AMBENGAN
Indonesia
Nusantara adalah negara multi kultural, negara yang terdiri dari berbagai pulau
yang dihuni oleh berbagai suku bangsa. Setiap suku bangsa memiliki budaya, adat
(tradisi) atau kebiasaan yang berbeda-beda. Budaya merupakan cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Melalui kebudayaan manusia beradaptasi dengan lingkungan
dalam memenuhi kebutuhan hidup agar dapat bertahan dalam kehidupan. Kehidupan
manusia tidak bisa lepas dari kebudayaan. Manusia disatu sisi menjadi kreator
sekaligus produk dari budaya tempat dia hidup, hubungan saling pengaruh ini
merupakan salah satu bukti bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa budaya.
Kehidupan berbudaya merupakan ciri khas manusia dan akan terus berlangsung
mengikuti alur jaman. Kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dan
hampir selalu mengalami proses penciptayan kembali. Perkembangannya bisa
berlangsung cepat dan juga berkembang secara perlahan tergantung manusia.
Dalam
sejarah perkembangan kebudayaan mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk
kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan bentuknya diwarnai oleh berbagai
unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang
berbeda. Hal ini disebabkan oleh kondisi sosial budaya masyarakat antara yang
satu dengan yang lain berbeda. Perbedaan tersebut saling berinteraksi secara
terus-menerus menjadi norma yang kemudian ditanamkan dan diyakini oleh
masyarakat dan wariskan kepada generasi-generasi selanjutnya. Salah satu budaya
yang mengalami akulturasi yakni tradisi sadranan. Sadranan, sebagian orang
menyebutnya sebagai ruwahan, dilakukan oleh masyarakat Jawa pada bulan Sya’ban
atau menjelang Ramadhan. Pada bulan ini kebanyakan masyarakat berdoa (mengirim
doa) kepada pada leluhur yang telah meninggal dunia agar diampuni dosa-dosanya,
diterima amal baiknya, dan mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Ritus ini
dipahami oleh masyarakat Jawa sebagai bentuk pelestarian warisan tradisi dan
budaya para nenek moyang. Ritus yang tetap bertahan meski jaman menjadi modern
dan ilmiah. Tradisi sadranan merupakan simbol adanya hubungan dengan para
leluhur, sesama, dan Yang Maha Kuasa atas segalanya. Sadranan merupakan sebuah
pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga
sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental Islami. Sadranan menjadi
contoh akulturasi agama dan kearifan lokal.
Akulturasi
budaya sangat terlihat nyata pada tradisi sadranan yang dipraktekkan oleh
masyarakat Jawa. Sadranan merupakan tradisi Hindu-Budha sekitar abad 15. Dalam
perjalanannya, sadranan mengalami akulturasi dengan budaya Islam. Sadranan yang
dulu syarat dengan pemujaan roh kemudian diluruskan niatnya kepada yang Maha
Esa oleh para ulama (wali songo). Akulturasi budaya tersebut kini telah menjadi
laku tetap bagi masyarakat Jawa. Tradisi sadranan mampu menyatukan
heterogenitas masyarakat Jawa. Tradisi yang kental akan nilai-nilai pluralitas
dan menjadi watak masyarakatnya.
Selain
nilai-nilai tersebut, masih banyak nilai-nilai agung yang terpendam dalam
tradisi ruwahan/sadranan. Nilai-nilai tersebut menjadi karakter bagi masyarakat
Jawa. Karakter yang secara tidak disadari terintegrasi dalam jiwa generasi
berikutnya.
Nasi
ambeng adalah hidangan khas Jawa yang merupakan nasi putih yang diletakkan di
atas tampah dan diberi lauk pauk di sekelilingnya. Lauk pauk terdiri daripada
perkedel, ikan asin goreng, rempeyek, sambal goreng, telur rebus, tempe goreng,
urap, bihun goreng,opor ayam dan ayam panggang.
Nasi
ambeng adalah hidangan yang disajikan dalam selamatan sebagai tanda kesyukuran.
Nasi dimakan beramai-ramai oleh empat hingga lima orang dewasa. Nasi dimakan
dengan memakai dengan tangan, tanpa sendok dan garpu. Penyajian nasi ambeng
mengandung permohonan agar semua pihak yang turut serta dikaruniai banyak
rezeki.
Manusia
mempunyai suatu tanggungjawab terhadap lingkungannya agar
keberlangsungan
hidupnya terus berjalan. Dan salah satu tanggungjawabnya yaitu melanjutkan
tradisi yang berasal dari nenek moyang. Tradisi merupakan warisan yang berharga
dari masa lampau yang perlu dilestarikan tanpa harus menghambat kreatifitas
masyarakat. Tradisi tidak dapat begitu saja dihilangkan tanpa menimbulkan
akibat-akibat yang besar bagi kehidupan masyarakat terutama bagi tujuan
melestarikan sumber-sumber bahan, tenaga dan daya. Seperti halnya tradisi ambengan
yang ada diperkampungan.
Bagi
masyarakat muslim Jawa, ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan
penyembahan kepada Tuhan, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol ritual
yang memiliki kandungan makna mendalam. Simbol-simbol ritual merupakan ekspresi
atau pengejawantahan dari penghayatan dan pemahaman akan realitas yang tak
terjangkau sehingga menjadi yang sangat dekat. Dengan simbol-simbol ritual
tersebut, terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu terlibat, menyatu dalam
dirinya. Simbol ritual dipahami sebagai perwujudan maksud bahwa dirinya sebagai
manusia merupakan tajalli, atau juga sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
Tuhan. Sebagaimana diketahui, dalam tradisi Islam Jawa, setiap kali terjadi
perubahan siklus kehidupan manusia, rata-rata mereka mengadakan ritual
slametan, dengan memakai berbagai benda-benda makanan sebagai simbol
penghayatannya atas hubungan diri dengan Sang Pencipta.
Para
Waliyullah paham betul akan kehalusan rasa dan keluhuran budi kultur dalam
masyarakat Jawa ini, sehingga tidak serta merta mengharamkan tradisi-tradisi
bernilai universal luhur ini dengan menghakiminya sebagai sesuatu yang haram
dan bid'ah. Kecerdasan spiritual para wali ini dengan mengganti ruh dan isi
dari tradisi yang belum tersentuh Islam, dengan isian yang lebih terarah dan
tertuju hanya pada Tuhan yang Maha Esa, bukan kepada selain-Nya. Sehingga
dengan sendirinya, karakter Islam dapat diterima dengan baik dan masif karena
tidak bertentangan dengan budaya dan karakter masyarakat Jawa di masa itu.
Ambengan
adalah nasi putih yang ditempatkan dalam wadah, wadahnya dapat berupa panci
atau besek. Ambengan merupakan gambaran dari bumi (tanah) sebagai tempat hidup
dan kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan baik itu manusia, hewan, tumbuhan,
dan lainnya, yang harus dijaga kelestariaannya, karena itu merupakan unsur yang
penting dalam kehidupan semua makhuk ciptaan Tuhan.
Ambengan
memiliki beberapa pendidikan nilai dan karakter yang luhur dan tinggi,
diantaranya :
1.
Nilai
Religius.
Masyarakat Jawa terkenal sebagai
masyarakat yang Religius. Religius maksudnya berhubungan dengan praktek
ketuhanan. Masyarakat yang percaya akan adanya kekuatan yang maha dasyat diluar
kemampuan manusia. Nilai Religius ini juga tampak sangat jelas dalam ritual
ambengan. Ritual yang dimaksudkan untuk mendoakan para leluhur. Do’a merupakan
unsur penting dalam pelaksanaan ritual ambengan. Permohonan ampunan dan
permohonan surga bagi para leluhur dilakukan dengan tahlilan yang dipimpin oleh
ulama setempat. Selain itu, ritual baca doa yang meliputi ambengan, merupakan
pengejawantahan dari nilai Religius. Masyarakat Jawa menyadari betul bahwa
setiap manusia akan kembali kepada yang Maha Esa.
2.
Nilai
Syukur.
Masyarakat Jawa seperti telah diketahui,
merupakan masyarakat pemeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha
Esa. Oleh karena itu mempunyai kesadaran akan kewajibannya dalam melakukan
pengabdian dan persembahan kepada-Nya. Salah satu bentuk persembahannya yaitu
melalui laku syukur. Syukur atas segala karunia yang diberikan Tuhan kepadanya
setiap waktu. ambengan merupakan perwujudan rasa syukur masyarakat Jawa kepada
Tuhan Yang Maha Kaya. Masyarakat berduyun-duyun menyedekahkan makanan atau
jajanan saat ambengan. Tidak ada paksaan dalam laku ini. Masyarakat dengan
suka-rela menyumbangkan sesuatu semampunya untuk orang lain. Masyarakat Jawa
sangat mengilhami betul surat Ibrahim Ayat 7, bahwa “….Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. Masyarakat
Jawa menolak azab yang besar melalui laku ambengan.
3.
Nilai
Gotong-royong (Rukun).
Sikap rukun telah menjadi ciri yang
dimiliki oleh masyarakat Jawa. Pelaksanaan sikap rukun dalam kehidupan sosial
kemasyarakat lebih mengutamakan kepentingan bersama daripada pribadi., jauh
dari rasa permusuhan, saling tolong menolong dalam kebaikan. Perintah
wata’awanu alal birri wattaqwa bagi masyarakat Jawa tidak hanya sekedar di atas
kertas, tetapi teraktualisasikan dalam laku sosial, bahkan menjadi kebutuhan
sosial masyarakat. Seperti halnya tradisi ambengan di Jawa dirasakan menjadi
milik bersama, dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dijiwai oleh rasa
kebersamaan saling tolong menolong tanpa rasa perselisihan, merasa saling
mengungguli. Oleh karenanya ambengan merupakan perwujudan dari laku rukun
masyarakat Jawa.
4.
Nilai
Saling Menghormati (Pluralisme).
Ambengan hakekatnya adalah eksrpresi
rasa syukur. Di tempat itu, semua orang menjadi satu atas nama persaudaraan.
Ambengan bagi masyarakat Jawa merupakan perwujudan laku saling menghormati
perbedaan atau pluralisme. Dalam ambengan rasa syukur itu di wujudkan dalam
sinergi bersama yang kuat dan rukun. Aura guyub dan rukun itulah yang nantinya
akan mendatangkan keridlaan Tuhan dalam masyarakat. Yang berikutnya akan
membawa kebaikan dan maslahat bagi wilayah yang bersangkutan. Ambengan
merupakan kearifan lokal masyarakat Jawa yang syarat nilai dan karakter luhur.
Tradisi apapun bentuknya jika tidak dijaga dan dilestarikan akan hilang
tergerus jaman. Jika bukan manusia sekarang, lalu siapa lagi yang akan menjaga
dan mengamalkan tradisi luhur para leluhur kita.
Ruwahan dan Tradisi Membuat Ambeng
(Nguri-uri budaya Sadranan/Ruwahan)
Sejumlah
sumber menyatakan Ruwahan dilakukan normalnya 10 hari sebelum bulan puasa.
Awalnya acara dimulai dengan Nifsu Sya'ban, bersih-bersih rumah dan makam yang
diiringi slametan kecil kemudian kenduri dimalam hari. Esoknya dilaksanakan
Nyadran (nyekar dimakam) hingga berakhir padusan tepat menjelang bulan puasa.
Rangkaian
acara Nguri-uri budaya Sadranan/Ruwahan diawali dengan wiwitan ngebluk (membuat
adonan apem), macapat, sarasehan sadranan/ruwahan, klenengan, lomba kuliner
membuat apem serta diakhiri kirab budaya. Secara khusus, menurut ketua
penyelenggara, Andang Suprihadi, kegiatan lomba kuliner di spesifikasi pada
makanan tradisional apem karena sesuai dengan tema ruwahan.
Ruwah
identik dengan apem, kami ingin mengedukasi masyarakat bagaimana cara membuat
apem traisional namun dengan bahan-bahan yang benar. Jika dilihat dari sudut
pandang budaya, sadranan/ruwahan menurut anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogya,
Kas Iman Sukarjo, aktivitas budaya tersebut selalu dikaitkan dengan ambeng
ketan, kolak dan juga apem. Makanan tersebut sebenarnya sebuah simbol yang
sebenarnya diambil dari bahasa Arab, khatakan kholaqa afuwun. Sebagai umat
manusia, kita menyadari benar bahwa dalam waktu 1 tahun banyak kesalahan yang
diperbuat baik secara vertikal maupun horizontal, setelah saling meminta maaf
maka jiwa akan bersih sehingga tidak ada beban dalam melaksanakan ibadah puasa
ramadhan, melalui pesta budaya yang dikemas sesuai perkembangan jaman tersebut,
diharapkan dapat menjadi pemicu kaum muda agar tidak melupakan seni budaya
tradisional yang telah mengakar semenjak nenek moyang. Melestarikan budaya,
mengirim doa serta selalu mengingat leluhur kita,