RADIKALISMEDAN TERORISME
Radikalisme dan terorisme sesungguhnya adalah fitnah terhadap Islam dan umat. Karena jika ada terorisme maka Islam dapat mendapatkan stigma yang buruk di masyarakat, dan korban terorisme seringkali adalah umat Islam sendiri. Radikalisme itu sendiri terkait dengan pemahaman, sikap, dan tindakan politik yang bernuansa agama. Ketika sudah menjadi tindakan maka radikalisme menjadi terorisme.
Radikalisme sesungguhnya terjadi pada pihak-pihak yang tidak mengamalkan agama secara kaffah, justru mengikuti cara-cara setan. Sedikitnya terdapat tiga indikator radikalisme, yakni :
1. Melakukan politisasi agama.
2. Memiliki pemahaman agama yang tidak utuh (misalnya menjadi takfiri atau mengkafirkan yang bukan kelompoknya).
3. Anti terhadap tasauf/thoriqoh. Bagaimana jiwa orang itu mau tenang kalau tidak bertasauf.
Menurut Ahmad, radikaisme dalam Islam sesungguhnya adalah pemahaman, sikap dan tindakan yang tidak sesuai dengan substansi ajaran Islam.
Bahwa radikalisme dan terorisme bukan monopoli agama tertentu seperti Islam saja, namun ada di semua agama dan bahkan setiap individu. Setiap manusia punya potensi untuk menjadi radikal, ketika potensi itu bertemu dengan lingkungan yg mendukung, maka radikalisme biasanya menjadi terorisme.
Menurut BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) punya definisi yang jelas mengenai radikalisme berdasarkan UU yang berlaku.
Definisi yang dipegang oleh BNPT adalah bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yg menimbulkan situasi teror atau rasa takut di masyarakat adalah terorisme, dimana terorisme itu sebagian besar dilatarbelakangi oleh radikalisme.
Radikalisme atas nama agama tidak akan pernah habis dibicarakan. Sampai saat ini, berita-berita harian baik media televisi maupun di media cetak, sebagian masih diisi dengan berita terorisme. Belum lagi mengenai konflik-konflik di Timur Tengah yang salah satunya disebabkan oleh pemahaman yang fundamental dan radikal terhadap permasalahan politik, keagamaan dan kehidupan.
Di sisi lain, banyak kelompok radikal atas nama agama yang hendak mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan UUD 1945 dengan khilafah, meskipun NKRI dan UUD 1945 merupakan produk dari ulama-ulama Indonesia yang berjuang melawan dan mengusir penjajah, sampai merumuskan dasar negara dan bentuk negara Indonesia ini.
Sejatinya, radikalisme atas nama agama ini sudah terjadi sejak masa Nabi Muhammad SAW. Bahkan, beliau pun sudah mengabarkan dalam berbagai haditsnya bahwa gerakan semacam ini akan selalu ada sampai kelak. Salah satunya hadits yang menceritakan tentang Dzul Khuwaishirah (HR Bukhari 3341, HR Muslim 1773) dan hadits yang menceritakan mengenai ciri-ciri kelompok radikal (HR Bukhari nomor 7123, Juz 6 halaman 20748; Sunan an-Nasai bab Man Syahara Saifahu 12/ 474 nomor 4034; Musnad Ahmad bab Hadits Abi Barzakh al-Aslami 40/ 266 nomor 18947).
Dalam sejarah perkembangan Islam, dikenal kemudian firqah yang bernama Khawarij. Khawarij ini muncul sebagai respon ketidak sepakatan terhadap tindakan tahkim (arbitrase) yang ditempuh Khalifah ‘Ali Ibn Abu Thalib dalam penyelesaian peperangan Shiffin dengan Mu’awiyah ibn Abu Sufyan. Dalam perjalanannya, Khawarij ini dapat ditumpas. Namun, pemikirannya bermetamorfosis dalam berbagai bentuk firqah. Sehingga, sampai sekarang pun masih banyak ditemukan pemikiran yang benar-benar fanatik, tekstual, dan fundamental. Kalangan yang pendapatnya berbeda dengannya maka akan diberikan stempel kafir, bid’ah, dan sesat.
Dalam tataran kenegaraan pun, juga terdapat kelompok radikal yang selalu mengangkat isu khilafah (satu pemerintahan atas nama Islam). Setiap permasalahan negara selalu dibawa ke ranah khilafah. Bahkan, ada kalangan yang menganggap pemerintahan selain khilafah adalah thaghut. Meskipun, bentuk negara ini merupakan perkara yang ijtihadi (diperlukan ijtihad dan tidak mutlak).
Kalangan-kalangan radikal ini pun sangat gencar menyuntikkan paradigma-paradigmanya sehingga tidak sedikit kalangan muda yang terbius oleh paradigma-paradigma semu tersebut. Didorong oleh pahala dan surga, kalangan muda banyak yang mendukung gerakan-gerakan radikal tersebut. Bahkan, banyak kalangan muda yang bersedia menjadi pihak bom bunuh diri. Ironisnya, bekal keagamaan mereka pun belum dapat dikatakan mencukupi (belum ‘alim dan faqih), namun mereka sudah gencar berdakwah atas perspektif yang mereka pelajari sendiri. Model gerakan mereka pun sangat masiv dan terkoordinir dengan baik sehingga mampu memengaruhi hampir seluruh lapisan masyarakat. Sehingga, paradigma ini harus menjadi perhatian serius.
AKAR MASALAH
1. Scott M. Thomas (2005) dalam bukunya The Global Resurgence of Religion and The Transformation of International Relation, The Struggle for the Soul of the Twenty-First Century halaman 24 mengemukakan bahwa pemikiran dan gerakan radikal biasanya terkait dengan faktor ideologi dan agama. Istilah radikalisme adalah hasil labelisasi terhadap gerakan-gerakan keagamaan dan politik yang memiliki ciri pembeda dengan gerakan keagamaan dan politik mainstream. Gerakan radikalisme yang terkait dengan agama sebenarnya lebih terkait dengan a community of believers ketimbang body of believe.
2. Ernest Gelner (1981) dalam bukunya Muslim Society halaman 4 mengatakan bahwa pemikiran dan gerakan radikal yang dikaitkan dengan komunitas Muslim dipahami sebagai cara bagi komunitas Muslim tertentu dalam mengembangkan nilai-nilai keyakinan akibat desakan penguasa, kolonialisme maupun westernisasi. Di lain pihak, Mudhofir dan Syamsul Bakri (2005) menjelaskan dalam bukunya Memburu Setan Dunia, Ikhtiyar Meluruskan Persepsi Barat dan Islam tentang Terorisme halaman 93—95 bahwa radikalisme modern muncul biasanya disebabkan oleh tekanan politik penguasa, kegagalan pemerintah dalam merumuskan kebijakan dan implementasinya di dalam kehidupan masyarakat serta sebagai respon terhadap hegemoni Barat.
3. Syafi’i Ma’arif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah 1999–2004, dalam buku Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia (2009), setidaknya ada tiga teori yang menyebabkan adanya gerakan radikal dan tumbuh suburnya gerakan transnasional ekspansif. Pertama, adalah kegagalan umat Islam dalam menghadapi arus modernitas sehingga mereka mencari dalil agama untuk menghibur diri dalam sebuah dunia yang dibayangkan belum tercemar. Kedua, adalah dorongan rasa kesetiakawanan terhadap beberapa negara Islam yang mengalami konflik, seperti Afghanistan, Irak, Suriah, Mesir, Kashmir, dan Palestina. Ketiga, dalam lingkup Indonesia, adalah kegagalan negara mewujudkan cita-cita negara yang berupa keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata.
4. Dalam suatu artikelnya, Adian Husaini (2004) mengutip dan menganalisis beberapa pendapat Samuel P. Huntington yang menulis buku berjudul Who Are We ? : The Challenges to America’s National Identity pada tahun 2004. Huntington menggunakan bahasa yang lebih lugas, bahwa musuh utama Barat pasca Perang Dingin adalah Islam yang ia tambah dengan predikat militan. Namun, dari berbagai penjelasannya, definisi Islam militan melebar ke mana-mana, ke berbagai kelompok dan komunitas Islam, sehingga definisi itu menjadi kabur.
Hal ini membuktikan bahwa Islam secara tidak langsung diciptakan (dijebak) sebagai teroris sehingga persepsi terhadap Islam pun menjadi buruk dan mengerucut bahwa Islam adalah teroris. Definisi Islam militan yang tanpa batasan tersebut kemudian merugikan umat Islam secara keseluruhan.
5. Menurut Prof. Mahfud MD, tindak teroris hanya dilakukan oleh segelintir pihak saja. Namun, tidak jarang mengakibatkan pandangan pihak lain terhadap agama tersebut jadi berubah. Tindakan terorisme jelas sangat dibenci oleh semua ajaran agama, termasuk Islam. Meski banyak dicap sebagai agama teroris, Islam justru merupakan agama yang cinta kedamaian.
Islam bukan agama teror. Penduduk Indonesia 87 persen beragama Islam, tapi kalau ada teroris yang kebetulan beragama Islam itu hanya beberapa segelintir orang. Islam adalah agama kedamaian.
Agar tidak ada pandangan miring terhadap ajaran agama tertentu, Mahfud mengajak seluruh umat beragama agar saling menghormati satu dengan lainnya. Ia menekankan tidak perlu ada rasa benci dari sebuah perbedaan dalam agama.
Ketidakadilan dan korupsi justru menjadi sesuatu hal yang wajib dilawan oleh seluruh pihak.
Kita tidak perlu membenci orang lain karena perbedaan agama. Yang harus kita lawan adalah ketidakadilan. Agama apa pun setuju melawan ketidakadilan. Yang harus kita lawan adalah perilaku korupsi.
Orang Islam, kristen, Konghucu, Buddha, Hindu benci pasti sama orang-orang korupsi. Bahkan orang korupsi sama orang korupsi lainnya juga benci.
Contoh tentang konsep kehidupan yang saling menghargai perbedaan, yakni negara yang pernah didirikan Nabi Muhammad yaitu Madinah al-Munawwarah. Madinah adalah negara berperadaban yang menghargai betul perbedaan.
Ketika orang-orang takut saat Nabi Muhammad mendakwahkan Islam, Nabi Muhammad mengatakan : Innama Bu'istu liddini al-hanifiyah al-samhah; saya diutus bukan untuk mengislamkan orang Yahudi, bukan untuk mengislamkan orang nasrani, bukan untuk mengislamkan orang majusi. Tapi saya diutus ke muka bumi ini untuk membawa agama yang lurus tetapi toleran, tidak memaksa, tidak menyalah-nyalahkan orang lain karena berbeda.
Atas dasar itulah, ia mengajak seluruh pihak untuk dapat membangun Indonesia sebagai negara yang cinta perbedaan dan menghargai seluruh perbedaan yang ada.
Konsep kebersamaan dalam negara kebangsaan yang kita beri nama Indonesia, yang menurut ormas-ormas besar seperti Muhammadiyah, NU dan lain-lain disebut dengan konsep Islam Wasathiah. Mari bersama bangun bangsa dan negara ini berdasarkan sikap toleran terhadap perbedaan. Kita merdeka karena bersatu di dalam perbedaan dan akan maju karena bersatu.
RADIKALISME KONFLIK
Radikalisme atas nama agama ini tidak jarang kemudian menimbulkan konflik sampai pada puncaknya, yaitu terorisme dalam taraf membahayakan stabilitas dan keamanan negara. Pada akhirnya, radikalisme ini menyebabkan peperangan yang justru menimbulkan rasa tidak aman. Pada taraf terendah, radikalisme sampai mengganggu keharmonisan dan kerukunan masyarakat. Klaim sesat, bid’ah, dan kafir bagi kalangan yang tidak sependapat dengannya membuat masyarakat menjadi resah. Ironisnya, keresahan tersebut dianggap sebagai tantangan dakwah oleh kaum radikalis.
Permasalahan radikalisme dan terorisme yang saling keterkaitan ini pun sangat kompleks. Buku Samuel P. Huntington tersebut mempengaruhi AS untuk menciptakan Islam militan sebagai terorisme, meskipun Huntington sendiri tidak memberikan batasan-batasan militan sehingga Islam militan yang dimaksud itupun akan menajdi bias dan berpotensi melebar. AS pun juga selalu berkampanye bahwa Islam militan adalah terorisme.
Terorisme selalu berawal dari radikalisme. Radikalisme dalam konteks sebab memahami teks dan norma agama secara dangkal. Radikalisme dalam konteks sebab terjebak pada situasi politik dan hegemoni Barat. Radikalisme dalam konteks sebab tidak puas dengan kinerja pemerintah dan ingin mengadakan revolusi secara besar-besaran.
Adian Husaini (2004) dalam sebuah artikelnya menjelaskan bahwa banyak ilmuwan dan tokoh AS, seperti Chomsky, William Blum, yang tanpa ragu-ragu memberi julukan AS sebagai ‘a leading terrorist state’, atau ‘a rogue state’. Maka dari itu, sangat naif bagi Huntington yang justru mencoba menampilkan fakta yang tidak adil dan sengaja membingkai Islam sebagai musuh baru AS. Bahkan ia menyatakan, The rethoric of America’s ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam. Di sisi lain, aksi terorisme oleh kalangan Islam militan dan radikal ini juga menuai protes dari kalangan Muslim moderat, meskipun kalangan Muslim moderat juga berpandangan bahwa terorisme ini juga termasuk pada konspirasi global untuk menghancurkan Islam.
ISLAM MENENTANG RADIKALISME
Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menyempurnakan ajaran Islam dan menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik yang akan menjadi saksi atas umat yang lain, seperti dijelaskan dalam firman Allâh Azza wa Jalla. وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil (terbaik) dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. [Al-Baqarah/2:143].
Dari kalimat ummatan wasathan (umat yang adil atau pertengahan) tampak jelas bahwa umat Islam dilarang melampaui batasan yang telah ditetapkan syariat, baik dalam keyakinan maupun amalan. Sikap melampaui batas tidak akan membuahkan hasil yang baik dalam semua urusan, apalagi dalam urusan agama. Bahkan syariat melarang sikap ini dalam beberapa ayat al-Qur`ân, diantaranya firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala : يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ
Wahai ahli Kitab, janganlah kalian bertindak melewati batas (ghuluw) dalam agama kalian [An-Nisâ’/4: 171] Al-Hâfidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam kitab Tafsirnya, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang ahlul kitab melampaui batas dalam beragama. Ini banyak dilakukan oleh kaum Nashara karena mereka melampaui batas dalam kewajiban mengimani Nabi Isa Alaihissallam sampai-sampai mereka mengangkatnya melebihi kedudukan yang berikan kepadanya Alaihissallam. Mereka memindahkannya dari derajat kenabian menjadi tuhan selain Allâh Azza wa Jalla . Mereka menyembahnya sebagaimana mereka menyembah Allâh Subhanahu wa Ta’ala , bahkan mereka juga melampaui batas dalam menyikapi para pengikut Nabi Isa Alalihissallam yang dianggap masih berada di atas ajaran Nabi Isa Alaihissallam. Mereka meyakini para pengikut beliau Alaihissallam itu ma’sum dan lalu mereka mengikuti setiap apa yang mereka katakan, baik perkataan mereka itu haq maupun batil, sesat maupun petunjuk, benar maupun dusta. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman : Baca Juga Fenomena Pemboman, Pembunuhan, Pembajakan dan Bom Bunuh Diri اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan para rahib mereka sebagai Tuhan selain Allâh dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masîh putera Maryam, (At-Taubah/9:31)”, [Tafsîr Ibnu Katsir, 1/589] Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda : إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِى الدِّيْنِ
Hindarilah oleh kalian tindakan melampaui batas (ghuluw) dalam beragama sebab sungguh ghuluw dalam beragama telah menghancurkan orang sebelum kalian. [HR. An-Nasâ’i dan Ibnu Mâjah]. Diantara bentuk sikap melampaui batas adalah bersikap radikal dengan segala bentuknya yang menyelisihi syariat. Dalam bahasa Arab kata (الْغُلُوّ) yang berarti radikal, kekerasan dan kekakuan kembali kepada sebuah kalimat yang bermakna sesuatu yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dan ukuran. Sebagaimana yang dikatakan ibnu Fâris rahimahullah dalam kitabnya Mu’jam maqâyis Lughah. Berlebih-lebihan dalam agama adalah dengan melakukan sesuatu yang melampaui batas dengan kekerasan dan kekakuan, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Manzhûr rahimahullah dalam kitab Lisânul Arab. Radikalisme dalam sejarah terjadi tidak hanya pada umat Islam, bahkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan ahli kitab akan sikap melampaui batas ini, sebelum umat Islam. Sejarahpun mencatat banyak tindakan-tindakan radikal dilakukan selain umat Islam baik dizaman dahulu hingga sekarang. Namun mengapa hanya umat Islam saja yang disudutkan? Ironisnya banyak orang Islam ikut-ikutan bicara radikalisme tanpa dasar dan ilmu yang membuat semakin keruh dan rusak serta tidak memberikan solusi sama sekali. Tidak dipungkiri, radikalisme memiliki multi sebab, mulai dari pemahaman yang parsial, salah memahami ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa merujuk kepada pemahaman yang benar yang telah difahami oleh as-salaf ash-shalih termasuk juga masalah politik berupa penindasan dan penjajahan menjadi pemicu tindakan radikal. Semua sebab-sebab ini membuahkan hasil yang sangat berbahaya bagi kemajuan peradaban manusia dan kesejahteraan mereka di dunia.
Oleh karena itu sangat diperlukan upaya yang maksimal untuk merujuk pemahaman as-salaf ash-shalih dalam memahami agama dan menjalankan metode pemahaman mereka dalam mengamalkan ajaran-ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam Semoga Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk dan taufiqNya kepada kaum Muslimin seluruhnya agar berjalan dan beramal dengan dasar al-Qur`an dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan benar.
ISLAM RADIKAL DI INDONESIA
Mencuatnya fenomena ISIS di berbagai negara, termasuk Indonesia, memunculkan kembali perbincangan hangat kajian-kajian radikalisme agama. Tulisan ini mengkaji gerakan radikalisme agama (Islam) yang sering diopinikan sebagai paham keagamaan yang berpotensi melahirkan terorisme. Aspek-aspek yang dikaji meliputi teks-teks keagamaan yang sering dijadikan pembenaran dalam melakukan gerakan radikal, metode pemahaman terhadap teks-teks agama tersebut, serta implikasinya terhadap pelaku gerakan radikal. Berdasarkan hasil kajian yang penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa lahirnya paham radikal adalah disebabkan penafsiran yang sempit dan tidak utuh terhadap nas-nas syara’ yang kemudian berimplikasi pada pemahaman yang keliru terhadap doktrin agama Islam.
Beberapa kali selama dua dekade terakhir Indonesia menjadi berita utama di dunia karena serangan teroris yang kejam atau karena kehadiran jaringan teroris (termasuk kamp pelatihan) yang diduga terhubung dengan organisasi paramiliter fundamentalis Islam Sunni Al-Qaeda, organisasi militan Islam Jemaah Islamiyah, atau kelompok militan ekstemis Negara Islam Irak dan Syam (Islamic State). Serangan teroris tersebut (dan kehadiran kelompok dan sel-sel teroris dalam negeri) menunjukkan keberadaan sebuah komunitas Muslim radikal di Indonesia; mereka tidak hanya percaya bahwa Islam harus menjadi satu-satunya pedoman dalam kehidupan (dan dengan demikian menentang pemerintah sekuler beserta tidak mendukung masyarakat pluralis) tetapi mereka juga bersedia untuk menggunakan langkah-langkah ekstrem (termasuk kekerasan kejam) dalam upaya untuk mengubahkan sitkon (situasi kondisi) sekarang. Lewat aksi teror mereka ingin menciptakan suasana panik, tidak menentu dan mendorong ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah.
Di Indonesia, lebih dari 230 juta penduduk menganut agama Islam. Bahkan, Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Dan yang tidak kalah mengesankan, sekitar 13 persen dari jumlah total orang Muslim di dunia tinggal di Republik Indonesia. Maka, jelas bahwa pengaruh prinsip-prinsip dan etika Islam terhadap masyarakat, politik, dan ekonomi Indonesia sangat besar.
Proses Islamisasi di Indonesia
Sebuah proses islamisasi sudah berlangsung di Indonesia sejak agama ini pertama kali tiba di kepulauan berbagai abad yang lalu. Mungkin sudah ada kehadiran Islam di Asia Tenggara maritim sejak awalnya era Islam ketika pedagang Muslim datang ke Kepulauan ini, membuat pemukiman di daerah pesisir dan menikahi wanita lokal. Pendatang Muslim ini jadi dihormati oleh para pribumi karena kekayaan yang mereka peroleh melalui perdagangan. Itu adalah hari-hari awal Islamisasi Indonesia.
Pada tahap selanjutnya (kemungkinan dimulai dari abad ke-13) kerajaan-kerajaan Islam mulai didirikan oleh penguasa lokal (pribumi) di Nusantara (terutama di bagian barat, seperti di pulau-pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan). Diasumsikan bahwa - setelah raja-raja pribumi masuk agama Islam - sebagian besar rakyatnya ikut masuk Islam, sehingga memperkuat peran Islam dalam masyarakat lokal. Namun, varietas-varietas Islam lokal ini dicampur dengan unsur-unsur budaya lokal dan sistem kepercayaan lokal yang sudah ada sebelumnya (dan dengan demikian varietas-varietas agama Islam yang dianut di kerajaan-kerajaan lokal jadi sangat berbeda dengan, misalnya, agama Islam yang dipraktikkan di Mekah, Madinah atau di mana pun pada periode yang sama).
Proses islamisasi ini tidak berhenti di era kontemporer. Bahkan dalam beberapa dekade terakhir kita dapat dengan jelas mendeteksi berbagai contoh proses Islamisasi yang sedang berlangsung di Indonesia. Misalnya, jumlah wanita Indonesia yang mengenakan jilbab (atau kerudung) meningkat pesat selama 20-25 tahun terakhir (telah menjadi pemandangan umum di jalanan Indonesia saat ini). Contoh lain yaitu pejabat-pejabat pemerintah Indonesia - bahkan mereka yang bukan Muslim sendiri - sekarang cenderung membuka pidato atau pernyataan mereka dengan menggunakan frasa Arab As-salāmuʿalaykum.

Pentingnya untuk Memisahkan Islamisasi dari Islamisme
Penting untuk ditekankan di sini bahwa proses islamisasi itu tidak boleh disamakan dengan Islamisme atau radikalisme. Dengan istilah 'Islamisasi' kami merujuk pada proses pergeseran masyarakat (secara damai) menuju sebuah masyarakat yang lebih berorientasi Islam (dan yang memungkinkan ruang bagi minoritas-minoritas tertentu untuk hidup berdampingan secara harmonis di dalam masyarakat pluralis itu). Namun, istilah 'Islamisme' atau 'radikalisme' (atau Islam militan atau fundamentalisme) merujuk pada keinginan kelompok tertentu (biasanya kelompok kecil yang tidak memiliki kekuatan politik) untuk memaksakan versi Islam konservatif mereka ke masyarakat dan politik. Apalagi mereka ini sering menggunakan kekerasan (atau ancaman) untuk mencapai tujuan mereka.
Meskipun sekitar 88 persen dari populasi Indonesia adalah penganut Islam, Indonesia bukan negara Islam yang dikelola hukum Islam. Kebanyakan orang Muslim di Indonesia sebenarnya dapat diberi label 'Muslim moderat' yang berarti bahwa mayoritas dari komunitas Muslim Indonesia menyetujui demokrasi sekuler dan masyarakat pluralis. Sikap ini terlihat dalam hasil pemilihan legislatif karena partai-partai politik yang menekankan pentingnya peran dominan Islam dalam pemerintahan dan dalam masyarakat mendapatkan dukungan relatif sedikit dari para pemilih. Sementara itu, partai-partai politik sekuler yang mendukung demokrasi serta masyarakat pluralis dan toleran selalu menang dalam pemilu Indonesia.
Meskipun demikian, memang benar bahwa 'partai-partai sekuler' (seperti PDI-P dan Golkar) juga mengalami proses Islamisasi tersebut. Maka, para ketua partai-partai ini selalu menggunakan frasa Arab seperti As-salāmuʿalaykum saat membuka pernyataan atau pidato. Ini sebenarnya menyiratkan bahwa partai-partai ini tidak sungguh-sungguh sekuler karena mereka tidak netral dalam hal agama.
Namun di sisi lain, kami juga masih mendeteksi keinginan politisi tertentu untuk mempertahankan sikap sekuler. Misalnya, Presiden Indonesia Joko Widodo sering membuka pidatonya dengan kata-kata salam berikut (dialamatkan kepada para pengikut agama-agama utama di Indonesia):
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh (kepada orang Muslim)
Salam Sejahtera Bagi Kita Semua (kepada orang Kristen/Katolik)
Om Swastyastu (kepada orang Hindu)
Namo Buddhaya (kepada umat Buddha)
Salam Kebajikan (kepada orang Konghucu)

Varietas Islam Indonesia
Komunitas Muslim yang terdiri dari 230 juta orang Indonesia itu tidak merupakan komunitas yang homogen. Kenyataannya, banyak variasi dapat ditemukan dalam agama (dan aliran-aliran) Islam di Indonesia dan juga dalam persepsi para orang Muslim Indonesia soal peran Islam dalam bidang politik dan masyarakat.
Sejumlah besar orang Muslim di Indonesia dapat diberi label 'Muslim budaya' (atau 'Muslim KTP') yang berarti mereka tidak sungguh-sungguh mempraktikkan Islam namun tetap memiliki keterikatan pada unsur-unsur budaya Islam misalnya karena latar belakang keluarga mereka atau lingkungan sosial dan budaya di mana mereka dibesarkan, atau, di mana mereka hidup sekarang (dan juga ada istilah 'Kristen KTP', 'Katolik KTP', 'Hindu KTP', dan 'Buddha KTP' di Indonesia).
Di sisi lain, ada juga banyak orang Muslim di Indonesia yang memilih untuk memperkuat identitas Islam mereka, misalnya dengan memutuskan untuk mulai mengenakan jilbab atau pakaian Islami lainnya. Khususnya, sejak tahun 2014 kami mendeteksi gelombang islamisasi di Indonesia yang membuat banyak Muslim Indonesia (secara sadar atau tidak sadar) memperkuat identitas Islam mereka. Gelombang besar islamisasi ini berakar pada perkembangan politik tertentu, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Sebenarnya agama Islam sangat bervariasi di Indonesia, mulai dari Muslim KTP hingga Muslim yang saleh dan konservatif. Apalagi masih ada beberapa daerah di mana aliran Islam masih berisikan elemen-elemen dari agama Hindu dan Budha.
Sementara itu, ada juga kelompok yang melampaui tipe Muslim konservatif, yaitu Muslim radikal. Dengan istilah ini kami tidak hanya merujuk pada mereka yang menggunakan tindakan ekstrem (seperti kekerasan) untuk merubah kondisi politik dan sosial, tetapi juga mereka yang secara diam-diam setuju dengan tindakan kekerasan tersebut (meskipun mereka tidak melakukan tindakan itu sendiri).
Di Indonesia, para Muslim radikal hanya merupakan minoritas kecil. Namun, mereka yang biasanya paling bersuara di jalan (sering terlibat dalam demonstrasi) dan - kadang-kadang - bersedia mengambil tindakan kekerasan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa komunitas radikal kecil ini semakin bertambah jumlahnya dan kekuatannya. Memang, dengan proses Islamisasi, ada juga proses Islamisme (pada pinggirannya) yang tumbuh seiring. Oleh karena itu, penting bagi otoritas di Indonesia untuk secara cermat memantau situasinya dan terlibat dalam program deradikalisasi yang efektif.
ISLAM SEBAGAI RAHMAT
Islam yang berasal dari kata salima yang berarti selamat, merupakan agama yang menjamin keselamatan bagi siapapun baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan, sabda Nabi Muhammad SAW bahwa orang yang dinamakan Islam itu apabila orang lain dapat selamat dari ucapan dan tindakan orang Islam itu. Perang dalam sejarah perkembangan Islam pun harus dimaknai secara kontekstual, termasuk penafsiran terhadap ayat-ayat perang dalam Al-Qur’an dan Hadits. Allah SWT pun berfirman bahwa Dia mengutus Nabi Muhammad SAW yang membawa Islam sempurna sebagai rahmat untuk seluruh alam. Selain itu, Nabi Muhammad SAW pun bersabda bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak. Maka, wajah asli Islam adalah penuh kelembutan, toleransi, dan menyejukkan. Bahkan, dalam Q.S. An Nahl ayat 125 pun dikatakan mengenai cara berdakwah yang sama sekali tidak diperintahkan untuk perang.
Satu hal yang salah dipahami oleh Muslim radikal bahwa makna berdakwah itu adalah mengajak, bukan memaksa. Mereka memahami makna dakwah bahwa kelompok lain wajib dan harus mengikuti jalur pemikiran mereka. Dakwah berasal dari kata “dâ’a” yang berarti mengajak. Mengajak inipun juga sudah diatur dalam Q.S. An Nahl ayat 125 tersebut, yaitu dengan cara hikmah (perkataan yang baik, jelas, tegas, dan benar), mau’idhah al hasanah (pelajaran yang baik) dan mujadalah bi al lati hiya ahsan (membantah dengan cara yang baik). Dalam kalimat selanjutnya pun dijelaskan bahwa Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Hal ini mengindikasikan penekanan bahwa berdakwah itu memang dengan cara yang baik dan benar, serta kemauan orang untuk mengikuti jalan Islam itu hanya ditentukan oleh hidayah Allah SWT. Bukan kemudian dijuluki dengan sesat.
Selain itu, kisah-kisah menyejukkan dalam Islam yang bernuansa kedamaian pun jarang diangkat untuk menampilkan wajah Islam yang sesungguhnya. Seperti misalkan kisah Nabi Muhammad SAW yang menolak penawaran malaikat untuk menghancurkan kaum kafir dalam perang Uhud, kisah Nabi Muhammad SAW yang justru menjenguk orang yang meludahi beliau setiap hari, kisah ‘Ali ibn Abu Thalib yang tidak jadi menghunuskan pedang ke musuh karena diludahi oleh lawan, kisah ‘Ali ibn Abu Thalib yang kalah dalam pengadilan dalam kasus pencurian baju perangnya sehingga pencuri justru masuk Islam, kisah Shalahuddin al-Ayyubi yang mengirimkan kuda kepada Raja Richard The Great karena Raja Richard dijatuhkan oleh anak buah Shalahuddin al-Ayyubi, kisah Shalahuddin al-Ayyubi yang mengirimkan dokter kepada Raja Richard yang sedang sakit, dan kisah lainnya.
Menampilkan wajah Islam yang moderat inipun menjadi tugas berat, terutama bagi elemen bangsa Indonesia yang belum tertular virus radikalisme atas nama agama. Konsep Islam Nusantara pun akan diuji dan harus dioperasionalkan. Pemerintah jangan hanya berusaha menangkis gerakan radikalisme dan terorisme dengan menghancurkan kelompok-kelompok mereka. Namun, juga dengan berupaya memperbaiki kondisi bangsa dan kinerja pemerintah sehingga lebih mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, mengingat salah satu faktor penyebab radikalisme dan terorisme adalah faktor politik dan ketidakpuasan terhadap berbagai penyelesaian masalah yang dilakukan oleh pemerintah dan politik global.
Tugas berat bagi kalangan Muslim moderat, harus gencar dalam menanamkan nilai Islam yang humanis dalam tataran akar rumput. Misalkan, memajukan TPA (Tempat Pendidikan Al-Qur’an) dan pengajian serta majelis-majelis yang diisi dengan internalisasi nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin dan deradikalisasi. TPA, pengajian, dan majelis ta’lim ini merupakan tempat yang jitu dalam menginternalisasikan nilai-nilai keislaman karena sasaran dari TPA, pengajian, dan majelis adalah masyarakat akar rumput.
Kajian terhadap bentuk negara, menceritakan kembali mengenai perjuangan para ulama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, kajian terhadap hubungan Islam dengan konstitusi, dan kajian mengenai sahnya Negara Kesatuan Republik Indonesia juga harus diintensifkan. Satu hal yang juga tidak boleh dilupakan adalah bahwa Islam harus dibumikan sehingga mampu memberdayakan umat manusia. Nilai-nilai Islam yang dibumikan ini akan menjadi nilai universal yang mampu menyelesaikan persoalan umat manusia. Nilai-nilai Islam yang tidak kaku dan tidak tergantung pada bentuk, sehingga dapat diimplementasikan dalam kerangka kebajikan apapun dan dalam dimensi waktu kapanpun. Menampilkan wajah Islam rahmatan lil ‘alamin inipun akan menghindarkan kaum Muslim dari jebakan Huntington, sehingga Islam tidak dipandang radikal dan teroris.