Kitab Sutasoma
Sebagaimana yang kita ketahui, semboyan negara Indonesia
adalah Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika merupakan kalimat dengan
bahasa Sansekerta yang diambil dari kitab bernama Sutasoma. Kitab ini merupakan
sebuah syair yang ditulis dalam bahasa Jawa kuno dengan aksara Bali.
Kitab Sutasoma dikarang oleh seorang pujangga Kerajaan
Majapahit.
Kitab Sutasoma merupakan sebuah syair yang dibuat oleh
pujangga terkenal pada masa kerajaan Majapahit. Pujangga tersebut bernama Mpu
Tantular. Dalam bahasa Jawa Kuno, nama Mpu merupakan gelar kepada orang yang
pandai atau tukang. Sementara Tantular berasal dari dua kata, yakni tan yang
artinya tidak dan tular yakni terpengaruhi. Sehingga, Tantular memiliki arti
orang yang teguh.
Mpu Tantular hidup di masa pemerintahan Raja Rajasanagara
atau yang dikenal dengan Hayam Wuruk. Ia juga masih bersaudara dengan sang
raja, yaotu keponakannya Bhratratmaja dan menantu adik wanita sang raja.
Kakawin Sutasoma adalah sebuah kakawin dalam bahasa Jawa
Kuno. Kakawin ini termasyhur, sebab setengah bait dari kakawin ini menjadi
motto nasional Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika (Bab 139.5).
Motto atau semboyan Indonesia tidaklah tanpa sebab diambil dari kitab kakawin ini. Kakawin ini mengenai sebuah cerita epis dengan pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya. Amanat kitab ini mengajarkan toleransi antar agama, terutama antar agama Hindu-Siwa dan Buddha. Kakawin ini digubah oleh Empu Tantular pada abad ke-14.
Calon Buddha (Bodhisattva) dilahirkan kembali sebagai
Sutasoma, putra Raja Hastinapura, prabu Mahaketu. Setelah dewasa Sutasoma
sangat rajin beribadah, cinta akan agama Buddha. Ia tidak senang akan
dinikahkan dan dinobatkan menjadi raja. Maka pada suatu malam, sang Sutasoma
melarikan diri dari negara Hastina.
Maka setelah kepergian sang pangeran diketahui, timbullah
huru-hara di istana, sang raja beserta sang permaisuri sangat sedih, lalu
dihibur oleh orang banyak.
Setibanya di hutan, sang pangeran bersembahyang dalam
sebuah kuil. Maka datanglah dewi Widyukarali yang bersabda bahwa sembahyang
sang pangeran telah diterima dan dikabulkan. Kemudian sang pangeran mendaki
pegunungan Himalaya diantarkan oleh beberapa orang pendeta. Sesampainya di
sebuah pertapaan, maka sang pangeran mendengarkan riwayat cerita seorang raja,
reinkarnasi seorang raksasa yang senang makan manusia.
Alkisah sak wijining dina adalah seorang raja bernama Purusada
atau Kalmasapada, pada suatu waktu daging persediaan santapan sang prabu,
hilang habis dimakan anjing dan babi. Lalu si juru masak bingung dan
tergesa-gesa mencari daging pengganti, tetapi tidak dapat. Lalu ia pergi ke
sebuah pekuburan dan memotong paha seorang mayat dan menyajikannya kepada sang
raja. Sang raja sungguh senang karena merasa sangat sedap masakannya, karena
dia memang reinkarnasi raksasa. Kemudian dia bertanya kepada sang juru masak,
tadi daging apa. Karena si juru masak diancam, maka iapun mengaku bahwa tadi
itu adalah daging manusia. Semenjak saat itu diapun gemar makan daging manusia.
Rakyatnyapun sudah habis semua; baik dimakan maupun melarikan diri. Lalu sang
raja mendapat luka di kakinya yang tak bisa sembuh lagi dan iapun menjadi
raksasa dan tinggal di hutan.
Sang raja memiliki kaul akan mempersembahkan 100 raja
kepada batara Kala jika dia bisa sembuh dari penyakitnya ini.
Sang Sutasoma diminta oleh para pendeta untuk membunuh
raja ini tetapi ia tidak mau, sampai-sampai dewi Pretiwi keluar dan memohonnya.
Tetapi tetap saja ia tidak mau, ingin bertapa saja.
Maka berjalanlah ia lagi. Di tengah jalan syahdan ia
berjumpa dengan seorang raksasa ganas berkepala gajah yang memangsa manusia.
Sang Sutasoma hendak dijadikan mangsanya. Tetapi ia melawan dan si raksasa
terjatuh di tanah, tertimpa Sutasoma. Terasa seakan-akan tertimpa gunung. Si
raksasa menyerah dan ia mendapat khotbah dari Sutasoma tentang agama Buddha
bahwa orang tidak boleh membunuh sesama makhluk hidup. Lalu si raksasa menjadi
muridnya.
Lalu sang pangeran berjalan lagi dan bertemu dengan
seekor naga. Naga ini lalu dikalahkannya dan menjadi muridnya pula.
Maka akhirnya sang pangeran menjumpai seekor harimau
betina yang lapar. Harimau ini memangsa anaknya sendiri. Tetapi hal ini dicegah
oleh sang Sutasoma dan diberinya alasan-alasan. Tetapi sang harimau tetap saja
bersikeras. Akhirnya Sutasoma menawarkan dirinya saja untuk dimakan. Lalu iapun
diterkamnya dan dihisap darahnya. Sungguh segar dan nikmat rasanya. Tetapi
setelah itu si harimau betina sadar akan perbuatan buruknya dan iapun menangis,
menyesal. Lalu datanglah batara Indra dan Sutasoma dihidupkan lagi. Lalu
harimaupun menjadi pengikutnya pula. Maka berjalanlah mereka lagi.
Hatta tatkala itu, sedang berperanglah sang Kalmasapada
melawan raja Dasabahu, masih sepupu Sutasoma. Secara tidak sengaja ia menjumpai
Sutasoma dan diajaknya pulang, ia akan dikawinkan dengan anaknya. Lalu iapun berkawinlah
dan pulang ke Hastina. Ia mempunyai anak dan dinobatkan menjadi prabu Sutasoma.
Maka diceritakanlah lagi sang Purusada. Ia sudah mengumpulkan 100 raja untuk dipersembahkan kepada batara Kala, tetapi batara Kala tidak mau memakan mereka. Ia ingin menyantap prabu Sutasoma. Lalu Purusada memeranginya dan karena Sutasoma tidak melawan, maka dia berhasil ditangkap.
Setelah itu dia dipersembahkan kepada batara Kala.
Sutasoma bersedia dimakan asal ke 100 raja itu semua dilepaskan. Purusada
menjadi terharu mendengarkannya dan iapun bertobat. Semua raja dilepaskan.
Bhinneka Tunggal Ika, Kutipan ini berasal dari pupuh 139,
bait 5. Lengkapnya ialah :
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Maknanya :
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada kebenaran
yang mendua.
Penggubah dan masa penggubahan
Kakawin Sutasoma digubah oleh mpu Tantular pada masa
keemasan Majapahit di bawah kekuasaan prabu Rajasanagara atau raja Hayam Wuruk.
Tidak diketahui secara pasti kapan karya sastra ini digubah. Oleh para pakar
diperkirakan kakawin ini ditulis antara tahun 1365 dan 1389. Tahun 1365 adalah tahun
diselesaikannya kakawin Nagarakretagama sementara pada tahun 1389, raja Hayam
Wuruk mangkat. Kakawin Sutasoma lebih muda daripada kakawin Nagarakretagama.
Selain menulis kakawin Sutasoma, mpu Tantular juga jelas
diketahui telah menulis kakawin Arjunawijaya. Kedua kakawin ini gaya bahasanya
memang sangat mirip satu sama lain.
Kakawin Sutasoma sebagai sebuah karya sastra Buddhis
Kakawin Sutasoma bisa dikatakan unik dalam sejarah sastra
Jawa karena bisa dikatakan merupakan satu-satunya kakawin bersifat epis yang
bernapaskan agama Buddha.
Penurunan kakawin Sutasoma
Kakawin Sutasoma diturunkan sampai saat ini dalam bentuk
naskah tulisan tangan, baik dalam bentuk lontar maupun kertas. Hampir semua
naskah kakawin ini berasal dari pulau Bali. Namun ternyata ada satu naskah yang
berasal dari pulau Jawa dan memuat sebuah fragmen awal kakawin ini dan berasal
dari apa yang disebut Koleksi Merapi-Merbabu. Koleksi Merapi-Merbabu ini
merupakan kumpulan naskah-naskah kuno yang berasal dari daerah sekitar
pegunungan Merapi dan Merbabu di Jawa Tengah. Dengan ini bisa dipastikan bahwa
teks ini memang benar-benar berasal dari pulau Jawa dan bukan pulau Bali.
Resepsi kakawin Sutasoma di Bali
Di pulau Bali kakawin ini merupakan salah satu kakawin
yang cukup digemari. Hal ini berkat kiprah I Gusti Sugriwa, salah seorang pakar
susastra dari Bali yang memopulerkan kakawin ini. Ia sebagai contoh banyak
menggunakan petikan-petikan dari kakawin ini dalam bukunya mengenai pelajaran
kakawin.
Penerbitan kakawin KITAB Sutasoma
Kakawin Sutasoma telah diterbitkan dan diterjemahkan
dalam bahasa Inggris oleh Soewito Santoso. Suntingan teksnya diterbitkan pada
tahun 1975.
Selain itu di Bali banyak pula terbitan suntingan teks.
Salah satu contohnya yang terbaru adalah suntingan yang diterbitkan oleh
"Dinas Pendidikan provinsi Bali" (1993). Namun suntingan teks ini
dalam aksara Bali dan terjemahan adalah dalam bahasa Bali.
Antara tahun 1959 - 1961 pernah diusahakan penerbitan
teks sebuah naskah yang diiringi dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh
I Gusti Bagus Sugriwa.
Pada tahun 2009 terbit terjemahan baru dalam bahasa
Indonesia beserta teks aslinya dalam bahasa Jawa Kuno. Suntingan teks dan
terjemahan diusahakan oleh Dwi Woro R. Mastuti dan Hastho Bramantyo.
Dikutip dari buku Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara
Fakultas Sastra Universitas Indonesia karya T. E. Behrend dan Titik Pudjiastuti
(1997:285-285), Kitab Sutasoma merupakan kisah Sang Sutasoma sebagai titisan
Sang Hyang Buddha untuk menegakkan dharma. Sutasoma, putra Prabu Mahaketu dari
kerajaan Astina, lebih menyukai mendalai ajaran Buddha Maharaya daripada harus
menggantikan ayahnya sebagai raja.
Batera Surasoma memiliki misi yaitu menumpaskan segala
ulah manusia yang berbuat jahat atau senantiasa mengganggu ketentuan dunia
lewat perubahan wujud seperti desti, leyak, dan makhluk lain yang serba
menyeramkan serta mantra-mantar yang sakti.
Kitab Sutasoma berakhir dengan mantra Regina Sastra Bahu
yang berfungsi menetralisir kembali dunia beserta isinya yang memakai sarana
tertentu. Di antaranya Sata Panca Warna, Sgawu, Tepung Tawar, dan lainnya
dengan puja-puja dan dipendam secara terpisah di keempat penjuru angin (nyatur)
dalam tempat atau pekarangan.
Semboyan Negara Indonesia
Seperti yang kita ketahui, semboyan negara kita adalah
Bhinneka Tunggal Ika dari Kitab Sutasoma. Kutipan frasa ini terdapat pada pupuh
139 bait 5 yang berbunyi sebagai berikut :
Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa Bhinneki rakwa ring
apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka
tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Artinya adalah Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat
yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab
kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal. Terpecahbelahlah itu, tetapi
satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Hal ini dikarenakan keterbukaan dari Mpu Tantular terhadap ajaran lain, terutama ajaran Hindu-Siwa yang bisa didapatkan pada kitabnya yaitu Arjunawijaya dan Sutasoma. Selain itu, masyarakat Majapahit juga sudah mengenal berbagai agama, meskipun agama mayoritasnya adalah Hindu dan Buddha
Salah satu bentuk kecintaan kita kepada negara, dapat
ditunjukkan melalui mempelajari sejarah bangsa dan negara kita. Salah satu
bukti peninggalan sejarah yang perlu untuk ditauladani adalah Kitab Sutasoma. Kitab
Sutasoma adalah sebuah karya sastra yang dikarang oleh seorang sastrawan
bernama Mpu Tantular pada abad ke-14. Ingin tahu lebih jauh tentang isi dan
sejarah Kitab Sutasoma?
Sejarah Kitab Sutasoma
Kitab Sutasoma menjadi sebuah karya sastra yang ditulis
pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Tepatnya ketika Prabu Hayam Wuruk
memimpin.
Diperikaran Kakawin Sutasoma atau Kitab Sutasoma ditulis Mpu Tantular
antara tahun 165 dan 1389. Karya ini berisikan tentang kehidupan sang Pangeran
Sutasoma yang dimana dalam setiap bait yang dituliskannya juga mengajarkan
tentang nilai-nilai kehidupan seperti toleransi beragama, terlebih antara
Buddha dan Hindu.
Naskah kitab yang dituliskan menggunakan aksara Bali
dalam bahasa Jawa kuno. Kitab Sutasoma dibuat dengan bahan dasar daun lontar,
dengan ukuran 40,5 x 3,5 cm.
Kitab Sutasoma tersusun dari 1.210 bait dalam 148 pupuh.
Sutasoma berusia lebih muda satu tahun dibanding dengan Kitab Negarakertagama
yang penulisannya selesai pada tahun 1365.
Isi Kitab Sutasoma
Kitab Sutasoma atau kakawin Sutasoma merupakan
peninggalan sejarah berupa sebuah kitab dalam bahasa Jawa Kuno, yang menjadi
sumber inspirasi dirumuskannya semboyan nasional Indonesia, yaitu Bhinneka
Tunggal Ika.
Kakawin ini berisi tentang sebuah cerita epis dengan
pangeran Sutasoma sebagai protagonisnya yang digubah oleh Mpu Tantular pada
abad ke-14.
Pesan yang disampaikan dari kitab ini yakni mengajarkan
toleransi antar umat beragama, utamanya antar agama Hindu-Siwa dan Buddha.
Kitab ini ditulis saat masa keemasan Kerajaan Majapahit,
di bawah kekuasaan Prabu Hayam Wuruk, yang diperkirakan digubah antara tahun
1365 dan 1389, lantaran usianya lebih muda dari Kitab Negarakertagama yang
selesai ditulis pada 1365.
Kitab Sutasoma ini memilki ukuran 40,5 x 3,5 cm dengan
naskahnya yang terbuat dari bahan daun lontar.
Sementara naskahnya berisi 1.210 bait dalam 148 pupuh
yang ditulis menggunakan aksara Bali dalam bahasa Jawa Kuno.
Seperti yang kita ketahui bahwa setiap kitab kuno pasti
berisikan tentang perjalanan hidup seorang tokoh yang nantinya dapat
ditauladani oleh para generasi penerusnya, begitu pula dengan Kitab Sutasoma.
Kitab Sutasoma menceritakan tentang usaha Pangeran Sutasoma yang menjalani
kehidupannya sebagai titisan Sang Hyang Buddha dalam menegakkan dharma.
Asal Usul dan Isi Kitab Sutasoma
Karangan Mpu Tantular
Indonesia memiliki semboyan bangsa, yakni Bhinneka
Tunggal Ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap sati.” Semboyan inilah yang
menjadi moto bangsa Indoenesia karena melambangkan persatuan di tengah
keberagaman masyarakat Indoensia. Sebenarnya semboyan ini sudah ada sejak
dahulu kala dan terdapat dalam Kakawin atau Kitab Sutasoma yang dikarang oleh
Mpu Tantular.
Kitab Sutasoma merupakan syair yang ditulis dalam bahasa
Jawa kuno dengan aksara Bali pada abad ke-14. Adapun kutipan Bhinneka Tunggal
Ika terdapat dalam petikan pupuh 139 bair 5 di Kitab Sutasoma. Kitab ini
bercerita tentang seorang pangeran bernama Sutasoma yang berasal dari Negeri
Hastinapura yang sedang menemukan makna hidup sesungguhnya.
Konon katanya ketampanan Sutasoma dianggap dianggap
setara dengan Arjuna putra Pandu. Sang pangeran ini memilih untuk hidup sebagai
pertapa dengan tujuan mencapai keutamaan hidup. Dalam kitab Sutasoma berisi
banyak sekali pelajaran yang berharga, seperti mengajarkan toleransi antar umat
beragama yang saat ini sudah mulai luntur di era modern.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, kitab Sutasoma
berisi tentang kisah Sutasoma sebagai titisan Sang Hyang Buddha untuk
meneggakan dharma. Menurut buku Sejarah Sastra Jawa karya Purwadi (2005:36), di
perjalanan menuju pertamaan, sang pangeran bertemu dengan raksasa berkepala
gajar pemakan manusia dan ular naga. Si raksasa dan ular naga yang sebelumnya
yang ingin memangsa Pangeran Sutasoma berhasil ditaklukkan setelah mendengar
khotbah darinya tentang agama Buddha.
Sutasoma sempat mati karena bersedia menjadi mangsa
harimau, tetapi kemudian Batara Indra datang dan menghidupkan Sutasoma kembali.
Sata kembali ke Astina, Sutasoma akhirnya dinobatkan sebagai raja dengan gelar
Prabu Sutasoma.
Adapun kutipan Bhineka Tunggal Ika yang terdapat dalam
kitab Sutasoma berbunyi sebagai berikut.
Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa
Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal
Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
ESTETIKA KAKAWIN SUTASOMA
Sejak dahulu naratif atau cerita Sutasoma tergolong
sangat penting, terkemuka, dan populer di kalangan masyarakat Jawa sehingga
cerita Sutasoma digubah dalam rupa (lukis dan relief candi, misalnya), seni
pertunjukan, dan susastra (baik puisi maupun prosa). Penggubah cerita Sutasoma
ke dalam bentuk puisi Jawa Kuno yang sangat terkemuka dan terabadikan di dalam
ingatan kita adalah Mpu Tantular.
Sebagaimana kita ketahui, Mpu Tantular adalah seorang
kawi-kawya (penyair) yang telah menggubah Kakawin Sutasoma pada masa
pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit. Selain kakawin-kakawin penting lainnya,
Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular merupakan salah satu karya sastra Jawa Kuno
yang amat penting, ternama, dan populer dalam khazanah sastra Jawa, bahkan
dalam bingkai bangsa Indonesia karena mengandung keunikan-keunikan yang
memperkaya khazanah praksis sastra Jawa Kuno sekaligus mampu menginspirasi
berbagai pihak termasuk menginspirasi bangsa Indonesia.
Pada dasarnya Kakawin Sutasoma merupakan puisi didaktis,
yaitu puisi yang mengedepankan fungsi mendidik meskipun tidak meninggalkan
fungsi memberi keindahan. Seturut dalil lama tentang fungsi dasar susastra,
dapat dikatakan bahwa Kakawin Sutasoma menampilkan fungsi dulce et utile,
menghibur dan mendidik, secara serempak (simultan). Kendati fungsi mendidik
tampak sekali dikedepankan dalam Kakawin Sutasoma, namun fungsi menghibur dalam
arti memberi keindahan juga tampak kuat di dalamnya, tanpa harus terjatuh
menjadi kitab moral atau kitab kotbah.
Dapat dikatakan di sini bahwa Kakawin Sutasoma berhasil
menyeimbangkan atau memadukan secara selaras-setimbang fungsi mendidik dan
memberi keindahan. Dinyatakan oleh Zoetmulder, “Perpaduan antara permenungan
metafisiknya yang mendalam, yang terutama didapati dalam ajaran Sutasoma kepada
murid-muridnya serta pelukisan naratif yang beraneka warna tentang manifestasi
Budha di dunia dan usahanya untuk menyelamatkan dunia, tak pernah kehilangan
daya tariknya” (Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, 1985:437).
Dalam istilah sekarang bisa dinyatakan bahwa Kakawin
Sutasoma memadukan dengan bagus anasir edukatif sekaligus anasir
naratif-puitis. Kita bisa bertanya: anasir edukasi apakah yang ditampilkan
dalam Kakawin Sutasoma?; anasir naratif-puitis apakah yang membangun atau
membentuk Kakawin Sutasoma? Bilamana kita baca secara menyeluruh dan utuh
Kakawin Sutasoma, niscaya kita dapat bersepakat atau minimal sepaham dengan
Zoetmulder yang menyatakan bahwa …”Sutasoma merupakan kisah Buddhis dan oleh
karena itu sungguh unik dalam sastra kakawin epis dari aman Jawa” (1985:434);
“…kakawin ini … menambah pengetahuan kita tentang ide-ide religiositas pada
zaman itu khususnya mengenai bentuk Buddhisme Mahayana seperti berlaku di
keraton Majapahit beserta hubungannya dengan Siwaisme…” (1985:435).
Masuk akal bila ditegaskan di sini bahwa Kakawin Sutasoma
merupakan perwujudan (manifestasi atau representasi) estetika yang dapat
disebut sebagai estetika keterpaduan, keseimbangan, dan keselarasan, bukanlah
estetika keterpisahan, kenjomplangan, dan ketakserasian (atau bisa disebut
estetika fragmentatif, asimetris, dan pertentangan). Tak heran, Kakawin
Sutasoma berusaha memadukan-menyeimbangkan-menyelaraskan fungsi edukasi
religius (spiritual-filosofis-etis) Buddhisme-Siwaisme dengan fungsi
estetis-puitis kakawin. Dari sinilah kita bisa melihat keterpaduan timbal-balik
dimensi spiritual, filosofis, etis, dan estetis-puitis dalam Kakawin Sutasoma,
bahkan tampak dimensi estetis-puitis justru diabdikan pada dimensi spiritual,
filosofis, dan etis.
Di situ norma-norma estetis-puitis kakawin disetimbangkan
dan diserasikan dengan norma-norma spiritual, filosofis, dan etis kakawin
sehingga teks Kakawin Sutasoma, seperti halnya kakawin-kakawin lainnya, tidak
otonom. Berbeda dengan estetika atau puitika sastra pada umumnya yang menuntut
licientia poetica, yaitu pelanggaran bahasa demi puitika, Kakawin Sutasoma bisa
dibilang tidak mengandung licientia poetica. Penyair atau kawi harus tunduk
sepenuhnya pada kakawin yang digubahnya sebagai manifestasi
spriritualitas-filosofi-etika Buddhisme dan Siwaisme, bukan menampilkan diri
(persona) secara otonom.
Berkenaan dengan itu, kita bisa menduga bahwa Mpu
Tantular bukan nama sebenarnya penggubah Kakawin Sutasoma, melainkan hanya
sebutan atau nama alias belaka. Kita tidak mengetahui siapa sebenarnya Mpu
Tantular, kita hanya mengetahui bahwa ada (eksis) Kakawin Sutasoma. Di samping
itu, Mpu Tantular niscaya seorang yogi, orang yang sudah menjalani laku rohani
atau yoga dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, persona penggubah
kakawin menyatukan diri, menghilangkan diri, melindapkan diri, atau bahkan
mungkin menyirnakan diri di dalam kakawin.
Mengapa demikian? Kata Zoetmulder, Dalam visi puisi Jawa
Kuno bagi penyair atau kawi, puisilah yang menjadi sarana untuk mencapai tujuan
terakhir: puisi adalah agamanya, Sang Dewa yang ingin ditemukannya menjelma
selaku Dewa Keindahan, dan Keindahan (Kalangwan, dalam bahasa Jawa Kuno)
menjadi tarekat, jalan untuk mencapai tujuan tersebut…. Bagi penyair persatuan
dengan Dewa Keindahan sekaligus menjadi sarana dan sasaran: sarana untuk
mencipta karya yang indah, kakawinnya…dan sasaran sebab dengan praktik
terus-menerus dia akan mencapai moksa, kelepasan akhir dalam persatuan itu”.
Persona sang penyair atau kawi yang menggunakan nama Mpu Tantular sudah
menyirnakan diri atau menyatukan diri dengan Kakawin Sutasoma; kita hanya
mengetahui sebutan Mpu Tantular, bukan orangnya. Kini kita berhadapan dengan
Kakawin Sutasoma semata sebagai manifestasi atau representasi Keindahan Tuhan.
KITAB KAKAWIN SUTASOMA AJARAN LELUHUR JAWA UNTUK NUSANTARA
Kitab Kakawin Sutasoma ditulis oleh Mpu Tantular di jaman Kerajaan Majapahit.
Kitab Kakawin Sutasoma ditulis di daun lontar, dengan ukuran 40,5 x 3,5 cm yang tersusun dari 1.210 bait dalam 148 pupuh yang penulisannya selesai pada tahun 1365
Berikut ini salah satu bait di dalam Kitab Kakawin Sutasoma :
Rwaneka dhatu winuwus
Buddha Wiswa
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen
Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa
Bait di atas pada pupuh 139 bait 5 yang digunakan para tokoh pendiri bangsa dalam merumuskan Semboyan Negara adalah Bhineka Tunggal Ika.
Selain itu pada pupuh 117 bait 7 terdapat ajaran Dhasa Shila yang dijadikan pedoman oleh para tokoh pendiri bangsa dalam merumuskan Dasar Negara yaitu Pancasila.
Berikut ini penjelasan DASHA SHILA :
1. AJA SIRA ANLARANI HATI NIN NON
Janganlah Menyakiti Perasaan Orang Lain
2. AJA AMIDANDA TAN SABENERE
Janganlah menjatuhkan hukuman yang tidak adil
3. AJA AMALAT DHUWE NIN WADWA NIRA
Janganlah menjarah harta rakyatmu
4. AJA TAN ASIH IN DRI DRAMA
Janganlah menunda kebaikan terhadap mereka yang kurang beruntung
5. LULUTA RIN PANDITA
Mengabdilah pada mereka yang sadar
6. AJA SIRA KATUNGKUL ING KAGUNGAN, AMUJYA NABHAKTYA
Janganlah sombong, walau banyak orang menghormatimu
7. AJA MEMATENI YEN TAN SABENERE
Janganlah menjatuhkan hukuman mati, kecuali menjadi tuntutan keadilan
8. UTTAMA SI YEN SIRA AKALISA RIN PATI
Yang terbaik, jika kau tidak takut mati
9. SAMPURAHA RIN TIWAS
Bersabar dalam keadaan susah
10. ANULAHA SAAMA DAANA AJA APILIH JANA
Berjiwa besar dan membantu tanpa pilih kasih