SINKRETISME NUSANTARA
Sinkretisme merupakan perpaduan dalam kepercayaan atau aliran agama.
Sinkretisme adalah suatu proses perpaduan yang sangat beragam dari beberapa pemahaman kepercayaan atau aliran-aliran agama. Pada sinkretisme terjadi proses pencampuradukkan berbagai unsur aliran atau paham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif pada agama lain.
Sinkretisme juga terjadi umumnya di sastra, musik, memperwakilkan seni dan lain ekspresi budaya. Sinkretisme mungkin terjadi di arsitektur, sinkretik politik, meskipun dalam istilah klasifikasi politik memiliki arti yang sedikit berbeda.
Di antaranya bentuk gerakan sinkretisme adalah Genostisime yang mencampurkan antara filsafat Yunani, agama Yahudi dan agama Kristen di Eropa dan Amerika Utara. Ada juga aliran Buddha Mahayana yang merupakan pencampuran antara ajaran agama Budha dengan Hindu pemuja Dewa Syiwa. Selain itu, ada pula islam abangan yang merupakan percampunran antara ajaran Islam dengan aliran kejawen.
SINKRETISME ISLAM DI JAWA
Indonesia menduduki posisi sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim mayoritas dan terbanyak di dunia (Ali 2008:77-78), sekaligus memiliki catatan sejarah akulturatif yang berbeda antara nilai-nilai lokal dengan Islam. Melihat jumlahl populasi muslim yang begitu besar sekaligus dinamika penyebarannya (Woodward 2011:263) sebagai sebuah agama mayoritas, Islam di Indonesia selalu mengalami akulturasi dalam perkembanganya, demikian pula ketika bersentuhan dan berpadu dengan budaya lokal setempat agar nilai-nilai ajaran Islam dapat diterima oleh masyarakat sekitar. Perpaduan antara budaya lokal dan agama ini dikenal dengan istilah sinkretisme (Nadel 1951:157), yang pada prosesnya kemudian, memunculkan karakterisasi yang berbeda dalam komunitas atau jamaah muslim di Indonesia. Keberagaman akibat proses sinkretisasi di Indonesia ini tidak hanya memperkaya varian agama Islam secara umum, namun sekaligus menjadikan Islam Indonesia berbeda dengan Islam Timur Tengah, dan Islam di negara lainya. Dari sudut pandang tersebut, maka tidak heran ketika Smith mengatakan bahwa terminologi Islam tidaklah tunggal atau singular melainkan Jamak atau plural Islams (Smith 2001:219).
Varian Islam Jawa dapat dikategorikan sebagai entitas yang memiliki karakteristik yang berbeda atau antonimi. Istilah sinkretisme kemudian terbentuk ketika bagaimana Islam, di sini sebagai bentuk ideologis, masuk ke masyarakat Jawa yang direpresentasikan dalam unsur-unsur identitas dan perilaku seorang Jawa (Ricklefs 2006). Memang pada perkembangannya Islam Jawa dipandang sebagai hal yang menyimpang dari Islam karena gerak beberapa kelompok Islam Puritan yang bernada pejoratif dan profanatoris (Sutiyono 2010).
Secara historis, De Graaf dan Pigeaud mengemukakan periodisasi Islam dalam sejarah Jawa ditandai dengan kehadiran kerajaan Jawa pada abad ke-16, yakni Demak dan Raden Patah sebagai rajanya (dalam Rahardjo 2011). Kerajaan ini semakin memiliki kekuatan politik Islam di Jawa sekaligus menggantikan kerajaan Hindu Buddha ketika berhasil menaklukkan ibu kota Majapahit di Trowulan, Jawa Timur melalui kepemimpinan raja ketiganya, Trenggana (1505-1518 dan 1521-1546).
Upaya berikutnya adalah bagaimana peran syi’ar atau dakwah Islam di tanah Jawa yang tidak terlepas dari peran serta tokoh-tokoh agama Jawa yang dikenal dengan sebutan wali atau sunan atau panotoagomo (Daniels 2009). Sikap bijak dari para wali dalam mengislamkan tanah Jawa selama enam abad merupakan kemampuan adaptasi dari rasa dan cara hidup masyarakat sekitar, yang bagi Jhon W. Berry, adaptasi adalah sikap responsif, bagian dari proses akulturasi, pada perubahan lingkungan pluralis sebagai isu cultural maintenance (Berry 1997:9-10). Lebih dari itu, sikap tersebut menunjukkan upaya ’taktis’ untuk tidak membuat takut sekaligus rasa kaget penguasa Hindu dan masyarakatnya. Keterlibatan budaya lokal dalam proses dakwah Islam sebagaimana terjadi di Masjid Sunan Ampel, seperti yang telah disampaikan oleh para Wali Songo, khususnya Sunan Ampel, telah menjadi perhatian dari para antropolog dan sosiolog baik lokal maupun internasional (Ali 2011; Picard dan Madinier 2011, Daniels 2012). Ayzumardi Azra, salah satu tokoh muslim Indonesia, berpendapat bahwa Islam di Jawa merupakan proses perpaduan atau sinkretisasi antara great tradition atau Islam normatif dengan little tradition atau yang biasa dikenal dengan sebutan local tradition (Azra 2010).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji budaya sinkretis dalam masjid dan aktivitas Masjid yang bersejarah dan tertua di kota Surabaya, Sunan Ampel. Konteks awal syiar ulama dalam membangun masyarakat Islam yang baru menunjukkan bahwa masjid menempati kedudukan yang penting dalam kehidupan masyarakat. Masjid merupakan pusat pertemuan orang-orang beriman dan menjadi lambang kesatuan umat (Tyas-Susanti 2013). Dalam hal ini, Masjid Sunan Ampel berperan sebagai awal pusat penyebaran Islam di kota Surabaya dan telah memiliki pengikut yang sejak awal berdirinya hingga kini telah banyak berbaur dengan budaya lokal masyarakat sekitar. Selain sebagai tempat ibadah, pada tahun 1972 masjid Sunan Ampel juga mendapat persetujuan dari Pemerintah Kota untuk dijadikan sebagai tempat wisata religi.
Banyak peneliti mencoba membangun konsep definitif paradigma sinkretisme. Penggunaan terminologi sinkretisme yang selalu mengacu pada ketidakotentikan atau kontaminasi terkadang cukup kontensius, terlebih lagi pada kajian keagamaan seperti Kristen dan Islam. Namun dalam kajian antropologi, gagasan tentang keaslian dari suatu tradisi tidak memiliki kredibilitas dalam suatu waktu, sinkretisme telah diatributkan sebagai hal yang netral, selalu positif, dan signifikan. Pandangan senada- optimistik di lain sisi, muncul dalam antropologi posmodern (Spiro 1996:759-760) di mana proses sinkretik dianggap dasar tidak saja bagi agama dan ritual, namun juga penjara terhadap budaya secara umum, seperti kutipan Clifford berikut:
Twentieth century identities no longer presuppose continuous cultures of traditions. Everywhere individuals and groups improvise local performances from (re)collected pasts, drawing on foreign media, symbols and languages. This existence among fragments has often been portrayed as a process of ruin and cultural decay, … but [this] …assurnes a questionable Eurocentric position at the ‘end’ of a unifed human history… alongside this narrative of progressive monoculture a more ambiguous Carribean experience may be glimpsed…Aime’ Cesaire, a practitioner of neologistic cultural politics, represents such a possibility-organic culture reconceived as inventive process or creolized interculture (1988:14-15).
Secara etimologi, terminologi creolization dipinjam dari ilmu linguistik dan dimaknai sebagai konsep status yang disukai (Hannerz 1987:546), dan tidak bisa dipungkiri istilah ini terbentuk karena perubahan dan sejarah sekaligus, saat ini, dari batasan agama yang mengacu pada definisinya. Sejarah istilah tersebut, secara semantik, terbentuk di masa Yunani Kuno dengan prefiks syn, dengan dan krasis, campuran yang tergabung menjadi synkrasis, terangkai bersama atau idiosynkrasia, watak individu yang berbeda.
Memang gagasan tentang konsepsi sinkretisme telah berkembang dan mencakup skala yang lebih luas : dari substansi yang heterogen, fragmentatif, interculture (Clifford 1988), perpaduan beberapa tradisi dengan makna yang berbeda-beda (Woodward 2011), dari tingkat keberlangsungan pasif atau hal kuno yang terabaikan menjadi hal yang mengandung elemen-elemen selektif dan dinamis, dari ketertarikan teoretis pada kajian suku asli ke kajian hubungan kekuasaan kontemporer terkait identitas, hingga padanan terminologis yang berupa brikolage, fetisisme dan hibridisasi (Stewart dan Shaw 2005, Clifford 1988).
Beatty memperbarui catatan paradigma sinkretisme sebagai a systematic interrelation of elements from diverse traditions (Beatty 2004:47) daripada sekadar merger (gabungan) antara beberapa tradisi yang berbeda menjadi satu. Beatty juga melawan konsepsi sinkretisme sebagai mere historical concretion of bits and pieces left over from Java’s chequered past (2004:48). Beatty selanjutnya memaknai sinkretisme sebagai suatu hal berbeda namun dinamis dan toleran yang memadukan perbedaan unsur keagamaan sebagai hal yang akomodatif melalui simbol-simbol tertentu.
Konteks definitif Beatty terlihat pada akhir abad 19-an ketika banyak tertulis literatur masyarakat Jawa yang bertujuan untuk mengkombinasikan nilai-nilai Islam dan tradisi Hindu pra-Islam, seperti The Book of Cabolek (Soebardi 1971:56) dan Book of Centini (Serat Centini) (Soebardi 1971:331-349). Kedua manuskrip ini disusun di masa pemerintahan Paku Buwana II tahun 1726-49 (untuk manuskrip Cabolek) dan Paku Buwana V tahun 1820-3 (untuk manuskrip Centini).
Terlepas dari catatan antropologis Beatty, penggunaan terminologi sinkretisme yang banyak berpengaruh dalam konteks ke-Indonesiaan adalah buah karya Clifford Geertz (1976). Analisanya terkait agama Jawa telah berkembang, namun seiring waktu berganti, asumsi terhadap kajianya tidak lain hanya berperan netral, melihat berbagai penelitian bermunculan dengan topik kajian agama Jawa.
Standar istilah sinkretisme berikutnya, seperti diungkapkan oleh Newland, terdapat asumsi melting pot pada agama-agama yang diterapkan oleh orang Jawa dalam bentuk versi lokal, yang dalam sudut pandang berbeda kurang otentik dan lebih berperan pada praktik adat daripada agama. Hal ini kemudian dapat digunakan sebagai pijakan, dengan sudut pandang yang lebih variatif, bahwa representasi Islam Jawa, bagi Newland adalah not really Islam (Newland 2000:199-222). Konsepsi Newland dibuktikan oleh sikap kontekstual masyarakat Jawa, dalam hal ini Khalil (2008:145) mengamati sinkretisme Islam Jawa dengan menekankan aspek momot (dalam Bahasa Indonesia berarti memuat). Aspek ini, bagi orang Jawa, diartikan bahwa setiap agama yang diterima akan disikapi dengan tangan terbuka tanpa memperhatikan aspek benar salahnya. Hal ini terkait sikap kooperatif yang terjalin di tengah masyarakat Jawa yang diwujudkan dengan kebudayaan yang bersikap sinkretis. Selama terdapat konsep Agami Ageming Aji, yaitu agama harus memegang prinsip keterhormatan dan itu terletak pada sikap sosial yang kooperatif (Astiyanto 2006:297-299) maka agama akan dengan mudah bersinkresi dengan kebudayaan Jawa.
Dalam pandangan Koentjaraningrat (2004) secara umum, sinkretisme merupakan watak asli masyarakat Jawa. Kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia sudah diatur dalam alam semesta, sehingga tidak sedikit dari mereka yang bersikap nrimo dan bersikap pasif terhadap hidup, yaitu menyerahkan diri kepada takdir. Dari sini, Koentjaraningrat melihat golongan Islam kejawen lahir karena keterpaduan unsur Islam dan Jawa. Walaupun terkadang tidak menjalankan sholat, ataupun puasa, mereka percaya pada ajaran keimanan agama Islam. Tuhan, mereka sebut Gusti Allah dan Nabi Muhammad adalah Kanjeng Nabi. Diterimanya unsur- unsur asing ke dalam budaya Jawa secara integrasi inilah, menurut Sutiyono (2010), menimbulkan suburnya sinkretisme dalam masyarakat Jawa.
Sejumlah paradigma definitif yang digagas oleh beberapa peneliti di atas menjadikan terminologi sinkretisme kemudian bukan merupakan istilah dengan kandungan makna tetap atau stabil, namun secara historis istilah sinkretisme dibentuk dan dibentuk kembali. Oleh karena itu, untuk menegaskan paradigma sinkretisme sebagai suatu isme, peneliti berusaha memfokuskan pada proses sintesis agama yang menjadi wacana terkait sinkretisme dari kacamata tradisi sebagai sebuah budaya lokal Islam Jawa.
SINKRETISME AGAMA DI NUSANTARA (INDONESIA)
Ada beberapa agam di Indonesia yang telah mengalami sinkretisme.
Beberapa diantaranya yaitu :
1. AJARAN SIWA-BUDDHA
Ajaran Siwa-Buddha merupakan campuran (sinkretisme) agama Hindu dan Buddha di Indonesia. Pada zaman Majapahit agama Siwa dan Buddha berpadu menjadi satu, dan ini bisa dilihat dalam beberapa karya sastra antara lain Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjuna Wijaya. Pada zaman sekarang di pulau Bali dan Lombok, ajaran Hindu Dharma yang beraliran Siwa dan ajaran Buda (Siwa-Buddha) ini dianggap sebagai dua mazhab berbeda dari satu agama yang sama. Di Bali ada sebuah desa yang bernama Budakeling di Kabupaten Karangasem, yang mana seluruh penduduknya menganut mazhab ini.
2. AJARAN KEJAWEN JAWA
Kejawen atau Jawanisme dikenal sebagai sebuah kepercayaan yang dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di pulau Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat di mana keberadaanya sudah ada sejak orang Jawa itu ada.
Banyak yang mengira jika Kejawen adalah percampuran antara agama dari luar tanah Jawa dengan kebudayaan asli Jawa. Walau pada kenyataannya, Kejawen adalah produk dari budaya Jawa itu sendiri.
Hal ini dapat dibuktikan dari naskah kuno yang dibuat pada zaman Kerajaan Kediri, yaitu Jangka Jayabaya yang digubah dalam kitab Musasar. Dalam bagian Sinom, disebutkan bahwa Prabu tusing waliyulah, kadhatone pan kekalih, ing Mekah ingkang satunggal, Tanah Jawi kang sawiji (Raja keturunan waliyullah berkedaton dua, di Makkah dan Tanah Jawa).
Maksud dari perumpamaan ini adalah pemimpin Islam yang menghormati leluhurnya dapat menyatu dengan ajaran atau tradisi Jawa. Kalimat ini menjadi pembenaran bagi beberapa penganut Islam Kejawen dan Kejawen murni yang menganggap Jangka Jayabaya sebagai kitab suci mereka.
Setaraf dengan sistem kebudayaan Jawa, terdapat banyak keyakinan, konsep, pandangan, dan nilai dari agama di dalam Kejawen. Orang Jawa sendiri memiliki keyakinan bahwa semua hal di dunia memiliki makna. Kesadaran kultural inilah yang sering dianggap sebagai sumber kebanggan dan jati diri mereka.
Oleh karena itu, penganut Kejawen percaya bahwa keselarasan antara pikiran dan alam semesta akan melahirkan ketenangan batin. Pendapat ini selaras dengan sifat dasar orang Jawa yang mencintai kedamaian dalam hidupnya.
SINKRETISME ISLAM DAN KEJAWEN
Sinkretisme antara agama Islam dan Kejawen sebenarnya mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Sebelumnya, agama Islam telah masuk ke Indonesia lewat pedagang dari Gujarat maupun Timur Tengah. Beberapa ahli bahkan mengeklaim bahwa pedagang dari Tiongkok turut ambil bagian dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa.
Awalnya, agama Islam hanya dianut oleh masyarakat yang tinggal di pesisir pantai. Islam dianggap asing oleh penduduk pedalaman atau yang berada di daerah pegunungan, karena saat itu pengaruh Hindu-Buddha masih kuat. Setelah diteliti, kondisi geografis seperti inilah yang membuat akulturasi antara Islam dan Kejawen makin kuat.
Seperti yang telah disebutkan, kondisi geografis sangat berpengaruh dalam sinkretisme. Sama halnya dengan Islam Kejawen. Islam Kejawen menjadi makin kuat ketika takhta kerajaan Demak dipindahkan ke Pajang kemudian ke Mataram, di mana secara geografis keduanya terletak di pedalaman.
Setelah keraton pindah, masyarakat di sekitarnya lebih bertumpu ke bidang pertanian yang tidak memerlukan mobilitas dari satu tempat ke tempat lainnya. Dampaknya, proses Islamisasi terhenti dan menggerakkan kembali budaya dan kepercayaan lama Jawa.
Sinkretisme ini makin subur setelah Mataram Islam didirikan, karena mereka menjaga tradisi-tradisi leluhur mereka dalam ritual Islam. Dalam kurun waktu inilah Islam dipahami dan diamalkan dalam bentuk sinkretisasi dengan budaya Jawa.
Kekuatan politik Islam yang makin melemah juga berpengaruh pada syiar adat istiadat Jawa yang kembali menguat. Islam yang murni beralih ke arah mistisisme yang belatar Kejawen. Hal ini terlihat pada masa Panembahan Senopati, seorang keturunan Majapahit yang mengawinkan unsur Hindu dengan Islam.
Juga, penyebaran agama Islam di Indonesia, terutama di Jawa, tidak lepas dari peran Wali Songo yang memusatkan dakwahnya di pulau Jawa. Di samping pandangan Jawa yang sangat tepo seliro, metode dakwah Islam oleh Wali Songo juga dianggap sangat elastis dan akomodatif terhadap unsur-unsur lokal di sana.
Maka tidak heran jika dakwah Wali Songo sangat lekat dengan pengaruh budaya Jawa itu sendiri. Beberapa wali bahkan menggunakan pendekatan Kejawen untuk menarik simpati warga untuk memeluk agama Islam. Beberapa orang bahkan menyebut bahwa Islam Kejawen muncul bersamaan dengan datangnya Wali Songo.
Misalnya saja Sunan Kalijaga yang menggunakan pertunjukan wayang, gamelan, dan menciptakan pupuh yang berdendangkan ajaran Islam sebagai metode dakwahnya. Sunan Kalijaga bahkan mengganti ajaran ngaben atau upacara kematian Hindu menjadi tradisi tujuh harian, empat puluh harian, dan lain sebagainya.
Proses upacara kematian yang dibilang cukup mahal dan tidak bisa dilakukan oleh penduduk yang kurang mampu, diubah menjadi acara membaca Alquran bersama dengan jamuan dari keluarga yang berduka. Sekalipun bertemakan Islam, namun tetap saja hal tersebut masih kental dengan adat Hindu.
Walaupun menganut Islam Kejawen, orang Kejawen tetap dipengaruhi dengan pemikiran atau konsep norma dan nilai-nilai budaya yang berada di alam pikirannya sendiri. Oleh karena itu, sebagian besar penganut Islam Kejawen kurang serius dalam menjalankan rukun Islam.
Banyak dari mereka yang meninggalkan salat lima waktu, salat jumat, memakan babi, dan enggan melaksanakan ibadah haji. Mereka melakukan itu bukan karena tidak taat beragama atau tidak memikirkan aturan agama, tetapi karena hal itu sering kali menyita waktu mereka.
KAUM ABANGAN DAN SANTRI (POLITIK PENJAJAH)
Tidak selamanya hal baik dalam ajaran Kejawen dianggap baik pula oleh masyarakat Jawa lainnya. Para penganut Islam Kejawen, yang identik dengan kaum islam-abangan, dikenal selalu bergesekan dengan kaum islam-santri.
Terdapat perbedaan universalisme dari harapan kehidupan akhirat kaum santri dengan pragmatisme dan relavitisme dari kaum abangan di tanah Jawa. Pandangan tersebut lahir karena kaum abangan memandang Islam sebagai agama Arab.
Hal itu menjadi salah satu alasan mengapa mereka tidak pernah menjalakan beberapa aturannya dengan sepenuh hati. Bagi mereka, melakukan ritual agama setiap hari tidaklah sepenting berbuat baik dan berlaku jujur kepada sesamanya.
Mereka tidak begitu menghargai tindakan ritual karena menurut mereka kesucian sejati adalah persoalan kehidupan pribadi, itu adalah masalah batin. Itulah sebabnya tempat ibadah bukan di masjid atau gereja, tetapi di dalam hati masing-masing.
Untuk menentang pendapat-pendapat tersebut, kaum santri menuduh orang abangan sudah melakukan perbuatan bidah, menganut penafsiran Islam sesat, dan menjadi musyrik.
Dalam sisi historis, bisa dibilang gesekan-gesekan ini timbul karena gesekan awal antara kaum pribumi dengan penjajah, yang membuat orang Jawa tersadar untuk merenungkan keberadaan mereka dan memacu konstruksi jati diri Jawa di dalam hati mereka.
Pertentangan itu berkembang menjadi santri dengan abangan, Jawa dengan Eropa, dan dunia Timur yang oriental dengan Barat yang materialistik.
Perkembangan kedua paham yang berbeda ini pun mencapai puncaknya saat Muhammad Abduh dari Mesir mengilhami reformisme Islam di Jawa. Gerakan ini melahirkan Muhammadiyah pada tahun 1912.
Kelahiran Muhammadiyah diikuti dengan berdirinya Sarekat Islam di tahun yang sama, membuat Islam tampil sebagai anti-Kolonialisme dan Tionghoa. Secara tidak langsung, modernisme organisasi-organisasi ini mendorong para santri tradisional yang berorientasi Jawa untuk bersatu juga.
Pada tahun 1926, lahirlah Nahdlatul Ulama yang bertujuan untuk mempertahankan kewibawaan para ulama, mistisisme sufi, dan pemuliaan terhadap para wali di tanah Jawa.
Hal ini berpengaruh dalam penyebaran Islam di tanah Jawa sampai ke seluruh pelosok Indonesia. Dua organisasi besar Islam, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, bisa disebut sebagai wujud dari gesekan antara golongan santri dan abangan sampai saat ini.
Para pengikut Nahdlatul Ulama yang masih melakukan selametan, yasinan, dan ritual lainnya yang diturunkan dari Wali Songo adalah hasil dari sinkretisme Kejawen dan Islam di masa lampau.
Namun tidak seperti kedua organisasi di atas, yang sudah diakui oleh khalayak umum, para penganut Kejawen sendiri justru sering mendapat tekanan setelah Indonesia merdeka. Mereka bahkan dibantai pada awal Orde Baru karena ditengarai telah diadu domba dihasut perang saudara dengan kelompok komunis pada tahun 1965-1966.
Setelahnya, para penganut Kejawen pada masa Orde Baru sendiri tidak dapat diidentifikasi secara pasti. Mereka mungkin berstatus Islam, Katolik, atau Protestan, namun dalam kesehariannya menganut Kejawen.
Hal ini jelas karena pada saat itu hanya diakui lima agama, dan tidak ada Kejawen di dalamnya. Sebagai akibatnya, Kejawen pada masa ini tidak dimengerti oleh orang Jawa sendiri. Banyak dari mereka yang menganggap Kejawen sebagai klenik atau takhayul yang sudah ketinggalan zaman.
Perubahan zaman, pendidikan umum, dan gagasan-gagasan baru yang beredar turut menempa pemikiran tentang Kejawen, khususnya Islam Kejawen. Saat ini, para penganut kebatinan seperti Kejawen makin terpinggirkan. Perlahan tapi pasti, mereka pun akan punah karena sulit untuk bertahan di era yang makin modern.
Kejawen adalah kebudayaan Jawa asli yang merupakan sinkretisme antara kepercayaan kuno dengan ajaran agama yang datang kemudian seperti Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Diantara campuran tersebut yang paling dominan adalah ajaran agama Islam.
Membahas masalah Kejawen tentunya tidak terlepas dengan istilah-istilah Manunggaling Kawulo Gusti, Sedulur Papat Lima Pancer, Sangkan Paraning Dumadi, ngeruwat, tapa brata, dan lain-lain. Drs Susilo menyimpulkan tentang Kejawen adalah sebagai berikut :
1) Kejawen adalah sinkretisme yaitu percampuran agama Hindu-Budha- Islam. Meskipun demikian ajaran Kejawen masih mengacu dan berpegang teguh pada ajaran tradisi Jawa asli sehingga masih nampak ciri-cirinya yang khas dan kemandiriannya.
2) Agama menurut faham Kejawen adalah Manunggaling Kawula Gusti yaitu bersatunya hamba dengan Tuhan. Oleh sebagian kalangan Islam versi putih kaum santri, konsep penyatuan manusia dengan Tuhan ini mengarah kepada penyimpangan Tuhan atau prilaku larangan agama Islam.
3) Perspektif ajaran Kejawen berdimensi tasauf percampuran antara kebudayaan Jawa, Hindu, dan Budha yang kurang menghargai aspek syariat dalam arti yang berkait denngan hukum-hukum hakiki agama Islam.
4) Raja adalah pemuka agama. Hal ini nampak dari penggunaan atau pemakaian gelar Sayidina Panatagama, Khalifatullah, Ajaran agama ageming aji ( perhiasan ) raja, karena itu harus disesuaikan dengan tradisi Jawa.
5) Kitab Mahabarata dan Ramayana merupakan sumber inspirasi ajaran Kejawen yang mengandung ajaran moral dan karakter perilaku tuntunan hidup.
6) Tinjauan kajian pikiran Jawa lebih terfokus pada aspek indra batin dan perilaku batin. Strategi pendekatan Kejawen adalah mencari pendekatan kepada Tuhan bahkan selalu ingin menyatu dengan Tuhan ( Manunggaling Kawula Gusti) dan analisanya bersifat batiniah.
3. HINDU-TENGGER
Upacara adat suku Tengger yang terkenal adalah Upacara Kasada. Upacara ini dilakukan di Gunung Bromo. Perpaduan antara sinkretisme dan agama Hindu menghasilkan kekhasan tradisi suku Tengger. Kepercayaan mereka terhadap perbintangan dan leluhur memang menanamkan nilai-nilai luhur dan mengajarkan toleransi dalam memandang perbedaan. Oleh karena itu, suku ini tidak tertelan oleh zaman. Bagaimanapun juga dikatakan bahwa Hindu Tengger berbeda dengan Hindu Bali.
4. AJARAN HINDU-DHARMA
Adalah sejenis agama Hindu aliran Siwa, Waisnawa, dan Brahma yang bersinkretis dengan kepercayaan setempat/lokal orang Bali. Aliran ini umumnya hampir sama dengan agama Hindu lainnya. Selain di Bali, ajaran ini juga berkembang di Tanah Toraja, Sulawesi.
SERAT CENTHINI
Serat Centhini merupakan sinkretisme Islam, dan dunia orang Jawa.
Serat Centhini, sebuah karya penting dalam sastra Jawa yang ditulis pada abad ke-19, saya kira, bisa memberikan sedikit gambaran, bagaimana agama Islam dipersepsi oleh orang-orang Jawa, terutama oleh lapisan elite dalam masyarakat ini.
Salah satu teori yang dikemukakan oleh sejumlah ahli adalah teori mengenai sinkretisme, atau percampuran antara Islam dengan unsur-unsur lokal Jawa dalam cara yang tidak genuine dan sedikit agak dipaksakan. Sebutan sinkretisme sebetulnya mengandung semacam ejekan : bahwa Islam tidak lagi tampil sebagai dalam wujudnya yang asli, tetapi sudah tercampur dengan unsur-unsur yang eksternal sifatnya. Islam yang sinkretis, sebagaimana kita lihat dalam masyarakat Jawa, dengan demikian menggambarkan suatu genre keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang murni di tempat asalnya di Timur Tengah.
Di samping itu, sebutan Islam sinkretis sebenarnya mengandung asumsi tersembunyi, bahwa seolah-olah unsur utama di situ adalah Islam, sementara kejawaan adalah unsur tambahan yang menyebabkan unsur utama tersebut mengalami pemiuhan. Dengan demikian, sebutan tersebut juga memandang kejawaan sebagai yang lain : unsur eksternal yang kehadirannya harus diwaspadai. Saya kira ini bisa kita lihat pada sejumlah tulisan yang menggunakan pendekatan sinkretisme dalam melihat hubungan antara kejawaan dan Islam. Perhatian pertama-tama diberikan pada Islam sebagai tradisi besar yang mempunyai elemen-elemen kanonik yang bersifat universal baru kemudian datang kejawaan sebagai unsur lokal yang mencerminkan tradisi kecil yang terbatas jangkauannya. Kalau kita baca sejumlah studi yang sudah klasik selama ini, seperti Clifford Geertz dalam Religion of Java (1976), akan tampak bahwa kejawaan dilihat semata-mata sebagai unsur eksternal yang membuat Islam mengalami transformasi bentuk.
Akan tetapi, sebutan yang sama sebetulnya juga bisa berarti penaklukan masyarakat Jawa terhadap Islam yang justru dianggap sebagai yang lain. Kejawaan adalah elemen dasar yang membentuk kosmos masyarakat Jawa yang unsur-unsurnya dibangun melalui percampuran antarpelbagai elemen yang juga datang dari luar (di sini persoalan yang lain dalam kebudayaan Jawa menjadi soal yang rumit, karena amat sukar mengatakan bahwa ada unsur-unsur yang benar- benar bisa diandaikan sebagai asli dalam masyarakat Jawa). pendekatan ini digunakan oleh Harry J Benda. Dalam studinya yang amat terkenal, The Crescent and the Rising Sun (kemudian lebih tegas lagi ia tuliskan dalam Continuity and Change in Indonesian Islam di Asian and African Studies, vol. 1, 1965), Benda mengemukakan sebuah teori tentang penjinakan Islam oleh masyarakat Jawa. Benda mendasarkan teorinya ini atas studinya mengenai perkembangan Islam dalam rentang waktu antara abad ke-16 hingga ke-18. Pada periode itu, berlangsung pasang-surut hubungan antara Islam dan kejawaan, yang tercermin dalam persaingan antara dua kerajaan yang saling berebut pengaruh, yaitu kerajaan Islam di Demak yang memegang bentuk Islam yang kurang lebih ortodoks, dan kerajaan Mataram Islam yang lebih cenderung pada bentuk Islam yang sinkretik dan heterodoks. (Sebenarnya dalam lingkungan Demak sendiri, juga berlangsung persaingan yang keras antara ortodoksi Islam yang tercermin dalam figur wali sembilan dan heterodoksi Islam yang tampil dalam figur Syeh Siti Jenar).
Teori domestifikasi Islam ini mengandaikan bahwa kejawaan tidak serta merta bisa ditundukkan begitu saja oleh Islam sebagai unsur eksternal yang sama sekali asing. Kemenangan Mataram atas Demak menggambarkan kemenangan Islam sinkretik atas Islam ortodoks yang dikembangkan oleh para wali sembilan.
ISLAM KEJAWEN DAN RELATIVISME
Memasuki abad empat belas masehi, Islam mulai menyebar di tanah Jawa bersamaan dengan berlalunya gara-gara atau semacam kekacauan kosmologis dimana sendi sosial, politik, hingga moral mengalami guncangan besar (Supadjar dalam Woodward, 1999: xvii). Dalam babad Jawa, gara-garakemudian menjadi simbol keruntuhan Majapahit setelah raja Kediri berhasil merebut ibukota Majapahit pada tahun 1478. Kerajaan yang pernah menjadi pusat peradaban Jawa tersebut menjadi surut dan semakin surut saja ketika Islam mulai berkembang (Van den Berg, 1952: 377). Dengan runtuhnya Majapahit, Kerajaan Demak muncul sebagai pusat politik sekaligus pusat penyebaran Islam di tanah Jawa. Namun penyebaran Islam di Jawa tidak lantas menihilkan tradisi Jawa yang kental dengan pengaruh Hindhu-Buddha keduanya saling berkelindan dalam wujud sinkretisme Islam Kejawen dan menghadirkan wajah Islam yang unik.
Untuk memulai telaah konseptual tentang Islam Kejawen, uraian akan dimulai dengan memisahkan frase kedalam definisi harfiah Islam dan Kejawen. Pemisahan definitif ini juga berfungsi untuk menjelaskan pijakan kontekstual dari dua kata yang saling memaknai tersebut yaitu konteks agama dan budaya. Kata pertama, yaitu Islam mengacu pada monoteisme dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist. Namun ajaran Islam, sebagaimana agama dan kepercayaan lainnya, tidak berhenti pada esensi nilai semata, namun mewujud dalam berbagai bentuk tradisi dan budaya masyarakat, sesuai dengan konteks sosial dan sejarah dimana agama tersebut berkembang (Morris, 2006: 77).
Mengacu pada wujud agama dalam kebudayaan, pandangan antropologi menyatakan bahwa agama tidak lain sebagai tatanan simbol yang hidup di masyarakat salah satu definisi agama dikemukakan oleh Geertz sebagai simbol yang berlaku untuk meresapi nilai dari diri manusia, konsep-konsep tatanan umum dan eksistensi yang kemudian membungkus konsep tersebut dengan semacam faktualitas sehingga menampakkan kekhasan ajaran (Geertz, 1992: 5). Dari sudut ini, nyata-nyata kita melihat bahwa Islam dan juga agama lainnya adalah simbol yang dirumuskan berdasarkan kesesuaian dasariah antara sebuah gaya kehidupan dengan pandangan metafisika tertentu (Geertz, 1992: 4) sehingga keberadaannya tidak lain sebagai produk dari budaya manusia.
Bersandingan dengan antropologi, kajian tentang agama dapat pula ditilik dari sudut lain, yaitu teologi yang dipamahi sebagai studi spesifik tentang Tuhan (Cortez, 2010: 1). Dalam kajian ini, sifat metafisika dari sebuah agama sangat ditekankan Muhammad Iqbal seorang filsuf Islam yang termashur dari Pakistan menyatakan bahwa realita akhir dari dunia hanya bisa digambarkan sebagai sesuatu yang transenden (Iqbal dalam Enver 2004: 107). Sehingga, jika antropologi berbicara pada tataran simbol budaya, seperti ritual, kode etis, doktrin, dan pola sosial dari suatu agama (Southwold dalam Morris, 1978: 75), maka teologi mencoba menjawab hubungan antara Yang Ilahi dengan dunia. Dalam Islam, jalan menuju transendensi dikenal dalam bentuk tasawufatau dunia keilmuan mengenalnya dengan istilahsufisme. Tasawuf memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di Jawa, namun tasawuf dalam Islam Kejawen memiliki nafas tersendiri nafas relativitas budaya yang menghantarkan kita pada telaah definitif konsep yang kedua, yaitu : Kejawen.
Kejawen secara definitif diterima sebagai seluk beluk pemikiran dalam tradisi jawa yang mengakar pada nilai-nilai terutama diilhami oleh Hindu-Buddha dan pandangan animistik terhadap dunia (Mulder, 1999: 3). Dalam sumber lain, Koentjaraningrat menyebut Kejawen sebagai Agama Jawiyaitu suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik (Koentjaraningrat, 1994: 312). Lebih jauh, Koentjaraningrat mengemukakan bahwa pandangan yang dianut orang Jawa mengacu pada eskatologi yaitu keyakinan akan adanya dewa-dewa tertentu yang menguasai bagian dari alam semesta dan terwujud dalam berbagai konsep: hidup serta kematian, roh penjelmaan orang yang sudah meninggal, benda yang memiliki kekuatan gaib (keramat), dan segenap kekuatan alam semesta (Koentjaraningrat, 1994: 319). Dalam masyarakat Jawa, bentuk keyakinan ini kemudian diturunkan dari generasi ke generasi secara lisan ataupun dalam bentuk kesusastraan.
Istilah Kejawen sendiri kerap disandingkan dengan penamaan lain, yaitu abangan. Abangan memiliki arti harfiah merah dalam bahasa Jawa, lawan dari kelompok lain yaitu putihan. Geerzt dalam Religion of Java(1960) menggunakan istilah abangan untuk menggambarkan kelompok varian Islam yang cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal, yaitu sinkretisme tradisi Hindu-Budha dan animisme pra-islam. Dalam perkembangannya, abangan juga kerap digunakan untuk menyebut kelompok masyarakat yang terafiliasi dengan partai politik berideologi non-agama seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) dan gerakan sayap politik Permai (Geertz, 1960). Kajian mengenai Kejawen atau abangan sendiri telah dilakukan oleh banyak peneliti, baik kaitannya dengan aspek kebatinan ataupun dengan agama tertentu. Dari rentang kajian yang telah dilakukan tersebut, Mulder menarik sebuah benang merah: bahwa kejawen dapat pula diartikan sebagai “sifat kejawaan”, yaitu suatu logika yang diterapkan oleh orang Jawa dalam kehidupan, baik dalam konteks pikiran, laku dan juga tatanan ideal (Mulder, 1984: xvii). Melalui simpulan Mulder, maka dapatlah kita terjemahkan bahwa Islam Kejawen adalah pertemuan antara nilai-nilai Islam yang datang dari luar dengan penghayatan keseharian yang hidup dalam masyarakat Jawa. Namun, sifat kejawaan ini tidak hanya bersentuhan dengan Islam karena di Jawa, bukan hanya islam yang muncul dalam varian Islam Kejawen, namun Katolik, Kristen, terlebih Hindu dan Buddha, juga mengalami sinkretisme yang sama.
Dalam logika kejawen, eskatologi merupakan penghayatan keagamaan untuk meresapi seluruh alam dan kekuatan-kekuatan gaib yang tidak terlihat walaupun keagamaan disini bukan dalam arti agama besar, namun lebih mengacu pada agama aseli yang lahir dari unsur-unsur kehidupan masyarakat (Magnis-Suseno, 2006: 27-28). Alam semesta bagi masyarakat jawa adalah numinus tidak terpisahkan dari Yang Ilahi. Dan karena alam tidak terpisahkan dari Yang Ilahi maka eskatologi Jawa berpijak pada bentukPantheisme. Pada titik inilah kebudayaan Jawa memiliki persamaan nafas dengan penyebaran Islam khususnya aliran Islam yang datang dari Persia[4] dengan pengaruh kuat ajaran Al-Hallaj. Tasawuf Al-Hallaj yang mengacu pada penyatuan Tuhan dan mahkluk, meresap dalam sendi kebudayaan Jawa dan menghasilkan ajaran yang dikenal luas: Manunggaling Kawula Gusti. Sebuah narasi yang kental mewarnai tafsir Islam di Jawa, bersandingan dengan tafsir-tafsir lainnya.
ETNIS ISLAM KEJAWEN
Menurut kajian sejarah, masuknya Islam ke tanah Jawa telah mengalami penyesuaian terlebih dahulu. Islam yang dibawa oleh pedagang Gujarat merupakan Islam yang telah lama hidup berdampingan dengan masyarakat Hindu di India. Selain itu, masuknya Islam ke Gujarat disebarkan oleh para sufi Persia – dua faktor yang menjadikan Islam mudah diterima di pulau Jawa yang sebelumnya telah mendapat pengaruh Hindu dan Budha (Van Den Berg, 1952: 378). Dalam perjalanannya menuju tanah air, wajah Islam mengalami perubahan sesuai konteks budaya India dan kembali mengalami perubahan ketika bersentuhan dengan budaya Jawa. Woodward (1999) menyebutnya varian yaitu perbedaan penghayatan agama sesuai dengan budaya dimana ia berkembang. Sebuah perbedaan yang dapat dipahami melalui konsepsi relativisme etis.
Relativisme etis sendiri merupakan narasi yang telah mapan dalam bidang antropologi. Salah satu definisinya dikemukakan oleh Ruth Bennedict yang memandang bahwa sistem sosial beserta nilai-nilai dan praktek kesehariannya merupakan sebuah pola yang terintegrasi pola tersebut dihasilkan dari seleksi yang dilakukan sebuah budaya untuk membentuk rancang bangun kebudayaan. Menurut Bennedict, masyarakat ikut berperan dalam proses pemilihan tersebut, sehingga nilai yang masuk disesuaikan dengan ruang kebutuhan budaya. Atas pola ini, etika dan moralitas sangatlah bergantung pada konteks sejarah dan lingkungan sebuah budaya (Bennedict, 1934: 1). Melalui konsepsi tersebut, Etika Jawa pun menjadi relatif dan berbeda dengan nilai etika budaya lain. Di Jawa, kebijaksanaan untuk tidak menggangu keselarasan masyarakat adalah hal yang utama, sangat bersebrangan dengan etika Barat yang memberikan penekanan lebih besar pada nilai etis kewajiban seorang individu (Magnis-Suseno, 1984: 225). Atas landasan etika ini, maka pandangan moral dan etika agama yang sifatnya individu sebisa mungkin diupayakan untuk tidak bertentangan dengan keselarasan ruang kultural kejawaan.
Sebagaimana dikemukakan Bennedict, pola sebuah kebudayaan mengacu pada proses pemilihan terhadap hal yang dianggap perlu dalam sebuah budaya demikian pula dengan Islam Kejawen. Islam di Jawa masuk melalui keraton melalui pintu sufisme yang berafiliasi dengan kebatinan. Kesamaan pola mistisisme dan runtuhnya Kerajaan Hindu-Budha Majapahit, menyebabkan Islam lolos dalam proses pemilahan budaya di kalangan elit Jawa. Ruang ekonomi pun berperan penting dalam penyebaran Islam melalui pernikahan antara golongan priyayi dengan para pedagang asal Gujarat. Pernikahan ini memperkuat pengaruh Islam dikalangan golongan elit yang pada akhinya memunculkan pola spiral: masyarakat umum merasa lebih mudah untuk bertransaksi dengan kaum elit apabila mereka menganut agama yang sama, yaitu Islam (Stange, 2007: 5). Di sisi lain, penyebaran Islam melalui prinsip-prinsip mistisisme bersandingan dengan bentuk penyebaran yang dilakukan oleh Wali Songo melalui bentuk pengajaran syariah. Dua pendekatan berbeda inilah yang kemudian membentuk pola masyarakat Islam di tanah Jawa.
Pada akhirnya, kebatinan yang menjadi esensi keyakinan masyarakat Jawa harus berbagi ruang dengan gagasan Islam – walau Geertz memisahkannya secara tegas melalui pengelompokkan Abangan dan Santri, namun dalam keseharian keduanya menjadi relatif atas pengaruh satu sama lain. Relativisme ini menjadikan budaya Jawa memiliki cara yang unik dalam menghadapi perbedaan, atau dikenal dengan istilah toleransi. Bennedict Anderson menyimpulkan pandangan toleransi orang Jawa dalam sebaris kalimat : sudah tentu saya orang Islam, tapi bukan Muslim yang fanatik. Kami orang Jawa bisa bergaul dengan orang Kristen, Hindu dan Budha, kami melihat kebenaran tidak hanya ada (eksklusif) dalam kepercayaan kami (Anderson, 1996: 4). Sikap ini merupakan pandangan umum yang dianut masyarakat Jawa terhadap agama lain, ataupun pada kepercayaan kejawen atau Woodward menyebutnya Islam moderat (Woodward, 1999: 6). Anderson mengemukakan bahwa toleransi adalah ciri khas yang dimiliki orang Jawa dan melalui ciri khas tersebut, orang Jawa memunculkan relativisme agama yang unik. Relativisme agama di Jawa akan sangat terasa apabila dibandingkan dengan relativisme agama pada masyarakat barat. Dalam relativisme barat, perbedaan keyakinan agama diselesaikan melalui sekularisme, yaitu menghilangkan debat dan wacana agama dalam kehidupan publik (Magnis-Suseno, 2006: 104). Namun tidak demikian dengan relativisme Jawa, karena pada budaya ini perbedaan agama dibiarkan terbuka dan dibagi bersama sebuah kondisi yang hanya mungkin terjadi apabila agama dipahami secara terbuka dan tidak eksklusif.
Selain toleransi pada nilai diluar Islam, wajah relativisme Islam Kejawen juga muncul dalam sinkretisme. Sinkretisme yang didefinisikan sebagai pembauran dua bentuk budaya menghasilkan sebuah narasi baru. Di Jawa, Maulid Nabi[19] diperingati dengan gayanya tersendiri – melalui Sekaten, dengan sesaji dan penghormatan terhadap kekuatan kosmos. Ziarah kubur yang oleh sebagian varian Islam dilarang karena mendekatisyirik, masih dilakukan secara terbuka. Demikian pula dalamSlametan, sebuah acara komunal yang didalamnya bertarung berbagai simbol baik Islam ataupun Kejawen namun tetap dilaksanakan sebagai keharusan untuk menjaga keselarasan masyarakat. Selain dalam ritual, sinkretisme Islam Kejawen juga terangkum dalam Suluk dari para pujangga klasik seperti Ranggawarsita serta Serat Chentini (didalamnya terdapat bab Minggatnya Cebolang yang memaparkan dengan terbuka relativisme moral masyarakat Jawa tentang seksualitas). Dari gambaran di atas, masyarakat Jawa berpijak pada relativisme etis yang bukan hanya mengarah pada penerimaan agama yang berbeda, tapi juga pada penghayatan individual yang kerap memberi ruang kompromi pada nilai-nilai yang bersebrangan atau Beatty menyebutnya : a temporary truce among radically different orientation (Beatty, 1999: 25).
Jika Islam Kejawen ditilik dari sisi sinkretisme dan relativisme etis, maka paradigma Woodward tentang Islam Jawa sebagai varian dari Islam dan bukan penyimpangan memiliki pembenarannya. Namun, tentu saja pandangan ini harus berbagi ruang dengan pandangan kelompok Islam Ortodoks yang berpandangan bahwa doktrin Islam harus dijalankan semurni mungkin. Di Jawa, bahkan Muslim Ortodoks atau yang oleh Geerzt diistilahkan Santripun mampu melakukan apa yang menurut Beatty disebut sebagai temporary truce. Dengan dasar konsepsi moral relatif yang menekankan pada keselarasan masyarakat, kedua golongan ini saling menghormati tafsir kebenaran etis antara satu dan yang lain. Kuatnya relativisme etis dalam masyarakat Jawa, tidak terlepas pada tatanan nilai dan simbolisasi yang menjaga tetap hidupnya relativisme tersebut. Selain ritual Sekaten dan Slametan, terdapat simbol lain yang juga memiliki posisi sentral dalam masyarakat Jawa yaitu simbol yang diwujudkan dalam wajah tidak karuan bernama Semar. Ia menjadi penting untuk diangkat, karena melalui Semar tercermin segala aspek relativisme dalam Islam Kejawen.
SEMAR SIMBOLIS RELATIVISME ETIS
Dalam pertunjukan wayang, KiSemar dan para punakawan selalu hadir setelah gara-gara. Jejer gara-gara yang penuh ketegangan sebagai puncak dari kemelut dan pertempuran para Ksatria akan mereda ketika sosok ini muncul. Dengan tidak mengesampingkan kekacauan di sekelilingnya, mereka bersenda gurau dan apabila gara-gara dianggap melewati batas, Semar akan mengeluarkan senjata pamungkasnya: kentut!, dan dunia pun akan kembali damai. Dalam setiap pertunjukkan wayang yang ideal (karena terkadang ditemukan pertunjukan yang telah di komodifikasi), urutan jejer atau pembabakan selalu sama gara-gara selalu ditunggu karena setelahnya Semar akan mengocok perut penonton. Apabila dikaji dari sisi sejarah Jawa, gara-garadisandingkan dengan runtuhnya Majapahit yang menandai babak selanjutnya : perkembangan Islam. Dan mengingat fakta bahwa wayang adalah sarana penyebaran Islam yang utama, maka kehadiran Semar setelah gara-garabukanlah suatu kebetulan.
Pembabakan dalam pertunjukan wayang secara gamblang berbicara tentang simbol dekonstruksi nilai dalam budaya Jawa. Kekacauan kosmos yang hadir karena nilai-nilai lama tidak lagi mampu menjaga keseimbangan semesta diredakan dengan munculnya nilai baru, yaitu Islam. Wayang, yang berpijak pada prinsip Hindu, pun pada akhirnya mengalami dekonstruksi nilai dibawah pengaruh Islam. Salah satu contoh simbolisasi Islam dalam wayang dapat dilihat dalam beberapa lakon seperti Arjuna Wiwaha atau Dewa Ruci juga dalam penokohan, misalnya Yudhistira yang memiliki senjataKalimasada atau kalimat syahadat. Namun ketika berbicara relativisme etis Islam Kejawen, tidak ada tokoh yang sekaya Semar dalam penafsiran(simbol)nya karena dalam segi penokohan dan alur cerita, Semar menjelaskan dua relativisme sekaligus : pertama, relativisme wujud yang menggoyang tatanan sosial dan norma keselarasan dalam masyarakat Jawa, kedua, relativisme batiniah yang menisbikan kekuatan (batin) Kstaria manapun.
Relativisme pertama mengacu pada simbol wujud atau bentuk Semar itu sendiri. Semar bukanlah wayang yang rupawan, Semar digambarkan sebagai (laki-laki) gemuk berpayudara seperti perempuan dengan pantat yang besar, bahkan langkah dan perilakunya sama sekali tidak mengindikasikan seseorang yang memiliki kekuatan fisik ataupun batin. Namun dibalik penampilan tidak karuan tersebut terkandung sisi spiritualitas tertinggi dalam aspek kebatinan Jawa Semar pada kenyataannya adalah Dewa Ismaya, Dewa tertinggi dalam mitos Jawa, yang mewujud dalam bentuk rakyat atau seorang abdi. Kekuatan spiritual Semar menggungguli Ksatria manapun yang menjadijuragannya sehingga dalam wujud Semar, dikenali relativisme wujud yang mendasari konstruksi sosial masyarakat Jawa: bahwa walaupun bangsawan dan ksatria memiliki kekuatan yang mumpuni, namun tidak memiliki arti jika berhadapan dengan kekuatan sesungguhnya yang dimiliki rakyat. Simbol Semar menegaskan bahwa kekuatan politik tidak berasal dari atas, tapi dari bawah. Selain berbicara tentang konstruksi sosial, pembacaan simbolik pada relativisme wujud Semar juga muncul dalam bentuk sindiran terhadap prinsip keselarasanyang secara mutlak dianut oleh masyarakat Jawa. Keselarasandan kecocokan dalam berbagai aspek yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa, diguncang oleh kehadiran Semar sosok yang tidak selaras dan tidak karuan. Narasi ketidakselarasan merupakan sebuah dekonstruksi nilai agar masyarakat memberikan ruang dan menerima kehadiran spiritualitas bentuk lain selain dari nilai tradisi Jawa, beserta perubahan-perubahan yang dibawanya.
Relativisme Semar yang kedua terkandung dalam pembacaan tentang kekuatan batin. Menurut Magnis-Suseno, kemunculan Semar dalam wayang Jawa sulit untuk tidak disebut subversif (1991: 61). Subversivitas Semar yang begitu halus memungkinkannya untuk masuk kedalam berbagai kalangan elit politik dan aliran kebatinan dua golongan yang menjadi sasaran utama kritik etika Semar. Pada wayang purwa, Ksatria yang memiliki kekuatan batin mampu memerangi berbagai musuh, namun sang Ksatria hanya akan menang apabila dalam setiap pertempurannya ia ditemani Semar. Disinilah kita menemu kekuatan subversif Semar, yaitu melalui penokohannya muncul suatu kesadaran yang barangkali mengejutkan bagi orang Jawa sendiri: bahwa berbagai usaha untuk memperoleh kekuatan batin sebetulnya salah arah (Magnis-Suseno, 1991: 62). Semar memunculkan relativisme terhadap kebatinan yang menjadi arah utama prinsip etika Jawa. Pada pembacaan tentang Semar, pamong merupakan simbolisasi yang mengacu pada pandangan bahwa sedalam apapun seseorang mencari kekuatan dalam dirinya (melalui jalan kebatinan), ia tidak akan menemukan kekuatan dan kebijaksanaan tanpa mencari perlindungan kepada Yang Ilahi. Melalui Semar, kekuatan batin dinisbikan oleh keberadaan Yang Ilahi sebuah narasi subversif yang memberi jalan masuk bagi nilai tradisi lain, khususnya Islam, untuk diterima secara terbuka di tanah Jawa.
Asal mula penokohan Semar sendiri tidak memiliki sumber yang jelas namun satu hal dapat dipastikan bahwa Semar dan punakawan adalah tokoh khas Jawa karena mereka tidak ditemukan dalam lakon-lakon di Mahabhrata ataupun Ramayana. Bagi masyarakat Jawa sendiri, Semar merupakan simbol yang dekat dengan hati. Kedekatan tersebut muncul tidak lain karena Semar mampu merangkum nilai sekaligus menjadi jalan kritik bagi sebuah masyarakat dimana pandangan individu harus dikesampingkan demi keselarasan. Melalui senda guraunya, dan bahkan kentutnya, Semar adalah perlawanan bagi tata keharmonisan Jawa. Dari sinilah Semar menjelma sebagai sebuah simbol yang melanggengkan relativisme etis yang menjadi jalan pembauran Islam dan Kejawen.
ISLAM JAWA DAN AKULTURASI BUDAYA
Istilah Islam Jawa dalam konteks tulisan ini dipahami sebagai sistem keyakinan dan ibadah setempat yang berbeda dengan tradisi Islam pada umumnya. Dengan demikian, kajian ini juga merujuk pada beragam praktik iman, ritual, keyakinan dan religiusitas masyarakat muslim yang berkembang pada waktu dan wilayah tertentu terutama di Jawa. Dalam konteks ini, bisa dilihat bahwa Islam Jawa memberi warna, menyerap bahkan mengislamkan budaya pribumi dan memasyarakatkan kitab suci. Sebagai wujud artikulasinya, bisa dicermati pada beberapa kasus di mana unsur-unsur ibadah pra-Islam diberi makna Islam, dan dalam kasus lain juga dilakukan interpretasi terhadap unsur-unsur tradisi tekstual untuk merumuskan ibadah naratif, ritual dan sosial (Esposito, 2001: 50-51).
Sinkretisme Agama sebagai Karakteristik Islam Jawa
Islam datang ke bumi Jawa di saat budaya dan tradisi non-Islam terutama Hindu dan Budha telah mengakar kuat dalam masyarakat Jawa. Karya Clifford Geetz yang berjudul The Religion of Java, menjadi rujukan utama hampir seluruh peneliti Barat yang concern mengkaji agama Jawa, seperti Robert
W. Hefner (1985 dan 2000), Mark R. Woodward (1998) dan 1989), Niels Mulder (1999), Andrew Beatty (2001), dan Andre Moller (2005), maupun para peneliti Indonesia seperti Abdul Munir Mulhan (2000), Erni Budiwanti
(2000), Muhaimin AG (2001), dan Nursyam (2004).
Dalam buku The Religion of Java, Geertz mendeskripsikan secara mendalam fenomena agama Jawa, dengan menggunakan tiga tipologi, yakni abangan, santri dan priyayi (Geertz, 1964: 64). Varian abangan dan santri mengacu kepada afiliasi dan komitmen keagamaan, sementara varian priyayi merupakan kategorisasi sosial. Abangan merupakan sebutan bagi mereka yang tidak secara taat menjalankan komitmennya terhadap aturan keagamaan. Santri merupakan sebutan bagi mereka yang memiliki komitmen keagamaan yang diukur berdasarkan tingkat ketaatannya menjalankan serangkaian aturan agama. Priyayi merupakan sebutan bagi mereka yang secara sosial maupun ekonomi dianggap memiliki derajat dan stratifikasi lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan masyarakat desa di Jawa.
Dengan menggunakan ketiga tipologi tersebut, Geertz ingin menegaskan bahwa agama Islam di Jawa merupakan kumpulan ekspresi iman, doktrin, ritual dan lan-lain yang dipraktikkan masyarakat sesuai dengan tradisi lokal atau tempat dan waktu seiring dengan perkembangan dan penyebarannya.
Dalamkonteks inilahkehadiran Islam diIndonesia khususnyaJawa, mengambil bentuk akomodasi, integrasi, menyerap dan dialog dengan akar-akar dan budaya non-Islam, terutama animisme dan hinduisme.
Memperkuat tesis di atas, Geertz juga menyatakan bahwa Islam yang hadir diIndonesiabukanlahmembangun peradaban tetapimerebutperadaban. Hal ini dalam pandangan Geertz berbeda dengan kehadiran Islam di Maroko yang mengambil bentuk membangun peradaban. Islam di Maroko lahir 50 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW dan dibawa oleh dinasti Idrisiyah. Karena konteks Jawa yang melatari munculnya Islam di Jawa adalah animisme dan hinduisme, maka logis jika “warna dan citarasa” Islam yang berkembang di Jawa juga bernuansa animisme dan hinduisme. Hal ini bisa disaksikan hingga sekarang dalam berbagai sistem ritual Jawa, seperti slametan dengan berbagai bentuknya, baik slametan dalam rangkaian acara mantenan, khitanan, bersih desa maupun ekspresi keberagamaan lainnya.
Ritual slametan juga menjadi salah satu media kelompok abangan dalam mengekspresikan wajah komitmen dan keagamaannya. Varian abangan juga merupakan representasi keagamaan dengan afiliasinyapada animisme. Hal ini bisa dilihat dari ekspresi kelompok ini dalam berbagai ritual slametan, magis, perdukunan dan lain-lain. Varian abangan pada umumnya berpusat di desa, dimana slametan merupakan inti ritual agama Jawa yang paling popular dan bertahan hingga sekarang. Slametan yang berwujud tingkeban, yakni ritual yang dilasanakan bagi perempuan yang mencapai usia hamil tujuh bulan ke atas, kelahiran, kematian, bersih desa, sunatan dan lain-lain, masih terlihat dominan pada kehidupan masyarakat Jawa, baik yang beragama Islam murni maupun Islam Jawa (sinkretis). Bagi kelompok/varian Jawa, terdapat keyakinan bahwa kehidupan, penderitaan, kematian dan keberkahan, merupakan pemberian roh-roh halus yang harus dipuja melalui berbagai ritual tersebut.
Bagi kelompok abangan, slametan diyakini merupakan simbolisme persembahan terhadap para roh halus,rohleluhur dan lain-lain agar masyarakat terhindar dari bencana dan kejahatan. Fenomena slametan yang dianggap sebagai ritual paling inti dalam masyarakat Jawa ini, bisa disimak pada temuan penelitian Beatty ketika melakukankajian di Bayu, nama sebuah desa di sebelah selatan kota Banyuwangi. Temuan senada juga bisa dilihat pada hasil penelitian Woodward (1998) tentang masyarakat Jawa di Yogyakarta. Memperkuat tesis Geertz, temuan Hefner pada ekspresi keberagamaan masyarakat Pasuruan juga semakin melengkapinya (Hefner, 1985: 91-128).
Dari berbagai temuan beberapa peneliti di atas, dapat disimpulkan bahwa elemen masyarakat Jawa yang memiliki diversitas ternyata bisa disatupadukan melalui ritual slametan tersebut. Hal ini karena dalam slametan, seakan tidak ada jarak antara si kaya dan si miskin, antara penganut Islam normatif dan Islam Jawa (abangan dalam kategorisasi Geertz). Bukti lain bahwa ritual slametan agama Jawa bisa menyatupadukan berbagai varian, bisa dilihat pada temuan Beatty (2001), bahwa pada masyarakat Bayu, terdapat ritual penyembahan kepada Buyut Cili dan Buyut Cungking, atau kultus Nyai Po pada masyarakat Pasuruan sebagaimana ditemukan Hefner yang diikuti oleh seluruh elemen masyarakat (Hefner, 2000: 109-110).
Dalam ritual slametan, semua eleman masyarakat, mulai dari penganut animisme, mistisime, Islam normatif, kejawen dan hinduisme hadir tanpa membawa serta atribut dan simbol-simbol yang membedakan satu dengan yang lain. Menu slametan biasanya terdiri dari nasi kuning dan apem yang dimakan secara bersama-sama segera setelah dipimpindoa oleh seseorang yang dituakan. Doa biasanya diawali dengan puji-pujian (shalawat) kepada Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, namun kemudian sang pemimpin doa juga memanjatkan doa tersebut kepada para leluhur dan danyang desa (Hefner, 2000: 107). Bahkan dalam tradisi ritual yang dilakukan oleh kelompok Islam normatif-pun, juga tidak jarang menggunakan tradisianimisme, pra-Islam. Hal ini bisa dilihat pada ritual khitanan di Bayu, setelah ritual penyunatan selesai, dilakukan pemberian tiga warna pada penis si sunat, yakni warna merah yang berasal dari darah ayam, warna kuning dari kunyit dan warna putih dari air kapur. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menolak bala yang mungkin saja bisa datang sewaktu-waktu. Fenomena ritual lainnya yang menjadi media integrasi dari seluruh elemen masyarakat Jawa adalah penyembahan Buyut Cili dan Buyut Cungking di sebuah keramat. Juru kunci keramat yang memimpin upacara penyembahan adalah orang yang fasih membaca doa-doa secara Islam murni (Islam normatif), namun juga fasih melafalkan mantera-mantera Jawa untuk menghadirkan roh Sang Buyut. Ritual keagamaan ini biasanya juga diawali dengan mantera dan doa tersebut. Ritual-ritual tersebut, tampaknya juga didasari pada konsepsi dasar keyakinan orang Jawa mengenai dunia gaib, bahwa semua perwujudan dalam kehidupan disebabkan oleh mahluk berpikir yang juga memiliki kehendak sendiri (Muchtarom, 2002: 56-57).
Pemandangan-pemandangan paradoksal di atas, menggambarkan betapa Islam di Jawa dibangun dengan tradisi-tradisi pra-Islam, yang membentuk uniformitas dalam diversitas. Mereka yang berasal dari elemen, latar belakang dan orientasi ideologis yang berbeda, berintegrasi secara kokoh melalui beragam ritual. Dalam konteks ini pula, tesis Weber bahwa ritus dan mitos merupakan alat integrasi dan harmonisasi kosmis menemukan relevansinya. Ritual slametan yang dalam temuan Geertz lebih kental dilakukan oleh varian abangan, tetapi menurut Beatty dilakukan oleh hampir semua elemen masyarakat, memiliki makna, yakni :
1. Pertama, bahwa slametan merupakan jembatan teologis bagi kelompok santri dan abangan. Melalui slametan, baik santri maupun abangan mengikuti satu pakem yang sama bagaimana slametan dilaksanakan, tanpa menanggalkan atribut perbedaan masing-masing.
2. Kedua, slametan merupakan media penyatuan dan integrasi masyarakat. Oleh karena itu beberapa di antara penganut muslim yang taat juga mengadakan berbagai ritual slametan sebagaimana yang dilaksanakan masyarakat pada umumnya, dengan alasan untuk menjaga kebersamaan, menghindari chaos dan bahkan resistensi dari masyarakat. Demikian temuan Beatty dalam penelitiannya di Bayu, sebuah desa di Banyuwangi selatan. Fenomena yang sama juga penulis temukan di sejumlah desa di Malang, yang memiliki basis sejarah kerajaan Jawa (Singosari dan Gajayana), bahwa slametan di kuburan (pemakaman) yang disebut nyadran sering dilaksanakan oleh masyarakat, baik oleh yang abangan maupun yang santri sekalipun.
3. Ketiga, slametan merupakan wahana atau forum pertemuan antara si kaya dan si miskin. Demikian Woodward yang menyatakan bahwa slametan memiliki implikasi ekonomis bagi distribusi ekonomi (keberkahan) yang dalam konteks Islam dikenal dengan sebutan shadaqah.Oleh karena itu, Woodward berkesimpulan bahwa ritual slametan memiliki basis teologisnya dalam tradisi Islam. Proses liturgis (tata urutan peribadatan) yang diawali dengan doa yang ditujukan kepada Nabi Muhammad dan para tokoh suci Islam, tampaknya juga semakin memperkuat tesis Woodward tersebut (Woodward, 1998: 55-89).
Kesimpulan Woodward berbeda dengan temuan Geertz, Beatty dan Ricklef bahwa ritual slametan itu murni berakar pada tradisi hinduisme (agama pra Islam). Namun demikian, penulis lebih sepakat bahwa slametan, berakar dari dua tradisi, tradisi pra-Islam dan sekaligus dalam tradisi Islam. Slametan, meskipun ada unsur dan elemen Islam, namun lebih banyak dipengaruhi filsafat agama Jawa, yang dibangun berdasarkan tradisi pra-Islam atau bahkan hinduisme. Hal ini misalnya bisa direferensikan pada temuan Hefner di Pasuruan, Beatty di Bayu Banyuwangi, Woorward di Yogyakarya dan Geertz di Modjokuto : Pare, Jawa Timur (Bruinessen, 1999: xxxiii).
Varian priyayi temuan Geertz yang pada umumnya memiliki afiliasi teologis pada hinduisme ini, dikritik oleh ilmuan-ilmuan berikutnya. Hal ini karena pada realitasnya ditemukan banyak juga priyayi yang shaleh, sebagaimana ditemukan Woodward. Oleh karena itu, berdasarkan temuannya, Woodward membuat klalifikasi agama rakyat di Jawa, pada abangan priyayi sebagai Islam Jawa, pengikut kebatinan sebagai kejawen, dan pemegang ortodoksi Islam sebagai Islam normatif, serta mistisisme yang direpresentasikan oleh raja (Woodward, 1998: 301-323).
Varian ketiga dalam temuan Geertz adalah santri. Kelompok ini mengekspresikan keagamaannya melalui seni, etiket, pakaian, bahasa, dan mistik. Kelompok priyayi, seringkali menjadi tempat bergantung para petani (abangan) karena mereka dianggap memiliki keunggulan politis, kharismatis bahkan ekonomis. Para mistikus Jawa ini biasanya menggunakan bahasa khas kromo inggil dan bahkan bahasa Belanda untuk menunjukkan eksklusivitasnya sebagai kelompok yang biasanya menguasai basis pemerintahan/kota. Bahasa Jawa ngoko hanya digunakan oleh kelompok ini untuk berkomunikasi dengan para buruh atau pembantu mereka.
Varian santri merupakan kelompok keagamaan yang menjunjung tinggi doktrin keagamaan. Mereka memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap doktrin agama. Oleh karena itu, upacara-upacara keagamaan yang dilakukan kelompok yang menguasai basis di pasar atau perdagangan ini juga mengacu kepada ritual yang dituntunkan atau terkait dengan sejumlah ortodoksi Islam. Demikian juga tempat ritual, dilakukan dimasjid, mushalla atau institusi-institusi keagamaan yang lain. Lembaga pendidikan seperti madrasah dan pesantren merupakan ikonografi khusus kelompok ini, yang cenderung membedakan secara hitam-putih dengan varian abangan dan priyayi. Kendati varian santri ini tampak ada pemilahan dan penjelasan secara rigid dan dibedakan dari dua varian yang lain, abangan dan santri, namun sesungguhnya dalam kehidupan praksis kategori-kategori tersebut mengalami kekaburan dan ambiguitas. Demikian kesimpulan Beatty, sehingga ia menghindari melakukan kategorisasi masyarakat berdasarkan tingkat dan komitmen keagamaannya sebagaimana dilakukan Geertz. Berdasarkan data penelitian diatas, dapat diambil pemahaman bahwa fenomena agama di Jawa bisa disebut sebagai agama sinkretis meskipun Woodward lebih suka menyebutnya sebagai Islam Jawa, sama seperti Islam India, Islam Melayu, dan Islam Timur Tengah. Hal itu karena masing-masing memiliki ciri, karakteristik dan keunikan tersendiri sehingga membuat agama tersebut terkesan lebih hidup karena sarat dengan makna dan dimensi.
ISLAM JAWA DAN AKULTURASI BUDAYA
Menurut Taufik Abdullah bahwa akulturasi budaya Jawa dan Islam di Jawa mengambil bentuk dialogis (Abdullah, 1989: 58-99). Berbeda dengan akulturasi Islam dengan budaya Melayu yang mengambil bentuk integratif. Islam dihadapkan pada resistensi tradisi dan budaya lokal, sehingga ketegangan dan konflik Islam versus Kejawen menjadi ciri utama perkembangan Islam di Jawa, terutama pada abad ke-19 atau masa kolonial. Akulturasi budaya Jawa dan Islam dengan pola dialogis, dipahami bahwa Islam dan budaya Jawa berkomunikasi dalam bentuk struktur sosial-agama. Adapun relasi Islam dan budaya Melayu yang mengambil pola integrasi, dipahami bahwa Islam berkembang dan menjadi salah satu penyangga terpenting dalam struktur politik Melayu.
Perkembangan Islam di Jawa mencapai prestasi yang dinilai cukup signifikan sehingga menghadirkan fenomena Islam Jawa yang unik hingga sekarang ini, adalah pada saat pergeseran kerajaan Islam dari daerah pesisir (Demak) ke daerah pedalaman agraris (Mataram) di bawah kekuasaan Sultan Agung pada abad ke-17 (Abdullah, 1989: 58-99). Padamasa Sultan Agung ini, mistisisme Jawa mengalami perkembangan yang artikulatif. Raja atau sultan dianggap sebagai guru sufi dan kosmologi Hindu-Budha bertemu dalam wadah sufisme tersebut.
Dalam konteks Jawa, kota atau keraton menjadi representasi jalan mistik sufi dan kosmos Islam, sehingga sultan dianggap sebagai wali, sosok manusia yang dianugerahi bertumpuk kemuliaan. Keyakinan masyarakat Jawa bahwa Sultan merupakan wali, diperkuat dengan ikonografi bahwa keraton dikelilingi oleh 33 kampung yang menggambarkan jumlah surga di gunung Meru, Allah bersemayam di hati, sehingga setiap manusia (raja) menjadi jembatan ketuhanan makrokosmos. Dalam konteks mistisisme Jawa, semua entitas terkategorisasi ke dalam dua macam, yakni wadah dan isi. Wadah adalah alam, tubuh, rakyat, dan Islam normatif, sedangkan isi adalah Tuhan, raja, mistik, dan rohani.
Rakyat sebagai wadah tidak boleh meninggalkan syariat, sementara raja sebagai isi dan penggagas mistisisme, dianggap boleh saja meninggalkan syariat. Dalam konteks ini, Woodward menyatakan bahwa Islam Jawa memang diwarnai ketegangan antara penafsiran legal dan penafsiran mistis, namun keduanya memiliki sumber yang sama, Islam. Oleh karena itulah, ia kemudian memperkenalkan varian Islam berupa Islam normatif dan Islam Jawa, dengan menyatakan bahwa Islam membentuk karakter interaksi sosial dan kehidupan sehari-hari di semua lapisan masyarakat Jawa (Woodward, 1998: 3).
Senada dengan tesis di atas, Geertz juga menemukan data menarik. Geertz menyatakan bahwa Islamisasi Jawa yang antara lain dilakukan oleh Sunan Kalijaga adalah membawa dunia Hindu pewayangan ke dunia Islam kitab suci. Dengan demikian, Islamisasi di Jawa dilakukan dengan mengakomodasi tradisi dan dinamisme lokal. Hal ini tentu berbeda dengan temuan Geertz di Maroko, di mana Islam dikembangkan oleh Lyusi dengan wajah menentang tradisi dan dinamisme lokal, dengan pendekatan purifikatif.
Pola Islamisasi Jawa yang akomodatif dan menyerap tradisidan dinamisme lokal tersebut, tercermin dalam berbagai karya sastra di era ini. Karya sastra atau serat dimaksud, menggambarkan pola akulturasi Islam dan budaya Jawa, seperti terillustrasikan antara lain dalam Babad Tanah Jawa dan Serat Centhini. Sufisme dalam serat tersebut digambarkan menjadi budaya Jawa dengan terma-terma sufistis yang khas Jawa bahkan berbahasa Jawa.
Dengan pola Islamisasi Jawa (ada juga yang menyebutnya dengan istilah jawanisasi Islam) seperti itu,logis jika padavtahap berikutnya orang Jawamemiliki toleransi yang tingi terhadap budaya atau penganut agama lain. Temuan Anderson dalam karyanya Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, menyatakan orang Jawa memiliki toleransi tinggi terhadap penganut agama-agama lain, sebagaimana tergambarkan dalam petikan berikut (Anderson, 2000: 4) :
Sudah tentu saya orang Islam, tetapi bukan orang muslim yang fanatik seperti orang Aceh. Kami orang-orang Jawa bisa bergaul dengan orang-orang Kristen dan Budha. Kami melihat kebenaran dalam semua agama dan tidak hanya (eksklusif) dalam kepercayaan kami.
Toleransi dan penghargaan terhadap agama dan residuum budaya, bagi orang Jawa merupakan sebuah kebanggaan. Sikap ini, kata Anderson, sangat terkait dengan mitologi Jawa yang terillustrasikan melalui dunia pewayangan yang terinternalisasikan dalam mindset masyarakatJawa. Melalui wayang, terdapat berbagai sosok yang merepresentasikan keunikan pribadi masyarakat Jawa. Hal ini misalnya dapat dilihat pada sosok Yudhistira, yang merupakan lambang raja yang bijak dengan jimat suci Kalimasadha, Arjuna sebagai lambang ksatria yang lembut hati dan berkemauan keras, Bima sebagai ksatria pemberani yang tanpa ampun terhadap musuh-musuhnya namun memiliki komitmen pada kejujuran dan kesetiaan, Baladewa sebagai pendidik cucu Arjuna, Parikesit, nenek moyang raja-raja Jawa, Sumbadra sebagai gambaran aristokrat Jawa,
Kresna sebagai ikon diplomat ulung dan lain-lain. Keseluruhan sosok di atas merupakan gambaran ideal manusia. Namun popularitas masing-masing tokoh dalam dunia pewayangan tersebut akan berbeda-beda, sesuai dengan pengidolaan di masing-masing daerah. Misalnya di Madura, tokoh Baladewa sangat popular, masyarakat Pedesaan di Jawa lebih mengidolakan Semar, dan Soekarno yang mengidolakan Gatotkaca.
Wayang, di samping menjadi pusat idola karakter Jawa, juga menjadi gambaran pertentangan kosmis antara kebajikan dan kesalahan, kebaikan dan kejahatan dan seterusnya. Namun pertentangan dimaksud tidak untuk saling dibedakan karena sarat ambiguitas dan toleransi, yang karenanya justru dapat saling melengkapi. Hal ini misalnya dapat dilihat pada sosok Saliya, seorang ksatria yang mempersunting Setyawati, anak seorang raseksa. Dalam dunia pewayangan, ada penilaian bahwa tidak layak seorang ksatria, yakni Saliya memiliki raseksa dalam keluarganya. Oleh karena itu, raseksa Bagaspati meminta Saliya agar membunuh dirinya, demi kebahagiaan puterinya. Permintaan ayah mertua tersebut dikabulkan Saliya dan berbahagialah ia bersama Setyawati. Gambaran lain tentang hal ini juga bisa dilihat pada sosok Kurawa, yang dinilai tidak baik bukan karena mereka jahat, namun karena mereka adalah satria yang jahat, karena seharusnya satria itu tidak jahat (Anderson, 2000: 14-43).
Gambaran-gambaran mitologi dunia pewayangan itulah antara lain konstruk pemikiran dan budaya yang membuat orang Jawa tampil menjadi sosok yang relatif toleran dan lapang dada. Dieraabad ke-17 inilah pola dialogis lebih bernuansa harmonis daripada konfrontatif. Namun sejak abad ke-19, seiring dengan kolonialisme barat atas Indonesia (termasuk Jawa) yang lebih berpihak pada kelompok priyayi, kemudian konflik antara Islam normatif (santri) dengan priyayi tidak terelakkan. Sebagai konsekuensinya, karya satra atau serat yang lahir di era ini, seperti Serat Darmagandhul, Serat Gatholoco dan Serat Cebolek juga bernuansa mendiskreditkan kaum santri. Serat-serat tersebut mewakili ideologi kaum priyayi yang kebanyakan memiliki afiliasi teologis pada animisme dan hinduisme. Hal ini misalnya dapat dilihat pada gambaran-gambaran ideologi dalam serat tersebut tentang kaum santri. Kata Mekkah misalnya, diartikan sebagai mekakah yang dalam bahasa Jawa berarti membuka paha/dua kaki seperti berposisi senggama dan lain-lain. Hal ini tentunya sangat menyinggung kaum santri, karena perilaku atau idiom-idiom kesantrian digambarkan secara negatif dan tidak etis bahkan Islam dianggap sebagai agama asing bagi orang Jawa.
KETAATAN ISLAM JAWA
Ekspresi dan pengungkapan realitas dan tekstur sosial serta tujuan moral dari beragam variasi agama praksis di Jawa, selain dilakukan oleh Clifford Geertz, Robert Hefner, dan Ricklefs, juga dilakukanoleh Andrew Beatty (2001) di desa Bayu, Banyuwangi selatan. Banyuwangi yang merupakan kota paling ujung di Jawa Timur, adalah sosok kota yang penduduknya heterogen, yang terbentuk akibat perpecahan dan marginalisasi politik, sehingga terjadi migrasi. Para migran tersebut adalah Madura, nelayan Mandar dan Bugis, pedagang Cina, Arab, dan etnis Jawa di barat yang oleh penduduk asli Banyuwangi disebut wong kulon(an) atau orang dari barat atau wong Mentaram (orang Mataram), yang pada gilirannya banyak berkolaborasi dengan penduduk asli ketika mengembangkan tradisi keagaman.
Bayu adalah sebuah desa yang memiliki kekayaan budaya dan tradisi keagamaan yang justru melahirkan keharmonisan. Semua elemen masyarakat dari kelas dan ragam manapun berbaur dan melakukan kompromi-kompromi teologis tanpa menimbulkan clash. Ada perasaan dan tanggung jawab bersama menciptakan suasana kehidupan desa yang penuh dengan kedamaian. Oleh karena itu, berbagai ritus terutama slametan, pemujaan roh halus, pertunjukan barong yang bernuansa magis, mitos tempat keramat dan person misalnya, menggambarkan suasana kekaburan hubungan antara elemen-elemen masyarakat di wilayah tersebut.
Dalam konteks agama Jawa di Bayu, eleman masyarakat yang beragam mendatangi slametan tidak dengan menunjukkan ciri khusus masing-masing. Oleh karena itu, terdapat kesamaaan dan kebersamaan dalam keragaman. Kesamaan mantera dan doa yang dipanjatkan selama ritual slametan berlangsung, yang diikuti peserta dari berbagai kalangan (mulai dari penganut mistik, pantheism, agama normatif dan tradisionalis) menunjukkan betapa terjadi percampuran dan akomodasi mendalam dari setiap pihak untuk mengapresiasi tradisi dan budaya yang berkembang secara turun temurun, tanpa dihantui oleh perasaan dan kesalahan karena sinkretisme yang tidak disadari terutama oleh kalangan yang secara nominal memiliki kesalehan agama, namun juga rajin melakukan ritual yang berbau magis.
Dalam setting pedesaan Jawa pedalaman, bukan Jawa pesisir yang didominasi oleh ciri dan karakter agrarisnya, terdapat berbagai ungkapan dan manifestasi kepercayaan terhadap para penguasa melalui ritual slametan, pemujaan roh halus, pertunjukan bernuansa magis, berbagai cara kompromi dengan Islam dan negara modern, Islam praksis yang demikian berbaur kental dengan tradisi lokal, hinduisme, dan bahkan sebuah pesta yang bernuansa erotis dan berbau seksualitas seperti digambarkan gandrung.
Kemajemukan dan variasi agama tidak saja terjadi pada masyarakat maju seperti di Barat, tetapi realitas agama praksis pada masyarakat Jawa telah mengatakan hal yang sama, yang dalam proses dan survivalitasnya terdapat beragam komponen yang saling mempengaruhi, mulai dari ketaatan islami, mistisisme, hinduisme dan tradisi lama berikut kompromi-kompromi yang saling diberikan oleh satu elemen kepada elemen yang lain, dalam rangka menciptakan harmonisasi dan integrasi sosial yang kokoh. Fenomena keagamaan dan kebudayaan yang kaya itulah yang diharapkan Beatty untuk dapat disajikan melalui sebuah pendekatan yang dinamik dan absah mengenai bagaimana agama bekerja dalam suatu masyarakat yang penuh dengan kompleksitas (Beatty, 2001: 1).
Penelitian agama yang demikian banyak memberikan makna terhadap kompleksitas dan nuansa agama Jawa yang penuh dengan campur aduk dengan kebudayaan lokal, simbolisme kultus, literalisme Islam, mistik dan bahkan hinduisme ini menggunakan paradigma konstruksionisme, yang menekankan pada karakteristik fenomena agama di wilayah tertentu dan karenanya tidak bisa digeneralisir, kendati dalam masyarakat yang berbeda juga ditemukan kemiripan-kemiripan fenomena (Maliki, 2003: 234).
Agama sebagai sistem realitas hidup yang praksis, memiliki daya fleksibilitas, apresiasi dan akomodasi terhadap tradisi dan budaya yang berkembang secara turun temurun di desa Bayu dan sekitarnya tanpa ada yang berani menanyakan validitas dan otentisitasnya. Keyakinan tersebut, diterima dan dipraktikkan sebagai sebuah keniscayaan secara taken for granted, unquitionable serta tidak ada yang berani menentangnya. Berbagai bentuk ritual slametan (panen, bersih desa, pemujaan roh halus, pemakaman dan sunatan) selalu tidak dianggap sah jika menyalahi / berbeda dari apa yang telah diwariskan nenek moyangnya.
Beragam mitos baik menyangkut tempat maupun person, dan munculnya agen pembawa berkah bagi kehidupan masyarakat desa, semakin melengkapi kekayaan ritus masyarakat desa Bayu. Melalui agen inilah, mayarakat yang berniat melakukan slametan untuk meminta kemakmuran dan kesejahteraan hidup sehingga permintaannya tercapai (kabul kajate). Pemujaan roh atau pemujaan leluhur baik sebagai person maupun institusi ini, menurut Dhavamony merupakan salah satu dari bentuk-bentuk primitif agama yang sesungguhnya juga berlaku secara universal, di samping animisme, animatisme, totemisme, dan urmonoteisme (Dhavamony, 1995: 65-82).
Fenomena ini, tampaknya juga bisadilihat misalnya dalam tradisi sufisme Islam, yang menjadikan guru sufi sebagai agen berkah yang bisa diberikan kepada para pengikut/muridnya. Dalam tradisi pesantren, kyai juga bisa dipandang sebagai agen bagi masyarakat/umat yang ingin ngalap berkah. Demikian juga yang bisa dijumpai dalam tradisi agama Kristen misalnya, yang menjadikan pendeta/pastur sebagai agen penebusan dosa lewat ritual penebusan atau pengakuan dosa dan serangkaian ritual pertobatan.
Slametan dengan berbagai atribut, bentuk, dimensi dan maknanya, selalu diupayakan bagi kesinambungan dan harmonisasi kosmik. Slametan merupakan fenomena umum yang menginternalisasi dalam sistem kehidupan masyarakat Jawa, betapapun dapat dinilai merupakan upaya harmonisasi sosial terutama dari Islam dan berbagai tradisi lokal yang seringkali dikemas dalam multivokalitas simbol-simbol ritual yang tidak pernah menghasikan kesepakatan, sarat ambiguitas namun juga penuh keteraturan.
Keterlibatan muslim standard dan yang taat dalam praktik mitologi tempat keramat, karena mereka beranggapan bahwa tempat keramat, pertunjukan magis lewat barong dan berbagai praktik ritualitas tersebut tidaklah terkait dan bahkan berada di luar wilayah dogma dan ajaran agama. Medan budaya seperti itu, hanya dipandang semata-mata sebagai adat, kendati mereka juga menyadari bahwa kunjungan dan keterlibatan mereka terhadap ritualitas itu akan semakin memberikan legitimasi kebenaran dan ketinggian bagi kekeramatan tempat tersebut. Menanggapi fenomena ini, tampaknya menarik disimak pernyataan seorang modin, bahwa ibarat berganti-ganti topi, jika ke masjid memakai kopiah dan jika ke tradisi slametan memakai blangkon. Kopiah merupakan ikon yang menyimbolkan ketaatan terhadap doktrin agama, sedangkan blangkon merupakan ikon yang menyimbolkan ketaatan untuk melestarikan tradisi, yang dalam hal ini juga sempat mengundang polemik apakah blangkon itu adalah kebiasaan Muslim atau Budha (Beatty, 2001: 82). Hal ini menunjukkan bahwa ada semacam keterpisahan antara satu ruang dan medan kehidupan dengan ruang dan medan kehidupan lainnya, yang sesungguhya saling terkait.
Dengan demikian keberadaan mitos untuk menjaga keharmonisan kosmik dalam konteks ini semakin menunjukkan peran pentingnya. Slametan yang dilakukan secara bersama-sama oleh kalangan santri dan kalangan mistik, merupakan upaya harmonisasi dan integrasi sosial, yang dilakukan di atas atribut perbedaan yang tidak menimbulkan pembedaan. Justru dalam konteks ini, slametan merupakan pengikat perbedaan dalam satu tujuan yang lebih mulia untuk konteks masyarakat yang memiliki sistem berpikir yang dihegemoni oleh mitos serta berbagai kekuatan supranatural (Siswomiharjo, 2003: 27). Fenomena tersebut juga membuktikan kebenaran tengara Weber sebagaimana dinukil Brian Morris bahwa semua agama memasukkan elemen magis dalam ritus-ritus, sakramen, mite dan doktrinnya (Weber, 2002: 29).
Munculnya ritus-ritus keagamaan pada masyarakat, sesungguhnya terkait dengan tiga hal yaitu pertama, persoalan makna dimana penderitaan, ketakutan, kejahatan dan kematian tidak lepas dari manusia yang karenanya manusia berupaya sekuat tenaga untuk menyelamatkan dirinya, kedua, persoalan kharisma, yakni sebuah konsep relasional yang muncul pada kualitas individu tertentu dan menempatkannya di atas harapan-harapan normal dan memiliki otoritas tertentu untuk memberikan kekuatan atau berkah tertentu bagi orang-orang yang melakukan pemujaan terhadapnya. Hal ini karena, menurut Bellah, bahwa agama berasal dari kekuasaan yang melebihi seluruh kekuatan yang ada di dunia (Bellah, 2003: 10).
Variasi lain yang dapat dilihat dari fenomena keagamaan pada masyarakat Bayu adalah bahwa hampir semuanya mengaku, muslim, namun terdapat varian- varian yang paradoksal, inkonsistensial dan ekstrem, yakni pertama, kelompok yang mengaku muslim namun tidak pernah melaksanakan ritualitas doktrin Islam. Kelompok ini berkeyakinan bahwa orang akan dinilai baik karena tidak pernah berbuat jahat kepada tetangga. Kedua, kelompok Islam yang secara statistikal-nominal rajin melaksanakan ritualitas Islam seperti shalat dan zakat, namun dibenci banyak orang karena suka mencela orang lain yang tidak mau mengerjakan shalat seperti dirinya. Ketiga, kelompok minimalis, yang beranggapan bahwa melaksanakan ajaran Islam boleh dilakukan sebisanya, jika tidak mampu melaksanakan shalat lima kali sehari, mereka mencukupkan hanya dengan shalat jum’at dan sebagainya.
Kelompok kejawen atau yang populer disebut sebagai sekte/asosiasi/ paguyuban mistik, merupakan varian lain yang memiliki ekspresi keagamaan yang tidak kalah menarik. Kelompok ini memiliki keyakinan yang dikonstruk melalui perkenalan dan pengalaman sebelum akhirnya diserap menjadi kebenaran yang harus diyakini, bukan melalui dogma agama yang bersumber pada literatur tekstual, sebuah sistem keyakinan yang menghegemoni Islam ortodoks. Bagi kelompok kejawen ini, pemahaman yang sejati adalah membuktikan (mbukteaken) pengetahuan seseorang, mencocokkan dengan realitas. Dengan demikian, kelompok ini beraliran pragmatis dan semi- empiris, sebuah bentuk keyakinan yang paradoks dengan keyakinan santri bahwa kebenaran adalah sesuatu yang termuat dalam teks suci, di luar campur tangan manusia.
Konstruk keyakinan kejawen ini didasarkan pada konsep panteism yang merupakan bentuk khusus dari monisme. Paham ini berpandangan bahwa seseorang berasal dari Tuhan dan segala sesuatu terserap ke dalam Tuhan. Dalam diri manusia ada Tuhan, dan semua aktivitas serta perputaran hidup selalu berpusat pada diri sendiri (antroposentrism). Hal ini misalnya dapat dilihat pada ritual thawaf pada haji yang mengelilingi Ka’bah, yang hal ini sesungguhnya menggambarkan sentralitas manusia itu sendiri. Demikian juga proses pencarian Tuhan yang dilakukan Ismail, yang ketika telah mencapai titik kelelahan ia menemukan ide Tuhan pada batu hitam yang belakangan menjadi bangunan ka’bah dan sebagainya (Beatty, 2001: 225).
Hubungan manusia dengan Tuhan yang digambarkan sebagai relasi mikrokosmos-makrokosmos misalnya dapat dilihat dan dipahami dari prototype pria-wanita, Adam dan Hawa. Adam berarti kekosongan, hampa dan Hawa berarti hawa, iklim, elemen, hasrat dan nafsu seksual. Penyatuan seksual Adam dan Hawa karenanya analog dengan pertemuan elemen-elemen di dalam kehampaan purba, awal dari wujud manusia (Beatty, 2001: 235). Konsepsi kelompok ini tentang hubungannya dengan Tuhan, dapat dicapai melalui empat tahap, yakni :
1. Sare’at.
tarekat.
3. Hakekat dan.
4. Ma’ripat
Sebagai bentuk hubungan tertinggi dalam manunggaling kawula gusti, konsepsi mistisisme yang di Jawa populer diajarkan oleh Syekh Siti Jenar.
Salah satu sekte atau asosiasi mistik yang paling menarik di Bayu adalah sekte Sangkan Paran yang sesungguhnya merupakan sekte mistik tertua di Jawa. Sekte yang didirikan oleh Raden Mas Joyokusuma dan memiliki keterkaitan genealogis dengan keraton Solo ini, berbasis di pedesaan dan telah memiliki jaringan di berbagai kota, mulai dari Ponorogo, Surabaya, Malang dan Solo sendiri. Doktrin sekte ini lebih bernuansa pada pengetahuan kemanusiaan, serangkaian resep moral yang bermakna koreksi diri dan hubungan harmonis dengan orang lain, yang biasanya berbentuk puji-pujian yang lazim ditransformasikan dengan tradisi lisan.
Fenomena menarik yang lain juga terlihat dalam tradisi Hindu Jawa yang kegiatan ritualnya dipusatkan di Glenmore, namun mereka berasal dari beragam penjuru Banyuwangi dan bahkan dari Bali. Hal ini juga tampak pada festival Saraswati, yang kendati berbasis Hindu Jawanamun rangkaian ritualitas berikut simbol-simbolnya lebih bernuansa Hindu Bali. Agama yang survive di desa Krajan ini, sesungguhnya merupakan percampuran dari penduduk asli (Osing) serta migran dari Ngawi, Madiun, Nganjuk, Mojokerto dan Blitar, lima kota di Jawa Timur yang juga berbasis Jawa pedalaman (Beatty, 2001:
299). Mereka pada mulanya merupakan penganut muslim nominal eksponen pendukung komunis dan Partai Nasionalis Indonesia. Pasca kerusuhan di tahun 1965-an, di antara mereka banyak yang berkonversi ke Hindu karena merasa banyak memiliki kecocokan spiritual pada agama ini,di samping karena alasan politis. Oleh karena itu, pendeta yang juga didatangkan dari Bali ini juga mengajarkan berbagai indoktrinasi hindusme Bali. Sebagai akibatnya, wajah hinduisme lebih bercitarasa Bali daripada Jawa. Namun demikian, keragaman latar belakang, praktik dan karakteristik keagamaan tersebut menghasilkan paduan harmonis dalam keteraturan dan keselarasan.
Fenomena kegamaan dan kehidupan di Bayu, menunjukkan fenomena hubungan yang terangkum dari berbagai diversitas namun menghasilkan uniformitas yang harmonis. Harmonisasi kehidupan yang sesungguhnya tidak nir konflik ini, dapat dilihat misalnya pada dialektika antara santri tua (konservatif) vis a vis santri muda, kelompok Islam konservatif yang menguasai bacaan-bacaan dan teks-tekas Arab versus kelompok reformis yang tidak pandai mambaca teks Arab namun memiliki pandangan lebih luas tentang kehidupan (Beatty, 2001: 194).
Kekayaan dan kompleksitas spiritual masyarakat Bayu ini, semakin memberikan kesimpulan bahwa kultural dan ritualitas keagamaan Islam konservatif khususnya, tidak berdiri sendiri tetapi bertautan langsung dengan setting spiritualitas masyarakat di era sebelumnya. Dalam konteks ini, agaknya tepat ungkapan bahwa sesungguhnya yang dilakukan oleh para Wali Songo di Jawa bukanlah islamisasi Jawa tetapi jawanisasi Islam. Agaknya kesimpulan ini, juga memiliki relevansi ketika dicocokkan pada realitas keagamaan praksis yang dapat disimak pada masyarakat Bayu sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Bagaimana doktrin Islam dicampuradukkan dengan ritual yang sama sekali berbeda dan tidak ada sumber doktrinalnya dalam Islam. Banyak kaum mistikus yang biasanya memimpin ritual slametan juga fasih melafalkan doa-doa yang biasa dibaca oleh kelompok santri. Sebaliknya terdapat kelompok santri yang di samping rajin ke masjid, juga rajin mengunjungi tempat keramat serta fasih melafalkan doa-doa atau mantera-mantera yang khas mistis dan digunakan sebagai mediasi hubungan dengan leluhur yang dipercayai memiliki kekuatan magis dan spiritual. Menyikapi realitas keberagamaan yang sangat variatif tersebut, tampaknya lima dari enam cara beragama yang ditawarkan Dale Cannon yang penuh dengan nuansa simbolik, menemukan signifikansinya.
Enam cara beragama tersebut adalah ritus suci, perbuatan benar, ketaatan, mediasi samanik, pencarian mistik serta penelitian akal, yang kesemuanya merupakan apresiasi dan manifestasi relasi hamba dengan kekuatan di luar manusia yang disebut sebagai Realitas Mutlak (Cannon, 2002: 77).
Dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, toleransi orang Jawa terhadap agama-agama lain, secara umum masih tinggi. Bahkan dalam penilaian para antropolog, toleransi yang diekpresikan Islam Jawa bukanlah toleransi murni, namun telah mengalami semacam sinkretisme ekspresif dengan tradisi pra-Islam, khususnya anismisme dan hinduisme. Dengan demikian, hampir tidak ada batas antara toleransi dan sinkretisme Islam Jawa dengan agama-agama lain. Hal ini karena mereka memiliki kebajikan dan kearifan lokal (local wisdom) yang diserap dari berbagai akar budaya, ajaran falsafah dan agama serta tradisi yang sudah mengakar kuat di bumi Jawa, bahkan jauh sebelum kehadiran Islam di nusantara ini.
Agama praktis yang tampil demikian elegan dan artikulatif pada Islam Jawa, menunjukkan demikian variatif dan kompleksnya respon, pemahaman dan penghayatanmasyarakat terhadap realitas spiritual. Variasikelompokmistik dan berbagai ordo mistisisme seperti kejawen maupun Sangkan Paran, Islam tradisionalis-skripturalis/reformis berikut tingkat ketaatan secara nominal- statistikal maksimalis, minimalis, maupun kesalehan sosial ansich, dengan segala kelebihan dan kelemahan masing-masing, telah membuka mata betapa watak spiritual-kultural masyarakat Jawa demikian tinggi.