WAHDATUL WUJUD
Wahdatul wujud berasal dari kata wahdah yang berarti tunggal atau kesatuan dan al-wujud yang berarti ada, eksistensi, atau keberadaan. Secara harfiah wahdatul wujud artinya adalah kesatuan eksistensi.
Pemahaman ajaran dan doktrin ini tidak mengakui adanya perbedaan antara Tuhan dengan makhluk, seandainya ada maka hanya kepercayaan bahwa Tuhan itu adalah keseluruhan, sedangkan makhluk adalah bagian dari keseluruhan tersebut, dan Tuhan memperlihatkan Diri pada apa saja yang ada di alam semesta ini, karena tak ada satupun di alam semesta ini kecuali wujud Tuhan.
Wahdatul wujud selalu dihubungkan dengan Ibnu Arabi, karena Ibnu Arabi dianggap sebagai penggagasnya. Walaupun Wahdatul wujud dikaitkan dengan aliran Ibnu Arabi tetapi sebetulnya Wahdatul wujud sudah diajarkan oleh beberapa sufi sebelum Ibnu Arabi.
Sufi sebelum Ibnu Arabi yang membuat pernyataan yang dianggap mengandung doktrin Wahdatul wujud adalah Abu Hamid Al-Ghazali, dalam sebuah karyanya Al-Ghazali berkata sesuatu yang maujud dengan sebenar-benarnya adalah Allah Swt, sebagaimana cahaya yang sebenar-benarnya adalah Allah Swt, tidak ada wujud kecuali Allah dan wajah-Nya, dengan itu pula, maka segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya secara azali dan abadi.
Ma'ruf Al-Karkhi salah satu sufi yang hidup empat abad sebelum Ibnu Arabi adalah orang pertama yang mengungkapkan syahadat dengan kata-kata tiada sesuatupun dalam wujud kecuali Allah.
Tokoh yang cukup berperan mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Ibnu Taimiyah, seorang pemikir dan ulama Islam guru dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Walaupun Ibnu Taimiyah menggunakan istilah Wahdatul Wujud untuk mengkritik terhadap doktrin Wahdatul wujud, Tetapi istilah ini sudah banyak digunakan oleh kalangan sufi di ajaran tasawuf.
TOKOH WAHDATUL WUJUD
1. Al-Hallaj
Abu Abdullah Husain bin Mansur Al-Hallaj dikenal dengan nama Al-Hallaj seorang Syekh Sufi keturunan Persia abad ke-9 dan ke-10 dilahirkan di kota Thur di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada tanggal 26 Maret 866 M.
Beliau terkenal dengan ucapannya :
Ana al haq (Akulah kebenaran) karena ucapannya itu mengakibatkannya dieksekusi. Sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri.
2. Siti Jenar
Nama aslinya adalah Raden Abdul Jalil, lahir di Iran/Persia tahun (1348-1439 H/1426-1517 M) bertempat tinggal di Jepara, Jawa Tengah, Indonesia. Siti Jenar terkenal sebab ajarannya Manunggaling Kawula Gusti istilah Wahdatul wujud yang dijawakan. Siti Jenar mengembangkan paham jalan hidup sufi yang dianggap bertentangan dengan ajaran Wali songo. Pertentangan praktik sufi oleh Siti Jenar dengan Wali songo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariat yang dilakukan oleh Wali songo.
3. Ibnu Arabi
Ibnu Arabi, salah satu sufi terkenal dalam perkembangan tasawuf. Lahir pada tahun 560 H merupakan tokoh yang cukup kontroversial Ia mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang wujud kecuali Tuhan. Segala yang ada selain Tuhan adalah penampakan lahiriah dari-Nya. Perkataan yang diungkapkannya: Maha Suci Dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri.
Tokoh tasawuf Ibnu Arabi menghasilkan banyak gagasan, antara lain teori wahdatul wujud. Akan tetapi, pemikiran itu tak jarang menuai prokontra, terutama dari kaum fuqaha' dan ahli hadits.
Wahdatul Wujud dianggap condong pada pantheisme. Salah satu sebabnya adalah lantaran dalam karya-karyanya itu Ibnu 'Arabi banyak menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang sulit dimengerti khususnya kalangan awam.
Bahkan, tidak sedikit yang mengganggap Ibnu 'Arabi telah kufur. Misalnya, Syeikhul Islam Ibnu Taymiyah dan beberapa pengikutnya yang menilainya sebaga 'kafir'.
Memang pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu 'Arabi setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo. Sang penulis al-Hikam itu menjelaskan makna-makna metafora Ibnu 'Arabi.
Kalau begitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu 'Arabi yang tidak memahami makna sebenarnya," komentar Ibnu Taimiyah.
PENGARUH DI NUSANTARA
Di Indonesia, ketersesatan dalam memahami Ibnu 'Araby juga terjadi, khususnya di Jawa. Ini ketika aliran kebatinan Jawa Sinkretis dengan tasawuf Ibnu 'Arabi.
Diskursus Manunggaling Kawula Gusti telah membuat penafsiran yang menyesatkan di kebatinan Jawa, yang sama sekali tidak pantas untuk dikaitkan dengan Wahdatul Wujud-nya Ibnu 'Araby. Bahkan di pulau padat penduduk ini, sudah melesat ke arah kepentingan jargon politik yang menindas atas nama Tuhan.
Karena itulah, untuk memahami karya-karya dan wacana Ibnu 'Arabi, harus disertai tarekat secara penuh, komprehensif dan iluminatif. Menurut penelitian para ulama dan orientalis, Ibnu Araby mempunyai sedikitnya 560 kitab dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan dan umum. Malah ada yang mengatakan, termasuk risalah-risalah kecilnya, mencapai 2.000 judul.
Kitab tafsirnya yang terkenal adalah Tafsir al-Kabir yang terdiri 90 jilid, dan ensiklopedi tentang penafsiran sufistik, yang paling masyhur, yakni Futuhatul Makkiyah (8 jilid), serta Futuhatul Madaniyah.
Sementara, karya yang tergolong paling sulit dan penuh metafora adalah Fushushul Hikam. Dalam lentera karya dan pemikirannya itulah, beliau begitu kuat mewarnai dunia intelektualisme Islam universal.
4. Wahdatul wujud adalah konsep atau ajaran yang mengajarkan tentang bersatunya wujud Tuhan dan manusia. Dalam ajaran Hamzah Fansuri dikenal paham wujudiyyah, yaitu ajaran yang mengajarkan tentang keberadaan wujud Tuhan. Perdebatan-perdebatan yang terjadi dikalangan para cendikiawan muslim tentang wahdatul wujud, menuai polemik yang berkepanjangan ditengah masyarakat, sehingga memunculkan para tokoh sufistik yang mendukung bahkan menentang keras wahdatul wujud. Dari pemikiran para tokoh tersebut, terdapat perbedaan dan persamaan antara tokoh tersebut tentang wahdatul wujud, terutama wahdatul wujud Hamzah Fansuri yang menuai pro dan kontra yang berkepanjangan. Banyak yang menolak pemikiran wahdatul wujud Hamzah Fansuri, sehingga banyak para ulama semasa Hamzah Fansuri saling memperdebatkan wahdatul wujud Hamzah Fansuri. Sehingga menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap para murid dan pengikutnya. Sehingga memunculkan permasalahan, bagaimanakah konsep wahdatul wujud dalam pemikiran Hamzah Fansuri?, dan bagaimana pengaruh konsep wahdatul wujud Hamzah Fansuri terhadap muridnya?. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research), sedangkan sifat penelitian ini termasuk penelitian Hitoris Faktual Tokoh. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan data primer dan skunder. Setelah datadata diperoleh, konsep wahdatul wujud dalam pemikiran Hamzah Fansuri dianalisis menggunakan metode Interpretasi, komparasi, Kesinambungan historis. Kemudian diadakan perumusan kesimpulan dengan menggunakan metode deduksi. Dari penelitian ini, ditemukan beberapa hal. Bahwa, yang pertama tentang konsep wahdatul wujud Hamzah Fansuri yaitu Hakekat Wujud, bahwa wujud hanya satu yaitu Allah SWT. Kemudian, tentang Eka dalam Keanekaannya, bahwa wujud bukan hanya mencakup kesatuannya melainkan keanekaannya. Meskipun wujud (Tuhan) adalah satu, Ia menampakkan diri (tajalli) dalam banyak bentuk yang tidak terbatas pada alam, yang tak lain dari manifestasi sifat-sifat atau butir-butir ide dalam pengetahuan Tuhan, semacam ekspresi lahiriah sifat-sifat Tuhan, dan yang terahir tentang Penciptaan Alam, bahwa alam tercipta dari yang tidak ada menjadi ada. Alam bersifat qadim yang diciptakan melalui proses tajalli, yaitu manifestasi diri yang abadi dan tampak akhir.Kedua tentang pengaruh konsep wahdatul wujud terhadap muridnya, yang mengakibatkan terjadinya sebuah tragedi di Aceh, yakni pembakaran karya-karya mistis Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Pasai yang memuat ajaran wahdatul wujud, oleh Nuruddin al-Raniry dan para pengikutnya, diadakan pengejaran dan pembunuhan terhadap murid Hamzah Fansuri yang tidak mau meninggalkan wahdatul wujud. Kaum Muslimin sepakat menganggap murid Hamzah Fansuri kafir dan mesti diperangi, sehingga Ar-Raniri berinisiatif untuk mengumpulkan 40 orang ulama besar pada waktu itu untuk membahas ajaran Hamzah Fansuri tentang wahdatul wujud.
HAL IHWAL WAHDATUL WUJUD
Tidak ada terminologi paling kontroversial selain wahdat al-wujud sepanjang sejarah peradaban dan pemikiran Islam. Kecaman demi kecaman oleh para ulama yang menentang doktrin ini, datang bertubi-tubi ditujukan langsung kepada mereka para sufi, maupun kepada karya-karyanya. Sementara bagi yang pro, mencoba untuk menelusuri, klarifikasi seraya hendak membuktikan, benarkah konsep wahdat al-wujud seburuk citra yang dibangun oleh sebagian ulama?
Sungguh tidaklah mudah memahami, apalagi mengimplementasikan konsep yang umumnya dikenal dalam kajian tasawuf tersebut. Alih-alih mempelajari, sekadar berniat membuka lembaran-lembaran “kumel” dan lapuk pada kitab klasik ajaran kaum sufi yang membahas konsep wahdat al-wujud secara eksplisit maupun implisit saja, banyak para ulama, fuqaha’, termasuk juga teolog, telah lebih dulu memasang peringatan keras: ini daerah atau kawasan berbahaya!.
Ada semacam kekhawatiran untuk tidak mengatakan ketakutan sebagian agamawan kita dalam memperkenalkan paham wahdat al-wujud kepada masyarakat, baik di lingkungan pendidikan agama, seperti pesantren, maupuan di halaqah atau pertemuan-pertemuan keagamaan yang lazim terselenggara atas jalinan baik seorang kiai/ustadz dengan jema’ahnya. Kalaupun tersampaikan, yang terjadi malah pendistorsian besar-besaran terhadap paham itu. Tidak ada sedikitpun kebaikan, yang ada sebaliknya, wahdat al-wujud sepenuhnya buruk, bahaya, maka perlu dihindari. Benarkah demikian? Bagaimana sebenarnya konsep wahdat al-wujud?
Banyak orang beranggapan kalau doktrin wahdat al-wujud berasal dari atau diciptakan oleh tokoh sufi kontroversial dari Andalusia, Ibn ‘Arabi. Pendapat ini terus bertahan lama, bahkan mungkin hingga saat sekarang. Namun belakangan tersiar kabar, bahwa berdasarkan penyelidikan yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat, seperti William C. Chittick, peneliti yang sangat intens mengkaji karya-karya Ibn ‘Arabi, ternyata tidak pernah ditemukan istilah teknis wahdat al-wujud dalam karya sufi yang dijuluki syaikh akbar itu. Lalu siapakah dan dari manakah istilah tersebut berasal?
Menurut Kautsar Azhari Noer (1995), meskipun doktrin wahdat al-wujud dihubungakan dengan Ibn ‘Arabi, doktrin yang kira-kira sama atau senada dengannya telah diajarkan beberapa sufi jauh sebelum Ibn ‘Arabi. Ma’ruf al-Karkhi (200/815), seorang sufi terkenal di Banghdad yang hidup empat abad sebelum Ibn ‘Arabi, dianggap pertama kali mengungkapkan syahadat dengan kata-kata: “Tiada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah”. Abu Abbas Qassab (hidup pada abad ke-4/ke-10) mengungkapkan kata-kata senada: “Tiada sesuatu pun dalam dua dunia kecuali Tuhaku. Segala sesuatu yang ada (maujudat), segala sesuatu selain wujud-Nya, adalah tiada (ma’dum)”.
Khwaja ‘Abdallah Ansari (481/1089) menyatakan bahwa “tawhid orang-orang terpilih” adalah doktrin “Tiada sesuatu pun selain Dia (laysa ghayrahu ahad)”. Jika ia diajukan pertanyaan: “Apa tawhid itu?”, ia menjawab: “Tuhan, dan tidak ada yang lain: Yang lain adalah kebodohan (hawas)”. Selain itu, lanjut Kautsar, sufi lain sebelum Ibn ‘Arabi yang lebih kurang mengemukakan pernyataan-pernyataan yang dianggap mengandung doktrin wahdat al-wujud ialah Abu Hamid al-Ghazali (505/1111) dalam Misykat al-Anwar dan Ihya’ ‘Ulum al-Din, termasuk juga saudaranya Ahmad al-Ghazali (520/1126) dan ‘Ayn al-Qudat Hamadani (526/1132).
Dari sana, tampaklah jelas kalau Ibn ‘Arabi bukan pencetus pertama atas penggunaan istilah wahdat al-wujud. Ia mungkin dianggap sebagai pendiri doktrin wahdat al-wujud lantaran ajaran-ajarannya memang mengandung ide dan konsep wahdat al-wujud. Misalnya, di dalam lembaran karya monumentalnya, Futuhat al-Makkiyah dikatakan: “Tiada yang tampak dalam wujud melalui wujud kecuali al-Haqq, karena wujud adalah al-Haqq, dan Dia adalah satu”; “Wujud bukan lain dari al-Haqq karena tidak ada sesuatu pun dalam wujud selain Dia”; “Entitas wujud adalah satu, tetapi hukum-hukumnya beraneka”.
Dalam tulisannya yang lain, Risalah fi al-Walayah, Ibn ‘Arabi menurut Claude Addas (1989), menjelaskan alasannya mengapa ia menggunakan sejumlah ungkapan yang rentan disalahpahami pembaca, seperti “qala li al-haqq” (Allah berkata kepadaku), “qultu lahu” (aku berkata kepada-Nya), atau “asyhadani al-haqq” (Allah menjadi saksi atasku). Ibn ‘Arabi memberikan penjelasan memadai, bahwa dalam mengungkapkan dirinya dengan cara ini, ia hanya mengikuti para pendahulunya seperti penulis Kitab al-Mawaqif, al-Niffari (354/965).
Membaca risalah al-Niffari itu sungguh membuat jantung berdetak kencang, karena dalam setiap bait tulisannya diikuti oleh ungkapan-ungkapan tersebut di atas, layaknya hadis qudsi, firman Tuhan yang dilembagakan dalam sebuah hadis shahih. Di samping itu, dengan mengikuti para pendahulunya, semakin menguatkan anggapan bahwa Ibn ‘Arabi memang bukan peletak dasar ide wahdat al-wujud.
Yang mengherankan, jikalau banyak orang beranggapan wahdat al-wujud sebagai puncak pengalaman mistik bagi seorang sufi, tapi dalam pandangan Farghani, adalah taraf terendah di antara tiga taraf perkembangan spiritual yang dilalui oleh salik (pejalan spiritual). Kontemplasi tentang katsar al-‘ilm adalah taraf kedua. Pemaduan wahdat al-wujud dan katsar al-‘ilm adalah taraf tertinggi (Noer, 1995).
ISTILAH WAHDAT AL-WUJUD
Penggunaan konsep atau istilah wahdat al-wujud secara teknis sebenarnya dipopulerkan oleh murid dan generasi setelah Ibn ‘Arabi. Sadr al-Din al-Qunawi (673/1274), Mu’ayyid al-Din Jandi (690/1291), Said al-Din Farghani (700/1301), Ibn Sabi’in, Awhad al-Din Balyani (686/1288) adalah tokoh-tokoh penting yang menyebarkan pemikiran Ibn ‘Arabi dan menyebarkan paham wahdat al-wujud-nya.
Dalam perkembangan selanjutnya, Wahdatul Wujud malah dipopulerkan oleh pengecamnya yang paling keras, Taqiuddin Ibni Taimiyah (728/1328). Ibnu Tamiyah menerapkan Wahdatul Wujud untuk menujukkan istilah lain terhadap kedudukan kaum penganut ittihad (penyatuan). Bahkan, dua karyanya diberi judul yang langsung “tunjung hidung”: Ibtal wahdat al-wujud dan Risalah ila man sa’alahu ‘an haqiqat madzhab al-ittihadiyyah ay al-qa’ilin bi-wahdat al-wujud. Ibn Taymiyyah menyamakan wahdat al-wujud dengan istilah ittihad, hulul (inkarnasionisme), dan dianggap bid’ah (kesesatan yang mengada-ada dalam agama).
Di salah satu karyanya yang banyak dibaca orang, Majmu’at al-Rasa’il wa al-Masa’il, Ibn Taymiyyah menarik kesimpulan tegas kalau wahdat al-wujud adalah penyamaan antara Tuhan dengan alam, yang dalam istilah modern sinonim dengan “panteisme”. Kata Ibn Taymiyyah: “Orang-orang yang berpegang pada wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud adalah satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh Sang Pencipta adalah sama dengan wujud kemungkinan yang dimiliki makhluk”.
Menurut penilaian Kautsar, pandangan Ibn Taymiyyah tersebut sebenarnya jauh dari apa yang dimaksud oleh Ibn ‘Arabi sebagai penganut ajaran wahdat al-wujud. Ibn Taymiyyah melihat hanya aspek tasybih (ketakdapatdibandingkan) dalam ajaran Ibn ‘Arabi. Ia tidak melihat pada aspek tanzih (kemiripan) dalam ajaran yang sama. Padahal kedua aspek ini berpadu menjadi satu dalam ajaran Ibn ‘Arabi, sebagaimana konsep al-batin (Yang Tak Tampak) dan al-dzahir (Yang Tampak).
Karena itu, Ibn Taymiyyah-lah yang menjadi “biang keladi” rusaknya konsep wahdat al-wujud. Tidak hanya terhadap bangunan struktur pemikiran Ibn ‘Arabi, Ibn Taymiyyah juga menyerang kaum sufi lain yang gagasan-gagasannya sejalan dengan Ibn ‘Arabi, seperti al-Hallaj dengan ungkapannya yang terkenal “Ana al-Haqq”. Entah suatu kebetulan atau memang merupakan “karma”, Ibn Taymiyyah menurut sumber tertentu dikatakan, saat sekarat menjemputnya, ia sempat mengungkapkan kata-kata yang sama dengan ungkapan al-Hallaj, Ana al-Haqq (Yunasril Ali, 2002). Mungkin hanya Tuhanlah yang tahu maksud yang sebenarnya.
Ibn ‘Arabi berulangkali mengatakan dan meyakinkan bahwa satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan, tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apapun selain Tuhan tidak mempunyai wujud. Secara logis dapat diambil kesimpulan, kata wujud tidak dapat diberikan kepada segala sesuatu selain Tuhan (ma siwa Allah), alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Namun demikian, Ibn ‘Arabi memakai pula kata wujud untuk menunjukkan segala sesuatu selain Tuhan. Tetapi ia menggunakannya dalam pengertian metaforis (majaz) agar tetap mempertahankan bahwa wujud hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam, pada hakikatnya adalah wujud Tuhan yang dipinjamkan kepadanya (selain diri-Nya).
Maka tak heran, doktrin yang begitu memukau tersebut bila salah dipahami oleh masyarakat awam akan menimbulkan gejolak dan keresahan, seperti yang terjadi pada Syekh Siti Jenar. Sebagaimna jamak diketahui, Jenar pada masanya sempat menggerkan kerajaan Islam Demak lewat ungkapannya yang terkenal: “Manuggaling kaula lan Gusti”, yang pada akhirnya dihukum pancung oleh Wali Sanga.
Jadi, sampai di sini, wahdatul wujud dapat dikatakan sebagai bentuk pendekatan kaum sufi dalam mengekspresikan tauhid kepada Sang Khaliq. Belajar dari pandangan Ibn ‘Arabi, kita semua dalam istilahnya merupakan “Huwa la Huwa” (Dia tapi bukan Dia). Tuhan memanifestasikan Dirinya dalam bentuk-bentuk yang berupa Dia dan sekaligus berbeda dengan Dia, karena Dia terbatasi namun tanpa batas, kasat mata yang tak terlihat.
Dari sanalah, mestinya kita berbangga hati, karena lewat ajaran itu, sungguh mengangkat sekaligus memuliakan derajat manusia sebagai “titisan-Nya”. Ya, makna Huwa la Huwa adalah kita adalah Tuhan, tapi bukan yang sebenarnya Tuhan. Segala kemuliaan-Nya ada dalam diri setiap manusia.
WASPADA FAHAM SESAT WAHDATUL WUJUD
Diantara paham tasawuf yang sesat dan menyesatkan adalah akidah wahdatul-wujud, yang biasanya diistilahkan dengan manuggaling kawulo lan Gusti, yaitu bersatunya Tuhan dengan hamba.
Sungguh, ini adalah sebuah kaidah yang bertentangan seratus persen dengan pokok-pokok ajaran Islam, bahkan menghancurkan persendiannya baik dalam aqidah, ibadah, akhlak, dan sebagainya.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Bangkit membantah mereka (ahli wahdatul-wujud) merupakan kewajiban yang sangat utama, sebab mereka adalah perusak akal dan agama manusia, mereka membuat kerusakan di muka bumi, dan menghalangi dari jalan Allah. Bahkan mereka terhadap Agama melebihi para penjajah dunia seperti perampok dan pasukan Tatar yang hanya merampas harta tanpa merusak agama.”
Di antara pengibar bendera paham sesat ini adalah beberapa tokoh zaman dahulu seperti Ibnu Arabi, al-Hallaj, Ibnu Faridh, Ibnu Sab’in, dan sebagainya. Adapun pengibar benderanya di Indonesia; di Jawa: Syaikh Siti Jenar, di Sumatra: Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, di Sulawesi dan Kalimantan: Yusuf al-Maqossari dan Muhammad Nafis al-Banjari. Akhir-akhir ini ada yang berusaha membungkus pemahaman sesat ini dengan baju sains dalam bukunya “Bersatu dengan Allah”. Kita tambahkan pula, para propaganda pluralisme dari Jaringan Islam Liberal.
Terkait paham wahdatul wujud ini, Imam al-Ajurri tatkala mengatakan, “Sesungguhnya aku memperingatkan saudara-saudaraku kaum mukminin untuk berhati-hati dari pemahaman hululiyyah (Allah menyatu dengan makhluk-Nya). Setan telah mempermainkan penganut pemahaman ini sehingga dengan pemahaman yang jelek ini mereka menyimpang keluar dari rel para ulama menuju kepada pemahaman-pemahaman yang keji, yang tidak dianut kecuali oleh orang yang terfitnah dan binasa.
“Perkataan mereka tidak sesuai dengan Al-Qur’an, as-Sunnah, perkataan para sahabat, maupun perkataan para imam kaum muslimin.”
Sesungguhnya akidah kufur dan sesat ini sangat rusak dan memiliki banyak dampak negatif dalam berbagai sektor, baik masalah tauhid, akhlak, ibadah, dan sebagainya.
Salah satu kerusakan paham sesat ini adalah munculnya paham bahwa seorang apabila telah sampai pada tingkatan tertentu maka gugurlah hukum taklif baginya karena dia merasa telah bersatu dengan Allah. Paham tasawuf ini sangat bertentangan dengan Islam. Allah berfirman, “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) sholat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” (QS. Maryan: 31)
Dalam ayat yang mulia terdapat bantahan yang sangat jelas sekali terhadap paham ahli khurofat yang menggugurkan taklif apabila telah sampai pada tingkatan tertentu, karena Nabi Isa as menggantungkan kewajiban ibadah dengan selama hidupnya. Paham ini juga bertentangan dengan firman Allah, “Dan sembahlah Robbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 99)
Makna yaqin dalam ayat ini adalah kematian dengan kesepakatan para ulama. Barang siapa yang menafsirkan dengan tingkatan tertentu sebagaimana dalam istilah kaum sufi maka dia melakukan kedustaan yang amat besar dan mempermainkan ayat Allah.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Penafsiran ini salah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, ahli tafsir dan lainnya, karena semua kaum muslimin bersepakat tentang wajbnya ibadah seperti sholat lima waktu sekalipun seorang telah mencapai tingkatan yang tinggi.”
Al-Qodhi Iyadh berkata, “Kaum muslimin bersepakat tentang kafirnya seorang yang mendustakan atau mengingkari suatu syariat yang diketahui secara mutawatir dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan disepakati oleh para ulama, seperti ucapan sebagian kaum sufi bahwa seorang yang lama beribadah dan jernih hatinya akan bisa gugur dari kewajiban dan boleh melakukan keharaman.”
Sebagai penutup, alangkah bagusnya apa yang diceritakan bahwa Abu Rudhabari pernah ditanya tentang seorang yang mendengar nyanyian dengan alasan “Nyanyian halal bagiku, karena saya telah sampai kepada derajat yang tidak mungkin ada perubahan.” Maka beliau menjawab dengan enteng, “Benar, dia telah sampai, tetapi ke Neraka Saqor!”