yang bersih, sehingga menjadi modal untuk menyeimbangan batin. Dengan batin yang seimbang inilah, manusia akan memiliki ketajaman rasa serta dapat menghayati hidup secara mendalam. Sehingga konsep Memayu Hayuning Bawana ikut berperan dalam menjaga terciptanya keseimbangan kosmos. Selain itu, ikatan kosmos yang kuat sangat diperlukan manusia untuk menggantungkan dirinya kepada kekuatan alam secara utuh.
Peranan Memayu Hayuning Bawana pada mikrokosmos adalah adanya hubungan pribadi yang harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta; adanya hubungan yang harmonis antara pemimpin yang mengayomi rakyatnya; adanya tanggung jawab pemimpin terhadap kemakmuran dan keamanan rakyatnya; dan adanya rasa patuh dari rakyat terhadap pemimpin terkait dengan tujuan bersama yang mengarah pada kebaikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kewajiban yang dilakukan pada kehidupan manusia memang diperuntukan bagi kehidupan sesama dan alam semesta. Selain itu, Memayu Hayuning Bawana juga memiliki peran terhadap hubungan antara manusia dengan tuhannya, berbentuk keikhlasan manusia melakukan sesuatu pada tingkatan makrokosmos maupun mikrokosmos.
Dalam penerapan konsep Memayu Hayuning Bawana memiliki beberapa tingkatan, antara lain :
1. Memayu Hayuning Pribadi lan Kulawarga (kebaikan untuk diri sendiri dan keluarga).
2. Memayu Hayuning Sasama (kebaikan untuk sesama manusia dan makhluk).
3. Memayu Hayuning Bawana (Kebaikan untuk seluruh alam semesta).
ALAM FILOSOFI PIYANTUN JAWA
Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan manusia berada dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta, yang mengandung kekuatan-kekuatan supranatural (adikodrati). Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antarakehidupan makrokosmos dengan mikrokosmos.
Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna (dunia atas dunia manusia dunia bawah).
Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan. Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata (mikrokosmos) adalah tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang nampak oleh mata. Dalam menghadapi kehidupan manusia yang baik dan benar di dunia ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya.
Bagi orang Jawa dahulu, pusat dunia ini ada pada pimpinan atau raja dan keraton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja dianggap perwujudan wakil Tuhan di dunia (Sabdo Pandhita Ratu Tan keno wola-wali). Sabda pandhita ratu, tan kena wola-wali dan Berbudi Bawalaksana. Dalam pengartian bebas ungkapan Sabda pandhita ratu tan kena wola-wali dapat diartikan ucapan pendeta/raja, tidak boleh diulang dan berbudi bawalaksana dapat berarti mempunyai sifat teguh memegang janji, setia pada janji atau secara harafiah bawalaksana dapat juga diartikan satunya kata dan perbuatan, sehingga dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan dari dua alam. Jadi raja dipandang sebagai pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos dari wakil Tuhan dengan keraton sebagi tempat kediaman raja. Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena raja dianggap merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah kedaulatannya dan membawa ketentraman, keadilan, dan kesuburan wilayah.
Hal-hal di atas merupakan gambaran umum tentang alam pikiran serta sikap dan pandangan hidup yang dimiliki oleh orang Jawa pada jaman kerajaan. Alam pikiran ini telah berakar kuat dan menjadi landasan falsafah dari segala perwujudan yang ada dalam tata kehidupan orang Jawa.
Ciri pandangan hidup orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan Numinus antara alam nyata, masyarakat dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang menentukan kehidupan. Orang Jawa percaya bahwa kehidupan mereka telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan.
Spiritualis kejawen memiliki dua kitab yang tidak akan tamat dibaca seumur hidup sampai akhir jaman berupa kitab tan tinulis yang disebut :
1. Kitab Jagad Gumelar (macro cosmos) dan.
2. Kitab Jagad Gumulung (micro cosmos).
Wujudnya tertuang dalam sastra cetha dan sastra lampah.
Jagad gumelar tidak lain adalah jagad seisinya berupa bintang, bulan, matahari bumi, mega, hujan, laut, batu, kayu, api dan sebagainya baik yang kasat mata maupun tak kasat mata. Sedangkan jagad gumulung adalah badan sekojur pada diri manusia meliputi wujud fisik, sukma, jiwa, pikir, rasa, batin, swasana, nasib dan seterusnya. Untuk memahami hal ihwal tentang hidup maka manusia harus membaca setiap fenomena yang dijumpai pada jagad gumelar maupun jagad gumulung. Penuangan melalui sastra cetha maksudnya adalah segala bentuk atau wujud kebendaan hingga makna, sifat dan fungsinya yang harus dimengerti dan dipahami secara lebih dalam dan lebih dalam lagi. Adapun yang dimaksud dengan sastra lampah adalah pemahaman tentang alam rasa, alam pikir, alam batin, krenteg, karep (kehendak) hingga perwujudan dalam omong sekecap laku setindak dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu pun harus dipahami sedalam-dalamnya tanpa pretensi Inklusi Sosial. Inklusi sosial adalah sebuah proses sosial dalam masyarakat yang mencoba memperbaiki pola relasional antar individu dan kelompok, termasuk memperbaiki kemampuan dan kesempatan, secara bermartabat, untuk mengakses berbagai sumberdaya dalam masyarakat.
Caos sesaji dalam berbagai perwujudannya didasari oleh kesadaran manusia sebagai makhluk dependen yang tidak dapat hidup sendiri. Faktanya, di dalam sesaji selain terkandung elemen magi dan elemen filosofi, juga terkandung kesadaran sosial dalam konteks hubungan dengan sesama manusia, dengan sesama hidup, dengan alam semesta, dengan Tuhan. Seberapa jauh seseorang berkemampuan membaca Kitab Jagad Gumelar dan Kitab Jagad Gumulung berbanding searah dengan kemampuan seseorang memaknai setiap sisi hubungan tersebut. Dan semua itu terangkum di dalam macam-macam sesaji yang dipersembahkan.
Kesadaran manusia sebagai makhluk sosial Inklusi Sosial sekaligus makhluk bertuhan secara nyata tergambar pada nasi tumpeng beserta lauk-pauknya. Nasi tumpeng sendiri merupakan simbol hubungan manusia dengan Tuhan. Sementara itu lauk-pauknya menggambarkan kebhinekaan dalam kehidupan sosial. Lauk pauk terdiri dari berbagai jenis olahan dari bahan dasar sayuran dan daging yang memiliki aneka rasa manis, asin, asam, pahit dan pedas menggambarkan berbagai jenis manusia lengkap dengan segala sifat dan perilakunya. Kulupan (kulup krawu) yang berupa perpaduan sayuran dan ampas kelapa menggambarkan bahwa setiap orang harus mampu hidup berbaur dengan siapa saja di lingkungannya dengan saling mengisi untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tenteram dan damai.
Masih banyak lagi ragam sesaji yang memiliki makna kesadaran sosial. Alas tikar menggambarkan betapa dalam kehidupan sosial setiap individu harus satu maksud satu tujuan yang didasari oleh nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan. Lawon (kain mori putih) memiliki makna hendaknya dalam ucapan dan tindakan harus dilandasi oleh perasaan dan pikiran yang bersih. Sementara itu bunga-bungaan diartikan bahwa dalam hidup ini harus mampu berbuat hal terbaik yang menebarkan keharuman nama diri dan kelompok sosialnya.
Wedang kopi memiliki makna bahwa manusia dalam hidupnya harus senantiasa siap menghadapi manis pahitnya kehidupan. Bekakak atau ingkung menggambarkan bahwa hidup harus senantiasa pasrah sumarah mring purbaning Gusti. Sedangkan jajanan pasar menggambarkan kerukunan dalam perbedaan yang harus senantiasa tenggang rasa. Dan ikan teri yang merupakan jenis ikan kecil yang suka bergerombol melambangkan manusia dalam hidupnya harus senantiasa hidup rukun saling menghargai, saling menghormati dan saling tolong-menolong.
Jadi sesaji sebagai sebuah prosesi ritual tradisional bukanlah sesuatu hal yang bersifat gugon tuhon. Dalam budaya dan bahasa Jawa, gugon tuhon yaiku piwulang sing ora tinemu nalar nanging digatekake lan dituruti dening masyarakat. Maksudnya, gugon tuhon merupakan ujaran masyarakat Jawa yang berupa larangan. Gugon tuhon adalah ajaran yang tidak dapat dinalar tetapi diperhatikan dan dilakukan oleh masyarakat. Asal mula gugon tuhon adalah untuk menakuti anak-anak agar lebih sopan dan beretika dalam tingkah lakunya.
Gugon tuhon bisa dikatakan mirip dengan beberapa bentuk ungkapan lain dalam kazanah bahasa dan sastra Jawa, karena perkembangannya juga disampaikan secara lisan. Sifat lisan yang dimiliki oleh perkembangan ungkapan adalah disampaikan melalui tuturan dari mulut ke mulut, bahkan bisa melintasi batasan generasi dan membentuk suatu tradisi dan budaya.
Sebagai wujud persembahan, sesaji didasari oleh alur pikir logis dan rasional sesuai dengan konsep alam pikir, alam rasa dan pengalaman hidup masyarakat pendukungnya. Di dalamnya terkandung kaya makna yang harus digoleki (dicari) sejauh mungkin dalam koridor positif thinking dan kesadaran diri sebagai makhluk bertuhan sekaligus sosial. Melalui berbagai perwujudannya, sesaji adalah wujud doa. Di sini kita dapat melihat betapa doa tidak selalu harus berwujud kata-kata. Wujud kebendaan atau suasana dapat dimaknai secara simbolis yang arahnya adalah sebagai bentuk panyuwunan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Di dalam sesaji terkandung pula simbol-simbol terkait dengan kehidupan sosial manusia yang bersifat dependen (tergantung /terikat, tidak berdiri sendiri), saling membutuhkan. Untuk itulah melalui pemaknaan sesaji yang santun dan beradab maka akan dijumpai nilai-nilai luhur yang dapat digunakan sebagai media pemersatu bangsa Nusantara.