GARENG DADHI RATU
Gareng adalah salah satu dari empat punakawan yang sering muncul dalam pertunjukan wayang di Jawa. Nama lengkapnya adalah Nala Gareng, hanya saja lebih akrab dengan sebutan Gareng. Gareng adalah punakawan yang berkaki pincang. Hal ini merupakan sebuah sanepa dari sifat Gareng sebagai kawula yang selalu hati-hati dalam bertindak. Selain itu, cacat fisik Gareng yang lain adalah tangan yang ciker atau patah. Ini adalah sanepa bahwa Gareng memiliki sifat tidak suka mengambil hak milik orang lain. Diceritakan bahwa tumit kanannya terkena semacam penyakit bubul. Dalam suatu carangan Gareng pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Prabu Pandupragola. Saat itu dia berhasil mengalahkan Prabu Welgeduwelbeh raja dari Borneo yang tidak lain adalah penjelmaan dari saudaranya sendiri yaitu Petruk. Dulunya, Gareng berwujud satria tampan bernama Bambang Sukodadi dari padepokan Bluluktiba. Gareng sangat sakti namun sombong, sehingga selalu menantang duel setiap satria yang ditemuinya. Suatu hari, saat baru saja menyelesaikan tapanya, ia berjumpa dengan satria lain bernama Bambang Panyukilan. Karena suatu kesalahpahaman, mereka malah berkelahi. Dari hasil perkelahian itu, tidak ada yang menang dan kalah, bahkan wajah mereka berdua rusak. Kemudian datanglah Batara Ismaya (Semar) yang kemudian melerai mereka. Karena Batara Ismaya ini adalah pamong para satria Pandawa yang berjalan di atas kebenaran, maka dalam bentuk Jangganan Samara Anta, dia (Ismaya) memberi nasihat kepada kedua satria yang baru saja berkelahi itu. Karena kagum oleh nasihat Batara Ismaya, kedua satria itu minta mengabdi dan minta diaku anak oleh Lurah Karang Kadempel, titisan dewa (Batara Ismaya) itu. Akhirnya Jangganan Samara Anta bersedia menerima mereka, asal kedua satria itu mau menemani dia menjadi pamong para kesatria berbudi luhur (Pandawa), dan akhirnya mereka berdua setuju. Gareng kemudian diangkat menjadi anak tertua (sulung) dari Semar.
VERSI PANSUNDAN
Dalam wayang golek (wayang versi Sunda), tokoh Gareng adalah anak terakhir dari Semar. Sama seperti tokoh Astrajingga dan Dawala, tokoh ini biasanya dikeluarkan sebagai hiburan untuk penonton. Gareng pada wayang Jawa Tengah dan Jawa Timur ini adalah anak pertama dari Semar.
CERITA DAN KISAH GARENG DADHI RATU VERSI WAYANG KULIT
Dalam cerita ini juga terjadi Sembadra sedang nandang raga alias sakit. Seribu cara dan srana telah diusahakan oleh suaminya, yaitu Arjuna dan bahkan kakak Sumbadra, Baladewa, tlah sampai juga menengok keadaan adiknya.
Oleh bujukan pendita Durna, Arjuna yang begitu berbakti kepada gurunya, menuruti kemauan gurunya itu. Pendita Durna menuduh sakitnya Sumbadra adalah oleh sebab kelakuan Srikandi istri muda Arjuna. Padahal sebetulnya Durna yang masih dendam kepada Srikandi karena tolakan cintanya ketika itu. Arjuna yang kemudian percaya seratus persen dengan kata guru, bahkan dengan teganya mengusir istrinya yang muda itu.
Dengan alasan sarana untuk menyembuhkan sakitnya Wara Sumbadra ketinggalan, Pandita Durna pamit dulu kepada Prabu Baladewa dan Arjuna untuk kembali ke Sokalima. Padahal maksud Pandita Druna adalah mengejar Wara Srikandi yang dalam perjalan pulang kerumah orang tuanya di Pancalaradya.
Kisah Gareng Dadi Ratu ini menceritakan tentang Nala Gareng yang menjadi raja bernama Prabu Pandupragolamanik dengan dukungan Dewi Sumbadra demi menyadarkan Raden Arjuna yang berbuat khilaf. Juga dikisahkan awal mula panakawan Petruk menjadi calon menantu Prabu Kresna.
Kisah ini saya olah dari sumber rekaman pentas wayang orang Sekar Budaya Nusantara, dengan sedikit pengembangan seperlunya.
PRABU KRESNA DAN PRABU BALADEWA HENDAK BERKUNJUNG KE MADUKARA
Prabu Kresna Wasudewa di Kerajaan Dwarawati memimpin pertemuan yang dihadap para menteri dan punggawa, antara lain Raden Samba (putra mahkota) serta Arya Setyaki dan Patih Udawa. Hadir pula Prabu Baladewa yang datang berkunjung dari Kerajaan Mandura. Kedua raja tersebut membicarakan tentang adik bungsu mereka, yaitu Dewi Wara Sumbadra yang saat ini usia kandungannya hampir mencapai tujuh bulan. Raden Arjuna konon telah mempersiapkan upacara siraman untuk istrinya tersebut. Kedua raja sama-sama mendapatkan undangan ke Madukara, sehingga Prabu Baladewa sengaja singgah ke istana Dwarawati untuk mengajak Prabu Kresna berangkat bersama.
Prabu Kresna dengan senang hati bersedia berangkat bersama Prabu Baladewa. Namun, ada satu hal yang mengganjal pikiran, yaitu Dewi Sumbadra kini sedang mengidam ingin dicarikan ikan waderbang sisik kencana, yaitu ikan wader berwarna merah yang bersisik keemasan. Demikianlah kabar yang ia terima dari Raden Sadewa (bungsu Pandawa) saat menyampaikan undangan dari Kesatrian Madukara. Raden Sadewa sekaligus juga bertanya apakah Prabu Kresna pernah mendengar soal ikan ajaib tersebut. Prabu Kresna menjawab sama sekali tidak tahu-menahu tentang hal ini.
Prabu Baladewa terkejut bercampur heran mendengar berita tersebut. Ia menganggap Dewi Sumbadra terlalu aneh permintaannya dan ini jelas menyusahkan suami. Di dunia ini mana ada ikan waderbang sisik kencana segala? Prabu Kresna berkata bahwa sesuatu yang tidak pernah dijumpai belum tentu tidak ada. Dunia ini begitu luas dan tidak seluruhnya pernah dijelajahi manusia. Bisa saja di suatu tempat entah di mana, ikan ajaib tersebut menampakkan diri.
Prabu Baladewa membenarkan ucapan adiknya. Ia lalu mengajak Prabu Kresna untuk segera berangkat menuju Kesatrian Madukara. Prabu Kresna pun membubarkan pertemuan. Ia mengajak Arya Setyaki ikut serta, sedangkan Patih Udawa dan Raden Samba ditugasi untuk menjaga negara.
PRABU PANDUPRAGOLA JATUH CINTA KEPADA DEWI SUMBADRA
Tersebutlah seorang raja bernama Prabu Pandupragola di Kerajaan Paranggumiwang. Raja ini bertubuh gagah perkasa namun belum memiliki istri. Pada suatu malam ia mimpi bertemu Dewi Sumbadra dan seketika jatuh cinta kepadanya. Ketika bangun dari tidur segera ia memanggil panakawan Kyai Togog dan Bilung Sarahita untuk mencari tahu tentang siapa sebenarnya Dewi Sumbadra tersebut.
Kyai Togog pun bercerita bahwa Dewi Sumbadra adalah adik Prabu Baladewa raja Mandura dan juga adik Prabu Kresna raja Dwarawati. Saat ini Dewi Sumbadra sudah menjadi istri Raden Arjuna, kesatria Panengah Pandawa yang tinggal di Kesatrian Madukara, wilayah Kerajaan Amarta. Oleh sebab itu, apabila Prabu Pandupragola ingin menikah dengan Dewi Sumbadra lebih baik dibatalkan saja.
Prabu Pandupragola tidak peduli meskipun Dewi Sumbadra sudah bersuami. Ia berniat membunuh Raden Arjuna dan merebut wanita pujaannya itu. Kyai Togog menasihati Prabu Pandupragola agar jangan gegabah, karena Raden Arjuna adalah kesatria sakti pilih tanding, dan menghadapinya sama saja dengan mencari mati. Tidak hanya itu, Prabu Baladewa dan Prabu Kresna juga tidak mungkin tinggal diam apabila adik mereka diganggu orang.
Prabu Pandupragola agak gentar juga mendengarnya. Namun, ia membulatkan tekat tidak ingin menikah jika tidak dengan Dewi Sumbadra. Usai berkata demikian, ia pun berangkat untuk menyerang Kesatrian Madukara dengan ditemani Patih Jayadenda beserta segenap pasukan Paranggumiwang.
PRABU PANDUPRAGOLA MENCULIK DEWI SUMBADRA
Prabu Pandupragola dan pasukannya telah bergerak mendekati perbatasan Kerajaan Amarta. Mereka bertemu rombongan dari Kerajaan Dwarawati yang hendak menuju Kesatrian Madukara pula. Arya Setyaki yang mengetahui niat jahat Prabu Pandupragola segera bertempur menghadapi mereka. Sungguh kebetulan Arya Wrekodara dan Raden Gatutkaca juga sedang melintas untuk meronda perbatasan. Mereka segera menggabungkan diri dengan pihak Dwarawati dan berhasil memukul mundur pasukan Paranggumiwang.
Prabu Pandupragola merasa ngeri melihat kehebatan orang-orang Amarta dan Dwarawati. Ia pun meloloskan diri dan berhasil menyusup masuk ke dalam Kesatrian Madukara. Setelah mengintai dan mengamati dengan seksama, akhirnya ia pun berhasil menemukan Dewi Sumbadra yang sedang duduk ditemani ketiga madunya, yaitu Dewi Srikandi, Niken Larasati, dan Dewi Sulastri. Tanpa membuang waktu, Prabu Pandupragola pun menerjang masuk dan segera menyambar tubuh Dewi Sumbadra.
Dewi Srikandi, Niken Larasati, dan juga Patih Sucitra segera mengejar si penculik. Namun, Prabu Pandupragola mengerahkan Aji Panglimunan sehingga para pengejarnya tidak dapat melihat di mana ia berada.
RADEN ARJUNA MENDAPATKAN PUSAKA JALASUTRA TAMPANG KENCANA
Sementara itu, Raden Arjuna ditemani para panakawan Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong sedang menghadap sang kakek di Padepokan Gunung Saptaarga, yaitu Bagawan Abyasa. Raden Arjuna menceritakan persoalan yang ia hadapi, yaitu Dewi Sumbadra ingin memakan daging ikan waderbang sisik kencana sebelum upacara siraman atas dirinya. Untuk itulah, Raden Arjuna datang ke Gunung Saptaarga guna meminta petunjuk kepada sang kakek di mana ikan ajaib tersebut dapat ditemukan.
Bagawan Abyasa seumur hidup belum pernah mendengar ada ikan bernama waderbang sisik kencana. Namun, ia juga tidak berani menuduh Dewi Sumbadra mengarang cerita. Karena tidak tega melihat cucunya yang dilanda kebingungan, Bagawan Abyasa pun meminjamkan pusaka berwujud jaring ikan, bernama Jalasutra Tampang Kencana, yang bermakna: jala terbuat dari sutra dengan pemberat berupa emas.
Bagawan Abyasa berkata bahwa jala pusaka ini lain daripada jala biasa. Nanti saat bertemu sungai, Raden Arjuna tinggal melemparkan jala tersebut ke air dan jala pusaka ini seolah punya mata sehingga bisa bergerak sendiri memerangkap ikan. Namun demikian, Bagawan Abyasa berpesan jala pusaka tersebut jangan sampai rusak, karena hanya bisa diperbaiki dengan mengorbankan nyawa orang yang telah merusakkannya. Raden Arjuna merasa ngeri mendengarnya dan ia pun memberanikan diri menerima jala pusaka tersebut.
DEWI SUMBADRA MEMERDAYA PRABU PANDUPRAGOLA
Di lain tempat, Prabu Pandupragola telah berhasil membawa kabur Dewi Sumbadra dan lolos dari kejaran orang-orang Madukara. Di tengah hutan, ia pun menurunkan Dewi Sumbadra dari gendongan dan berkata terus terang bahwa dirinya jatuh cinta kepada istri Raden Arjuna tersebut. Dewi Sumbadra berusaha tetap tenang sambil memeras otak. Apabila ia melawan dan menolak cinta Prabu Pandupragola, maka raja tersebut justru akan berbuat jahat kepada dirinya. Tentu saja Dewi Sumbadra takut janin dalam kandungannya yang akan menjadi korban.
Prabu Pandupragola berusaha merayu Dewi Sumbadra dengan memamerkan bahwa dirinya adalah raja besar dari Kerajaan Paranggumiwang. Ia juga memamerkan kesaktiannya untuk menakut-nakuti wanita itu. Namun, Dewi Sumbadra bukan wanita sembarangan yang mudah untuk ditakut-takuti. Dengan tenang ia berkata bahwa dirinya sama sekali tidak tertarik pada harta kekayaan dan juga ilmu kesaktian. Yang ia inginkan hanyalah memakan daging ikan waderbang sisik kencana, itu saja. Apabila Prabu Pandupragola mampu menemukan ikan tersebut, maka Dewi Sumbadra bersedia menjadi istrinya.
Prabu Pandupragola sangat senang mendengarnya. Kebetulan di dekat tempat itu terdapat sebuah sungai. Ia pun bersedia menyelam ke dalam sungai tersebut demi untuk mencari ikan yang diinginkan Dewi Sumbadra. Namun, Dewi Sumbadra tidak boleh kabur melarikan diri. Dewi Sumbadra setuju dan ia berjanji tidak akan pergi dari tempatnya kini berada. Jika Prabu Pandupragola tidak percaya, maka ia boleh mengikat kedua tangan dan kaki Dewi Sumbadra.
Prabu Pandupragola bagaikan terkena ilmu guna-guna, sehingga percaya begitu saja pada ucapan Dewi Sumbadra. Ia lalu melepas seluruh pakaiannya sampai yang tersisa hanya selembar cawat saja. Dengan penuh percaya diri, Prabu Pandupragola pun mencebur ke dalam sungai dan menyelam melawan arus untuk mencari ikan waderbang sisik kencana.
NALA GARENG DITUDUH MERUSAKKAN JALA PUSAKA
Sementara itu, di sungai yang sama dengan yang diselami Prabu Pandupragola, tampak Raden Arjuna dan para panakawan sedang sibuk mencari ikan yang sama pula. Berkali-kali Raden Arjuna melemparkan jala pusaka ke dalam air, namun yang terjaring hanyalah ikan-ikan biasa. Para panakawan menerima ikan-ikan tersebut dengan senang hati untuk bekal makan siang mereka.
Lama-lama Raden Arjuna merasa letih. Ia menyerahkan Jalasutra Tampang Kencana kepada para panakawan agar melanjutkan usaha mencari ikan waderbang sisik kencana, sedangkan dirinya pergi beristirahat. Kyai Semar pun menyerahkan jala pusaka tersebut kepada Petruk karena dirinya ikut pergi menemani Raden Arjuna.
Petruk ketakutan karena teringat pada pesan Bagawan Abyasa bahwa Jalasutra Tampang Kencana apabila rusak hanya bisa diperbaiki dengan mengorbankan nyawa orang yang merusakkannya. Mereka lalu mengadakan undian siapa yang sebaiknya melemparkan jala tersebut ke dalam air. Setelah diundi, ternyata Petruk mendapat giliran pertama, Bagong kedua, dan Nala Gareng ketiga.
Demikianlah, Petruk pun melemparkan Jalasutra Tampang Kencana ke dalam sungai. Selang beberapa saat ia menarik jala tersebut ke atas dan ternyata yang terjaring tetaplah ikan-ikan biasa. Karena jala tersebut baik-baik saja, Petruk pun lega dan menyerahkannya kepada Bagong.
Bagong yang mendapat giliran kedua segera melemparkan jala pusaka ke dalam air dan ketika ditarik ternyata tidak mendapatkan apa-apa. Dengan perasaan lega, Bagong lalu menyerahkan jala pusaka kepada Nala Gareng.
Kini tiba giliran Nala Gareng melemparkan Jalasutra Tampang Kencana. Tepat pada saat itulah Prabu Pandupragola yang sedang menyelam lewat di sungai dekat mereka. Akibatnya, tubuh Prabu Pandupragola pun terperangkap ke dalam jaring. Ia meronta-ronta dan jala tersebut justru semakin kencang menjerat dirinya. Akhirnya, Prabu Pandupragola mengerahkan kesaktiannya dan jala pusaka itu pun robek sehingga ia bisa meloloskan diri.
Nala Gareng tidak tahu kalau lemparannya tadi sempat menjerat seseorang yang sedang menyelam. Ia hanya merasa Jalasutra Tampang Kencana bertambah berat seperti sedang menjerat seekor ikan besar. Perlahan ia menarik jala pusaka itu ke atas dan ternyata jala tersebut telah robek menganga lebar.
NALA GARENG MENENGGELAMKAN DIRI KE DALAM SUNGAI
Nala Gareng pun ketakutan karena jala pusaka itu robek saat berada di tangannya. Petruk dan Bagong ikut ngeri karena itu berarti kakak mereka harus menebus dengan nyawa. Tidak lama kemudian Raden Arjuna dan Kyai Semar datang. Raden Arjuna langsung marah-marah dan menuduh Nala Gareng berbuat ceroboh hingga merusakkan Jalasutra Tampang Kencana. Bagaimanapun juga jala pusaka ini harus bisa diperbaiki, dan itu artinya Nala Gareng harus mengorbankan nyawa.
Nala Gareng menangis ketakutan dan memohon ampun. Petruk dan Bagong hanya bisa bingung tidak tahu harus berbuat apa. Begitu pula dengan Kyai Semar juga tidak bisa membela dirinya. Raden Arjuna terpaksa harus menjalankan hukuman, meskipun dalam hati merasa tidak tega terhadap Nala Gareng.
Nala Gareng merasa tidak ada jalan lain lagi. Ia sangat sedih karena nyawanya ternyata tidak lebih berharga daripada selembar jala ikan. Dengan perasaan putus asa, ia pun melompat terjun ke dalam sungai. Dalam sekejap tubuhnya langsung lenyap terseret arus sungai yang deras.
Raden Arjuna kemudian memeriksa Jalasutra Tampang Kencana ternyata tetap rusak dan tidak berubah menjadi baik. Itu artinya, nyawa Nala Gareng tidak dapat menebusnya. Raden Arjuna merasa sedih dan menyesal karena ternyata Nala Gareng bukanlah orang yang merusakkan jala pusaka tersebut. Namun, semuanya sudah terlambat. Nala Gareng sudah hanyut terbawa arus, entah di mana jasadnya bisa ditemukan.
NALA GARENG DITEMUKAN DEWI SUMBADRA
Nala Gareng sebenarnya belum mati. Tubuhnya hanyut terseret arus hingga akhirnya tersangkut di antara batu-batuan kali. Kebetulan Dewi Sumbadra berada di dekat situ dan melihatnya. Ia hendak terjun ke air namun takut kandungannya bermasalah. Maka, ia hanya memanggil-manggil Nala Gareng dari tepi sungai untuk memastikan panakawan tersebut masih hidup atau sudah meninggal. Mendengar suara sang majikan perempuan memanggil dirinya, Nala Gareng pun bangun dari pingsan dan segera merangkak naik ke daratan.
Dewi Sumbadra bertanya apa sebabnya Nala Gareng bisa hanyut terbawa arus sungai. Sungguh beruntung tubuhnya tersangkut di antara bebatuan kali sehingga Dewi Sumbadra bisa menemukannya. Jika tidak, mungkin ia sudah hanyut entah ke mana. Nala Gareng pun menyembah hormat dan berterima kasih kepada sang majikan wanita, lalu menceritakan semuanya dari awal sampai akhir, yaitu ia sengaja menceburkan diri ke dalam sungai karena dituduh Raden Arjuna merusakkan pusaka Jalasutra Tampang Kencana.
Dewi Sumbadra kesal mendengar perbuatan suaminya yang menjatuhkan hukuman kepada Nala Gareng tanpa menyelidiki kesalahannya terlebih dulu. Tiba-tiba ia mempunyai rencana ingin menyadarkan suaminya. Nala Gareng lalu diperintahkan untuk mengenakan pakaian milik Prabu Pandupragola yang ditinggalkan pemiliknya di tepi sungai. Nala Gareng pun dengan senang hati mengenakan pakaian tersebut. Dewi Sumbadra kemudian merias Nala Gareng sehingga wajahnya sulit dikenali lagi.
Tiba-tiba Prabu Pandupragola muncul dari dalam sungai naik ke daratan. Ia marah-marah meminta Nala Gareng mengembalikan pakaiannya. Nala Gareng pun balik menuduh Prabu Pandupragola sebagai orang gila yang hanya memakai cawat tetapi mengaku sebagai raja segala. Dewi Sumbadra juga pura-pura tidak kenal dan ikut menuduh Prabu Pandupragola sebagai orang gila dan menyebut Nala Gareng sebagai Prabu Pandupragola yang asli.
Prabu Pandupragola marah dan menyerang Nala Gareng. Dengan cekatan Nala Gareng pun menghadapi serangan tersebut. Setelah bertarung agak lama, Prabu Pandupragola akhirnya terdesak dan tubuhnya jatuh tercebur ke dalam sungai.
NALA GARENG MENJADI RAJA PARANGGUMIWANG
Setelah tubuh Prabu Pandupragola hanyut terbawa arus sungai, Dewi Sumbadra dan Nala Gareng bertemu dengan Patih Jayadenda beserta sisa-sisa pasukan Paranggumiwang. Karena tidak mengenali Nala Gareng yang mengenakan pakaian rajanya, Patih Jayadenda pun menyembah kepadanya dan menyebutnya sebagai Prabu Pandupragola. Ia bersyukur ternyata rajanya masih hidup setelah mereka terpisah saat bertempur melawan rombongan dari Kerajaan Dwarawati tadi.
Sesuai rencana di awal tadi, Nala Gareng pun mengaku sebagai Prabu Pandupragola dan berkata bahwa dirinya memang masih hidup, bahkan berhasil menculik Dewi Sumbadra. Tidak hanya itu, Nala Gareng juga mengumumkan bahwa nama gelarnya kini ditambahi menjadi Prabu Pandupragolamanik, karena tubuhnya menjadi lebih mungil daripada semula. Ia berkata bahwa dirinya belum puas jika hanya mendapatkan Dewi Sumbadra saja, karena kini yang ia inginkan adalah menaklukkan Kerajaan Amarta.
Demikianlah, Prabu Pandupragolamanik alias Nala Gareng lalu mengajak Patih Jayadenda dan pasukan Paranggumiwang untuk menyerbu negeri tersebut. Patih Jayadenda merasa gentar karena tadi ia sudah melihat sendiri seperti apa kesaktian Arya Wrekodara, Raden Gatutkaca, dan Arya Setyaki. Namun, Prabu Pandupragolamanik terus mendesak dan meyakinkan Patih Jayadenda bahwa kali ini ia akan mengerahkan kemampuannya yang asli untuk menaklukkan Pandawa Lima beserta para sekutunya tersebut.
Tanpa membuang waktu lagi, Prabu Pandupragolamanik pun memerintahkan Patih Jayadenda dan para prajurit Paranggumiwang untuk mengikutinya.
PRABU PANDUPRAGOLAMANIK MENYERANG KERAJAAN AMARTA
Prabu Puntadewa di Kerajaan Amarta menerima kedatangan Prabu Kresna dan Prabu Baladewa beserta rombongan. Ia berkata bahwa upacara siraman untuk Dewi Sumbadra terancam batal karena saat ini adik iparnya tersebut telah hilang diculik orang, sebagaimana yang dilaporkan Dewi Srikandi. Prabu Kresna mengatakan tidak perlu mencari Dewi Sumbadra karena ia mendapat firasat bahwa adik bungsunya itu akan segera kembali ke Kerajaan Amarta.
Tidak lama kemudian datang pula Raden Arjuna bersama Kyai Semar, Petruk, dan Bagong. Sambil meratap sedih, Raden Arjuna mengaku telah berbuat kejam menghukum mati Nala Gareng tanpa penyelidikan lebih mendalam. Kini Nala Gareng telah meninggal dan jasadnya hanyut di sungai tanpa diketahui keberadaannya.
Tiba-tiba Patih Tambakganggeng datang melapor bahwa Prabu Pandupragolamanik bersama pasukan Paranggumiwang telah datang menyerang Kerajaan Amarta. Mendengar itu, Arya Wrekodara segera keluar dan memimpin pasukan untuk menghadapinya.
Pertempuran pun meletus di antara kedua pihak. Arya Wrekodara yang gagah perkasa ternyata tidak mampu menghadapi Prabu Pandupragolamanik yang kecil mungil, bahkan berhasil dipukul mundur. Raden Gatutkaca, Arya Setyaki, bahkan Prabu Baladewa juga kalah melawan raja Paranggumiwang tersebut.
Raden Arjuna kemudian maju menghadapi Prabu Pandupragolamanik. Sungguh terkejut hatinya melihat Dewi Sumbadra ternyata berada di belakang raja bertubuh mungil tersebut. Anehnya, Dewi Sumbadra tidak bersedia kembali kepada Raden Arjuna dan lebih memilih Prabu Pandupragolamanik sebagai suaminya. Raden Arjuna marah dan menyerang raja itu. Keduanya lalu bertarung seru. Namun sama seperti yang lain, Raden Arjuna juga kalah dan dapat dipukul mundur oleh Prabu Pandupragolamanik.
PETRUK MENGHADAPI PRABU PANDUPRAGOLAMANIK
Prabu Puntadewa prihatin melihat pihak Amarta terdesak menghadapi kesaktian Prabu Pandupragolamanik. Ia lalu meminta petunjuk kepada Prabu Kresna untuk mengatasi masalah ini. Prabu Kresna mengamati dengan seksama lalu memanggil panakawan Petruk dan memerintahkannya maju menghadapi Prabu Pandupragolamanik.
Petruk keberatan dengan tugas ini karena Arya Wrekodara, Raden Arjuna, dan yang lain saja kalah melawan raja tersebut, apalagi dirinya. Prabu Kresna merayu Petruk agar tetap maju dan ia berjanji akan memberikan hadiah apa saja kepada panakawan tersebut. Petruk pun bersedia maju perang asalkan diberi hadiah berupa anak ayam cemani. Prabu Kresna paham maksud perkataan Petruk. Ayam cemani adalah kiasan untuk dirinya yang berkulit hitam legam. Dengan kata lain, Petruk meminta putrinya sebagai istri.
Prabu Kresna pun berjanji akan mengabulkan permintaan tersebut. Ia berkata bahwa dirinya mempunyai anak perempuan bernama Dewi Prantawati yang lahir dari selir dan saat ini masih kecil. Kelak jika sudah dewasa, Dewi Prantawati akan dinikahkan dengan Petruk. Namun syaratnya, Petruk harus bisa mengalahkan Prabu Pandupragolamanik terlebih dulu. Jika tidak, maka perjanjian batal.
Petruk sangat gembira mendengarnya. Ia pun maju menyerang Prabu Pandupragolamanik. Keduanya bertarung sengit namun dengan diselingi menyanyi dan menari jenaka. Demikianlah, Petruk akhirnya berhasil membongkar wujud asli Prabu Pandupragolamanik yang tidak lain adalah penyamaran Nala Gareng, kakaknya sendiri.
RADEN ARJUNA MEMINTA MAAF KEPADA NALA GARENG
Melihat Prabu Pandupragolamanik telah kembali ke wujud asalnya, Raden Arjuna segera maju dan meminta maaf kepada Nala Gareng atas perbuatannya yang terburu nafsu tadi. Nala Gareng dengan lapang dada memaafkan majikannya itu, karena ia paham Raden Arjuna sedang banyak pikiran karena Dewi Sumbadra mengidam sesuatu hal yang di luar nalar.
Prabu Kresna, Prabu Puntadewa, Prabu Baladewa, dan yang lain ikut mengerumuni Nala Gareng dan Dewi Sumbadra. Prabu Kresna pun bertanya apa maksud Dewi Sumbadra meminta ikan waderbang sisik kencana yang di dunia ini tidak pernah ada. Dewi Sumbadra pun menjawab bahwa ia hanya ingin menguji cinta kasih sang suami. Selama ini dirinya mengandung tetapi Raden Arjuna lebih suka berkelana menuruti kehendak hati, bahkan yang terakhir membawa pulang istri baru bernama Dewi Sulastri. Sama sekali Dewi Sumbadra tidak cemburu kepada Dewi Sulastri, hanya saja ia ingin lebih diperhatikan karena dalam rahimnya terdapat janin yang kelak menjadi masa depan Raden Arjuna.
Oleh sebab itu, Dewi Sumbadra pun pura-pura mengidam minta dicarikan ikan waderbang sisik kencana. Tak disangka, Raden Arjuna benar-benar berangkat untuk mewujudkan keinginan palsunya itu. Hingga akhirnya, Raden Arjuna menghukum mati Nala Gareng karena merusakkan Jalasutra Tampang Kencana, pertanda bahwa permintaan Dewi Sumbadra dianggap benar-benar penting olehnya.
Kini di hadapan semua orang, Dewi Sumbadra pun meminta maaf telah menyusahkan sang suami atas permintaan palsunya. Sebaliknya, Raden Arjuna juga meminta maaf karena selama Dewi Sumbadra mengandung, dirinya memang kurang perhatian dan lebih suka mencari hiburan sendiri.
RADEN ARJUNA MENEWASKAN PRABU PANDUPRAGOLA
Tidak lama kemudian Prabu Pandupragola yang asli datang untuk menantang Raden Arjuna bertarung demi memperebutkan Dewi Sumbadra. Rupanya ia berhasil menyelamatkan diri saat tadi tubuhnya tercebur ke dalam sungai akibat bertarung melawan Nala Gareng. Melihat rajanya yang asli datang, Patih Jayadenda segera menggabungkan diri dan ia merasa tertipu karena raja yang didukungnya tadi ternyata penyamaran Nala Gareng.
Dewi Sumbadra berkata kepada Raden Arjuna bahwa bukan Nala Gareng yang merusakkan Jalasutra Tampang Kencana, tetapi Prabu Pandupragola. Itu semua karena ia telah menyuruh raja tersebut menyelam ke dalam sungai untuk mencari ikan waderbang sisik kencana. Kemungkinan besar Prabu Pandupragola terperangkap ke dalam jala pusaka yang sedang dibentangkan Nala Gareng dan memberontak hingga jala itu pun robek.
Mendengar itu, Raden Arjuna segera maju menerima tantangan Prabu Pandupragola. Keduanya lalu bertanding di halaman istana Kerajaan Amarta. Dalam pertarungan tersebut, Prabu Pandupragola akhirnya tewas tertusuk Keris Pulanggeni milik Raden Arjuna.
Sungguh ajaib, begitu Prabu Pandupragola terbunuh, Jalasutra Tampang Kencana yang robek seketika pulih kembali seperti sedikala. Ternyata benar apa yang dikatakan Bagawan Abyasa, bahwa jala pusaka tersebut apabila rusak, maka hanya bisa diperbaiki dengan mengorbankan nyawa orang yang telah merusakkannya.
Melihat rajanya tewas, Patih Jayadenda segera mengamuk untuk melakukan bela pati. Namun, ia akhirnya tewas pula di tangan Raden Gatutkaca.
RADEN ARJUNA MENGADAKAN UPACARA SIRAMAN UNTUK DEWI SUMBADRA
Demikianlah, suasana Kerajaan Amarta kini telah aman kembali. Raden Arjuna pun melangsungkan upacara siraman untuk Dewi Sumbadra di Kesatrian Madukara, dengan disaksikan Prabu Kresna, Prabu Puntadewa, Prabu Baladewa, beserta para Pandawa lainnya. Ketiga istri padmi Raden Arjuna yang lain, yaitu Dewi Srikandi, Dewi Sulastri, dan Niken Larasati bertugas mempersiapkan segala keperluan upacara.
Setelah upacara siraman selesai, Prabu Kresna dan Prabu Baladewa pun menginap selama beberapa hari di Kesatrian Madukara, kemudian mereka mohon pamit pulang kembali ke negeri masing-masing dengan perasaan penuh sukacita.
CATATAN :
Lakon Gareng Dadi Ratu ini sebenarnya hasil modifikasi dari lakon wayang gedog : Bancak Dadi Ratu, di mana dikisahkan Dewi Galuh Candrakirana mengidam ikan waderbang sisik kencana kepada Raden Panji Asmarabangun. Bancak yang menjadi raja akhirnya dapat dibongkar penyamarannya oleh Doyok, sesama panakawan. Saya sendiri kurang tahu siapa dalang pertama yang telah mengubah lakon ini menjadi lakon wayang purwa : Gareng Dadi Ratu. Namun demikian, lakon ini dapat diletakkan sebelum lakon Abimanyu Lahir, karena mengisahkan Dewi Sumbadra sedang mengandung.