SEJARAH ISLAM DI TANAH BALI
Bali merupakan kepulauan di Indonesia yang terkenal akan sebutan pulau seribu pura, karena kentalnya budaya Hindu dalam setiap tatanan masyarakatnya. Meskipun begitu, bukan berarti tidak ada agama lain selain Hindu. Sebaliknya, agama lain juga berkembang termasuk Islam. Bahkan Islam telah dikenal di Bali sejak abad ke 15 bersamaan dengan kejayaan agama Hindu di Bali pada abad ke 15. Dari latar belakang tersebut, artikel membahas proses datanganya Islam ke Pulau Bali dan perkembangannya. Artikel ini menyimpulkan bahwa masyarakat Bali sebelum datangnya Islam telah menganut agama Siwa dan Hindu dan secara politik terpecah pecah ke beberapa kerajaan kecil. Tahun 1434, Majapahit menaklukan semua kerajaan kecil tersebut dan menyatukannya dalam satu kerajaan yang diberi nama Gelgel. Selama berada di bawah kekuasaan Majapahit inilah Muslim Jawa datang ke Bali. Gelombang pertama adalah para prajurit Majapahit yang mengawal Ketut Ngalesir, Raja Gelgel. Seluruh prajurit tinggal menetap di Bali. Arus islamisasi Bali semakin berkembang sejak abad ke 16. Ketika Belanda mulai menguasai beberapa wilayah di Nusantara, banyak Muslim dari berbagai wilayah yang memilih untuk bermigrasi ke wilayah lain seperti yang dilakukan oleh masyarakat Muslim Bugis Makkasar yang bermigrasi ke Bali dan menetap serta menyiarkan Islam hingga Islam pada abad ke 18. Seiring dengan waktu, Islam hadir dan mampu memberi pengaruh terhadap tatanan masyarakat Bali dengan adanya komunitas Muslim, Masjid, lembaga pendidikan Islam (Pesantren), dan akulturasi budaya Islam dengan Bali.
SEJARAH PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI BALI
Sejarah penyebaran Islam di Bali. Agama Islam di Bali adalah minoritas, sementara agama mayoritas adalah Hindu. Namun penyebaran Agama Islam di Bali mempunyai sejarah panjang.
Agama Islam di Bali memiliki presentase kecil yaitu hanya 520.244 jiwa di banding dengan bagian pulau Jawa lainnya. Penyebaran agama Islam di Nusantara bukan tidak pernah menyentuh Bali, pada masa kejayaan Majapahit yang melakukan ekspansi besar besaran pada 1343 di Bali.
Islam telah mendapatkan tempat didalam kerajaan, dengan ditemukannya pemakaman bercorak Islam dekat kedaton yang menandakan adanya pemeluk agama Islam di lingkup keluarga kerajaan.
Meskipun demikian masuknya Islam ke Bali secara resmi diduga pada masa kerajaan Gelgel. Delem Ketut Ngelesir, putra raja pertama Samparangan Sri Aji Krisna Kepakisan alias Dalem Sri Kresna Kepakisan, medapatkan undangan berkunjung ke keraton Majapahit tahun 1830-an. Pada masa itu Dalem Ngelesir sebagai perwakilan kerajaan Gelgel, yang merupakan pecahan dari kerajaan Samprangan ini diundang dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Hayam Wuruk.
Ketika kembali ke Gelgel, Dalem Ngelesir mendapatkan pengawalan lebih dari 40 orang yang terdiri dari tentara, juru masak, serta juru kapal yang diketahui semuanya beragama Islam. Para pengawal tersebut enggan kembali ke wilayah Majapahit, dan kemudian kerajaan Gelgel memberikan permukiman bagi ke empat puluh orang rersebut, mereka diperintahkan untuk mengabdi kepada kerajaan Gelgel tanpa syarat apapun termasuk kebebasan mempertahankan agama yang sudah dimiliki sebelumnya.
Sehingga praktis Islam memulai perjalanannya di pulau Dewata. Dalam pengawalan Dalem Ngelesir ini disebut-sebut terdapat dua tokoh yang menyebarluaskan Islam di Bali yaitu, Raden Modin dan Kiai Abdul Jalil yang tidak banyak sumber menyebutkan kiprah dua tokoh ini dalam penyebarluasan Islam di Bali. Raden Modin dan Kiai Abdul Jalil menetap cukup lama di Klungkung, kemudian keduanya meninggalkan Klungkung ke arah timur dan berhenti di desa Banjar Lebah, di sini hanya Modin yang menetap sedangkan Kiai Abdul Jalil melanjutkan perjalanan sampai di desa Saren dan wafat di desa tersebut.
Komunitas Muslim tersebut juga membangun Masjid di Gelgel yang menjadi pusat dimulainya aktivitas Islam, Masjid ini merupakan masjid tertua di Bali, selain itu mereka juga melakukan perkawinan dengan masyarakat sekitar.
Sejarah lain yang memperkuat masuknya Islam ke Bali yaitu, peran tentara Islam yang tinggal di desa Kusamba dalam peperangan menumpas Belanda.
Desa Kusamba dikenal sebagai bandar atau pelabuhan penting Kerajaan Gelgel. Desa ini mulai dikenal setelah Raja I Dewa Agung Putra membangun istana yang diberi nama puri "Kusanegara", secara otomatis Kusamba menjadi pusat pemerintahan kedua kerajaan Gelgel. Dengan adanya pemindahan pusat pemerintahan ini manjadi pintu masuknya saudagar-saudagar dari luar, dari kerajaan-kerajaan lain seperti saudagar Bugis dan Banjar.
Ketika terjadi pemberontakan Patih Maruti, Raja Gelgel banyak mendatangkan pasukan dari Jawa yang nota benenya beragama Islam untuk membantu memadamkan pemberontakan yang tengah terjadi.
Tak usai disitu ketika terjadi ketegangan politik antara I Dewa Agung Istri Kanya selaku penguasa Kerajaan Klungkung dengan pemerintah kolonial Belanda yang ingin menguasai Klungkung masa itu, dimana peperangan dimenangkan oleh Kerajaan Klungkung dengan terbunuhnya jendral Belanda bernama Jendral Michels. Kemenangan tersebut tak lepas dari peran tentara Islam yang ditempatkan di Kusumba. Selain itu berdasarkan sumber lokal tertulis, yaitu Babad Dalem upaya pengislaman di Bali pada masa kepemimpinan Raja Dalem Waturenggong yang dilakukan oleh utusan dari Makkah.
Namun, tidak tertulis pada abad ke berapa utusan tersebut tiba, yang kemudian hal ini menjadikan polemik. Apakah Makkah yang dimaksud merujuk pada Makkah di negara Arab Saudi atau hanya sebutan tempat yang menjadi penyebaran agama Islam. Namun, beberapa ahli sejarah menduga, para mubaligh tersebut sesungguhnya dikirim dari kerajaan Demak. Ketika utusan tersebut tiba, Raja Dalem Waturenggong melakukan penyambutan dengan baik, ketika utusan ini mengajaknya untuk memeluk agama Islam Waturenggong secara sopan menolak ajakan tersebut.
ISLAM DI BALI
Islam di Bali merupakan agama minoritas yang dianut oleh 433.899 jiwa atau 10,05% dari 4.317.404 jiwa penduduk Bali. Konsentrasi terbesar umat Islam di Bali terdapat di Kota Denpasar dengan jumlah 200 ribu jiwa lebih.
Islam masuk ke Bali diperkirakan pada abad ke-13 dan 14 melalui Kerajaan Gelgel, tetapi tepatnya belum ada penelitian yang pasti. Penelitian tentang asal muasal Islam di Bali masih terhitung langka. Sangat sulit untuk mendapatkan sumber tertulis mengenai sejarah masuknya Islam ke pulau Bali pertama kali.
Namun beberapa sejarawan melacak keberadaan Islam di Bali melalui tradisi lisan dan adanya berbagai komunitas Islam yang ada di berbagai daerah di Bali. Melalui penelitian di berbagai komunitas muslim di Bali dapat diketahui kapan Islam mulai memasuki daearah tersebut, antara lain melalui penelitian masjid-masjid tua yang dibangun dan makam-makam kuno dari pemuka Islam di daerah tersebut yang sekarang juga dikenal dengan sebutan Wali Pitu dari Bali. Islam masuk ke pulau Bali sejak zaman kejayaan Kerajaan Majapahit pada sekitar abad XIII dan XIV Masehi. Pada saat itu raja Gelgel pertama, Dalem Ketut Ngelesir (1380-1460 M) mengadakan kunjungan ke keraton Majapahit untuk bertemu dengan Raja Hayam Wuruk. Saat itu Raja Hayam Wuruk sedang mengadakan konferensi kerajaan seluruh Nusantara. Konferensi itu merupakan konferensi tahunan dengan kerajaan bawahan yang berada di berbagai daerah Indonesia.
Selain itu sebagai bentuk kepatuhan terhadap Kerajaan Majapahit yang berada di Mojokerto. Setelah acara tersebut selesai, Dalem Ketut Ngelesir pulang ke Bali. Kembalinya Dalem Ketut Ngelesir ke kerajaannya dengan diantar oleh 40 orang dari Majapahit sebagai pengiring, dua diantaranya adalah Raden Modin dan Kiai Abdul Jalil bersama 40 orang pengiring dari Majapahit. Para pengawal muslim itu hanya bertindak sebagai abdi dalam Kerajaan Gelgel. Setelah tiba di Gelgel mereka menempati satu pemukiman dan membangun masjid yang diberi nama Masjid Gelgel, yang kini nerupakan tempat ibadah umat Islam tertua di Bali. Peristiwa ini dijadikan sebagai patokan masuknya Islam di Bali yang berpusat di kerajaan Gelgel Bali.
Raden Modin dan Kiai Jalil ini menetap cukup lama tinggal di pusat Kerajaan Gelgel Klungkung. Namun dalam perkembangannya mereka meninggalkan Gelgel menuju ke arah timur dan berhenti di desa Banjar Lebah. Di Banjar Lebah ini Raden Modin menetap dan tidak melanjutkan perjalanan, sedang Kiai Jalil tetap meneruskan perjalanan sampai di desa Saren sampai meninggal di desa tersebut. Dia meninggalkan tulisan mushaf Al-Qur'an dan sebuah bedug yang sekarang kondisinya sudah mengalami kerusakan.
Sejak itu umat Islam mulai ada pengikutnya. Raden Modin dan Kiai Abdul Jalil dapat dikatakan merupakan dua orang tokoh atau wali yang pertama kali menyebarkan agama Islam di pulau Bali. Makamnya hingga saat ini banyak dikunjungi umat Islam untuk berziarah.
ASAL MULA DAKWAH ISLAM DI BALI
Di antara beberapa provinsi dengan minoritas umat Islam ialah Bali. Menurut pengajar ilmu arkeologi pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana Rochtri Agung Bawono, sejarah interaksi Muslim dengan penduduk asli setempat dapat dilacak setidaknya sejak abad pertama Masehi.
Pada masa itu, Pulau Dewata sudah masyhur sebagai salah satu pelabuhan internasional di Asia Tenggara. Kapal-kapal yang berlayar ke sana bukan hanya datang dari dalam, melainkan juga luar nusantara, semisal India atau Cina.
Itu pada awal (abad) Masehi sudah menunjukkan adanya suatu komunitas. Dan, dari bukti-bukti arkeologis terdapat sisa-sisa terkait dengan peninggalan. Yang menarik, ada asalnya itu dari India, Cina, bahkan Timur Tengah," ujar Rochtri kepada Republika, baru-baru ini.
Berbagai kawasan arkeologis di Kabupaten Buleleng membuktikan adanya jejak perjumpaan masyarakat lokal dengan bangsa-bangsa asing. Misalnya, situs pra-Hindu Pangkung Paruk di Kecamatan Seririt atau Desa Julah dan Desa Sembiran di Kecamatan Tejakula.
Di Pangkung Paruk, para arkeolog telah menemukan manik-manik berlapis emas yang diketahui berasal dari Persia (Iran). Sementara itu, sejumlah peneliti berhasil mengungkap prasasti yang bertarikh abad kesembilan atau ke-10 di Desa Julah. Pada artefak tersebut, lanjut Rochtri, terdapat keterangan mengenai macam-macam perahu yang pernah membuang sauh di Bali Utara.
Dalam rentang abad kedelapan hingga ke-14 peradaban Islam umumnya berada pada zaman keemasan. Agama ini tentunya sudah menyebar jauh dari pusatnya di Jazirah Arab, seiring dengan arus migrasi para pelaut, pedagang, ulama, ataupun salik Muslim.
Bahkan, bila merujuk pendapat Prof Buya Hamka, telah datang utusan dari Tanah Arab ke Pulau Jawa sekitar tahun 675 M dan mereka sempat mengunjungi Kerajaan Kalingga. Maka dari itu, sangat mungkin jika sejumlah dai Islam telah menginjakkan kaki di Bali sejak abad kesembilan atau ke-10.
Mengutip riset seorang antropolog asal Swiss yang meneliti persentuhan Bali dengan Islam, yakni Brigitta Hauser-Schaublin. Dalam Bali Aga and Islam: Ethnicity, Ritual Practice, and `Old-Balinese' as An Anthropological Construct (2004), Hauser-Schaublin menunjukkan, Desa Sembiran mayoritasnya dihuni masyarakat Bali Mula atau Bali Aga (non-Javanized Hindu-Balinese) yang menganut animisme. Mereka sejak zaman prakolonial telah bersentuhan dengan para penganut agama tauhid, terutama dari kalangan saudagar Muslim yang berlabuh di pantai Bali Utara.
Bahkan, perempuan profesor itu memaparkan, ritual adat yang dilakukan orang-orang Bali Aga di sana diwarnai etika toleransi terhadap komunitas Islam. Sebagai contoh, dalam setiap upacara mereka mempersiapkan makanan yang tidak mengandung daging babi sebagai tambahan sesajen.
Kecenderungan tenggang rasa yang serupa juga ditemukan di Desa Julah. Rochtri menuturkan, dirinya pernah mengadakan penelitian lapangan di situs arkeologis tersebut. Salah satu temuannya, Tari Baris yang masih sering ditampilkan masyarakat setempat hingga saat ini di pura-pura. Ternyata kesenian khas tradisi lokal itu menampilkan adegan tokoh-tokoh Melayu Muslim.
Identitas Melayu Islam itu tampak dari penampilan beberapa penari pria yang memakai peci beserta sarung. Dalam tari tersebut, mereka dimunculkan sebagai sosok yang berjasa karena telah mengobati penduduk. Maka dari itu, lanjut akademisi Universitas Udayana tersebut, komunitas Muslimin dihormati masyarakat setempat bukan hanya sebagai pedagang, melainkan juga tabib.
KERAJAAN GEGEL
Menurut penuturan para orang tua-tua serta tokoh-tokoh masyarakat yang dapat dipercaya, bahwa pernah terjadi peristiwa penting dalam Pemerintahan Dalem Ketut Ngelesir sebagai Raja Gelgel I ( 1380 – 1460 ), yaitu Raja Bali pernah mengadakan kunjungan ke Kraton Majapahit pada waktu Raja Hayam Wuruk mengadakan konprensi Kerajaan-kerajaan yang ada diseluruh Nusantara. Saat raja bali Dalem Ketut Ngelesir kembali ke bali di kawal oleh 40 pengiring dari kerajaan majapahit yang beragama islam, dan sesampainya di bali 40 orang pengiring ini diberi tempat atau hadiah yaitu di daerah Gelgel, dari 40 pengiring ini ada yang kembali ke jawa ada yang ke bagian timur dan ada yang menetap di gelgel dan sampai saat ini. Sumber lain menyebutkan bahwa orang-orang Islam di Gelgel sampai sekarang mengakui asal mereka dari Jawa. mereka (orang-orang Majapahit) berjumlah 40 orang datang ke Gelgel sebagai Pengiring Dalem dari Majapahit. Informasi ini dikuatkan lagi oleh peristiwa kunjungan Dalem Ketut Ngelesir ke Majapahit yang merupakan satu-satunya kunjungan selama jaman gelgel,sedangkan para penggantinya sudah tidak berkesempatan lagi berkunjung ke Majapahit, karena Kerajaan Majapahit sudah runtuh. Perlu diketahui bahwa Dalem Ketut Ngelesir adalah peletak dasar Kerajaan gelgel, pada waktu itu masih dibawah naungan Kerajaan Majapahit. dari dua Fakta itu dapat diduga bahwa “ Orang-orang Islam yang mengaku sebagai Pengiring Dalem dari Majapahit “. Datang ke Gelgel bersama-sama Dalem Ketut Ngelesir pada waktu pulang dari Majapahit setelah selesai menghadiri Konfrensi se Nusantara. Salah seorang Raja Gelgel yang terkenal adalah Dalem Waturenggong yang memerintah dari tahun 1480 - 1550. Pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, pulau bali tidak lagi dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Menurut sumber-sumber lokal, Dalem Waturenggong tidak hanya berkuasa di Bali tetapi juga menguasai Lombok, Sumbawa,dan Blambangan (Jawa Timur). Namun menurut penelitian sampai saat ini belum ada benda atau situs bersejarah yang dimiliki oleh Desa Kampung Gelgel sebagai bukti sejarah pada masa masuknya islam di Desa Kampung Gelgel, hingga sampai saat ini hubungan kekeluargaan antara kerajaan klungkung yang sekarang berada di puri klungkung dengan warga masyarakat Desa Kampung Gelgel terjalin harmonis dan damai, terbukti saat perayaan hari besar keagamaan maupun kegiatan hari – hari tertentu warga masyarakat dengan raja klungkung beserta tokoh – tokoh puri klungkung duduk bersama, makan bersama dan saling bersilaturahmi atau saling mengunjungi. Penyebaran Islam di Bali tak lepas dari riwayat Negeri Gelgel, yang kini termasuk wilayah Kabupaten Klungkung. Menurut pendiri Forum Pemerhati Sejarah Islam (SPSI) itu, dakwah agama ini mulai berkembang secara signifikan di Gelgel sejak masa pemerintahan Dalem Ketut Ngalesir (1380-1460 M). Berdasarkan catatan sejarah, raja pertama Gelgel itu pernah berkunjung ke ibu kota Majapahit untuk menghadiri suatu pertemuan agung. Seusai acara tersebut, Dalem Ketut Ngalesir dan seluruh pemimpin negeri bawahan Majapahit yang hadir bermohon diri. Sebelum beranjak pulang, raja Majapahit memberikan kepadanya sebanyak 40 orang pengawal. Yang menarik adalah dalam tradisi tutur masyarakat Gelgel, ke-40 orang ini adalah Muslim. Para pengawal tersebut, lanjut dia, akhirnya menetap di Bali. Raja Dalem Ketut menghadiahkan sebidang tanah kepada mereka. Sejak saat itu, para pemeluk Islam tersebut berbaur dengan penduduk setempat, sembari tetap memegang otonomi dalam menjalankan hukum-hukum syariat. Mereka juga menikah dengan perempuan-perempuan Bali dan memiliki anak keturunan. Sampai sekarang pun wilayah Gelgel masih kuat akan nuansa keislaman. Sekarang terbentuk kampung Islam Gelgel secara terpisah. Sejak 1480, Dalem Ketut turun takhta dan kedudukannya digantikan Raja Dalem Waturenggong. Babad Dalem menceritakan suatu kisah tentang kedatangan sejumlah utusan Muslim ke Gelgel. Mereka disebut-sebut berasal dari Makkah. Namun, beberapa ahli sejarah menduga, para mubaligh tersebut sesungguhnya dikirim dari Kesultanan Demak untuk berdakwah di Bali. Dalem Waturenggong menerima rombongan delegasi itu dengan penghormatan yang baik. Akan tetapi, saat diajak untuk memeluk Islam sang raja menolaknya secara sopan. Raja Dalem Waturenggong menolak ajakan itu dengan halus. Kemudian, para utusan yang diperkirakan datang dari Demak itu pulang ke Jawa lagi. Versi lain sebagaimana dijelaskan Indriana Kartini dalam artikelnya, Dinamika Kehidupan Minoritas Muslim di Bali (2011) mengatakan, di antara rombongan pendakwah itu terdapat Ratu Dewi Fatimah. Perempuan ningrat Jawa itu mengajak Dalem Waturenggong untuk memeluk Islam dan bahkan bersedia menjadi istri jika raja Bali itu mengucapkan dua kalimat syahadat. Bagaimanapun, upaya mengislamkan Dalem Waturenggong akhirnya menemui kegagalan. Sang pemimpin menolak secara halus ajakan perempuan ningrat tersebut dan rombongannya. Akhirnya Ratu Dewi Fatimah kembali ke Loloan (kini termasuk Kabupaten Jembrana), tempat pertama dirinya tiba di Pulau Bali. Setelah Muslimah itu wafat, para pengiringnya kembali ke Gelgel dan bermukim di sana. Meskipun Dalem Waturenggong tidak sampai memeluk Islam, syiar agama ini tidak lantas meredup di Bali. Pada masa raja-raja Gelgel berikutnya, komunitas Muslim tetap melebur dan berinteraksi sewajarnya dengan penduduk setempat. Memasuki abad ke-17, pertumbuhan komunitas Islam di Bali cenderung berkaitan dengan aktivitas perniagaan di pelabuhan-pelabuhan. Orang-orang Islam yang tinggal di pesisir Pulau Dewata umumnya berasal dari Bugis. Sebab, mereka memiliki banyak perahu yang bagus. Kedatangannya diperkirakan terjadi antara tahun 1618 dan 1640 melalui Sumbawa atau Lombok. Hampir semua pelabuhan di Bali itu ada komunitas-komunitas Islam pada awalnya. Gelombang migrasi orang-orang Bugis itu berkenaan dengan takluknya Kerajaan Gowa terhadap Belanda. Sultan Hasanuddin (1631-1670) terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667. Sejak saat itu, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) alias kompeni makin mendominasi perdagangan rempah-rempah di Sulawesi. Para pelaut Muslim Bugis yang menolak berhubungan dengan bangsa Eropa itu lantas pergi ke daerah-daerah lain, termasuk di antaranya Bali. Salah satu tujuan mereka adalah wilayah yang ada di Bali dan Nusa Tenggara. Jadi, kedatangan masyarakat Bugis ke Bali ini juga dipicu oleh kekalahan Sultan Hasanuddin terkait dengan Perjanjian Bungaya itu.
TAK SEKEDAR BERBAUR
Sejarah kerajaan-kerajaan di Bali sangat lekat dengan masyarakat Hindu. Kendati demikian, bukti-bukti historis menunjukkan adanya kontribusi dari komunitas Muslim. orang-orang Islam tidak sekadar berbaur dengan penduduk atau penguasa negeri setempat. Sebab, mereka juga ikut memajukan kehidupan lokal, utamanya dalam sektor perdagangan. Pengertian dari membela Bali ini adalah bahwa mereka turut memajukan komunitas-komunitas kerajaan yang ada di sana, di mana mereka tinggal. Kala itu masyarakat Islam yang bermukim di Pulau Dewata aktif dalam bidang perniagaan, khususnya di kawasan pesisir. Penguasa setempat membolehkan mereka untuk mendirikan permukiman di sana. Aktivitas ekonomi yang mereka jalankan lantas turut meningkatkan pendapatan raja lokal melalui pajak dan lain sebagainya. Apalagi, Bali sudah terkenal sebagai salah satu bandar internasional di seluruh Asia Tenggara. Dengan demikian, raja-raja Bali cukup mengandalkan pemasukan dari bea pelabuhan, semisal di Loloan Jembrana dan Serangan Denpasar. Sampai sekarang, kalau kita lihat di sana masih ada beberapa komunitas Bugis Muslim yang tinggal. Tak hanya dalam konteks ekonomi, para pemeluk agama Islam bahkan ikut menjadi pasukan tempur di bawah komando kerajaan-kerajaan Bali. Dalam sejarah Islam di Jembrana, misalnya, ada seorang sosok Muslim Bugis, yakni Daeng Nahkoda. Tokoh itu sangat tekenal utamanya di tengah masyarakat Jembrana. Daeng Nahkoda mulanya memimpin pasukan Kerajaan Wajo yang melarikan diri. Sesampainya di Bali, ia mengikrarkan kesetiaan kepada I Gusti Ngurah Pancoran (1620- 1697 M). Ketika terjadi peperangan, ia dengan gagah berani bersama dengan para pengikutnya tampil membela kerajaan yang dipimpin I Gusti Ngurah Pancoran. Selain itu, ada juga tokoh Muslim lainnya, yakni Syarif Abdullah bin Yahya Alqadri. Ia merupakan seorang panglima perang dari Kesultanan Pontianak yang ikut berjuang di Jembrana sekitar 1799 M. Kemudian, ketika terjadi peperangan dengan Belanda, Syarif Abdullah ini membela Jembrana. Ia adalah pasukan perang yang tangguh. Tak ketinggalan, komunitas Muslimin di Kampung Bugis Serangan, Denpasar. Menurut arkeolog tersebut, mereka juga turut berkontribusi dalam memperkuat benteng pertahanan kerajaan. Pasukannya diposisikan di Pulau Serangan sebagai tameng penangkal musuh utamanya yang datang dari laut. Komunitas Muslim asal Madura juga mewarnai negeri itu. Mereka umumnya bertempat tinggal di Kampung Jawa Denpasar. Pada masa kerajaan Hindu Bali, para penganut agama Islam itu turut menjaga wilayah tersebut yang sangat strategis karena berfungsi sebagai gerbang menuju Puri-- tempat tinggal kalangan bangsawan Bali. Selain dua kampung tersebut, masih banyak kantong-kantong komunitas Muslimin lainnya di Bali. Mereka tercatat pada masa lalu ikut melindungi seluruh warga Puri, termasuk raja dan keluarganya, dari kemungkinan serangan musuh. Jadi, periode Islam membela Bali ini dapat dilihat dari sisi ekonomi dan dari sisi pertahanan. Walaupun masih banyak sisi yang lain sebenarnya.
WALI PITU
Selama ini, orang-orang mengenal wali songo sebagai tokoh-tokoh yang menyebarkan agama Islam di daerah Jawa dengan berbagai macam cara dan perjalanannya masing-masing.
Selain Wali Songo di Jawa, ada sekumpulan tokoh atau ulama yang melakukan penyebaran Islam di daerah lain di Indonesia, yaitu Bali.
Wali songo versi Bali ini dinamakan wali pitu yang berarti tujuh orang wali. Sesuai namanya, wali pitu memang beranggotakan tujuh orang ulama dengan asal dan latar belakang berbeda-beda. Meskipun kini Islam bukanlah agama mayoritas, tapi ada sekitar 500 ribu ornag yang kini menganut agama Islam di Bali, dan hal ini tidak terlepas dari usaha para wali pitu dalam berdakwah.
Anggota wali pitu adalah sebagai berukut :
1. Wali Seseh Mengwi.
Wali Seseh Mengwi adalah anggota wali pitu di Bali dengan nama asli Pangeran Mas Sepuh atau Raden Amangkurat.
Wali Seseh Mengwi sendiri merupakan anak dari Raja Mengwi V yang menikah dengan anggota Kerajaan Blambangan di jawa Timur.
Namanya sendiri merupakan gabungan nama pantai yaitu Pantai Seseh dan nama daerah bernama Mengwi. Makamnya pun bisa ditemukan di Pantai Seseh yang terletak di Desa Munggu, Mengwi dan berada dekat dengan jalur menuju ke Tanah Lot.
2. Wali Bukit Bedugul.
Bedugul merupakan salah spot wisata di Bali yang sangat terkenal. Nama tersebut juga telah menginspirasi nama salah satu wali pitu.
Wali Bukit Bedugul memiliki nama asli Syeh Habib Umar Bin Maulana Yusuf Al-Maghribi dan merupakan salah satu wali pitu yang sangat terkenal. Wali tersebut makin banyak dikenal orang ketika makamnya pernah mengalami fenomena yang tidak terduga. Sekitar tahun 1963, ketika Gunung Agung mengalami letusan yang besar, makam wali pitu ini masih berdiri dengan kokoh dan tidak tersentuh satu butir pasir pun.
Padahal, di waktu yang sama, bangunan lain di sekitarnya telah rusak dan bahkan porak poranda oleh letusan gunung.
3. Wali Karangrupit.
Wali Karangrupit merupakan wali pitu yang berasal dari Tiongkok dengan nama asli Kwan Pao-Lie dan bergelar sebagai Syech Abdul Qodir Muhammad.
Pengalamannya belajar dengan Sunan Gunung Jati di Cirebon membuat pemahamannya terhadap Agama Islam begitu diakui banyak orang.
Adapun makam wali pitu satu ini terletak di Desa Temukus.
4. Wali Negara.
Anggota wali pitu yang nama asli Habib Ali bin Umar bin Abu Bakar Bafaqih ini merupakan ulama yang berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur.
Beliau datang ke Bali sekitar tahun 1917 dan pernah juga belajar ke Mekkah pada tahun 1935.
Tak hanya berdakwah, Wali Negara juga mendirikan sebuah pondok yang dinamai Pondok Pesantren Syamsul Huda. Wali Negara sendiri dikaruniai usia yang panjang yaitu hingga 107 tahun (wafat tahun 1997). Makamnya bisa ditemukan di Kampung Ampel Loloan Barat, Jembrana.
5. Wali Kusamba.
Wali pitu satu ini memiliki nama asli Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar Al Khamid. Selain berdakwah, beliau juga dipercaya sebagai guru bahasa Melayu oleh salah satu Raja di Kerajaan Klungkung yang terletak di bagian tenggara Bali bernama Dalem I Dewa Agung Jambe.
Jasanya bagi kerajaan membuat makam Wali Kusamba tak hanya diziarahi oleh umat Islam, tetapi juga sering dikunjungi umat Hindu di Bali.
6. Wali Kembar Karangasem.
Sesuai namanya, anggota wali pitu ini dinamai Wali Kembar karena makamnya berada di satu tempat. Dua wali ini bernama Syeh Maulana Yusuf Al-Baghdi dan Habib Ali Bin Zaenal Abidin Al-Idrus. Tidak ada cerita atau asal-usul yang jelas soal Syeh Maulana Yusuf Al-Baghdi. Berbeda dengan Habib Ali Bin Zaenal Abidin Al-Idrus yang merupakan ulama besar penyebar agama Islam di daerah Karangasem, Bali.
Habib Ali Bin Zaenal Abidin Al-Idrus yang bermukim di Karangasem ini telah mengajarkan banyak ilmu pengathuan soal Islam kepada anak-anak yang tak hanya berasal dari Bali, tapi juga dari Lombok.
Tak hanya mengajar dan berdakwah, Habib Ali Bin Zaenal Abidin Al-Idrus juga mengabdikan dirinya untuk menjadi juru kunci makam Syeh Maulana Yusuf Al-Baghdi hingga akhirnya beliau turut dimakamkan di tempat yang sama. Meskipun tak ada cerita lebih detail, yang jelas ornag-ornag sekitar menyebutkan bahwa makam kedua ulama ini telah berusia kira-kira 400 tahun.
7. Makam Pangeran Sosrodiningrat dan Makam Raden Ayu Pemecutan. Pangeran Sosridiningrat adalah anggita wali pitu di Bali yang tadinya merupakan senopati kerajaan Mataram.
Berawal dari terdamparnya kapal yang ditumpanginya, Pangeran Sosridiningrat akhirnya bertemu dengan salah satu prajurit hingga kemudian dipercaya untuk memimpin pasukan Raja I Gusti Ngurah Gede Pemecutan dalam perang melawan Kerajaan Mengwi.
Pangeran Sosrodiningrat pun menyebarkan agama Islam dalam kerajaan Pamecutan dan menikah Raden Ayu Anak Agung Rai yang kemudian berganti nama menjadi Dwei Khadijah setelah memeluk agama Islam.
Makam salah Pangeran Sosridiningrat bisa ditemukan di Jalan Batukaru, Pemecutan.