DANGHYANG NIRARTHA
Danghyang Nirartha adalah seorang Brahmana yg melakukan Dharma Yatra ke Bali, dikenal dengan sebutan Pedanda Shakti Wawu Rauh, juga dengan sebutan Danghyang Dwijendra . Beliau adalah putra kedua dari Danghyang Smaranatha dan adik dari Danghyang Angsoka. Pada awal tahun 1537 M Danghyang Nirartha meninggalkan kota Blambangan bersama dengan keluarganya dan hendak pergi ke Bali untuk menjadi penasehat Raja Gelgel, Dalem Waturenggong. Beliau melakukan perjalanan suci menyebarkan Dharma (Dharma yatra) selama di Bali beliau berperan dlm mendirikan Pura terutama di selatan Bali, diantaranya :
1. Pura rambut siwi.
2. Pura melanting.
3. Pura er jeruk.
4. Pura petitengen.
Pura-pura yg di dirikan oleh Danghyang Nirarta biasa di sebut dg pura Dang Kahyangan. Beliau juga merupakan pencipta arsitektur Padmasana untuk kuil Hindu di Bali. Kuil ini di anggap sbg penjelmaan Dewa Siwa oleh pengikutnya. Dang Hyang Nirartha juga menciptakan sistem 3 kuil untk desa-desa di Bali, sebagai penghormatan pada 3 Dewa utama (Trimurti) Hindu. Di mana :
1. Kuil Dewa Brahma berada di selatan.
2. Kuil Dewa Wisnu di bagian utara dan.
3. Kuil Dewa Siwa ada di bagian tengah desa.
Sistem 3 kuil ini bertujuan untk mempermokoh konsep Trimurti dalam Agama Hindu, yang kemudian juga di kenal dg konsep Tri Hita Karana. Selain di Bali Danghyang Nirartha juga ber Dharma yatra smpai Lombok dan Sumbawa, di mana di lombok beliau di kenal dg sebutan Haji Duta Semu, sedangkan di Sumbawa beliau di kenal dengan sebutan Tuan Semeru.
DANGHYANG NIRARTHA (versi 2)
Danghyang Nirartha juga dikenal dengan sebutan Pedanda Shakti Wawu Rauh, Mpu Nirartha atau Danghyang Dwijendra adalah seorang tokoh agama Saiwa di Bali dan seorang pengelana Hindu abad ke-16 Masehi. Ia adalah pendiri ajaran Saiwa di Bali. Tokoh ini dikenal dari lontar Dwijendra Tattwa.
Pengenalan tahta kosong Padmasana sebagai tempat untuk Dewa Agung Acintya, merupakan hasil pergerakan reformasi yang dipimpin oleh Dang Hyang Nirartha, pada saat tersebut penyebaran agama Islam sedang meluas dari barat melalui pulau Jawa.
Pada awal tahun 1537, Ia meninggalkan kota Blambangan bersama dengan keluarganya untuk menjadi kepala penasihat Raja Gelgel, Dalem Baturenggong. Ia meninggalkan wilayah kerajaan Blambangan setelah salah satu istri dari raja Blambangan jatuh cinta kepadanya. Kejadian ini memicu keberangkatannya meninggalkan pulau Jawa. Diceritakan bahwa perjalannya dari Jawa ke pulau Bali dilakukan dengan menduduki labu, hal ini mengakibatkan penilaian tabu di lingkungan Brahmin Bali akan konsumsi labu.
Setelah kedatangannya di Bali, ia tiba di lingkungan kerajaan Raja Dalem Baturenggong. Bertepatan dengan masa dimana Bali sedang dijangkiti oleh berbagai penyakit dari tahun-tahun sebelumnya, Nirartha memberikan sebagian rambutnya kepada raja dan menyatakan bahwa hal tersebut akan menghapus penderitaan. Rambut ini ditempatkan di sebuah kuil yang kemudian menjadi tempat ziarah pengikut Shaivis di Bali.
Nirartha merupakan pencipta arsitektur padmasana untuk kuil Hindu di Bali. Kuil ini dianggap oleh para pengikut sebagai penjelmaan dari Shiva yang agung. Semasa perjalanan Nirartha, jumlah kuil-kuil di pesisir pantai di Bali bertambah dengan adanya kuil padmasana.
Ia juga menciptakan sistem tiga-kuil (Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem) untuk desa-desa di Bali sebagai penghormatan pada tiga dewa utama Hindu (Trimurti). Kuil untuk Brahma di selatan, Vishnu di bagian utara dan sebuah kuil untuk Shiva di bagian tengah desa. Sistem ini digunakan untuk memperkokoh konsep Trimurti dalam agama Hindu yang kemudian juga dikenal sebagai konsep Tri Hita Karana.
Nirartha bertanggung jawab dalam mempermudah pembentukan kembali agama Hindu di Bali. Ia merupakan serorang pelopor pendapat akan moksha di Indonesia. Ia mendirikan persaudaraan pandit Shaivis.
Istri dan Putra-Putri
Dang Hyang Nirartha mempunyai 12 orang putra-putri. Perkawinan beliau dengan Diyah Komala, putri Dang Hyang Panawaran yang berasal dari Daha melahirkan dua orang putra, masing-masing bernama Ida Ayu Swabhawa (nama lainnya Hyangning Salaga, Bhatari Melanting) dan Ida Kulwan (nama lainnya Dang Hyang Wiraga Sandhi atau Pedanda Kemenuh). Perkawinannya dengan putri Dang Hyang Pandawasikan yang bernama Diyah Sangawati dari Pasuruhan (masih saudara sepupu Dang Hyang Nirartha) melahirkan empat orang putra, yaitu Ida Wayahan Lor Uuga bernama Nuabha (Ida Ler), Ida Wiyatan (Ida Wetan) dan Ida Kulwan. Perkawinan beliau dengan Patni Keniten, adik Sri Aji Juru raja Brambangan melahirkan tiga orang putra, masing-masing bernama Ida Ayu Nirswabhawa Uuga (bernama Ida Istri Rai), Ida Telaga (juga bernama Ida Ender) dan yang terkecil bemama Ida Kaniten (Pedanda Kaniten). Putra-putri Danghyang Nirartha yang beribu dari Jawa, masing-masing dari Daha, Pasuruan dan Blambangan.
DANGHYANG NIRARTHA BERGURU PADA SYEKH SITI JENAR (versi 3)
Danghyang Nirartha Murid Syekh Siti Jenar yang Jadi Pendeta Budha di Bali, Sejarah Sunan Gunung Jati.
Satu zaman dengan Sunan Gunung Jati, hadir satu sosok wali yang menyimpan banyak misteri.
Sunan Gunung Jati memiliki seorang teman dalam menyebarkan ajaran Islam, namun dengan sosok satu ini selalu terjadi kontroversi.
Sosok sahabat Sunan Gunung Jati yang merupakan wali yang penuh dengan misteri dan kontroversi ajarkan ajaran Manunggal Kawulo Gusti.
Syekh Siti Jenar atau Syekh Abdul Jalil adalah sosok seorang wali yang penuh Misteri, dari mulai asal dan usul, kematian hingga makamnya masih menjadi Misteri hingga saat ini.
Namun sosok yang penuh dengan misteri dan kontroversi dengan ajaran Manunggaling Kawula Gusti ini, banyak memiliki santri.
Mereka yang menjadi santri Syekh Siti Jenar, banyak belajar tentang ajaran Islam sejati.
Danghyang Nirartha Murid Syekh Siti Jenar yang Jadi Pendeta Budha di Bali, Sejarah Sunan Gunung Jati.
Naskah Nagara Kretabhumi Sargha III pupuh 77-78, mengisahkan bahwa setelah kembali dari menuntut ilmu di Baghdad, Syaikh Siti Jenar pergi ke Malaka.
Syekh Siti Jenar kemudian mengajarkan ilmu agama sampai dikenal dengan gelar Syaikh Datuk Abdul Jalil.
Selain dikenal Syekh Datuk Abdul Jalil, Syekh Siti Jenar juga dikenal dengan nama Syaikh Datuk Jabal Rantas.
Syekh Siti Jenar akhirnya menikah dengan seorang perempuan Gujarat dan memiliki putra bernama Ki Datuk Pardun dan Ki Datuk Bardud.
Syekh Siti Jenar tidak lama tinggal di Malaka. Ia lalu pergi ke tanah Jawa menuju Giri Amparan Jati di Cirebon.
Ia pun ikut tinggal di Amparan Jati bersama Syaikh Datuk Kahfi yang konon merupakan saudara sepupunya.
Setelah itu, Syaikh Siti Jenar tinggal di Cirebon Girang. Hanya dalam waktu yang sangat singkat, ia memiliki banyak murid yang menimba pengetahuan darinya.
Syekh Siti Jenar selalu berdakwah keliling dari satu kampung ke kampung lainnya, hingga memiliki begitu banyak muridnya.
Dalam Naskah Nagara Kretabhumi, mencatatkan banyak sekali pejabat tinggi kerajaan jadi murid dari Syaikh Siti Jenar.
Harus Tahu 5 Ajaran Paling Terkenal Sunan Ampel, Walisongo Guru Sunan Gunung Jati
Dan di dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari disebutkan bahwa, ia sangat dekat dengan Sunan Kalijaga.
Sementara dari cerita tradisi di kalangan pengikut tarekat Akmlaiyah disebutkan bahwa,
Salah seorang murid Syaikh Siti Jenar yang bernama adalah Ki Danghyang Nirartha, kemudian menjadi pendeta besar di negeri Bali.
Ki Danghyang Nirartha mengajarkan paham manunggaling kawula-gusti kepada orang-orang Hindu dan Buddha di Bali.
Setelah memiliki banyak muridnya, Syaikh Siti Jenar mendirikan pesantren di Dukuh Lemah Abang, yang terletak di sebelah tenggara Cirebon Girang.
Itulah sekilas kisah tentang Syekh Siti Jenar yang memiliki banyak pengikut dari kalangan kerajaan hingga mendirikan padepokan di Lemah Abang.
DANG HYANG NIRARTHA / SABDOPALON (versi pesan).
10 (sepuluh) pesan dari Eyang Sabdopalon (Dang Hyang Nirartha) sebagai berikut :
Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga, satus reka saliunnya, kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan, kasor buin yadnyane satus, baan suputra satunggal (bait 5).
Ada sebenarnya ucapan ilmu pengetahuan, utama orang yang membangun telaga, banyaknya seratus, kalah keutamaannya itu, oleh orang yang melakukan korban suci sekali, korban suci yang seratus ini, kalah oleh anak baik seorang.
Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani ring kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka, guru prabhu, guru tapak tui timpalnya (bait 6).
Ayahnda memberitahumu anakku, tata cara menjadi anak, jangan durhaka pada leluhur, orang yang disebut guru, tiga banyaknya yang disebut guru, guru reka, guru prabhu, dan guru tapak (yang mengajar) itu.
Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane tong kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe majalan, batise twara katanjung, bacin tuara bakat ingsak (bait 8).
Lebih baik hati-hati dalam berbicara, kepada semua orang, tak akan ternoda keturunannya, tak ada yang akan mencaci maki, lebih baik hati-hati dalam berjalan, sebab kaki tak akan tersandung, dan tidak akan menginjak kotoran.
Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah gawenang, patut tingkahe buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon malihat, mamedasin ane patut, da jua ulah malihat (bait 10).
Mulai sekarang lakukan, lakukanlah berdua, patut utamakan tingkah laku yang benar, seperti menggunakan mata, gunanya untuk melihat, memperhatikan tingkah laku yang benar, jangan hanya sekedar melihat.
Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon maningehang, ningehang raose melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang, kranannya mangelah cunguh, anggon ngadek twah gunanya (bait 11).
Kegunaan punya telinga, sebenarnya untuk mendengar, mendengar kata-kata yang benar, camkan dan simpan dalam hati, jangan semua hal didengarkan.
Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang jua agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de mangucap pati kacuh, ne patut jwa ucapang (bait 12).
Jangan segalanya dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah caranya merasakan, agar bisa melaksanakannya, kegunaan mulut untuk berbicara, jangan berbicara sembarangan, hal yang benar hendaknya diucapkan.
Ngelah lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang patute bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa mangulah laku, katanjung bena nahanang (bait 13).
Memiliki tangan jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat kebenaran, begitu pula dalam melangkahkan kaki, hati-hatilah melangkahkannya, bila kesandung pasti kita yang menahan (menderita) nya.
Awake patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren ngertiang awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi manandur, joh pare twara mupuang (bait 14).
Kebenaran hendaknya diperbuat, agar menemukan keselamatan, jangan henti-hentinya berbuat baik, ibaratnya bagai bercocok tanam, tata cara dalam bertingkah laku, kalau rajin menanam, tak mungkin tidak akan berhasil.
Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep matetumbasan, masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah tumbas ipun, patuh ring ma mwatang tingkah (bait 15).
Pilihlah perbuatan yang baik, seperti orang ke pasar, bermaksud hendak berbelanja, juga masih memilih, tidak mau membeli yang rusak, pasti yang baik dibelinya, sama halnya dengan memilih tingkah laku.
Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak, saluire kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija aba tuara laku, keto cening sujatinnya. ( bait 16 )
Pilihlah tingkah laku yang baik, jangan mau memakai tingkah laku yang jahat, betul-betul hina nilainya, ditambah lagi tiada disukai masyarakat, kemanapun di bawa tak akan laku, begitulah sebenarnya anakku.
Akhirnya bapak Tri Budi Marhaen Darmawan mengungkapkan bahwa dengan penelusuran secara spiritual dapatlah disimpulkan :
Jadi yang dikatakan Putra Betara Indra oleh Joyoboyo, Budak Angon oleh Prabu Siliwangi, dan Satrio Pinandhito Sinisihan Wahyu oleh Ronggowarsito itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Sabdo Palon, yang sejatinya adalah Dang Hyang Nirartha / Mpu Dwijendra/ Pedanda Sakti Wawu Rawuh / Tuan Semeru.
DANG HYANG DWIJENDRA/NIRATHA
Untuk membuka lembaran Riwayat Hidup Danghyang Dwijendera terlebih dahulu saya menghaturkan pangastuti dengan terjemahan dari Dwijendra Stawa dengan tembang Kidung Demung Wilis :
Ya Tuhan, ampunilah kami, semoga tidak tertimpa kutuk dan kualat, karena kami kini memuja Dhanghyang Dwijendra yang merupakan guru suci, yang menganugerahkan ajaran ilmu pengetahuan suci, ajaran ketuhanan Hindu di Bali berupa :
1. Weda.
2. Mantra.
3. Nyanyian-nyanyian suci.
4. Tingkah laku.
5. Peradaban hidup, dengan lima yadnyanya, antara lain Dewa Yadnya, yang selalu membuat ketentraman rasa bathin, selamat sentosanya jiwa kami, semoga berhasillah cita-cita kami, Negara kami selamat sejahtera untuk diselenggarakan.
Dalam Dwijendra Tattwa dikisahkan sebagai berikut Pada Masa Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, tersebutlah seorang Bhagawan yang bernama Dang Hyang Dwi Jendra.
Beliau dihormati atas pengabdian yang sangat tinggi terhadap raja dan rakyat melalui ajaran-ajaran spiritual, peningkatan kemakmuran dan menanggulangi masalah-masalah kehidupan. Beliau dikenal dalam menyebarkan ajaran Agama Hindu dengan nama Dharma Yatra.
Di Lombok Beliau disebut Tuan Semeru atau guru dari Semeru, nama sebuah gunung di Jawa Timur.
Dengan kemampuan supranatural dan mata bathinnya, beliau melihat benih-benih keruntuhan kerajaan Hindu di tanah Jawa.
Maksud hati hendak melerai pihak-pihak yang bertikai, akan tetapi tidak mampu melawan kehendak Sang Pencipta, ditandai dengan berbagai bencana alam yang ditengarai turut ambil kontribusi dalam runtuhnya kerajaan Majapahit (salah satunya adalah bencana alam Pagunungan Anyar.
Akhirnya beliau mendapat petunjuk untuk hijrah ke sebuah pulau yang masih di bawah kekuasaan Majapahit, yaitu Pulau Bali.
Sebelum pergi ke Pulau Bali, Dang Hyang Nirartha hijrah ke Daha (Kediri), lalu ke Pasuruan dan kemudian ke Blambangan.
Beliau pertama kali tiba di pulau Bali dari Blambangan sekitar tahun caka 1411 atau 1489 M ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai :
1. Siwa.
2. Sadha Siwa dan.
3. Parama Siwa.
Dang Hyang Nirarta dijuluki pula Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik.
Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk :
1. Tulisan lontar.
2. Kidung atau kekawin.
PURA-PURA DANG KAYANGAN
Kayangan yang didirikan dalam rangkaian Dharmayatra Dang Hyang Nirartha :
1. Pura Dang Kahyangan Pura Jati
Di Pura Jati adalah menandai kedatangan
2. Pura Indra Kila. Pura Indra Kila adalah tempat Dang Hyang Nirartha mengajarkan berbaga pengetahuan keagamaan kepada masyarakat setempat. Masih banyak bangunan suci yang berhubungan dengan dharmayatra Dang Hyang Nirartha di Bali.
3. Pura Dang Kahyangan Srijong di Batulumbang, Antap Selemadeg, Tabanan untuk memuja Bhatara Sagara.
4. Pura Dalem Mangening di Renon, tempat persinggahan Dang Hyang Niratha dan sempat mengajar masyarakat berbagai keterampilan bertani dan pengetahuan kerohanian.
5. Pura Pucak Empelan Dalem Semeru di Belayu, Marga Tabanan. Pura Pucak Empelan Semeru di Belayu Tabanan, adalah pura yang dibangun oleh Dang Hyang Nirartha sedatang beliau melakukan dharmayatra di Lombok. Pembangunan pura ini sebagai penanda keberhasilan Dang Hyang Nirartha mengajar Gama Metu Telu di Lombok. Patung Dang Hyang Dwijendra yang disebut Tuwan Semeru yang distanakan di pura Pucak Empelan ini memakai songkok/peci
6. Pura Katyagan di desa Kamasan Klungkung. Pura ini adalah bekas pasraman (Gria) Dang Hyang Nirartha saat menjadi purohita kerajaan. Para penyungsung pura Katyagan terus melakukan pembenahan dan perbaikan pura sehingga kekhasannya menjadi lebih asri.
7. Pura Katyagan di desa Kamasan Klungkung. Pura ini adalah bekas pasraman (Gria) Dang Hyang Nirartha saat menjadi purohita kerajaan. Para penyungsung pura Katyagan terus melakukan pembenahan dan perbaikan pura sehingga kekhasannya menjadi lebih asri.
8. Pura Taman Bagenda di Gelgel. Berdasarkan buku beraksara Bali ” Panataran Batu Lepang Puser Brahmana Kaniten (1958:10) menyebutkan, sedatang Dang Hyang Nirartha bersama Dalem Waturenggong dari Teluk Padang, Dalem memerintahkan kepada para abdi beliau di Istana Gelgel (Sweccha Pura) untuk mempersilakan Sang Maha Muni tinggal di Taman Bagenda, disebelah Utara Pura Dasar Gelgel. Dalam perkembangan kerajaan Bali, Pura Taman Bagenda dipergunakan sebagai pasraman tempat pertemuan para wiku kerajaan. Piodalan, Purnamaning Sasih Kapat.
9. Pura Taman Pancaka Tirtha, di desa Kamasan Klungkung, di dibangun oleh Ida Pedanda Telaga Tawang Cucu Dang Hyang Nirartha. Upacara Anggara Sasih Tambir.
10. Pura Seganing, desa Siku, Klungkung. Tempat pasucian Ida Pedanda Sakti Ender (Talaga), putra Dang Hyang Nirartha. Piodalan Anggara Kasih Tambir.
11. Pura Gemblong, tempat pasucian Ida Bhatari Istri Rai kakak dari Ida Pedanda Sakti Telaga. Tempat ini dipergunakan Ida Bhatari Istri Rai menyempurnakan ajaran kerohanian yang diterima dari Dang Hyang Nirartha sebelum beliau balik ke Tanah Jawa, yang kemudian oleh orangorang Jawa disebut Syekh Siti Jenar. Upacara Anggra Kasih Tambir. Pura Grya Giri Taksu Dwijendra/Pura Sakti Mrajan Peling, di Kamasan Klungkung. Dibangunkan oleh Ida Pedanda Sakti Lor, putra Dang Hyang Nirartha.
12. Pura Bhatara Sakti Bawu Rawuh, di Subak Jumpung desa Siku. Pasraman (Gria) Dang Hyang Nirartha di Siku Kamasan. Pura Bhatara Sakti Bawu Rawuh kini sedang diusahakan dibangun oleh Ida Pedanda Ketut Keniten Grya Anyar Jumpung Dawan Kelod, Klungkung dan Ida Pedanda Gde Grya Jumpung Kamasan, Klungkung. Piodalan Purnama Sasih Kalima.
13. Pura Selang (Pura Grya). Pada tulisan ini penulis juga inpormasikan pura peninggalan Dang Hyang Nirartha yang terdapat di ujung Timur pulau Bali, yaitu Pura Selang di desa Seraya, Karangasem. Pura ini adalah tempat Dang Hyang Nirartha mengajarkan berbagai pengetahuan lahir dan batin kepada masyarakat setempat, utamanya memuja Sang Hyang Ibu Pertiwi. Masyarakat setempat sangat meyakini kekeramatan pura Selang desa Sraya ini. Mereka yakin sekali, aura pura dapat menj aga wilayah desa dan segala wabah dan marabahaya. Sekarang pura ini sedang diusahakan untuk dipugar kembali.
14. Pura Ponjok Batu di desa Kubu Juntal Buleleng. Tempat Dang Hyang Nirartha bermeditasi dan berdiri memandangi lautan lepas ketika akan melanjutkan dharmayatra ke Sasak. Dalam teks Dwijendra Tattwa disebutkan, setelah beliau berhasil membantu para juragan perahu asal Sasak beliaupun ikut bertolak ke Sasak.
Masyarakat desa Kubu Juntal yang setiap malam menyaksikan sinar menyala keluar dan dari batu tempat dang Hyang Nirartha berdiri kemudian mendirikan tempat suci yang dikenal dengan nama Pura Ponjok Batu.
15. Di Kabupaten Dompu, NTB. Pura Giri Tambora/Pura Agung Jagat Tambora. Kedatangan Dang Hyang Nirartha di Pegunungan Tambora, Sumbawa mengajar masyarakat petani di sana berbagai keterampilan bercocok tanam, termasuk mengajar tata cara mengatasi hama penyakit tanaman. Dang Hyang Nirartha pernah mendirikan tempat suci di sana untuk membentengi keyakinan masyarakat setempat. Lama tempat suci ini terpendam oleh material letusan Gunung Tambora yang terjadi pada tahun 1818. Kini di pedalaman Pegunungan Tambora yang diperkirakan tepat berada di atas bekas puing-puing pura peninggalan Dang Hyang Nirartha itu telah berdiri tempat suci yang megah, dengan luas puluhan Ha, yang disungsung oleh umat Hindu di Sumbawa. Pemugaran dan pembangunan pura ini mendapat bantuan dari Dirjen Bimmas Hindu Kementerian Republik Indonesia, Pemprop Bali, Kabupaten-Kota di Bali serta pemerintah setempat.
16. Pura Dalem Suniantara di Banjar Batan Nyuh Desa Pamecutan klod Denpasar. Tepatnya alamat pura sekarang adalah di Jalan Imam Bonjol Tegal, di depan Kantor Pemadam Kebakaran.
Upacara wali jatuh setiap enam bulan sekali, yaitu pada hari Redite (Minggu) Kliwon Watugunung. Penyungsung pura adalah warga kota Denpasar. Sedangkan yang mengingatkan aci-aci setiap hari besar keagamaan adalah warga Batan Nyuh. Keberadaan pura berkaitan erat dengan kedatangan Dang Hyang Nirartha di desa Batan Nyuh membantu menghalau banjir bandang yang membahayakan penduduk dan menghancurkan rumah tinggal Batan Nyuh Desa Buagan. Saat beliau menghalau banjir, teteken beliau distanakan pada sebuah tempat yang kemudian oleh masyarakat didirikan Pura Suniantara, untuk mengenang kedatangan Dang Hyang Nirartha di tempat itu. Upacara wali jatuh pada setiap hari Minggu Kliwon Watugunung. Pada hari Minggu Kliwon Watugunung, tanggal 17 April 2011 bertepatan dengan Purnama Jyesta dilakukan upacara Karya Padudusan Agung Pangatep Wreaspati Kalpa. Bangunan utama berupa Padma Tiga stana Sang Hyang Tri Purusa, Siwa, Sadha Siwa, Parama Siwa.
17. Pura Sari di Gria Agung Tegal, bekas puri Arya Tegeh Kori di Tegal Denpasar. Pura di sungsung warga Brahmana Tegal. Upacara wali dilakukan setiap setahun sekali yaitu pada hari Purnama Kasa. Sejarah pura berkaitan dengan kehadiran Dang Hyang Nirartha di Puri Arya Tegeh Kori Tegal atas undangan Arya Tegeh Kori, setelah berhasil menghalau banjir bandang di Buagan
Sepeninggal Dang Hyang Nirartha, Arya Tegeh Kori mendirikan tempat suci di mana Dang Hyang Nirartha berkenan duduk bermeditasi. Belakangan hari, karena suatu peristiwa sejarah, warga puri Tegeh Kori pindah ke desa Tegal Tamu Gianyar tepatnya Puri Tegal Tamu Gianyar. Sepindah Arya Tegeh Kori ke Tegal Tamu, kemudian tempat suci mengenang kedatangan Dang Hyang Nirartha di puri Tegeh Puri Tegal kemudian disungsung oleh warga Brahmana Tegal sampai sekarang.
18. Giriya Pita Maha, Desa Mas Ubud. Bangunan suci ini sedang diusahakan oleh Ida Bagus Ketut Bali Putra bersama-sama warga dunia, menjembatani ide besar Dang Hyang Nirartha (Beliau Yang Kekal Abadi) sebagai Giriya Pita Maha atau kreator agung jagat raya. Di Giriya Pita Maha tersimpan pusaka pustaka suci Mahasaraswati (Pustaka Lontar menjelaskan rahasia langit) yang amat sangat dikeramatkan. Ida Bagus Ketut Bali Putra bersama Ida Pedanda Gde Lila Arsa, Gria Taman Sukawati dan para bakta yang datang dari seluruh penjuru dunia sangat menghormati dan mempercayai pustaka lontar ini adalah Maha Badan Wadag Dang Hyang Nirartha, yang telah dan kelak terlahir dari aksara suci pustaka suci dan kembali menyisakan kawistara kawiajiiananira ring bwana mwang bawana dan “janji besar big bang” maha kreta samayanira, karma tan paphala Aku phalanya. Upacara piodalan Sabtu Kliwoan Watugunung, bertepatan dengan Piodalan Sang Hyang Aji Saraswati.
Arca Sang Hyang Brahma Le Lare Ratuning Wisesa. Putra Brahma yang Agung, terbit dan bertumbuh menyongsong dan mencipta peradaban jagat anyar. Dunia baru dari Timur untuk semesata raya. Kawi-Bali, Pa-Bali, titik balik merancang penciptaan-demi penciptaan mengikuti proses kreativitas bangsa dari perspektif Bali (ilmu-ilmu Bali) surgawi. Mahayu-hayuning bhawana mwang buwana, kerahayuan jagat dengan segala isinya. Menjadi keyakinan, tidak ada yang lebih besar dan kuasa dari-Nya. Hagiografis katakata mukjijat anugerah Dang Hyang Dwijendra kepada putra Beliau di Pasraman Mas, pewaris pusaka Sang Hyang Mareka, Mahasaraswati; Ang Ung Mang mijil Sang Hyang Tri Sakti, Sang Bukbuksah-Sang Gagakaking, patemon Siwa-Buddha Sakti patwa Sang Hyang Brahma Le Lare pinaka Ratuning Wisesa. Mantram wajib ngutpeti karana, menghadirkan dan menghidupkan perwujudan Sang Hyang Brahma Le Lare Ratuning Wisesa.
Arca Sang Hyang Brahma Le Lare Ratuning Wisesa, simbol perwujudan “twah agung” Dang Hyang Dwijendra ini dimuliakan oleh Ida Pedanda Gde Lila Arsa (Griya Taman Sukawati) bersama masyarakat Br. Blah Tanah, Sakah-Gianyar. Perwujudan, panca dattu, dan sukat (skala) dioramanya anugerah dari Giriya Pita Maha, yang diingatkan oleh Griya Gin Kencana, Mas-Gianyar bersama-sama masyarakat Br. Blahtanah, Sakah Mas dan masyarakat luas lainnya.
Piodalan Sang Hyang Brahma Le Lare Ratuning Wisesa, jatuh setiap Anggara Kasih (Selasa Kliwon) Medangsia, enam bulan sekali. Mereka yang menghaturkan bakti tidak saja dari Br, Blahtanah- desa Sakah, tetapi juga masyarakat desa Mas, Batubulan, dan pemakai jalan jurusan Denpasar, Gianyar Klungkung.
Dari ke-55 pura yang penulis catat ini belum memasukkan pura-pura yang berhubungan dengan dharmayatra Dang Hyang Nirartha di Lombok, seperti (56) Pura Kaprusan, (57) Pura Batu Bolong, (58 Batu Layar, (59) Pura Baleku, (60) Pura Sesela (Baru Butir), (61) Pura Muter Jagat, (62) Pura Baleku, dan yang lainnya seperti yang dijelaskan dalam bab pembahasan “Dharmayatra Dang Hyang Nirartha di Pulau Lombok dan Sumbawa”.
Sesungguhnya masih banyak tempat-tempat suci untuk memuliakan dharmayatra Dang Hyang Nirartha yang hanya dipelihara dan diketahui masyarakat setempat ataupun oleh warga tertentu saja. Mereka tekun memelihara bangunan sucinya itu, semata-mata karena mendapatkan tugas menjaga pusaka warisan dari Dang Hyang Nirartha, seperti di desa Mas Ubud Gianyar, di desa Kamasan Klungkung, Pura Karangasem dipinggir pantai sebelah Utara Patung Ngurah Rai di Tuban Denpasar dan di tempat-tempat lainnya. Tidak jarang tempat-tempat yang disucikan ini dijadikan pusat-pusat perguruan olah kebatinan atas nama universalitas spiritual.
PERGURUAN OLAH KEBATINAN ATAS NAMA UNIVERSALITAS SPIRITUAL
Keturunan Danghyang Nirartha :
1. Brahmana Kemenuh.
2. Brahmana Manuaba.
3. Brahmana Kaniten.
4. Brahmana Mas dan.
5. Brahmana Patapan.
PESAN DANG HYANG NIRARTHA
1. Tuwi ada ucaping haji, utama ngwangun tlaga, satus reka saliunnya, kasor ento utamannya, ring sang ngangun yadnya pisan, kasor buin yadnyane satus, baan suputra satunggal (bait 5).
Terjemahan :
Ada sebenarnya ucapan ilmu pengetahuan utama,
Orang yang membangun telaga banyaknya seratus, kalah keutamaannya itu oleh orang yang melakukan korban suci sekali
Korban suci yang seratus ini, kalah oleh anak baik seorang.
2. Bapa mituduhin cening, tingkahe menadi pyanak, eda bani ring kawitan, sang sampun kaucap garwa, telu ne maadan garwa, guru reka, guru prabhu, guru tapak tui timpalnya (bait 6).
Terjemahan :
Ayahnda memberitahumu anakku, tata cara menjadi anak, “jangan durhaka pada leluhur”,
orang yang disebut guru, tiga banyaknya yang disebut guru,
Guru reka
Guru prabhu
Guru tapak (yang mengajar) itu.
3. Melah pelapanin mamunyi, ring ida dane samian, wangsane tong kaletehan, tong ada ngupet manemah, melah alepe majalan, batise twara katanjung, bacin tuara bakat ingsak (bait 8).
Terjemahan :
Lebih baik hati-hati dalam berbicara, kepada semua orang,
Tak akan ternoda keturunannya
Tak ada yang akan mencaci maki
Lebih baik hati-hati dalam berjalan,
Sebab kaki tak akan tersandung,
Tidak akan menginjak kotoran.
4. Uli jani jwa kardinin, ajak dadwa nah gawenang, patut tingkahe buatang, tingkahe mangelah mata, gunannya anggon malihat, mamedasin ane patut, da jua ulah malihat (bait 10).
Terjemahan :
Mulai sekarang lakukan, lakukanlah berdua,
Patut utamakan tingkah laku yang benar,
Seperti menggunakan mata, gunanya untuk melihat,
memperhatikan tingkah laku yang benar,
jangan hanya sekedar melihat.
5. Tingkahe mangelah kuping, tuah anggon maningehang, ningehang raose melah, resepang pejang di manah, da pati dingeh-dingehang, kranannya mangelah cunguh, anggon ngadek twah gunanya (bait 11).
Terjemahan :
Kegunaan punya telinga, sebenarnya untuk mendengar,
mendengar kata-kata yang benar,
camkan dan simpan dalam hati,
jangan semua hal didengarkan.
6. Nanging da pati adekin, mangulah maan madiman, patutang jua agrasayang, apang bisa jwa ningkahang, gunan bibih twah mangucap, de mangucap pati kacuh, ne patut jwa ucapang (bait 12).
Terjemahan :
Jangan segalanya dicium, sok baru dapat mencium, baik-baiklah caranya merasakan, agar bisa melaksanakannya
Kegunaan mulut untuk berbicara, jangan berbicara sembarangan, hal yang benar hendaknya diucapkan.
7. Ngelah lima da ja gudip, apikin jua nyemakang, apang patute bakatang, wyadin batise tindakang, yatnain twah nyalanang, eda jwa mangulah laku, katanjung bena nahanang (bait 13).
Terjemahan :
Memiliki tangan jangan usil, hati-hati menggunakan, agar selalu mendapat kebenaran.
Begitu pula dalam melangkahkan kaki, hati-hatilah melangkahkannya, bila kesandung pasti kita yang menahan (menderita) nya.
8. Awake patut gawenin, apang manggih karahaywan, da maren ngertiang awak, waluya matetanduran, tingkahe ngardinin awak, yen anteng twi manandur, joh pare twara mupuang (bait 14).
Terjemahan :
Kebenaran hendaknya diperbuat, agar menemukan keselamatan,
jangan henti-hentinya berbuat baik, ibaratnya bagai bercocok tanam
tata cara dalam bertingkah laku, kalau rajin menanam
tak mungkin tidak akan berhasil.
9. Tingkah ne melah pilihin, buka anake ka pasar, maidep matetumbasan, masih ya nu mamilihin, twara nyak meli ne rusak, twah ne melah tumbas ipun, patuh ring ma mwatang tingkah (bait 15).
Terjemahan :
Pilihlah perbuatan yang baik,
seperti orang ke pasar,
bermaksud hendak berbelanja, juga masih memilih, tidak mau membeli yang rusak,
pasti yang baik dibelinya, sama halnya dengan memilih tingkah laku.
10. Tingkah ne melah pilihin, da manganggoang tingkah rusak, saluire kaucap rusak, wantah nista ya ajinnya, buine tong kanggoang anak, kija aba tuara laku, keto cening sujatinnya (bait 16).
Terjemahan :
Pilihlah tingkah laku yang baik,
jangan mau memakai tingkah laku yang jahat, betul-betul hina nilainya,
ditambah lagi tiada disukai masyarakat, kemanapun di bawa tak akan laku,
begitulah sebenarnya anakku.
Sumber :
Sejarah Puri Pemecutan, komentar dalam sebuah posting di Forum Diskusi Jaringan Hindu Nusantara (ref2)
Dalam babad Brahmana juga diceritakan, Dang Hyang Nirartha yang dijuluki dengan beberapa nama, pada awalnya Beliau tinggal di asrama bersama ayahnya di Wilwatikta.
Dan mendekati detik-detik akhir untuk parama moksha, sebagaimana yang disebutkan dalam kutipan artikel smb balinese, sad kahyangan, Danghyang Dwijendra (nirarta) menyucikan diri dan mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah pura yang disebut Pura Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu.
Setelah menyucikan diri, beliau melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya Pulau Bali. Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing.
Apabila diperhatikan dari bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100 meter dari permukaan laut. Dengan demikian disebut Uluwatu. Ulu artinya kepala dan watu berarti batu.
Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau memanggil juragan perahu yang pernah membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali.
Juragan perahu itu bernama Ki Pacek Nambangan Perahu. Sang Pandita minta tolong agar juragan perahu membawa pakaian dan tongkatnya kepada istri beliau yang keempat di Pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat kayu.
Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju Pasraman Danghyang Dwijendra di Mas, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar di sebelah timur onggokan batu-batu bekas candi peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari.
Di atas batu itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika, laksana keris lepas saking urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia parama moksha.
Demikianlah, sejak Danghyang Dwijendra yang disebut juga Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh parama moksha atau disebut Ngaluhur Uluwatu, pura ini disebut Luhur Uluwatu.