SING WARAS OJO NGALAH
Waras merupakan adjektiva (kata sifat), dalam arti sehat rohani (mental, ingatan).
Kata waras adalah sehat rohani (mental, ingatan). Arti lainnya dari waras adalah sembuh jasmani.
Ada berbagai tanda dari gangguan jiwa / gangguan kepribadian yang kerap kali tidak disadari saat terjadi. Padahal, pertanda ini dapat membuat pengidapnya segera memeriksakan diri dan mendapatkan diagnosis agar segera diterapi hingga diobati. Beberapa tandanya seperti rasa lelah yang konstan dan gangguan pada fisik.
Banyak orang yang hanya memperhatikan kesehatan fisiknya saja, padahal kesehatan mental juga penting untuk dijaga. Keduanya dapat mempengaruhi satu sama lain dan mempengaruhi kualitas hidup jika salah satunya bermasalah dan secara makro bisa kehilangan rasa kebangsaan dan saling toleransi antar umat. Merupakan salah satu masalah yang berhubungan dengan mental adalah gangguan jiwa.
SING WARAS NGALAH BERSIAPLAH ORANG GILA AKAN MENGUASAI
Kita perlu membuang istilah sing waras ngalah. Sebab jika yang waras ngalah, yang menang orang gila.
Dibeberapa daerah, sering terjadi adanya kegaduhan dan carut marut birokrasi pemerintahan. Dan pelakunya identik dilakukan oleh Orang hila birokrasi yang selalu menjual kebenaran tafsir hukum sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan. Kepentingan menjadi alasan orang gila birokrasi untuk melakukan hal-hal salah yang dibungkus dengan kebenaran.
Kata-kata sing waras ngalah selalu menandai suatu perdebatan yang mulai mengalami kebuntuan dan jika terus dilanjutkan akan berkepanjangan serta cenderung menjadi debat kusir. Orang-orang Waraspun akhirnya berfikiran, untuk mengalah berdebat kusir dengan orang gila dengan kata pamungkas paling logis, sing waras ngalah.
Sedang pihak-pihak birokrasi pelaksana kepentingan akan selalu menemui jalan buntu dalam perdebatan, termasuk penyajian data dan kajian dasar hukum yang digunakan tidak valid, akhirnya menggunakan cara bicara sak udheledewe seperti orang gila, hanya ingin menang dan merasa benar sendiri. Kesalahan besarpun akan diakuinya sebagai kekeliruan kecil tanpa dosa.
Kalau semua orang waras ngalah, orang gilalah yang akan menguasai dunia ini. Orang gila akan memanfaatkan Ngalahnya orang-orang waras. Orang gila akan teriak bahwa dia orang paling waras dan orang waraslah yang gila.
Orang gila akan terus teriak ke semua orang yang ditemuinya, tetangga, para bawahan, relasi, kelompoknya dan mitra kerjanya. Kalau perlu orang gila menggunakan bahasa ceramah keagamaan, mengagung-agungkan diri sendiri sebagai orang paling benar dan paling suci.
Orang waras kadang akan mendengarkan celoteh / ngedabrus / gombal mukiyo / bel gedhes orang gila dengan tertawa sinis, tapi mereka enggan menanggapi orang gila, karena dianggap sia-sia. Sing Waras Ngalah, dan kewarasan memang tidak perlu dibela karena nyata terlihat.
Kemudian orang gila birokrasi mulai menunjukkan argumen-argumen yang memutar balikkan fakta dan logika tentang kewarasan mereka. Orang gila birokrasi terus berteriak, sehingga kaum orang waras di birokrasi yang sedang mengalami depresi pekerjaan dan tekanan situasi kerja, mulai mendengarkan sedikit demi sedikit argumen yang orang hila sampaikan. Pengikut orang gila di birokrasi pun semakin bertambah.
Orang waras mulai menyadari kekeliruan ini setelah beberapa waktu berjalan, eksistensi orang gila semakin kuat dan memiliki banyak pengikut. Orang gila mulai melakukan diskusi untuk menyampaikan Kebenaran versi orang gila, dan akhirnya orang waras dibawah tekanan mulai bergeser mengikuti cara berfikir orang gila birokrasi.
Jika para orang waras masih memiliki pemikiran sing waras, ngalah dan melakukan pembiaran, jika terlambat akan sulit sekali diperbaiki, walaupun bisa tetapi akan butuh waktu lama dan energi lebih.
Sing waras ngalah bersiaplah orang gila yang akan menguasai birokrasi, pemerintahan bahkan dunia. Karena kalah dan ngalah itu berbeda, walau kadang sulit dibedakan. Kalau semua orang waras selalu ngalah, orang gila akan bebas teriak mengatakan bahwa merekalah yang waras.
Sing waras ngalah kata-kata ini sering terdengar, biasanya muncul di bagian akhir sebuah perdebatan, apapun topik bahasannya. Kemunculan kata-kata ini menandai bahwa perdebatan yang terjadi mulai mengalami kebuntuan dan jika terus dilanjutkan akan berkepanjangan serta cenderung menjadi debat kusir. Hal ini terjadi bisa karena pihak-pihak yang terlibat tidak seimbang kualitasnya, data-data yang digunakan tidak valid ataupun karena salah satu pihak atau keduanya mulai asal bicara hanya ingin menang sendiri.
Kalau semua orang waras ngalah, orang gilalah yang akan menguasai dunia ini. Dia akan memanfaatkan ngalahnya orang-orang waras. Dia akan teriak bahwa dia (yang tidak waras) inilah pihak yang paling waras. Dia terus teriak ke jalan-jalan, ke medsos, ke pasar, bahkan ke ceramah-ceramah keagamaan.
Orang-orang yang benar-benar waras pun mendengarnya, kadang menertawakan sinis tentang isi teriakan itu, tapi mereka enggan menanggapi karena mereka menganggap itu sia-sia wis biarin, sing waras, ngalah, dan kewarasan mereka tidak perlu dibela karena toh sudah nyata terlihat.
Kemudian si tidak waras mulai menunjukkan argumen-argumen yang memutar balikkan fakta dan logika tentang kewarasan mereka. Mereka terus berteriak, sehingga orang-orang waras yang sedang depresi, mulai mendengarkan sedikit demi sedikit argumen yang mereka sampaikan. Pengikutnyapun semakin bertambah. Orang-orang yang mendengarkan teriakan merekapun kini mulai mempertanyakan kewarasan dirinya sendiri.
Orang-orang waras mulai menyadari kekeliruan ini setelah beberapa temannya bahkan keluarganya ikut meneriakkan hal yang sama. Saat mereka mulai melakukan diskusi untuk menyampaikan kebenaran, orang-orang yang tidak waras meladeni ajakan diskusi itu. Kemudian di saat mereka yang tidak waras ini sudah terpojok, mereka lalu mengatakan sing waras ngalah. Si waras terdiam, diapun mulai menyadari inilah efek pembiarannya selama ini. Bahkan diapun mulai meragukan kewarasan dirinya sendiri.
Sudah terlambat. Sudah sulit diperbaiki, namun bukan berarti tidak bisa.
Kalau semua orang waras ngalah (sing waras, ngalah). Bersiaplah, orang gila yang akan menguasainya bahkan menguasai dunia ini. Karena kalah dan ngalah itu berbeda, tapi sulit dibedakan.
Kalau semua orang waras, ngalah, orang-orang gila akan leluasa teriak mengatakan bahwa merekalah yang waras. Sampai-sampai si waraspun mulai meragukan kewarasannya sendiri.
SING WARAS OJO NGALAH VERSI GUS MUS
Ulama karismatik asal Rembang, KH Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus itu dalam acara Gerakan Pemuda Ansor Jenu, Tuban, Jawa Timur dengan tema istilah Sing Waras Ojo Ngalah.
Istilah Sing Waras Ojo Ngalah (yang berakal sehat jangan mengalah) sendiri menjadi prinsip Gus Mus untuk melawan hoaks yang marak terjadi.
Selama ini istilah yang sering terdengar adalah sing waras ngalah atau yang akalnya sehat mengalah. Menurut Gus Mus istilah itu harus diganti agar yang tidak waras tidak terus merasa benar. Sing waras ojo ngalah (yang berakal sehat jangan mengalah) sendiri menjadi prinsip Gus Mus untuk melawan hoaks yang marak terjadi.
Selama ini istilah yang sering terdengar adalah sing waras ngalah atau yang akalnya sehat mengalah. Menurut Gus Mus istilah itu harus diganti agar yang tidak waras tidak terus merasa benar.
Beberapa tahun terakhir umat dijadikan sasaran tembak oleh beberapa golongan yang kurang suka dengan keberadaan umat Mereka membuat isu-isu yang bertujuan memecah belah umat.
Perang kebencian yang terjadi di media sosial hari ini, bukan semata-mata karena menyebarnya hoax atau pun hate speech. Lebih dari itu, ada faktor lain yang menyebabkan hoax dan hatespeech merajalela, yaitu faktor diamnya orang-orang yang seharusnya menebarkan kesejukkan. Mereka yang benar tidak berani atau merasa tidak terlalu penting berbicara menyuarakan kebenarannya. Alasannya beragam, merasa takut, malas berdebat, menunggu momen yang tepat untuk berbicara, sampai mereka beralasan untuk menjaga hubungan.
Karena takut berbicara maka memilih bungkam, padahal jika pendapat itu disampaikan bisa jadi membawa perubahan yang lebih baik. Semakin banyak orang yang bungkam, maka semakin tertutup kesempatan menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran dan kedamaian. Di era demokrasi ini, generasi millennials tentu harus berani dalam bersuara dan berpendapat untuk kepentingan bersama. Perkembangan media sosial justru seharusnya menjadikan silent majority lebih berani dalam mengungkapkan pendapatnya.
Ahmad Mustofa Bisri atau lebih akrab disapa Gus Mus, dalam satu kesempatan beliau menyampaikan, Ya saya bilang, kalau yang waras mengalah terus, yang tidak waras merasa paling benar. Sekarang tidak boleh yang waras mengalah terhadap kemungkaran. Istilah Sing Waras Ojo Ngalah (yang berakal sehat jangan mengalah) sendiri menjadi prinsip Gus Mus untuk melawan hoax yang marak terjadi.
Selama ini istilah yang sering terdengar adalah sing waras ngalah atau yang akalnya sehat mengalah. Menurut Gus Mus, istilah itu harus diganti supaya yang tidak waras tidak terus merasa paling benar.
Kita sudah seharusnya tidak hanya berpangku tangan dan menyesali keadaan negera kita hari ini, permusuhan yang terjadi di media sosial tidak akan selesai dengan sendirinya. Mari kita belajar kepada ayat Allah yang berbunyi,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. [Ar-Ra’d : 11].
LAWAN KEBENCIAN DENGAN CINTA
Melawan kebencian haruslah dengan cinta, karena lawan kata benci adalah cinta. Jika kita melawan kebencian dengan kebencian lagi, maka yang ada hanyalah menumbuhkan kebencian yang lain, dan itu tidak akan ada selesainya. Mengutip pernyataan dari Buya Husein Muhammad, beliau menyampaikan, Tak ada gunanya menanggapi ketidakadilan dengan kebencian dan dendam. Karena cara ini hanya akan menginspirasi antagonisme lebih lanjut dan memperburuk keadaan.
Buya Husein juga menambahkan bahwa tidak ada gunanya penyebaran pikiran secara Indoktrinasi dan pemaksaan dilawan dengan indoktrinasi serupa. Ini metode pembodohan rakyat yang tidak boleh berkembang. Yang harus dikembangkan adalah dialog konstruktif. Sebuah dialog intelektual yang sehat. Ini jalan yang disarankan oleh al-Qur’an dan Nabi Muhammad. Jika melihat tulisan yang mengandung unsur kebencian, maka sebaiknya kita menulis sesuatu untuk membenarkan tulisan tersebut tanpa menghujat si penulis. Kembali lagi ke awal tulisan, bahwa Nabi telah mengajarkan kita banyak hal. Cara beliau menyampaikan islam juga dengan cara yang lembut tanpa paksaan. Tapi sekali lagi, nabi tidak hanya berdiam diri melihat kemungkaran. Oleh karena itu, Marilah kita penuhi dunia maya dengan kedamaian. Mari jadikan momen Ramadhan sebagai ajang merayakan kebersamaan dan kemenangan tanpa kebencian.
SING WARAS AJA GELEM NGALAH
Menangkal dan melawan penyebaran hoax harus dilakukan atas kesadaran sendiri dan berbarengan oleh seluruh warga. Para pelaku gerakan anti fitnah pun harus mau capek menghadapi hoax-hoax yang bertebaran.
Kita lima besar negara paling cerewet di sosial media, namun literasinya terendah. Makanya dengan banyak hoax yang bertebaran ini bisa membuat ketahanan bangsa jadi turun. Suka tidak suka kita tidak bisa tinggal diam dan harus berani menghadapi hoax.
Salah satu cara yang disampaikan Ganjar Pranowo sarasehan nasional yang diadakan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dalam menghadapi hoax adalah dengan tidak mengalah dan memberikan penjelasan kepada mereka yang menyebarkan hoax. Tentunya hal itu mesti didukung dengan data yang benar.
Yang cukup waras kita kasih datanya. Itu cara kita mengedukasi dan harus mau capek. Jangan sampai yang ngasih penjelasan itu orang yang tidak jelas dan tidak tahu apa-apa, karena kalau dia terus yang ngasih penjelasan malah dianggap jadi hal yang benar.
Kita semua berharap selain berita-berita buruk dan hoax yang harus dilawan, hal-hal yang positif juga perlu disampaikan. Seperti prestasi dan potensi desa-desa di Jateng, mulai dari produk yang dihasilkan hingga kegiatan-kegiatan yang menarik.
Jangan cuma yang negatif-negatif saja yang disampaikan, nanti jadi kebiasaan jelek. Hal yang positif dan yang berprestasi juga perlu disampaikan.
PENEGAKAN HUKUM
Secara umum, supremasi hukum merupakan sebuah prinsip inti demokrasi liberal yang mewujudkan ide-ide, seperti konstitusionalisme dan pemerintah dengan kekuasaan terbatas. Supremasi hukum berupaya untuk menegakkan dan memosisikan hukum pada tingkatan tertinggi.
Tujuan utama penegakan hukum adalah untuk mewujudkan adanya rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam masyarakat. Dalam proses tersebut, maka harus mencerminkan aspek kepastian dan ketertiban hukum.
Penegakan hukum dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya adalah faktor sistem hukum. Subsistem hukum yang terdiri dari substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum sangat mempengaruhi penegakan hukum. Oleh karena itu, peningkatan kualitas penegakan hukum dilakukan dengan memperbaiki ketiga subsistem tersebut.
Substansi hukum dalam pembentukannya harus terhindar dari kepentingan politik dan juga kepentingan ekonomi. Pembentukan hukum dilakukan untuk menyalurkan aspirasi masyarakat, memberikan perlindungan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Pembaharuan substansi hukum yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, perlindungan hukum dan keadilan bagi masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kualitas penegakan hukum.
Struktur hukum atau aparat penegak hukum mempunyai peran yang sangat penting, karena orang sering berpikiran bahwa meskipun substansi hukumnya tidak sempurna, akan tetapi apabila struktur hukumnya mempunyai integritas yang tinggi, maka hukum yang berperikemanusiaan dan berkeadilan tetap dapat ditegakkan.
Sebagaimana yang kita ketahui Indonesia adalah Negara hukum. Sebagai negara hukum, tentunya penegakan hukum yang tidak memihak telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dimana semua orang diperlakukan sama di depan hukum. Untuk menerapkan Negara hukum, Indonesia dituntut untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip yang dijalankan oleh negara hukum. Setiap manusia berhak memperoleh keadilan, baik itu dari masyarakat maupun dari negara.
Seperti yang tercantum dalam pancasila, sila ke-5 yang berbunyi : keadlian bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini sangat jelas bahwa seluruh rakyat indonesia berhak mendapat keadilan tanpa terkecuali. Tidak pandang bulu, entah itu pejabat, rakyat kecil, orang kaya atau miskin. Tujuan hukum adalah memberikan keadilan kepada setiap orang.
Namun dalam prakteknya hal ini sudah tidak terjadi lagi di Indonesia. Hukum Indonesia dinilai belum mampu memberikan keadilan kepada masyarakat yang tertindas. Justru sebaliknya, hukum menjadi alat bagi pemegang kekuasaan untuk bertindak semena-mena. Saat ini hukum di Indonesia yang menang adalah yang mempunyai kekuasaan, yang mempunyai uang banyak pasti aman dari gangguan hukum walaupun aturan Negara dilanggar. Orang biasa yang ketahuan melakukan tindakan kecil langsung ditangkap dan dijebloskan kepenjara. Sedangkan seorang pejabat Negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik Negara dapat berkeliaran dengan bebasnya. Karena hukuman itu cenderung hanya berlaku bagi orang miskin dan tidak berlaku bagi orang kaya, sehingga tidak sedikit orang yang menilai bahwa hukum di Indonesia dapat dibeli dengan uang. Beberapa tahun belakangan ini, hukum Indonesia semakin parah saja. Hukum seakan-akan bukan lagi dasar bagi bangsa Indonesia. Ada pengakuan informal di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli, maka aparat penegak hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakan hukum secara menyeluruh dan adil.
Budaya hukum kaitannya dengan penegakan hukum harus dibangun, salah satunya dengan meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Peran aparat penegak hukum sangat penting dslsm meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Berdasarkan teori hukum progresif dan teori hukum integratif, diharapkan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara tidak hanya berpedoman pada hukum tertulis. Jika penerapan hukum tertulis tidak dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum, maka hukum tertulis tersebut dapat disimpangi atau ditinggalkan. Aparat penegak hukum harus dapat menemukan hukum sesuai dengan hati nuraninya, agar tercipta rasa keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan.
Dalam negara hukum Indonesia yang demokratis, penegakan hukum tidak hanya berorientasi pada konsep rechtstaat, tetapi juga berorientasi pada rule of law. Dengan paradigma ini, setiap penegakan hukum akan mampu melepaskan diri dari formalitas-prosedural serta mendorong para penegak hukum untuk kreatif dan berani menggali nilai-nilai keadilan serta menegakkan etika dan moral dalam setiap penyelesian kasus hukum. Perubahan paradigma ini harus diartikan pula sebagai upaya mengembalikan rasa keadilan dan moral sebagai ruh hukum yang akan dibangun untuk masa depan negara hukum Indonesia yang demokratis.
KEADILAN HUKUM HARUS DITEGAKKAN
Keadilah hukum harus ditegakkan oleh penegak hukum di Indonesia demi memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Sebab, saat ini sering dijumpai penegakan hukum yang lebih mengutamakan kepastian hukum.
Negara harus mengubah politik hukum. Tegakkan keadilan, kepastian, baru kemanfaatan. Tapi sekarang kebalik, kepastian dulu baru keadilan. Jadinya masyarakat tidak mendapat keadilan sebenarnya.
Selama ini penegak hukum di Indonesia banyak yang masih menganut paham postivistik, yang lebih mengutamakan kepastian hukum dibandingkan keadilan. Hal itu berdampak pada banyak bermunculan kasus yang menggambarkan keadilan substansial telah terpisah dari hukum, seperti : kasus maraknya berita hoaxs dan headspeech, pencemaran nama baik, yang begitu marak mengarah keperpecahan bangsa hingga SARA, kasus pencurian satu buah semangka, kasus pencurian kapuk randu, kasus penebangan dua batang bambu di Magelang, kasus Lanjar Sriyanto, kasus pencurian sandal jepit, dan sebagainya. Kasus-kasus tersebut merupakan kasus ringan yang tidak berpihak pada keadilan masyarakat.
Dari kasus-kasus itu kemudian timbul solidaritas masyarakat untuk mengumpulkan sandal jepit yang kasus sandal jepit, semangka untuk kasus semangka, bambu untuk kasus pencurian batang bambu. Karena keadilan tidak ditegakkan, kasus seperti itu dihukum dengan (kurungan) berapa bulan, tahun.
Akhirnya timbul ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum karena untuk kasus seperti itu dijatuhi hukuman yang tidak sebagaimana mestinya.
Penegakan keadilan akan lebih sesuai dengan kemauan masyarakat, bukan yang tertulis di undang-undang. Dalam hal ini perlu digaris bawahi masalah proses perekrutan dan kurikulum pendidikan penegak hukum. Sebab, hal tersebut mendukung profesionalisme dari para penegak hukum. Bahwa proses perekrutan penegak hukum, seperti hakim, polisi, dan jaksa masih seperti job seeker. Akibatnya, orang memilih profesi penegak hukum dengan alasan mencari kerja, bukan karena kesadaran moral untuk menegakkan keadilan masyarakat. Rekruitmen profesi hukum masih seperti lowongan kerja. Jadi harus didorong agar hakim, polisi, jaksa merubah mindset agar tercipta keadilan substansial.
Perlunya penegakan keadilan hukum tersebut dibahas dalam disertasinya Model Penyelesaian Perkara Pidana yang Berkeadilan Substansial.