LEGENDA DEWI SEKARTAJI
Dikala masa Kerajaan Jenggala, Kediri saat di perintah oleh Prabu Lembu Amiluhur tersebutlah Raden Panji Inu Kertapati. Ia adalah pangeran yang cukup dikenal dengan baik oleh banyak masyarakat kala itu karena kebaikan luhur budi nya, tanpan dan sakti mandraguna.
Raden Panji memiliki istri yang amat sangat dan teramat sangat cantik dan halus bahasanya beliau adalah Dewi Sekartaji atau Dewi Candra Kirana atau Putri Kediri. Pujangga kerajaan pernah meramalkan tentang kerajaan kerajaan nusantara, bahwasanya kerajaan nusantara akan lahir raja raja besar dari pasangan Raden Panji dan Dewi Sekartaji .
Akan tetapi ini bukan hal mudah, pasalnya untuk dapat menjadikan kenyataan ramalan tersebut Raden Panji dan Dewi Sekartaji harus melewati hal hal sulit dengan mendekatkan lebih dekat kepada sang penciptanya dengan memperbanyak itikaf .
KISAH MENGHARUKAN RADEN PANJI DAN DEWI SEKARTAJI
Dewi Sekartaji bersama Raden Panji Putera dari Kerajaan Jenggala adalah pasangan serasi. Suatu ketika sang Dewi Sekartaji mengandung dan di tengah kandungannya itu sang Dewi mempunyai keinginan sebagaimana umumnya tanda tanda wanita mengandung.
Apa yang kamu inginkan saat ini wahai istriku ?
Tanya sang suami.
Aku menginginkan makan daging menjangan putih, pinda Dewi Sekartaji. Permintaan itu terdorong selera yang sangat menggoda pada saat mengidam. Betapapun menjangan putih itu sangat sulit di temukan, namun Raden Panji tetap menyanggupinya.
HUTAN LARANGAN DAN MISTIK
Pada suatu hari Raden Panji disertai isterinya berburu ke hutan. Mereka tiba di hutan Larangan. Hutan Larangan kala itu dikenal sebagai hutan terlarang karena angker dan mistiknya. Memasuki hutan sebagaimana mestinya sunyi senyap tanpa ada orang selain mereka Dewi Sekartaji dan Raden Panji .
Mereka Dewi Sekartaji dan Raden Panji berburu dari pagi hingga petang tidak mendapati menjangan putih yang di idam-idamkan. Malam mulai menyelimuti hutan Larangan. Sebaiknya kita beristirahat disini, ujar Dewi Sekartaji kepada Raden Panji. Mereka Dewi Sekartaji dan Raden Panji segera mendirikan kemah. Sebelum tidur pasangan ini bermesrahan layaknya pengantin yang sedang berbulan madu.
Nampaknya di tengah kemesrahannya itu mereka sedang di awasi oleh dedemit hutan Larangan. Tersebutlah Kalakunti, Dia harus menjadi suamiku ucap Kalakunti yang geram saat melihat sepasang sejoli itu bermesrahan. Kalakunti adalah kuntilanak ganas yang mendiami hutan Larangan itu. Kalakunti menginginkan Raden Panji untuk menjadi suaminya.
Untuk mewujudkan tujuan itu Kalakunti mencari cara untuk dapat menggoda dan menjerumuskan keduanya di dalam kebingungan yang nyata. Saat matahari telah terbit terdapat babi hutan yang menjelma menjadi menjangan putih sedang mengendap ngendap di sekeliling Kemah dari Raden Panji dan Dewi Sekartaji. Tidak ingin membangunkan Sang Istri yang sedang tertidur dengan lelap.
Dengan segera Raden Panji memburunya sampai akhirnya berpisah jauh dengan istrinya. Dalam hati Raden Panji , Aku harus sesegera mungkin mendapatkan menjangan putih ini . Tetapi Raden panji gelisah karena semakin jauh dengan sang istri sedang menjangan putih berlari menjauhi perkemahannya. Kalakunti tertawa kegirangan karena daya dan upayanya berhasil.
Tiba tiba Istrinya berada di belakang Raden Panji. Suami yang melihat istrinya datang dengan senang hati berkata , " syukurlah kamu dapat mengikutiku hingga kesini ". Padahal itu adalah kalakunti yang sedang menjelma menjadi Dewi Sekartaji Palsu. Ayo kejar terus menjangan putih itu kanda," pinta sang Dewi Sekartaji palsu,". Raden Panji akhirnya dapat memburu menjangan putih itu dan membidiknya dengan tepat. Dengan hati yang berbunga bunga Raden Panji memberikan daging menjangan putih itu kepada Dewi Sekartaji palsu.
Dengan lahap Dewi Sekartaji palsu melahapnya daging panggang menjangan putih itu. Setelah itu mereka kembali ke Istana bersama Dewi Sekartaji Palsu. Sedang Dewi Sekartaji Asli terperangkap di hutan bersama dedemit Hutan Larangan ," Kalawarok ". Hingga dalam waktu yang lama Kalakunti (Dewi Sekartaji Palsu) mengutarakan kepada suaminya bahwa kandungannya sudah semakin besar.
Dewi Sekartaji palsu sudah saatnya melahirkan. Betapa gembiranya Raden Panji menyambut kelahiran anaknya itu. Namun ketika bayi itu lahir, istana kerajaan gempar. Sebab bayi laki- laki yang dilahirkan berbentuk aneh. Badannya besar bagaikan bayi raksasa.
Kulitnya hitam legam. Giginya tumbuh bagai gergaji. Pada kedua sudut bibirnya menonjol taring yang runcing. “ Kuberi nama Pangeran Muda,” tutur Raden Panji menamai puteranya. Semakin bertambah umur, Pangeran Muda semakin mengerian. Tabiatnya pun sangat keras. Ia sering mengamuk.
Raden Panji sangat malu melihat puteranya bertabiat buruk. Ia bermaksud mengurung puteranya itu di salah satu ruang. “ Anak kita jangan dikekang apalagi dkurung. Berilah kebebasan sepuas-puasnya,” kata Sekartaji palsu menahan keinginan suaminya. Raden Panji tidak bisa membantah. Ia menuruti kemauan istrinya.
Pada suatu hari ia mendatangi sebuah pasar desa. “ Hem, daging mentah ini sangat lezat. Baik akan kusantap semua,”kata Pangeran Muda. Para pemilik daging itu berusaha menghalang-halangi Pangeran Muda mengambil daging mentah yang akan dimakan. Melihat keadaan itu Pangeran Muda mengamuk. Ia merusak apa saja yang ditemuinya. Orang- orang berlarian menghindari serangan Pangeran Muda. Pangeran Muda mengejar orang- orang itu sampai ke dusun- dusun, tertangkap langsung dipukul dan disiksa.
Banyak yang menemui ajal. Di tengah- tengah keberingasan Pangeran Muda itu, tiba- tiba tampak sekelebat bayangan seorang pemuda melompat tepat berada dihadapan Pangeran Muda. “ Raksasa biadab ! Sungguh kejam kau! Kedatanganku ingin menghabisi nyawamu !” tantang seorang pemuda.
“Berani benar kau! Awas kusantap hidup- hidup!” ancam Pangeran Muda berwajah garang. Seketika itu pula terjadilah pertarungan seru. Pangeran Muda berkali- kali kena pukulan dari pemuda itu. Dalam keadaan terdesak, Pangeran Muda melarikan diri dan melapor kepada ayahnya., Raden Panji dan istrinya mendapat laporan Pangeran Muda perihal kekalahan melawan seorang pemuda dusun.
Mereka segera berangkat menuju di mana seorang pemuda itu berada.
“Oh, rupanya raksasa jahat itu putera Tuan,” kata seorang,” kata pemuda itu sambil menyembah. “ Maafkan hamba, karena hamba telah menyakiti putera Tuan,” tambahnya. “Siapa namamu ? “tanya Raden Panji.
“Nama hamba Jaka Putera. Ibu hamba bernama Dewi Sekartaji,” jawab pemuda itu. Ibu hamba mengatakan bahwa ayah hamba bernama Raden Panji putera Raja Janggala,” lanjutnya. Betapa terkejutnya hati Raden Panji mendengar pengakuan Jaka Putera.
Dewi Sekartaji palsu tampak gelisah dan segera mendesak suaminya agar segera menangkap Jaka Putera untuk dijebloskan ke dalam penjara. Namun, Raden Panji tidak mengikuti kemauan Dewi Sekartaji palsu itu.
Dewi Sekartaji palsu langsung menyerang Jaka Putera. Jaka Putera langsung melemparkan pukulan maut tepat mengenai dada Dewi Sekartaji palsu. Seketika itu juga tubuh Dewi Sekartaji palsu terbakar, bentuk dan rupa dirinya berubah menjadi Kalakunti, lantas badannya kejang dan segera menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Pangeran Muda melihat ibunya tewas, langsung melompat hendak mencengkram kepala Jaka Putera. Namun Pangeran Muda terkena tendangan maut Jaka Putera, seketika itu juga tubuh Pangeran Muda gosong, ia tewas mengenaskan. Setelah Jaka Putera berhasil mengalahkan kedua makhluk itu, ia langsung menyembah Raden Panji.
“ Maafkan, Ayah. Ayahanda telah menjadi korban iblis betina yang bernama Ni Kalakunti yang telah menjelma menjadi ibunda,” ungkap Jaka Putera. Raden Panji mengakui Jaka Putera sebagai anak kandungnya. Ia pun ingin bertemu dengan ibu kandung Jaka Putera.
Pertemuan Raden Panji dengan Dewi Sekartaji sangat mengharukan. Mereka melepas rindu sambil meneteskan air mata dengan tak henti- hentinya. Dewi Sekartaji menjelaskan apa yang telah dialami di hutan. Demikian pula Raden Panji mengungkapkan pengalamnnya selama berpisah dengan istri yang dicintainya. Mereka bangga karena telah mempunyai anak yang membela kebenaran.
“ Dinda, kita harus segera kembali ke istana,” ajak Raden Panji kepada istrinya. Mereka bertiga tiba di istana dan disambut penuh dengan sukacita oleh kedua orang tuanya. Akhirnya Raden Panji dan Dewi Sekartaji dapat membangun keluarga bahagia dan sejahtera.
PANJI ASMARA BANGUN , DÈWI ANGGRAÈNI LAN DÈWI SÊKARTAJI
Sanadyan Dèwi Kilisuci (Sanggramawijaya Tunggadèwi) miyos såkå garwå padmi , nanging piyambaké ora kêrså nampani wêwênang waris jumênêng nåtå , malah milih mungkuraké kadonyan , mêrtåpå ing Guwå Sèlomanglèng , Gunung Klotok sisih kulon kuthå Kadiri.
Pêpancasané Dèwi Kilisuci agawé råså prihatin lan sumêlangé Prabu Airlangga , yèn ing têmbé bisa dadèkaké papérangan rêbutan panguwåså antaraning putra-putrané.
Prabu Airlangga banjur nêtêpaké yèn nagari Kahuripan kapèrang (dipalih) dadi loro.
Mpu Bharada ingkang pinitåyå ngayahi jêjibahan. Kanthi mahawan gêgånå manitih imå , Mpu Bharada ngucuraké tirtå suci kang ora ånå êntèké såkå kêndhi , minångkå watês antaraning nagari siji lan sijini. Sinartan tansah mamuji Jawåtå ugå paring sabdå , supåyå ing têmbé nåtå panguwåså nagari kêkalih , tansah ngutamakaké karukunan lan katêntrêmaning bawånå. Amargå , såpå waé kang ngêrsaaké lan ngrêbut åpå kang dudu wêwênangé , bakal antuk siku dêndhaning Jawåtå.
Kahuripan wus kapèrang dadi loro. Nagari Jênggala kuthå-nagariné ing Kahuripan , nguwasani tlatah Malang , Surabaya , Pasuruan , ingkang jumênêng nåtå Råjå Jayantaka Tunggadèwa (Prabu Lêmbu Amiluhur).
Wondéné nagari Kadiri (Panjalu) kuthå-nagariné ing Daha , nguwasani tlatah Kediri , Madiun , Ngawi , ingkang jumênêng nåtå Råjå Jayawarsya Tunggadèwa (Prabu Lêmbu Amijaya).
Saturut lumakuning wêktu , nåtå råjå kêkalih duwé kêkarêpan nyawijiaké manèh nagari Jênggala lan Kadiri , kanthi sarånå jodhohaké Radèn Panji Inu Kêrtapati (Panji Asmara Bangun) , Pangèran Adipati Anom nagari Jênggala karo Dèwi Sêkartaji (Galuh Candra Kirana) putri nagari Kadiri.
Nanging tanpå kawêruhan dèning sang nåtå ugi ingkang ibu , Radèn Panji Asmara Bangun wis anggarwå Dèwi Anggraèni , wanudyå èndah sulistyå ing warni nanging dudu trah kraton utåwå bangsawan (trah luhur).
"Ujaring mbok sambiwårå , pawartå kang ginåwå pawånå binandhunging karnå" , kêprungu dèning Prabu Lêmbu Amijaya , kang banjur ngutus dutå-nawålå sing isiné nakokaké bênêr lan orané pawårtå kang sumêbar ngênani Radèn Panji Asmara Bangun. Åpå Prabu Lêmbu Amiluhur arêp murungaké jêjodhohan sing wis sinarujukan sêsarêngan.
Prabu Lêmbu Amiluhur kang dahat kagèt maos surasané nawålå , banjur mundhut paniti prikså marang mantri pråjå kang pinitåyå.
Dutå såkå nagari Kadiri banjur kinèn bali kanthi nggåwå nawålå kang isiné Prabu Lêmbu Amiluhur ngaturaké kaluputan , amargå dadi wong tuwå kurang ing panggulawêntahing marang putrå.
"Sarèmaå pinårå såsrå" ora ånå sêdyå murungaké jêjodhohan antaraning Dèwi Sêkartaji lan Radèn Panji Asmara Bangun.
Prabu Lêmbu Amiluhur ugå ngaturi yèn bakal ngrampungi rêribet kang digawé putrané.
Prabu Lêmbu Amiluhur banjur paring dhawuh marang Udapati Kêrtala , putrané såkå garwå ampil , kinèn nyirnaaké Dèwi Anggraèni.
Udapati Kêrtala rumångså abot nglêksanani parèntahing sang Prabu , amargå kajåbå trêsnå marang adhiné , uga mèlu bungah bagyå (bahagia) ndulu karukunané sang adhi Radèn Panji Asmara Bangun karo Dèwi Anggraèni.
Sawisé pinangih karo sang adhi lan Dèwi Anggraèni , Udapati Kêrtala banjur ngêndikå , mênåwå ingkang råmå Prabu nandhang gêrah , Radèn Panji Asmara Bangun kinèn sowan dhatêng wiku Dèwi Kilisuci , nyuwun usådå "Tlutuhing kayu kastubå , roning sandilåtå".
Sawisé Radèn Panji Asmara Bangun bidhal , Dèwi Anggraèni masrahaké patiné marang ingkang råkå. Sang Dèwi wus "tanggap ing sasmita , limpat pasang ing grahitå" , mênåwå têgêsé "tlutuhing kayu kastubå" kuwi gêtihé sang Dèwi , sêmono ugå "ron sandilåtå" kuwi têgêsé ragané sang Dèwi.
Prabu Lêmbu Amiluhur ngêrsaaké patiné Dèwi Anggraèni amargå dianggêp dadi pêpalang jêjodhohané Raden Panji Asmara Bangun karo Dèwi Sêkartaji.
Ing kadhaton Kadiri , Dèwi Sêkartaji nandhang sungkåwå nalikå krungu pawartå yèn Radèn Panji Asmara Bangun wis anggarwå Dèwi Anggraèni.
Kanthi didhèrèkaké êmban kinasih , Dèwi Sêkartaji oncat såkå kadhaton tanpå kawruhan ingkang råmå prabu.
Radèn Panji Asmårå Bangun ugå nandhang sungkåwå nalikå ngêrti ingkang garwå Dèwi Anggraèni sampun pêjah , åpå manèh kêprungu pawartå yèn tunangané Dèwi Sêkartaji mèndrå såkå kadhaton datan kawruhan tindaknyå.
Radèn Panji Asmara Bangun banjur lungå såkå kadhaton kanthi didhèrèkaké sawatårå prajurit , ngulandårå ngupadi Dèwi Sêkartaji.
Cêkaké caritå gancanging lampah , Radèn Panji Asmara Bangun biså kêpanggih karo Dèwi Sekartaji.
Nåtå sumawånå pårå kawulå nagari kêkalih samyå sukå marwåtå sutå.
Tancêp kayon.
Miturut sujarah :
Prabu Airlangga mèrang pråjå Kahuripan dadi loro ing warså 1042.
Wêwêngkon sisih kulon dadi kraton Panjalu kanthi kuthå-nagari yasan ènggal sinêbut Daha , kaparingakên marang ingkang putrå Sri Samarawijaya.
Wondéné ingkang putrå Mapanji Garasakan pinaringan wêwêngkon sisih wètan dadi kraton Janggala (Jênggala) kanthi kuthå-nagari lawas , yå iku Kahuripan.
Cathêtan :
▪ Ã…nÃ¥ sêratan sing mratèlaaké yèn sing mêjahi Dèwi Anggraèni winastanan Panji Braja Nata.
▪ Pêsaréané Dèwi Anggraèni ana ing Dusun Blambangan , Kecamatan Berbah , Sleman.
▪ Ã…nÃ¥ lampahan Ringgit Gêdhog sing nyaritaaké yèn prÃ¥jÃ¥ Kahuripan ugÃ¥ sinêbut Jênggala kuwi dipèrang dadi papat.
1. Nagari Jênggala , ratuné Prabu Lêmbu Amiluhur.
2. Nagari Kêdhiri (Mamênang) , ratuné Prabu Lêmbu Amijaya.
3. Nagari Ngurawan , ratuné Prabu Lêmbu Amisèna.
4. Nagari Singasari , ratuné Prabu Jayantaka.
Cathêtan lan sorogan têmbung :
▪ CaritÃ¥ kuwi sadurungé Mataram Islam , dadi bab asmÃ¥ lan nami prÃ¥jÃ¥ , mêsthiné ora kawÃ¥cÃ¥ , kaucapaké mawi paugêran "a" = "ó"
- Prabu Airlangga , ora diucapaké : Airlónggó.
- Mpu Bharada , ora diucapaké : Mpu Bharódó.
- Jênggala , ora diucapaké : Jênggóló.
▪ ÈwÃ¥sêmono , kasumanggaakên dhumatêng pÃ¥rÃ¥ kadang ingkang nupiksÃ¥ anggènipun maos , ngucapakên.
▪ garwÃ¥ padmi = garwané ratu kang utÃ¥mÃ¥ (bhs. Ind. : permaisuri).
▪Pangèran Adipati Anom : putrané ratu kang bakal gumanti nÃ¥tÃ¥. (bhs. Ind. : putra mahkota).
▪pêpancasan : katêtêpan , putusan.
▪ujaring mbok sambiwÃ¥rÃ¥ , pawartÃ¥ kang ginÃ¥wÃ¥ pawÃ¥nÃ¥ binandhunging karnÃ¥ : kabar yg disampaikan oleh ibu-ibu pedagang (saudagar) , bêrita yg terbawa angin bergema tersebar dan terdengar telinga.
▪ dutÃ¥-nawÃ¥lÃ¥ : utusan pembawa surat.
▪ sarèmÃ¥ pinÃ¥rÃ¥ sÃ¥srÃ¥ : rambut siji dipèrang sèwu. sithik bangêt , alus bangêt.
▪ tanggap ing sasmitÃ¥ : bisÃ¥ mangêrtèni surasané pratÃ¥ndhÃ¥.
▪ limpat pasang ing grahitÃ¥ : mumpuni babagan pangêrtèn , panyananing batin.
▪ sukÃ¥ marwÃ¥tÃ¥ sutÃ¥ : bungah bangêt.
▪ marwÃ¥tÃ¥ sutÃ¥ : (Kw) kÃ¥yÃ¥ gunung anakan. parwÃ¥tÃ¥ : gunung. sutÃ¥ : anak , putrÃ¥.
KISAH ASAL USUL DEWI SEKARTAJI (GALUH CANDRAKIRANA) PUTRI KEDIRI
Dewi Sekartaji dilahirkan di Kerajaan Panjalu dengan ibu kotanya di Dhaha.
Beliau ini adalah seorang Putri Raja Kediri (dulu bernama Kerajaan Dhaha) yang bernama Prabu Lembu Amiluhur.
Dewi Sekartaji ini bernama asli Putri Galuh Candra Kirana.
Indahnya nama putri yang satu ini. Tapak tilasnya masih ada loh di Kota Kediri, yang terkenal adalah Taman Sekartaji, dimana yang dulunya biasa dibuat taman bermain puteri Kediri.
Dewi Sekartaji ini memiliki wajah yang cantik jelita, tiada tanding di jamannya.
Hanya seorang pria saja yang sangat dicintainya kala itu.
Kesatria tampan rupawan tersebut adalah Raden Panji Asmara Bangun atau yang lebih dikenal dengan Andhe-Andhe Lumut.
Beliau adalah putra dari Raja Jenggala.
Walaupun pertempuran dengan Prabu Klanasewandana dengan pasukan Hindu sudah berakhir dan telah dimenangkan oleh Kediri. Namun Sang Prabu masih merasa sedih dan cemas. Beliau berpikir bahwa selama Dewi Sekartaji belum bersuami pertempuran besar pasti akan terulang lagi.
Hal itupun dirasakan oleh Sang Resi Dewi Kilisuci. Maka beliau kemudian menemui Sang Raja Jenggala, menyampaikan permasalahan yang dihadapi adindanya Sang Raja Kediri. Sang Resi menyarankan bahwa untuk menghindari permasalahan timbulnya peperangan lagi, maka Prabu Lembu Hamilihur harus memaksa Raden Panji untuk dinikahkan dengan tunangannya yang lama yaitu Dewi Sekartaji.
KISAH ASAL USUL DEWI KILISUCI DENGAN LEMBU SURO PENGUASA GUNUNG KELUD
Namun Prabu Lembu Hamiluhur tidak sanggup merasa Raden Panji sudah bukan miliknya sebab sudah diambil menantu oleh adindanya Raja Ngurawan. Di samping itu juga takut kalau sampai mengkhianatinya lagi seperti dahulu.
Prabu Lembu Hamiluhur menyerahkan sepenuhnya kepada Sang Resi dalam hal membicarakannya, baik dengan yang bersangkutan yaitu Raden Panji, maupun dengan mertuanya. Oleh karena itu lalu sang Resi segera pergi ke Ngurawan untuk membicarakan hal tersebut.
Sesampainya di Ngurawan, ditemuinya Raja Ngurawan, sekalian dengan Raden Panji Kudarawisrengga beserta istrinya. Sang Resi segera menyampaikan maksud kedatangannya, seperti yang telah dibicarakannya dengan Raja Jenggala. Sang Raja Ngurawan menyerahkan permasalahan tersebut kepada sang menantu.
Raden Panji pun bersedia asalkan istrinya mengizinkan, serta bersedia dimadu. Ternyata sang istri yaitu Dewi Surengrana mengizinkan. Oleh karena semua sudah bersedia dan sudah tidak ada permasalahan lagi, maka sang Prabu Ngurawan segera membuat surat untuk Raja Kediri yang isinya meminta Dewi Sekartaji untuk diambil menantu, dijodohkan dengan tunangan lamanya yaitu Raden Panji Kudarawisrengga.
Setelah Surat selesai dibuat segera memanggil dua orang menteri yaitu Cungcung dan Calbung untuk menghaturkan surat tersebut kepada kakandanya Sang Raja Kediri. Begitu menerima dan membaca surat lamaran dari Ngurawan, Sang Prabu Kediri lalu minta persetujuan kepada putranya, Raden Gunungsari.
Pada mulanya Raden Gunungsari tidak setuju sebab Raden Panji Kudarawisrengga sudah diambil menantu sendiri oleh sang Paman Raja Ngurawan, dijodohkan dengan putri sulungnya yang bernama Dewi Surengrana.
Dengan begitu berarti kakandanya, yaitu Dewi Sekartaji akan dimadu dengan saudaranya sendiri. Oleh karena itu Raden Gunungsari merasa berkeberatan, sebab kasihan pada kakaknya. Akan tetapi Sang Prabu mempunyai pandangan lain menurut beliau memang sudah menjadi kehendak Dewa, bahwa Dewi Sekartaji itu memang sudah ditentukan menjadi jodoh bagi Raden Panji Kudarawisrengga.
Oleh karena itu, apapun yang terjadi, walaupun harus dimadu dengan seratus putri, hanya Sekartaji yang akan mampu melahirkan putra mahkota. Dengan alasan tersebut Sang Prabu Kediri akan mengabulkan permintaan adindanya Sang Prabu Ngurawan untuk memberikan Dewi Sekartaji menjadi istri Raden Panji.
Sang Prabu kemudian memerintahkan kepada putranda Raden Gunungsari untuk membuat surat balasan, serta Raden Gunungsari pula yang diutus menyerahkannya ke Ngurawan.
Raden Gunungsari pun sanggup dengan syarat Dewi Honengan (putri bungsu Jenggala) akan dimintanya menjadi istri. Hal itupun telah disanggupi oleh ayahandanya.
Raden Gunungsari berangkat ke Ngurawan dengan diiringkan oleh lima orang abdinya yang sangat setia, yaitu :
1. Ki Tisnapati
2. Wiranala
3. Singabureng
4. Tirtayuda
5. Secareka
Sesampainya di Ngurawan, sang paman sangatlah senang menerima balasan surat dari Kediri, terutama atas terkabulnya permintaannya. Oleh karena itu Raden Gunungsari ditahan untuk beberapa hari tinggal di Ngurawan, tidak boleh segera kembali ke Kediri, melainkan nanti bersama-sama dengan pengiringan pengantin laki-laki.
Untuk sementara Raden Gunungsari beserta kelima abdinya diminta beristrirahat di kepatihan. Sedangkan Sang Prabu Ngurawan mengirimkan utusan ke Kediri lagi untuk meminta perintah kapan pengantin laki-laki harus diiringkan ke Kediri.
Selama di Ngurawan, setiap sore Raden Gunungsari diajak berpesta bersama seluruh keluarga Ngurawan sambil menikmati indahnya tari-tarian. Adapun yang menari adalah para putri Ngurawan yang dipimpin oleh Dewi Kumudaningrat. Raden Gunungsari sangat terpesona pada kemolekan Dewi Kumudaningrat, sehingga segala geraknya senantiasa tidak lepas dari perhatiannya.
Namun Dewi Kumudaningrat tampak tidak menaruh perhatian kepada Raden Gunungsari, melainkan perhatiannya sepenuhnya tercurah kepada Raden Panji Sastramiruda. Maka Raden Gunungsari merasa bertepuk sebelah tangan.
Pada suatu malam hasrat Raden Gunungsari pada Dewi Kumudaningrat sudah tidak dapat dibendung lagi. Sehingga dengan diam-diam dia keluar dari kepatihan ingin menemui Dewi Kumudaningrat di taman Keputrian. Namun malang baginya. Begitu Raden Gunungsari masuk ke kamar tidur Dewi Kumudaningrat, ternyata Raden Panji Sastramiruda sudah berada disana sedang bercumbu dengan sang putri.
Sehingga mereka berdua lalu berkelahi, dan Raden Gunungsari terkena senjata terluka di paha. Raden Gunungsari lalu melarikan diri kembali ke kepatihan. Di sana beliau berjumpa dengan kelima abdinya yang terheran-heran.
Kemudian Raden Gunungsari menceritakan apa telah terjadi. Atas nasehat para abdinya, Raden Gunungsari lalu melarikan diri dari Ngurawan, sebab takut ketahuan oleh pamannya Sang Raja. Setelah tiga hari tiga malam mereka berjalan, sampailah di sebuah hutan belantara.
Di sana mereka sangatlah kelaparan. Tiba-tiba mereka melihat sebuah gubuk yang berada di tepi hutan. Maka singgahlah mereka di gubug tersebut.
Namun oleh karena hari tengah malam, maka yang empunya rumah sudah tidur. Kemudian dibangunkan oleh para abdi, dan diberi tahu bahwa yang datang tersebut adalah Raden Gunungsari, putra raja Kediri. Sang empunya rumah segera bangun dan tergopoh-gopoh menghaturkan sembah. Raden Gunungsari berterus terang bahwa beliau beserta kelima abdinya sangat kelaparan. Maka yang empunya rumah yang bernama Pak Sogol segera menanak nasi untuk menjamu para tamunya. Setelah masak, nasi segera disuguhkan, hanya dengan sebutir telur asin (kamal) serta sambal tanpa terasi.
Mula-mula jamuan disuguhkan kepada Raden Gunungsari. Beliau hanya makan sedikit. Selebihnya diberikan pada kelima abdinya, dan mereka makan dengan lahapnya, sehingga kesemuanya habis seketika. Sesudahnya Raden Gunungsari berniat akan segera melanjutkan perjalanan kembali ke Kediri.
Sebelum berangkat beliau berkata pada Pak Sogol, bahwa tempat tersebut akan dinamakan Desa Kamal, dan Pak Sogol sendiri diganti nama menjadi Ki Sugata. Hal tersebut sebagai tanda peringatan bahwa beliau telah dijamu (disugata= Jawa) dengan lauk telur asin (telur kamal). Beliau berjanji bahwa nanti setelah beliau kembali ke istana, Raden Gunungsari akan membalas kebaikan Pak Sogol tersebut.
Sesudah berkata demikian, Raden Gunungsari lalu mengajak kelima abdinya untuk melanjutkan perjalanan. Kemudian Singabureng mengingatkan bahwa Raden Gunungsari terluka karena tindakan yang memalukan.
Sehingga kalau ayahandanya mengetahui pasti akan marah, apalagi jika nanti disusul dengan surat dari Ngurawan, yang menyatakan bahwa tuanku di Ngurawan berbuat yang tidak baik. Pasti ayahanda Raja akan menjadi semakin marah, karena merasa dipermalukan. Oleh karena itu maka Raden Gunungsari lalu bertanya kepada Singabureng mengenai bagaimana yang sebaiknya dilakukan.
Singabureng berkata, bahwa daripada kembali ke Kediri, lebih baik bersembunyi dahulu di Gunung Wilis, sekalian mencari obat sambil mencari berita mengenai kepergian tuan, bagaimana sikap ayahanda tuanku Raja Ngurawan maupun Kediri.
Hal itupun disetujui Raden Gunungsari, sehingga mereka lalu meneruskan perjalanan menuju Gunung Wilis.
Sesampainya di Gunung Wilis mereka berjumpa dengan sang pendeta yang bernama Wasi Curiganata.
Raden Gunungsari bercerita dengan terus terang mengenai apa yang telah terjadi, maka kepada sang Resi, disamping mencari obat, juga ingin minta perlindungan.
Begitu mendengar cerita dari Raden Gunungsari sang resi segera memeluknya sambi! berkata: “Aduhai adikku, ketahuilah bahwa saya ini adalah kakakmu sendiri. Saya adalah Raden Nilaprabangsa putra Jenggala yang tertua”. Raden Nilaprabangsa lalu mengisahkan awal mulanya sehingga beliau menyamar sebagai pendeta di Gunung Wilis tersebut, yaitu bahwa mula-mula dipanggil oleh uwanda resi lalu disuruh menyingkirkan istri Raden Panji Kudarawisrengga yang pertama yang bernama Dewi Hangreni.
Setelah berhasil membunuh Dewi Hangreni dia disarankan untuk bersembunyi di Gunung Wilis dengan menyamar sebagai seorang pendeta dengan nama Wasi Curiganata, sehingga dapat berjumpa dengan raden Gunungsari di tempat tersebut.
Raden Nilaprabangsa menyarankan, bahwa untuk sementara waktu Raden Gunungsari tinggal di Gunung Wilis dahulu menunggu sembuhnya luka. Sedangkan kembalinya ke Kediri besok bersama-sama dengan iring-iringan pengantin dari Ngurawan. Raden Gunungsari tidak membantah, sehingga selama beberapa hari tinggal di tempat tersebut bersama dengan kelima orang abdinya.
Hari yang telah ditentukan untuk pengiringan pengantin pun telah tiba. Namun Sang Prabu Jenggala yaitu ayahanda sang pengantin laki-laki tidak berkenan hadir, melainkan hanya memberi doa restu. Oleh beliau, Raden Panji Kudarawisrengga diberi sebutan Raden Panji Klana Jayakusuma, juga disebut Raden Panji Hasmarabangun.
Maksudnya Raden Panji telah dapat mengalahkan Prabu Klana, kemudian membangun parkawinan dengan tunangan lama.
Setelah Raden Panji Kudarawisrengga dipertemukan dengan Dewi Sekartaji, untuk sementara waktu Sang Maharesi Rara Dewi Kilisuci tetap tinggal di Kediri, bertempat tinggal di padepokan Gua Selamangleng, yaitu di Desa Kandairen. Begitu juga Dewi Surengrana dan raden Panji Sastramiruda juga ikut tinggal di Kediri serta Raden Gunungsari jadi memperistri Dewi Honengan.
Raden Gunungsari kemudian memberi hadiah kepada kelima orang abdinya yang telah dengan setia mendampinginya, masing-masing sebuah desa. Yaitu Desa Tisnapaten untuk Ki Tisnapati Desa Wiranalan untuk Ki Wiranala, Desa Burengan untuk Ki Singabureng, Desa Tirtayudan untuk Ki Tirtayuda, serta Desa Secarekan untuk Ki Secareka.
Tidak lama kemudian Raden Panji Kudarawisrengga dipanggil kembali ke Jenggala untuk diangkat menjadi raja menggantikan ayahandanya.
KISAH CINTA DEWI SEKARTAJI DAN PANJI ASMOROBANGUN DALAM TARI KETHEK OGLENG
Awalnya, tari ini ditarikan oleh masyarakat Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan, Pacitan. Dengan menceritakan kisah Raden Asmorobangun dan Dewi Sekartaji yang keduanya saling mencintai dan bercita-cita ingin membangun kehidupan harmonis dalam sebuah keluarga.
Kethek Ogleng adalah sebuah tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera)
Tari ini menceritakan kisah Raden Asmorobangun dan Dewi Sekartaji yang saling mencintai dan bercita-cita ingin membangun kehidupan sebuah keluarga yang harmonis
Tari Kethek Ogleng dipentaskan oleh 3 penari wanita dan seorang penari laki-laki sebagai manusia kera
Tarian ini diakhiri dengan gerakan Endang Rara Tompe yang menaiki manusia kera dan berakhir dengan persatuan keduanya.
Kisah Cinta Dewi Sekartaji dan Panji Asmorobangun dalam Tari Kethek Ogleng
Kethek Ogleng adalah sebuah tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera).Tari Kethek Ogleng dipentaskan oleh 3 penari wanita dan seorang penari laki-laki sebagai manusia kera.
Kethek Ogleng adalah sebuah tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek (kera).Tari Kethek Ogleng dipentaskan oleh 3 penari wanita dan seorang penari laki-laki sebagai manusia kera. Tari diawali dengan ketiga penari wanita masuk panggung terlebih dulu, kemudian 2 penari berlaku sebagai dayang-dayang dan seorang penari memerankan sebagai putri Dewi Sekartaji, Putri Kerjaan Jenggala, Sidoarjo. Sedangkan seorang penari laki-laki berperan sebagai Raden Panji Asmorobangun dari kerajaan Dhaha Kediri.
Namun, Raja Jenggala, ayahanda Dewi Sekartaji, mempunyai keinginan untuk menikahkan Dewi Sekartaji dengan pria pilihannya. Ketika Dewi Sekartaji tahu akan dinikahkan dengan laki-laki pilihan ayahnya, diam-diam Dewi Sekartaji meninggalkan Kerajaan Jenggala tanpa sepengetahuan sang ayah dan seluruh orang di kerajaan.
Malam hari, sang putri berangkat bersama beberapa dayang menuju ke arah barat. Berita minggatnya Dewi Sekartaji itupun didengar oleh Raden Panji. Raden Panji pun bergegas mencari kekasihnya, di tengah perjalanan dia singgah di rumah seorang pendeta. Sang Pendeta pun menyarankan untuk pergi ke barat, dengan menyamar sebagai seorang kera. Sedangkan Dewi Sekartaji telah menyamar sebagai Endang Rara Tompe berusaha naik gunung dan beristirahat di suatu daerah dan memutuskan menetap disana.
Tempat tersebut tidak jauh dari keberadaan Raden Panji. Keduanya bertemu dan saling bermain dan menjadi akrab. Awalnya keduanya saling tidak mengetahui penyamaran masing-masing. Dalam gerakan tari, kejadian ini diwakili dengan masuknya manusia Kera ke dalam panggung pentas, menemui Endang Rara Tompe dan kedua pengawalnya. Gerakan manusia Kera (kethek Jw.) melompat-lompat kesana kemari, gerakan berguling-guling menggambarkan persahabatan yang akrab.
Tarian ini diakhiri dengan gerakan Endang Rara Tompe yang menaiki manusia kera dan berakhir dengan persatuan keduanya, sambil kedua dayang memegangi sang Dewi Sekartaji. Dalam ceritanya, setelah pertemuan itu Endang Rara Tompe mengubah perwujudannya sebagai Dewi Sekartaji dan manusia kera berubah menjadi Raden Panji Asmorobangun. Keduanya kembali ke kerajaan Jenggala untuk melangsungkan pernikahan.
"Konsep yang kami gambarkan lebih pada gerak artistik dari pada sekedar menggambarkan makna filosofi pada makna tarian tersebut. Kami kembangkan tarian ini sedemikian rupa agar enak dilihat, sedikit keluar dari tarian dasar aslinya. Dengan gerakan kreasi sehingga yang cukup menarik untuk ditonton dan tidak meninggalkan cerita aslinya.
Inti dari Tari Kethek Ogleng ini merupakan tari tradisional yang telah dikembangkan secara kekinian."Satu komposisi jika kita tata menjadi apik, maka kita ambil mengembangkan konsep tarian yang telah ada sebelumnya.