PERJANJIAN GIYANTI (VERSI 1)
(Perjanjian yang membagi Mataram menjadi dua kekuasaan)
Perjanjian Giyanti (bahasa Jawa: prajanjèn ing Janti, bahasa Belanda: verdrag van Gijanti, terj. har. perjanjian di Janti) adalah sebuah perjanjian antara VOC, pihak Kesultanan Mataram yang diwakili oleh Pakubuwana III, dan Pangeran Mangkubumi. Perjanjian tersebut secara resmi membagi kekuasaan Mataram kepada Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.
Pangeran Sambernyawa tidak ikut dalam perjanjian ini. Setelah perjanjian damai ditandatangani, Pangeran Mangkubumi kemudian ikut memerangi kelompok Pangeran Sambernyawa. Mereka kemudian juga akan menandatangi perjanjian damai dalam perjanjian selanjutnya, yaitu Perjanjian Salatiga.
Nama Giyanti diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian di Desa Janti, dalam ejaan van Ophuijsen menjadi Gijanti. Kini terletak di Dusun Kerten, Desa Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah.
Perjanjian Giyanti adalah sebuah perjanjian yang disusun sebagai bentuk kesepakatan antara pihak Belanda yaitu perusahaan dagang bernama Vereenidge Oost-Indische Compagnie (VOC) dengan pihak Indonesia yaitu Kesultanan Mataram Islam. Perjanjian ini ditandatangani pada 13 Februari 1755.
Saat itu, pihak VOC Belanda diwakili oleh tokoh bernama Nicolaas Hartingh, dan pihak Indonesia Mataram Islam diwakili oleh tokoh bernama Pangeran Mangkubumi. Nama Giyanti sendiri merujuk pada tempat penandatanganan perjanjian tersebut, yaitu di Desa Giyanti (ejaan Belanda) yang sekarang terletak di Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo; sebelah tenggara Karanganyar, Jawa Tengah.
Secara singkat, perjanjian ini merupakan upaya VOC Belanda untuk meraih keuntungan dari pertikaian internal keluarga Kesultanan Mataram Islam. Saat itu, terjadi perebutan kekuasaan antara tokoh-tokoh sepert :
Pakubuwana II,
Pangeran Mangkubumi,
Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said),
Pakubuwana III (Raden Mas Soerjadi),
dan beberapa tokoh minor lainnya.
Para keluarga bangsawan Kesultanan Mataram Islam yang awalnya bersatu menentang pengaruh VOC Belanda dalam urusan kerajaan bisa dihasut oleh utusan dan agen VOC Belanda agar mereka saling mencurigai satu sama lain serta agar mereka cepat meraih tampuk kekuasaan sendirian. Pada akhirnya, VOC Belanda berhasil menggoda salah satu bangsawan Kesultanan Mataram Islam yaitu Pangeran Mangkubumi untuk mau menerima syarat-syarat yang diberikan VOC Belanda dengan imbalan pengakuan akan separuh wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram Islam itu sendiri. Perjanjian ini menjadi penanda berakhirnya kekuasaan Kesultanan Mataram Islam karena wilayahnya dan keluarga kerajaannya telah terpecah belah menjadi penguasa-penguasa sendiri.
LATAR BELAKANG PERJANJIAN GIYANTI
Perjanjian ini merupakan hasil utama dari Perang Takhta Jawa Ketiga pada tahun 1749–1757. Pakubuwana II, susuhunan Mataram, telah mendukung pemberontakan Tionghoa melawan Belanda. Pada tahun 1743, sebagai pembayaran untuk pemulihan kekuasaannya, sunan menyerahkan pantai utara Jawa dan Madura kepada Perusahaan Hindia Timur Belanda.
Pakubuwana III didukung kompeni menggantikan takhta setelah wafatnya Pakubuwana II, namun ia harus menghadapi saingan ayahnya, Pangeran Sambernyawa, yang pernah menduduki suatu daerah bernama Sukawati, sekarang Sragen. Pada tahun 1749 Pangeran Mangkubumi, adik Pakubuwana II, yang tidak puas dengan kedudukannya yang lebih rendah, bergabung dengan Pangeran Sambernyawa dalam menentang Pakubuwana III. VOC mengirim pasukan untuk membantu Pakubuwana III, tetapi pemberontakan terus berlanjut. Baru pada tahun 1755 Pangeran Mangkubumi melepaskan diri dari Pangeran Sambernyawa dan menerima tawaran perdamaian di Giyanti, yang membagi Mataram menjadi dua bagian. Pangeran Sambernyawa baru menandatangani perjanjian dengan VOC pada tahun 1757 melalui Perjanjian Salatiga, yang memberinya hak untuk memiliki bagian dari timur Mataram. Ia kemudian bergelar sebagai Mangkunegara I.
PERUNDINGAN
Lokasi penandatanganan Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah.
Menurut catatan harian Nicolaas Hartingh, Gubernur Jenderal VOC untuk Jawa Utara, pada tanggal 10 September 1754 ia berangkat dari Semarang untuk menemui Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru terlaksana pada tanggal 22 September 1754. Pada hari berikutnya, diadakan perundingan tertutup yang hanya dihadiri oleh beberapa orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh Pangeran Natakusuma dan Tumenggung Ronggo. Hartingh sendiri didampingi oleh Breton, Kapten C. Donkel, dan sekretarisnya, W. Fockens. Adapun yang menjadi juru bahasa adalah pendeta Bastani.
Pada pembicaraan pertama mengenai pembagian Mataram, Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada dua pemimpin dalam satu kerajaan. Mangkubumi menyatakan bahwa di Cirebon ada lebih dari satu sultan. Hartingh pun menawarkan Mataram sebelah timur yang ditolak oleh Mangkubumi. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya, setelah bersumpah untuk tidak saling melanggar janji, maka pembicaraan dapat berjalan lancar. Hartingh kembali mengusulkan agar Mangkubumi tidak menggunakan gelar susuhunan dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai olehnya.
Mangkubumi keberatan melepas gelar susuhunan karena rakyat telah mengakuinya sebagai susuhunan sejak lima tahun sebelumnya. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai susuhunan di daerah Kabanaran ketika Pakubuwana II wafat, bersamaan saat VOC melantik Adipati Anom menjadi Pakubuwana III.
Perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan keesokan harinya. Pada tanggal 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan memakai gelar sultan dan mendapatkan setengah bagian kesultanan. Daerah pantai utara Jawa atau daerah pesisiran yang telah diserahkan pada VOC tetap dikuasai oleh VOC dan setengah bagian ganti rugi atas penguasaan tersebut akan diberikan kepada Mangkubumi. Selain itu, Mangkubumi juga akan memperoleh setengah pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan kepada Pakubuwana III. Pada tanggal 4 November 1754, Pakubuwana III menyampaikan surat kepada Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel mengenai persetujuannya tehadap hasil perundingan antara Hartingh dan Pangeran Mangkubumi.
Berdasarkan perundingan yang dilakukan pada tanggal 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Pakubuwana III, maka pada tanggal 13 Februari 1755 ditandatanganilah Perjanjian di Giyanti.
ISI PERJANJIAN
Peta pembagian Mataram pada tahun 1757 sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga.
Secara garis besar isi Perjanjian Giyanti adalah membagi Mataram menjadi dua bagian, yakni Kesunanan Surakarta di bawah kepemimpinan Pakubuwana III dan Kesultanan Yogyakarta di bawah kepemimpinan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Hamengkubuwana I. Sebelumnya, keraton Surakarta telah berdiri terlebih dahulu pada kurun waktu kekuasaan Pakubuwana II sebagai calon pengganti keraton Kartasura yang hancur lantaran serangan orang-orang Tionghoa di bawah kepemimpinan Amangkurat V.
Perjanjian Giyanti memuat 10 pasal, antara lain :
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah di atas separuh dari Kesultanan Mataram yang diberikan kepada beliau dengan hak turun-temurun pada pewarisnya, dalam hal ini Pangeran Adipati Anom Bendara Raden Mas Sundara.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur. Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Susuhunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.
Pasal 9
Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.
Penutup
Perjanjian ini dari pihak VOC ditandatangani oleh N. Hartingh, W. H. van Ossenberch, J. J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens.
POLEMIK
Perjanjian Giyanti belum mengakhiri konflik yang sedang terjadi karena dalam perjanjian ini kelompok Pangeran Sambernyawa tidak diikutsertakan. Seperti yang diketahui, dalam Perjanjian Giyanti Pangeran Sambernyawa adalah rival Pangeran Mangkubumi untuk menjadi penguasa Mataram. Perjanjian Giyanti merupakan bentuk persekongkolan untuk mengalahkan pemberontak, yaitu Pangeran Sambernyawa. Karena itu, Perjanjian Giyanti dilaksanakan dengan tujuan membangun aliansi kekuatan baru untuk menumpas pemberontak dan mengurangi kekuatan pemberontak dengan menggandeng salah satu kekuatannya.
SEJARAH DAN ISI PERJANJIAN GIYANTI 13 FEBRUARI 1755 MERUPAKAN SIASAT LICIK VOC MEMECAH MATARAM
Perjanjian Giyanti adalah sebuah perjanjian antara VOC, pihak Kerajaan Mataram yang diwakili oleh Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi pada 13 Februari 1755.
Isi Perjanjian Giyanti yang ditandatangani di Dukuh Kerten, Desa Jantiharo, Karanganyar, Jawa Tengah salah satunya membagi kekuasaan Mataram kepada Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.
Sehingga sejak saat itu Kerajaan Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
LATAR BELAKANG LAHIRNYA PERJANJIAN GIYANTI
Lahirnya Perjanjian Giyanti dipicu adanya suksesi Kerajaan Mataram yang mendapat campur tangan VOC.
Pertikaian itu melibatkan tiga calon pewaris Kerajaan Mataram yakni Pangeran Prabusuyasa (Pakubuwana II), Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa.
Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak-beradik, sama-sama putra dari Amangkurat IV, penguasa Mataram periode 1719-1726.
Sementara Raden Mas Said adalah putra Pangeran Arya Mangkunegara putra sulung Amangkurat IV.
Arya Mangkunegara yang seharusnya meneruskan tahta Amangkurat IV justru diasingkan ke Srilangka.
Raden Mas Said juga mengklaim berhak dengan tahta Mataram sebagai salah satu cucu Amangkurat IV, atau keponakan Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi.
Namun dalam perjalanannya VOC justru menaikkan Pangeran Prabasuyasa atau Pakubuwana II sebagai raja.
Susuhunan Pakubuwana II (1745-1749) kemudian memindahkan istana dari Kartasura ke Surakarta dan berdirilah Kasunanan Surakarta.
PEMBERONTAKAN PANGERAN MANGKUBUMI
Naiknya Pakubuwono II yang didukung VOC mendapat perlawanan dari Pangeran Mangkubumi yang berkoalisi dengan Pangeran Sambernyawa.
Sebagai memperkuat jalinan kerjasama itu, Mangkubumi menikahkan putrinya dengan Pangeran Sambernyawa.
Perlawanan Mangkubumi dan Sambernyawa melalu perang gerilya di sejumlah wilayah Jawa merepotkan Pakubuwono II dan VOC.
PAKUBUWONO II WAFAT
Pada tanggal 20 Desember 1749, Pakubuwono II menginggal dunia. Situasi ini dimanfaatkan Pangeran Mangkubumi untuk mengklaim tahta Mataram Islam.
Namun klaim Pangeran Mangkubumi tidak diakui oleh VOC yang justru menunjuk Putra Pakubuwono II bernama Raden Mas Soejadi menjadi Pakubuwono III.
Dalam menghadapi pemberontakan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa sekaligus, VOC merasa kesulitan. VOC lantas melakukan taktik politik pecah belah untuk memisahkan kedua pangeran tersebut.
Pada tahun 1752, rencana VOC berhasil dengan Pangeran Sambernyawa menghentikan kerja samanya dengan Pangeran Mangkubumi dan memilih berjuang sendiri.
PANGERAN MANGKUBUMI BERUNDING DENGAN VOC
Akhirnya VOC dapat merayu Pangeran Mangkubumi agar berunding setelah pecah kongsi dengan kubu Pangeran Sambernyawa.
VOC saat itu berjanji untuk memberikan sebagian kekuasan Mataram yang dipegang Pakubuwono II.
Menurut dokumen register harian milik N Harting, Gubernur VOC untuk Jawa bagian utara itu berangkat menuju Semarang pada 10 September 1754 untuk menemui Pangeran Mangkubumi.
Pertemuan khusus tersebut dihadiri oleh Pangeran Mangkubumi, Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Rangga. Sementara, Harting didampingi oleh Breton, Kapten Donkel dan Fockens.
ISI PERJANJIAN GIYANTI
Pada 22-23 September 1754, perundingan pertama digelar oleh VOC dengan mengundang Pakubuwono III dengan Pangeran Mangkubumi dalam satu perundingan.
Perundingan itu membahas pembagian wilayah, gelar yang akan digunakan, hingga terkait kerja sama dengan VOC.
Pada 13 Februari 1755, perundingan mencapai kata sepakat dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti.
9 PERJANJIAN GIYANTI
Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah dengan separuh dari kerajaan Mataram. Hak kekuasan diwariskan secara turun-temurun.
Akan senantiasa diusahakan adanya kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder) dan para bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan gubernur. Pepatih Dalem adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari-hari dengan persetujuan dari residen atau gubernur.
Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.
Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.
Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.
Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.
Perjanjian ini dari ditandatangani oleh N. Hartingh, W. H. Van Ossenberch, J. J. Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens.
DAMPAK PERJANJIAN GIYANTI
Dampak Perjanjian Giyanti adalah mengakiri Dinasti Mataram Islam sebagai kerajaan independen.
Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat.
Kasunanan Surakarta tetap dipimpin oleh Pakubuwono III, sedangkan Kesultanan Yogyakarta dipimpin oleh Pangeran mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Dampak Perjanjian Giyanti juga membuat peradaban Kebudayaan Jawa terpecah menjadi dua dengan terpusat di Surakarta dan Yogyakarata
Perjanjian Giyanti membagi wilayah kedua kerajaan tersebut dengan dibatasi oleh Kali Opak. Sebelah timur Kali Opak menjadi wilayah kekuasaan Surakarta, sementara sebelah barat Kali Opak merupakan wilayah Yogyakarta.
Dalam perjalanannya, Trah Mataram Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta akan terpecah kembali dengan lahirnya Kadipaten Mangkunagaran dan Kadipaten Paku Alaman.
SEJARAH PERJANJIAN GIYANTI SIASAT VOC MEMECAH BELAH MATARAM (VERSI 2)
Perjanjian Giyanti adalah perjanjian antara VOC dan Kerajaan Mataram yang ditandatangani pada 13 Februari 1755.
Perjanjian Giyanti adalah perjanjian antara VOC dan Kerajaan Mataram yang ditandatangani pada 13 Februari 1755. Perjanjian Giyanti dikenal juga dengan siasat VOC memecah belah Kerajaan Mataram.
Perjanjian Giyanti dianggap menguntungkan Belanda di tanah Jawa karena Kerajaan Mataram terpecah menjadi Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sejarah Perjanjian Giyanti bermula dari konflik yang terjadi di Kerajaan Mataram. Konflik berawal dari pertikaian tiga calon pewaris Kerajaan Mataram yakni Pangeran Pakubuwono II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa.
Dalam silsilahnya, Pangeran Pakubuwono dan Mangkubumi adalah anak dari Amangkurat IV, penguasa Mataram pada 1719-1726. Sedangkan Raden Mas Said merupakan cucu dari Amangkurat IV.
Saat itu, VOC mengangkat Pangeran Pakubuwono II sebagai raja. Pengangkatan ini menimbulkan kecemburuan Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said. VOC juga memaksa Pangeran Pakubuwono II untuk memberikan mandat penunjukan raja dan petinggi kerajaan harus dengan persetujuan Belanda.
Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi memberikan perlawanan kepada VOC dan Pakubuwono II sebagai bentuk protes. Serangan itu membuat Pakubuwono II meninggal dunia.
Perjanjian Giyanti adalah perjanjian yang membuat Kerajaan Mataram Islam terbagi menjadi Kesultanan Surakarta Hadiningrat dan sepeninggal Pakubuwono II, Pengeran Mangkubumi naik menjadi raja. Namun, VOC tidak mengakui status Pangeran Mangkubumi ini. Situasi semakin memanas saat VOC mengangkat putra Pakubuwono II, Raden Mas Soerjadi atau Pakubuwono III yang masih remaja sebagai Raja Mataram.
Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi kembali melancarkan serangan pada VOC dan Raden Mas Soerjadi.
Untuk meredam serangan itu, VOC menjalankan siasat licik dengan memecah belah Raden Mas Said dan Pengeran Mangkubumi. VOC mengirimkan utusan khusus untuk menghasut Raden Mas Said agar berhati-hati terhadap Pangeran Mangkubumi yang bisa mengkhianatinya.
Di sisi lain, VOC juga mengirim utusan ke Pangeran Mangkubumi. VOC membujuk Mangkubumi dengan menjanjikan setengah wilayah kekuasaan Mataram yang dipegang Raden Mas Soerjadi.
VOC kemudian mengundang kedua orang tersebut untuk merundingkan pembagian kekuasaan. Perundingan terjadi pada 22-23 September 1754 membahas pembagian wilayah kekuasaan Mataram, gelar yang akan digunakan, kerja sama VOC dengan kesultanan, dan sebagainya
Hasil pertemuan itu kemudian dituangkan dalam Perjanjian Giyanti ditandatangani pada 13 Februari 1755. Dan dilakukan oleh tiga pihak yakni Pemerintah Hindia-Belanda atau VOC oleh Nicolas Hartingh, Kasunanan Surakarta oleh Pangeran Pakubuwono III dan Kasultanan Ngayogyakarta oleh Pangeran Mangkubumi.
Isi Perjanjian Giyanti
ISI PERJANJIAN GIYANTI
Isi Perjanjian Giyanti terdiri dari 9 poin. Perjanjian ini dianggap menguntungkan VOC.
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwono dengan separuh kekuasaan Kerajaan Mataram. Hak kekuasaan itu diberikan atau diwariskan secara turun-temurun.
Rakyat kesultanan harus bekerja sama dengan rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC.
Para bupati atau pejabat eksekutif (gubernur) harus bersumpah setia pada VOC.
Pengangkatan bupati atau pejabat eksekutif harus mendapat persetujuan VOC.
Sultan harus mengampuni bupati atau pejabat eksekutif yang memihak VOC dalam peperangan.
Sultan tidak akan menuntut hak Pulau Madura atau daerah pesisir lain yang telah diberikan Pakubuwono II kepada VOC. Sebagai gantinya VOC akan memberi uang ganti rugi sebesar 10.000 real setiap tahunnya.
Sultan Hamengkubuwono akan memberi bantuan jika Sultan Pakubuwono III membutuhkan.
Sultan akan menjual bahan makanan dengan harga yang ditentukan VOC.
Sultan berjanji menepati segala macam perjanjian yang pernah dibuat antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC.
HASIL PERJANJIAN GIYANTI
Dampak dari Perjanjian Giyanti memecah belah Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua yakni Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Mimpi Kerajaan Mataram yang ingin menyatukan seluruh kerajaan di tanah Jawa pun tak terwujud karena penjajah.
10 Kerajaan Islam Pertama di Indonesia dan Jejak Peninggalan
Tokoh di Balik Perjanjian Giyanti
Perjanjian yang diadakan di Desa Jantiharjo ini dihadiri oleh tiga pihak yakni VOC, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Para tokoh itu adalah :
1. VOC:
Nicolaas Hartingh (Gubernur Jenderal VOC)
Breton
Kapten C. Donkel
W. Fockens
Pendeta Bastani
2. Kasultanan Ngayogyakarta:
Pangeran Mangkubumi
Pangeran Natakusuma
3. Kasunanan Surakarta:
Pangeran Pakubuwono III
Sejarah Kerajaan Mataram Kuno beserta Peninggalannya
Itulah sejarah Perjanjian Giyanti yang dibuat VOC untuk memecah belah kerajaan Mataram.
PERJANJIAN GIYANTI AWAL PECAHNYA KERAJAAN MATARAM ISLAM
Perjanjian Giyanti merupakan peristiwa yang menandai kejadian pecahnya Kerajaan Mataram Islam. Awal dari pecahnya Kerjaaan Mataram Islam adalah pertikaian antar keluarga, sebab dari pertikaian itu adalah politik adu domba VOC, pertikaian antar keluarga tersebut melibatkan Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, serta Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa.
Menurut silsilahnya, Pakubuwana II (raja pendiri Kasunanan Surakarta) dan Pangeran Mangkubumi adalah kakak beradik yang merupakan keturunan dari Amangkurat IV. Sedangkan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa merupakan salah satu cucu dari Amangkurat IV, lebih tepatnya Raden Mas Said adalah keponakan dari Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi.
Raden Mas Said meminta haknya sebagai penerus takhta Mataram yang diduduki oleh Pakubuwana II. Alasannya, ayah dari Raden Mas Said yaitu pangeran Arya Mangkunegara adalah putra sulung dari Amangkurat IV. Oleh karena itu, Raden Mas Said berpendapat Arya Mankunegara yang seharusnya menjadi Raja Mataram meneruskan Amangkurat IV.
Tetapi karena Arya Mangkunegara sering menentang VOC, akhirnya Arya Mangkunegara diasingkan ke Srilangka hingga meninggal dunia. Kemudian VOC mengangkat putra Amangkurat IV lainnya yaitu Pangeran Prabusuyasa sebagai Raja Mataram selanjutnya dan bergelar Pakubuwana II.
Karena Pangeran Mangkubumi juga mempunyai tujuan yang sama denga Raden Mas Said, maka Raden Mas Said bekerjasama dengan Pangeran Mangkubumi untuk merebut takhta Kerajaan Mataram Islam dari Pakubuwana II yang dibantu oleh VOC.
Tanggal 20 Desember 1749 Pakubuwana II wafat, dengan adanya kekosongan pemerintahan ini maka dimanfaatkan oleh Pangeran Mangkubumi untuk mengangkat dirinya sebaga Raja dari Kerajaan Mataram Islam selanjutnya. Tetapi VOC tidak mengakui hal tersebut karena sebelum wafat Pakubuwana II memberikan kewenangan VOC untuk mengangkat raja yang baru sebagai penerus Pakubuwana II.
Akhirnya VOC mengangkat putra dari Pakubuwana II yaitu Raden Mas Soerjadi sebagai raja dari Kerajaan Mataram Islam dengan gelar Pakubuwana III. Situasi menjadi semakin memanas. Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said melancarkan serangan pada VOC dan Pakubuwana III.
VOC dengan siasatnya pada tanggal 22-23 September 1754, mengadakan perundingan dengan mengundang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi untuk membahas pembagian wilayah Kerajaan Mataram Islam. Sebelum kejadian perundingan tersebut pihak VOC sudah mengirimkan utusan khusus untuk bertemu dengan Raden Mas Said, strategi politik adu domba VOC membuahkan hasil, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said berselisih.
Pada tanggal 13 Februari 1755, perundingan berhasil menemui kesepakatan, dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram Islam menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Setelah itu Pangeran Mangkubumi mendeklarasikan sebagai raja di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I, dengan begitu Kerajaan Mataram Islam telah berakhir.
ISI PERJANJIAN GIYANTI
9 isi perjanjian giyanti adalah sebagai berikut :
1. Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengkubuwono dengan separuh kekuasaan Kerajaan Mataram. Hak kekuasaan itu diberikan atau diwariskan secara turun-temurun.
2. Rakyat kesultanan harus bekerja sama dengan rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC.
3. Para Bupati atau pejabat eksekutif (Gubernur) harus bersumpah setia pada VOC.
4. Pengangkatan Bupati atau pejabat eksekutif harus mendapat persetujuan VOC.
5. Sultan harus mengampuni Bupati atau pejabat eksekutif yang memihak VOC dalam peperangan.
6. Sultan tidak akan menuntut hak Pulau Madura atau daerah pesisir lain yang telah diberikan Pakubuwono II kepada VOC. Sebagai gantinya VOC akan memberi uang ganti rugi sebesar 10.000 real setiap tahunnya.
7. Sultan Hamengkubuwono akan memberi bantuan jika Sri Susuhunan Pakubuwono III membutuhkan.
8. Sultan akan menjual bahan makanan dengan harga yang ditentukan VOC.
9. Sultan berjanji menepati segala macam perjanjian yang pernah dibuat antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC.
MONUMEN PERJANJIAN GIYANTI
Sebagai wujud nyata dimana telah berlangsungnya kesepakatan Perjanjian Giyanti ini maka dibangun Monumen Perjanjian Giyanti di Karanganyar, Jawa Tengah, situs ini berupa batu prasasti dan terdapat pohon beringin.
VERSI LAIN
Perjanjian Giyanti 1755 Yang memecah Mataram Islam menjadi 2 Yogjakarta dan Surakarta bukan hanya membagi wilayah kekuasaannya saja,akan tetapi ia juga membagi usur kebudayaannya.
Selang 1 hari setelah Perjanjian Giyanti,
Untuk Pertama kalinya,
Pangeran Mangkubumi (HB I) bertemu dengan Keponakannya Sunan Paku Buwana III di desa Jatisari Pertemuan itu lebih dikenal dengan PERTEMUAN JATISARI ATAU PERJANJIAN JATISARI dalam pertemuan itu membahas tentang perbedaan identitas dari kedua wilayah yang sudah menjadi 2 kerajaan yang berbeda,
Kasultanan Yogjakarta dan Kasunanan Surakarta.
Inilah yang menjadi titik awal perkembangan kebudayaan yang berada di daerah SOLO maupun JOGJA.
Dalam pertemuan itu disepakati bahwa KASULTANAN YOGJAKARTA MENERUSKAN TRADISI MATARAM ISLAM KLASIK ( LAMA )
sementara KASUNANAN SURAKARTA MELAKUKAN MODIFIKASI KEBUDAYAAN YANG BERDASARKAN PADA BUDAYA MATARAM LAMA,ATAU LEBIH DIKENAL DENGAN ISTILAH "YOSO ENGGAL".
Maka dengan demikian,segala perlengkapan untuk Raja (isen-isen keprabon) yang berupa benda-benda artefak berupa Pusaka, Gamelan, Titihan Kereta,Tandu/Joli/Kremun,juga dibagi dua,antara Solo dangan Jogja termasuk Busana corak Mataraman yang dikehendaki oleh Pangeran Mangkubumi untuk di bawa ke Yogyakarta.
Mengenai busana Raja tersebut sebelumnya telah diwasiatkan oleh SUNAN PAKU BUWANA II kepada putranya SUNAN PAKU BUWANA III sebelum beliau di angkat menjadi Raja "Mbesok manawa pamanmu Mangkubumi Hangersakake ageman, paringna"
Artinya :
"Apabila kelak pamanmu Mangkubumi menghendaki busana (mataraman), berikan saja" yang dimaksud busana di sini adalah busana kebesaran untuk kerajaan.Maka sejak itulah busana Mataraman eranya Sultan Agung, Versi yang lama, diboyong ke Yogyakarta,seperti yang dapat kita lihat hingga saat ini.
Dan untuk selanjutnya pihak KASUNANAN SURAKARTA, SUNAN PAKU BUWANA III membuat busana yang baru dengan Corak/Gaya Surakarta (Gagrak Surakarta), termasuk kain batik untuk Nyampingan.
Coraknya mengalami perubahan-perubahan menyesuaikan dengan gaya busana yang baru.
Hal ini berlaku juga untuk busana kebesaran yang dipakai oleh keluarga Raja, seperti motif batik Kawung dan busana Lurik yang dipakai para Prajurit kraton yang telah di boyong ke Yogyakarta, karena itulah kemudian pihak Keraton Surakarta menerapkan motif batik lainnya (selain motif batik Kawung), sebagai pengganti busana kebesaran bagi keluarga raja yaitu motif batik Parang.
Secara garis besar PERJANJIAN JATISARI atau PERTEMUAN JATISARI menjadi peletak dasar PEMBEDA KEBUDAYAAN antara Jogja dengan Solo yang kemudian melahirkan sebuah konsep seni-budaya diantara kedua wilayah ini.Sehingga dikemudian hari mengispirasi lahirnya sebuah konsep Kesenian di Jogjakarta yang lebih dikenal dengan istilah "Ngayang Batin" sementara konsep Kesenian di Surakarta (Solo) lebih dikenal dengan istilah "Ndudut Ati".
"Ngayang Batin" yang dalam wujudnya sekilas hanya terlihat sederhana alias Prasojo,akan tetapi didalamnya terlihat Gandhes, Luwes, Nresep / merasuk ke dalam hati sanubari dengan penuh makna yang mendalam.
SEDANGKAN "Ndudut Ati" adalah wujud dari sebuah konsep seni yang membuat para penikmatnya selalu berdecak terkagum-kagum, bahkan takjub,kerena tampilanya yang selalu Gebyar, Glamor, Terlihat Mewah, disertai kilau-kemilaunya.
Perbedaan tersebut jelas bisa dilihat melalui banyak hal seperti :
1. Pakaian adat & ikat kepala (blangkon).
2. Bentuk dan Penamaan Keris.
3. Bentuk Gamelan (Gangsa/Karawitan)
4. Bentuk Wayang dan cara pertunjukan nya.
5. Seni Tari (Solo lebih halus & jogja terlihat Gagah).
6. Seni Batik (Solo di prodo & Jogja Polosan).
7. Seni berkomunikasi / Bahasa
8. Seni dalam makanan / Kuliner
9. Seni Ukir, maupun Warna yang terdapat pada kedua Kraton.
Dan masih banyak lagi tentunya, Pertemuaan Jatisari inilah yang menjadi suatu titik mula muncul dan tumbuhnya RASA BERBUDAYA YANG BERSAUDARA NAMUN BERBEDA, yang berkembang dengan watak dan ciri khasnya masing-masing antara SURAKARTA dengan YOGJAKARTA.
Imajier Nuswantoro