KRESNA DUTA
VERSI MAHABHARATA
Pandawa telah selesai menjalani masa pembuangan dan pengasingan selama 13 tahun. Sudah menjadi hak Pandawa untuk kembali mendapatkan Astina dan Amarta kembali yang diambil oleh Kurawa. Untuk itu, para Pandawa meminta bantuan Sri Kresna untuk menjadi duta Pandawa dalam menempuh jalan damai antara Pandawa dan Korawa.
Sri Kresna berangkat ke Astina dengan dikusiri oleh Sencaki. Setibanya di Astina, Kresna segera menuju tempat Arya Widura untuk member hormat kepada IbuKunti dan paman Widura.
Sementara, tetua dan pembesar-pembesar Astina telah berkumpul di aula kerajaan menunggu kedatangan duta Pandawa tersebut.
Kresna memasuka aula kerajaan dan kemudian menyampaikan kedatangannya yaitu sebagai duta Pandawa. Pandawa yang telah selesai menjalani hukuman, ingin meminta haknya kembali atas Indraprastha (Amarta).
Sejak awal, Kurawa memang tidak ingin mengembalikan Amarta kepada Pandawa. Prabu Duryudana pun menolak permintaan Sri Kresna. Duryudana memberikan berbagai alasan yang memang sudah direncakan untuk memperkuat alasan mereka mengapa tidak ingin mengembalikan Indraprastha kepada Pandawa.
Doryudana mengatakan bahwa tindakan Pandawa mengadakan upacara Rajasuya menunjukkan bahwa Pandawa mengagungkan diri mereka sendiri.
Sri Kresna kemudian menjawab bahwa Rajasuya itu bukan merupakan keputusan Yudhistira melainkan merupakan kesepakatan raja-raja yang mengakui Yudhistira sebagai raja arif bijaksana.
Doryudana kemudian berdalih bahwa para Pandawa telah melanggar hukuman ketika terjadi perselisihan antara Hastina dan Wirata. Pandawa telah menampakkan diri dan bahkan mengangkat senjata terhadap para Korawa.
Sri Kresna kemudian membalas bahwa saat itu menurut hitungannya, para Pandawa sudah terlepas dari masa hukuman dan mereka mengangkat senjata karena saat itu mereka sedang mengabdi di Wirata . Sebagai penduduk Wirata sudah menjadi kewajiban mereka untuk mengangkat senjata demi membela Negara.
Mendengar perdebatan antara Duryudana dan Kresna, Eyang Bisma berusaha menengahi. Namun, usahanya ternyata sia-sia. Duryudana justru menganggap bahwa Eyang Bisma memang lebih memilih Pandawa daripada Korawa.
Akhirnya, Sri Kresna menanyakan keputusan Korawa untuk terakhir kalinya, apakah Doryudana akan mengembalikan hak Indraprastha kepada Pandawa atau tidak.
“Para Pandawa telah menghina keluarga Hastina terutama Korawa, semua Korawa telah sepakat tidak akan duduk setingkat dengan para Pandawa dan tidak akan mengembalikan Indraprastha”, Jawab Doryudana.
Jawaban itu membuat Sri kresna kesal dan kemudian ia berkata, “ Doryudana, para tetua disini akan menjadi saksi atas perkataanmu, perkataanmu ini harus kau pertangunggjawabkan di kemudian hari. Aku akan memberitahukan keputusanmu kepada Pandawa!”.
Sri Kresna kemudian meninggalkan gedung pertemuan. Ia menuju ke sebuah taman di dalam istana Hastina. Tampak matanya bersinar tanda amarhnya telah memuncak. Kresna bertriwikrama, berubah ujud menjadi Brahala, makhluk raksasa yang luar biasa besar.
Triwikrama Kresna membuat seluruh Astina gempar dan ketakutan. Para Korawa berlarian kesana kemarin mencari tempat bersembunyi.Resi Drona yang juga ketakutan tidak berani meninggalkan gedung. Sementara Eyang Bisma dan Arya Widura dengan tenang meninggalkan gedung pertemuan tanpa rasa takut seperti tidak terjadi apa-apa.
Triwikrama Bathara Wisnu juga membuat gempar kahyangan. Para dewa khawatir dan turun untuk melihat triwikrama Sri Kresna.
Para dewa bingung bagaimana harus menghentikan triwikrama Sri Kresna. Maka mereka memutuskan, untuk menjemput Bathara Darma untuk menenangkan kemarahan triwikrama.
Dewa kebijaksanaan dan kesabaran tersebut pean-pelan mendekati Triwikrama dan memberi hormat.
Sang Tiwikarma menjawab dengan sebuah peringatan, “ Grrrr.. jangan dekat dekat Dharma, jika kau tidak ingin kucabik-cabik tubuhmu”.
“Aku bukanlah musuhmu wahai Triwikrama, bahkan aku bersedia membantumu untuk mengalahkan musuhmu”, jawab Bathara Dharma.
“Aku tidak butuh bantuanmu untuk menghancurkan Korawa-Korawa sombong ini”, jawab sang triwikrama.
Bathara kemudian menuturkan,” Sesakti itukah para Korawa, sehingga perlu dihancurkan oleh triwikrama? Apakah kejahatan mereka mengguncang mayapada seperti Rahwana? Apakah perlu Tiwikarama yang sakti sebagai wakil dewata untuk turun tangan menghancurkan Kejahatan Korawa?”
“ Saudara Wisnu mohon ingat bahwa jika Korawa dihancurkan oleh triwikrama ini akan membuat malu bagi seluruh Dewata. Apakah para Pandawa tak dapat membela diri mereka sendiri sehingga memerlukan bantuan para dewata? Mohon adik Wisnu memperhitungkan lagi tindakan ini yang akan mencoreng muka seluruh dewata dan juga memalukan Pandawa.”
Mendengar penuturan Batara darma, dalam sekejap triwikrama itu menghilang dan kembali sebagai Sri Kresna.
Sri Kresna kemudian ke tempat paman Widura untuk mohon diri dan member hormat kepada Arya Widura dan ibu Kunti. Ia pergi meninggalkan Hastina untuk menyampaikan berita hasil pertemuan dengan Korawa kepada para Pandawa.
KRESNA DUTA
VERSI WAYANG KULIT JAWA
Setelah selesai 12 tahun penderitaannya, Pendawa Lima dan Drupadi menetap di Wirata. Yudistira telah mengirim surat ke Pancala untuk memberitahu Prabu Drupada bahwa Drupadi dalam keadaan sehat di Wirata dan memohon kedatangannya karena Drupadi sangat rindu kepada orangtuanya. Ketika Pendawa sedang berkumpul di istana bersama prabu Matsyapati, dari langit turun Gatotkaca yang mendengar berita bahwa Pendawa berada di Wirata. Kedatangan Gatotkaca seperti biasa disambut ayahnya yang berdiri diluar. Yudistira meminta Gatotkaca untuk mengundang kedatangan Sri Kresna. Gatotkaca segera melesat ke udara menuju Dwaraka. Di Dwaraka, Sri Kresna sedang berbincang dengan Subadra dan Abimanyu. Mereka berdua ingin berangkat ke Wirata untuk bertemu Arjuna namun oleh Sri Kresna disuruh menunggu undangan dulu dari Wirata karena Sri Kresna tahu bahwa Gatotkaca sedang dalam perjalanan untuk mengundang kedatangannya.
Ketika Gatotkaca tiba, Sri Kresna telah mengetahui niatnya. Subadra dan Abimanyu segera berangkat dengan kereta kuda yang sudah disiapkan Sri Kresna. Gatotkaca kemudian disuruh kembali ke Pringgondani karena dirinya juga mempunyai tanggung jawab yang besar. Setelah memberi instruksi kepada Sencaki sebagai pengganti Sri Kresna selama dirinya tidak ditempat, Sri Kresnapun melesat ke angkasa. Tak lama kemudian dirinya telah mengejar kereta kuda yang membawa Subadra dan Abimanyu. Mendekati Wirata, Sri Kresna melihat kereta kuda dari Pancala. Ketika sampai di Wirata, kedatangan Sri Kresna disambut oleh para Pendawa. Oleh Sri Kresna diceritakan bahwa kereta dari Pancala sedang mendekati Wirata sementara Subadra dan Abimanyu dalam perjalanan, Yudistira bersyukur karena Drupadi dapat segera bertemu dengan orangtuanya, sementara Arjuna bergembira karena dirinya kangen kepada Subadra dan Abimanyu. Kereta kerajaan Pancala pun tiba dan tak lama kemudian datang kereta Subadra dan Abimanyu. Semuanya disambut dengan hangat oleh Prabu Matsyapati. Prabu Matsyapati mengusulkan agar Abimanyu dinikahkan dengan putrinya Utari. Arjuna setuju dengan usulan sang Prabu dan meminta persetujuan dari Yudistira dan Sri Kresna. Yudistira juga menyetujui karena dirinya merasa berhutang budi kepada Prabu Matsyapati atas perlindungannya sementara Sri Kresna setuju karena pernikahan ini akan mempererat persaudaraan.
Setelah disetujui, maka undangan-undanganpun dikirim untuk menghadiri pernikahan Abimanyu dan Utari, diantaranya adalah undangan yang dikirim ke Mandura dan Hastina untuk mengundang kedatangan Prabu Baladewa dan tetua2 Hastina beserta para Kurawa sekalian. Prabu Baladewa tentu saja senang mendegar bahwa keponakannya Abimanyu akan menikah dan segala menuju ke Wirata. Di Hastina suasananya agak berbeda, Duryudana dan para Kurawa tidak berniat datang maka oleh Sangkuni diberi alasan bahwa mereka sedang sibuk dengan urusan kerajaan Hastina sehingga tidak bisa menghampiri. Sementara Resi Dorna yang tidak ingin bertemu dengan Prabu Drupada memberi alasan bahwa dirinya sudah tua dan tidak cocok untuk berjalan jauh. Sehingga dari Hastina hanya Eyang Bisma, Arya Widura dan Ibu Kunti yang berangkat ke Wirata. Ketika sampai ketiga tetua Hastina segera diterima dengan hangat dan penuh hormat. Kedatangan Prabu Baladewa juga diterima dengan hormat oleh Sri Kresna dan Baladewa mengujarkan penyesalannya karena dirinya tak sering melihat Abimanyu karena Abimanyu lebih sering tinggal di Dwaraka. Sri Kresna mengerti bahwa abangnya hanya bercanda menjawab bahwa Abimanyu tidak dipaksa harus tinggal di Dwaraka tapi karena Subadra lebih senang tinggal dengan Sri Kresna maka Abimanyu juga tinggal di Dwaraka bersama ibunya.
Setelah upacara pernikahan selesai para tamu undangan pulang ke tempat masing, kecuali tamu-tamu kehormatan. Sri Kresna maju kemuka dan bertanya apa rencana adik-adik Pendawa sekalian. Yudisitira berkata bahwa dirinya akan meminta haknya kembali atas Indrapasta karena “hukumannya” telah selesai. Sri Kresna pun lanjut bertanya apa yang akan dilakukan jika Duryudana menolak untuk mengembalikan Indrapasta. Yudistira sebagai orang yang jujur dan cinta damai menjawab bahwa dirinya tidak ingin membuat kerusuhan yang menebar bibit dendam antara Pendawa dan Kurawa maka dirinya bersedia untuk mengembara saja jika Indrapasta tidak dikembalikan. Sri Kresna kemudian menasehati bahwa jika itu keinginan Yudistira maka dia tidak akan mencegahnya, namun sebagai saudara tertua Yudistira harus memikirkan kesejahteraan saudara-saudaranya dan juga Drupadi istrinya. Apakah mereka akan dibawa mengembara juga selamanya, apa tidak kasihan kepada Drupadi. Yudisitira terdiam mendengar ucapan Sri Kresna, sementara Bima yang memang sudah panas menjawab dengan tegas “Kita hantam saja dan rebut kembali dengan paksa !”. Saat itu Prabu Baladewa berdiri dan berkata bahwa dirinya tidak ingin ikut campur dengan urusan Pandawa dan Kurawa, dirinya datang untuk menghadiri pernikahan Abimanyu dan karena sekarang telah selesai dirinya mengundurkan diri, setelah berkata Prabu Baladewa bergerak keluar dan pulang ke Mandura. Para Raja yang hadir terkejut dengan tindakan Baladewa, Prabu Drupada pun berkata bahwa jika Baladewa yang dalam keadaan seperti itu pasti dirinya tidak basa basi lagi langsung menyerang Hastina.
Sri Kresna yang paham sikap abangnya segera membela dengan berkata bahwa Baladewa orangnya jujur dan terus terang serta berpendirian untuk tidak ikut campur dengan urusan orang lain. Eyang Bisma kemudian menegahi bahwa sebaiknya masalah ini dibicarakan dulu kepada Kurawa di Hastina, para Pendawa sebaiknya mengirim seorang duta untuk membicarakan masalah ini. Arya Widura kemudian berkata bahwa sebaiknya Sri Kresnalah yang diutus sebagai duta karena dirinya orang yang adil bijaksana dan juga pandai. Semua hadirin setuju dengan usul tersebut dan para Pendawa memohon kesediaan Sri Kresna sebagai Duta Pendawa ke Hastina. Sri Kresna sebenarnya tahu bahwa tugasnya kali ini akan mengalami kegagalan karena di masa depan akan terjadi perang Bharatayuda tetapi tetap menyanggupi karena tugasnya sebagai duta juga bagian dari rencana dewata.
Setelah diputuskan Sri Kresna sebagai duta, Eyang Bisma , Arya Widura dan Ibu Kunti kembali ke Hastina untuk memberitahu pihak Hastina dan menyiapkan kedatangan Sri Kresna. Sri Kresna kemudian melesat ke angkasa kembali ke Dwaraka. Tak lama kemudian terlihat Sri Kresna berangkat dengan kereta kerajaan yang dikusiri oleh Sencaki. Bagi Sri Kresna lebih gampang jika jalan udara tapi karena tugasnya sebagai duta akan terlihat tidak sopan maka dia memilih untuk jalan darat. Ketika tiba di Hastina, kereta Sri Kresna segera menuju ke tempat Arya Widura untuk memberi hormat kepada Ibu Kunti dan paman Widura. Sementara itu semua pembesar Hastina telah berkumpul di sebuah gedung besar menunggu kedatangan Sri Kresna dan terdengar hiruk pikuk dari Kurawa yang jumlahnya 100. Ketika Sri Kresna memasuki gedung, suasana menjadi sunyi senyap. Sri Kresna kemudian mengatakan bahwa kedatangannya kali ini ialah sebagai duta dari para Pendawa yang telah menjalani hukumannya dan kini meminta kembali haknya atas Indrapasta.
Duryudana dan para Kurawa telah bertekad untuk tidak mengembalikan Indrapasta telah mendapat “latihan” dari Sangkuni berbagai alasan untuk tidak mengembalikan Indrapasta. Duryudana berkata bahwa tindakan Pendawa melakukan upacara Rajasuya menunjukkan bahwa Pendawa mengangungkan diri mereka sendiri. Sri Kresna menjawab bahwa Rajasuya itu bukan keputusan Yudistira melainkan merupakan kesepakatan raja raja yang mengakui Yudistira sebagai raja yang arif bijaksana. Duryudana tidak mau kalah dan memberi alasan lain bahwa para Pendawa telah melanggar hukumannya ketika terjadi perselisihan antara Hastina dengan Wirata, karena para Pendawa telah menampakkan diri dan bahkan mengangkat senjata terhadap para Kurawa saudaranya sendiri. Sri Kresna membalas dengan berkata bahwa saat itu menurut hitungannya, para Pendawa sudah terlepas dari masa hukuman mereka dan mereka mengangkat senjata karena saat itu mereka sedang mengabdi di Wirata dan sebagai penduduk Wirata merupakan kewajiban mereka untuk mengangkat senjata demi membela negara.
Sri Kresna kemudian melanjutkan bahwa jika memang Pendawa ingin mencederai para Kurawa bisa dilakukan dengan gampang ketika para Kurawa sedang tak berdaya di dalam hutan tapi sebaliknya Pendawa malah menolong Kurawa.
Duryudana kemudian berkata bahwa para Pendawa semestinya menolong Kurawa ketika dalam kesulitan, tidak setelah mereka dipermalukan. Sri Kresna menjawab bahwa rimba itu sangat luas dan saat itu Pendawa sedang menjalani hukuman sehingga mereka sengaja menyingkir supaya tidak menganggu para Kurawa yang sedang bersenang2. Duryudana kembali berkata, bahwa tindakan Pendawa merupakan bukti bahwa Pendawa menanggap diri mereka lebih baik daripada para Kurawa dan dalam hati mereka mentertawakan Kurawa yang sedang dalam kesusahan sehingga para Kurawa menjadi terhina. Eyang Bisma berusaha menengahi bahwa sebagai saudara sudah seharusnya saling membantu tanpa pamrih dan jangan menyimpan dendam antar saudara. Duryudana kemudian menjawab bahwa Eyang Bisma memang dari dulu lebih memilih Pendawa daripada Kurawa. Arya Widura yang kesal atas jawaban Duryudana berkata dengan keras “Duryudana, perkataanmu sudah keterlaluan dan bukan tindakan seorang raja aku tidak akan merestui semua tindakanmu”. Dengan ketus Duryudana menjawab “Saya juga tidak ingin restu dari paman”. Melihat tindakan Duryudana yang melanggar norma2 terhadap Bisma dan Widura, Sri Kresna bertanya terakhir kalinya apakah Duryudana akan mengembalikan hak Indrapasta. Duryudana menjawab, “Para Pendawa telah menghina keluarga Hastina terutama para Kurawa. Semua Kurawa telah bersepakat tidak akan duduk setingkat dengan para Pendawa dan tidak akan mengembalikan Indrapasta”. Jawaban ini membuat Sri Kresna kesal dan berkata “Duryudana, para tetua disini akan menjadi saksi atas perkataanmu, perkataanmu ini harus kau pertanggungjawabkan di kemudian hari. Aku akan memberitahukan keputusanmu kepada Pendawa!”.
Sri Kresna kemudian meninggalkan gedung pertemuan tetapi tidak langsung menuju ke tempat paman Widura. Sri Kresna menuju kesebuah taman di dalam istana Hastina. Sri Kresna kemudian berdiri ditengah2 taman itu, tampak matanya bersinar tanda amarahnya yang telah memuncak. Kemudian muncul sebuah raksasa sebesar gunung yang merupakan tiwikrama Betara Wisnu jika amarahnya tak tertahankan lagi. Kehadiran raksasa ini membuat seluruh Hastina gempar dan ketakutan. Para Kurawa dan Sangkuni mencari tempat yang gelap untuk bersembunyi di dalam gedung pertemuan. Sementara Resi Dorna juga merasa ketakutan dan tidak berani meninggalkan gedung. Sementara Eyang Bisma dan Arya Widura dengan tenang meninggalkan gedung pertemuan seakan2 tidak terjadi apa. Kemudian Karna juga keluar dari gedung pertemuan tanpa rasa takut. Tiwikrama juga membuat kegemparan di kahyangan, para dewa menjadi khawatir dan segera turun untuk melihat Sri Kresna yang bertiwikrama.
Betara Indra dan Betara Bayu berada diantara dewa yang turun dan Betara Bayu berkata kepada Betara Indra, “Saudara Indra, kita harus melakukan sesuatu, lihatlah angin panas akibat napas Tiwikrama”. Betara Indra menjawab, “Entahlah, rasanya diriku tak dapat melawan kesaktiannya”. Betara Bayu kemudian berkata, “Tidak ada kesaktian yang dapat melawannya, seluruh dewa yang ada disini tidak akan dapat menghentikan tiwikrama. Kita tidak boleh melawan dengan kekerasan tapi harus dengan kelembutan. Hanya Betara Dharma yang dapat menenangkan kemarahan Tiwikrama.” Salah seorang dewa kemudian segara berangkat untuk menjemput Betara Dharma. Betara Dharma merupakan dewa kebijaksanaan dan kesabaran walau tidak sesakti Betara Indra atau Bayu, Tiwikrama hanya kembali menjadi Sri Kresna jika amarahnya telah hilang sehingga memerlukan aji kesabaran Betara Dharma. Setelah datang ke mayapada dan menyaksikan Tiwikrama, Betara Darma pelan2 mendekati Tiwikrama. Ketika dekat Betara Dharma memberi hormat kepada sang Tiwikrama. Tiwikrama menjawab dengan sebuah peringatan, “Grrr jangan dekat dekat Dharma jika tidak ingin kucabik2 tubuhmu”. Betara Dharma dengan tenang menjawab, “Aku bukanlah musuhmu wahai Tiwikrama, bahkan aku bersedia membantumu untuk mengalahkan musuhmu”. Sang Tiwikrama menjawab, “Aku tidak butuh bantuanmu untuk menghancurkan Kurawa Kurawa sombong ini”. Betara Dharma kemudian menuturkan, “Sesakti itukah para Kurawa sehingga perlu dihancurkan oleh Tiwikarama ? Apakah kejahatan mereka mengguncang mayapada seperti Rahwana ? Apakah perlu Tiwikrama yang sakti sebagai wakil dewata untuk turun tangan langsung menghancurkan kejahatan Kurawa? Saudara Wisnu mohon ingat bahwa jika Kurawa dihancurkan oleh Tiwikrama ini akan membawa kemaluan bagi seluruh Dewata. Apakah para Pendawa tak dapat membela diri mereka sendiri sehingga memerlukan bantuan para dewata? Mohon adik Wisnu memperhitungkan lagi tindakan adik ini yang akan mencoreng muka seluruh dewata dan juga memalukan para Pendawa”.
Perkataan Betara Dharma disertai oleh aji kesabaran dan dalam sekejap Tiwikrama itu telah menghilang dan kembali sebagai Sri Kresna. Sri Kresna kemudian bergerak menuju tempat paman Widura dan setelah memberi hormat kepada Arya Widura dan Ibu Kunti naik ke kereta kudanya meninggalkan Hastina. Di tengah perjalanan, Sri Kresna meninggalkan Sencaki dan keretanya yang menuju ke Dwaraka sementara dirinya terbang menuju Wirata untuk menyampaikan berita kepada para Pendawa.
Sekianlah akhir dari tugas Sri Kresna sebagai duta Pendawa dan juga pertanda dimulainya perang Bharatayuda antara kebaikan dan kejahatan.
Di awal hukuman Pendawa, para Kurawa masuk ke rimba untuk berpesta pora menghina para Pendawa. Namun mereka menjadi mabuk dan diserang oleh gerombolan raksasa. Para Kurawa dalam keadaan mabuk tidak dapat melawan raksasa2 tersebut dan akhirnya diikat sementara para raksasa berpesta pora atas keberhasilan mereka. Saat itulah para Pendawa datang menolong para Kurawa dan membasmi gerombolan Raksasa tersebut. Tanpa berkata apa2, Para Pendawa melepaskan ikatan Sangkuni, Duryadana dan Dursanana para Pendawa kemudian melanjutkan hukuman mereka dibuang di dalam hutan.
VERSI DONGENG
Pandawa telah berhasil memukul mundur penyerbu Wiratha, baik yang dari Astina maupun para wayang suruhan Prabu Susarman. Pandawa pun sudah merampungkan masa pembuangan di hutan selama 12 tahun ditambah setahun penyamaran. Kini sudah datang titi wanci bagi anak-anak Pandu itu untuk nagih janji pada Kurawa.
Mereka akan segera menempati Astina dan Indraprasta lagi sesuai kesepakatan dahulu. Maka untuk melaksanakan misi menagih janji itulah Pandawa menyiapkan beragam hal yang diperlukan.
Setelah berunding dengan banyak pihak, Raja Wiratha Prabu Matswapati memutuskan untuk mengirim utusan Pandawa ke Astina. Prabu Matswapati eyangnya Pandawa, Raja Pancala Prabu Drupadi mertua Pandawa, dan Ibu mereka Dewi Kunthi yang hadir dalam sidang di Istana Wiratha sepakat mengutus Drupadi sebagai utusan. Maka Raja Pancala itupun budal ke Astina mengemban misi menghadap Duryudono.
Sesampai di Astina, setelah misi disampaikan, ternyata Duryudono tak rela melepas Astina maupun Indraprastha. Malahan Raja Pancala yang membawa misi itu diperlakukan layaknya kaum sudra.
Rasa malu tak bisa lagi ditanggung, bahkan sakit hati pun tak bisa ditahan hingga Prabu Drupadi kembali pulang dan langsung menuju Pancala, tak menemui orang-orang yang mengutusnya di Wiratha. Jelas baginya watak angkara dan kurang tata di hati Kurawa tak mungkin hilang selama masih ada nyawa yang menyandangnya.
Drupadi merasa Baratayuda bakal pecah tidak lama lagi. Karena Drupadi khawatir dendam hatinya akan menjadi bumbu atas kekurangajaran Kurawa, maka ia mengutus anaknya Trustajumena datang ke Wiratha untuk mengabarkan kegagalan misinya.
Para agung Wiratha, Matswapati dan ketiga putranya Seto, Utara, dan Wrahatsangka pun marah bukan kepalang. Sungguh tidak layak memperlakukan duta seperti itu. Maka Seto pun mengusulkan perang segera dimulai. Menurutnya Duryudono dan para Kurawa tidak paham tata krama perundingan antar negara. Menurutnya tak sekali ini saja Wiratha mendapati kekurangajaran Kurawa.
Sebelumnya, Wiratha pernah diserbu oleh Kurawa dan Prabu Susarman tanpa peringatan terlebih dahulu. Wajar kalau Seto mendendam. Saudara Seto, Utara dan Wrahatsangka pun sudah dipenuhi amarah dan dendam. Bima juga mulai minta persetujuan untuk menggunakan kekerasan dalam mengambil hak mereka atas Astina dan Indraprasta.
Berbeda dengan mereka, Puntadewa selalu menjauhi kekerasan dan permusuhan. Baginya lebih baik mengalah daripada berselisih, apalagi berperang dengan saudara sesama keturunan Resi Abiyasa. Bahkan Puntadewa sebenarnya menganggap tidak perlu meminta balik Astina dan Indraprasta jika harus didahului dengan singgungan dengan Kurawa.
Maka diusulkannya untuk mengutus duta yang kedua. Kali ini dipilihlah Ibunda Dewi Kunthi untuk menemui Duryudono, dengan harapan kehadiran wayang wanita yang sudah sepuh, ibu yang lembut hatinya dan seorang putri raja serta mantan permaisuri yang prasaja bisa melilihkan hati Duryudono.
CERITA LAKON KRESNA DUTA JEJER HINGGA PUPUT VERSI DALANG WAYANG KULIT
Leng-leng ramya nikang sasangka kumenyar,
mangrengga rum ning puri,
mangkin ta pasiring,
lwir muruping langit,
tekwan sarwa manik,
tawingnya sinawung,
saksat sekaring suji,
ungwan sang prameswari
yana mrem nwang nata Durgandana,
Oong......
Indah mempesona cahaya rembulan yang terpancar,
menghias eloknya di kraton,
-membuat- semakin tiada bandingnya,
keindahan rumah -istana- itu,
seakan -bersinar- menyala kelangit,
apalagi oleh bermacam-macam manikam (permata)
yang berlapis -pada- tirainya
bagaikan kembang yang dironce,
itulah- tempat bercengkrama sang prameswari dan raja Durgandana,
Oong......
" Hong ilaheng, hong ilaheng hawignam hastu nama sidam, mastu silah mring Hyang Jagad Karana, siran tandha kawisesaning bisana, sana sinawung langening wilapa, estu maksih lestantum lampahing carita Mahabarata, winursita ngupama prameng windydha eng jamanan karanta-dama, pinardi tameng lelata mangkya tekap wasananing gupita, tanwing pralambang matumpa-tumpa, marma panggung, panggung, panggunggung sang murweng kata, Hoong.... "
" Hong ilaheng semoga tiada aral melintang, -atas- restu Hyang Jagad Karana, sebagai tanda kehebatan yang dituturkan, dengan keindahan syair yang masih sesuai dengan cerita Mahabarata, ditulis melalui bahasa tutur yang berimbang agar menjadi contoh bagi orang-orang yang utama. Di berbagai kisah agar terbebas dari mara bahaya dari zaman dahulu, dihindarkan dari berbagai dosa dan berusaha agar hidup sejahtera sampai akhir zaman, tiada cela oleh berbagai cobaan hingga diunggulkan dan diutamakan dengan ungkapan, Hoong.... "
Swuh rep data pitana, rep, swuh rep, rep swuh rep, saking kersanipun
sekar kawi kang sinawung
kinarya resmining gending gandakusuma
munya kekanthening budaya
ing nguni budaya iku
tanana anane budaya iki saking negara
dhawuhe andhika para wali
kang sinawung mring pra pujangga jawi
kinarya tepa tuladha
karo dene para janma sujana
lan swartane budi kang wus uning
ginane karawitan angiringi budaya
ana gambaran
mirip rupa warna janma mengku sastra
kang sinandi
kedik janma ingkang udani
menawa tan parameng kawi
lungguh panggung nyawang gegambaran
gegambaranipun agesang
menungsa kang ana madyapada
aja kate darbe tindak ala
ngudi mring kautaman
dimen manggih kayuwanan
Hoong.......
Dari suasana sepi, suwung, sunyi kemudian ada cerita
sunyi karena kehendakku
sekar tembang yang menyertai
sebagai kidung resmi kidung sejati
bersama suara gending gandakusuma
sebagai bagian kebudayaan yang dulu tak ada
kalau berasal dari negara
atas perintah para wali
yang direstui oleh pujangga jawa
sebagai suri teladan
bersama para cerdik pandai
serta para budiman bijak
bahwa fungsi gamelan sebagai pengiring seni budaya
yang berwujud gambaran
seperti wujud manusia itu mengandung
sastra terselubung
sedikit orang yang mengerti
jika bukan ahli kawi (budayawan)
duduk dipanggung mengamati gambaran
yaitu gambaran hidup dan kehidupan
manusia yang berada di dunia
jangan sampai berlaku jahat
biarlah belajar tentang kebaikan dan kesucian
agar mendapatkan keselamatan
Hoong......
Diceritakan terdapat gumelarnya negara Wiratha yang juga bernama kerajaan Matswapura, Gangganarmada yang juga bernama negara Pura Srinada.
Sebuah kerajaan besar dan luas bertempat di tepi bentang sungai Gangga, sebagai negara besar menjadi tempat tujuan para pendatang dari mancanegara.
Terlihat indahnya biru samudera tanpa batas pandangan mata, disetiap kota terdapat bandar pelabuhan, para nelayan terlihat menepi kepesisir pantai terkena pantulan sang surya. Di sepanjang pantai daun-daun nyiur melambai-lambai tertiup angin sepoi-sepoi itu suatu pertanda bahwa bumi Wiratha adalah bumi yang subur.
Negara kang panjang, punjung, pasir, wukir, loh jinawi, gemah ripah karta tur raharja. Panjang dawa pocapane, punjung luhur kawibawane, pasir samodra, wukir gunung. Dene nagari ngungkuraken pagunungan, ngeringaken pasabinan, ngayunake bandaran gedhe. Loh tulus ingkeng sarwa tinandur, jinawa murah kang sarwa tinuku, gemah kang lumaku dagang rainten dalu tan ana kendhate, lebet tan ana sangsayaning dalan.
Sebuah negara yang panjang jadi pembicaraan secara luas, punjung berarti tinggi nilai kewibawaannya. Pasir, negara dengan lautan yang luas, yang dikelilingi pegunungan, sebelah kiri membentang sawah yang luas sebelah kanan mengalir sungai yang jernih sebagai sumber kehidupan. Di depan terdapat bandara pelabuhan-pelabuhan besar. Dengan tanahnya yang subur semua yang ditanam dapat tumbuh dan menghasilkan dengan hasil panen yang melimpah. Harga semua barang kebutuhan murah, makmur dalam perdagangan, karena tidak ada halangan aman sepanjang perjalanan.
Keluhuran dan kewibawaan sang raja yang memegang kekuasaan pemerintahan sudah terkenal sampai ke manca negara, karenanya banyak para raja yang mengirimkan duta agung untuk saling kerja sama antar negara.
Siapakah sang raja yang sedang duduk di singgasana kemegahan kerajaan Wiratha....? Yaitu seorang raja yang bergelar Prabu Sri Baginda Maharaja Matswapati yang juga bernama Prabu Durgandana.
Prabu Durgandana yang senantiasa menegakkan
keutamaan budi dan keadilan, duduk di singgasana kursi gading kencana, bertebaran permata menghiasi seluruh ruangan istana, semerbak bau harum kasturi, tertiup angin sepoi-sepoi bau harum menyebar bagai di taman. Para danyang abdi kraton dengan busana indah berwarna-warni.Dengan penuh kewibawaan sang raja duduk di singgasana bagaikan Bathara Kuwera yang ngejawantah. Penuh sesak para nayaka dan punggawa kerajaan yang menghadiri pasewakan agung, duduk berdekatan sang putra Wiratha Raden Seta yang hadir di samping ayahanda sang raja hadir bersama dua orang saudaranya yaitu Raden Utara dan Raden Wratsangka.
Dalam pasewakan agung itu juga terlihat kehadiran sang cucu para Pandhawa, sang raja Ngamarta Prabu Darmakusuma, ya Prabu Puntadewa, dibelakangnya berdiri satriya Jodhipati Raden Harya Werkudara yang juga bernama Bima Sena ya sang Wijasena nggaglah mbergagah, berdiri dengan gagah perkasa layaknya bintang Bima Sakti, berdampingan dengan sang adik satriya dari Madukara panengah Pandhawa Raden Harjuna ya Raden Janoko ya Permadi satriya tampan rupawan tanpa cacat, disamping Raden Arjuna saudara bungsu si kembar Nakula dan Sadewa satriya dari Sawo Jajar dan Bumi Rotawu yang juga bernama Pinten dan Tangsen dengan penuh hikmat menunggu sabda sang eyang Prabu Matswapati.
Ndadak sak mangke horeg kang samiha wuninga rawuhipun nata agung ing Dwarawati sang nata Prabu Sri Bathara Kresna mandhap saking titian kreta Kiai Jaladara, sigra minggah madyaning datulaya dadya suka renaning penggalih sang nata ing Wiratha Prabu Durgandana
Tiba-tiba saat itu seperti tergoncang -kaget- semua yang menyaksikan -diluar istana dari angkasa- hadir raja agung dari Dwarawati sang Prabu Sri Bathara Kresna turun dari kereta Kiai Jaladara segera naik ketengah istana kerajaan menjadikan berbagai perasaan senang sang raja Wiratha Prabu Durgandana
Sritinon ing pasewakan,
busana maneka warna,
sebak puspita ngudyana,
myang panjrahing sarwa rukma,
rengeng manik narawata,
abra prabanya sumirat,
kenyaring teja leliweran,
lir kilat sisiring thathit,
wimbuh gagandha mrik minging,
katiyuping maruta manda,
saparan mangambar kongas.....
Ooong.....
Tampak indah di bangsal pertemuan,
pakaian beraneka warna,
semerbak wangi bunga bagai taman,
juga bertebaran hiasan serba ema,
hiasan permata di mana-mana,
gemerlap berkilauan cahayanya,
berpendar-pendar pantulan sinarnya,
seperti kilat yang menyambar-nyambar,
ditambah keharuman -bunga- yang menusuk,
tertiup angin sepoi-sepoi,
dimana-mana bau harum -harum- tercium
Ooong.....
" E, ee.... Ya jagad mangestungkara, ya jagad dewa bathara, ngger.... putuku Prabu Ngamarta, putuku Puntadewa padha raharja sak praptanira anaing negara Wiratha kene ngger, putu Prabu.... " kata Prabu Matswapati mengawali pembicaraan menyambut kedatangan raja Ngamarta Prabu Puntadewa
" Nun amit pasang aliman tabik tinebihna luputna rubeda dhumawahing tawang-towang kanjeng eyang...." jawab Prabu Puntadewa " Tansah pinaringan ing kawigatan liring sambekala sowanipun ingkeng wayah Puntadewa, keparenga ingkeng wayah ngaturaken sembah semungkeming pangabektinipun ingkeng wayah sadhap paduka kanjeng eyang Sri Baginda Maharaja Prabu Matswapati.... "
" Putu Prabu ndak tampa akarya bombong penggalihe pun eyang ora liwat pangestune eyang tampanana putu Prabu Puntadewa.... "
" Kula pundhi cundhaka panglingga murda amewahana kabagyane gesang kula kanjeng eyang, kanjeng eyang Matswapati.... "
" Prayogakna nggonmu ngadhep anaing negara Wiratha kene ngger putu Puntadewa.... "
" Sampun boten kirang prayogi anggen kula ngabyantara kanjeng eyang.... "
" Putuku wong gagah, wong jarot Werkudara padha raharja praptanira kulup anaing datulaya negara Wiratha ngger, Bratasena.... "
" Waaaa..... tansah pinaringan kawigatan niring sambekala sowanku ana ing Wiratha, Matswapati kakekku.... " jawab Raden Werkudara
" Werkudara ndak tampa akarya bombong penggalihe pun eyang, ora liwat pangestune pun eyang tampanana.... "
" Ndak gegem ndadekake jimat.... "
" Prayogakna nggonmu ngadhep ngarsanipun pun eyang ngger.... "
" Wis ora kurang prayoga ana ngarsane Matswapati kakekku.... "
" Apadene sira kulup Arjuna, putuku wong bagus prayogakna nggonmu ngadhep.... " sambut Eyang Prabu Matswapati kepada Raden Arjuna
" Sampun boten kirang prayogi pisowanipun ingkeng wayah ingkeng wayah pun Arjuna kanjeng eyang.... "
" Putuku kembar Nakula lan Sadewa prayogakna anggonmu lenggah ngadhep ngarsanipun eyang ngger putuku Pinten lan Tangsen.... "
" Nun inggih eyang sampun boten kirang prayogi, kula pun wayah ugi ngaturaken sembah semungkeming pangabekti eyang Prabu Matswapati.... " jawab Nakula
" Nun inggih eyang sampun boten kirang prayogi, nyuwun donga pangestunipun kanjeng eyang Prabu Durgandana.... " jawab Sadewa
" Ya, ngger putuku kekarone cah bagus, muga pangestunipun eyang, amberkahi marang putuku sekarone cah bagusPinten lan Tansen.... "
" Apadene sira putu Prabu Dwarawati sawetara lenggah anaing datulaya negara Wiratha, sarawuhe ing Dwarawati eyang ing Wiratha ngaturake karahargyan nggonmu rawuh anaing praja Wiratha putu Prabu Kresna.... " sambut Eyang Prabu Matswapati kepada Prabu Kresna dari Dwarawati
" Nun inggih nyuwun pasang aliman tabik tinebihna nila duni dhumawahing tawang-towang kanjeng eyang.... " jawab Prabu Sri Bathara Kresna " Sewusewu kalepatan ingkeng wayah tadhah wadana dene ngantos randhat anggen kula sowan ngabyantara ngarsanipun kanjeng eyang tansah pinaringan ing kawigatan niring sambekala sowanipun keng wayah manggiha widada niskala sowan kula, keparenga pun wayah Kresna ngaturaken sembah semungkeming pangabekti konjuk ngarsanipun kanjeng eyang ing Wiratha, kanjeng eyang Matswapati.... "
" Putu Prabu Dwarawati ingsun tampa akarya bombong tyas ingsun ora liwat pangestune pun eyang wae tampanana.... "
" Kula pundhi ngge jimat paripe ndayananaing kasantosan paring pangestu kanjeng eyang amawahana kabagyaning gesang kula eyang Prabu Durgandana.... "
" Putu Prabu Dwarawati ya, sawise satata ngadhep marang pun eyang, putu Prabu mesthi ana rasa kagyat penggalihe putu Prabu Kresna.... " kata Eyang Prabu Matswapati meneruskan pembicaraan " Dene kalungguhan samengko putu Prabu ingkeng wus nampa nawala saka eyangmu ing Wiratha, wondene wigatine surasane nawala putu Prabu Kresna ndak aturi rawuh anaing negara Wiratha yen ta dina samegko para Pandhawa wis mapan anaing Wiratha.... "
" Kanjeng eyang, estunipun tambuh-tambuh sutaning manah ingkeng wayah ing Dwarawati.... " kata Prabu Kresna " Menapa ta sababipun ingkeng wayah dipun utus sowan dhateng negari Wiratha, ananging menawi dipun keparengaken kula ambatang dene kadang-kadang kula Pandhawa mapan wonten negari Wiratha, nuwun sewu mbok menawi menika wonten gandheng cenengipun kalian kodrating jagad ingkeng sampun badhe lumampah inggih menika Bratayudha Jaya Binangun. Sabab sasampunipun Pandhawa pundhat anggenipun nglampahi paukuman buang wontening wana Kamiyaka tumunten sisingidhan wonten negari Wiratha boten kadenangan dene para Kurawa, satemah ingkeng wayah ing Dwarawati tumunten nglampah tapa ngambang wontening Bale Makambang, sampun pundhat anggen kula nglampahi tapa wontening Bale Makambang tumunten sakmangke Pandhawa mapan wontening negari Wiratha, menika sampun boten saget dipun selaki malih menika wonten gandheng cenengipun kalian kodrating jagad inggih menika Bratayudha Jaya Binangun. Namung kemawon ingkeng ndadosaken kagyat sutaning manah ingkeng wayah ing Dwarawati kenging menapa paduka kanjeng eyang lajeng ngaturi dhateng sowanipun ingkeng wayah ing Dwaraka, menawi tanpa pambengan kula pun wayah cumadhong dhawuh nedya mastuti sabdatama kanjeng eyang ing Wiratha kanjeng eyang Prabu Durgandana kula aturi paring dhawuh kanjeng eyang Matswapati.... "
Hanjrah ingkang puspita rum,
kasiliring samirana mrik,
sekar gadhung kongas gandanya,
maweh raras renaning driya
Oong.....
Harumnya bunga menyebar,
wanginya terbawa hembusan angin,
kembang gadhung semerbak -wangi- baunya,
membuat hati amatlah senang
Oong.....
" E'ee jagad dewa bathara ya jagad mangestungkara, Kresna....! " seru Prabu Matswapati
" Kula wonten pengendika dhawuh kanjeng eyang.... " jawab Prabu Kresna
" Akeh-akeh putu Prabu nggone pangandikan monjuk atur klawan eyang ing Wiratha, ana sak perangan ukara ingkeng semune ndadekake tuwuh tandha pitakon marang penggalihe pun eyang.... "
" Inggih nyuwun pangapunten kanjeng eyang, kapareng ambabharaken menapa ingkeng dipun penggalih kanjeng eyang, mbok menawi wonten lepat aturipun ingkeng wayah ing Dwarawati supados paring dhawuh kanjeng eyang....? "
" Nggonmu paring dhawuh yen ta mapane para Pandhawa anaing Dwarawati ana gandheng cenenge klawan Baratayudha Jaya Binangun, mengko dhisik aku tak takon, nggonmu putu Prabu nglakoni tapa nendra kuwi sing digayuh apa....? "
" Nyuwun pangapunten kanjeng eyang, nalika semanten kula namung kagungan gegayuhan supados saget kaparingan wujudipun Kitab Jitabsara.... " jawab Prabu Kresna
" Kitab Jitabsara....? "
" Inggih kasingihan mekaten ngantos kula nglampahi tapa sesinglon wujuding klanceng pethak, supados ing sapangajap sakmangke kula saget mangertosi dhateng lumampahing kodrat Baratayudha Jaya Binangun ingkeng sinerat wonten telenging buku Jitabsara kalawau kanjeng eyang.... "
" Sakbanjure.... ? "
" Berkah pangestu kanjeng eyang wreda menika sampun saget kula asta namung kanthi pitumbas kundhure Sekar Wijayakusuma, kundhur dhateng panguwasanipun para jawata, ateges ingkeng wayah sakmenika sampun boten gadhahi wujude pusaka Sekar Wijayakusuma ingkeng kinarya panggesanganipun tiyang wontening janaluka ingkeng pejah dereng winanci.... "
" Tegese Putu Prabu wis bisa anggayuh wahyu Jitabsara ingkeng sinerat kodrat Bratayudha....? "
" Kasingihan mekaten.... "
" Mara saiki aku tak takon.... " kata Prabu Matswapati
" Kanjeng eyang badhe nyuwun prisa menapa....? "
" Nalika putu Prabu adhu arep karo para dewa sabdane Sang Hyang Jatimurti marang putu Prabu apa....? "
" Ingkeng wayah kadhapuk minanangka pujanggane Bratayudha, inggih kadhapuk dados pujangganipun para Pandhawa.... " jawab Prabu Kresna
" La yen ngono tegese, yen ta Pandhawa bakal nglakoni perang gedhe Brantayudha kuwi ora bakal isa uwal klawan panggulawentahe putu Prabu ing Dwarawati, tegese putu Prabu kuwi wujuding botoh, botohmu sing mbok lakoni dene jagone para Pandhawa....! "
" Nyuwun pangapunten wonten tetembungan arepa botohe mempeng nek jagone ora wani menika muspra tanpa guna, mila kula badhe nanting dhateng kadang-kadang kula para Pandhawa, botohipun sampun kados mekaten anggenipun mbudi daya dados pujangga wonten perang ageng nanging menawi Pandhawa boten kersa nglampahi perang Bratayudha menika nuwun sewu tutur ketawur boten wonten ginanipun....! "
" Putu Prabu Puntadewa....! " seru Prabu Matswapati
" Kula wonten paring dhawuh kanjeng eyang....? " jawab Prabu Puntadewa
" Apa ingkeng dingendikakake putu Prabu Kresna ana benere....? Gandheng kabeh wis padha nglumpuk anaing Wiratha tak suwun Putu Prabu Puntadewa matura marang rakamu Dwarawati kepiye mungguh lenging ciptamu lan anteping atimu nggonmu bakal napaki perang gedhe Bratayudha iki, ngemuti sarta ngelingi yen ta wis marambah makaping-kaping duta utusane para Pandhawa kinarya nanjihke negara Ngastina lan Ngindraprastha sak jajahane nanging kabeh gagar wigar ora antuk karya. Wiwit saka anak Prabu ing Pancala nganthi ibumu Kunti Talibrata ngelingake marang si Duryudana ewodene putu Prabu Ngastina puguh cukeng nyekeli negara Ngastina, Puntadewa....! "
" Kula ingkeng paringan dhawuh.... "
" Mula saiki kabeh ingkeng gumana mosik anaing penggalih putu Prabu Puntadewa aturna marang rakamu ing Dwarawati....! "
" Kaka Prabu.... " kata Prabu Puntadewa kepada Prabu Kresna
" Yayi Prabu wonten dhawuh....? " jawab Prabu Kresna
" Ngimuti dhateng lampahan ingkeng sampun dipun ngendikakaken kanjeng eyang Matswapati dinten samangke para Pandhawa kempal wonten negari Wiratha menika estunipun namung badhe anuding tuwin badhe ngutus dhateng sinten ingkeng sakmangke pantes kinarya dutanipun Pandhawa nanjihaken negari Ngastina miwah Ngindraprastha sak jajahanipun menika kalian kaka Prabu Duryudana.... "
" Nyuwun pangapunten yayi, upami para Pandhawa menika mangke ngutus dhateng satunggile nalendra menapa dene satriya supados nanjihaken negari Ngastina umpami lo menika yayi umpami nyatanipun yayi Prabu Duryudana puguh cukeng piyambakipun boten purun ngeklasaken negari Ngastina kula nyuwun pangapunten kula nyuwun prisa menapa ingkeng kedhah dipun lampahi dening yayi Prabu sak kadang....? " tanya Prabu Kresna
" Menawi saking pemanggih kula kaka Prabu, gandheng Puntadewa menika gesang boten kabandha dening drajat pangkat miwah boten kabandhaing bandha dunya, mila menawi kaka Prabu Duryudana boten ngeklasaken negari Ngastina lan Ngindraprastha wangsul dhateng panguwasanipun para Pandhawa, menawi tumrap manah kula piyambak kula eklas lair batin tinimbang kula kedhah wisuh dhateng ludiranipun sedherek aluwung sak mangke Pandhawa boten mukti ngawibawa nyakrawati mbahu dendha boten menapa-menapa kaka Prabu.... "
" Werkudara....! " seru Prabu Kresna
" Piye Kresna kakangku....? " jawab Werkudara
" Yayi Prabu kadangmu wis paring dhawuh kaya mengkono, tegese wis muspra tanpa guna nggone pun kakang mbudi daya golek ya kuwi werda Jitabsara ingkeng nyerat kodrat Bratayudha Jaya Binangun, nyatane tak lakoni kaya ngapa yayi Prabu Puntadewa ora kersa nglakoni perang gedhe Bratayudha Jaya Binangun, mula yayi wektu dina iki pun kakang wis pasrah ora isa nduwe penemu apa-apa....! "
" Waa.... Kresna kakangku....! "
" Werkudara piye....? "
" Yen manut karo rasaku apa sing dingendikakake karo Mbarep kakangku kuwi mung ngugemi benere dhewe ning ora benere wong akeh....! "
" Loh, tegese....? " tanya Prabu Kresna
" Benere dhewe kuwi mung bener tumrap awake dhewe ning kurang bener tumrap wong liya.... "
" Kok si adhi isa matur kaya mengkono....? "
" Ya, merga Mbarep kakangku ora mikir marang kahanane Werkudara lan Janoko, Mbarep kakangku kudune ngerti yen ta Bratayudha kuwi dudu perang apyak awur-awur sak kepenake dhewe, Bratayudha kuwi dudu perang ingkeng dadi sarana mateni sapepadhane nanging kuwi perang kodrate jagad, perang sing wis dikodratake dening para jawata, jroning Bratayudha kuwi bakal katandha sapa sing utang bakal nyaur, sapa sing nyilih bakal balikake sapa sing nduwe sumpah bunaki bakal ilang anaing Bratayudha, tegese yen Mbarep kakangku ora gelem nglakoni Bratayudha mung siji wong sing dadi jalaran tumangkare angkara murka anaing jagad ora liya kejaba amung Mbarep kakangku....! "
" Werkudara....! " seru Prabu Puntadewa
" Apa....? "
" Apa si adhi mentala nyumurupi muncrating ludira saka dhadhane sedulur....? "
" Yen pancen kuwi sedulur sing wis wegah nampa wewarah nampik pitutur becik dhasare pambhegan watak angkara murka.... " kata Werkudara " Waa.... Werkudara ora bakal wegah nyirnakke marang wong-wong sing ambheg angkara murka....! "
" Dhimas, wong urip anaing alam padhang kuwi kudu kebaking tresna asih, nadyan kaka Prabu Duryudana kuwi daksiya marang para Pandhawa nanging tumrap aku luwih becik menehi pangapura marang wong kang tumindak ala marang awake dhewe, tinimbang awake dhewe tansah nduwe rasa kepingin males marang wong liya kuwi ora prayoga.... "
" Yen tumrap kowe kaya ngono nanging tumrap aku ora....! " bantah Werkudara
" Apa ta jalarane dene si adhi isa paring dhawuh kaya ngono.... ? " tanya Prabu Puntadewa
" Mbarep kakangku, kowe apa ora kelingan jaman sesukan dhadhu, apa kowe ora kelingan bojomu mbakyuku Wara Drupadi diwirang-wirangke karo Dursasana, diwirang-wirangke karo Kurawa nganthi ilang tabhete sawijining garwa nalendra diirang-irang isin nganthi tekaning pati nggone ngrasakke mbakyuku Wara Drupadi nganthi kewetu ucape Werkudara ora lega rasane atiku yen besuk jroning Bratayudha arep tak ombe getihe Dursasana, wis marambah ping kaping-kaping tak ucapake....! Yen Mbarep ora gelem nglakoni Bratayudha tegese kowe nyengsarakke sedulurmu lanang, kowe padha karo nyiksa aku dupeh kowe ora mentala karo para Kurawa, yen pancen Mbarep ora mentala ora usah ndadak tumandhang karya, aku karo Jlamprong sing saguh ngentekke Kurawa satus cacahe, idhep-idhep ngleksanakake dhawuhe jawata ya kuwi ngisas angkara murka....!! "
" Yayi nyuwun pangapunten, menapa ingkeng dipun aturaken kadang paduka pun Werkudara menika kepara saestu....! " sela Prabu Kresna " Bratayudha menika senes perang ampyak awur-awur nanging perang ingkeng mawi tatanan, tegesipun salebheting Bratayudha menika badhe katandha sapa ingkeng nandur becik tukule bakal apik nanging sinten ingkeng tanduranipun awon ing mriku badhe ngundhuh angkara murka ingkeng kedhah dipun sirnakaken. Mila saking menika yayi kula ayuri ngemuti dhateng lelampahanipun para kadang sampun paduka menika nggegegi dhateng pemanggih piyambak menika mangke badhe boten prayogi kedadosanipun. Werkudara, Arjuna ingkeng sekawit marambah makaping-kaping aturipun dhateng raka ing Dwarawati bilih piyambakipun adreng nglampahi Bratayudha Jaya Binangun, nanging sedaya boten badhe kalampah menawi yayi Prabu boten maringi palilah dhateng kadang paduka nglampahi perang ageng Bratayudha menika yayi....! "
" Putu Prabu..... ! " seru Prabu Matswapati
" Wonten dhawuh kanjeng eyang.... " jawab Prabu Puntadewa
" Anane kabeh iki mau dumadi satemene wis kinodrat dening kuwasane Gusti ingkeng akarya jagad, elinga Bratayudha Jaya Binangun kuwi Pandhawa durung lair nanging para jawata wis ngodratake, mula ana tetembungan kridhaning ati tanpaha bedhah kuthaning pesthi budi dayaning menungsa tan bisa ngungkuli garise kang Maha Kuwasa. Mara ta coba eling-elingen, Pandhawa kudu tansah mungsuh kadang-kadange dhewe kuwi ora kok merga mentala karo dulure lanang ya kuwi para Sata Kurawa ora, nanging tetepna anaing atimu tetepna anaing rasamu Pandhawa dadi utusane adil dadi utusane para jawata ngisas angkara murka sebab angkara murkaning Duryudana sak Kurawane kuwi ora bakal ilang lamun ora bareng karo kang sinandhangan. Dadi yen putu Prabu Puntadewa cukeng ora gelem nglakoni Bratayudha mung perkara sira ora mentala marang patine sedulur kang mangkono padha karo ora ngleksanani marang dhawuhe para dewa ora ngleksanani apa kang dadi kodrate para jawata. Putu Prabu, wong sing selak klawan kodrate mau ateges selak karo uripe. Wong sing selak karo uripe ateges uripe ora ketrima karo Gusti ingkang Maha Kuasa kuwi lawanging kanugrahan ditutup, arepa putu Prabu kuwi tumindak becik anaing alam padhang nanging tanpa kanugrahan tanpa entuk apa-apa nggonmu tumindak apik anaing ngalam ndunya iki Puntadewa.... ! "
Keleme mawa limut,
kalamatan jroning alam kanyut,
sanyatane iku kanyatan kaki,
sejatine yen tan emut,
sayekti tan bisa momor
Oong......
Tenggelamnya (rasa) itu dengan suasana gelap,
mendapat dalam alam yang menghanyutkan,
sebenarya itu kenyataan anakku,
sebenarnya bila tidak ingat (sadar)
tidak akan dapat menyatu
Oong......
" Duh kanjeng eyang..... " ujar Prabu Puntadewa, setelah beberapa saat hanyut dalam penyesalan " Kanjeng eyang pengayoman kula eyang Prabu Durgandana, sepinten kalepatanipun ingkeng wayah tadhah wadana, sasampunipun ingkeng wayah midanget sabdanipun paduka kanjeng eyang Matswapati tumunten ginugah raos manahe pun Puntadewa, ingkeng sakmangke kula namung badhe dhedherek kersanipun kadang-kadang kula pun Werkudara, Janoko napa miwah Kembar menawi sami adreng anggenipun badhe anglampahi Bratayudha Jaya Binangun, namung kula nyuwun dhateng kanjeng eyang..... "
" Piye putu Prabu, nyuwun apa marang pun eyang .....? " tanya Prabu Matswapati
" Supados sakmangke dipun tanjihaken sepindah malih babagan negari Ngastina ugi negari Ngindraprastha sak jajahanipun.... "
" Sranane....? "
" Srananipun kedhah angutus dhateng Duta Pamungkas saking Pandhawa. Menawi duta ingkeng pamungkas menika mangke gagar wigar boten saget angluluhaken penggalihipun kaka Prabu Duryudana kacetha bilih Bratayudha boten saget dipun selaki, Pandhawa kedhah nyabrang banjir getih saking dhadhanipun para Kurawa, kanjeng eyang....! "
" Ee ladyalah jagad dewa bathara, Kresna....! "
" Wonten dhawuh eyang....? "jawab Prabu Kresna
" Wus ana sumilak pepadhang ewondene putu Prabu kadangmu putu Prabu Puntadewa nyuwun kudu ana Duta Pamungkas kanggo para Pandhawa.... " kata Prabu Matswapati
" Inggih kula sampun mangertos, lajeng sinten ingkeng kedhah kaphatah dados Duta Pamungkase para Pandhawa sowan dhateng Ngastina nanjihaken dhateng yayi Prabu Duryudana....? " tanya Prabu Kresna
" Werkudara....! "
" Matswapati kakekku piye....? " jawab Werkudara
" Mara gage uruna penemu sapa ingkeng pantes dadi duta pamungkase Pandhawa....? " tanya Prabu Matswapati
" Ora ana liya kejaba mung Kresna kakangku....! " jawab Werkudara
" Semanten ugi keng rayi pun Janoko boten wonten sanes kejawi namung kaka Prabu Dwarawati ingkeng pantes kaphatah dados duta pamungkasipun para Pandhawa.... " sambung Arjuna
" Kresna, piye putu Prabu....? " tanya Prabu Matswapati
" Gandheng sampun dipun pitados kalian sedaya kadang kula para Pandhawa sakmangke kula namung sendika ndhedherek, malah kula badhe bidhal dhateng Ngastina sakmangke, nyuwun lilanipun kula nyuwun pamit eyang.... "
" Mengko dhisik aja kesusu putu Prabu, apa sira putu Prabu Kresna ora nyuwun wadyabala supaya ndherekaken marang jengkarmu....? "
" Kula kinten boten perlu eyang, namung dhimas Sentyaki kemawon ingkeng kula kanthi minangka kusir supados enggal prapta wonten negari Ngastina.... "
" Yen ana apa-apa ingkeng bakal tumandhuk marang putu Prabu Dwarawati....? "
" Kula sampun mangertos watak wantunipun para Kurawa, mila kula kedhah prayitna ingkeng atos-atos, namung panjurung pamujinipun kanjeng eyang ingkeng kula suwun mugya wayah ing Dwarawati sageta lebda ing karya.... "
" Putu Prabu Dwarawati ndak pepuji marang ngarsaning Hyang Maha Nasa muga-muga nir baya nir wikara duka mendakkala sirna sak lakumu putuku Prabu Dwarawati.... " kata Prabu Matswapati memberikan do'a restunya
" Kula ngaturaken panuwun ingkeng tanpa pepindhan.... Yayi aji kula nyuwun pamit.... " kata Prabu Kresna
" Kaka Prabu Dwarawati sepindah melih kula nyuwun kanthi sanget supados kaka Prabu saget anebihaken geni memungsuhanipun Kurawa lan Pandhawa,.... " kata Prabu Puntadewa " Menawi saget kedhah dipun jung sarana aris mugi kaka Prabu Duryudana sageta maringaken negari Ngastina lan Ngindraprastha dhateng para Pandhawa.... "
" Nun inggih yayi aji ngestokaken dhawuh.... Werkudara aku njaluk pamit.... "
" Sing ati-ati Kresna kakangku, perkara iki tak pasrahke sak wutuhe marang Kresna kakangku....! " jawab Werkudara
" Arjuna, pun kakang nyuwun pamit.... " kata Prabu Kresna kepada Arjuna
" Kaka Prabu sembah kula ingkeng ndherekaken jengkar paduka.... " jawab Arjuna
" Kowe nitip apa Janoko....? "
" Boten nitip menapa-menapa kaka Prabu.... "
" Iki aku arep nang Ngastina lo, kowe weling apa, apa nitip layang apa piye....? "
" Boten.... " jawab Arjuna dengan muka merah menahan rasa malu " Kaka Prabu menika kok sajakipun cubriya kalian kula....? "
" Loh, ora cubriya.... " kata Prabu Kresna " Lawong aku iki wis ngerti karo lagak laguanmu, kowe iki nyimpen mutiara nang Ngastina ta....? "Apa dikira aku ora ngerti.....? "
" Inggih benjang kemawon.... " jawab Arjuna makin merasa malu
" Ora saiki....? "
" Boten, benjang kemawon.... "
" Waa.... Janoko ora usah mbok tari sing werna-werna ndang mangkato....! " kata Werkudara
" Sentyaki....! " seru Prabu Kresna
" Wonten tinimbalan kaka Prabu.... " jawab Arya Sentyaki
" Cawisna titian ingsun kreta Kiai Jaladara, pun kakang dadi Duta Pamungkas para Pandhawa budhal ana negara Ngastina nanjihake negara marang yayi Prabu Duryudana yen pance yayi Duryudana iki mengko cukeng adreng ngukuhi Ngastina lan Ngindraprastha ora bakal bisa dibusek meneh bakal dumadi perang gedhe Bratayudha Jaya Binangun....!! "
" Sumangga kula dherekaken.... " kata Sentyaki
" Eyang kula nyuwun pamit.... "
" Sing ati-ati putu Prabu Dwarawati....! "
Setelah Prabu Sri Bathara Kresna diangkat menjadi Duta oleh para Pandhawa dan Prabu Matswapati, para putra-putra Wiratha Raden Seta, Raden Utara dan Raden Wratsangka bersama dengan Patih Nirbita mengadakan gelar pasukan. Puluhan ribu pasukan bala tentara telah disiagakan.
Begitu juga dengan Patih Udawa juga menggelar ribuan prajurit dari Dwarawati, ribuan prajurit bersenjata lengkap telah siaga, siap tempur, seakan-akan perang besar Bratayudha Jayabinangun segera dimulai.
Sementara itu Raden Arya Setyaki dipanggil untuk menghadap Prabu Sri Bathara Kresna
Rikat lampahing rata,
tan antara prapteng sukuning arga
Oong..... Oong.....
Cepat lajunya kereta,
tak berapa lama sampai di kaki gunung
Oong..... Oong.....
" Setyaki....! " seru Prabu Sri Bathara Kresna
" Wonten tinimbalan ingkang dhawuh kaka Prabu.... " jawab Raden Setyaki
" Aja kaget kang dadi pikirmu, sira kadangipun kakang ing Garbaruci ndak tuding minangka dadi rowange pun kakang ingkeng dadi Duta Pamungkase Pandhawa.... "
" Inggih kula remen kaka Prabu....! "
" Kok njur kowe seneng dhasarmu apa....? " tanya Prabu Kresna
" Kula pitaya dhateng paduka kaka Prabu bilih penjenengan menika Sang Wisnu sejati ingkeng saget mutusi perkawis, lan ugi Setyaki kepingin ningali pungkasaning perkawis duta ingkeng sampun merambah kaping tiga menika, kejawi menika kula badhe njajaki jeru cetheke negari Ngastina....! "
" Bagus Setyaki....! Kowe dina samengko iki kadhapuk minangka kusir.... "
" Inggih sagah....! " jawab Setyaki bersemangat
" Lair batin saguh....? " tanya Prabu Kresna
" Sagah....! "
" Mara saiki yen pancen kowe saguh dadi kusir, apa ta pakaryane kusir, mara gage matura marang pun kakang.... "
" Setunggal, jereng rendheng, kaping kalih ngudhak dhedak kaping tiga makani kuda.... " jawab Setyaki
" Setyaki, apa ingkeng mbok kandhakake mau pakaryane kusir pangupa boga, nanging iki beda bakal mangkate si adhi klawan pun kakang prapta anaing Negara Ngastina iki mengko kowe kudu ngematke lan mermanakake lakune kuda Kyai Jaladara.... "
" Lire kados pundi....!? "
" Kreta tinarik kuda cacahe ana papat, wernane abang, ireng kuning lan putih.... "
" Inggih.... "
" Sak perangan kuda mau waspadakke, yen nganthi playune kreta iki mengko tinarik kuda ingkeng warnaning abang tegese sing telu mung kari manut lakune si abang kuwi minangka pratandha yen ora bisa diselaki meneh bakal pecah perang ndunya Bratayudha Jayabinangun....! "
" Kaka Prabu, lajeng benjang menapa tindak paduka wonten negari Ngastina....? "
" Setyaki, manjing nang papan pakusiran, pun kakang manjing anaing wahanane rata ayo budhal dina iki menyang negara Ngastina....! "
" Sumawi kula dherekaken kaka Prabu Dwarawati.... "
Raden Arya Setyaki segera menyiapkan kereta pusaka Kerajaan Dwarawati sebagai kendaraan Prabu Kresna untuk menjadi duta siap berangkat ke Kerajaan Ngastina
Lah menika ta warnanira titian nalendra ing Dwarawati awujud kreta kencana Kyai Jaladara, nadyan kreta senes yasane menungsa tuhu para jawata nenggih Mpu Hanggojali nenggih Mpu Ramayadi, genya mandhe wonten nginggile mega malang, nanging sedaya piranti dudu salamaking wesi nanging wesi pepethingan rajane wesi kahyangan.
Tinarik kuda catur cacahe awarni abang, ireng kuning lan putih.
Ingkeng abang nama Kyai Abrapuspa saka jagad kidul paringane Sang Hyang Brama, daya panguwaose bisa nasak uruping dahana, ngayomi para rowange.
Ingkeng ireng nama Kyai Sukantha asale saka jagad lor peparingane Sang Hyang Basuki bisa ambles bumi bisa ngayomi para rowange.
Ingkeng kuning nama Kyai Sunyasekti saking jagad kulon pinaringanipun Sang Hyang Maya darbe kasektene bisa ngambah lumahing toya telenging samodra tan prabeda kaya ing daratan ngayomi para rowange.
Ingkeng putih nama Kyai Ciptawilaha saking jagad wetan peparinganipun Sang Hyang Wisnu bisa ngambah dirgantara ngayomi para rowange.
Dhasar turangga catur padha sektine tur tangguh wontening madyalaga sisip jemparing tan ana geghaman kang tumama.
Sang nata Sri Bathara Kresna manjing jroning pagedhonganing rata, turangga mulat keghebleking sambuk sakala kuping njepiping mripat mlirik untu mringkik bunthut njenthar suku mancat bantala dungkap kena panyabuke kusir kaya antaga mabur yayah prahancana manjing ing antariksa...! "
Lah inikah bentuk warna kendaraan raja di Dwarawati yang berwujud kereta kencana (emas ) Kyai Jaladara, meskipun kereta bukan buatan manusia -tapi- yang dibuat oleh para dewa yaitu Mpu Hanggojali dan Mpu Ramayadi dipandhe di atas mega yang melintang sengaja bahan kereta bukan terbuat dari besi biasa namun dari bahan besi pilihan besi rajanya kahyangan.
Ditarik empat ekor kuda yang berwarna merah hitam kuning dan putih.
Kuda yang berwarna merah bernama Kyai Abrapuspa dari jagad selatan pemberian dari Sang Hyang Bathara Brama daya kemampuannya bisa menerjang kobaran api dan melindungi kawan pasangannya.
Yang berwarna hitam bernama Kyai Sukantha berasal dari jagad utara pemberian dari Sang Hyang Basuki bisa masuk kedalam bumi dan melindungi kawan pasangannya.
Yang kuning bernama Kyai Sunyasekti dari jagad barat kesaktiannya mampu berlari diatas air ditengah-tengah samudra tidak ubahnya seperti berjalan di daratan dan melindungi kawan pasangannya.
Yang berwarna putih bernama Kyai Ciptawilaha dari jagad timur pemberian dari Sang Hyang Wisnu bisa terbang ke angkasa dan melindungi kawan pasangannya.
Dasar empat kuda itu sama-sama saktinya juga tangguh dimedan pertempuran tidak akan terkena senjata panah dan tidak mempan oleh senjata apapun.
Sang raja Prabu Sri Bathara Kresna masuk kedalam kereta kuda tanggap dengan pukulan cambuk telinga tegak mingkup keatas mata melirik gigi nyeringai buntutnya berdiri tegang keatas kaki mancal ke bumi terkena cambukan sang kusir kereta melesat terbang ke angkasa....!
Kereta Kyai Jaladara melesat terbang keangkasa gemebyar cahyanya menyorotkan cahaya indah kemilauan intan permata hingga terlihat seperti bintang ngalihan (ndaru) yang menembus awan, tiba-tiba terlihat kelebat Sang Hyang Bathara Narada mengejar lajunya kereta Kyai Jaladara diangkasa
" Ooo.... prekencong, prekencong waru dhoyong.... Hooo mandheg dhisik ngger....!! "
Maka seketika itu kereta Kyai Jaladara turun ke bumi, Prabu Sri Bathara Kresna keluar dari dalam kereta menyabut kedatangan Sang Hyang Bathara Narada bersama tiga orang dewa lainnya, Bathara Kanwa, Bathara Janaka dan Bathara Ramaparasu
" Ooo.... e'ee,. ...e'ee, ....e'ee.....e'ee..... ha, ha, ha.... " Bathara Narada menari-nari tertawa senang di depan Prabu Kresna
" Pukulun sesembahan kula, boten pangling menika pukulun Narada ingkeng mrepeki dhateng lampahe kreta Kyai Jaladara, pukulun kula ngaturaken sembah pangabekti kula konjuk.... " kata Prabu Kresna menyambut kedatangan Bathara Narada bersama dengan tiga orang dewa lainnya
" Aaa..... prekencong, prekencong..... pak pak pong, pak pong, buk bolong.....waru dhoyong.... kali code sapa sing nggawe.... Ya ya Narayana kita ngaturake bekti klawan penjengan ulun, ulun tampa akarya bombong tyas ulun, ora liwat pengestu ulun tampanana ya kulup, Kresna.... " jawab Bathara Narada
" Kula pundhi ngge jimat paripe ndayanana ing kasantosan.... Pukulun Bathara Kanwa kula ngaturaken sembah pangabekti kula konjuk.... "
" Ya ya Kresna ulun tampa ora liwat pangestu ulun tampanana..... " jawab Bathara Kanwa
" Kula pundhi ngge jimat.... Pukulun Bathara Janaka kula ngaturaken sembah pangabekti kula konjuk..... "
" Ya ya Kresna ulun tampa, ora liwat pangestu ulun tampanana.... " jawab Bathara Janaka
" Pukulun Bathara Ramaparasu kula ngaturaken sembah pangabekti kula konjuk.... "
" Kresna tak tampa pangestuku tampanana.... " jawab Bathara Rama Parasu
" Inggih kula pundhi ngge jimat paripe..... Keparenga wayah ing Dwarawati comadhong dhawuh menapa ta sababipun jawata sekawan kepareng angendhekaken lampahing Kyai Jaladara..... ? " kata Prabu Kresna
" Aaa..... La iki ngene ya Kresna..... " jawab Bathara Narada " Aja kadhuk ati kejeron penampa, apa sebape dene ulun lan anganthi Bathara Kanwa, Janaka lan Ramaparasu dina samengko mrepeki klawan jeneng kita, awit jeneng ulun tinudhing dening Sang Hyang Giri Pratingkah ya Sang Hyang Jatimurti kinen mbarengi sak lakune jantra kita sebab ngene ya ngger.... Laku kita kuwi dudu laku ingkeng mung dadi duta nanging lakuning Nata Dwarawati kuwi katandha tiningeran kodrate jagad ya kuwi ingkeng winastan perang gedhe Baratayudha Jayabinangun kanthi laku kita prapta ana negara Ngastina iki mengko katandha, yen pancen Prabu Duryudana cukeng adreng ngukuhi Ngastina lan Ngindraprastha wis ora bakal diselaki meneh bakal pecah perang ndunya Bratayudha Jayabinangun, ewodene yen pancen Duryudana ngeklasake negara Ngastina lan Ngindraprastha bali marang panguwasane Pandhawa ateges Bratayudha Jayabinangun abar ora sida, mula ulun mung kinarya paseksen bakal mangkat kita minangka duta pamungkas pengawakane Pandhawa prapta anaing negara Ngastina iki mengko Kresna....! "
" Ya Kresna, jawata papat iki bakal humiring laku nira.... " kata Bathara Kanwa " Beja kemayangan ngger dene lampah nira bakal diayomi para dewa, ulun uga kepingin amirsani para-para kang jiwa pendhita, jiwa brahmana golongane wong-wong kang dadi pengarepe titah ingkeng manembah ijik lumaku sakmesthine apa ora, merga yen ta para pendhita brahmana wis melu-melu minangkani perkara negara drajat pangkat kalungguhan iki mengko bakale ora becik.... "
" Ya kaki Narayana.... " sambung Bathara Janaka " Semono uga ulun mbiyen sithik okeh ulun ngerti jejering ratu, jejere ratu kudu tumindak sakmesthine, ulun melu amerga ulun kepingin nekseni kahanane para ratu kang padha nyengkuyung Pandhawa lan Kurawa, sak ora-orane ulun bisa weruh ngendi jiwa ratu sejati lan ngendi ratu sing mung lelamisan...... "
" Waa.... aku mbiyen mungsuhe satriya akeh satriya sing tak perjaya tak pateni.... " kata Bathara Ramaparasu " Ngadhepi kahanan iki kira-kira sik ana satriya sing sejati apa ora, apa ndunya iki sik ana satriya sing bawaleksana, apa nang ndunya iki apa ijik ana satriya sing wani mbela bener, apa nang marcapada iki apa sik ana satriya sing wani ngorbanake jiwa ragane, mula kanthi ulun melu iki nekseni pirembugan Ngastina iki bakal dadi tetenger nggonku nyawang lelakon sakteruse ngger Narayana....! "
" Menawi tetela mekaten menapa boten langkung prayogi pukulun Bathara Narada, pukulun Bathara Kanwa, pukulun Bathara Janaka, pukulun Bathara Ramaparasu nunggal sakrata kalian ingkeng wayah Dwarawati..... " kata Prabu Kresna
" Aas..... kuwi luwih prayoga luwih becik ngger.... " kata Bathara Narada " Tinimbang padha mlaku dhewe-dhewe mengko ndak malah ora nglumpuk ana negara Ngastina, mula kang sangka kuwi yen dikeparengake ulun manunggal sakrata klawan jeneng kita kulup Nata Dwarawati, panjenengan ulun paring pangestu klawan jeneng kita nggon kita wus saguh dadi dutaning para Pandhawa njabel negara Ngastina lan Ngindraprastha sak jajahane.... "
" Sumangga pukulun kula aturi manjing telengipun rata Kyai Jaladara..... " Prabu Kresna mempersilahkan Bathara Narada dan ketiga para dewa itu
" Ya ya Kresna.... Kanwa, Janaka lan Ramaparasu ayo manjing telenging rata Kyai Jaladara nunggal sakkreta karo Nata Dwarawati putu Prabu Kresna ngger....! "
Nggayuh gegana lampahing rata Kyai Jaladara sumusuping ewa emantaka satemah boten katingal lampahing kreta pusaka Dwarawati titihan Nata ing Dwaraka, sumawana jawata catur ingkeng sampun nunggal sakrata klawan Nata Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna. Datan kawusana wonten ingkeng mapan ing tapel wates negari Turilaya, sang Nata Prabu Bogadhenta nitih dipangga aran Kyai Murdaningkung kadherekaken keng rayi Sang Dewi Murdaningsih wus prapta ana jawine rangkah negari Turilaya ingngarsa bidhal dhateng negari Ngastina nampi nawala saking keng raka nalendra Ngastina Prabu Duryudana, sawetawis kendhel wonten madyaning dlanggung pra sekawan tindake sang Nata Prabu Bogadhenta miwah gajah Murdaningkung tuwin Dewi Murdaningsih....
Nggayuh gegana lampahing rata Kyai Jaladara sumusuping mega satemah boten katingal lampahing kreta pusaka Dwarawati titian nata ing Dwaraka sumawana jawata catur ingkeng sampun nunggal sakrata klawan Nata Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna.
Datan kawusana wonten ingkeng mapan wontening tapel wates negari Turilaya nata Prabu Bogadhenta nitih dipangga aran Kyai Murdaningkung kadharekaken keng rayi Dewi Murdaningsih wus praptaing jawine rangkah negari Turilaya ing ngarsa bidhal dhateng negari Ngastina nampi nawala saking keng raka nalendra ing Ngastina Prabu Duryudana, sawetawis kendel wonten madyaning dlanggu prasekawanan tindake sang nata Prabu Bogadhenta miwah gajah Murdaningkung tuwin Dewi Murdaningsih
Semakin naik tinggi ke angkasa jalannya kereta Kyai Jaladara masuk ke dalam mega hinga tidak terlihat dari pandangan kereta pusaka -kerajaan- Dwarawati kendaraan raja Dwarawati bersama empat orang dewa sudah menyatu dalam kereta dengan raja Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna.
-Diceritakan- saat itu yang berada di tapal batas negara Turilaya raja Prabu Bogadhenta mengendarai kuda yang bernama Kyai Murdaningkung yang diikuti sang adik Dewi Murdaningsih sudah sampai di luar tapal batas wilayah kerajaan Turilaya mau berangkat ke negara Ngastina menerima surat dari sang kakak nalendra Ngastina Prabu Duryudana, sementara berhenti di tengah perempatan jalan perginya sang raja Bogadhenta dan gajah Murdaningkung bersama dengan Dewi Murdaningsih.
" Yayi Murdaningsih.... ! " seru Prabu Bogadhenta
" Ana dhawuhmu apa kakang Bogadhenta miji klawan kadangmu Murdaningsih....? " jawab Dewi Murdaningsih
" Mesthi wae kaget anaing atimu wiwit budhal saka praja ing Turilaya sira yayi mung tak jawil kinen nyawisake titianku Kyai Murdaningkung nganthi tekan papan kene diiring wadya bala segelar sepapan sabab ngertiha yen ta dina iki pun kakang nampa nawala saka kadangku nalendra ing Ngastina kakang Prabu Duryudana ya kakang Prabu Joko Pitono yen ta dina iki wus nyaketi tumapake perang gedhe Baratayudha Jayabinangun mula pun kakang didhawuhi supaya sowan ana ning negara Ngastina pangajapku enggala aku entuk pangkat senopati nggonku bakal males ngudhi tuwuh lara wirang karo Pandhawa ingkeng wis misahake Bogadhenta karo sedulur-sedulurku para Sata Kurawa..... "
" Mengkono kakang....? "
" Ya, mula kang sangka kuwi ora usah ndadak ana rasa sangga rugi walang ati marang jroning atimu, gandheng yayi Murdaningsih wis tak muktekke anaing Turilaya mula tak jaluk kanthi banget belanana pun kakang nggone bakal mbelani kadangku werda ya nalendra ing Ngastina....! "
" Dhawuh pangandika kakang Prabu aku mung sakderma ngestupada ingkeng sabanjure aku nyadhong marang timbalane kakang Prabu Bogadhenta.... "
" Ayo adhiku wong ayu digelak lakune prapta anaing negara Ngastina aja nganthi keri karo titianku Kyai Murdaningkung, ora ana ingkeng ngerti keringkihane pun kakang apadene si adhi lan gajah Murdaningkung, yen mung arep nggawe patine Pandhawa anaing Bratayudha angel mijet wohing ranti suwe banyu sinarih....! "
" Yen kaya mengkono ayo tak dherekake budhal menyang negara Ngastina kakang Prabu Bogadhenta....! " jawab Dewi Murdaningsih
" Ayo yayi Murdaningsih, Kyai Murdaningkung tak titiane budhal menyang negara Ngastina....! "
Prabu Bogadhenta dengan mengendarai gajah Kyai Murdaningkung bersama dengan sang adik Dewi Murdaningsih dikawal ribuan prajurit dari kerajaan Turilaya melanjutkan perjalanan menuju ke kerajaan Ngastina
Minangka candaking lampah, dhateng madyaning Pertapan Gunung Yasarata ingkeng lenggah madyaning bale Pertapan wonten wujude pendhita ingkeng wus kladhuk yuswa nanging taksih katingal mudha tumaruna ingkeng peparap Begawan Resi Jayawilapa risajuga nedheng lenggah madyaning percabakan sineba ingkeng putra Dewi Ulupi ugi putra wayah nenggih Bambang Irawan ingkeng bagus citrane ruruh wus dhungkap dewasa ketingal cakrak sigrak adamel bombong sang bapa Resi Jayawilapa, nampi sowanipun putra wayah , samiha tambuh-tambuh sutaning nggalih ing cipta sang resi amedhar pangandika
Yang masih merupakan kelanjutan cerita, di tengah Pertapan Gunung Yasarata yang duduk di tengah pertapaan terdapat seorang pendita yang sudah tua namun masih terlihat sangat muda yang bernama Resi Jayawilapa, sedang duduk ditengah ruang pertapaan besama sang putra Dewi Ulupi dan sang cucu yaitu Bambang Irawan yang tampan rupawan dan sudah beranjak dewasa terlihat gagah menjadikan senang hati sang ayah Resi Jayawilapa, saat itu menerima kehadiran sang cucu, terihat bersemangat dan penuh rasa haru dalam hati sang resi dalam pembicaraan
" E'ee.... Hong mastumana sidam sekaring bawana langgeng, atmajaku ngger, anakku wong gagah wong sentosa Bambang Irawan sawise satata nggonmu ngadhep marang pun eyang, kok ora kaya adat sabene ngger ana wigati apa ngger, putuku cah bagus.....? "
" Nun inggih kanjeng eyang, kula pun wayah ngaturaken sembah semungkeming pangabekti kula konjuk eyang, ugi kanjeng ibu kula ngaturaken sembah semungkeming pangabekti kula konjuk.... Esthinipun manah kula pun wayah namung badhe anyuntak dhateng geghembolanipun manah kula.... " kata Raden Bambang Irawan
" Ya ya ngger pangabektimu tak tampa ora liwat pangestunipun eyang tampanana..... " jawab Resi
Jayawilapa
" Ya ngger putraku cah bagus sembah pangabektimu tak tampa pangestune pun ibu tampanana ngger Bambang Irawan.... " jawab Dewi Ulupi
" Kula pundhi ngge jimat ndayanaing kasantosan gesangipun pun wayah kanjeng eyang, ugi kanjeng ibu.... "
" La banjur arep ngendika apa karo pun eyang, mara gage walaka wae ya ngger, sapa ngerti pun eyang bisa minangkane apa kang dadi geghembolane atimu ngger cah bagus....? "
" Nun inggih kanjeng eyang kalian kanjeng ibu, dinten samangke sampun anyaketi perang ageng Bratayudha Jayabinangun, menawi dipun keparengaken kula pun wayah badhe sowan dhateng negari Wiratha kula badhe ngaturaken darma bekti kula dhateng kanjeng rama Arjuna ugi para pepundhen Pandhawa kula pun wayah badhe ndherek manunggal kalian para putra Pandhawa badhe kula pasrahaken jiwa raga kula kangge kemenanganipun pepundhen kula para Pandhawa kanjeng eyang.... "
Mendengar apa yang disampaikan cucunya sang Resi Jayawilapa merasa sedih namun juga bangga, sedih karena harus berpisah dengan cucu yang sangat dicintainya namun bangga karena Raden Bambang Irawan yang telah tumbuh dewasa memiliki budi pekerti yang luhur besar tekadnya untuk menjunjung derajat orang tua dan para pepundennya para Pandhawa, begitu juga dengan Dewi Ulupi, dengan bercucuran air mata memeluk putra semata wayangnya dengan sangat berat bila harus berpisah dengan putra yang sangat dicintainya
" Ngger kulup putraku Bambang Irawan, rasa manahe keng ibu kaya sinebit-sebit ngger..... Nanging Ibu uga bombong yen putraku wus angancik dewasa uga sentosa bakal ngaturake dahma bektimu karo kanjeng ramamu uga para pepundhen Pandhawa, keng Ibu mangestoni ngger, muga Gusti ingkeng akarya jagad ngayomi marang laku jantramu ngger kulup putraku.....! "
" Putuku ngger Bambang Irawan, ndak suwun ngarsane Gusti ingkeng Maha Kawasa muga kulup putuku lebda ing karya, isa migunani marang para pepundhenmu para Pandhawa anggenipun badhe ngayati perang suci Bratayudha Jayabinangun....! "
" Nun inggih kanjeng ibu, ugi kanjeng eyang kula pun wayah nyuwun pamit, namung pangestunipun paduka kanjeng eyang ugi kanjeng ibu ingkeng kula suwun.... "
Sang Resi Jayawilapa dan Dewi Ulupi di pertapan Yasarata dengan berat hati melepas kepergian putranya berangkat ke kerajaan Wiratha.
Sementara itu juga diceritakan saat itu di Kerajaan Panggulanjagad sang Prabu Surasekti memanggil para abdinya punakawan Togog dan Mbilung
" E'ee, e'ee, e'ee.... yaa..... E'ee, e'ee, e'ee.... yaaa.....!!! Waah Togog.... waaa.... ha, ha, ha..... e'aa.... e'aa.... e'aa......!!! "
" Kok kaya ratu nembus lotre wae ta....?! " kata Mbilung
" La ngapa Lung.....? " tanya Togog
" Thithik-thithik joged..... gamelane wis entek mbarang ya sik joget, e'ee.... e'ee.... a'aa.... a'aa.....!? " kata Punakawan Mbilung
" Nuwunsewu sinuwun Prabu Surasekti sampean kok ngawe kula kalih Mbilung enten napa....? "
" Aku dina iki ora bali marang negara Panggulanjagad Gog....! " kata Prabu Surasekti
" La sebabe.... ? "
" Aku entuk dhawuhe gusti ayu Murdaningsih supaya ndherekake jengkare sang Prabu Bogadhenta saka negara Purilaya.... "
" Prabu Bogadhenta ajeng jengkar tindak pundi....? "
" Ngendikane gusti ayu Murdaningsih yen ta sinuwun Prabu Bogadhenta entuk nawala saka negara Ngastina, mung sing tak gumuni Gog, lakok gusti ayu nyebutake yen ta ratu Ngastina kuwi kadange sang Prabu Bogadhenta, mula nggonku bakal labuh iki ben ora tidha-tidha, yen pancen kowe wis ngerti, kowe iki jarene abdi sing wis wareg mangan gempalaning jagad legi asine kahanan lan kowe ngerti sejarah gage kowe critaha apa sebabe nata Ngastina kuwi kok dianggep kadange Prabu Bogadhenta....? "
" Mboten mung diangep.... " jawab Togog
" Loh, ora mung diangep....? "
" Boten, ning niku kadange tuwa sinuwun Prabu Bogadhenta.... "
" La banjur critane kepiye....? " tanya Prabu Surasekti penasaran
" Mbiyen Prabu Bogadhenta niku dudu ratu, ning pancen niku satriya perangane.... "
" Kurawa....! " sahut Mbilung
" Klebu cacahe.... "
" Kurawa satus.... "sahut Mbilung
" Ning Kurawa sing teng negara Ngastina niku wis ora jangkep.... "
" Satus.... "
" Wis onten sing.... "
" Kos..... "
" Kok ngekos ta Lung....? Wis lunga.... " kata Togog
" Ora ngekos ta.... hahai.... ya wis lunga....! " sahut Mbilung
" Merga jaman mbiyen niku ana lakon jenenge.... "
" Trajon....! " sahut Mbilung
" Trajon kuwi apa....? " tanya Prabu Surasekti
" Trajon niku antarane Pandhawa karo Kurawa niku bobote.... "
" Ditimbang....! " sahut Mbilung
" Kurawa satus ditimbang karo Pandhawa lima.... "
" Cacahe....! "
"Kocap Raden Bogadhenta nembe mapan teng timbangan.... "
" Raden Bratasena wis ora sranta timbangan digenjot diel...!! " kata Mbilung
" Bogadhenta kontal nganti ora dingerteni papan lenggahe dhawah wontening wana Turilaya, jaman semanten sing dadi ratu wonten negari Turilaya jenenge.... "
" Prabu Murdhadewa.... " sahut Mbilung
" Niku nduwe putri jenenge Dewi.... "
" Murdaningsih "
" Tuwin gadhah klangenan gajah jenenge Kyai.... "
" Murdaningkung...! "
" La sakbanjure Raden Bogadhenta dikukup karo Prabu Murdhadewa.... "
" Oo.... dikukup....? "
" Nggih, didadekna anak dadi sedulur lanange Dewi Murdaningsih, saking keparenge jawata telu-telune niku dadi satriya sing ampuh....! "
" Prabu Bogadhenta, Dewi Murdaningsih lan gajah.... "
" Murdaningkung....! " sahut Mbilung
" Telu-telune manunggal, trisula niku dadi senopati ing Turilaya, mula Turilaya niku boten tau ketekan mungsuh.... " kata Togog
" Padha wedi kalih senopati telu niku....! " sahut Mbilung
" Sampun krungu kabare niki....? " tanya Togog
" Ya, mbiyen pancen ngedhap-ngedhapi tandhange wong telu kuwi, Bogadhenta, Murdaningsih karo gajahe Murdaningkung.... " kata Prabu Surasekti
" La sak sedane Prabu Murdhadewa niku negara Turilaya sing gumanti keprabon Prabu Bogadhenta, niku ora wong mbengkanane ngerti-ngerti entuk kamukten.... Mula nek piyambake ajeng ngudhi tuwuh lara wirang karo Pandhawa merga piyambake rumangsa disengsarakke karo.... "
" Pandhawa....! "
" Arepa sak niki dadi ratu.... " Ning sing jeneng ngigit-ngigit kepingin males lara wirang niku.... "
" Boten isa ilang.... " sahut Mbilung " Sak jam, rong jam, telung ndina, seminggu, sebulan, setahun, sepuluh tahun boten isa ilang. Wong niku nek wis dendam, ooo.... mbok tekan lak-lakane naga isih nduwe rasa dendam, upama isa ana tembung ngapura niku mung neng lathi boten saget lair tandes ana batin kala mangsa nek ana perkara diuthik-uthik diungkit-ungkit niku menungsa.... "
" Nggih kaya Prabu Bogadhenta niku arepa dheweke wis keblegan drajat pangkat, wis nduwe kelungguhan wis nduwe bandha akeh nanging nek.... "
" Krungu jenenge Pandhawa, ooo.... igit-igit....! " sahut Mbilung
" Yen ngono wis sak trepe yen Prabu Bogadhenta mbelani ratu Ngastina....? " tanya Prabu Surasekti
" Nggih pun sak trepe wong niku ya kakang adhi tenan.... "
" Mung dipisahke karo kahanan dipisahke karo lelakon.... " sahut Mbilung
" La terus kok sampean takon karo perkara niku....? " tanya Togog
" Ajeng napa....? " sahut Mbilung
" Ming nanjihke rasaku.... " jawab Prabu Surasekti " Aku nek mbelani wong sing cetha jluntrunge aku seneng, ning yen mbelani wong sing ora cetha jluntrunge padha karo rebutan kemiri kopong padha karo rebutan balung tanpa sungsum.... "
" Ooo.... la sakniki kula tak takon, jluntrunge sampean karo Prabu Bogadhenta niku enten napane....? "
" Aku dadi ratu tethelukan, dadi ratu tethelukan kuwi kudu sumaguh netepi kewajiban junjhung marang derajate ratu sing nelhukake, aku saguh minangka tabuk ttawure perang kanggo muktekke Prabu Bogadhenta.... "
" Nggih mangga.... Terus sampean....? "
" Aku arep nang negara Ngastina.....! " kata Prabu Surasekti " Dherekake Prabu Bogadhenta merga entuk kabar yen ta Ngastina bakal pecah perang Bratayudha Jayabinangun...."
" La sampean....? "
" Aku arep melu mbelani Prabu Bogadhenta.... "
" Ooo.... Nggih pun..... Lung, golek mori....!! "
" La dinggo apa Gog.... ? " tanya Mbilung
" Ya dinggo buntel gusti ratumu iki....! " kata Togog
" Nuwun sewu nggih sinuwun, kula caosi presa jan-jane nek sampean niku ajeng melu-melu ya kena nanging mbok ya nganggo perkara. Bratayudha niku wong kana-kana ora entuk cawe-cawe niku perkarane Pandhawa karo Kurawa, sampean ora usah melu-melu, sampean niku Prabu Surasekti ratu Panggulanjagad negara sampean niku durung tau pisan wae mlebu koran lakok sampean ratu cilik-cilikan kok arep melu perkara gedhe niku lak aleman jenenge....!? "
" Loh ora jeneng aleman, aku iki mbelani ratu gustiku....!! " kata Prabu Surasekti terlihat merah mukanya " Kowe kok sak gelemmu dhewe ngelokke aku aleman....?! "
" La nggih nek bener dibelani, wong ora bener, wong ngudhi tuwuh lara wirang wong bales dendam niku ora apik kok dituruti, nek isa kudune sampean niku ngelingake....! "
" Nek aku ngelingake dipateni....!! " jawab Prabu Surasekti marah
" Mbok mati ya ora papa....!! " sahut Mbilung
" Ya aja ngono Lung.....!? "kata Togog
" Gog....!! "
" Non....! "
" Kowe melu aku tak bayar ora....? " tanya Prabu Surasekti
" La nggih.... "Aku ngejak kowe merga kowe iki abdiku, kowe iki ora tak kon mulang ora tak kon mejang karo aku, kowe tak kon manut kowe tak kon dherekake sak lakuku.... ! "
" Oo nggih, lajeng keparengipun....? "
" Dadi nek aku nduwe karep ngene-ngene kowe ora usah ngepalangi karepe Surasekti....! Lara kepenak beja cilaka, aku seneng aku sedih tak tanggunge dhewe kowe ora usah melu-melu, sing wigati bayaranmu sesasi cukup lan ora tau telat....! "
" Piye Lung....? "
" Ee mbok ya wis ben wae Gog..... " kata Mbilung " Ngelingake bentuke ratu sing kaya ngene iki malah ngeceh-ngeceh suwara, umpama kuwi sepeda onthel ngono wis tak pancal kit mau-mau.....! "
" Kok pancal apane....? "
" Ya sak intuke, neng udele apa neng rahine kuwi.....! " kata Mbilung berbisik dengan Togog
" Ora usah kakean gunem tanpa guna, hayo rikat-rikat lakune sumusul marang Prabu Bogadhenta nitih Kyai Murdaningkung....!! "
" Mangga kula dherekaken sinuwun.... "
Myat langening kalangyan,
aglar pandam muncar,
tinon lir kekonang,
surem soroting tan padhang,
kasor lan pajaring,
purnama gegana,
dhasare mangsa ketiga,
ima inaweng ing ujung ancala,
asenan karya wigena,
miwah isining wana,
wreksa gung tinunu
Melihat indahnya tempat yang disukai,
bersebaran suluh (dilah) menyala,
terlihat seperti -cahaya- kunang-kunang,
sinarnya suram tidaklah terang,
kalah dengan -sinar- yang dipancarkan,
-oleh- rembulan di angkasa,
karena memang musim kemarau,
awan yang menutupi puncak gunung,
bersorot menyedihkan,
juga isi hutan,
pohon-pohon yang besar terbakar
Nalika semanten katingal gapura negari Astina kados hancalasuta, ancala gunung suta anak, kaya gunung anakan gedhening gapura negari Ngastina, inggile ngungkuli pucang, pucang tegese wit jambe, kados minggah ing angkasa.
Negari ageng nanging datan agung, kethoke ayom nanging sayektine ora ayem. Amargi saking kaprabawane ingkang asta mahkuthaning negari ingkeng hanguja para kadang-kadange nenggih Sata Kurawa, nenggih sang Prabu Joko Pitono ya Prabu Duryudana, sekti mandra guna jayeng palaghan pilih tandhing boboting aprang. Sang Prabu Duryudana lenggah nggedangkrang yayah sila tumpang parandene kendelan kewala, jinajaran lenggahing dening rama mara sepuh nalendra ing Mandaraka sang Nata Prabu Salya ya sang Narasoma. Datan kahadhep sang brahmana Resiwara Bhisma, begawan Drona ya sang Kumbayana, Adipati Karna miwah rekyana Patih Harya Suman. Ananging katingal legheging kalbu sang Prabu Duryudana.
Saat itu terlihat gapura negara Astina seperti hancalasuta, ancala artinya gunung suta anak, seperti gunung anakan besarnya gapura negeri Ngastina, tingginya mengalahkan pucang, pucang artinya pohon jambe, seperti naik ke angkasa.
Negara besar namun tidak agung, kelihatannya teduh namun sebenarnya tidaklah tentram. Karena terbawa perbawa yang memegang kekuasaan negara yang senantiasa memanjakan saudara-saudaranya yaitu para Kurawa, dialah sang Prabu Joko Pitono ya sang Prabu Duryudana sakti mandra guna , siap bertempur dengan siapapun di peperangan. Sang Prabu Duryudana diduduk -dikursi tahta- dengan sila tumpang namun hanya -kelihatan bingung- diam saja., duduk berjajar dengan sang mertua raja dari Mandaraka sang raja Prabu Salya ya sang Narasoma. Juga dihadap seorang brahmana sang Resiwara Bhisma, begawan Drona ya sang Kumbayana, juga Adipati Karna dan sang Rekyana Patih Harya Suman. Tetapi tetap terlihat resah dan bingung hati sang Prabu Duryudana.
" Putuku ngger, putuku Duryudana.....! " kata eyang Resiwara Bhisma membuka pembicaraan
" Kula wonten pangandika ingkang dhawuh.... " jawab Prabu Duryudana
" Ngene ya ngger, Bhisma iki wis nglilakake kawiryan kaluhuran lan kawibawan, yen ta disawang satleraman kaya luput drajat satriya kok dadi brahmana, nanging kabeh mau merga nggoku nggegulang ngurangi kabandhaning pepinginan ning alam ndunya ingkang tak rasa iki mengko bakal dadi rubedaning brata, rubeda kuwi alangan brata kuwi laku. Laku semedi laku tirakat kuwi brata iki bakal ngrendheti kasampurnan. Umpama ta nalika sedane yayi Wicitrawirya lan uga rama Prabu Sentanu aku gelem dadi ratu bisa, bisa, merga dadi ratu tumraping Bhisma dudu perkara ingkeng angel nadyan aku kudu batalake murungake sumpahku dewa ora bakal maido, ning jiwa satriyaku sing ora gelem mencla-mencle, ngerti....?! "
" Inggih..... " jawab Prabu Duryudana
" Amerga nistha nisthaning menungsa mau yen bubrah prasetyane nyelaki janji lan ngoncati saka sumpahe sing gedhe....! "
" Inggih, lajeng....? "
" La saiki aku tak kandha marang putu Prabu, gandheng wis rampah kaping pindho, ratu Pancala Drupada mbok erang-erang, dipepoyok, dicacat nganthi kewirangan. Kepindhon si Kunti Talibrata. Ibumu si Kunti wong tuwa direwangi rene keraya-raya nang Ngastina ingkeng wigati mung kepingin supaya putra-putrane para Pandhawa lan Kurawa supaya darah Sapta Arga iki lulus raharja, nanging nyatane ya mung mbok gawe wirang kowe tetep ngoncati marang prasetyanmu. Duryudana, titising tindak menungsa bakal ketekan sedyane nek nganggo waspada. Pituture wong mbiyen ngono kuwi wis tak kandhakke makaping-kaping marang kowe. Nek wong waspada yekti bakal nyata, yen ta titi patrape bakal wicaksana, wening cipta bakal waskitha, lereming karep mesthi bakal ayem, sireping kepinginan wong kuwi manggihi tentrem.
" Inggih ngaturaken agungipun panuwun...."
" Duryudana ora perlu kakean gunem tanpa guna rehne iki mengko bakal ana duta kang pamungkas tatanen rasamu amerga iki mengko ingkeng bakal nemtokake nasibe para Kurawa lan Pandhawa..... "
" Inggih ngaturaken panuwun..... Bapa Durna.....? "
" Ooo lole-lole..... blegudhug suwalu gembol sumorante, sumorante..... " kata Begawan Durna " Inggih sinuwun menawi pemanggih kula, kula dados gurunipun para Pandhawa lan Kurawa wiwit rumiyen sejatosipun kula sampun ningali tandha-tandha menawi Pandhawa Kurawa menika boten rukun, mula duk nalika kula mucal Pandhawa Kurawa menika inggih namung kepingin manggihaken raosipun ngemuti menika tesih sedherek. Awit menawi babagan kawruh babagan ngelmu kanuragan napa dene ngelmu kasampurnan Durna menika boten wonten menapa-menapanipun suwung kados bumbung wong-wang, menawi katraju kalian ingkeng eyang Sapta Arga Begawan Abiyasa boten wonten menapa-menapanipun kula menika. Ning kula nggih nggumun, ing atase Durna menika gurune wong perang gurune wong gelut kok dha percaya karo Durna, dayoh kula kathah bendinten, la sing nyerik-nyerikke nggih mung Patih Sengkuni niku kanca kula piyambak, wonten jejer kula mangka wonten dhayoh sing pitaya kalih kula malah muni " Wong ngelmu ora mandi kok mbok gugu " Cobi wong sing kepiye ngono iku, ana wong lagi kepayon kok dhayohku malah digawe ora ngandel.
Lah ngaten ngger, kesagetan kula menika namung bab olah kanuragan olah sanjata keprigelan perang nanging kok lajeng dinggo gelut karo sedulur menika boten pangajap kula, mergi kula dadi guru menika temen-temen napa mesthine. Ngoten niku bendina tasih dicubriyani pendak wonten padhang-padhang kula mesthi didakwa kalih Patih Sengkuni dikira kula mban cindhe mban siladhan abot Pandhawa dupeh Janoko kula paringi panah Hardha Dhedhali, Bratasena kula paringi kawruh kasampurnan. Nyuwun pangapunten ngger, Hardha Dhedali menika menika pancen bebungah kula dhateng Janoko, nanging ngelmu kasampurnan menika sanes kula ingkeng maringi Bratasena golek dhewe kula mung prentah kula dhewe boten weruh boten sumerep kawruh kasampurnan ya merga Bratasena niku percaya kalih kula. Wong niku nek wis percaya mbok kleru ya dha ngandel, ambok amung kula umuki ya percaya..... "
" Inggih.... "
" Menawi aturipun bapa Sukalima ngger, mangga dipun suraos sampun ngantos ndadosaken cengkrah dardah antawisipun sedulur.... "
" Inggih matur sembah nuwun bapa ing Sukalima.... Rama Prabu Mandaraka kula aturi kersa paring pangandikan.... "
" Inggih ngger, kula mara sepuh paduka...." kata Prabu Salya " Sejatosipun sumber-sumbering reruwet menika boten sanes inggih sesukan dhadhu nalika semanten, dikapak-kapakna wong main wong judi niku marakke cilaka....! "
" Inggih kados pundi rama Prabu....? " kata Prabu Duryudana
" Cilaka melih merga Pandhawa digawe kalah, kula baleni merga Pandhawa digawe kalah mung sarwa meneng, disiya-siya boten males, diukum dibuang rolas tahun punjul setahun boten sambat. Ngger, wong sing nrima niku medeni, yen tiyang dikapak-kapakne mung mendel niku malah mbebayani. Mula kula boten lila yen ta anak Prabu lajeng mbenjang dilokke nalendra ingkeng serakah nalendra ingkeng sugih nanging milik dhateng negari Ngindraprastha, amargi Salya niku lungguhe wonten negari Ngastina, niki kula namung atur pemut boten kok wedi perang, nadyan kathah sing ndakwa nek Salya niku mbelani Pandhawa. Oh ngger, Nakula Sadewa niku namung ponakan mangka Banowati menika garwa paduka, anak kula. Tumrap kula abot anak tinimbang keponakan. Lelampahan kita gesang menika saget kita semak purwa madya wusanane, kalawingi sakmenika lan benjing menika sami sesambhetan mila ingkeng ngatos-atos ngger.... "
" Inggih, kula nyuwun pemanggihipun kaka Prabu Ngawangga....! "
" Keparenga kula radi majeng sawetawis yayi Prabu....! " jawab Narpati Basukarna
" Kula sumanggakaken kaka Prabu....! "
Yogya kinarya palupi,
Suryaputra Narpati Ngawangga
lan Pandhawa tur kadange,
lyan yayah tunggal ibu,
suwiteng Sri Kurupati,
aneng negri Hastina,
kinarya gul-agul,
manggala golonganing prang,
Bratayudha ingadeg ken senopati,
Ngalaga ing Kurawa
Juga baik sebagai teladan,
Suryaputra raja Ngawangga,
dan Pandhawa adalah saudara,
lain ayah namun satu ibu,
Mengabdikan diri pada Sri Kurupati,
di kerajaan Hastina,
sebagai yang diungul-unggulkan
memimpin golongan panglima perang,
dalam golongan Kurawa
Prabu Karna dari Ngawangga beranjak maju dan berhadapan dengan Prabu Duryudana
" Nun amit pasang aliman tabik nila duni dhumawahing tawang-towang, yayi Prabu nyuwun pangapunten nata Ngawangga sumela atur ngersa paduka yayi.... "
" Kaka Prabu Ngawangga kula sumanggakaken...." jawab Prabu Duryudana
" Yayi, nalika paduka tepang kalian kula sepisanan paduka saklangkung sengsem dhateng Suryaputra nggih Suryaatmaja kula menika yayi, temah paduka gandheng kalian kula, paduka rengkuh lair tumusing batin paduka ugi pitaya dhateng kasekten kula. Awit nalika semanten kula wantun nantang dhateng Permadi ing atasipun kula menika namung anak kusir, salebheting Pendadaran Sukalima horeg sedaya sami cingak dene kula saget ngembari kaprawirane Janoko. Yayi kula kagungan pusaka awujud Kuntawijayandanu menika wonten ingkeng mastani bilih menika pusaka mbegal saking kabejanipun Permadi, dewa menika mboten bodho, dewa menika boten klentu nyatane Kuntawijaya menika dados gadhahane kula dados piyandel kula, ugi anting Socya menika gawan saking lair ingkeng dayanipun boten tedas gaman napa kewala sampun rinasuk dhateng angganipun Karna Basusena. Nuwun sewu yayi, kasekten lan pusaka kalawau namung badhe kula ginakaken kangge males budi sih dhateng paduka yayi. Mila saumpami paduka tetep ngukuhi bumi Ngastina lajeng dados perang ageng Bratayudha Jayabinangun kula kedhah mengsah kalian dulur kula piyambak dulur kula tunggal wadah, tumrap pun Karna Basusena boten dados menapa-menapa awit wiwit alit pancen kula boten nate dipun tepangaken dhateng tiyang sepuh. Yayi kesaenan paduka dhateng kula boten saget kula gantos ngantos winicaling driji. Paduka menika ratu wibawa paduka menika ratu digdaya kawasa, paduka nalendra sugih bandha boten sisah nggegah sinten-sinten negara Ngastina badhe kula tomboki ngangge nyawa kula......!! "
Setelah mengucapkan kata-katanya Prabu Karna memeluk Prabu Duryudana dan pergi meninggalkan paseban agung negara Ngastina
Namun dari ucapan Prabu Karna Basusena itu ada yang merasa tersinggung, yaitu Prabu Salya
" Oo ladyalah Karna, Karna upama ora lunga mesthi wis dadi padu iki mau.... "
" La nggih lok nglungani nika mengkin napa boten bingung....? " sahut Begawan Durna
" Mengko dhisik, sing tak surasa tembunge ampun nggugu sinten-sinten....? " kata Prabu Salya " Kuwi tembung sing nyokrok talingan, tegese klebu aku aja digugu, wah dadi wong kendel kena ning aja waton njeplak. Oalah Karna Karna kowe dadi mantuku yen ora mbobol bethek mlumpat tembok ora klakon kowe dadi mantuku....! Mula tak candhet ben ora dadi perang bakal okeh korbane, amerga aku yakin Pandhawa bakal unggul jurite, merga Kurawa wis kakean nyelengi dosa, tandurane dosa wis ora kena diitung senadyan anak Prabu Duryudana nduwe senopati Adipati Karna sing gamane kaya bledhek ora bisa bakal nduwa lakune karmapala....! "
" Nyuwun pangapunten sinuwun...... " tiba-tiba Patih Sengkuni yang duduk dibelakang Resiwara Bhisma disamping Begawan Durna ikut menyela pembicaraan
" Inggih pripun paman....? " jawab Prabu Duryudana
" Menapa kula boten dipun paringi bagean ngger....? "
" Bagean menapa....? " tanya Prabu Duryudana
" Matur dhateng ngarsanipun para sepuh.... "
" Inggih sumangga paman.... " Prabu Duryudana mempersilahkan
" Nuwun sewu kula tak majeng sekedhik.... " kata Patih Sengkuni dan beranjak maju kehadapan Prabu Duryudana
" Sang Mahatma Bhisma nyuwun pangapunten.... " kata Patih Sengkuni
" Ya Sengkuni.... " jawab Resiwara Bhisma
" Nuwun sewu kula boten badhe matur kathah-kathah awit eleke Patih Sengkuni pun kebacut disekseni wong sak ndunya, boten usah kula ngompyang teng pundi-pundi sedaya tiyang pun prisa, ning kula boten napa-napa jer elekku tak nggo muktekke ponakan kula blaka sisan ben cetha....! "
" Inggih pripun paman....? ""
" Nalika Kurawa dereng wonten, nalika Kurawa dereng lair tesih wonten njero padharanipun mbakyu kula Gandari kula pun njaluk tulung kalih Bathari Durga supados anak-anakipun mbakyu kula dadi wong sing peng-pengan nalika semanten ketrimah saestu, lair wujud daging sak tengkel lajeng dipun cuil-cuil kalian Bajobarat balanipun Premoni dados satus nyataipun dados Kurawa satus cacahipun sing sentosa.... "
" Inggih.... " Prabu Duryudana mengiyakan apa yang dikatakan Patih Sengkuni
" Niku sepisan, angka kalih nalika Bima Bungkus kula mbudi daya supados Bima menika pejah, Gajah Sena ingkeng saget mecah bungkus menika nanging Bima boten pejah malah saget digdaya saking lair, ning kula sampun mbudi daya.... Angka tiga, Bima nalika tesih enom nate kula racun, lajeng Kurawa kula ken bongkok dijeburaken dhateng Bengawan Yamuna. Angka sekawan, awak kula rusak dadi kaya ngeten niki dipala Gandamana merga kula nggih golekna kamukten anak keponakan.
Nalika Bale Gala-gala Pandhawa kula obong, salajengipun nalika babad alas Mertani Pandhawa kula pakakke jim. Sing pungkasan Pandhawa dhadhu, Pandhawa dadi wong buangan niku kabeh budi daya kula supaya Kurawa mukti sakteruse. Mangka sakniki kabeh kamukten pun wonten astanipun anak Prabu Duryudana mung kari nggo keceh rina wengi, yen namung pitung turun bandha brana picis negara Ngastina niki boten bakal entek lakok sakniki badhe dipun wangsulaken dhateng Pandhawa tegese anggen kula ngaya mbudi daya niku muspra tanpa guna, wis tak korbanke jenengku, tak korbanke urip drajatku ngglethek pethele mung arep diwenehke karo Pandhawa, nek ngoten niku carane boten usah sesuk-sesuk sak niki mawon kula tak minggat king Ngastina....!!! "
Patih Sengkuni setelah meluapkan kemarahannya langsung berbalik beranjak pergi mau meninggalkan kerajaan Ngastina, tapi tangan Patih Sengkuni disahut Prabu Duryudana
" Sampean ampun lunga paman....!! "
Tidhem madyaning pasewakan agung negari Ngastina paribasane kaya bethet sewu saba tegalan pangandikane ugi solah bawane para sepuh tinampi nata NgastinaPrabu Duryudana, saya kodheng penggalihe nata ing Ngastina satemah katingal dleweran ponang riwe mijil saking sel-selaning plarapan, katingal bingung nata Ngastina Prabu Duryudana ndadak sakkala mangke kasaru kedher njaba sami alok ana kreta ingkeng mudhun saking dirgantara, dupi mandhap saking rata nenggih sang Nata Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna minggah dhateng dhatulaya akarya cingak kang samya mulat kagyat Nata Ngastina Prabu Duryudana....!!
Tidhem madyaning pasewakan agung negari Ngastina paribasane kaya bethet sewu saba tegalan, pangandikane sarta solah bawane para sepuh tinampi nata ing Ngastina Prabu Duryudana, saya kodheng penggalihe sang nata Ngastina satemah katingal dleweran ponang riwe mijil saking sela-selaning plarapan, katingal bingung nata Ngastina Prabu Duryudana, ndadak sakkala mangke kasaru geger njaba sami alok ana kreta ingkang mudhun saking dirgantara dupi mandhap saking rata nenggih nata Dwarawati ingkeng minggah dhateng dhatulaya akarya cingak kang sami mulad kagyat nata Ngastina Prabu Duryudana
Menjadi semakin tegang pasewakan agung negara Ngastina seakan seperti -burung- bethet seribu -ramai berkicau- di tanah pategalan ucapan dan tingkah laku para sesepuh yang diterima Prabu Duryudana, semakin panik hati sang raja Ngastina hingga sampai terlihat bercucuran keringat yang keluar dari sela-sela bulu kulit tubuhnya, terlihat bingung raja Ngastina Prabu Duryudana, tiba-tiba saat itu ribut-ribut diluar -semua yang diluar- mengatakan ada kereta yang turun dari angkasa dan turun dari kereta yaitu raja Dwarawati yang -langsung- naik ke istana menjadikan semua orang menengok -keluar- menjadikan kaget raja Ngastina Prabu Duryudana
Prabu Sri Bathara Kresna bersegera masuk dan duduk di kursi yang sudah disiapkan berhadapan dengan Prabu Duryudana
" Kaka Prabu Dwarawati saking rawuh paduka kula ngaturaken pasegan panakrami mugi konjuk ngarsa paduka kaka Prabu Dwarawati.... " kata Prabu Duryudana menyambut kehadiran Prabu Kresna
" Nun inggih yayi Prabu mugi sedanten pinaringan lulus raharja, sak wangsulipun puja pangastawa mugi katur yayi Prabu Kurupati.... "
" Inggih kula pundhi ngge jimat paripe kaka Prabu.... "
" Pun kaki ora keri ngger wayah Prabu Kresna aku ngaturke pambagya panakrama muga katur ing wayah Prabu Dwarawati.... " sambut resiwara Bhisma
" Nun inggih eyang kula wilujeng niskala, sembah kula konjuk penemban.... " jawab Prabu Kresna
" Ya, ya ndak tampa banget trimaku wayah Prabu.... "
" Kula ugi ngaturaken karahargyan dhumateng anak angger Prabu Dwarawati.... " kata Begawan Durna
" Inggih kula tampi pangestunipun bapa ing Sukalima.... "
" Kula ugi ngaturaken karahargyan anak Prabu ing Dwarawati.... " kata Prabu Salya
" Inggih paman Prabu kula tampi, sembah kula katur.... "
" Kaka Prabu, saderengipun paduka rawuh kula sampun midanget bilih paduka menika minangka pengawak Pandhawa ingkeng dados duta, dados duta pamungkasipun para Pandhawa.... "
" Syokur bagi dene yayi Prabu sampun prisa babagan sowan kula dhateng negari Ngastina menika, leres sanget dinten menika pun raka anetepi jejibahan amengku dhawuh pangandikanipun ingkeng rayi para Pandhawa, pun raka minangka duta sulih salira saking para Pandhawa kinen ngaturaken rehne para Pandhawa sampun netepi perjanjen kalih welas tahun anggenipun nglampahi paukuman buang dhateng wana Kamiyaka lajeng setunggal warsa sesingit wonten negari Wiratha boten kadenangan telik sandi Ngastina, saking menika yayi Prabu kedhahipun yayi Prabu Duryudana mangsulaken Ngindraprastha sak jajahanipun ugi sepalih negari Ngastina. Mila yayi pun raka namung kepingin ngreksa kawibawanipun yayi Prabu Duryudana, mangga yayi Prabu nglenggahi sabda brahmana raja, sabda sabdane pendhita pangandikane ratu boten kenging wola-wali. Dinten menika keng raka Prabu cumadhong dhawuh kados pundi kepareng paduka yayi Prabu Ngastina, Pandhawa tetep ngajeng-ngajeng padhangipun tinimbang petengipun.... "
Dhadha muntap lir linetap,
duka yayah sinipi,
jajabang mawinga wengis,
kumedhot padhoning lathi,
netra kocak ngondhar-andhir,
kerot-kerot kanang waja,
idhepnya mangala cakra,
wadananira mbranang,
lir kembang wora-wari,
sinosog merang sagedheg,
bel mubal dahana
Kemarahan didada seketika seperti ditampar,
marah yang amat sangat,
dada memerah menyorotkan kebengisan,
bibir bergerak gemetaran,
bola mata -seakan- kocak dan berputar-putar,
berkerotan suara gigi beradu,
bulu mata -melingkar- seperti surya,
wajahnya memerah,
seperti -merahnya-kembang wora-wari,
-seakan- bila digosok batang padi dua ikat,
seketika terbakar api
" Yayi Prabu Duryudana, kula nyuwun nawala kekancingan saking paduka yayi Prabu.... " kata Prabu Kresna meneruskan pembicaraan
" Nawala kekancingan napane....?!! "kata Prabu Duryudana dengan muka memerah menahan kemarahan
" Tiga welas warsa ingkeng kepengker yayi Prabu sampun janji badhe mangsulaken Ngindraprastha ugi sepalih sigar semangka negari Ngastina menawi Pandhawa lulus anggenipun nglampahi ukum buang kalih welas tahun ugi sesingidhan setunggal warsa.... "
" Sak mangke perjanjen niku kula batalaken, kula menika nalendra ingkang kagungan panguwaos negari Ngastina, boten badhe kula wangsulaken negari Ngastina Ngindraprastha sak jajahanipun. Sampean bali, sampean wong pinter ketok bodho dina niki, sampean kandha karo Pandhawa Ngastina kula kukuhi sak Ngindraprastha sak jajahane, sampean bali kula boten butuh kalian tembung sampean....! Negara Ngastina Ngindraprastha kula totohi nganggo tetesing getih sing pungkasan, kena Pandhawa njabel negara Ngastina Ngindraprastha sak jajahane nek Duryudana wis ambruk tugel gulune....!!! "
Maka seketika itu Bathara Narada langsung turun dihadapan Prabu Duryudana
" Aaa.... perkencong, perkencong.... waru dhoyong.... Duryudana....!! Ucapmu disekseni dewa papat....!! "
" Sampun malih dewa sekawan, sak eneng-enenge dewa kon melu mriki kon nyekseni ucape Duryudana....!! " jawab Prabu Duryudana
" Loh Duryudana, tegese kowe wis wani tenan....? "
" Napa sing kula wedeni, ajeng kula tugel gulune para Pandhawa....!! " teriak lantang Prabu Duryudana dan pergi meninggalkan paseban agung
" Aaa.... Kresna....! "
" Kula wonten dhawuh pukulun.... " jawab Prabu Kresna
" Wah, wis mangsa bodhoha.... " kata Bathara Narada " Iki wis ora nganggo tatanan nek kaya ngene iki....!? "
"Lajeng kados pundi pukulun....?
" La sak karepmu, ulun tak mayungi saka dirgantara, nek isa luluhna atine Duryudana isih ana wektu ngger Kresna....! "
Bathara Narada dan ketiga para dewa yang lain, Bathara Kanwa, Bathara Janaka dan Bathara Ramaparasu meninggalkan kerajaan Ngastina
Melihat keadaan yang sangat mengkhawatirkan eyang Resiwara Bhisma beranjak maju dan memeluk Prabu Kresna
" Duh ngger, putu Prabu Dwarawati wis cetha kahanan iki ora kena ditata, putu Prabu minangka duta agung wis direwangi keraya-raya rawuh ana Ngastina tetep ora digugu karo Joko Pitono, tegese iki bakal ana ngalamat sing ora apik, putu Prabu pun eyang sumpek dhadhane aku tak nyisih sawetara....! "
" Nun inggih eyang kula sumanggakaken.... " jawab Prabu Kresna
Resiwara Bhisma beranjak pergi meninggalkan ruang pasewakan agung negara Ngastina
" Oo lole, lole.... suma lole, wana dadi alas, alas dadi wana.... Sinuwun Dwarawati....! " kata Begawan Durna mendekati Prabu Kresna
" Wonten menapa bapa Durna....? " tanya Prabu Kresna
" Nyuwun pangapunten nggih ngger, ngantos duta rambah kaping tiga kula boten saget ngendhokaken angkaranipun anak Prabu Duryudana, beja kemayangan para Pandhawa tesih ditunggoni kalih Sri Harimurti titising Bathara Wisnu, mugi Pandhawa saget sabar ngadhepi kahanan kados mekaten nggih ngger.... "
" Inggih bapa.... "
" Nyuwun pangapunten anak Prabu Dwarawati, sami kalian eyang Bhisma kula ugi tak nyisih rumiyen sinuwun....! "
Begawan Durna juga pergi meninggalkan pasewakan agung. Tinggal Patih Sengkuni dan Prabu Salya, namun Patih Sengkuni yang berada di belakang Prabu Kresna setelah menoleh kanan kiri juga pergi begitu saja meninggalkan ruang pasewakan agung.
Prabu Salya beranjak maju dan memeluk Prabu Kresna seraya berkata
" Oh ngger panjenengan menika ratu agung kok boten diajeni kalih anak mantu kula.... "
" Boten dados menapa paman..... "jawab Prabu Kresna " Kula sampun siaga wiwit bidhal saking Wiratha.... "
" Inggih lajeng kados pundi anak Prabu....? "
" Paman, Pandhawa menika bawaleksana. Tegesipun yen ya ya ya, yen ora nggih boten. Malah kula nyuwun pangapunten ngantos paripeksa nempuh margi ingkeng kados mekaten.... "
" Boten menapa-menapa ngger, umpami ta mangke perang saestu niku namung srana kangge mbuwang sing ala nekakke sing becik menawi kedhah korban menika limrah, nanging emanipun sing disirnakke niku kok dulure dhewe, duh ngger.... kula boten kiyat nyawang kawontenan menika ngger.... Kula aturi kundhur nggih ngger....! "
" Boten paman.... " jawab Prabu Kresna
" La badhe tindak pundi....? " tanya Prabu Salya
" Ngantos sak cekape lampah kula.... "
" Wah niku mantu kula niku atine kados gunung waja, yen pun kados ngaten niku boten saget dipun reh melih....? "
" Tetep kula mbudi daya, kula dados duta agung kedhah ngrampungi damel.... " kata Prabu Kresna
" Pertandhane rampung kados pundi, pertadhane rampung paripurna niku kados pundi....? Mangke kudhuripun anak Prabu lajeng gagar wigar tanpa karya menapa menika paripurna....? " tanya Prabu Salya
" Tumrap kula menapa kemawon menika paripurna.... "
" Menawi Duryudana tetep ngukuhi Ngastina Ngindraprastha, paduka kundhur nglethung....? "
" Menika nggih paripurna...." jawab Prabu Kresna
" Menawi dipun paringaken....? "
" Menika nggih paripurna.... "
" Loh, menawi mekaten rampunge cepet....!? "
" Sampun gegujengan paman.... "
" Nyuwun pangapunten anak Prabu, kula badhe nyuwun prisa, kinten-kinten Bratayudha menika dados menapa boten....? " tanya Prabu Salya
" Kula boten ngertos paman..... " jawab Prabu Kresna
" Ah, ampun ngaten ta niki rembugan tuwa lo ngger, sedanten nggih sami kesah mumpung suwung, cobi kula nyuwun prisa Bratayudha menika kinten-kinten dados boten....? "
" Kula boten ngertos paman.... " Kata Prabu Kresna dengan jawaban yang sama
" Ee nggih pun ngger menawi boten ngertos, wong ora ngerti ya arep dikapakke maneh... Ning kula kok kepingin ngertos jan-jane Bratayudha kok diarani perang suci menika napa ta ngger....? "
" Menawi perkawis menika, perang suci menika sanes perang ampyak awur-awur, nanging perang mawi petang kapribaden.... " jawab Prabu Kresna
" Perang ngangge adheg-adheg kapribaden....? "
" Inggih ngundhuh wohing pakarti.... "
" Hem, ngundhuh wohing pakarti, umpami....? "
" Umpaminipun, menawi tanemanipun sae nggih badhe ngundhuh sae, menawi awon nggih badhe ngundhuh awon, dados Bratayudha menika papanipun tiyang ingkang luari punaki.... "
" Oo ngaten, inggih inggih.... Inggih ngger ngluari punaki , umpaminipun kula tesih kengetan lampahan Pandhawa Dhadhu, rikala semanten Pandhawa dipun anggep kalah.... "
" Inggih.... "
" Isen-isen kraton Ngindraprastha dipun pendheti kalian Kurawa Drupadi ugi dados taruhan lajeng wekdal semanten Duryudana prentah dhateng Dursasana, Drupadi tak pasrahke kowe kuwi kalebu kukupan, kukupane Prabu Duryudana. La pun Dursasana wah lehe lincak-lincak kaya arep sempal-sempalo pundhake glelang-gleleng wusananipun ngantos Drupadi dipun damel wirang dijambak rhikmanipun dipun lukari ngantos udar gelunganipun, dipun lukari kesemekanipun, nanging nyatane saking keparenge Gusti, kesemekan mboten udar dipun tarik dipun udari kados menapa boten saget ucul ngantos nglumbruk, Dursasana ngantos jengkel ngantos lempoh. Drupadi ngantos medhar sabda nggadhahi punaki, aku pati-pati ora adhus jamas nek ora adhus karo getihe Dursasana besuk nang perang gedhe Bratayudha Jayabinangun, ngaten menika kalebet nggadhahi punaki napa boten....? "
" Oo inggih leres menika punaki.... "
" Nalajeng kinten-kinten tiyang ingkang nanem menika mundhutipun benjang menapa....? "
" Nggih menawi Bratayudha.... "
" La menawi ngaten Bratayudha menika kedhah dados ngger....? "
" Wah, kula Minggir-minggir kok malah kejeglong, inggih paman, Bratayudha dados.... " kata Prabu Kresna
" Na, rak ngaten. Penjenengan menika tiyang pinter ning kula niki wong tuwa ning pun pengalaman, tesih menang tiyang ingkeng pengalaman.... "
" Inggih paman.... "
" Lajeng kinten-kinten dhateng Bratayudha mangke ingkeng menang sinten ngger....? "
" Ingkeng menang ingkeng boten kawon.... "
" La nggih ta sakmesthine, aja ngono ah, saestu ngger kula menika kepingin mangertosi...? "
" Paman Prabu Mandaraka menika sampun mangertosi lelampahan Pandhawa Kurawa, menika ingkeng sae sinten....? "
" Ingkeng sae Pandhawa.... " jawab Prabu Salya
" Ingkeng awon....? "
" Ingkeng awon Kurawa.... "
" Kula aturi menggalih piyambak paman.... "
" Aduh ngger.... Duh anak Prabu....! " kata Prabu Salya seraya menangis memeluk Prabu Kresna " Sareng jengandika kados mekaten keranta-ranta raose manah kula lajeng mupus sampun telase pengajeng-ajeng kula, kula niki pun sepuh nanging njagakaken anak-anak kula sampun mrucut saking embanan kados Burisrawa kados Rukmarata malah sampun manunggal kalih Sata Kurawa, sampun boten wonten ingkeng saget kula jagakaken, niki ngaten nggih ngger.... "
" Inggih paman, kados pundi....? "
" Menika saestu nggih ngger, kula nyuwun nitip dhateng ulunan kula si Kembar, Nakula kalih Sadewa niku sampun ngantos kadenangan kalih angkara murka, kula titip penjenengan menika bocah lola wis ora nduwe pak ora nduwe mbok diopeni kalih adikula Kunthi, lare kalih menika ingkeng kula gadhang-gadhang sampun ngantos dipun gepok senggol kalih angkara, kula persajan mawon nggih ngger.... Si Kembar menika badhe dadosaken sesulih gesang kula....! " kata Prabu Salya sambil meneteskan air mata
" Ngaten paman....? "
" Inggih saestu ngger, disekseni jagad sak isine menika medhal saking manah kula ingkeng suci.... " kata Prabu Salya dengan mengucapkan sumpahnya
" Inggih paman, sampun kuwatos ing penggalih.... " kata Prabu Kresna
" Ingkeng atos-atos nggih ngger, ingkeng atos-atos, dinten menika negari Ngastina mboten baen-baen, anak Prabu rak namung piyambakan, ingkeng atos-atos nggih ngger....?! "
Setelah memeluk Prabu Kresna Prabu Salya juga pergi meninggalkan ruang pasewakan agung negara Ngastina, tinggal Prabu Kresna hanya sendirian
Njegreg kaya tugu sinukarta nalendra Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna wusnya amirsani gelagat kawontenanipun negari Ngastina ingkang tetela pasewakan agung sampun suwung dhatan wonten ingkang kepareng lenggah. Nanging nalendra Dwarawati awas pandulune ing mriku kados wonten gedhebuging lampah playune pawongan nenggih para Sata Kurawa ingkeng nalika semanten wus angepung klawan nalendra Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna
Njegreg kaya tugu sinukarta nalendra Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna, wusnya amirsani gelagat kawontenanipun negari Ngastina ingkang tetela pasewakan agung wus suwung datan ingkeng kepareng lenggah nanging nalendra Dwarawati awas pandulune ing mriku kados wonten suwanten lampah playune para pawongan nenggih para Sata Kurawa ingkang rikala semanten wus angepung klawan nalendra Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna
Diam berdiri seperti tugu sinukarta nalendra Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna yang sudah melihat keadaan situasi negara Ngastina yang jelas-jelas pasewakan agung sudah kosong tidak ada seorangpun yang duduk, tetapi raja Dwarawati sangat waspada penglihatan batinnya di tempat itu seperti terdengar suara langkah larinya orang-orang yaitu para Sata Kurawa saat itu yang telah mengepung nalendra Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna
Dalam pandangan batinnya Prabu Kresna merasakan adanya gelagat yang tidak baik namung yang menjadikan kekhawatiran malah keselamatan Raden Setyaki yang ditinggalkan sendirian menunggu kereta Kyai Jaladara di Alun-alun kerajaan Ngastina maka Prabu Kresna segera beranjak pergi meninggalkan ruang pasewakan agung kerajaan Ngastina
Dan saat itu Patih Harya Sengkuni memanggil para Kurawa, terlihat Dursasana, Durmagati, Surtayu, Kartamarma, Citraksi dan puluhan para Kurawa yang lain
" Dursasana....! " seru Patih Sengkuni
" Ha, ha, ha.... he, he, he.... onten napa man....? "
" Kadang padha warahen den becik, enggal samaptaing baris, baris kang prayitna hawignya saranta wonging Dwarawati, tinumpesen pengawak Pandhawa amung lunga dadi mungsuh....! "
" He, he, he.... Man, sampean niku jane omong napa suluk, ampun mbingungake man, ngerti kula kaya ngoten niku dinggo ura-ura dinggo suluk....? " tanya Dursasana
" Dinggo suluk kena, dinggo omong ya kena, kuwi ngono jenenge antawacana satra goblok....! " jawab Patih Sengkuni
" Nggih Leek....! Ha, ha, ha.... keparengipun napa man....? "
" Mumpung iki Prabu Kresna ijen tanpa rowang, saiki isih ana pasewakan agung negara Ngastina, padhaha nggawa sanjata krubuten patenana Prabu Kresna....!! "
" Inggih man, ngestokaken dhawuh man, ha, ha, ha....he, he, he.... Heee.... adhi-adhiku kabeh ayo budhal....!! "
Puluhan para Kurawa dengan membawa pedang, membawa tombak, gadha pergi beramai-ramai mencari Prabu Kresna.
Setelah para Kurawa pergi Patih Sengkuni juga beranjak pergi mencari keberadaan Burisrawa dan tak lama kemudian bertemu dengan Burisrawa
" Burisrawa....! "
" Ha, ha, he, he.... Wonten dhawuh man....? "
" Kowe weruh sing ana Alun-alun Ngastina kae kreta....? " tanya Patih Sengkuni
" Kyai Jaladara, titiane kakang Prabu Kresna.... " jawab Burisrawa
" Lo la iya sing methengkreng nang ndhuwur kreta kae sapa....? "
" Nek boten klentu nika Sencyaki.... "
" Setyaki....! "
" Sentyaki....! "
" Setyaki....! " kata Patih Sengkuni
" Sencyaki....! Kula melu Yogja....! " bantah Burisrawa
" Ya wis karepmulah, Sencyaki kena Setyaki ya kena, ngono kok nggo eyel-eyelan.... Kae sawangen Setyaki mungsuh bebuyutanmu, nggedangkrang sila tumpang anggepe dheweke iki nang bumine mbahne ngono apa piye, ora nduwe tata krama ora nduwe subasita, yen nganthi ora gelem mudhun sereten Setyaki kae nang Alun-alun negara Ngastina....!! "
" Woh....ha, ha, ha.... Bungkik.... ketemu karo aku kowe bungkik.... ha, ha, ha....! "
" .... Ha, ha, ha.... ha'ee.... ha'ee.... e'aa.... e'aa.... ha, ha, ha....! "
Burisrawa dengan tertawa menari-nari pergi menemui Setyaki di Alun-alun kerajaan Ngastina
" Wela... e'aa.... e'aa.... e'ee.... e'ee.... Sencyaki....! "
" Kakang Burisrawa ya.... " jawab Setyaki
" Wo, ho, ho.... kanca lawas.... ha, ha, ha.... "
" Ya, suwe ora ketemu.... "
" Ya, .... ha, ha, ha.... kowe sik seneng mendhem ora....? " tanya Burisrawa
" Antuk pamujimu wis sawetara wektu aku leren.... " jawab Setyaki
" Woo ho, ho, ho.... gombal.... sok suci kowe....!? Kowe mbiyen kerep srawung karo aku nganthi kerep jothosan merga ming perkara ngombe, he, he, ha, ha, ha.... Nek aku isih nganthi seprene merga aku nek ora kisenan kaya ngono kuwi awakku lungkrah, gandheng kowe karo aku ketemu nang kene, kowe ndherekke kaka Prabu Dwarawati, mumpung kaka Prabu durung rawuh ayo andrawina....! "
" Andrawina piye....? "
" He, he, he.... aku nggawa sak botol, hayo....! "
" Sing gedhe pangapuramu kakang Burisrawa aku wis ora nglakoni.... " kata Setyaki
" Kowe iki mbok aja kaya wong sok alim ngono ta.... ayo... iki lo 45%...ha, ha, ha.... suwe ora tau ketemu, aku kangen karo kowe, kowe ya kangen karo aku, kowe ngombe separo aku ya ngombe separo, ha, ha, ha.... "
" Sing gedhe pangapuramu kakang Burisrawa aku wis ora nglakoni.... " kata Setyaki dengan jawaban yang sama
" Waah payah kowe iki.... ya wis tak bukake dhisik.... -cethak-...!! Lo, untuku sik kuwat ta....!? Ya wis aku tak ngombe dhisik, iki enak tenan iki lehku tuku nang negara sabrang.... " kata Burisrawa sambil menenggak minuman....
" Wooh.... -gleg.... gleg... gleg.... Waah jan seger tenan, nyoh.... ganti kowe....! " kata Burisrawa sambil menyodorkan botol minuman
" Aku ora kakang Burisrawa, ngaturake panuwun...."
" Ora usah sok suci, nyoh....! "
" Aku ora kakang Burisrawa....! "
" Ahh... kowe iki, ora usah gleleng ta, ayo sithik wae....! Gawe ngguyupi, kowe nek ora gelem srawung ngene iki ora nduwe kanca kowe ngko, ayo sithik....! "
" Ora....! " Setyaki tetap menolak
" Wah kowe iki wong jirih, ayo ming seprapat iki, seprapat awake ming panas thok....! "
" Aku ora....! "
" Oo telek koen iki....! Kowe iki senopati ning jirih getih wedi mati, ming dijak ngombe wae ora wani, huu.... wong wedok kowe iki, gunane apa kowe ngethokke dhadhamu kaya ngono kuwi, nek ngono ratu Dwarawati iki ngingoni senopati sing jirih getih wedi mati....!! "
" Kakang Burisrawa suwaramu aja kaya ngono....! "
" Ya ben sak karepku ngomong, kowe wong jirih kowe wong wandu, kowe wong lanang pupur mero-nero raimu....!! "
" Waaa.... -bruakk-.... -pyaar-...!!! Aduh mati aku....!!? "
Burisrawa ditendang dan dipukul Setyaki dengan botol minuman hingga botolnya pecah hancur berkeping-keping, Burisrawa jatuh tersungkur mukanya berdarah-darah dalam keadaan mabuk
" Adoohh.... hueek.... waah.... hoogh... huueek.... Waah bangsat bungkik, Setyaki setan kae dikepruk botol ndasku.... Ooo ho, ho, ho.... mbibiti perkara kowe, yaah, ha, ha, ha.... "
Perkelaianpun tidak terelakkan perang tanding antara Setyaki dan Burisrawa-pun terjadi di Alun-alun Ngastina
" Ho, ho, ho.... waaa...!! " -brakk-....! -bruakk-....!! bruakk-....!! Hayo Bungkik.... tangiha kowe nyepelekke aku kowe, ha, ha, ha... "
Setyaki terkena pukulan dan tendangan berkali-kali, tubuhnya terpental
" Wadoh....!! -braakk-...!! bruakk-....!!!
Kali ini Burisrawa yang terkena pukulan telak diwajahnya, Setyaki makin kalap, menghajar Burisrawa hingga jatuh tersungkur. Tapi Burisrawa segera bangkit menyerang dengan membawa pedang, Setyaki berkelit malah kepala Burisrawa dihajar dengan gadha Besi Kuning
" Waaa.... -bruakk-.... !!! " Burisrawa jatuh terkapar.
Tapi Setyaki melihat puluhan para Kurawa beramai-ramai membawa senjata, ia sangat khawatir akan keselamatan Prabu Kresna, meloncat pergi meninggalkan Burisrawa terkapar sendiri tubuhnya berlumuran darah
" Waah Bungkik tengik elek .... ! Wah ya, dina iki aku trima tak cupet semene wae, eling-elingen Sencyaki yen nganthi kedadean perang gedhe Baratayudha Jayabinangun aja liya mungsuh Burisrawa Sencyaki....!!! "
Prabu Kresna bertemu dengan Setyaki di Alun-alun kerajaan Ngastina
" Ketiwasan kaka Prabu, kula bibar pancakara kalian kakang Burisrawa.... "
" Terus kowe menang apa kalah....? " tanya Prabu Kresna
" Dereng wonten ingkeng mimpang dereng wonten ingkeng kawon.... Nanging Burisrawa sampun prasetya kedhah mengsah kalian kula menawi kedadosan perang ageng Bratayudha Jayabinangun... "
" Oo ngono....? "
" Inggih kaka Prabu kula nyuwun kaka Prabu ugi nekseni mangke wonten Bratayudha Jayabinangun kula kedhah mengsah kalian kakang Burisrawa....! "
" Ya dhimas Setyaki tak sekseni.....! " kata Prabu Kresna
" Kaka Prabu kula aturi kedhah ngatos-atos..... "
" Kula ningali para Kurawa sampun nyamaptakaken ghegaman badhe ngrubut kaka Prabu..... "
" Kowe wedi....? "
" Boten ajrih, namung ngaturi wuninga..... "
" Ben wae Setyaki nek Kurawa arep ngebyuk bareng, Kurawa kae mung tak anggep srenggala mungsuh singa barong, srenggala kuwi asu ajak, arepa asu ajak kuwi galak ning isih kalah karo Singa Barong.... "
" Ya wis nek pancen kowe wedi kene kowe tak singitake neng kampuhe pun kakang....! "
" Ngestokaken dhawuh kaka Prabu.... "
Setyaki masuk kedalam kampuh Prabu Kresna, tiba-tiba Dursasana melompat menyerang Prabu Kresna
" Waaaa ha, ha, ha....-bruakk-....!!! Mati kowe....!! "
Menyusul puluhan para Kurawa yang lain dengan membawa senjata, Surtayu membawa rantai yang besar tubuh Prabu Kresna diikat dan diserang beramai-ramai
" Ayo, ayo.....dibandha, dibandha.....kroyok, kroyok..... pateni, pateni.... kroyok, kroyok, kroyok.....!!! "
Kacarita nalendra Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna kinarubut para Kurawa ambyuk sesarengan nganthi ora ketingal nata Dwarawati, ing pangajap arsa angranjap, parandene grayah-grayah asta nata Dwarawati nyenggol bedhoring Kyai Kesawa tiwikrama ical wujude nata Dwarawati dadi buta raseksa sak gunung, telung gunung, pitung gunung.... !!! "
Diceritakan nalendra Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna dikeroyok para Kurawa bersamaan menimpa tubuh -Prabu Kresna- hingga tidak terlihat raja Dwarawati, sengaja mereka mau menyirnakan, namun tangan raja Dwarawati menyenggol ujung Kyai Kesawa tiwikrama hilang wujud raja Dwarawati berubah menjadi raseksa -besarnya- segunung tiga gunung tujuh gunung .... !!!
Sang raja Dwarawati tiwikrama berubah wujud menjadi raseksa Brahala, suaranya menggelegar menakutkan, para Kurawa bubar berantakan lari tunggang langgang
" Heh.... 'e'ee.... herrr.... haaah.....!! Waah uthik-uthik macan turu mbebeda Singa Barong, hayooh sida tak obrak-abrik Ngastina, aja maju siji-siji majuha bareng Kurawa sida tak tadhah kalamangsa kowe heeeh..... a'aa.... herrr....!!!! "
Geger madyane negari Ngastina, salang tunjang rebut ducung, numbuk benthus lampahing para Kurawa golek papan pendhelikan jerih klawan pangamuke nata Dwarawati ingkeng wujud yaksa nganthi sundhul ngawiyat gedhene nata Dwarawati
Jadi gempar ditengah kerajaan Ngastina, bubar berantakan, lari tunggang langgang saling bertabrakan jalannya para Kurawa mencari tempat persembunyian karena takut dengan amukan raja Dwarawati yang telah berwujud raseksa hingga sundul langit besarnya
" Haaa... .eeaah.... o'oo....heerrr....!! Nggugu karepe dhewe.... Kurawa jerih getih wedi mati, ratu Ngastina mlayu golek papan pendhelikan, sing dadi punjere dadi perkara mung negara Ngastina iki.... Hooo la dyalah.... Luwik becik negara Ngastina tak untal ben ora dadi perkara.... Haaahh..... Heerrr.... E'ee... haaa..... heeahh....!!! "
Arsa den untal negari Ngastina dening sang yaksa ingkeng kadadosan saking nata Dwarawati, tanggap risang Kaneka Putra
Mau dimakan negara Ngastina oleh raseksa yang merupakan penjelmaan dari raja Dwarawati, tanggap sang Bathara Kaneka Putra
" Eee.... aja kaya ngono Kresna....!!! Ayo, ngrucato, ngrucato.... ngger....!!
" Haaa.... heerrr....!! "
" Aaa.... perkencong, perkencong.... pak pak pong, buk bolong.... kali code sapa sing nggawe.... Aja kok Ngastina la jagad iki arep tok untal wae kolu la gedhene ora umum ngono.... "
" Ingkeng dados sumbere perkawis negara Ngastina, menawi negara Ngastina kula untal tertamptu boten badhe dumadosan perang ageng Bratayudha ..... ! " kata Prabu Kresna yang masih berwujud raseksa Brahala
" Ya, ning kita nerak pracak nerjang perbatang, kita miradati marang kodrate Maha Nasa, miradati kodrate jagad la nek Kresna ora gelem nglakoni Bratayudha tegese Kresna melu numangkarake angkara murka anaing jagad, hayo gek ndang racut....! Ayo gage bali kaya wingi uni, Kresna....!! "
Seketika itu raseksa Brahala berubah wujud menjadi Prabu Sri Bathara Kresna
" La ngono kuwi rak ya apik ta.... Gedhe-gedhe ki dinggo ngapa, malah dadi tontonane para kawulu, kok senengane sembrana....!? "
" Inggih pukulun.... " jawab Prabu Kresna
" Lumadine lakon anaing negara Ngastina iki mau dadi katandha yen ta Duryudana mau sayekti cukeng nggone ngukuhi negara Ngastina lan Ngindraprastha.... "
" Inggih.... "
" Mula wis ora bisa diselaki meneh bakal pecah perang gedhe Bratayudha Jayabinangun, kita baliha marang negara Wiratha, tata-tataha samapta ing gati sawigaing dhiri bakal dumadine perang gedhe iki kita dadi pujanggane Bratayudha Jayabinangun, Kresna....!! "
Bathara Narada pergi meninggalkan Prabu Kresna, dan Prabu Kresna bersama Arya Setyaki yang sedang menyiapkan titian, kendaraan Kyai Jaladara
" Setyaki....! "
" Kula wonten dhawuh kaka Prabu.... "
" Dhimas, isih ana pakaryan ingkeng kudu ndak tindakake.... "
" Menapa kaka Prabu....? "
" Ning jroning pasewakan agung kok ora katon sowane kadangku yayi ing Ngawangga....? "
" Keparengipun paduka....? "
" Hayo ditiliki anaing kedaton Ngawangga kaya ngapa kahanane Prabu Karna Basusena.... "
" Inggih sumangga kula dherekaken kaka Prabu..... "
Laju tindaknya Nata Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna mengkeraken negari Ngastina wus wahana rata Kyai Jaladara ingkeng kinusiran dyan Harya Setyaki, dhasar Raden Harya Setyaki wus widagda mranata lampahing kuda datan mokal rancak lampahing rata sampun antawis tebih sangking negari Ngastina, parandene lampahing rata anglacak tapak tilasing titianira Nata Ngawangga ingkeng den upadi Nata Dwarawati
Cepat berangkatnya raja Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna meninggalkan negara Ngastina sudah mengendarai kereta -pusaka- Kyai Jaladara yang dikusiri sang adik Harya Setyaki, dhasar Raden Harya Setyaki sudah mahir mengendalikan jalannya kuda maka tidak heran bila serasi jalannya kereta sudah agak jauh meninggalkan negara Ngastina, namun jalannya kereta melacak bekas tapak tilasnya -kereta- kendaraan Raja Ngawangga yang berusaha diikuti Raja Dwarawati
Meh rahina semu bang Hyang Aruna,
kadi netrane ogha rapuh,
sabdane kulkila ning kanigara,
saketer kekidungan ningkung,
lir wuwusing winipanca,
papetaking ayam wana ring pagagan, merak anguwuh,
brema ngrabasa kusumaring
parahasyan arum
Menjelang fajar bersinar kemerahan Sang Surya,
seperti -merahnya- mata yang sakit,
ocehan burung engkuk di pohon kanigara,
bagai rintihan orang yang sedang jatuh cinta,
kokok ayam hutan di ladang,
-juga suara- merak mengundang,
-seperti- kumbang menyetubuhi bunga
dikamar tidur harum
Saat menjelang fajar kemerahan Sang Narpati Basukarna teringat kembali dengan jelas perjalanan hidupnya dimasa kecilnya. Dan masih teringat dengan jelas bagaimana ayahnya Sang Adirata yang hanya seorang kusir kerajaan Ngastina menceritakan kisahnya. Dirinya diwaktu masih bayi dibuang orang tuanya dihanyutkan di Bengawan Yamuna, dibesarkan dikalangan keluarga rakyat jelata golongan sudra, namun dari masa kecilnya sudah terlihat memiliki kemampuan alami sebagaimana seorang kesatria hebat, karena memang Karna dari kecil adalah sosok yang mau belajar dan pantang menyerah. Pernah ditolak Begawan Durna untuk belajar di Padepokan Sukalima karena dianggap bukan bagian dari pangeran Hastinapura namun Karna tak langsung menyerah melainkan mencuri kesempatan untuk mendengarkan dan melihat Resi Durna mengajar para Pandhawa dan Kurawa.
Dan hari ini masih teringat dengan jelas kehidupannya berubah saat ia berani menantang Arjuna untuk bertanding menunjukkan kepawaiannya dalam menggunakan senjata panah. Saat itu Arjuna menolak karena tidak pantas seorang pangeran menerima tantangan seorang anak kusir kerajaan. Maka Duryudana yang berwatak murka dan ingin selalu mengalahkan Pandhawa dengan segala cara, Duryudana mengangkat Karna menjadi Adipati Ngawangga agar layak menantang Arjuna, agar Kurawa memiliki jago yang bisa diandalkan untuk melawan Pandhawa, sehingga Begawan Durna benar-benar menyaksikan pertarungan sengit antara Arjuna dan Karna dan mengatakan bahwa kehebatan antara keduanya seimbang.
Namun kali ini setelah segala kesetiaan dan sumpah prasetyanya diserahkan untuk kemenangan dan kejayaan penguasa Astinapura Prabu Duryudana dan para Kurawa, sang ibu seseorang yang melahirkannya ada dihadapannya
Kang kinarya sambheting carita ingkeng wonten Kadipaten Panggombakan sang Dewi Ayu Kunthi Talibrata ingkeng lerem ing Panggombakan nalika semanten nampi pisowanipun ingkeng putra kekalih Nata Ngawangga Prabu Basukarna sinarengan Nata Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna tinon saking mandrawa sumorot tejane sumundhul ing ngawiyat
Yang merupakan kelanjutan dari cerita yang ada di Kadipaten Panggombakan sang Dewi Ayu Kunthi Talibrata yang sedang berdiam di Panggombakan menerima kedatangan dua orang putranya Raja Ngawangga Prabu Basukarna dan raja Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna terlihat dari kejauhan bersinar -aura- cahayanya hingga tinggi keangkasa
" Jagad dewa bathara, ngger putraku.... keng ibu kaya dene kejugrugan wukir sari kablabak samudra madu amerga bungahing pun ibu amerga tekane putraku, Karna padha raharja praptamu....? "
" Pinaringan pangestunipun kanjeng ibu boten manggihi sambekala sowanipun keng putra ngaturaken semungkeming pangabekti kula konjuk kanjeng ibu.... " jawab Prabu Karna
" Ya ya ngger tak tampa.... Angger Prabu Sri Bathara Kresna padha kanthi raharja....? "
" Inggih angsal pangestunipun kanjeng bibi sowan kula boten manggih sambekala.... " jawab Prabu Kresna
" Bebarengan praptamu ana ngarsane ibu ngger, anak angger Dwarawati ana wigati apa....? "
" Estunipun kula sinarengan yayi Nata Ngawangga wonten Kadipaten Panggombakan menika awit kula tansah anglacak tapaking rodanipun rata titianipun yayi Ngawangga, dene kula minangkani ingkeng dados panuwunipun para kadang kula Pandhawa minangka Duta Pamungkasipun kadang Pandhawa nedya anjabel negari Ngastina ugi Ngindraprastha namung saking wangkoting penggalih yayi Prabu Duryudana kepeksa ingkeng putra Dwarawati boten saget angsal damel, sahingga boten saget dipun selaki dumadosing perang ageng ingkeng sinebat Bratayudha Jayabinangun, kanjeng bibi.... "
" Jagad..... jagad dewa bathara..... anakku ngger Karna...."
" Nuwun wonten dhawuh..... "
" Kanthi terwaca ingkeng dadi pangandikane anak angger Prabu Bathara Kresna, lamun Bratayudha yekti ora bisa diselaki, Kurawa ingkeng ora wurung bakal mengsah Pandhawa, anakku ngger, sejatine kowe kuwi putraku dhewe ingkeng mijil saka guwa garbaku yekti kowe putraku mbarep kowe kudu bisa mangunggal marang para Pandhawa ora perlu kowe nglabuhi Kurawa, Karna.... !
" Kepara saestu dados kula menika putranipun Ibu Dewi Kunthi Talibrata....? "
" Iya ngger.... " jawab Dewi Kunthi
" Kanjeng Ibu, matur sembah nuwun kanjeng ibu kepareng angakeni putra dhateng kula Karna, namung andadosaken kawuningan kanjeng ibu, ingkeng lepat kula napa menapa kanjeng ibu....? Menawi kanjeng ibu duk nalika kula lair saking guwa garbanipun kanjeng ibu boten dipun pisahaken kalian para kadang Pandhawa temtunipun boten ngantos wonten lelampahan ingkeng kados mekaten, nyuwun pangapunten menawi saking pemanggih kula wanudya menika menawi kagungan putra kapisan mijil kakung menika saestu dados telangsuling manah ingkeng kedhah dipun dama-dama nanging kenging menapa kanjeng ibu mentala angendhangaken putra ingkeng dereng kalepetan dosa ingkeng dipun kintiraken dhateng bengawan, tujunipun gumelare jagad wonten titah ingkeng nama Adirata lajeng kula ngantos dipun mong dening biyung Nadha dalah keng rama Adirata, ingkang mangka pangestosan kula ingkang nggulawentah lair batos kula inggih rama Adirata lan ibu Nadha. Kanjeng ibu sakmenika nyumurupi kula sampun dewasa lajeng mratelakaken bilih kula menika ingkeng putra, kula kedhah manunggal dhateng para kadang Pandhawa, nyuwun sewu kepeksa ingkeng putra boten saget minangkani pa nyuwunanipun kanjeng ibu....! "
Dewi Kunthi seketika itu, badannya terasa lemas hilang semua kekuatan, kesedihan dan penyesalan yang dirahasiakan dan dipendam bertahun-tahun tidak bisa dibendung lagi, penyesalan dan kesedihan itu keluar bersama derasnya air matanya. Seperti menumpahkan segala penyesalan rasa berdosa tehadap putra sulung yang sangat dicintainya Ibu Dewi Kunthi menubruk dan memeluk erat-erat Basukarna dan menangis sejadi-jadinya
" Karna ngger..... putraku.... pangapuranen ibumu ya ngger..... ora mokal lamun kowe nduwa marang ibu, ibu ingkeng kuput Karna.... nalika semana ibu rumangsa ora bisa nampa kodrating jagad.... ngapuran pun Ibu ya Karna, anakku....!! "
" Kanjeng ibu sampun ngantos lajeng sedhih sumelang raosing penggalih..... " kata Prabu Karna sambil meneteskan air mata " Estunipun sowan kula ngarsanipun kanjeng ibu kejawi nyaosaken pangabekti kula ugi kula nyuwun pangapunten kula sampun mangertos keparengipun kanjeng ibu sampun ngantos kula bandhayudha kalian kadang kula Pandhawa, ananging kados pundi melih mapan kula samenika kedhah netepi darmanipun satriya.... "
" Anakku ngger Karna, apa ora ana darbe niyat anggonmu manunggal klawan para kadangmu Pandhawa, mendah kaya ngapa bombonging pun ibu yen ta nyumurupi kowe tinemune putra pambayun ingkeng bisa ngayomi marang dulur-dulurmu, Karna.... Amarga saka gligaping paningalmu wus katon nggonmu nduweni rasa tresna asih marang dulur-dulurmu Pandhawa, umpama kowe ora gelem manunggal karo Pandhawa Karna.... Karna.... Apa kudu pun ibu nyembah klawan dlamakane anakku dhewe Basukarna, supaya ibumu isa njalukake uripe Janoko lan Werkudara nggone bakal dadi senopati, Basukarna....! "
" Kanjeng ibu sesembahan kula ugi pengayoman kula wontening madyapada.... "jawab Basukarna sambil bercucuran air matanya " Remuk rempu dados bubuk manah kula midangetaken sabdanipun kanjeng ibu ingkeng sampun linairaken dhateng Karna, dosa menapa ingkeng badhe kula sandhang menawi kula wantun nyelaki dhateng pangandikanipun kanjeng ibu Kunthi Talibrata tuhu wanita mustikaning bawana..... Namung manah kula wonten petangan ingkeng rinaos ganjil, jer nyatanipun kula menika satriya, satriya menika kedhah njunjhung inggil prasetyaning satriya kanjeng ibu.... "
Dewi Kunthi berbalik membelakangi Basukarna seraya menangis mengeluhkan nasip anak-anaknya para Pandhawa
" Janoko.... Werkudara.... Puntadewa lan Kembar anakku ngger.... Ora ngira babar pisan yen ta kemenanganmu nganthi tak jaluk-jalukke karo dulurmu lanang ning wangkot atine kaya gunung waja, Janoko.... Werkudara, Puntadewa apa nyatane patimu sesuk saka kakangmu dhewe ngger....!!? "
" Ibu....! Mboten mekaten pikajengan manah kula kanjeng ibu....! " suara keras Basukarna dengan menahan deraian air mata
" Karna, mbok kalang-kalang kaya ngapa kowe mesthi bakal melu marang Kurawa, kowe mentala karo adhi-adhimu Basukarna.... !! "
" Kanjeng bibi....! " seru Prabu Kresna " Bibi Kunthi Talibrata....! "
Dewi Kunthi berbalik dan beranjak sambil menangis memegangi tangan Prabu Kresna
" Anak Prabu Dwarawati....! " kata Dewi Kunthi seakan ingin mencurahkan segala kesedihannya kepada Prabu Kresna
" Inggih bibi, kula mangertos raossumelangipun manah paduka, kula aturi sareh sawetawis kula badhe andangu dhateng yayi Nata Ngawangga.... "
" Karna....! "
" Inggih paring dhawuh kaka Prabu.... '
" jawab Basukarna
" Ya dikapak-kapakke memper yen ta bibi Kunthi paring dhawuh kaya mengkono kaya ngapa ta rasane sawijining ibu sira ingkeng linairake anaing jagad amarga kuwi ibumu uga ibune para Pandhawa, mula jejering wong tuwa ora bakal mentala marang campuhe perang para putra putrane.... "
" Nanging aku uga ora ngluputake marang sumpah prasetyamu kowe minangka satriya kudu bisa netepi jiwa kasatriyanmu.... "lanjut Prabu Kresna " Nganthi ndunya iki wis kebrebegen marang kumamandange prasetyane Basukarna duk nalika nampa bebungah saka yayi Prabu Kurupati sinengkakake ngaluhur dadi senopati Ngastina yen ta pati uripe yayi Ngawangga kinarya andhepani marang Sata Kurawa.... Apa sing wis mbok ucapake lakonana amarga jiwaning satriya kuwi anane mung netepi kewajiban, ora perduli sapa mungsuhe ingkeng kudu disirnakake.... "
" Inggih kaka Prabu ngaturaken panuwun ingkeng tanpa pepindhan.... "
" Tetepna pangesthimu, kanjeng ibu mengko aku ingkeng matur.... Tetepna marang ubayamu tekadmu nadyan Nata Dwarawati wis meruhi.... "
" Loh, kaka Prabu sampun priksa.....? " tanya Prabu Karna penasaran
" Karna, gedhene katresnanmu marang para Pandhawa kuwi katandha nggomu nganthepi jiwa kasatriyanmu, jroning perang gedhe iki rnengko Narpati Basukarna bakal lumawan adhiku panengah Pandhawa ya kuwi yayi Janoko, yen nganthi Janoko mati Pandhawa komplit isih lima, nanging yen Karna Basusena ingkeng tekaning pati anaing pabharatan Pandhawa uga isih lima cacahe, tegese Pandhawa ora gothang sewiji apa Karna....! "
Prabu Karna kaget mendengar penjelasan Prabu Kresna yang seakan sudah mengetahui apa yang bakal terjadi di perang Bratayudha, Karna serta merta memeluk Prabu Kresna
" Duh kaka Prabu.... ! Boten nginten babar pisan bilih paduka ingkeng saget anatas dhateng ghegembolanipun raose manah kula.... Kula badhe prasaja.... "
" Ya yayi piye.... ? "
" Rinten pantaraning dalu kula boten kendhat anggen kula angojoki dhateng yayi Prabu Duryudana supados wantun nyabrang Bratayudha, menika estinipun saking agenge tresna kula kalian kadang-kadang kula para Pandhawa, awit kula mangertos bilih kamurkane yayi Prabu Duryudana sak Kurawanipun menika boten badhe sirna menawi boten sareng kalian ingkeng sinandhangan, yayi Prabu Duryudana menika boten badhe wantun nglampahi Bratayudha menawi boten saking pangojokipun Nata Ngawangga, menawi kula boten madheg senopati yayi Prabu Duryudana menika boten badhe wantun nglampahi Bratayudha menika kalian para Pandhawa. Mila kaka Prabu, anggen kula nyarahaken dhateng jiwa raga kula menika samangke jagad menika kedhah nekseni dhateng prasetyanipun Narpati Basukarna anggen kula andhepani para Sata Kurawa menika boten kula andhepani watak angkara murka, nanging dados sarana lumampahing Bratayudha Jayabinangun khisasing angkara murka yayi Duryudana sak Kurawanipun unggulipun kadang kula para Pandhawa, kaka Prabu....!! "
" Adhiku dhi.... adhiku Karna....!! " Prabu Kresna memeluk Narpati Basukarna sangat terharu sampai meneteskan air mata
" Jagad dewa bathara ya jagad mangestungkara.... Ora ngira babar pisan nganthi semono lungiting bebudenmu, hem Karna Karna.... nganthi pun kakang ora gadhuk nyurasa marang lanthiping panggrahitamu....! "
" Bibi.... ! "
" Ana dhawuhmu anak Prabu....? " jawab Ibu Dewi Kunthi
" Mesthi kemawon kanjeng bibi Kunthi sampun midanget aturipun keng putra pun Narpati Basukarna ingkeng nyatanipun musthikaning satriya jagad tanpa timbang dhateng kasatyane dhateng kasatriyane pun Narpati Basukarna, kanjeng bibi mangga kula dherekaken kundhur wonten negari Wiratha keng putra para Pandhawa kepingin pinanggih klawan bibi Kunthi Talibrata.... "
" Ya, anak angger Prabu.... "
Dewi Kunthi sebelum berangkat bersama Prabu Kresna terlebih dahulu memeluk Prabu Karna dengan bercucuran air mata menumpahkan semua kasih sayangnya pada seorang anaknya yang sangat dicintainya
" Ngger anakku cah bagus,... pun ibu dherekake anak Prabu Dwaraka kundhur marang Wiratha..... ya ngger Karna.... "
" Inggih kanjeng ibu, sembah sungkem kula ingkeng ndherekaken jengkar paduka.... "
Kacarita, lampahing rekyana Patih Harya Sengkuni miwah Raden Dursasana ingkeng angulari tiyang ingkang kinarya tabuk tawure peperangan Bratayudha dadi tumbaling para Sata Kurawa, nalika semanten ingkeng mapan wontening petambangan tukang satang kekalih nenggih Tarka lan Sarka nedheng sapejagong
Diceritakan, perjalanan sang Patih Harya Sengkuni dengan Raden Dursasana yang mencari orang yang akan dijadikan tabuk tawure jadi tumbal para Kurawa, saat itu yang bertempat di tempat penyebrangan terdapat dua orang tukang satang yaitu Tarka dan Sarka yang sedang dalam pembicaraan.
" Sarka....! "
" Ana apa kang Tarka....? "
" Iki awake dhewe iki piye, golek dhuwit kok ora tau entuk.... Awak dhewe iki tukang nyabrangke uwong nyabrang anaing bengawan mangka pendak ndina udan kaya ngene anggere ana uwong nyabrang ora sida, anggere ana uwong nyabrang ora sida, mangka olehmu nggone nguripi kulawarga karo aku rak merga entuk dhuwit saka nyabrangke wong neng bengawan iki Sarka....? "
" Kowe iki aja nggresula ta kang Tarka.... " jawab Sarka " Rezeki kuwi di tangan Tuhan, anaing ngastane sing gawe urip. Sing jenenge wong urip nang alam padhang iki kudune pasrah karo Hyang Maha Nasa nggone paring rezeki sarta urip, mula kowe aja sok nggresula nek durung diparingi rezeki ya nenuwun karo sing gawe urip, ora kok malah nggresula kaya ngono, bungah susah beja cilaka sugih miskin kabeh wis ginaris sing Maha Kuasa, nek lagi ala lagi susah aja nggresula nek lagi bungah aja kurang atur panuwun kuwi wajibe wong urip nang alam ndunya, nek lagi rekasa sithik wae kowe nggresula nek lagi bungah sithik wae kowe lali ngucap syokur kaya ngono kok uripmu arep ketrima...? "
" Kowe kok crewet ki ngapa....!? " kata Tarka " Kowe karo aku iki tuwa aku kok ndadak mulang aku....?! "
" Perkara tuwa kuwi ora perkara gedhe utawa akehe ngelmu.... " bantah Sarka " Wong tuwa kuwi kadangkala sing diendhelke jarep kebak pengalaman ora ngrumangsani nek ngelmune isih kurang mula aja sok kowe ngiwakke karo sing enom, wong tuwa kudu ngajeni karo sing enom, sing enom kudu ngajeni karo sing tuwa, tegese pengalaman dicampur karo kepinteran kuwi mujudake bab sing prayoga.... "
" Hah crewet kowe iki....! Sing baku saiki nek ana uwong apike dikon nyabrang ....! "
" Uwong ora arep nyabrang kok dikon nyabrang.... ? "
" La nek ora nyabrang ora entuk dhuwit awak dhewe....!? "
" Haaa.... ha, ha, ha..... he, he, he.... !! "
Kedatangan Dursasana dan Patih Sengkuni menjadikan kaget Tarka dan Sarka
" Ha, ha, ha..... Golek uwong neng ngendi-ngendi ora ketemu ketemu nang pinggir bengawan iki sajake tukang satang tukang nyabrangke wong nyabrang ana bengawan..... "
" Inggih kula Tarka, menika rayi kula Sarka.... " jawab Tarka
" Ha, ha, he, he, Tarka karo Sarka....? "
" Inggih raden, penjenengan sinten....? "
" Durung tepung karo aku.... ? Ha, ha, ha.... ora tau ndhelok poster, ha, ha, ha..... aku kadang nataing Ngastina Dursasana, sebelahku iki sang minulya Patih Harya Suman ya Patih Harya Sengkuni.... "
" Cetha nek kuwi dudu wong Ngastina Dur, ketitik ora apal karo awak dhewe, wis ditakoni wae aja kesuwen....! " kata Patih Sengkuni
" He, he, ha, ha.... Tarka lan kowe Sarka....! " seru Dursasana
" Wonten dhawuh raden.... " jawab Tarka
" Tekaku ana papan kene, Kurawa bakal nglakoni perang Bratayudha, mangka jare ujare para sepuh kudu golek tumbal minangka korban kanggo kemenangane para Kurawa, mula wektu dina iki merga aku ketemu karo kowe kowe gelema tak pateni kowe dadi tumbale para Kurawa, kowe ora usah kuwatir turunmu tak gawekke omah kulawargamu tak cukupi pitung turunan ning waton kowe gelem dadi tumbal mati kanggo kemenangane para Kurawa, Tarka lan Sarka....! "
" Nuwun sewu raden.... " jawab Tarka, anak kula menika kathah, simah kula menika ugi anggulawentah dhateng anak-anak kula teng griya, kula menika dados cagake kulawarga menawi kula boten nyambut damel anak-anak kula mangke nedha menapa langkung-langkung menawi kula pejah....? "
" Woo.... Kowe iki wong gerangan kupingmu bosok....!! La wis dikandhani nek arep tak uripi pitung turunan, dadi kowe mati kuwi kulawargamu ora bakal kapiran kowe mati kulawargamu ora bakal kekurangan mesthi kecukupan, wis kowe manut ora.... ?! "
" Nuwun sewu kula boten purun....! " jawab Tarka
" Sarka piye..... ? "
" Aduh raden, kula ajrih menawi kedhah pejah.... " jawab Sarka " Nyuwun pangapunten kula boten saget nglampahi.... ! "
Dursasana sudah menghunus pedang, mengetahui jawaban Tarka dan Sarka Dursasana langsung marah dan langsung menghantam keduanya dengan tebasan pedang
" Waah kakean cangkem.... -crass-....!!! " pedang memenggal leher Tarka
" .... Waaah.... crasss ....!!! " Dursasana memenggal leher Sarka
Tarka dan Sarka lehernya hampir putus darahnya muncrat berhamburan, sesaat tubuhnya kejang-kejang dan keduanya tewas
" Hayo modar kowe....!! Kokean cangkem tak sabet nganggo pedang modar, ho, ho, ha, ha,, ha.... Ora ngerti kowe iki algojone Ngastina, ha, ha, ha...."
" Wis Dur, ayo diusung kuwandane digawa nang negara Ngastina.... " kata Patih Sengkuni " Diaturke anak Prabu Duryudana yen wis entuk korban tumbal kanggo kemenangane para Kurawa, arepa ora eklas sing baku wis entuk patine wong sing dadi tumbal, wis ngono wae le....! "
" Ha, ha, ha.... nggih, nggih.... ngestokke dhawuh man, ha, ha, ha.... "
Tiba-tiba terdengar suara tukang satang Tarka dan Sarka
" Raden Dursasana.... ! Wong nyikara karo sak pepadhane ora kaya kowe, kowe menungsa kok ora nduwe rasa kamanungsan babar blas, aku wis wegah dadi tumbale Kurawa parandene aku tetep mbok pateni kanthi siya kaya ngene, nggonmu golek tumbal ora ketrima dening panguasane jagad lan titenana aku ora trima patiku karo adhiku Sarka ora trima mung nganthi tekan semene, seksenana sesuk nek ana perang gedhe Baratayudha lumadi aku bakal males ukum lara wirang karo kowe, Dursasana patimu bakal ngrekasa, Dursasana...!! "
" Eee.... apa iki.... he, he, he.... Paman mrindhing kula he, he, ha, ha...!? "
" Mrindhing ngapa.... ? " tanya Patih Sengkuni
" Enten suwara ngaku Tarka karo Sarka sesuk ajeng males kula teng Baratayudha... !? "
" Kowe iki wong enom kok percaya kaya ngono, ngono kuwi ora usah digagas ngono kuwi sukma sing nglambrang, sukma nglambrang kuwi omongane ngawur, ayo bali menyang Ngastina.... ! "
" Nggih pun man, ha, ha, ha.... mangga kula dherekaken man, he, he, ha, ha, ha....! "
Sementara itu Prabu Surasekti yang diiring punakawan Togog dan Mbilung dan dikawal ribuan prajurit dari Turilaya sampai di perbatasan negara Wiratha, namun kedatangan mereka dihadang oleh dua orang putra Wiratha yaitu Raden Utara dan Raden Wratsangka
" E'aa.... e'aa.... e'aa.... e'aa...... Ha, ha, ha.... " Teriak Prabu Surasekti sambil menari-nari memamerkan keperkasaannya
" Wah, wah..... durung suwe aku napakake sikilku neng tanah jawa lakok ora pangling iki ana satriya nyegat lakune pabarisan wadyabala saka Turilaya, kowe sapa.... ? "
" Luwih dhisik kowe ngakuha kowe ratu saka ngendi aranmu sapa, kowe nggawa wadyabala segelar papan mudhun saka baito dampyak-dampyak lakune para wadyabalamu, gage kowe ngakuha, ora gelem ngaku aja takon dosa sida tak babati wadyabalamu tak gulung gendheramu.... ! "
" Waduh, waduh.... Wah suwarane keparat kaya wani ndhilat wesi abang, kaya isa mecah wesi gligen, tambuh karo aku, aku nalendra saka Panggulanjagad Prabu Surasekti, kowe sapa.... ? "
" Eman-eman.... "
" Loh, kok eman-eman piye....? " tanya Prabu Surasekti penasaran
" Ana ratu kok ingon-ingone luwak.... " kata Raden Utara " Ratu kuwi sak ora-orane ingonane gajah utawa singa, ana ratu sabrang kok ingon-ingonane kok luwak karo tikus....? "
" Ngalih wae yo Gog.... " kata Mbilung
" La ngapa Lung....? " tanya Togog
" Kowe iki ora krasa pa piye....? Sing diunekke luwak ki kowe....! "
" Ora mungkin ta Lung, aku kok di unekke luwak....!? Nuwun sewu raden sing diarani luwak sinten....? "
" La ya kowe kuwi....! " jawab Raden Utara
" Oo ya, ya wis lunga wae yo Lung....! "kata Togog dan mereka berdua pergi ke belakang
" Wong wis penak neng kene kok senengane cemongol-congol .... " terdengar suara Mbilung ngobrol di belakang " Kowe iki apa Gog, ratu gustine lungguh kursi melu lungguh kursi, ratu gustine aba teh anget kowe njaluk soda gembira, gundule atos kowe iki....! "
" Ya kan wong ki selerane dhewe-dhewe ta Lung...! " jawab Togog
" Hoo ya ngono kuwi jenenge nggolek kesempatan, mbareng mulih telake lara, sowan nang ratu gustine njaluk disuntikke, wong kok ora gelem ragat, urip kok ming penyakit thok.....! "
" Mbilung....! Kowe menenga dhisik....!! " teriak Prabu Surasekti
" Mengkin rien ta, beda nggon kok.... ?! " jawab Mbilung di belakang
" Loh, beda nggon ning krungu....!! "
" Krungu apa ya..... ? " Mbilung beranjak maju " Coba kowe ngomonga Gog.... ! "
" Halo, halo.... apa krungu Lung.....? "
" Oh ya Gog seka ngarep kene cetha banget.... ! Ya wis alon-alon wae mengko ndak ngganggu pembicaraan di sana.... " kata Mbilung beranjak lagi ke belakang
" Sapa kowe raden.... ? " tanya Prabu Surasekti
" Putra ing Wiratha, Raden Utara.... "
" Raden Utara.... ? "
" Ya... "
" Sing mburi.... ? "
" Raden Wratsangka.... " jawab Utara " Hayo kowe blaka karo aku arep menyang ngendi....? "
" Dherekke ratu gustiku sinuwun Prabu Bogadhenta nalendra ing Turilaya, kabar sing wis ndak tampa bakal dumadi perang Bratayudha, aku sinampiran ngetapake para wadyabala Turilaya bakal nggepuk perang marang Pandhawa, hayo mula kowe aja nggaglah neng ngarepku minggira, nek pancen kowe melu mbelani Pandhawa dina iki tak untapke nyawamu.... !! "
" Keparat suwarane....! Waaa.... -bruakk-....!!! "
Raden Wratsangka dari belakang tiba-tiba melompat memukul Prabu Surasekti sekeras-kerasnya, Prabu Surasekti jatuh terkapar tak sadarkan diri
" Ratu mbengkanane kok sumbare kaya wani ndhilat wesi abang, konangan wong Wiratha yen ora pecah sirahmu tak guroni kowe.... plakk....! -plakk....!! " kata Wratsangka sambil mukul lagi beberapa kali " Iki ya ngono kit mau kok omongan wae, ora gek ndang bras bres ben ndang rrampung perkarane...! "
" Wong ya lakone iki lakon omongan kok diseseni....? " jawab Raden Utara terus ikut beranjak pergi
Punakawan Togog maju ke depan.... e'aa, e'aa.... e'aa, e'aa.... sambil menari tapi begitu mengetahui gusti ratunya terkapar Togog kaget.... " Ladyalah.....!! ... -brakk-...!! Togog nggeblak jatuh kebelakang
" Ngapa Weer, kowe kok nggeblak barang.... ? " tanya Mbilung
" Kowe noleha Lung, dhiloken gusti ratumu kuwi lo ora sumbut karo sumbare dijothos Raden Wratsangka sepisan wae glekar semaput ora nduwe daya.... "
" Lehe nglekar neng ngendi....? "
" La kuwi lo nang mburimu, kowe iki nduwe mripat apa akik....!? " kata Togog
" Akik dinggo ngethak ndasmu pa piye....!? "
" Ora usah nesu ta Lung....? "
" Ya nesu wae, wong mripat kok dipadhakke akik...!? "
Mbilung menoleh ke belakang
" Wudusss.... !! " Mbilung kaget melompat ke belakang tapi nangkring di mulutnya Togog
" Na rak kurangajar ta.... Lawong kaget kok sak nggon-nggon mencolot kok neng cangkem....? "
" Ya salahe cangkemmu kaya corong dadi ya penak dinggo nangkring...! Aku ora sengaja lo Gog.... Sing jenenge wong kaget ki ya mlompate sak nggon-nggon....!? "
" Sinuwun mangga kula aturi emut sinuwun....! " kata Togog membangunkan Prabu Surasekti
" Kula aturi emut sinuwun, diantem wong Wiratha sepisan wae kok njengkelang semaput kok mirang-mirangke....!? " kata Mbilung
" Mangga gusti kula aturi enget.... "
" Mangga gusti mumpung sik anget.... ! "
" Kok anget ta Lung.... ? "
" Ya ben ta Gog, sak omong-omongku.... ?! " jawab Mbilung
" Mangga gusti wohing aren kolang-kaling, kula aturi eling.... "
" Waduh, ngetokke sumastra sastra.... Mangga gusti kula aturi njupuk ora omong.... " kata Mbilung
" Apa kuwi Lung....? "
" Maling, kula aturi eling.... "
" Wong tembung sastra kok maling.... ? "
" Ya ben ta Gog, ya sak iso-isaku.... " jawab Mbilung
" Mangga gusti ngejok banyu, ngiling-ngiling kula aturi eling.... "
" Waduh, apa ya... ? " Mbilung bingung cari kata-kata " Mangga gusti turu mengkurep gusti.... ! "
" Apa kuwi Lung.... ? "
" Njengking, kula aturi eling.... ! "
" Kowe iki kok saya elek saya elek.... Mangga gusti pecahan kaca.... ! "
" Apa kuwi Gog.... ? "
" Beling, kula aturi eling... ! "
" Mangga gusti ndodhok karo udud....! "
... -plakk-....!! Togog ngeplak Mbilung
" Kowe iki kok cangkemmu elek ta Lung.... !? "
" Mbok ora sah ngeplak ta Gog.... Kok ndadak ngeplak sirah mbarang....?! "
" Aku iki sengit karo kowe, angger dijak parikan apik-apik kok njur sak penake dhewe, ndodhok karo udud kuwi apa... ? "
" Ndodhok karo udud kuwi ngiling-ngiling kok ora pedhot-pedhot ngono.... Mangga gusti kula aturi eling.... ! "
Prabu Surasekti mulai sadarkan diri, merangkak-rangkak bangun
" Wadoh.... Goog.... !! "
" Non.... ! "
" Aku ketemu satriya Wiratha sing jenenge Raden Utara lan Wratsangka mau.... "
" La nggih, kok sampean terus diantem sampek klekaran semaput niki wau lanapa.... ? " tanya Togog
" Aku iki ming ngomong yen tekaku nang negara Ngastina bakal mbelani sang Prabu Bogadhenta nggone labuh karo Prabu Duryudana, nek kowe mbelani Pandhawa kowe tak untapke nyawamu neng kene sisan.... Lakok sing mburi mara mencolot terus ngantem raiku sakbanter-bantere nganthi aku ora eling.... ? "
" Niku anak Prabu Prabu Matswapati ratu Wiratha.... "
" Anake Prabu Matswapati....? "
" Nggih, cacahe sing kakung tiga, Raden Seta, Raden Utara, Raden Wratsangka niku pancen satriya peng-pengane para satriya. Sing paling diwedeni sak Wiratha niku sing nami Raden Seta niku satriyane nyumelangi nek pun nesu wah niku nek ngajar wong ora arep leren nek durung tumekaning pati.... "
" Raden Seta kuwi.... ? "
" Nggih.... pun sakniki ajeng pripun.... ? Sing sae nyimpang dalan kemawon sinuwun.... ! " kata Togog memberi saran
" Nyimpang piye....? Aku wis diantem nganthi klekaran kok dikon nyimpang, padha karo disengguh aku iki ratu jirih getih wedi mati, minggira tak ajare Utara karo Wratsangka.... !! "
" Nggih mangga sinuwun, ngatos-atos.... ! "
Raseksa prayitna anggrong krura wiroda,
begor swara gurnita,
samya sikep sanjata,
samarga girang-girang,
mintonken krodanira
Raksasa waspada berteriak keras amat galak,
-seakan- suaranya guntur bergemuruh,
semua bersiap dengan senjata,
mempertontonkan watak mereka
Prabu Surasekti dari kerajaan Panggulanjagad tidak bisa terima kekalahannya
" Pun sak niki ajeng pripun, nyimpang dalan kemawon sinuwun....? " kata punakawan Togog memberi saran
" Nyimpang-nyimpang piye..... ?! " jawab Prabu Surasekti dengan penuh kemarahan " Aku wis diantem Wratsangka nganthi klekaran ora eling kon dikon nyimpang dalan, mengko aku disengguh ratu sing jirih getih wedi mati, minggira tak trajange Utara karo Wratsangka....!! "
" Nggih mangga sinuwun, ngatos-atos....! "
Terjadilah perang tanding Prabu Surasekti melawan Raden Utara dan Wratsangka, pada awalnya Raden Utara terkena pukulan beberapa kali sampai jatuh terlempar, namun Raden Wratsangka menyambar dari belakang dengan pukulan bersamaan dengan tendangan Prabu Surasekti jatuh tersungkur dan baru bangun langsung dihajar Raden Utara dengan pukulan tendangan tubuh Prabu Surasekti diangkat dihempaskan ke bumi berkali-kali. Tanpa bisa melawan datang lagi Wratsangka menghantam dengan pukulan keras hingga Prabu Surasekti terpental jauh melayang-layang.
" Waduuhh waaah mati aku.... haaaa....!!"
Belum puas menghajar Prabu Surasekti, punakawan Togog juga jadi sasaran kemarahan Raden Wratsangka, Togog dipukul tubuhnya juga terpental jauh melayang-layang
" Wadoohh..... woooooong......!! "
Prabu Surasekti jatuh ke tanah malah ditimpa tubuh Togog sekeras-kerasnya
"Adohh matii aku.... Waaa..... -bruakk-....!!! "
" Hadoh mati aku..... adoh, adoh, adoh....!! " teriak Prabu Surasekti kesakitan
" Hadoh.... ora mati aku, .... hadoh ora mati aku.... adoh, adoh, adoh.... !! " teriak Togog
" Hadooh.... jagad dewa bathara.... !! " teriak Prabu Surasekti berusaha bangun
" Hadooh.... jabang bayik.... ! " kata Togog juga merangkak-rangkak bangun
" Waah... setan alas, Gog....! "
" Non....! "
" Kowe iki jane baturku dudu.... ? "
" Nggih batur... " jawab Togog
" Kancaku apa dudu.... " tanya Prabu Surasekti lagi
" Nggih kanca.... "
" Nek kanca kok ndhem-ndheman karo aku.... plakk....!! " kata Prabu Surasekti sambil mukul Togog
" Kowe iki batur ning kurangajar.... plakk....!!! "
" Kowe sengit karo aku ya.... ! -prakk-...!!! "
" Mangkin rien, mangkin rien sampean kok mara-mara ngeplaki kula.... ?! "
" Ya ngeplak wae....!! " kata Prabu Surasekti marah " Ana ratu tiba, aku ratu gustimu, kok kowe nibani ratu gustimu sak penake dhewe....!? "
" Anggepmu kowe iki sapa....?! .... plakk.... !!
" Kok kowe malah njarak.... !?.... prakk....!!!
" Kula boten jarak, tenan.... ! Niku wau sampean tiba mak gedhabuk terus dicandak Raden Wratsangka cek nganggo irama kendhang, thung genthak genthung gabrus ngoten niku sampean mencelat adoh....! La kula lagi nglinthing udud, ora nyana dicekel sirah kula nggih diatem ngangge irama kendhang, thung genthak genthung.... gabrus....! Kula nggih mencelat adoh, terus nibani sampean wau, napa wong tiba niku isa menerke wong tiba niku nggih sak tiba-tibane....!? "
" Kowe pancen wani karo aku.... !! plakk....!! "
" Wela ora kok bos, tenan bro.... !! "
" Bra bro gundulmu atos.... ! "
" Ngapunten sinuwun kula boten sengaja.... "
" Waah jan.... wong loro digdaya kabeh.... aku dicandak sirahku dinggo dolalan Utara karo Wratsangka, waah.... satriya satriya Wiratha nek nesu ngedhap-edhapi....!? "
" Nggih, putra Wiratha niku kompak.... "
" Mbilung mau nang ngendi....? " tanya Prabu Surasekti
" Mbilung modar, cah ngeyel wong dikon bareng kok malah klithah-klithih dhewe, mesthine nggih dicandak satriya Wiratha diatem sirahe remuk dadi sewalang-walang, pun ora usah mikir Mbilung....! "
Tiba-tiba Mbilung nongol sambil glelang-gleleng nyanyi...
" Tutupen botolmu, tutupen oplosanmu, emanen nyawamu, aja mbok terus-teruske.... Ngapa Gog....? "
" Kok isik urip kowe Lung.... ? "
" Urip wae.... Waah jian aku nonton saka kadohan.... Ratu tu gustiku tiba gedabruk....! Raden Wratsangka mlayu brubut candak rambute cek, geret ngarep set....! Ora isa obah terus nganggo irama kendhang thung genthak genthung, dies....!! Aku saka kadohan muni modiar....!! "
" Loh, sing diatem aku... !? " kata Prabu Surasekti
" Haess pokoke sapa sing diantem aku muni modar, la aku penonton kok bebas.... ! "
" Waah keparat Mbilung iki.... ! "
" Ya ben, tiba maneh glodak.... ! Dicandak karo Wratsangka, dicekel cek, aku wis muni, modar maneh, modar maneh kae.... Mak clethok suwarane kontal modar.... Kowe iki tak bengoki ora krasa apa Gog.... ?! "
" Sapa.... ? " tanya Togog
" Kowe....! Kowe mau jane tak slametke, tak bengoki saka dhuwur, Goog.... lariii.... !! Kowe malah thingak-thinguk, thingak-thinguk nglinting udud dicandak karo Wratsangka diantem sak kayange diel....!! Munggah mendhuwur cangkemmu klebonan angin kudune sambat waduh waduh malah cangkemmu muni woooooong ....!! "
" Ho'oh Lung.... " kata Togog
" Ho'oh dioyak cah cilik.... ndarani sowangan dara, tak unekke plintheng wae le, plintheng wae gundule kae.... ! "
" Wah jan kowe iki karo sapa-sapa kok ngono ta Lung.... !? "
" La tenan, kowe tiba ratu gustimu wis tiba dhisik malah mbok tibani ghedabrukk, terus kowe dha gelut.... hayo ya ora....? "
" Ya...! " La ngaku wae.... "
" Terus kowe.... ? " tanya Prabu Surasekti
" Loh, kula slamet, kula menek wit.... " kata Mbilung " Sampean dha geger kula nyetel radio, ceklik.... Tutupen botolmu, tutupen celanamu.... !
" Edan kowe Lung, lagu apa kuwi.... ? "
" Sampean ora usah ngerti, niki batur mawon sing ngerti, ratu kok arep oplosan ora apik.... ! "
" Wah ya, Raden Utara Raden Wratsangka digdaya-digdaya sekti kalintang jaya ningrang aku ora keduga ngasorake. Ayo Togog, Mbilung lan para prejurit nekuk penjalin nyangkal putung aja liwat laladhan negara Wiratha....!! "
Akhirnya Prabu Surasekti yang diiring punakawan Togog dan Mbilung, beserta ribuan prajurit dari Turilaya tidak berani lewat wilayah kerajaan Wiratha, berbalik mencari jalan lain menuju kerajaan Ngastina
Anenggih ingkeng sinambhete carita satriya kekalih ingkeng samya wawanwicara wonten sak lebheting Kasatriyan Randugumbala Raden Antasena ingkang pinuju kepanggihan kalian Raden Wisanggeni
Yang masih merupakan sambungan cerita dua orang satriya yang saling bertukar pembicaraan di dalam Kasatriyan Randugumbala Raden Antasena yang sedang bertemu dengan Raden Wisanggeni
Hanjrah ingkang puspita rum,
kasiliring samirana mrik
sekar gadhung kongas gandanya
maweh raras renaning driya
Harumnya bunga menyebar
wanginya terbawa hembusan angin
kembang gadhung semerbak -wangi- baunya
membuat hati amatlah senang
" Rak ya padha slamet ta Ni kowe teka mrene .... " kata Antasena menyambut kedatangan Wisanggeni
" Ya kakang Antasena, nampa pangestumu ora ana alangan sambekala slamet tekaku kang.... " jawab Wisanggen
" Radha kaget aku Ni.... !? " kata Antasena " Ora ana sangkan ora ana tandha tengara kok ana wong edan teka...? "
" Aku mbok anggep wong edan.... sing edan aku apa kowe kang.... ? "
" Ya wis, pokoke wong loro padha edane.... Kowe edan, aku ya melu edan, ning bojomu ora melu edan ta Ni.... ? Ben lanang wedok gemblong kabeh...." kata Antasena
" Tegese lanang wedok gemblong... ? " tanya Wisanggeni penasaran
" Lanang wedok gemblong kuwi ora idhep isin, conthone kaya wong lanang wedok mlaku jejer weruh wong pirang-pirang ya rangkul-rangkulan ngono kuwi ora idhep isin, la njur mengko padha lenggahan awor priyayi-priyayi ya dha uleng-ulengan ngono kuwi ya ora idhep isin, kuwi wong loro padha edane.... ! "
" Kowe iki kok waton ngendika .... Kakang Antasena.... ! "
" Apa Ni.... ? "
" Aku mrene iki tilik seger kwarasanmu, sepisan. Kaping lorone mbacutake rembug rikala semana kowe karo aku supaya sowan ana ngarsane Kaki Wenang yen wis nyaketi perang Bratayudha....! "
" Tandha tengarane yen wis nyaketi perang Bratayudha.... ? " tanya Antasena
" Yen wis ana kedadehan Wa Bathara Kresna dadi duta pamungkase para pepundhen Pandhawa nanjihake marang negara Ngastina, kuwi tandhane wis mepet nyaketi perang Bratayudha.... "
" Ya saiki ngene wae Ni, kowe karo aku sowan ngarsane Pada Wenang nanjihke awake dhewe iki ana pakaryan apa supaya para pepundhen Pandhawa slamet, yen nganthi Kaki Wenang ora isa minangkani perlune awake dhewe wis tekad-tekadanlah ora wedi karo sapa-sapa, sisan-sisan lehe dadi wong gemblong melu Baratayudha tak obrak-abrike tak dadekna bosah-baseh negara Ngastina.... ! "
" Dadekke bosah-baseh ki dikapakke.... ? " tanya Wisanggeni
" Ya wis pokoke tak adul-adul sak rambut-ranbute sisan.... ! "
" Lakok wanine mung adul-adul rambut ta kang.... ?! "
" Ya sisan-sisan ben wae jagad iki ben bubar sisan, ben diarani wong gemblong sisan.... !! "
" Ya wis ayo kang, dhewe tata-tata munggah kahyangan Ondhar-Andhir Bawana kang.... ! "
" Ayo, tak tutke Ni.... !
Antasena dan Wisanggeni naik ke kahyangan Ondhar-Andhir Bawana menghadap Sang Hyang Wenang
" Hong mas tumana sidam sekaring bawana langgeng .... Wisanggeni, Antasena ingkeng sowan .... ? " kata Sang Hyang Wenang
" Ya Kaki Wenang, aku ngaturake sembah pangabektiku konjuk Kaki Wenang ... " jawab Wisanggeni
" Ya, Kaki Wenang aku ngaturake sembah pangabektiku konjuk Kaki .... " jawab Antasena
" Ya, ulun tampa .... Apa sabape jeneng kita ngabyantara ana ngarsa ulun .... ? " tanya Sang Hyang Wenang
" Kaki Wenang, sak temene aku mung bakal nanjihke uripe Wisanggeni apa dene kakangku Antasena, lamun dina iki wis nyaketi perang gedhe Bratayudha Jayabinangun, aku minangka putrane para Pandhawa saka pangandikane Wa Nata Dwarawati supaya ngadhep ngarsane Kaki Wenang, aku nyuwun pangestu saka Kaki Wenang nggonku bakal sabyantu marang para pepundhenku Pandhawa bakal melu ngayati perang suci Bratayudha .... "
" Ya Kaki Wenang, semono uga aku ora beda karo gegayuhane adhiku Wisanggeni, aku karo adhiku lanang iki wis sak rembug sebaya mukti sebaya mati kepingin bantu marang para Pandhawa .... " kata Antasena
" Ngger Wisanggeni, apa dene Antasena .... " kata Sang Hyang Wenang " Lamun kita bisa sabyantu jroning perang gedhe Bratayudha sayekti nadyan Pandhawa ora melu rumagang karya bebasan Kurawa satus bakal gampang sirna ora nganthi suruping surya, sabab ora ana ingkeng ngungkuli marang kadigdayan kita sak kloron, nanging ngger .... Yen kita melu Bratayudha kodrate jawata bakal ora klakon, para jawata bakal kewirangan amerga kodrate Bratayudha wus ana sakdurunge wong tuwamu para Pandhawa lahir ana alam dunya, lan sumurupa ngger .... wus kodrat nggon kita ana ning alam padhang ora bakal weruh ingkang winastan Bratayudha .... "
" Loh, kok ngono Kaki .... ? " tanya Wisanggeni
" Aku ora entuk weruh perang Bratayudha Kaki .... ? " tanya Antasena
" Ya, pancen mengkono, wus dadi pesthining jawata kita sak kloron ora diwenangake nyumurupi marang Bratayudha, kita bakal dadi tabuh tawure kemenangane Pandhawa ngger Wisanggeni, Antasena .... "
" Njur pakaryanku lan kakangku Antasena apa Kaki Wenang .... ? "
" Kita bisa misungsungake pangabekti kita marang para Pandhawa, ya kuwi kita sak kloron ingkeng keduga bisa nyirnakke Bathari Durga lan Bathara Kala supaya Durga apa dene Kala boya melu sabyantu marang para Kurawa, sabab yen Kurawa entuk pambyantune Durga apa dene Kala sayekti Pandhawa bakal kalah jroning Bratayudha, mula wektu dina iki pakaryan kita nyirnakke Bathari Durga lan Bathara Kala, sak wise Durga lan Kala padha bali marang asal mulanira kita tak wenangake ngadhep ing panjenengan ulun, ulun ingkeng bakal nuntun kita bali marang kasuwargan jati .... ngger Wisanggeni apa dene Antasena .... ! "
" Mengko dhisik Kaki Wenang .... apa aku kira-kira isa menang karo Bathari Durga lan Bathara Kala .... ? " tanya Wisanggeni
" Wisanggeni, Antasena .... kita sak kloron nate ulun paringi wujude pusaka Gada Inten ya kuwi kinarya srana mateni Bathari Durga apa dene Bathara Kala ....!"
" Oo ladyalah .... kakang Antasena .... ! "
" Piye Ni .... ? " kata Antasena
" Ayo ditindakke saiki pakaryane dhewe, lan kowe karo aku kudu eklas bali marang kasuwargan dadi srana kemenangane para Pandhawa .... "
" Ya, aku manut Kaki Wenang .... " jawab Antasena
Antasena dan Wisanggeni setelah minta do'a restu Sang Hyang Wenang meninggalkan kahyangan Ondhar-Andhir Bawana mencari Bathari Durga dan Bathara Kala
" Oohh .... ! Ha ha ha .... herrr .... Ora panggling iki Wisanggeni lan Antasena .... ? " kata Bathara Kala saat berhadapan dengan Wisanggeni dan Antasena
" Bathara Kala , ya .... ! " jawab Wisanggeni
" Ya, aku Antasena .... ! " jawab Antasena
" Ngalangi lakuku .... ? "
" Mesthine kowe arep ngambah Kurusetra .... ? "
" Pancen kapara nyata, aku bakal bantu Duryudana, kanthi mengkono aku bakal entuk candhong pangan ingkeng okeh .... Mula kowe sumingkira ora usah ndadak dadi pepalange Bathara Kala .... ! "
" Kala ... kowe kena mapan neng Kurusetra bantu marang Sata Kurawa lamun bisa nyirnakna Wisanggeni apa dena kakangku Antasena .... ! "
" Woo ladyalah, kowe jalma wantah apa wani karo Bathara Kala .... ? "
" Sing tak wedeni apamu .... !? "
" Haah .... hooh .... sida tak gaglak tak dadekna ganjele wetengku kowe .... ! Haah .... he'ee .... herrr .... haah .... !! "
Terjadilah perang yang sangat mengerikan Bathara Kala berhadapan dengan Antasena, tubuh Antasena disaut digigit dicabik-cabik dengan gigi taringnya yang tajam, dibanting berkali-kali namun tubuh Antasena tak terluka sedikitpun. Tubuh raseksa Bathara Kala yang sebesar itu ditendang, diangkat dan dibanting Antasena hingga kahyangan Setra Ganda Mayit terguncang-guncang seperti gempa, namun Bathara Kala adalah wujud dari raja angkara murka yang sulit ditaklukkan, saat Antasena dicengkeram melesat terbang menghindari amukan Bathara Kala, Bathara Kala mengejar Antasena dan dihadang Wisanggeni
" Haahh .... ha ha ha .... herrr .... hayo Antasena dulurmu keplayu ora wani ngadhepi aku .... ! "
" Ora perkara wedi .... pancen kowe dipacing ben ngadhepi Wisanggeni .... hayo aku gawa wujude Gada Inten, waspadakke iki merga dalane patimu .... !! "
" Haaa .... ho'oo .... aku ora bakal wedi .... ayo tamakna legane atiku .... !! " sumbar Bathara Kala
" Ooh mati dening aku kowe Kala .... !!! "
Tubuh Bathara Kala disapu dengan pusaka Gada Inten seketika itu ambruk kahyangan Setra Ganda Mayit terguncang, Bathara Kala tewas ditangan Wisanggeni
" Haahh ..... mati aku .... haa ... panas .... panas .... adoohh mati aku .... !! "
Tubuh Bathara Kala hangus terbakar dan tewas seketika
" Hayoh .... ambruk isa kobong awakmu tumekaning pati kowe .... !! "
" Dewa kok isa mati ya Ni .... ? " tanya Antasena
" Ya kang, sing mati kuwi ragane, ning Kala kuwi saben wektu mesthi eneng .... mung kari sukma njur ojok-ojoki tumindak ala marang para titah nang ngarcapada .... " jawab Wisanggeni
" Ning sing wigati wis sirna wujude Bathara Kala .... la iki terus Bathari Durga carane mateni ...?"
" Aku tak malih dadi wujud Bathara Kala, mengko tak apusane Bathari Durga .... ! "
Seketika itu Wisanggeni berubah wujudnya menjadi Bathara Kala dan mencari Bathari Durga
" Tobat .... tobat, tobat .... ora pangling iki kaya anakku Kala .... ? " kata Bathari Durga
" E'ee... a'aa....Ya biyung .... ! "
" Lakok dadi kowe malah neng kene .... ? Kowe gawa wujude murup sak obor kuwi apa Kala .... ? "
" Iki arane Gada Inten biyung .... aku ketemu Wisanggeni karo Antasena ingkeng bakal dadi srana patine awake dhewe, aku kalah tanding karo wong loro dikrubut, aku mung isa ngrebut pusakane sing aran Gada Inten iki .... Biyung kowe majuha, Gada Inten iki gawanen, ujare para winasis yen Gada Inten iki mbok asta Wisanggeni karo Antasena isa tumekaning pati .... ! "
" Bat .... tobat, tobat .... mara kene tak gembole Gada Inten .... ! "
" Nyoh .... Gada Inten iki gawanen biyung .... ! "
Tan prayitna Bathari Durga, Gada Inten dipun asta dadi lan patine Bathari Durga .... !
" Bat .... tobat, tobat .... aduh mati aku Kala .... !!! "
Seketika itu tubuh Bathari Durga juga hangus terbakar menemui ajalnya.
Wisanggeni kembali berubah wujud seperti semula
" Kakang Antasena .... ! "
" Ya, piye Ni .... ? " jawab Antasena
" Wis lunas pakaryane dhewe ana neng jagad.... ngendikane Kaki Wenang kowe karo aku kudu isa ngisas angkara kang wujud Bathari Durga lan Bathara Kala .... "
" Ya Ni, lorone wis tumekaning pati , jumbuh karo ngendikane Kaki Wenang kowe karo aku aja badal dhawuhe Kaki Wenang .... " kata Antasena
" Ya bener kang .... "
" Ayo sowan menyang Ondhar-Andhir Bawana, pasrah jiwa raga marang Kaki Wenang .... ! "
" Ayo kang Antasena .... ! "
Antasena dan Wisanggeni naik ke kahyangan Ondhar-Andhir Bawana menghadap Sang Hyang Wenang
" Wisanggeni, Antasena .... " kata Sang Hyang Wenang
" Ya, Kaki Wenang .... " jawab Wisanggeni
" Ya Kaki .... " jawab Antasena
" Kita ulun sawang wus bisa gawe srana sarta nuntasake kewajiban urip nang alam padhang minangka srana patine Durga apadene Kala .... "
" Pangestune Kaki Wenang, kabeh wis bisa kaleksanan nggonku ngayahi kewajiban, Bathara Kala apa dene Bathari Durga ora bakal ganggu gawe ngayati perang suci Bratayudha Jayabinangun .... " jawab Wisanggeni
" Ya, kanthi mengkono apa kita bakal pasrah jiwa raga kita ana ing ngarsa ulun .... ? "
" Ya Kaki Wenang, aku wis sebaya mukti sebaya mati karo kakang Antasena, aku eklas, saguh dadi srane kemenangane para Pandhawa .... " jawab Wisanggeni
" Ya Kaki Wenang aja tidha-tidha .... " kata Antasena " Kaki Wenang paring dhawuh bakal dudhuhake marang dalan kasuwarganku apa dene adhiku lanang Wisanggeni, wis tindakna, ora bakal ana rasa owel, aku eklas, aku lila dadi ganjel kemenangane para pepundhenku Pandhawa .... ! "
" Wisanggeni apa dene Antasena .... Nom-noman kaya kita sayekti pantes kinarya cagak tuwake negara lan pantes tinulad sudarsana mring sagung para mudha kang padha urip ana ing negara Ngamarta, ana ing Nuswantara ....
Wisanggeni, Antasena .... aja mrucut seka paningal ulun , mara gage waspadakna paningale Kaki Wenang ngger .... !! "
Manther paningale Sang Hyang Pada Wenang tempuk kalian netrane Raden Wisanggeni tuwin Bambang Antasena, nalika semanten ana dayane para jawata ragane Raden Wisanggeni tuwin Raden Antasena saya alit, saya alit .... amung sak mrica mawa cahya nggeblas antariksa manjing dhateng kasuwarganipun Wisanggeni lan Antasena
Saat itu Raden Wisanggeni dan Raden Antasena pandangan mereka saling beradu dengan Sang Hyang Pada Wenang, ada kekuatan para dewa raga Raden Wisanggeni dan Raden Antasena semakin mengecil, makin kecil, makin kecil sampai sekecil biji merica yang bercahaya, cahaya sukma itu melesat ke angkasa menuju alam alam kasuwargan alam kelanggengan Wisanggeni dan Antasena
Saat punakawan Semar Badranaya dan anak-anaknya berkumpul. Nala Gareng, Petruk dan Bagong menyaksikan Ramanya seperti sedang menanggung kesedihan yang teramat dalam
" Kok sampean iki kit mau mung dheleg-dheleg to rama .... ? " tanya Gareng
" Ya pak, para pepundhen Pandhawa padha menggalih Bratayudha bapak kok malah katon abot kaya ana sing dipikirake .... ? " tanya Petruk
" Ya, bapak iki sing dipikirne apa .... ? Mbok ngomong aja meneng wae, anak-anakmu ki malah dadi bingung.... ?! " kata Bagong
" Hee .... ya thole .... rasaku kok kaya kelangan .... ? " jawab Semar Badranaya
" Kelangan piye ta pak .... ? " tanya Petruk
" Hee .... aku kok kaya duwe momongan sing itunganku kok kaya kurang genep .... Mangka bareng aku manekung nyuwun marang ngarsane Gusti ingkang akarya jagad ana sasmita sing tak tampa .... Hee Pandhawa kelangan wiji sejati loro cacahe thole .... "
" Loro cacahe sapa pak .... ? " tanya Petruk
" Ya, ndaramu Wisanggeni, ndaramu Antasena wis dhisiki kundhur ana ing kasuwargan ora dikeparengake melu Bratayudha Jayabinangun. Hee .... muga-muga dadiha sarana ganjel kemenangane wong tuwane nggone ngayati perang suci Bratayudha Jayabinangun ya thole .... ! "
" Nggih pak, dunga sareng-sareng mawon nggih pak .... ! "
Punakawan Semar Badranaya dan ketiga orang anaknya, Nala Gareng, Petruk dan Bagong sedang mengiring kepergian Raden Bambang Irawan, namun momongannya itu ditengah jalan tiba-tiba berhenti terlihat cemas dan ragu untuk melanjutkan perjalanan menuju Wiratha
Semar eka den prayitna
semu ririh eka balik
titi yoni ganda yoni
trisonya purnama sasi
gilar-gilar semedi tengahing latar
milangana lintang bima sekti
katon abyor ing angkasa
Oong.....
" Hee.... mbhegegeg ugeg-ugeg, sakdhulitha.... hmel' hmel.... Den, ndara Irawan, ndika niku kok lajeng mandheg mangu, sanjange badhe sowan dhateng keng rama ugi para pepundhen Pandhawa dhateng Wiratha kok lajeng mandheg jegreg, napa ingkeng dipun penggalih den....? "
" Ya yai Semar, kok rasaku sumelang kaya mengkene, aku kelingan mau bengi ngimpi, aku bingung yai Semar ngimpiku iki ala apa aku bakal nampa kanugrahan kiyai Semar....!? " jawab Raden Bambang Irawan.... "
" Ee ngimpi napa ndara....? "
" Aku kok ngimpi ditekani kakang mas Antasena karo kakang mas Wisanggeni pasuryane katon endah ning kok njur aku dijak bareng manjing anaing swargaloka yai Semar....? "
" Waduh, ngimpine ndara Irawan kuwi isa tembus pak....!? " kata Nala Gareng
" Wah ya bener kuwi Miir.... coba dipasang patang angka lumayan kena kanggo sangu....! " sahut Bagong
" Hoo....bocah edan kowe iki Gong.... sing dimaksud kang Gareng ki ora nembus lotre, ning tembus karo alam kasuwargane ndara Antasena karo ndara Wisanggeni, kowe iki wis nggenah judi kuwi dilarang negara kok isih mikirke togel wae....! "
" Hee..... saking pasumpenan ndara Irawan menawi ingkeng kula wawas menika boten usah ndadosaken was-was sumelange penggalih sampean den ....? "
" Rasaku kok melang-melang kaya ngancik pucuking ri ana pinggire jurang, yai Semar banjur aku kudu kepiye....? "
" Sampun ngantos mangu-mangu den, menawi badhe ngaturaken bekti dhateng tiyang sepah ugi para pepundhen Pandhawa kedhah tatag tangguh tanggon penggalihe nenuwun dhateng Gusti ingkeng akarya jagad supados saget kasembadan penjangkanipun.... "
" Ya yai Semar, mbok dikaya ngapa aku bakal tetep masrahake pati uripmu nggone kanjeng rama para pepundhen Pandhawa bakal ngayati perang gedhe Bratayudha Jayabinangun, ora lega rasane atiku yen ora dhisiki magut anaing Bratayudha umpama nganthi mati cinathet dadi kusumaning bangsa sak ora-orane dadi rabuk Ibu Pertiwi yai Semar.... ! "
Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap
katon lir kincanging alis
risang maweh gandrung
sabarang kadulu wukir moyag-mayig
saking tyas baliwur lumaris agandrung
Oong.....
Bumi terguncang-guncang langit gelap kilat meyambar-nyambar
seperti gerak alis orang yang sedang kasmaran
semua terlihat seperti gunung yang bergoyang-goyang
dari hati yang kacau -iapun berjalan memikat
Oong.....
Miyaking ghegrumbul mengongok wujude kaya barongan anenggih sang Kala Srenggi
Menyilak rerimbunan menampakkan wujudnya seperti barongan yaitu -raseksa- Kala Srenggi
" Herrr.... eaah.... haaa.... heerrr.... ana satriya bagus widheksa, kowe apa Janoko hem.... ?! "
" Bathok mlorok ora ndhelok.... ! Aku Bambang Irawan....! "
" Aku Bambang Widodo....! " jawab Petruk
" Aku Bambang Yudoyono....! " jawab Bagong
" Wee....dower, wong ora tau adus ngono kok ngaku Bambang Yudoyono....!? " kelakar Gareng
" Iki wong elek-elek baturmu malah dha ghegojekan.... Kowe anak Janoko.... ? "
" Ya dhasar para nyata, kowe sapa.... ? "
" Aku Selamangling Kala Srenggi, mbiyen wong tuwamu sing merjaya wong tuwaku aku anake Jothogimbal lan Jothogini aku arep males tuwuh patine wong tuwaku.... Waah sida tak klethak kowe dina iki... !! Heeaah.... herrrr...!! "
" Hayo, aja mung sesumbar sesongaran aku ora bakal mundhur sejangkah mungsuh wujude buta kaya dapurmu.... !! "
" Aduh den, ngatos-atos nggih ndara.... ! " kata Petruk
Dengan ganas Kala Srenggi langsung menyerang Bambang Irawan tapi malah terkena pukulan telak Bambang Irawan, raseksa Kala Srenggi jatuh bergulung-gulung
" Waaah.... bruak-.....!! Brruakk-....!!! Aduh mati aku.... Waladyah... hoooh.... tangane kaya wesi....!? Lena pangendamu tak kemah-kemah isa tekaning pati kowe.... Hooohh.... herrr...."
Pertarungan semakin mengerikan, Bambang Irawan mewarisi ketangkasan dan kesaktian yang dimiliki sang ayah Raden Arjuna, raseksa Kala Srenggi dihajar tanpa ampun dengan kekuatan pukulan dan tendangan tubuh Kala Srenggi yang tinggi dan besar itu dihempaskan ke batu besar hingga batu besar itu hancur berantakan. Namun Kala Srenggi juga seorang raseksa yang memiliki kekuatan seimbang dengan Bambang Irawan, begitu Bambang Irawan lengah disahut kepalanya dan digigit dengan gigi taringnya yang tajam, bersama dengan itu Bambang Irawan menghunus keris dan dihujamkan ke dada Kala Srenggi
Sang Kala Srenggi gineget jangga Bambang Irawan ananging maksih sebrak ngunus culiga kajojhohaken dhadha dados pejah sampyuh kekalihnya
Sang Kala Srenggi menggigit leher Bambang Irawan namun masih sempat menghunus keris dihujamkan dada jadi (sampyuh) tewas bersamaan
Para punakawa berlari-lari mengetahui ndaranya Bambang Irawan ambruk bersamaan dengan tewasnya Kala Srenggi
" Aduh den..... ndara Irawan kok sampun seda penjenengan den.... ! Pak.... ndara Irawan.... Pak.... !! " teriak Petruk sambil menangis
Semar Badranaya, Nala Gareng dan Bagong datang juga merangkul jasad Raden Bambang Irawan
" Heeee.... hiiii..... pripun niki pak, dereng napa-napa kok ndara Bambang Irawan pun dadi korban.... Hiii, haaaa.... pripun niki pak....?! " tangis Petruk makin keras meratapi kematian Raden Bambang Irawan
" Haaaa..... he, he, he.... waaaa......!! " teriak Bagong juga ikut menangis
" Kowe iki nangis kok cangkemmu mengo semono ambane ta Gong.... !? " kata Petruk
"Mbok menawa iki wis dadi keparenge Gusti ingkeng Maha Kuasa thole.... " Kata Semar Badranaya sambil memangku tubuh Raden Bambang Irawan yang lehernya hampir putus berlumuran darah
" Nganthi meh tugel janggane ndara Irawan niku pak.... ! " kata Nala Gareng
" Hee.... iki putrane ndaramu Janoko, ya kepiye wae merga kakean putra ya ana sing caket, ana sing ana sing radha adoh.... "
" La nggih pak, gek kalih keng ibu Dewi Ulupi arang-arang kepethuk kalih keng rama.... " kata Petruk
" Ya thole, dikaya ngapa salirane ndara Bambang Irawan iki tetep bakal tak aturke marang ndaramu Janoko uga para Pandhawa, sapa ngerti iki isa dadi tabuh tawure dadi sarana ilange angkara murka, kemenangane para Pandhawa thole....! "
Jasad Raden Bambang Irawan digendong punakawan Semar Badranaya bersama anak-anaknya dibawa ke Wiratha
Surem-surem diwangkara kingking
lir mangaswa kang layon
denya ilang manise
wadananira layu
kumel kucem rahnya maratani
marang saliranipun
melas dening ludira kawang nang
nggana bang sumirat
Oong.....
Suram-suram cahaya surya bersedih
seperti menghidu layu
oleh hilang keindahannya
kumal pucat wajahnya layu
darah merata dan membiru
disekujur tubuh itu
angkasa berduka
lihatlah langipun -menangis- semburat merah
Oong......
Suasana kesedihan terasa menyayat-nyayat, sang suryapun suram cahayanya diselimuti mendung gelap, seluruh angkasa berduka seperti kedukaan yang dirasakan para punakawan Semar dan anak-anaknya, baru saja berduka harus berpisah dengan dua orang momongan yang sangat dicintainya Raden Wisanggeni dan Antasena kini harus juga ditinggalkan Raden Bambang Irawan meninggalkan untuk selama-lamanya
Dan hari itu kesedihan juga dirasakan oleh Prabu Sri Bathara Kresna, betapa berat tugas yang harus ditanggungnya, demi kemenangan para Pandhawa di perang besar Baratayudha, atas perintah Sang Hyang Jagad Girinata Prabu Kresna sebagai pujangga para Pandhawa harus mengorbankan Raden Antareja putra Werkudara satriya dari Jangkarbumi
" Kepareng kula ngaturaken sembah pangabekti kula konjuk wa Prabu Dwarawati.... " kata Raden Antareja saat menghadap Prabu Sri Bathara Kresna
" Ya ya ngger ndak tampa, pengestune wakmu Dwarawati tampanana.... " jawab Prabu Kresna
" Kula pundhi ngge jimat paripe ndayanana kasantosanipun keng putra ing Jangkarbumi.... "
" Ngger kulup Antareja sira saka ngendi....!? "
" Ndherekaken para pepundhen Pandhawa rawuh wonten Balemakambang.... "
" Dadi sira wis dherekake pepundhen Pandhawa wiwit saka Ngamarta.... ? "
" Inggih kasingihan mekaten.... " jawab Antareja " Amargi awit saking pangajape manah kula sampun ngantos kentun wontening peperangan Bratayudha, kula kedhah mbelani dhateng para pepundhen kula Pandhawa.... "
" Bagus... ! Pancen pangajaping para lancur-lancur Pandhawa Gathutkaca, Abimanyu lan sak piturute padha kepingin madheg minangka senopati mbelani marang para Pandhawa minangka anak ingkeng bisa mikul dhuwur mendhem jeru karo wong tuwane.... "
" Inggih wa, wonten menapa dene wa Prabu Dwarawati animbali dhateng kula.... ? " tanya Antareja
" Antareja....! "
" Wonten tinimbalan.... "
" Mara coba pitakone wakmu Dwarawati iki wangsulana.... " kata Prabu Kresna
" Inggih, wonten andangon menapa.... ? "
" Sawise wakmu Dwarawati dadi duta pamungkase para Pandhawa Bratayudha iki wis ora bisa diselaki maneh, sira kulup nduwe pangajap apa, Pandhawa menang apa kalah.... ? " tanya Prabu Kresna
" Kenging menapa paduka andhawuhaken kados mekaten, sampun sak trepe menawi kula gadhahi gegayuhan para pepundhen kula Pandhawa saget jaya wonten perang Bratayudha sahingga negari Ngastina ugi Ngindraprastha saget wangsul dhateng Panguwasanipun para pepundhen kula Pandhawa.... "
" Kurawa satus cacahe dibelani para nalendra narpati ingkeng wis sak rembug klawan Prabu Duryudana, Pandhawa mung lima, apa kira-kira Pandhawa bisa menang.... ? "
" Menawi dipun keparengaken kula madheg senopati kula sagah numpes para Sata Kurawa.... ! " jawab Antareja
" Mengko dhisik, Kurawa kuwi ora uwong saudhon telu saurupan ning wong digdaya.... ? "
" Nuwun sewu wa, kula sampun pinaringan kekiyatan saking eyang ingkeng kasekten menika boten tedhas dhateng menapa kemawon, saha kula gadhahi kekiyatan sinten tiyangipun boten usah adhep ajeng kalih pun Antareja menawi telapak sukunipun kula dhilat temtu tiyang menika badhe jengkelang dados kuwanda.... ! "
" Ee ladyalah.... ! Apa kuwi nyata.... ? "
" Menawi dipun keparengaken kula aturi buktekaken kula sagah wa Prabu.... ! "
" Yen pancen kaya mengkono sira kulup wis pantes dadi senopati. La saiki aku tak takon.... "
" Wonten pandangon menapa malih...? "
" Umpama anakku ing Jangkarbumi iki jroning peperangan kapupuhing madyalaga, tegese mati jroning peperangan apa kowe eklas.... ? " tanya Prabu Kresna
" Inggih sampun kula udhokaken jiwa raga kula, kula eklas nadyan dados tabuk tawure peperangan Bratayudha kagem kemenanganipun para pepundhen Pandhawa kula sagah kula eklas.... "
" Tegese yen patimu iki dadi srana kemenangane para Pandhawa kowe eklas.... ? "
" Kula eklas lair batos, boten badhe kula gadhahi raos owel grundel, lair batos kula eklas manjing alam kelanggengan nanging pepundhen kula Pandhawa kedhah unggul wontening perang Bratayudha Jayabinangun.... ! "
" Anakku ngger Antareja....! " teriak Prabu Kresna sangat merasa terharu dan memeluk Antareja
" Jroning wa tapa anaing Balekambang sayekti wa sowan ana ngarsane Sang Hyang Jagad Girinata, nalika semana pun wa kepingin kedunungan wahyu Jitabsara pepakeme Baratayudha, saiki pun wa blaka wae ya ngger, ora bakal tak tutup-tutupi .... "
" Inggih wa Prabu kula sumanggakaken.... "
" Nalika semana aku weruh Sang Hyang Penyarikan nedya bakal anyerat senopati Ngastina lan senopati Pandhawa.... " lanjut Prabu Kresna " Senopati Ngastina kuwi wakmu ing Mandura, senopati Pandhawa ya kowe Antareja, ya mung emanku yen nganthi sira kulup dadi senopati Pandhawa satemah Bratayudha ora nganthi suruping surya Kurawa tumpes kelor tanpa sisa klebu wakmu ing Mandura mesthi bakal tekaning pati mungsuh kowe, tegese dewa oolehe gawe kodrat utawa gawe pakem mau wis ora ana gunane, mula banjur tulisan ingkeng kaserat Bathara Penyarikan mau tak tumpleki nganggu mangsi srana wa membaw lanceng seta, tumuli pun wa entuk kewajiban saka Sange Hyang Giri Nata, bakal ora ana dumadine senopati saka Mandura lan Jangkarbumi nanging aku kinen murba klawan kowe Antareja, tegese karepe dewa aku supaya gawe srana kowe aja nganthi melu Bratayudha yen perlu kowe kudu sirna sak durunge Bratayudha kinarya tabuk tawure kemenangane para Pandhawa, Antareja....! "
Mendengar apa yang disampaikan Prabu Kresna, Raden Antareja dari tempat duduknya segera bangun berdiri menyamai Prabu Kresna tanpa rasa takut dengan apa yang bakal terjadi
" Menapa ingkeng paduka ngendikakaken menika babar pisan boten damel gogrok manahipun putraing Jangkarbumi, malah kula bombong malah kula remen menawi kula saget dados sarana kemenanganipun para pepundhen Pandhawa, menawi jengandika dhawuh mmekaten saha menika dhawuhipun Sang Hyang Manikmaya benjang menapa anggen paduka badhe nglebur jiwa raganipun Antareja.... ? "
" Antareja, dikaya ngapa pun wa ora bakal mentala yen tumindak kaya mengkono, aku ora bakal isa aku ora bakal tekan atiku yen kudu murba klawan uripmu ngger Antareja.... " kata Prabu Kresna
" Paduka sampun ngantos kodheng penggalih paduka, kula kalawau sampun matur bilih kula gadhahi kekiyatan ingkeng kekiyatan menika boten dipun darbeni sinten kemawon. Wa.... kula namung nyuwun jumurung dhumateng donga paduka wa PrabuDinteDinten sakmangke kula kedhah ndhilat tapak suku kula piyambak, kula eklas ingkeng putra manjing wontening lokabaka kagem sarana tabuk tawure kemenangane para pepundhen kula Pandhawa....!! "
Kocap kacarita nalika semanten Raden Antareja ing cipta netepaken raos penggalih riwutnya anampi sabdanipun ingkeng wa Dwaraka byar padhang tetrawangan kaya antuk marga kang sejati kahanjhok wontening swargaloka sang Antareja datan den ribeti dene hawa napsu ingkeng wusanane pasrah marang keparenge Gusti ingkeng akarya jagad, andhilat tapake dlamakanira pribadi ambruk tanpa daya pejah saknalika cumlorot sukmanipun Raden Antareja manjing wontening swargaloka
(BERSAMBUNG)