Kitab Pararaton
Kitab Pararaton adalah salah satu karya sastra
peninggalan Kerajaan Majapahit yang ditulis dalam bahasa Jawa Kawi. Isinya
memuat tentang sejarah raja-raja Kerajaan Singasari dan Majapahit. Kitab ini
juga dikenal dengan nama Pustaka Raja atau Kitab Raja-Raja. Mengingat tarikh
tertua yang terdapat pada naskahnya adalah 1522 Saka (1600 M), diduga Pararaton
ditulis antara 1481-1600 M. Meski dijadikan sumber sejarah utama Kerajaan
Singasari dan Majapahit, beberapa sejarawan meragukan keabsahannya karena
sebagian besar isinya adalah cerita mitos. Selain itu, siapa yang menulis Kitab
Pararaton hingga saat ini belum diketahui. Isi Kitab Pararaton Naskah Pararaton
cukup pendek, yakni terdiri dari 1.126 baris yang tertuang dalam 32 halaman seukuran
folio.
Isi Kitab Pararaton dapat dibagi ke dalam dua bagian, di
mana pada bagian pertama menceritakan tentang riwayat Ken Arok, pendiri
Kerajaan Singasari, dan para raja penerusnya. Sementara pada bagian kedua
mengisahkan tentang kehidupan Kerajaan Majapahit, mulai dari riwayat
pendirinya, Raden Wijaya, hingga daftar raja-raja yang berkuasa dan
pemberontakan yang berlangsung pada awal berdirinya kerajaan.
Kitab Pararaton dibuka dengan cerita mengenai perjalanan
hidup Ken Arok dari awal hingga menjadi raja pada 1222 M. Diceritakan bahwa Ken
Arok mempersiapkan inkarnasi dirinya sehingga bisa menjadi seorang raja.
Caranya adalah dengan menjadikan dirinya kurban
persembahan bagi Yamadipati, dewa penjaga pintu neraka dalam agama Hindu dan
Buddha. Sebagai balasannya, ia terlahir kembali sebagai Raja Singasari dan di
saat kematiannya akan masuk ke dalam surga Wisnu. Disebutkan pula bahwa Ken
Arok berkali-kali diselamatkan dari mara bahaya berkat campur tangan dewata.
Pada suatu kejadian ketika para dewa berkumpul di Gunung Kryar Lejar, Batara
Guru menyatakan bahwa Ken Arok adalah putranya dan ditetapkan akan membawa
kestabilan serta kekuasaan di Jawa. Penggambaran yang bersifat mitologis ini panjangnya
hampir setengah kitab, kemudian dilanjutkan dengan cerita pendek dalam urutan
kronologis dan diberi penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan pada
setiap ceritanya cukup pendek dan dilanjutkan dengan kisah kehidupan di
Kerajaan Majapahit.
Pararaton menjadi sumber penting yang mampu mengungkap
keadaan pada masa Kerajaan Singasari hingga Majapahit. Kendati demikian,
beberapa sejarawan menyangsikannya sebagai sumber sejarah. Pakar asal Belanda,
C.C. Berg, mengungkap bahwa secara keseluruhan isi Pararaton terlalu banyak
menggabungkan unsur supranatural dan realitas, sehingga tidak dapat dianggap
sebagai fakta-fakta sejarah. Terlebih lagi, beberapa penanggalan dan urutan
raja yang terdapat dalam Pararaton memang berbeda dari Kitab Negarakertagama,
yang menurut para ahli lebih bisa dipercaya. Sementara beberapa sejarawan
lainnya masih menerima kesejarahan Pararaton pada tingkat tertentu, dengan
memerhatikan kesamaan yang terdapat pada sumber sejarah lainnya. Seperti
sejarawan R. Pitono Hardjowardoyo misalnya, yang mengatakan bahwa isi Pararaton
lebih beragam dari Kitab Negarakertagama. Terlepas dari kritik para ahli, Kitab
Pararaton tetap menjadi sumber penting yang dapat mengungkap sejarah Kerajaan
Singasari dan Majapahit.
Pararaton, (dari bahasa Jawa: Para Ratu, yang berarti Para
Penguasa) adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam
bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio
yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari dan
Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama Pustaka Raja, yang
dalam bahasa Sanskerta juga berarti kitab raja-raja. Tidak terdapat catatan
yang menunjukkan siapa penulis Pararaton.
Pararaton diawali dengan
cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan Singhasari
(1222–1292). Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok
meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja pada tahun 1222.
Penggambaran pada naskah
bagian ini cenderung bersifat mitologis.
Cerita kemudian
dilanjutkan dengan bagian-bagian naratif pendek, yang diatur dalam urutan
kronologis.
Banyak kejadian yang
tercatat di sini diberikan penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan
mengenai sejarah menjadi semakin pendek dan bercampur dengan informasi mengenai
silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit.
Penekanan atas pentingnya
kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan melalui panjangnya cerita, melainkan juga
melalui judul alternatif yang ditawarkan dalam naskah ini, yaitu : Serat
Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok, atau Kitab Raja-Raja atau Cerita
Mengenai Ken Arok. Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada
lembaran-lembaran naskah adalah 1522 Saka (atau 1600 Masehi), diperkirakan
bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah dituliskan antara tahun 1481 dan
1600, di mana kemungkinan besar lebih mendekati tahun pertama daripada tahun
kedua.
Pararaton dimulai dengan
pendahuluan singkat mengenai bagaimana Ken Arok mempersiapkan inkarnasi dirinya
sehingga ia bisa menjadi seorang raja. Diceritakan bahwa Ken Arok menjadikan
dirinya kurban persembahan (bahasa Sanskerta: yadnya) bagi Yamadipati, dewa
penjaga pintu neraka, untuk mendapatkan keselamatan atas kematian. Sebagai
balasannya, Ken Arok mendapat karunia dilahirkan kembali sebagai raja
Singhasari, dan di saat kematiannya akan masuk ke dalam surga Wisnu.
Janji tersebut kemudian
terlaksana. Ken Arok dilahirkan oleh Brahma melalui seorang wanita dusun yang
baru menikah. Ibunya meletakkannya di atas sebuah kuburan ketika baru saja
melahirkan; dan tubuh Ken Arok yang memancarkan sinar menarik perhatian Ki
Lembong, seorang pencuri yang kebetulan lewat. Ki Lembong mengambilnya sebagai
anak dan membesarkannya, serta mengajarkannya seluruh keahliannya. Ken Arok
kemudian terlibat dalam perjudian, perampokan dan pemerkosaan. Dalam naskah
disebutkan bahwa Ken Arok berulang-kali diselamatkan dari kesulitan melalui
campur tangan dewata. Disebutkan suatu kejadian di Gunung Kryar Lejar, di mana
para dewa turun berkumpul dan Batara Guru menyatakan bahwa Ken Arok adalah
putranya, dan telah ditetapkan akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa.
Pendahuluan Pararaton
kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai pertemuan Ken Arok dengan Lohgawe,
seorang Brahmana yang datang dari India untuk memastikan agar perintah Batara
Guru dapat terlaksana. Lohgawe kemudian menyarankan agar Ken Arok menemui
Tunggul Ametung, yaitu penguasa Tumapel. Setelah mengabdi berberapa saat, Ken
Arok membunuh Tunggul Ametung untuk mendapatkan istrinya, yaitu Ken Dedes;
sekaligus tahta atas kerajaan Singhasari.
Beberapa bagian Pararaton
tidak dapat dianggap merupakan fakta-fakta sejarah. Terutama pada bagian awal,
antara fakta dan fiksi serta khayalan dan kenyataan saling berbaur. Beberapa
pakar, seperti C.C. Berg, berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara
keseluruhan supranatural dan ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk
merekam masa lalu melainkan untuk menentukan kejadian-kejadian pada masa depan.
Meskipun demikian sebagian besar pakar dapat menerima pada tingkat tertentu
kesejarahan dari Pararaton, dengan memperhatikan kesamaan-kesamaan yang
terdapat pada inskripsi-inskripsi lain serta sumber-sumber China, serta
menerima lingkup referensi naskah tersebut di mana suatu interpretasi yang
valid dapat ditemukan.
Haruslah dicatat bahwa
naskah tersebut ditulis dalam pemahaman kerajaan masyarakat Jawa. Bagi
masyarakat Jawa, merupakan fungsi seorang raja untuk menghubungkan masa kini
dengan masa lalu dan masa depan; dan menetapkan kehidupan manusia pada
tempatnya yang tepat dalam tata-aturan kosmis. Raja melambangkan lingkup
kekuasaan Jawa, pengejawantahan suci dari negara secara keseluruhan;
sebagaimana istananya yang dianggap mikrokosmos dari keadaan makrokosmos.
Seorang raja (dan pendiri suatu dinasti) dianggap memiliki derajat kedewaan, di
mana kedudukannya jauh lebih tinggi daripada orang biasa.
J.J. Ras membandingkan
Pararaton secara berturut-turut dengan :
1.
Prasasti Canggal (732),
2.
Prasasti Siwagrha (ÅšivagÅ—ha) (856),
3.
Calcutta Stone (1041) dan
4.
Babad Tanah Jawi (1836).
Perbandingan tersebut
menunjukkan kesamaan-kesamaan yang jelas dalam karakter, struktur dan fungsi
dari teks-teks tersebut serta kesamaan dengan teks-teks historiografi Melayu.
Ras menyarankan pengelompokan jenis teks-teks tertentu dari seluruh wilayah
Indonesia menjadi suatu genre sastra tersendiri, yaitu kronik pemerintahan atau
kitab raja-raja, yang merupakan historiografi yang ditulis demi melegitimasi
kekuasaan raja.