GALIH KANGKUNG
Falsafah Jawa Golekono Galihing Kangkung makna yang sama bahwa semua itu berawal dari kosong dan akan menjadi kosong pula, begitu juga manusia, dulu kita gak pernah ada karena kita masih dialam Suwung kemudian kita dilahirkan besar dewasa dan mati kita akan kembali ke alam Suwung itu sendiri.
Karena pada saat kita bertanya siapa Tuhan itu ?
Jawabannya adalah Tuhan adalah kekosongan itu sendiri, padahal dalam kekosongan itu Tuhan berkarya dalam menciptakan segalanya.
Dalam filosofi Jawa Golekono Galih Kangkung menjabarkan makna bahwa semua itu berawal dari kosong dan akan menjadi kosong pula. Begitu juga manusia, dulu kita tidak pernah ada karena kita masih di alam Suwung kemudian kita dilahirkan besar dewasa dan mati kita akan kembali ke alam Suwung itu sendiri.
Sebenarnya bukanlah, Ngoleki Susuhing Angin. Angin dalam hal ini adalah symbol dari roh. Maka mencari sarang angin adalah mencari Ngoleki Galihing Kangkung. Sebuah upaya untuk sampai pada sebuah suasana. tempat bersemayamnya angin adalah mencari tempat persemayaman Tuhan. Tempat persemayaman roh hanya bisa digapai ketika kita mau masuk dan slulup (menyelam) ke dalam roh kita sendiri.
Ngoleki Tapaking Kuntul.
Mencari jejak bangau yang sedang terbang, secara harafiah hal itu tidak mungkin bisa kita ketemukan. Telapak bangau itu ada pada bangau itu sendiri. Mencari jejak-jejak Tuhan, bukti-bukti akan Tuhan, hanya akan sampai pada kemustahilan untuk bisa memahami keseluruhan akan Tuhan, karena jejak itu ada pada Tuhan sendiri.
Seperti halnya apa yang tertulis dalam kitab kitab jawa kuno atau pesan para sesepuh dahulu bahwa Manunggaling Kawulo Gusti hanya akan dapat terwujud dalam manunggaling Cipta, Rasa, dan Karsa demikian juga manusia yang Mulia pasti akan mengalami atau mendapati masa transisi dimana kebingungan hati dan terbenturnya sebuah Pikiran atau Logika.
MAKNA SANEPAN JAWA
1. Makna Sanepan Golekana Tapak e Kuntul Mabur.
Kuntul atau bangau jika terbang maka akan sulit untuk melihat tapak kakinya, bahkan mungkin tak bisa sama sekali. Sanepan ini berarti menyuruh orang untuk melakukan hal yang mustahil dilakukan.
2. Makna Sanepan Golekana Kayu Gung Susuhing Angin.
Sejatinya, makna kata Kayu berarti karep atau keinginan. Gung berarti besar. Sedangkan Susuhing Angin adalah nafas manusia. Kalau sanepan itu dirangkum, maka memiliki arti yang bermakna: Keinginan yang kuat atau besar hanya bisa terkabul jika mampu menguasai nafas.
3. Makna Sanepan Golekana Galihing Kangkung.
Sanepan ini berarti kita harus mencari apa inti atau tengah tengah (hati) dari tanaman kangkung. Padahal seperti yang kita tahu bahwa tanaman kangkung itu sendiri pada saat kita belah menjadi dua maka kita akan melihat bahwa sama sekali tiada tengahnya, yang ada adalah rongga kosong seperti bilah bambu yang kita pecah/belah menjadi dua.
Selanjutnya makna kata kata diatas, karena kita tahu tidak ada isi ditengah-tengah batang tanaman kangkung itu sendiri.
MENCARI GUSTI ALLAH LEWAT SANEPAN
Kehifupan spiritual orang Jawa tidak terlepas dari Sanepan (perumpamaan). Namun dalam sanepan tersebut terdapat makna-makna yang dalam yang umumnya disamarkan sehingga tidak mudah untuk dimengerti oleh masyarakat secara umum.
Biasanya untuk memahami keberadaan Gusti Allah, orang Jawa akan menggunakan sanepan untuk menyamarkan pesan yang akan disampaikan sehingga tidak akan tampak vulgar.
Ada beberapa sanepan yang perlu diketahui oleh para pendaki spiritual guna memahami Gusti Allah. Sanepan-sanepan itu antara lain :
1. Golekana Tapak-e Kuntul Mabur.
Kuntul atau bangau jika terbang maka akan sulit untuk melihat tapak kakinya. Hal itu sejatinya mengesankan bahwa Gusti Allah itu ada namun kita tidak bisa melihatnya. Begitulah orang Jawa begitu halus membungkus keberadaan Gusti Allah dan tidak menerangkannya secara gamblang.
2. Golekana Kayu Gung Susuhing Angin.
Sejatinya, makna kata Kayu berarti 'karep' atau keinginan. 'Gung' berarti besar. Sedangkan Susuhing Angin adalah nafas manusia. Kalau sanepan itu dirangkum, maka memiliki arti yang bermakna: Keinginan yang kuat atau besar hanya bisa terkabul jika mampu menguasai nafas.
3. Golekana Galihing Kangkung.
Dalam arti biasa ini berarti kita harus mencari apa inti atau tengah tengah dari sebuah tanaman kangkung, padahal seperti yang kita tahu bahwa tanaman kangkung itu sendiri pada saat kita belah menjadi dua maka kita akan melihat bahwa sama sekali tiada tengahnya, yang ada adalah rongga kosong seperti bilah bambu yang kita pecah/belah menjadi dua.
Selanjutnya makna kata kata diatas? Karena kita tau tidak ada isi ditengah-tengah batang tanaman kangkung itu sendiri.
Dalam filosofi Jawa Golekono Galihing Kangkung memuat makna bahwa semua itu berawal dari kosong dan akan menjadi kosong pula, begitu juga manusia, dulu kita gak pernah ada karena kita masih di alam Suwung kemudian kita dilahirkan besar dewasa dan mati kita akan kembali ke alam Suwung itu sendiri.
Karena pada saat timbul pertanyaan siapa Gusti Allah itu ? Jawabnya Gusti Allah adalah kekosongan itu sendiri, padahal dalam kekosongan itu Gusti Allah berkarya dalam menciptakan segalanya.
WIRID SALOKA JATI (Memahami Jati Diri).
Wirid Saloka Jati digelar sebagai upaya para leluhur bangsa kita untuk menjabarkan keadaan jati diri kita. Sebagaimana kebiasaan leluhur nenek moyang kita, dengan tujuan agar supaya kawruh lan ngelmu lebih mudah dipahami para generasi penerus bangsa maka digunakanlah sanepa, saloka, kiasan, perumpamaan, dan perlambang. Dalam acara ritual atau upacara tradisi, perlambang, saloka, dan sanepa ini diwujudkan ke dalam ubo rampe atau syarat-syarat yang terdapat dalam sesaji.
Serat ini menggelar arti dari kalimat kiasan (saloka), yakni perumpamaan mengenai suatu makna yang dimanifestasikan dalam bentuk peribahasa. Mulai dari eksistensi yang dicipta yang mencipta, eksistensi jiwa, sukma, hingga eksistensi akal budi. Yang akan meneguhkan keyakinan kepada Gusti Pengeran (Tuhan Yang Mahamulia). Peribahasa dalam terminologi Jawa sebagai pasemon atau kiasan. Kiasan diciptakan sebagai pisau analisa, di samping memberi kemudahan pemahaman akan suatu makna yang sangat dalam, rumit dicerna dan sulit dibayangkan dengan imajinasi akal-budi.
Berikut ini saloka yang paling sering digunakan dalam berbagai wacana falsafah Kejawen :
1. Gigiring Punglu, Gigiring mimis.
Merupakan perumpamaan akan ke-elokan Zat Tuhan. Yakni perumpamaan hidup kita, tanpa titik kiblat dan tanpa tempat, hanya berada di dalam hidup kita pribadi.
2. Tambining Pucang.
Menunjukkan ke-elokan Zat Tuhan, ke-ada-an Tuhan itu dibahasakan bukan laki-laki bukan perempuan atau kedua-duanya. Dan bukan apa-apa, seperti apa sifat sebenarnya, terproyeksikan dalam sifat sejatinya hidup kita pribadi.
Wekasaning Langit; batas langit ; umpama batas jangkauan pancaran cahaya. Yakni pancaran cahaya kita. Sedangkan tiadanya batas jangkauan cahaya, menggambarkan keadaan sifat kita.
3. Wekasaning Samodra tanpa tepi, berakhirnya samodra tiada bertepi.
Maksudnya ibarat batas akhir daya jangkauan rahsa atau rasa (sirr). Mengalir sampai ke dalam sejatinya warna kita.
4. Galihing Kangkung.
Galih adalah bagian kayu yang keras atau intisari di dalam pohon) galihnya pohon kangkung (kosong), maksudnya, perumpamaan ke-ada-an sukma, yang merasuk ke dalam jasad kita. Ada namun tiada.
5. Latu sakonang angasataken samodra, bara api setungku membuat surut air samodra.
Menggambarkan keluarnya nafsu yang bersinggasana di dalam pancaindra, dapat membuat sirna segala kebaikan.
6. Peksi miber angungkuli langit, burung terbang melampaui langit.
Menggambarkan kekuatan akal budi kita yang bersemayam di dalam penguasaan nafsu, namun sesungguhnya akal budi mampu mengalahkan nafsu.
7. Baita amot samodra.
Perahu memuat samodra, baita atau perahu kiasan untuk badan kita, sedangkan samodra merupakan kiasan untuk hati kita. Secara fisik hati berada di dalam jasad. Tetapi secara substansi jasad lah yang lebih kecil dari hati.
8. Angin katarik ing baita.
Angin ditarik oleh perahu. Menggambarkan pemberhentian nafas kita dalam jasad, sedangkan keluarnya nafas dari dalam jasad kita pula. Dalam jagad besar, prinsip fisika merumuskan angin lah yang menarik atau mendorong perahu. Sebaliknya dalam jagad kecil, rumus biologis maka badan lan yang menarik angin. Ini menggambarkan prinsip imbal balik jagad besar dan jagad kecil.
9. Susuhing angin.
Sarangnya angin. Menggambarkan terminal sirkulasi nafas kita berada dalam jantung.
10. Bumi kapethak ing salebeting siti.
Bumi ditanam di dalam tanah. Menggambarkan asal muasal jasad kita berasal dari tanah, kelak pasti akan kembali (terkubur) menjadi tanah.
11. Mendhet latu adadamar (mengambil bara sambil membawa api), atau latu wonten salebeting latu (bara di dalam bara); atau latu binesmi ing latu (bara terbakar oleh bara), menggambarkan badan kita berasal dari bara api, selalu mengeluarkan api, keadaan untuk menggambarkan sumber dan keluarnya hawa nafsu kita.
12. Barat katiup angin; atau angin anginte prahara; angin tertiup angin. menggambarkan wahana yang menghidupkan badan kita berasal dari udara, selalu mengeluarkan udara, yakni nafas kita.
13. Tirta kinum ing toya (air tertelan oleh air), atau ngangsu rembatan toya (menimba dengan air); atau toya salebeting toya (air di dalam air); menggambarkan badan kita berasal dari air, selalu dialiri dan mengalirkan air, maksudnya darah kita.
14. Srengenge pinepe, atau kaca angemu srengenge; matahari terjemur, kaca mengandung matahari; artinya bahwa adanya cahaya karena sinar dari sang surya. Surya itu sendiri berada di dalam cahaya. Hal ini menggambarkan keadaan indera mata atau netra kita ; mata itu seperti matahari, namun mata dapat melihat karena selalu disinari oleh sang surya.
15. Wiji wonten salabeting wit (biji berada dalam pohon); dan wit wonten salebeting wiji (pohon berada di dalam biji) ; dinamakan pula “peleburan papan tulis”. Menggambarkan keadaan bahwa ZAT Tuhan berada dalam wahana makhluk, dan makhluk berada dalam wahana Tuhan (Jumbuhing kawula-Gusti).
16. Kakang barep adhine wuragil ; kakaknya sulung, adiknya bungsu. Menggambarkan martabat insan kamil, keadaan sejatinya diri kita. Hakekat kehidupan kita sebagai akhiran dan sekaligus sebagai awalan. Pada saat manusia lahir dari rahim ibu merupakan awal kehidupannya di dunia, sekaligus akhir dari sebuah proses triwikrama atau tiga kali menitisnya Dewa Wisnu menjadi manusia melewati 4 zaman :
- Kertayuga.
- Tirtayuga.
- Dwaparayuga.
- Kaliyuga/mercapadha/bumi.
Sedangkan ajal, merupakan akhir dari kehidupan (dunia), namun ajal merupakan awal dari kehidupan baru yang sejati, azali abadi.
17. Busana kencana retna boten boseni, atau busana wrasta tanpa seret. Gambaran jasad yang dibungkus kulit sebagai “busana”. Kita tidak pernah bosan biarpun tidak pernah ganti “busana” atau kulit kita. Kulit merupakan “busana” pelindung dari tubuh kita.
18. Tugu manik ing samodra ; menggambarkan daya cipta yang terus menerus berporos hingga pelupuk mata. Daya cipta akal budi manusia jangkauannya umpama luasnya samodra namun konsentrasinya terfokus pada mata batin.
19. Sawanganing samodra retna; pemandangan intan samodra. Menggambarkan pintu pembuka kepada keadaan Tuhan. Tabir pembuka hakekat Zat. Yakni “babahan hawa sanga” atau sembilan titik yang terdapat di dalam diri manusia sebagai penghubung kepada Zat Maha Kuasa. Disebut juga kori selamatangkeb; melar-mingkupnya maras atau membuka-menutupnya mulut).
20. Samodra winotan kilat ; samodra berjembatan kilat. Dalam Islam disebut jembatan “siratal mustaqim”. Menggambarkan pesatnya yatma sampai pada ngabyantaraning Hyang Widhi. Adapula yang mengartikan “jembatan kilat”, sebagai perlambang keluarnya ucapan mulut manusia.
21. Bale tawang gantungan ; rumah atau tempatnya langit bergantung. Dalam terminologi Islam disebut arsy atau aras kursi atau kursi kekuasaan Tuhan. Namun bukan dibayangkan sebagai singgasana yang diduduki Tuhan bertempat di atas langit (ke 7), imajinasi demikian justru memberhalakan Tuhan sebagaimana makhlukNya saja. Dalam konteks ini, aras atau tawang gantungan adalah perumpamaan kekuasaan, yang menjadi “wajah” Tuhan. Hakekatnya sebagai “balai sidang” Zat, keberadaannya di dalam kepala dan dada. Sedangkan kursi, atau dilambangkan bale, merupakan perumpamaan singgasana (palenggahan) Zat. Letaknya ada di otak dan jantung. Singkatnya, kepala dan dada sebagai tawang gantungan, sedangkan otak dan jantung sebagai bale-nya.
22. Wiji tuwuh ing sela; biji tumbuh di atas batu. Dalam termonologi Islam diistilahkan laufhulmahfudz loh-kalam. Loh/laufhul itu artinya papan atau tempat, sedangkan al makhfudz berarti dijaga/kareksa. Maknanya adalah tempat yang selalu dijaga Tuhann. Yakni hakekat dari “sifat” Zat yang terletak di dalam jasad yang selalu dijaga “malaikat” Kariban. Malaikat merupakan perlambang dari nur suci (nurullah) atau cahyo sejati. Cahyo sejati menjadi pelita bagi rasa sejati atau sirr. Sedangkan loh-kalam artinya bayangan atau angan-angan Zat letaknya di dalam budi, tumbuhnya angan-angan, dijaga oleh malaikat Katiban. Malaikat katiban adalah pralambang dari sukma sejati yang selalu menjaga budi agar tidak mengikuti nafsu.
23. Tengahing arah; titik tengahnya arah. Ibarat mijan atau traju. Yakni ujung dari sebuah senjata tajam. Menggambarkan hakekat dari neraca (alat penimbang) Zat. Traju terletak pada instrumen pancaindra yakni; netra (penglihatan), telinga (pendengaran), hidung (pembauan), lidah dan kulit (perasa). Dalam pewayangan dilambangkan sebagai Pendawa Lima; Yudhistira, Bima/Werkudara, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Makna untuk menggambarkan panimbang (alat penimbang) hidup kita yang berada pada pancaindra.
24. Katingal pisah ; terkesan pisah. Menggambarkan keadaan antara Zat (Pencipta) dengan sifatnya (makhluk) seolah-olah terpisah. Sejatinya antara Zat dengan sifat tak dapat dipisahkan. Sebab biji dapat tumbuh tanpa cangkok. Sebaliknya cangkok tidak tumbuh bila tanpa biji. Biji menggambarkan eksistensi Tuhan, sedangkan cangkok menggambarkan eksistensi manusia. Kiasan ini menggambarkan hubungan antara kawula dengan Gusti. Walaupun seolah eksis sendiri-sendiri, namun sesungguhnya manunggal tak terpisahkan dalam pengertian “dwi tunggal” (loroning atunggil).
25. Katingal boten pisah; tampak tidak terpisah. Menggambarkan solah dan bawa. Solah adalah gerak-gerik badan. Bawa atau krenteg adalah gerak-gerik batin. Solah dan bawa tampak seolah tidak terpisah, namun keduanya tergantung rasa. Solah merupakan rahsaning karep (nafsu/jasad), sedangkan bawa merupakan kareping rahsa (pancaran Zat sebagai rasa sejati). Keduanya dapat berjalan sendiri-sendiri. Namun demikian idealnya adalah Solah harus mengikuti Bawa.
26. Katingal tunggal ; tampak satu. Menggambarkan zat pramana (mata batin), dengan sifatnya yakni netra (mata wadag) tidaklah berbeda. Artinya, penglihatan mata wadag dipengaruhi oleh mata batin.
27. Medhal katingal ; Menggambarkan keluarnya sifat hakekat (Tuhan) ke dalam zat sifat (makhluk), yakni ditandai dengan ucapan lisan menimbulkan suara.
28. Katingal amedhalaken ; menggambarkan keluarnya nafas. Sedangkan kenyataannya menghirup atau memasukkan udara, yang seolah-olah mengeluarkan.
29. Menawi pejah mboten kenging risak ; bila mati tidak boleh rusak. Ibarat sukma dengan raga. Bila raga rusak, sukmanya tetap abadi. Dalam terminologi Islam disebut alif muttakallimun wakhid. Sifat yang berbicara sepatah tanpa lisan. Berupa kesejatian yang berada dalam sukma, yakni roh kita sendiri.
30. Menawi karisak mboten saget pejah ; bila dirusak tidak bisa mati. Perumpamaan untuk hubungan nafsu dan rasa. Walaupun nafsu dapat kita dikendalikan, namun rasa secara alamiah tidak dapat disirnakan. Karena rasa dalam cipta masih terasa, terletak dalam rahsa/sirr kita pribadi. Berhasil menahan nafsu dapat diukur dari perbuatannya; raganya tidak melakukan pemenuhan nafsu, tetapi rasa ingin memenuhi kenikmatan jasad tetap masih ada di dalam hati. Saloka ini untuk memberi warning agar kita waspadha dalam “berjihad” melawan nafsu diri pribadi. Karena kesucian sejati baru dapat diraih apabila keingingan jasad (rahsaning karep) sudah sirna berganti keinginan rahsa sejati (kareping rahsa).
31. Sukalila tega ing pejah ; sukarela dan tega untuk mati. Menggambarkan orang mau mati, dengan menjalani tiga perkara; pertama, sikap senang seperti merasa akan mendapat kegembiraan di alam kasampurnan. Kedua, rela untuk meninggalkan semua harta bendanya dan barang berharga. Ketiga, setelah tega meninggalkan semua yang dicinta, disayang dan segala yang memuaskan nafsu dan keinginan, semuanya ditinggal. Mati di sini berarti secara lugas maupun arti kiasan. Orang yang berhasil meredam hawa nafsu dan meraih kesucian sejati hakekatnya orang hidup dalam kematian. Sebaliknya orang yang selalu diperbudak nafsu hakekatnya orang yang sudah mati dalam hidupnya. Yakni kematian nur atau cahaya sejati.
Semua yang disebut; besar, luas, tinggi, panjang, lebih, ialah bahasa yang digunakan untuk mengumpamakan keadaan Tuhan. Sebaliknya, semua yang disebut kecil, sempit, rendah, pendek, kurang, dan seterusnya ialah bahasa yang dugunakan untuk menggambarkan sifat yakni wujudnya kawula (manusia).
CANGKRIMAN
Gambaran menyeluruh namun ringkas mengenai keadaan Zat-sifat (kawula-Gusti) sebagaimana cangkriman berikut ini;
Bothok banteng winungkus ing godhong asem kabiting alu bengkong
Bothok : sejenis pepesan untuk lauk, terdiri dari parutan kelapa, bumbu-bumbu, lalu dibungkus daun pisang dan dikukus. Bothok berbeda dengan pepes atau pelas, cirikhasnya ada rasa pedas. Campurannya menentukan nama bothok, misalnya campur ikan teri, menjadi bothok teri. Lamtoro, menjadi bothok lamtoro. Udang, menjadi bothok udang. Adonan bothok lalu dibungkus dengan daun pisang. Dan digunakan potongan lidi sebagai pengunci lipatan daun pembungkus.
Dalam pribahasa ini bahan untuk membuat bothok adalah hewan banteng. Sehingga namanya menjadi bothok banteng. Dibungkus dengan daun asem jawa, yang sangat kecil/sempit. Sedangkan tusuk penguncinya menggunakan alu semacam lingga terbuat dari kayu sebagai alat tumbuk padi. Alu itu panjang dan lurus, namun alu di sini bengkok. Jadi mana mungkin digunakan sebagai bothok.
Cangkriman di atas adalah pribahasa yang menggambarkan keadaan yang tampak mustahil jika dipahami hanya menggunakan akal budi saja. Bothok banteng maknanya adalah menggambarkan adanya Zat, yang tidak lain adalah kehidupan kita pribadi. Godhong asem ; menggambarkan keadaan “sifat” yakni sebagai bingkai kehidupan kita, kenyataan dari beragamnya manusia. Alu bengkong, menggambarkan afngal semua, yakni pekerti hidup kita. Singkatnya, berdirinya hidup kita ini asisinglon warna kita, tampak dari solah dan bawa. Selain makna di atas, bothok banteng diartikan pula sebagai air mani. Godhong asem, adalah kiasan untuk per-empu-an. Alu bengkong adalah kiasan untuk purusa, yakni kemaluan laki-laki.
SANEPAN JAWA
abang dluwang = putih banget.
abot kapuk = entheng banget.
abot merang sagedheng = entheng banget.
agal glepung = lumer banget.
aji godhong garing = ora ana ajine.
amba godhong kelor = ciyut banget.
anteng kitiran = polahe ora karuan.
arang kranjang = kerep banget.
arang wulu kucing = akeh banget.
arum jamban = banger banget.
atos debog = empuk banget.
banter keyong = alon banget.
bening leri= butheg banget.
benjo tampah = bunder banget.
brintik linggis = lurus/kaku banget.
dhuwur kencur = endhek banget.
gedhe gurem = cilik banget.
kandel kulit bawang = tipis banget.
jero tapak meri = cethek banget.
kedhep tesmak = jinggleng/mentheleng.
kuning silit kwali = ireng banget.
kuru semangka = lemu banget.
landhep dhengkul = kethul banget.
legi bratawali = pait banget.
lemes pikulan = kaku banget.
lonjong mimis (layu) =nbanter banget.
pait madu = legi banget.
peret beton = lunyu banget.
resik peceren = kotor banget.
rindhik asu digithik = cepet banget.
suwe banyu sinaring = cepet banget.
suwe mijet wohing ranti = cepet banget.
GOLEKONO GALIHE KANGKUNG
Kebanyakan ajaran leluhur Jawa berupa pitutur yang bersifat sanepo atau menggunakan gaya bahasa personifikasi dan simbolis yang akan membuat siapapun berusaha untuk mencari makna tersirat yang ada di dalam pitutur dan pituduh tersebut sebagai sarana pencarian hakikat Gusti Pengeran.
Salah satu pitutur leluhur Jawa yang terkenal adalah
Gokekono Galihe Kangkung
Artinya carilah isi batang kangkung
Tidak semua pitutur leluhur Jawa bisa dipahami dengan menggunakan pikiran dan logika.
Semua orang pasti tahu isi atau bagian tengah batang kangkung adalah kosong.
Disinilah bukti kehebatan leluhur Jawa dalam memberikan edukasi intelektual sekaligus edukasi spiritual melalui Pitutur yang disampaikan dari mulut ke mulut tanpa harus ada buku atau kitab berupa kertas.
Dalam Kawruh Jowo, makna dari GOLEKONO GALIHE KANGKUNG ada 2 yaitu :
1. Semua berawal dari kosong dan akan kembali ke kosong, begitu juga manusia, dulu kita tidak ada karena masih di alam SUWUNG kemudian TUHAN (GUSTI) "nganakke" atau terlahir di dunia dan Gusti Pengeran ngulihke atau mati dan kembali ke alam Suwung lagi.
2. Kosong tidak sama dengan nol (0), makanya ada tembung atau ajaran yang bunyinya kosong tapi isi dan isi tapi kosong maknanya kosong tapi isi adalah Energi atau Urip dan maknanya isi tapi kosong adalah Energi atau Urip tidak bisa dilihat tidak bisa disentuh
Secara keseluruhan makna dari GOLEKONO GALIHE KANGKUNG adalah di dalam mencari Energi atau Urip harus melalui tahap mengosongkan diri kita untuk bisa masuk ke dalam Energi atau Urip atau Alam Suwung (kosong).
Gusti Pengeran bisa berada dimana saja karena hakikatnya Gusti Pengeran adalah Energi atau Urip yang berada di alam semesta dan di dalam diri manusia.
Kawruh Jowo untuk meningkatkan kemampuan intelektual dan mempertajam kemampuan spiritual