KEBAHAGIAAN HIDUP DI DUNIA ORANG JAWA
Dari serat Pustaka Raja Purwa karya R. Ng. Ranggawarsita.
Ilmu Kebahagiaan Hidup di dunia ini ada tujuh :
1. Kabegjan.
Keberuntungan karena sabar, menerima apa adanya, bersahaja dan hati-hati.
2. Kagunan.
Kepandaian yang di bagikan kepada orang lain.
3. Kasuran.
Kesaktian yang di manfaatkan untuk kebaikan.
4. Kabrayan.
Memiliki keturunan sebagai luapan kasih sayang.
5. Kasinggihan.
Keluhuran budi dan kesopanan
6. Kayuswan.
Panjang umur dan banyak yang mendoakan.
7. Kawigdadan.
Keselamatan yang di pupuk dari sifat rendah hati, gemar menolong dan kebaikan nurani.
Untuk meraih kebahagiaan itu dapat melalui :
1. Nanding Salira, yaitu pembelajaran pertama dimana seseorang berusaha membanding-bandingkan dirinya dengan diri orang lain dan merasa dirinya lebih baik, lebih benar, lebih menang dibandingkan orang lain.
2. Ngukur Salira, yaitu pembelajaran kedua dimana seseorang mencoba mengukur diri orang lain dengan dirinya sendiri yang dijadikan acuan tolok ukur.
3. Tepa Salira, yaitu pembelajaran ketiga dimana seseorang mau dan mampu merasakan perasaan orang lain. Belajar tenggang rasa, mengerti tentang unggah-ungguh. Bisa ikut merasakan susah dan senang hati orang lain, belajar mengalah untuk dapat menyenangkan hati orang lain, sekaligus mengalah untuk tidak menyakiti hati orang lain.
Dapat merasakan (menjaga) perasaan (beban pikiran) orang lain sehingga tidak menyinggung perasaan atau dapat meringankan beban orang lain, tenggang rasa, toleransi. Kita harus mempunyai rasa tepa salira terhadap sesuatu yang dirasakan dan diderita orang lain.
4. Mawas Diri, yaitu pembelajaran keempat dimana seseorang mencoba bisa memahami dan mengerti akan dirinya sendiri tanpa dipengaruhi oleh keadaan dan situasi dengan sikap jujur dan rendah hati. Belajar mengamati dirinya sendiri, melihat potensi-potensi yang ada didalam dirinya, kelebihan dan kekuatannya, kelemahannya, kekurangannya, kesalahannya, keburukannya, dan kemungkinan-kemungkinan yang lainnya. Belajar memperbaiki diri sendiri agar menjadi lebih baik dan berlaku benar dalam hidup ditengah masyarakat luas.
5. Mulat Sarira, adalah laku utama orang Jawa yang tertinggi. Yaitu tahap pembelajaran kelima, tingkat kualitas diri yang lebih tinggi dari mawas diri dimana seseorang mencoba masuk ke dalam dirinya sendiri yang terdalam, dan masuk lebih jauh lagi, menjelajah dan mengarungi lautan hati serta menyelam ke dasar samudera jiwa yang suci untuk menemukan identitas diri yang agung.
Sarira artinya mawas diri atau pengendalian diri yaitu dengan jalan introspeksi diri yakni :
Dapat menilai kembali perbuatan atau keberhasilan dan kegagalan kita pada masa lalu, dan sangatlah penting artinya untuk keseimbangan dan keselaranan kedamaian hidup kita.
Segala perbuatan baik (subha karma) perlu dilestarikan dan dikembangkan sedangkan segala kesalahan keburukan, perbuatan tidak baik (asubha karma) patut tidak dilakukan dan dilenyapkan.
Semua jenis perbuatan yang tergolong acubhakarma / asubha karma ini merupakan larangan-larangan yang harus dihindari di dalam hidup ini.
Karena semua bentuk perbuatan acubhakarma inilah menyebabkan manusia berdosa dan hidup menderita.
Dalam hukum karma yang terdapat dalam Weda, juga disebutkan bahwa Karma phala ika palaing gawe hala ayu.
Sesungguhnya dengan adanya hukum ini akan sangat berpengaruh terhadap baik buruknya segala mahluk sesuai dengan perbuatan baik dan perbuatan buruknya yang dilakukan semasa hidup dan dengan ini Hukum karma dapat menentukan seseorang itu hidup bahagia atau menderita lahir bathin.
Jadi, setiap orang berbuat baik (subha karma), pasti akan menerima hasil dari perbuatan baiknya itu.
Demikian pula sebaliknya, setiap yang berbuat buruk, maka keburukan asubha karma itu sendiri juga disebutkan tidak bisa terelakkan dan pasti akan diterima sesuatu yang buruk pula baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.