SEMEDI - MEDITASI - TOPO BROTO (BERTAPA)
SEMEDI
Semedi
adalah berasal dari kata Samadhi.
Samadhi
bahasa Sansekerta adalah sebuah ritual konsentrasi tingkat tinggi, melampaui
kesadaran alam jasmani yang terdapat dalam agama Hindu, Buddha, Jainisme,
Sikhisme, dan aliran yoga.
Kata
samadhi sendiri secara umum berarti konsentrasi atau tak terganggu, sedangkan
secara istilah pembangkitan kesadaran dengan cara melakukan meditasi.
Semedi,
Cara Orang Jawa Mendekatkan Diri Kepada Gusti
Salah satu cara mendekatkan diri kepada Tuhan adalah lewat Semedi. Kalau dalam konteks agama Islam, aktivitas berdiam diri dan mengingat keberadaan Tuhan ini disebut dengan istilah Tafakur.
TAFAKUR
Mengenal Tafakur, Cara Meningkatkan Kecintaan Pada Allah SWT Dengan Melihat Ciptaan-Nya.
Tafakur adalah renungan atau memikirkan, dan menimbang-nimbang dengan sungguh-sungguh. Tafakur adalah ibadah yang dilakukan melalui pikiran dengan merenungi tanda kebesaran Allah.
Tafakur salah satu cara untuk merenungi beragam bentuk kebesaran Allah SWT. Tafakur dimulai dari hati yang berpusat di dada, bukan dari akal yang berpusat di kepala.
Tafakur juga menjadi salah satu hal yang disukai Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda, " Merenung sesaat untuk (bertafakur) lebih besar nilainya daripada amal-amal kebajikan yang dikerjakan oleh dua jenis makhluk (manusia dan jin). (HR Ibnu Majah).
Allah SWT telah menciptakan kehidupan di langit dan di bumi, agar menjadi pembelajaran bagi manusia.
Objek tafakkur tidak terbatas jumlahnya. Mulai dari penciptaan diri kita sendiri, penciptaan berbagai makhluk hidup di muka bumi, tatanan alam semesta, aneka peristiwa yang terjadi, serta hal-hal yang gaib hingga kehidupan akhirat.
Makna Tafakur
Menurut para ulama, tafakur menjadi cara beribadah dalam diam. Tafakur menjadi cara untuk mensyukuri segala nikmat serta menjadikannya pembelajaran berharga dalam kehidupan.
Untuk itu, tafakur dimaknai sebagai cara makhluknya untuk beribadah dalam diam mengingat kebesaran Allah SWT karena hanya dilakukan melalui pikiran dan hati.
Allah SWT berfirman, Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), 'Wahai Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka'.'' (QS. Ali Imran: 190-191).
Menurut para sufi, Tafakur adalah cara untuk memperoleh pengetahuan tentang tuhan dalam arti yang hakiki. Para Ulama mengatakan bahwa tafakur itu ibarat pelita hati, sehingga dapat terlihat baik dan buruk maupun manfaat dan madharat dari segala sesuatu.
Menurut Syeikh Nawai al Bantani, tafakur terbagi dalam 5 macam yaitu :
Tafakur melalui ayat-ayat Allah SWT. yaitu merenungi segala ciptaan Allah. Mulai dari penciptaan manusia dan makhuk hidup lainnya, hingga fenomena alam yang terjadi. Allah SWT berfirman, “ Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (Adz-Dzariyat: 20-21).Tafakur tentang segala nikmat yang Allah SWT berikan. Sehingga senantiasa melahirkan rasa syukur kepada Allah. Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; " Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: Ayat 7).Tafakur tentang peringatan dari Allah SWT. tujuannya adalah agar manusia senantiasa memikirkan akhirat. Dan tidak bertindak semena-mena selama di dunia. Karena setiap perbuatan tentunya akan mendapat balasan kelak di hari akhir. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. (Al-Lail: 5-7). Tafakur untuk merenungi janji-janji Allah SWT. dengan bertafakur akan semakin menambah semangat di hati seseorang untuk berbuat kebaikan. Dan menambah keimanan dalam dirinya.Tafakur untuk merenungi kelalaian diri sendiri. Sehingga senantiasa memperbaiki ibadahnya. Dan selalu berusaha untuk menjauhi segala perbuatan yang dilarang. Tafakur ini dapat menumbuhkan rasa malu di hati seseorang.
Istilah Semedi berasal dari dua kata, yaitu Sam
dan Adi. Sam artinya besar, sedangkan Adi artinya bagus atau indah. Mereka yang
bersemedi memiliki tujuan untuk meraih budi yang besar, indah dan suci.
Budi
yang suci adalah budi yang diam tanpa nafsu. Tanpa pamrih dan tanpa keinginan
apapun. Kondisi suwung (kosong) inilah yang mengandung getaran hidup murni
ibarat cahaya atau sinar yang disebut Nur.
Singkatnya,
Nur adalah hati dari Budi. Sedangkan di dalam Nur ini, seorang hamba bisa
menyentuh isyarat Tuhannya untuk menerima tuntunan dalam menjalani hidup.
Semadi
atau meditasi adalah praktik relaksasi yang melibatkan pelepasan pikiran dari
semua hal yang menarik, membebani, maupun mencemaskan dalam hidup kita
sehari-hari. Makna harfiah meditasi adalah kegiatan mengunyah-unyah atau
membolak-balik dalam pikiran, memikirkan, merenungkan. Arti definisinya,
meditasi adalah kegiatan mental terstruktur, dilakukan selama jangka waktu
tertentu, untuk menganalisis, menarik kesimpulan, dan mengambil langkah-langkah
lebih lanjut untuk menyikapi, menentukan tindakan atau penyelesaian masalah pribadi,
hidup, dan perilaku.
Dalam
ajaran Hindu, Samadhi merupakan bagian dari tata cara ritual beragama yang
dijelaskan di kitab Yoga Sutra pada bab pertama dengan judul Samadhi-pada.
Begitu pula Vyasa, seorang tokoh berpengaruh dalam ajaran Hindu dan juga
pengarang buku Mahabharata menjelaskan mengenai samadhi yang sama saja seperti
yoga dari segi praktiknya.
Selain
itu, ajaran hindu juga tidak hanya menekankan konsep samadhi sebagai keadaan
damai yang tanpa isi, melainkan seseorang mengubah kesadarannya menjadi fokus
pada rasa bahagia dan tenteram mengikuti aliran kehidupan.
Namun,
entah karena kesulitan pengejaannya atau bagaimana, di jawa kata tersebut
melebur menjadi semedi.
Manfaat dan kegunaan semadi
Semadi
berpengaruh terhadap pikiran dan jiwa
Semadi
atau meditasi sering diartikan secara salah, dianggap sama dengan melamun
sehingga meditasi dianggap hanya membuang waktu dan tidak ada gunanya. Meditasi
justru merupakan suatu tindakan sadar karena orang yang melakukan meditasi tahu
dan paham akan apa yang sedang dia lakukan.
Manfaat
meditasi yang kita lakukan bisa secara langsung maupun tidak langsung kita
rasakan secara fisik. Salah satu manfaat tersebut adalah kesembuhan yang kita
peroleh, jika kita menderita sakit tertentu. Dari sudut pandang fisiologis,
meditasi adalah anti-stres yang paling baik. Saat anda mengalami stres, denyut
jantung dan tekanan darah meningkat, pernapasan menjadi cepat dan pendek, dan
kelenjar adrenalin memompa hormon-hormon stres.
Selama
anda melakukan meditasi, detak jantung melambat, tekanan darah menjadi normal,
pernapasan menjadi tenang, dan tingkat hormon stres menurun. Selama meditasi,
lama-kelamaan Anda bisa mendengarkan denyutan jantung, bahkan lebih lanjut lagi
Anda dapat mengkoordinasikan irama denyut jantung dengan irama keluar masuknya
napas. Pada masa lalu testimoni mengenai manfaat meditasi datang hanya dari
orang-orang yang mempraktikkan meditasi.
Saat
ini ilmu pengetahuan menunjukkan manfaat meditasi secara objektif. Riset atas
para pendeta oleh Universitas Wisconsin menunjukkan bahwa praktik meditasi
melatih otak untuk menghasilkan lebih banyak gelombang Gamma, yang dihasilkan
saat orang merasa bahagia.
Dari
penelitian terungkap bahwa meditasi dan cara relaksasi lainnya bermanfaat untuk
mengatasi gangguan fungsi ginjal dengan meningkatkan produksi melatonin dan serotonin
serta menurunkan hormon stres kortisol.
Menurut
Dr. Herbert Benson, seorang ahli jantung dari Universitas Harvard, adalah orang
pertama yang dengan penuh keyakinan menggabungkan manfaat meditasi dengan
pengobatan gaya barat. Secara ilmiah, ia menjelaskan manfaat-manfaat dari
meditasi yang telah dipraktikkan orang selama berabad-abad.
Meditasi
Meditasi
disebut juga semadi / semedi adalah praktik relaksasi yang melibatkan pelepasan
pikiran dari semua hal yang menarik, membebani, maupun mencemaskan dalam hidup
kita sehari-hari.
Makna
harfiah meditasi adalah kegiatan mengunyah-unyah atau membolak-balik dalam
pikiran, memikirkan, merenungkan. Arti definisinya, meditasi adalah kegiatan
mental terstruktur, dilakukan selama jangka waktu tertentu, untuk menganalisis,
menarik kesimpulan, dan mengambil langkah-langkah lebih lanjut untuk menyikapi,
menentukan tindakan atau penyelesaian masalah pribadi, hidup, dan perilaku.
Dengan
kata lain, meditasi melepaskan kita dari penderitaan pemikiran baik dan buruk yang
sangat subjektif yang secara proporsional berhubungan langsung dengan kelekatan
kita terhadap pikiran dan penilaian tertentu. Kita mulai paham bahwa hidup
merupakan serangkaian pemikiran, penilaian, dan pelepasan subjektif yang tiada
habisnya yang secara intuitif mulai kita lepaskan. Dalam keadaan pikiran yang
bebas dari aktivitas berpikir, ternyata manusia tidak mati, tidak juga pingsan,
dan tetap sadar.
Guru
terbaik untuk meditasi adalah pengalaman. Tidak ada guru, seminar, atau
buku-buku meditasi yang dapat mengajarkan secara pasti bagaimana seharusnya
kita melakukan hidup bermeditasi.
Manfaat meditasi
Beragam
Manfaat Meditasi untuk Kesehatan
Ada
banyak manfaat meditasi yang dapat diperoleh jika Anda melakukan aktivitas ini
secara rutin setiap hari. Berikut ini adalah berbagai manfaat meditasi untuk
kesehatan:
1. Mengelola stres.
Melakukan aktivitas fisik, seperti
olahraga dan meditasi, dapat menghasilkan hormon endorfin yang berperan penting
dalam mengelola stress. Hormon ini bertindak sebagai penghilang rasa sakit
alami yang juga dapat membuat tidur lebih nyenyak, sehingga stres pun
berkurang. Selain itu, teknik meditasi kesadaran (mindfulness meditation) juga
dipercaya dapat menurunkan kadar hormon kortisol yang tinggi saat sedang merasa
tertekan dan stres.
2. Mengatasi gangguan kecemasan dan depresi.
Rutin melakukan meditasi dipercaya dapat
mengatasi masalah pada kesehatan mental. Penelitian menunjukkan bahwa teknik
meditasi mindfulness dapat mengurangi rasa cemas dan gelisah yang berlebihan. Senyawa
sitokin yang dilepaskan sebagai respons terhadap stres dapat memengaruhi
suasana hati. Hal ini lama-kelamaan bisa meningkatkan risiko terjadinya
gangguan mental, misalnya depresi. Melakukan meditasi dengan rutin dipercaya
dapat mengurangi kadar sitokin, sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya
depresi.
3. Mengendalikan emosi.
Bukan hanya meredakan gangguan cemas,
melakukan meditasi secara rutin juga dapat membuat Anda merasa lebih tenang,
bahagia, dan berpikir positif. Di samping itu, meditasi juga diketahui dapat
meningkatkan kinerja otak yang berperan dalam proses belajar, mengingat, dan
berkonsentrasi.
4. Menjaga kesehatan jantung.
Stres berlebihan bisa membuat tekanan
darah meningkat, sehingga menyebabkan jantung bekerja lebih keras. Kondisi ini
bisa menyebabkan terjadinya berbagai masalah pada jantung dan pembuluh darah,
seperti serangan jantung dan stroke. Salah satu cara untuk menurunkan dan
menstabilkan tekanan darah adalah dengan rutin melakukan meditasi. Hal ini
dikarenakan meditasi dapat membuat Anda lebih mudah mengurangi stres, sehingga
tekanan darah pun akan menjadi lebih stabil.
5. Memperkuat sistem kekebalan tubuh.
Meditasi dipercaya mampu menangkal
penyakit dan infeksi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan
antibodi atau zat pembentuk kekebalan tubuh yang lebih tinggi pada orang yang
rutin bermeditasi. Tak hanya meditasi, Anda juga perlu menjalani gaya hidup
sehat lainnya agar daya tahan tubuh tetap terjaga, seperti mengonsumsi makanan
bergizi, mencukupi waktu isirahat, dan tidak merokok.
6. Mengurangi rasa nyeri.
Ada banyak kondisi yang dapat
menyebabkan seseorang mengalami nyeri, misalnya saat mengalami cedera atau
menderita penyakit tertentu seperti kanker. Nyeri pada kanker bisa muncul
akibat pertumbuhan sel-sel kanker atau efek samping kemoterapi.
TINGKATAN
SEMEDI
Empat
Tingkatan Semedi
Antara
Semedi atau Samadhi dengan Meditasi memiliki sedikit perbedaan. Letak perbedaan
ini ada pada tingkatan. Samadhi memiliki tingkatan yang lebih tinggi,
dibandingkan tahap-tahap lain yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan.
1. Tahap
Pertama adalah Perenungan .
Tingkat paling awal adalah Penerungan.
Disini seorang hamba berdiam diri dan merenungkan penciptaan ilahi. Lewat
renungannya tersebut, ia diharapkan memperoleh wawasan bahwa Tuhan bersifat
Maha Kuasa, karena telah menjaga keseimbangan alam semesta.
2. Tahap
Kedua adalah Kontemplasi.
Kontemplasi merupakan aktivitas berdiam
diri yang lebih dalam dari Penerungan.
3. Tahap
Ketiga adalah Meditasi.
Meditasi lebih mengacu pada fokus dan relaksasi
dalam mencari ketenteraman diri. Sebab dengan hati yang tenteram inilah seorang
hamba akan mampu mencapai isyarat Tuhannya.
4. Tahap
Keempat adalah Samadhi/ Semedi.
Samadhi merupakan aktivitas berdiam diri
yang dipenuhi kekhusyukan dan konsentrasi. Tujuannya adalah untuk menghadap
Gusti atau Ilahi. Terkadang, saking khusyuknya aktivitas ini, si pelaku akan
mampu melepaskan sukma dari raga. Sebagian besar orang menyebut fenomena ini
dengan istilah Meraga Sukma (Ngrogo Sukmo). Misalnya pun saat ini Anda masih
berada di tahap Perenungan, tidak perlu berkecil hati. Tetap teruskan usaha
Anda dan yakinlah bahwa Anda bisa mendekatkan diri kepada Pencipta. Dengan
kesungguhan inilah, banyak orang di masa lampau mampu mengasah mata batinnya.
Bagaimana Caranya dan Apa yang Dicari ?
Semedi (Meditasi), Semedi (Meditasi)
Banyak
istilah yang bisa dipakai untuk menggambarkan perilaku khas ini. Semedi kata
orang Jawa. Meditasi. Maladihening. Neng, ning, nung. Kotemplasi. Tafakur.
Dan.....mungkin masih ada banyak istilah yang maksudnya sepadan.
Bermacam
cara orang melakukan meditasi. Berbagai tujuan pula yang hendak diraih. Untuk
kali ini kita akan berbincang dengan memfokuskan pada tiga hal yaitu pencarian
kesejatian diri, alam gaib dan 'penemuan' dengan Sang Maha Ada.
Saya
kutip dulu dari ajaran Wirid / Semedi Maladihening yang diajarkan Mbah saya
demikian tatacaranya :
1. Posisi
badan telentang menghadap ke atas, seperti mau tidur. Jangan ada anggota badan
yang posisinya kurang nyaman. Seluruh anggota badan “jatuh” menempel di
pembaringan tanpa ada penahanan sedikitpun. Seluruh otot dan syaraf harus
rileks atau loss. Bisa juga dipakai posisi duduk bersila.
2. Tangan
sedekap atau sendakep dengan posisi lengan atas tetap menempel di
lantai/tempat berbaring sementara lengan bawah diletakkan di atas dada.
Jari-jari tangan saling mengunci ( jari diadu dengan jari merapat ). Atau bisa
juga agar lebih rileks, tangan diluruskan ke bawah (arah kaki), kedua telapak
tangan menempel di paha kiri kanan sebelah luar.
3. Mata
terpejam seakan anda sedang bersiap menidurkan diri. Bola mata tidak boleh
bergerak-gerak, tahan dalam posisi pejam dan bola mata diam tidak bergerak,
disebut meleng, meneng. Ketika memejamkan mata ini bola mata diarahkan ke arah
puncak hidung ( mandeng puncaking grono )
4. Kaki
lurus dan rileks, telapak kaki kanan ditumpangkan di atas telapak kaki kiri
disebut sedakep suku tunggal.
Mengumpulkan atau Mengatur Pernafasan.
Tarik
pelan nafas melalui hidung sampai di perut, lebih tepatnya lagi sampai di
puser. Tahan. Bawa naik ke atas terus sampai ubun-ubun. Tahan. Baru bawa ke
bawah samapi mulut dan lepaskan. Lakukan berulang-ulang. Bawa atau tarik naik
turunnya nafas dengan 'rasa kesadaran'. Ketika ini lidah hendaknya ditekuk ke
atas, ke 'cethak'. Lakukan beberapa kali ulangan. Ketika ini harus dibarengi
ingat kepada Allah. Cara praktisnya yaitu ketika menarik nafas hati menyebut HU
dan ketika melepas nafas hati menyebut ALLAH.
Lafal
HU merujuk pada ADA-Nya, atau Dzat-Nya atau Pribadi-Nya.
Sedangkan
lafal ALLAH merujuk pada Nama-Nya atau panggilan-Nya.
Kemudian
pikiran dikosongkan, tidak memikirkan apa-apa. Obyek pikir atau lebih tepatnya
kesadaran rasa kita, kita fokuskan ke arah puncak hidung ( yaitu diantara dua
mata kita ). Maka akan nampak cahaya berpendar. Semakin terang. Kita ikuti
denga kesadaran rasa kita. seakan ada lorong yang panjang bercahaya keperakan.
Kita ikuti saja. Nah...plong...kita atau lebih tepatnya kesadaran diri kita
yang sejati sudah bebas dari tubuh kita. Sensasi ini yang oleh kebanyakan orang
disebut 'meraga sukma' atau ngrogo sukmo.
Sampai
pada batas ini menjadi sangat krusial.
Karena
apapun yang kita niatkan akan 'sampai'. Artinya obyek kesadaran menjadi sangat
penting. Jika kesadaran Anda kepada alam gaibnya jin maka otomatis 'sinyal
gelombang energi' Anda akan bersambung dengan alam jin. Jika obyek kesadaran
Anda adalah para ruh nenek-moyang atau leluhur maka Anda akan berjumpa dengan
leluhur Anda.
Ada
satu hal yang sangat penting di sini. Apakah kita hanya akan 'mengurusi' soal
benda dan makhluk saja ? Apakah kesadaran kita akan hanya kita tujukan untuk
mencari 'ada' yang bisa rusak dan tidak hakiki ( makhluk ) saja ? Tidakkah kita
ingin 'menjumpai' Dia Sang Maha Ada yang tidak akan rusak binasa ( Al-Kholiq ).
Dia
yang telah menciptakan kita dan juga alam ini. Dia Yang Maha Ada yang menjadi
'tempat' kita berpulang atau kembali nanti.
Mari
bertafakur yang sejati. Menemukan-Nya di diri kita dan juga di diri-diri yang
lain. Di diri alam semesta. Sejatinya dimanapun 'ada' itu ada maka disitulah
Sang Maha Ada itu ada. Dia meliputi segala sesuatu. Justru jika kesadaran kita
terhenti pada diri kita saja maka yang kita temui adalah hanya diri kita. Jika
kesadaran kita ada pada alam jin maka yang kita temui adalah jin. Jika
kesadaran kita ada pada-Nya, bahkan harusnya itu 'sadar penuh' maka kita akan
ketemu dengan Dia, Sang Sangkan Paraning Dumadi. Tentu bertemu dengan-Nya
secara tan kinoyo ngopo, laisa kamitslihi syai'un, tidak bisa digambarkan
dengan apa dan bagaimana.
Salah
satu bentuk semedi yang paling dasar dan alami adalah tidur. Ketika kita tidur
maka hakekatnya sama dengan mati. Ketika tidur inilah diri kita kembali berada
dalam 'genggaman'-Nya. Nah bayangkan sendiri jika kita bisa tidur secara
'advance'. Yaitu badan kita tidur terlelap namun kesadaran kita bisa tetap
'sadar' mengikuti kesadaran 'ruh' kita yang merupakan 'min Ruhi'.
Ada
lagi semedi dalam bentuk yang sudah advance yaitu sholat. Namun sholat dalam
pengertian yang sebenar-benarnya yaitu bukan hanya manembahing rogo, tetapi
juga manembahing rahsa (sir) dan sukma (ruh).
5 Jenis Semedi Menurut Kejawen
Jenis
semedi menurut kejawen. Puasa dan semedi merupakan dua hal yang tidak bisa
ditinggalkan dalam lelaku kejawen. Kali ini Dukun Millennial akan membahas
tentang jenis semedi atau bertapa menurut kejawen. Langsung saja simak
pembahasannya.
1. Ngeluwang.
Semedi ini merupakan yang paling mengerikan, pasalnya seseorang harus mengubur
dirinya baik di tanah pemakaman ataupun di tempat yang sepi. Beberapa orang
meyakini bahwa semedi ngeluwang merupakan jalan pintas untuk mendapatkan
penglihatan gaib. Tentunya sangat dibutuhkan keberanian dan tekad yang kuat
untuk menjalankan lelaku ini.
2. Ngalong.
Semedi atau tapa ngalong dilakukan dengan cara menggantungkan diri dengan
posisi kaki di atas bagaikan kelelawar. Tapa jenis ini biasanya dilakukan pada
dahan pohon. Tapa ngalong dipercaya berfungsi untuk melatih pernapasan dan
melatih kekuatan fisik.
3. Kungkum.
Kungkum dalam bahasa Jawa artinya berendam. Sesuai dengan artinya, semedi ini
dilakukan dengan cara berendam di aliran air seperti sungai dengan bertelanjang
dada. Biasanya, semedi kungkum dilakukan di titik pertemuan antara dua
sungai. Seseorang yang melakukan tapa
kungkum dilarang keras tertidur. Selain membatalkan semedi, tentunya tertidur
saat menjalankan kungkum akan membahayakan orang tersebut.
4. Lelana.
Tapa lelana dilakukan dengan cara berjalan kaki mulai dari pukul 12 malam
hingga pukul 3 pagi. Tujuan dari tapa ini yaitu agar orang yang menjalankan
tapa ini dapat introspeksi terhadap dirinya sendiri.
5. Jejeg.
Semedi atau tapa jenis ini merupakan yang paling sering dilakukan oleh
seseorang yang sedang menjalankan lelaku tertentu. Semedi ini dilakukan dengan
cara duduk bersila dan badan dalam posisi tegap.
Manfaat Semedi dan Meditasi saat Pandemi
Semedi
dan meditasi nampaknya mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat. Padahal
aktivitas ini kerap dilakukan oleh tokoh bangsa, terutama di kalangan
masyarakat Jawa karena memiliki dampak yang positif terutama dalam hal
spiritual.
Semedi
adalah istilah dalam bahasa Jawa yang bisa diartikan sebagai bertapa. Sebenarnya
ada banyak persamaan yang bisa menggantikan istilah semedi, mulai dari
maladihening, tafakur, berdiam diri, bertapa, dan masih banyak lagi.
Meditasi
Dan Semedi Saat Pandemi
Pada
dasarnya masing-masing kebudayaan memiliki istilahnya sendiri-sendiri untuk
menggambarkan pertapaan. Yang jelas, aktivitas semacam itu pada zaman dulu
banyak dilakukan oleh siapapun dan dari mana pun mereka.
Di
saat pandemi Covid-19 seperti sekarang, stres dan bertambahnya beban pikiran
kerap dialami masyarakat. Dua hal tersebut secara diam-diam bisa menyerang
siapa saja dan akibatnya bisa berdampak pada kesehatan. Untuk mengasi hal
tersebut, Anda bisa memanfaatkan meditasi dan semedi saat di rumah.
Ada
banyak manfaat yang akan Anda peroleh dengan meditasi dan semedi seperti mengurangi
kecemasan dan stress, meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan kualitas
tidur, dan juga menurunkan tekanan
darah.
Sayangnya
kebiasaan meditasi dan semedi tak diturunkan dengan baik oleh masyarakat.
Padahal nenek moyang kita menempatkan meditasi dan semedi pada tingkat yang
cukup tinggi, bahkan sudah menjadi tradisi kuno.
Kedudukan
Meditasi Jawa Kuno Dalam Kehidupan Spiritualnya
Istilah
Semedi didefinisikan bermacam-macam. Dalam kamus Baoesastra Djawa semedi
(sêmadi) diartikan dengan mengheningkan cipta atau ngêningake cipta (Sumber:
Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters).
Sedangkan
dalam bahasa Sansekerta, istilah semedi berasal dari kata ”samadhi”, yang
berarti maju ke depan untuk meraih kesempurnaan, memperoleh keyakinan, dan
mengatasi kesukaran dalam kehidupan. Hal tersebut sebagaimana yang diajarkan
dalam beberapa kitab suci seperti Raghuvaņsa, Kitab Hukum Manu, Mahabharata dan
Harivaņsa.
Sedangkan
dalam Ensiklopedi Nasional, semedi artinya menenangkan dan memusatkan pikiran
pada masalah keagamaan yang dilakukan dalam sepi. Aktivitas tersebut ditujukan
untuk mencapai pendalaman agama dan berusaha berhubungan dengan Yang Maha
Kuasa.
Dari
berbagai definisi di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa semedi memiliki
tujuan untuk mendapat kebijaksanaan dan budi yang lebih besar, lebih baik, dan
lebih murni. Artinya seseorang yang bersemedi memiliki tujuan untuk
mengendalikan nafsunya.
Saat
nafsu dapat dikendalikan, dan jiwanya lebih murni, orang yang semedi berharap
mampu mendekat lagi kepada Sang Pencipta. Dengan begitu orang itu akan mendapat
tuntunan dalam menjalani hidup.
Tujuan
semedi bagi orang Jawa kuno memang cenderung pada kesempurnaan spiritual. Bisa
dikatakan bahwa aktivitas semedi bagian dari sufisme Jawa yang mengharapkan
kemurnian hidup.
Meditasi Jawa Kuno
Orang
Jawa kerap melakukan semedi. Meski beberapa pendapat menyatakan bahwa semedi
bertujuan untuk menaikkan tingkat spiritualismenya, beberapa spiritualis
menyatakan bahwa semedi memiliki manfaat yang lain. Aktivitas tersebut dinilai
lebih efektif untuk mendapatkan kekuatan gaib dalam pelaku ritual.
Pelaku
ritual semedi sendiri datang dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh mistik
seperti dukun, peramal, paranormal, dan sebagainya. Atau bisa juga dilakukan
oleh guru kebatinan dan orang-orang yang tertarik dengan mistik. Penerapan
semedi sendiri dilakukan oleh berbagai kalangan dan masing-masing punya konsep
dan metode yang berbeda-beda.
Patut
diketahui bahwa dalam ajaran spiritualisme Jawa ada perbedaan antara semedi dan
meditasi. Letaknya ada pada tingkatan kesadaran. Semedi adalah tingkat
pertapaan yang lebih tinggi dibanding meditasi.
Tingkatan
pertapaan ada empat, pertama adalah Perenungan. Tahap ini akan memberi wawasan
bahwa Tuhan adalah Dzat Maha Kuasa. Tahap selanjutnya adalah Kontemplasi, tahap
yang lebih dalam dari Perenungan.
Tahap
ketiga adalah Meditasi. Tahap ini mengacu pada fokus dan relaksasi dalam
mencari ketenteraman diri. Sedangkan tahap terakhir atau yang tertinggi adalah
semedi. Aktivitas ini berupa berdiam diri dengan kekhusyukan dan konsentrasi
penuh.
Kebudayaan
Jawa kuno memang kerap memberikan gambaran mengenai tahap semedi dalam produk
budanyanya, salah satunya ada pada cerita pewayangan.
Berikut
ini teks narasi semedi yang diungkapkan dalam naskah pewayangan dalam lakon
Wahyu Purbasejati.
Mangsah
semadi maladi hening, sidhakep saluku tunggal,
nutupi
babahan hawa sanga, mandeng pucaking grana,
ngekes
pancadrinya. Sekawan kang arsa binengkas,
sajuga
kang sinidikara, kinarya nut laksitaning brata
(Ciptoprawiro,
1986:75-76)
Yang
artinya :
Menerapkan
semedi menuju keheningan:
Duduk
dengan kaki disatukan dan tangan bersilangan,
Menutup
sembilan lobang pintu masuk ke dalam badan,
Kedua
mata tenang memandang puncak hidung,
Mengendalikan
panca indera sampai suwung,
Mengatasi
gelora ke-empat saudara,
Mengarah
kepada Yang Esa
Tata Cara Dan Mantra Meditasi Jawa
Mantra
Meditasi Jawa, Candi difungsikan sebagai ruang peribadatan dan semedi.
Ada
banyak tata cara meditasi yang baik dan benar. Masing-masing aliran memiliki
caranya sendiri-sendiri, begitu juga dengan orang Jawa. Meski banyak perbedaan,
secara umum semedi atau meditasi bisa dilakukan dengan beberapa cara, yakni
sebagai berikut.
Bagi
umat Hindu, semedi dikenal dengan Yoga dan Tantra. Dimulai dengan nyanyian dan
pelafalan mantra.
Bagi
umat Budhisme, semedi dilakukan dengan duduk bersikap Padmasana atau posisi
teratai. Posisi ini dilakukan dengan menyilangkan kaki dengan menempatkan satu
kaki pada paha yang berlawanan. Semedi dilakukan dengan atau tanpa menggunakan
mantra.
Umat
Kristiani melakukan semedi dengan doa-doa.
Cara semedi orang Jawa
Penelitian
cara semedi melalui karya tulisnya yang berjudul Semedi dalam Kebudayaan Jawa :
Studi Kasus di Tempuran Gadog Sebuah Tinjauan Semiotik. Dalam tulisannya ia
mengatakan bahwa semedi metode Kejawen dimulai dengan menutup sembilan lubang
kehidupan dan duduk dengan sikap siddhasana atau sikap sempurna.
Sedangkan
semedi menurut aliran Sapta Darma adalah dengan duduk tegak bersila, kaki kanan
berada di depan kaki kiri. Posisi duduk menghadap ke Timur, tangan bersedakep
dengan posisi tangan kanan berada di depan tangan kiri.
Setelah
itu menenangkan tubuh dengan cara pandangan mata fokus pada satu titik,
sedangkan kepala dan punggung harus berada pada garis lurus.
Tata
cara semedi seperti yang dilakukan oleh KRMH Bios G. Abioso Trah Bangun Topo
Paku Buwono VI. Beliau adalah salah satu praktisi spiritual Jawa. Berbeda
dengan semedi biasa, ia menjelaskan bahwa semedi yang dilakukan beliau dilakukan
di air. Berikut tata caranya.
Ambil
posisi semedi yang nyaman di dalam air.
Membaca
bacaan doa yang telah ditentukan, yakni sebagai berikut.
Pembuka
:
Hong
hyang hyanging amerta amertane samahuma humaningsun ya humaning jati wasesa
wasesaning jati ya wasesaning ingsun ingsunarsa matek aji kalacakra.
Mantra Rajah Kalacakra
YA
MA RA JA………….JA RA MA YA
(Siapa
yang menyerang membalik menjadi kasih sayang’ (untuk mempagari)
YA
MA RA NI…………. NI RA MA YA
(Siapa
yang akan mendatangi (dalam arti tidak baik) akan malah menjauh)
YA
SI LA PA……………PA LA SI YA
(Siapa
yang lapar malah akan memberi makan
YA
MI RU DA………….DA RU MI YA
(Siapa
yang memaksa malah akan memberi keleluasaan
YA
MI DU SA………….SA DU MI YA
(Siapa
yang membuat dosa malah akan memberi jasa)
YA
DA YU DA…………DA YU DA YA
(Siapa
yang memerangi membalik menjadi damai
YA
SI CA YA………..CA YA SI YA
(Siapa
yang membuat cacat, membalik menjadi membuat utuh dan sehat)
YA
SI HA MA………..MA HA SI YA
(Siapa
yang akan menggoda membalik menjadi menyayangi)
Mantra
ini adalah ajaran yang baku dan diajarkan secara terikat. Selain itu dalam
mengucapkan mantra harus memiliki keyakinan tertentu agar mantra membawa dampak
yang diinginkan. Mantra harus dibaca secara terus menerus hingga napas teratur.
Posisi
mata boleh terpejam atau tidak, ditahan setiap 2x hitungan, dilakukan hingga
terasa masuk ke alam meditasi dan semedi.
topo BROTO / bertapa
Dari
kata dasar: tapa.
1.
Mengasingkan
diri dari keramaian dunia dengan menahan hawa nafsu (makan, minum, tidur,
birahi) untuk mencari ketenangan batin.
2.
Menjalani
hukuman penjara (Kata kiasan, Kata percakapan)
Contoh:
Suatu
kisah dalam pewayangan versi Jawa sebagai ganjaran yang diterima dari
perbuatannya itu, kesatria terpaksa bertapa selama tujuh tahun dalam bertapa.
Bertapa sungsang adalah bertapa di atas pohon dengan kaki di atas dan kepala di
bawah untuk memperoleh tingkat spiritual tertentu. (Cerita Subali Tapa Ngalong
dan Kisah Resi Subali ditipu Rahwana).
Samadhi
atau bertapa merupakan aktivitas berdiam diri yang dilakukan dengan penuh
kekhusyukan dan konsentrasi. Istilah bertapa atau biasa disebut bersemedi
berasal dari dua kata, yaitu Sam dan Adi. Sam berarti besar, sedangkan Adi
artinya bagus atau indah. Mereka yang bersemedi atau bertapa memiliki tujuan
yaitu untuk meraih budi yang besar, indah dan suci. Budi yang suci adalah budi
yang diam tanpa nafsu (Suwung atau Kosong). Tanpa pamrih dan tanpa keinginan
apapun. Tujuannya adalah agar seorang hamba bisa menyentuh isyarat Tuhannya
untuk menerima tuntunan dalam menjalani hidup.
Filosofis Tapa Mendhem dan Tapa Ngeli
1.
Tapa
Mêndhêm.
Bertapa atau Semedi, Ilustrasi pertapa
yang sedang bertapa atau semedi.
Tapa Mêndhêm dari kata pêndhêm yang
artinya memendam, mengubur. Jaman dulu cara bertapa seperti ini dilakukan
dengan puasa ngebleng maksudnya adalah puasa dengan menahan lapar dan haus
selama 1 hari, 7 hari atau bahkan 40 hari penuh tanpa makan atupun minum dalam
bilik kecil yang gelap dengan cara menghilangkan ataupun menghalangi cahaya
yang masuk. Biasanya pertapa akan menyendiri dan jauh dari hingar bingar. Kalau
dulu para pelaku puasa atau para pertapa ini biasanya pergi ke gunung-gunung atau
gua biar tidak terganggu dengan sekitarnya dan mengubur diri seperti orang mati
dengan tujuan mematikan hawa nafsu dan memahami apa itu mati dalam hidup (Mati
Sajroning Urip). Namun dalam konteks masa kini, sejatinya yang dimaksud tapa
mendhem dapat dimaknai secara bijak dengan cara mengubur, menghilangkan seluruh
sifat buruk atau sifat angkara misalnya saja sifat takabur, sombong, suka
pamer, dan sifat pamrih. Semua sifat buruk dikubur dalam-dalam , termasuk
mengubur amal kebaikan yang pernah kita lakukan kepada orang lain, dari benak
ingatan kita sendiri. Sehingga hilanglah sifat pamrih atau riya dalam hati dan
jiwa manusia karena memberi dan menolong dengan tulus ikhlas. Dalam artian
meluruskan niat hanya kepada Tuhan. Bertujuan menghilangkan sifat-sifat buruk
dalam hati dan membersihkan hati dari kotoran serta penyakit-penyakit hati.
Seyogyanya kita tidak mengingat ingat lagi apa saja amal kebaikan yang pernah
diperbuat kepada orang lain, sebaliknya selalu ingat semua dosa, kejahatan yang
pernah dilakukan. Sehingga menjadi pribadi yang bijak, mawas diri dan selalu
rendah hati. Tapa mendhem dalam konteks hari ini dapat dimaknai sebagai usaha
untuk membersihkan batin dari rasa pamrih.
Tidak membangga-banggakan kebaikan, jasa dan amal baik yang diperbuatnya.
Terhadap sesama selalu rendah hati, tidak sombong dan takabur. Sadar bahwa
manusia derajatnya sama di hadapan Tuhan tidak tergantung suku, ras, golongan,
ajaran, bangsa maupun negaranya. Tapi tergantung dengan amal kebaikan apa yang
selama ini telah diperbuat. Selaras dengan paribasan Jawa :Yen sira dibeciki
liyan tulisen ing watu kareben supaya ora ilang lan terus kelingan nanging yen
sira gawe kabecikan tulisan ing lemah supaya cepet ilang lan ora kelingan.
Artinya : Jika kamu ditolong/diperlakukan
baik oleh orang, tulislah di batu supaya
tidak hilang dan terus kekal teringat, tetapi jika kau berbuat kebaikan pada
orang lain tulislah di tanah supaya cepat hilang dan tidak teringat terus.
2.
Tapa
Ngèli.
Tapa ngeli dijaman dulu dilakukan dengan
bertapa diatas rakit dan menghanyutkan diri di aliran air sungai. Tapa ngèli
mengandung ajaran moral luar biasa. Dalam konteks kehidupan jaman sekarang Tapa
Ngeli dapat dimaknai bahwa manusia harus berserah diri dengan mengikuti
kehendak Allah SWT. Menghanyutkan diri dalam Aliran air milik Tuhan, seumpama
air sungai yang mengalir menyusuri sungai, mengikuti irama alam, lekuk dan
kelok sungai, yang merupakan wujud bahasa kebijaksanaan alam. Maka manusia tersebut akan sampai pada muara
samudra kabegjan atau keberuntungan. Tapa Ngeli berarti pasrah dan berserah
diri mengikuti takdir bukan berarti tidak berusaha ataupun berjuang, namun
ketika gagal tidak menyalahkan nasib dan berserah diri dengan melakukan ikhtiar
lain serta menyerahkan hasil sepenuhnya pada Gusti Allah Tuhan Yang Maha Kuasa
dan Maha Berkehendak. Berbeda dengan mengikuti aliran air bah, pada hakekatnya
karena air bah ibarat air yang menggebu menerjang apapun yang dilintasinya
menerjang (wewaler) pantangan/larangan kaidah, agama, dan tata krama. Hanya
menuruti kehendak nafsu saja, maka akan berakhir celaka, menghempas meluluh
lantakkan, menerjang pepohonan, dan menghancurkan daratan. Ibaratnya hanyut
dalam nafsu duniawi dan berakhir dengan merugikan sesama dan diri sendiri. Tapa
Ngeli adalah wujud tinggi dari tingkat keimanan dan kepasrahan dengan berserah
diri sepenuh hati kepada Allah SWT.
TOPO
BROTO
TAPA
VERSI JAWA ASLI
Puasa
dan Tapa adalah dua hal yang sangat penting bagi peningkatan spiritual
seseorang. Disemua ajaran agama biasanya disebutkan tentang puasa ini dengan berbagai
versi yang berbeda.
Menurut
sudut pandang spiritual metafisik, puasa mempunyai efek yang sangat baik dan
besar terhadap tubuh dan fikiran.
Puasa
dengan cara supranatural mengubah sistem molekul tubuh fisik dan eterik dan
menaikkan vibrasi / getarannya sehingga membuat tubuh lebih sensitif terhadap energi
/
kekuatan
supranatural sekaligus mencoba membangkitkan kemampuan indera keenam seseorang.
Apabila
seseorang telah terbiasa melakukan puasa, getaran tubuh fisik dan eteriknya akan
meningkat sehingga seluruh racun,energi negatif dan makhluk eterik negatif yang
ada didalam tubuhnya akan keluar dan tubuhnya akan menjadi bersih.
Setelah
tubuhnya bersih maka roh-roh suci pun akan datang padanya dan menyatu dengan
dirinya membantu kehidupan nya dalam segala hal.
Didalam
peradaban/tradisi pendalaman spiritual versi kejawen, seorang penghayat kejawen
biasa melakukan puasa dengan hitungan hari tertentu (biasanya berkaitan dengan
kalender jawa).
Hal
tersebut dilakukan untuk menaikkan kekuatan dan kemampuan spiritual metafisik
mereka dan untuk memperkuat hubungan mereka dengan saudara kembar gaib mereka
yang biasa disebut Sedulur Papat Kalima Pancer apapun nama dan pelaksanaan
puasa, bila puasa
dilakukan
dengan niat yang tulus, maka tak mungkin akan membuat manusia yang melakoninya
celaka.
Bahkan
medis mampu membuktikan betapa puasa memberikan efek yang baik bagi tubuh,
terutama untuk mengistirahatkan oragan-oragan pencernaan.
Intinya
adalah ketika seseorang berpuasa dengan ikhlas, maka orang tersebut akan
terbersihkan tubuh fisik dan eteriknya dari segala macam kotoran.
Ada
suatu konsep spiritual yang berbunyi matikanlah dirimu sebelum engkau mati,
arti dari konsep tersebut kurang lebih kalau kita sering menyiksa tubuh maka
jiwa kita akan menjadi kuat.
Karena
yang hidup adalah jiwa, raga akan musnah suatu saat nanti.
Itulah
sedikit konsep spiritual jawa yang banyak dikenal.
Para
penghayat kejawen telah menemukan metode-metode untuk membangkitkan spirit kita
agar kita menjadi manusia yang kuat jiwanya dan luas alam pemikirannya, salah
satunya
yaitu
dengan menemukan puasa-puasa dengan tradisi kejawen.
Atas
dasar konsep ‘antal maut qoblal maut’ diatas puasa-puasa ini ditemukan dan
tidak lupa
peran
serta para ghaib, arwah leluhur serta roh-roh suci yang membantu membimbing
mereka dalam peningkatan spiritualnya.
Macam-macam puasa ala Kejawen
1.
Mutih.
Dalam puasa mutih ini seseorang tdk
boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih saja. Nasi putihnya
pun tdk boleh ditambah apa-apa lagi, (seperti gula, garam dll.) jadi
betul-betul hanya nasi putih dan air puih saja. Sebelum melakukan puasa mutih
ini, biasanya seorang pelaku puasa harus mandi keramas dulu sebelumnya dan
membaca mantra ini : niat ingsun mutih, mutihaken awak kang reged, putih kaya
bocah mentas lahirdipun ijabahi gusti allah.”
2.
Ngeruh.
Dalam melakoni puasa ini seseorang hanya
boleh memakan sayuran / buah-buahan saja. Tidak diperbolehkan makan daging,
ikan, telur dsb.
3.
Ngebleng.
Puasa Ngebleng adalah menghentikan
segala aktifitas normal sehari-hari. Seseorang yang melakoni puasa Ngebleng
tidak boleh makan, minum, keluar dari rumah/kamar, atau melakukan aktifitas
seksual. Waktu tidur-pun harus dikurangi. Biasanya seseorang yang melakukan
puasa Ngebleng tidak boleh keluar dari kamarnya selama sehari semalam (24 jam).
Padan saat menjelang malam hari tidak boleh ada satu lampu atau cahaya-pun yang
menerangi kamar tersebut. Kamarnya harus gelap gulita tanpa ada cahaya
sedikitpun. Dalam melakoni puasa ini diperbolehkan keluar kamar hanya untuk
buang air saja.
4.
Pati
geni.
Puasa Patigeni hampir sama dengan puasa
Ngebleng. Perbedaanya ialah tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun,
tidak boleh tidur sama sekali. Biasanya puasa ini dilakukan sehari semalam, ada
juga yang melakukannya 3 hari, 7 hari dst. Jika seseorang yang melakukan puasa
Patigeni ingin buang air maka, harus dilakukan didalam kamar (dengan memakai pispot
atau yang lainnya). Ini adalah mantra puasa patigeni : niat ingsun patigeni,
amateni hawa panas ing badan ingsun, amateni genine napsu angkara murka krana
Allah taala.
5.
Ngelowong.
Puasa ini lebih mudah dibanding
puasa-puasa diatas. Seseorang yang melakoni puasa Ngelowong dilarang makan dan
minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya diperbolehkan tidur 3 jam saja (dalam
24 jam). Diperbolehkan keluar rumah.
6.
Ngrowot.
Puasa ini adalah puasa yang lengkap
dilakukan dari subuh sampai maghrib. Saat sahur seseorang yang melakukan puasa
Ngrowot ini hanya boleh makan buah-buahan itu saja. Diperbolehkan untuk memakan
buah lebih dari satu tetapi hanya boleh satu jenis yang sama, misalnya pisang 3
buah saja. Dalam puasa ini diperbolehkan untuk tidur.
7.
Nganyep.
Puasa ini adalah puasa yang hanya
memperbolehkan memakan yang tidak ada rasanya. Hampir sama dengan Mutih ,
perbedaanya makanannya lebih beragam asal dengan ketentuan tidak mempunyai rasa.
8.
Ngidang.
Hanya diperbolehkan memakan dedaunan
saja, dan air putih saja. Selain daripada itu tidak diperbolehkan.
9.
Ngepel.
Ngepel berarti satu kepal penuh. Puasa
ini mengharuskan seseorang untuk memakan dalam sehari satu kepal nasi saja.
Terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi sehari.
10. Ngasrep.
Hanya diperbolehkan makan dan minum yang
tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja sehari.
11. Senin-kamis.
Puasa ini dilakukan hanya pada hari
senin dan kamis saja seperti namanya. Puasa ini identik dengan agama islam.
Karena memang Rasulullah SAW menganjurkannya.
12. Wungon.
Puasa ini adalah puasa pamungkas, tidak
boleh makan, minum dan tidur selama 24 jam.
13. Tapa Jejeg.
Tidak duduk selama 12 jam
14. Lelono.
Melakukan perjalanan (jalan kaki) dari
jam 12 malam sampai jam 3 subuh (waktu ini dipergunakan sebagai waktu
instropeksi diri).
15. Kungkum.
Kungkum merupakan tapa yang sangat unik.
Banyak para pelaku spiritual merasakan sensasi yang dahsyat dalam melakukan
tapa ini. Tatacara tapa Kungkum adalah sebagai beikut :
a.
Masuk
kedalam air dengan tanpa pakaianselembar-pun dengan posisi bersila (duduk)
didalamair dengan kedalaman air se tinggi leher.
b.
Biasanya
dilakukan dipertemuan dua buah sungai.
c.
Menghadap
melawan arus air.
d.
Memilih
tempat yang baik, arus tidak terlalu deras dan tidak terlalu banyak lumpur
didasar sungai.
e.
Lingkungan
harus sepi, usahakan tidak ada seorang manusiapun disana.
f.
Dilaksanakan
mulai jam 12 malam (terkadang boleh dari jam 10 keatas) dan dilakukan lebih
dari tiga jam (walau ada juga yang memperbolehkan pengikutnya kungkum hanya 15
menit).
g.
Tidak
boleh tertidur selama Kungkum.
h.
Tidak
boleh banyak bergerak.
i.
Sebelum
masuk ke sungai disarankan untuk melakukan ritual pembersihan (mandi dulu).
j.
Pada
saat akan masuk air baca mantra ini :
Putih-putih mripatku Sayidina Kilir,
Ireng-ireng mripatku Sunan Kali Jaga, Telenging mripatku Kanjeng Nabi Muhammad.
k.
Pada
saat masuk air, mata harus tertutup dan tangan disilangkan di dada.
l.
Nafas
teratur.
m.
Kungkum
dilakukan selama 7 malam biasanya.
n.
16. Ngalong.
Tapa ini juga begitu unik. Tapa ini
dilakuakn dengan posisi tubuh kepala dibawah dan kaki diatas (sungsang). Pada
tahap tertentu tapa ini dilakukan dengan kaki yang menggantung di dahan pohon
dan posisi kepala di bawah (seperti kalong/kelelawar). Pada saat menggantung
dilarang banyak bergerak. Secara fisik bagi yang melakoni tapa ini melatih keteraturan
nafas. Biasanya puasa ini dibarengi dengan puasa Ngrowot.
17. Ngeluwang.
Tapa Ngeluwang adalah tapa paling
menakutkan bagi orang-orang awam dan membutuhkan keberanian yang sangat besar.
Tapa Ngeluwang disebut-sebut sebagai cara untuk mendapatkan daya penglihatan gaib
dan menghilangkan sesuatu. Tapa Ngeluwang adalah tapa dengan dikubur di suatu
pekuburan atau tempat yang sangat sepi. Setelah seseorang selesai dari tapa
ini, biasanya keluar dari kubur maka akan melihat hal-hal yang mengerikan
(seperti arwah gentayangan, jin dlsb). Sebelum masuk kekubur, disarankan baca
mantra ini :
Niat ingsun Ngelowong, anutupi badan
kang bolong siro mara siro mati, kang ganggu maang jiwa insun, lebur kaya dene
banyu krana Allah Ta’ala.
Dalam melakoni puasa-puasa diatas, bagi
pemula sangatlah berat jika belum terbiasa. Oleh karena itu disini akan
dibekali dengan ilmu lambung karang. Ilmu ini berfungsi untuk menahan lapar dan
dahaga. Dengan kata lain ilmu ini dapat sangat membantu bagi oarang-orang yang
masih ragu-ragu dalam melakoni puasa-puasa diatas. Selain praktis dan mudah
dipelajari, sebenarnya ilmu lambung karang ini berbeda dengan ilmu-ilmu lain
yang kebanykan harus ditebus/dimahari dengan puasa. Selain itu syarat atau cara
mengamalkannyapun sangat mudah, yaitu :
a.
Mandi
keramas/jinabat untuk membersihkan diri dari segala macam kekotor.
b.
Menjaga hawa nafsu.
c.
Baca
mantra/doa lambung karang ini sebanyak 7 kali setelah shalat wajib 5 waktu,
yaitu :
Bismillahirrahamanirrahim
Cempla cempli gedhene
Wetengku saciplukan bajang
Gorokanku sak dami aking
Kapan ingsun nuruti budine
Aluamah kudu amangan wareg
Ngungakna mekkah madinah
Wareg tanpa mangan
Kapan ingsun nuruti budine
Aluamah kudu angombe
Ngungakna segara kidul
Wareg tanpa angombe
Laailahaillallah Muhammad Rasulullah
Selain melakoni puasa-puasa diatas
masyarakat kejawen juga melakukan puasa-puasa yang diajarkan oleh agama islam,
seperti puasa ramadhan, senin kamis puasa 3 hari pada saat bulan purnama, puasa
Nabi Daud AS dll. Inti dari semua lakon mereka tujuannya hanya satu yaitu
mendekatkan diri dengan Allah SWT agar diterima iman serta islam mereka. Salam
Ilmu Sejati,Puji Suci Marang Gusti Kawulo Tansah Ngabekti.
Meditasi Buddhis
Meditasi
Buddhis (Pali: bhavana) mengacu pada praktik meditasi yang terkait dengan agama
dan falsafah Buddha. Teknik meditasi inti telah dituliskan dalam teks-teks
Buddhis kuno dan telah disebarluaskan dan dikembangkan melalui hubungan guru-siswa.
Kaum Buddhis melakukan meditasi sebagai bagian dari jalan menuju Pencerahan dan
Nirwana.
Kata-kata
yang paling dekat untuk menyebut meditasi dalam bahasa klasik Buddhisme adalah
bhavana dan jhana/dhyana. Teknik meditasi Buddhis menjadi semakin populer di
dunia, dengan banyak kaum non-Buddhis melakukannya dengan berbagai alasan.
Meditasi Buddhis meliputi berbagai teknik meditasi yang bertujuan untuk
mengembangkan kesadaran, konsentrasi, kekuatan supra-duniawi, ketenangan, dan
wawasan.
Meditasi dalam tradisi Buddhis
Meskipun
ada beberapa praktik meditasi yang sama - seperti meditasi napas dan berbagai
memoar (anussati) - yang digunakan dalam aliran-aliran Buddhis, ada juga
keragaman yang signifikan. Dalam tradisi Theravada saja, ada lebih dari lima
puluh metode untuk mengembangkan kesadaran dan empat puluh metode untuk
mengembangkan konsentrasi, sementara dalam tradisi Tibetan ada ribuan meditasi
visualisasi. Kebanyakan panduan meditasi Buddhis klasik dan kontemporer
merupakan panduan yang spesifik-aliran. Hanya ada beberapa pengajar yang
mencoba untuk mensintesis, mengkristalisasi dan mengkategorikan praktik dari
berbagai tradisi Buddhis.
Tradisi
praktik Buddhis paling awal dicatat dalam Nikāya / Agamas, dan ditaati oleh
turunan Theravāda. Tradisi ini juga merupakan fokus dari aliran Buddhis lainnya
yang sekarang telah punah, dan telah dimasukkan ke derajat yang lebih tinggi
dan lebih kecil dalam tradisi Buddhis Tibet dan banyak tradisi Asia Timur
Mahayana.
Jenis-jenis meditasi
Kebanyakan
tradisi Buddhis mengakui bahwa jalan menuju Pencerahan memerlukan tiga jenis
pelatihan: kebajikan (sila); meditasi (samadhi); dan, kebijaksanaan (panna).
Oleh karena itu, kecakapan meditasi saja tidak cukup; itu hanyalah salah satu
bagian dari suatu perjalanan. Dengan kata lain, dalam Buddhisme, seiring dengan
tumbuhnya mental, pengembangan etika dan pemahaman yang bijak juga diperlukan
untuk pencapaian tujuan tertinggi.
Dalam
hal tradisi awal seperti yang ditemukan dalam Kanon Pali dan Agama yang luas,
meditasi dapat dikontekstualisasikan sebagai bagian dari Jalan Mulia Berunsur
Delapan, secara eksplisit dalam hal:
Kesadaran
Benar (samma sati), dicontohkan oleh Empat Landasan Kesadaran Buddha (lihat
Satipatthana Sutta).
Konsentrasi
Benar (samma samadhi), berpuncak pada serapan jhāna melalui pengembangan
meditatif samatha
Dan
secara implisit dalam hal:
Pandangan
Benar (samma ditthi), mewujudkan kebijaksanaan yang secara tradisional dicapai
melalui pengembangan meditatif passana yang didirikan dalam samatha.
Teks
klasik dalam literatur Pali menyebutkan bahwa pelajaran meditasi meliputi
Satipatthana Sutta (MN-10) dan Visuddhimagga Bagian ke II, Konsentrasi
(Samadhi).
Empat Dasar Kesadaran
Dalam
Satipatthana Sutta, Sang Buddha mengidentifikasi empat dasar kesadaran: tubuh,
perasaan, keadaan pikiran dan objek mental. Lebih jauh, ia menyebutkan
objek-objek berikut ini sebagai dasar untuk mengembangkan kesadaran meditatif :
Tubuh
(kāyā): Pernapasan (lihat Anapanasati Sutta), Postur, Pemahaman yang Jelas,
Refleksi atas Penolakan Tubuh, Refleksi Element-elemen Materiil, Kontemplasi
Kematian
Perasaan
(vedanā), apakah menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral
Pikiran
(cittā)
Isi
Mental (dhamma): Hambatan, Kelompok, Dasar Indra, Faktor-faktor Pencerahan, dan
Empat Kebenaran Mulia.
Meditasi,
pada pokok bahasan ini, mengembangkan wawasan.
Ketenangan dan Wawasan
Sang
Buddha dikatakan telah mengidentifikasi dua kualitas mental yang penting yang
muncul dari praktik meditasi yang sehat :
Ketentraman
atau ketenangan (Pali: samatha) yang memantapkan, menyusun, menyatukan dan
memusatkan pikiran, wawasan (Pali: vipassana) yang memungkinkan seseorang untuk
melihat, mengeksplorasi dan memahami pembentukan (fenomena yang terkondisi
berdasarkan pada lima kelompok).
Melalui
pengembangan meditatif ketenangan, seseorang mampu menekan rintangan yang
menghalangi; dan, dengan penekanan pada rintangan tersebut, melalui
pengembangan meditatif terhadap wawasan-lah seseorang memperoleh kebijaksanaan
yang membebaskan. Selain itu, Sang Buddha dikatakan telah memuji ketenangan dan
wawasan sebagai media untuk mencapai Nibbana (Pali, Sansekerta: Nirwana),
keadaan tidak terkondisi seperti dalam Kimsuka Tree Sutta, di mana Sang Buddha
memberikan kiasan yang rumit di mana ketenangan dan wawasan adalah sepasang
pembawa berita yang cepat yang membawa berita dari Nibbana melalui Jalan Mulia
Berunsur Delapan.
Dalam
Four Ways to Arahantship Sutta, Ven. Ananda melaporkan bahwa orang-orang
mencapai tingkat kesucian arahat menggunakan ketenangan dan wawasan melalui
salah satu dari tiga cara berikut :
Mereka
mengembangkan ketenangan dan kemudian wawasan (Pali: samatha - pubbangamam
vipassanam) mereka mengembangkan wawasan dan kemudian ketenangan (Pali:
vipassana - pubbangamam samatham).
Sedangkan
Nikaya mengidentifikasi bahwa mengejar vipassana dapat dilakukan sebelum
mengejar samatha, beragam praktik yang berorientasi vipassana tetap harus
didasarkan pada pencapaian stabilisasi konsentrasi akses (Pali: upacara samadhi).
mereka
mengembangkan ketenangan dan wawasan secara tandem (Pali: samatha cara -
vipassanam yuganaddham) seperti, misalnya, memperoleh jhana pertama, dan
kemudian melihat tiga tanda keberadaan dalam kelompok terkait, sebelum
melanjutkan ke jhana kedua.
Dalam
kanon Pali, Sang Buddha tidak pernah menyebutkan praktik meditasi samatha dan
vipassana secara terpisah; sebagai gantinya, samatha dan vipassana adalah dua
kualitas pikiran untuk dikembangkan melalui meditasi. Meskipun demikian,
beberapa praktik meditasi (seperti perenungan suatu objek kasina) mendukung
perkembangan samatha, beberapa praktik meditasi yang lainnya mendorong
perkembangan vipassana (seperti perenungan terhadap kelompok), sementara yang
lainnya (seperti perhatian pada pernapasan) secara klasik digunakan untuk
mengembangkan kedua kualitas mental tersebut.
Kitab Komentar Pali
Empat
puluh subjek meditasi Buddhaghosa dijelaskan dalam Visuddhimagga. Hampir
semuanya dijelaskan dalam teks-teks awal.
Buddhaghosa
menyarankan bahwa, untuk tujuan mengembangkan konsentrasi dan kesadaran,
seseorang harus menangkap satu di antara empat puluh subjek meditasi yang sesuai
dengan temperamennya sendiri dengan saran dari seorang teman baik (kalyana
mitta) yang berpengetahuan luas dalam berbagai subyek meditasi yang berbeda
(Bab III, § 28). Buddhaghosa kemudian menguraikan tentang empat puluh subjek
meditasi sebagai berikut (Bab III, § 104;. Chs. IV - XI) :
Sepuluh
kasina :
1.
Bumi.
2.
Air.
3.
Api.
4.
Udara.
5.
Biru.
6.
Kuning.
7.
Merah.
8.
Putih.
9.
Cahaya.
10. Ruang yang
terbatas.
Sepuluh
jenis kekotoran :
1.
Kembung.
2.
Memar.
3.
Nanah.
4.
Luka.
5.
Gigitan.
6.
yang
tercecer, yang teriris dan tercecer.
7.
Pendarahan.
8.
Penuh
cacing.
9.
Tengkorak.
Sepuluh
memoar :
1.
Buddha.
2.
Dhamma.
3.
Sangha.
4.
Kebajikan.
5.
Kemurahan
hati.
6.
Kebajikan
dewa.
7.
Kematian
(lihat Upajjhatthana Sutta).
8.
Tubuh.
9.
Nafas
(lihat anapanasati).
10. Kedamaian (lihat
Nibbana).
Empat
kediaman brahma :
1.
Metta.
2.
Karuna.
3.
Mudita.
4.
Upekkha.
Empat
keadaan non-material: ruang tak terbatas, persepsi tak terbatas, ketiadaan, dan
bukan persepsi maupun non-persepsi.
Satu
persepsi (atas penolakan dalam makanan) satu penentu (yaitu, empat elemen).
Ketika
seseorang membandingkan 40 subyek meditasi Buddhaghosa untuk pengembangan
konsentrasi dengan dasar kesadaran Buddha, tiga praktik yang sama dapat
ditemukan: meditasi napas, meditasi kekotoran (yang mirip dengan kontemplasi
kematian Sattipatthana Sutta, dan untuk perenungan penolakan tubuh), dan
kontemplasi dari empat elemen. Menurut kitab-kitab komentar Pali, meditasi
napas dapat menyebabkan seseorang sampai pada penyerapan jhāna keempat secara
penuh. Kontemplasi dari kekotoran dapat mengarah pada pencapaian jhana pertama,
dan kontemplasi dari empat elemen memuncak pada konsentrasi akses pra-jhana.
Dalam Theravāda Kontemporer
Yang
berpengaruh terutama dari abad kedua puluh dan seterusnya adalah pendekatan New
Burmese Method atau Vipassana School terhadap samatha dan vipassana yang
dikembangkan oleh Mingun Jetavana Sayadaw dan U Narada dan dipopulerkan oleh
Mahasi Sayadaw. Di sini, samatha dianggap sebagai komponen pilihan tetapi bukan
komponen pokok dari praktek vipassana mungkin terjadi tanpa samatha. Metode
Burma lainnya, berasal dari Ledi Sayadaw melalui U Ba Khin dan SN Goenka,
mengambil pendekatan yang sama. Tradisi Burma lainnya yang dipopulerkan di
barat, terutama dari Pa Auk Sayadaw, memegang penekanan pada samatha yang
termuat dalam tradisi kitab komentar dari Visuddhimagga.
Yang
juga berpengaruh adalah Thai Forest Tradition (Tradisi Hutan Thailand) yang
berasal dari Ajahn Mun dan dipopulerkan oleh Ajahn Chah, yang, sebaliknya,
menekankan pada ketidakterpisahan dari dua praktik tersebut, dan kebutuhan
pokok dari kedua praktik tersebut. Praktisi lain yang terkenal dalam tradisi
ini termasuk Ajahn Thate dan Ajahn Maha Bua, di antara yang lainnya.
Dalam Buddhisme Mahāyāna
Buddhisme
Mahāyāna mencakup berbagai aliran praktik, yang masing-masing memanfaatkan
berbagai sūtra Buddha, risalah filosofis, dan kitab-kitab komentar. Oleh karena
itu, setiap aliran memiliki metode meditasi sendiri dengan tujuan untuk
mengembangkan samadhi dan prajna, dengan tujuan akhirnya untuk mencapai
pencerahan. Namun, masing-masing aliran mempunyai penekanan, tata cara, dan
pandangan filosofisnya sendiri. Dalam buku klasiknya mengenai meditasi dari
berbagai tradisi Buddhis Cina, Charles Luk menulis, Dharma Buddha tidak berguna
jika tidak dimasukkan ke dalam praktik yang sebenarnya, karena jika kita tidak
memiliki pengalaman pribadi tersebut, akan menjadi asing bagi kita dan kita
tidak akan pernah sadar akan hal itu terlepas dari pembelajaran buku kita.
Yang
Mulia Nan Huaijin menggemakan sentimen serupa tentang pentingnya meditasi
dengan menyatakan, Penalaran intelektual hanyalah putaran lain dari kesadaran
keenam, sedangkan praktik meditasi adalah pintu masuk yang sesungguhnya ke
dalam Dharma.
Meditasi dalam Aliran Tanah Murni
Kesadaran Buddha Amitabha
Dalam
tradisi Tanah Murni agama Buddha, mengulangi nama Buddha Amitabha merupakan
bentuk dari Kesadaran atas Buddha (Skt. buddhānusmṛti) secara tradisional.
Istilah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Cina sebagai nianfo, yang secara
populer dikenal dalam bahasa Inggris. Praktik ini digambarkan sebagai
pemanggilan buddha ke dalam pikiran dengan mengulangi namanya, untuk
memungkinkan praktisi memusatkan perhatiannya pada buddha (samadhi). Hal ini
dapat dilakukan dengan bersuara maupun secara mental, dan dengan atau tanpa
menggunakan tasbih Buddha. Mereka yang mempraktikkan metode ini sering
berkomitmen pada repetisi dalam serangkaian bilangan tetap per hari, sering
kali dari 50.000 menjadi lebih dari 500.000.
Menurut
tradisi, patriark kedua dari aliran Tanah Murni, Shandao, dikatakan telah
mempraktikkannya siang dan malam tanpa henti, setiap kali memancarkan cahaya
dari mulutnya. Oleh karena itu, ia dianugerahi gelar Guru Besar Cahaya oleh
kaisar Dinasti Tang Gao Zong.
Selain
itu, dalam Buddhisme Cina ada praktik terkait yang disebut jalur ganda Chan dan
budidaya Tanah Murni, yang juga disebut jalur ganda kekosongan dan eksistensi.
Seperti
yang diajarkan oleh Yang Mulia Nan Huaijin, nama Buddha Amitabha dibaca
perlahan-lahan, dan pikiran dikosongkan setelah tiap-tiap pengulangan. Ketika
lamunan muncul, kalimat ini diulang kembali untuk membersihkannya. Dengan latihan
terus-menerus, pikiran mampu untuk tetap tenang dalam kekosongan, yang
berpuncak pada pencapaian samādhi.[19]
Dharani
Kelahiran Kembali Tanah Murni
Mengulangi
Dharani Kelahiran Kembali Tanah Murni adalah metode lain dalam Buddhisme Tanah
Murni. Serupa dengan praktik kesadaran dengan mengulang nama Buddha Amitabha,
dharani ini adalah metode lain dari meditasi dan pembacaan dalam Buddhisme
Tanah Murni. Pengulangan dharani ini dikatakan sangat populer di kalangan umat
Buddha tradisional Cina. Hal ini secara tradisional dicatat dalam bahasa
Sansekerta, dan dikatakan bahwa ketika pemuja berhasil mewujudkan kemanunggalan
pikiran dengan mengulangi suatu mantra, makna sebenarnya dan mendalam dari
mantra tersebut akan terungkap dengan jelas.
Metode visualisasi
Praktik
lain yang ditemukan dalam Buddhisme Tanah Murni adalah kontemplasi meditasi dan
visualisasi Buddha Amitabha, penerusnya Bodhisattva, dan Tanah Murni. Dasar hal
tersebut ditemukan dalam Amitāyurdhyāna Sūtra (“Amitabha Meditation Sūtra”), di
mana Buddha menjelaskan kepada Ratu Vaidehi, praktik tiga belas metode
visualisasi progresif, sesuai dengan pencapaian berbagai tingkat kelahiran
kembali dalam Tanah Murni.
Praktik
Visualisasi Amitabha merupakan praktik yang populer di kalangan sekte Buddha
esoterik, seperti Buddhisme Shingon Jepang.
Meditasi dalam aliran Zen
Merujuk Pada Sifat Pikiran
Pada
tradisi awal Buddhisme Chan/Zen, dikatakan bahwa tidak terdapat metode meditasi
formal. Sebaliknya, guru akan menggunakan berbagai metode didaktik untuk
mengacu pada sifat sejati pikiran, juga dikenal sebagai sifat-Buddha.
Metode
ini disebut sebagai Pikiran Dharma, dan dicontohkan dalam kisah Buddha
Sakyamuni yang mengangkat bunga secara diam-diam, dan Mahakasyapa tersenyum
karena ia mengerti.
Formula
tradisional dari hal tersebut adalah, Chan secara langsung menunjuk pikiran
manusia, untuk memungkinkan orang untuk melihat sifat sejati mereka dan menjadi
buddha.
Pada
era awal aliran Chan, tidak ada metode atau formula pasti untuk mengajarkan
meditasi, dan semua instruksinya adalah metode heuristik saja, oleh karena itu,
aliran Chan disebut Gerbang Tanpa Gerbang.
Merenungkan Kasus Meditasi
Dikatakan
secara tradisional bahwa ketika pikiran orang-orang dalam masyarakat menjadi
lebih rumit dan ketika mereka tidak dapat membuat kemajuan dengan begitu mudah,
para ahli aliran Chan dipaksa untuk mengubah metode mereka. Hal ini melibatkan
kata-kata dan frase, teriakan, auman, tawa, desahah, gerakan tubuh, atau
pukulan tongkat tertentu. Ini semua dimaksudkan untuk menyadarkan siswa pada
kebenaran esensial dari pikiran, dan yang kemudian disebut Gong'an, atau koan
dalam bahasa Jepang.
Frase
dan metode didaktik ini harus direnungkan, dan contoh dari perangkat tersebut
adalah ungkapan yang meningkatkan praktik kesadaran :
Siapa
yang menjadi sadar akan Sang Buddha ?.
Semua
guru menginstruksikan siswanya untuk menimbulkan perasaan keraguan yang lembut
setiap saat ketika berlatih, untuk melucuti pikiran dari melihat, mendengar,
merasakan, dan mengetahui, dan untuk memastikan peng-istirahat-an pikiran yang
terus menerus dan kondisi pikiran yang tidak terganggu.
Charles
Luk menjelaskan fungsi penting dari perenungan seperti dalam kasus meditasi
seperti ini dengan keraguan :
Karena
siswa tidak bisa menghentikan semua pikirannya dalam sekali waktu, dia
diajarkan untuk menggunakan perangkat racun-melawan-racun ini untuk mewujudkan
kemanunggalan pikiran, yang secara fundamental merupakan hal yang salah, tapi
akan hilang ketika tidak lagi digunakan, dan memberikan jalan untuk
kemanunggalan pikiran, yang merupakan prasyarat terwujudnya pikiran diri untuk
persepsi sifat-diri dan pencapaian Bodhi.
Meditasi dalam aliran Tiantai
Samatha vipassanā Tiantai
Di
Cina, telah secara tradisional dipercaya bahwa metode meditasi yang digunakan
oleh aliran Tiantai adalah yang paling sistematis dan komprehensif dari
semuanya. Selain dasar doktrinal dalam teks-teks Buddhis India, aliran Tiantai
juga menekankan penggunaan teks meditasinya sendiri yang menekankan
prinsip-prinsip samatha dan vipassanā. Dari teks-teks ini, Concise
Śamatha-vipaśyanā, Mahā - samatha - vipaśyanā , dan Six Subtle Dharma Gates
dari Ziyi adalah yang paling banyak dibaca di Cina. Rujun Wu (1993: p 1)
mengidentifikasi karya Mahā - samatha - vipaśyanā dari Zhiyi sebagai cikal
bakal teks meditasi dalam aliran Tiantai. Mengenai fungsi dari samatha dan
vipaśyanā dalam meditasi, Zhiyi menulis dalam karyanya Concise
Śamatha-vipaśyanā :
Pencapaian
Nirwana dapat diwujudkan dengan banyak metode yang sifat dasarnya tidak
melampaui praktik samatha dan vipassanā. Samatha adalah langkah pertama untuk
melepaskan semua ikatan dan vipassanā sangat penting untuk membasmi khayalan.
Samatha menyediakan pupuk untuk pelestarian pikiran mengetahui, dan vipassanā
adalah seni yang terampil dalam mempromosikan pemahaman spiritual. Samatha
adalah penyebab samādhi yang tak tertandingi, sementara vipassanā menghasilkan
kebijaksanaan.
Aliran
Tiantai juga menempatkan penekanan besar pada ānāpānasmṛti (anapanasati), atau
kesadarann atas pernapasan, sesuai dengan prinsip-prinsip samatha dan
vipassanā.
Zhiyi
mengklasifikasikan pernapasan menjadi empat kategori utama: terengah-engah,
pernapasan tidak tergesa-gesa, bernapas dalam-dalam dan tenang, dan keheningan
atau istirahat.
Zhiyi
menyatakan bahwa tiga jenis pernapasan pertama merupakan jenis pernapasan yang
tidak benar, sedangkan yang keempat adalah yang benar, dan bahwa pernapasan
harus mencapai keheningan dan istirahat.
Praktik Esoterik di Jepang
Salah
satu adaptasi oleh aliran Tendai Jepang (Bab Tiantai) adalah pengenalan praktik
esoteris (Mikkyo) ke dalam Buddhisme Tendai, yang kemudian dinamakan Taimitsu
oleh Ennin. Akhirnya, menurut doktrin Taimitsu Tendai, ritual esoterik dipertimbangkan
sama pentingnya dengan ajaran eksoteris dari Sutra Saddharma Pundarika. Oleh
karena itu, dengan mengucapkan mantra, mempertahankan mudra, atau melakukan
meditasi tertentu, seseorang dapat melihat bahwa pengalaman akal adalah ajaran
Buddha, memiliki iman bahwa seseorang secara inheren adalah makhluk
tercerahkan, dan seseorang dapat mencapai pencerahan dalam tubuh ini. Asal usul
Taimitsu ditemukan di Cina, mirip dengan keturunan yang Kukai temui dalam
kunjungannya ke China pada Dinasti Tang, dan siswa-siswa Saicho yang didorong
untuk belajar di bawah pengajaran Kukai.
Meditasi dalam Buddhisme Vajrayana
Tujuan
dari ajaran Mahamudra dan Dzogchen, masing-masing diajarkan oleh Kagyu dan
Nyingma garis keturunan Indo-Tibet atau Buddhisme Vajrayana, masing-masing,
adalah untuk membiasakan seseorang dengan sifat pikiran utama yang mendasari
semua eksistensi, Dharmakaya. Kemudian, dengan bermeditasi dalam persatuan
dengan Dharmakaya, seseorang secara bertahap melewati tiap-tiap Sepuluh Bhumi
sampai mencapai pembebasan dari Samsara dan karma.
Masa
awal praktik bersama dari aliran Nyingma dan Kagyu dalam Buddhisme Tibet
disebut Ngondro, yang melibatkan visualisasi, pembacaan mantra dan praktik
sadhana, dan banyak sujud.
Adopsi oleh non-Buddhis
Sudah
sejak lama orang telah berlatih meditasi, berdasarkan prinsip-prinsip meditasi
Buddhis, untuk efek manfaat sementara dan duniawi. Teknik meditasi Buddhis
semakin sering digunakan oleh psikolog dan psikiater untuk membantu meringankan
berbagai kondisi kesehatan seperti kecemasan dan depresi.
Dengan
demikian, kesadaran dan teknik meditasi Buddhis lainnya dianjurkan di Barat
oleh psikolog inovatif dan guru pakar meditasi Buddhis seperti Clive Sherlock,
Bunda Sayamagyi, SN Goenka, Jon Kabat-Zinn, Jack Kornfield, Joseph Goldstein,
Tara Brach, Alan Clements, dan Sharon Salzberg, yang telah banyak dikaitkan
dalam memainkan peran penting dalam mengintegrasikan aspek penyembuhan dari
praktik meditasi Buddhis dengan konsep kesadaran dan penyembuhan psikologis.
Makna
keadaan meditatif dalam teks-teks Buddhis, dalam beberapa hal, bebas dari
dogma, sehingga skema Buddha telah diadopsi oleh psikolog Barat yang mencoba
untuk menggambarkan fenomena meditasi secara umum. Namun, sangatlah umum untuk
mendapati Buddha menggambarkan kondisi meditatif yang melibatkan pencapaian
kekuatan magis (iddhi) sebagai kemampuan untuk mengembang-biakkan tubuh
seseorang menjadi banyak dan menjadi satu lagi, muncul dan menghilang sesuka
hati, melewati benda padat seolah-olah ruangan, bangkit dan tenggelam dalam
tanah seolah-olah dalam air, berjalan di atas air seolah-olah tanah, terbang
melalui langit, menyentuh apa pun pada jarak apapun (bahkan bulan atau
matahari), dan perjalanan ke dunia lain (seperti dunia Brahma) dengan atau
tanpa tubuh, antara lain,[33][34][35] dan untuk alasan ini seluruh tradisi
Buddhis mungkin tidak diadaptasi dalam konteks sekuler, kecuali kekuatan magis
ini dipandang sebagai representasi metafora dari keadaan internal yang kuat
bahwa deskripsi konseptual pun tidak dapat menjelaskannya.
Samatha
Samatha
(Pali), (Sanskerta śamatha) adalah praktik meditasi Buddhis (bhavana) mengenai penenangan
pikiran (citta) dan formasinya (sankhara).
Hal
ini dilakukan dengan berlatih meditasi fokus-tunggal yang pada umumnya
dilakukan melalui kesadaran pernapasan. Samatha umum ditemukan pada semua
tradisi Buddhis.
Istilah
Tibet untuk samatha adalah shyiné (Wylie: zhi-Gnas).
Menurut
Jamgon Kongtrul, wawasan dapat dikumpulkan melalui penafsiran etimologi samatha
dan shyiné:
Istilah
Tibet (untuk samatha adalah) shyiné [shi-ne] (shi-Gnas) dan Sanskerta adalah
Shamatha. Dalam istilah bahasa Tibet, suku kata pertama, shi, dan dalam istilah
bahasa Sansekerta, dua suku kata pertama, shama, mengacu pada kedamaian dan keamanan.
Arti kedamaian atau keamanan dalam konteks ini adalah bahwa biasanya pikiran
kita seperti gemuruh topan.
Gemuruh
tersebut adalah kecemasan pikiran. Pikiran kita pada dasarnya merupakan suatu
perhatian obsesif terhadap masa lalu, konseptualisasi tentang masa kini, dan
terutama perhatian yang obsesif terhadap masa depan.
Ini
berarti bahwa biasanya pikiran kita tidak mengalami saat sekarang sama sekali.
Bidang
semantik dari shi dan shama adalah keamanan, perlambatan atau pendinginan,
istiraha".
Bidang
semantik né adalah untuk mematuhi atau tetap dan hal ini serumpun atau setara
dengan suku kata akhir istilah dalam bahasa Sanskerta, tha.
Dalam
kanon Pali, jalan praktik Buddha disederhanakan menjadi tiga divisi, yaitu
moralitas (sila), konsentrasi (samadhi) dan kebijaksanaan (panna).
Kesadaran
pernapasan mengarahkan praktisinya ke dalam konsentrasi (samadhi), area
pengalaman di mana indra menjadi tenang dan pikiran berdiam dalam konsentrasi
yang tidak terganggu pada objek (yaitu, napas), jika tidak dalam penyerapan
meditatif (Dhyana).
Ini
adalah kondisi untuk wawasan (vipassana) dan selanjutnya pengembangan
kebijaksanaan yang membebaskan (panna).
Dalam
Buddhisme, moralitas (sila) dipahami sebagai dasar yang stabil untuk pencapaian
(samatha). Samatha dan vipassana merupakan bagian tak terpisahkan dari Jalan
Mulia Berunsur Delapan (Noble Eightfold Path) seperti yang dijelaskan oleh Sang
Buddha dalam ajaran intinya (the Four Noble Truths).
Empat
Kebenaran Mulia, The Way to the End of Suffering, meliputi sila, samadhi dan
panna, merupakan jalan yang mengundang praktisi untuk hidup dengan sila,
samadhi dan panna.
Samatha
(ketenangan) dianggap sebagai prasyarat konsentrasi. Dalam hal praktik
meditatif, samatha mengacu pada teknik yang membantu dalam menenangkan pikiran.
Salah satu teknik utama yang diajarkan oleh Sang Buddha dalam hal ini adalah
kesadaran pernapasan (Pali: anapanasati). Praktik ini juga digunakan untuk
memusatkan pikiran. Dengan demikian, meditasi samatha dan meditasi konsentrasi
sering dianggap identik. Tujuannya adalah pendirian perhatian seperti yang
digunakan dalam hubungannya dengan praktik wawasan (P: vipassanā; S:
vipaśyanā), penyelidikan sifat benda, seperti yang ditemui dalam tradisi
dzogchen, sehingga menghasilkan kebijaksanaan (P: panna, S:prajna). Samatha
umumnya dilakukan sebagai awal untuk dan dalam hubungannya dengan praktik
kebijaksanaan.
Melalui
pengembangan meditatif dari kediaman yang tenang, seseorang dapat menekan
munculnya lima rintangan. Dengan penekanan terhadap rintangan-rintangan ini,
pengembangan meditatif wawasan menghasilkan kebijaksanaan yang membebaskan.
Dalam
tradisi Theravada, terdapat empat puluh objek meditasi. Kesadaran (sati)
pernapasan (Anapana: anapanasati; S. ānāpānasmṛti) adalah praktik samatha yang
paling umum. Samatha dapat mencakup praktik-praktik samadhi lainnya juga.
Beberapa
praktik meditasi seperti perenungan objek kasina mendukung pengembangan
samatha, praktik lainnya seperti kontemplasi kelompok yang kondusif untuk pengembangan
vipassana, sementara praktik yang lainnya seperti perhatian pada pernapasan
secara klasik digunakan untuk mengembangkan kedua kualitas mental tersebut.
Sang
Buddha dikatakan telah mengidentifikasi dua kualitas mental yang penting yang
muncul dari praktik meditasi yang sehat :
Samatha,
kediaman yang tenang, yang memantapkan, menyusun, menyatukan dan memusatkan
pikiran, Vipassana, wawasan, yang memungkinkan seseorang untuk melihat,
mengeksplorasi dan melihat formasi (fenomena yang terkondisi berdasarkan lima
kelompok).
Sang
Buddha dikatakan telah memuji ketenangan dan wawasan sebagai sarana untuk
mencapai keadaan nibbana (Pali; Skt.: Nirwana.) yang tidak terkondisi. Sebagai
contoh, dalam Kimsuka Tree Sutta, Sang Buddha memberikan kiasan yang rumit di
mana ketenangan dan wawasan adalah sepasang pembawa berita yang cepat yang
menyampaikan pesan dari nibbana melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Dalam
Four Ways to Arahantship Sutta, Ven. Ānanda melaporkan bahwa orang-orang mencapai
tingkat kesucian arahat menggunakan kekekalan dan wawasan yang tenang melalui
salah satu dari tiga cara berikut :
Mereka
mengembangkan kediaman yang tenang dan kemudian wawasan (Pali:
samatha-pubbangamam vipassanam)
Mereka
mengembangkan wawasan dan kemudian kediaman yang tenang (Pali:
vipassana-pubbangamam samatham).
Mereka
mengembangkan kediaman yang tenang dan wawasan secara tandem (Pali:
samatha-vipassanam yuganaddham), misalnya, memperoleh jhana pertama dan
kemudian melihat kelompok terkait tiga tanda keberadaan sebelum melanjutkan ke
jhana kedua.
Dalam
kanon Pali, Sang Buddha tidak pernah menyebutkan praktik meditasi samatha dan
vipassana secara terpisah; sebagai gantinya, samatha dan vipassana adalah dua
"kualitas pikiran untuk dikembangkan melalui meditasi. Seperti yang
Bhikkhu Thanissaro tulis,
Ketika
[sutta Pali] menggambarkan sang Buddha yang sedang memberitahu siswa-siswanya
untuk bermeditasi, mereka tidak pernah mengutipnya dengan mengatakan
'lakukanlah vipassana,' tetapi selalu ‘lakukanlah jhana'. Dan mereka tidak
pernah menyamakan kata vipassana dengan teknik kesadaran. Dalam beberapa kasus
di mana mereka menyebutkan vipassana, mereka hampir selalu memasangkannya
dengan samatha - bukan sebagai dua metode alternatif, tetapi sebagai dua
kualitas pikiran yang seseorang mungkin 'peroleh' atau 'akan diberkahi dengan’,
dan hal itu harus dikembangkan secara bersama-sama.
Demikian
pula, mengacu pada MN 151, ay. 13-19, dan AN IV, 125-27, Ajahn Brahm (yang,
seperti Bhikkhu Thanissaro, dalam Tradisi Hutan Thailand) menulis bahwa :
Beberapa
tradisi berbicara tentang dua jenis meditasi, meditasi wawasan (vipassana) dan
meditasi ketenangan (samatha). Bahkan keduanya adalah aspek tak terpisahkan
dari proses yang sama. Ketenangan adalah kebahagiaan yang damai yang lahir dari
meditasi; wawasan adalah pemahaman yang jelas yang lahir dari meditasi yang
sama. Ketenangan mengarah pada wawasan dan wawasan menyebabkan ketenangan.
Interpretasi
kontemporer Theravada.
Dalam
Theravada, ada berbagai pemahaman mengenai samatha.
Di
Sri Lanka, samatha mencakup semua meditasi yang diarahkan pada objek statis.
Di
Burma, samatha terdiri dari semua praktik konsentrasi, yang bertujuan untuk
menenangkan pikiran. Selama dekade terakhir ini, samatha dalam tradisi Burma
telah dipopulerkan di barat oleh Pa Auk Sayadaw. Tradisi ini menjunjung tinggi
penekanan pada samatha yang termuat dalam tradisi kitab komentar Visuddhimagga.
Pa Auk Sayadaw menyajikan tradisi ini melalui retret yang luas di seluruh dunia
hingga masa pensiunnya pada tahun 2012. Pada tahun 2005, Tina Rasmussen dan
Stephen Snyder menyelesaikan seluruh jalur samatha yang rinci di bawah
pengawasan langsung Pa Auk Sayadaw. Mereka kemudian merupakan orang awam Barat
pertama yang ia ijinkan untuk mengajar. Snyder dan Rasmussen, dalam retret
mereka dan dalam buku mereka, Practicing The Jhanas: Traditional Concentration
Meditation As Presented By The Venerable Pa Auk Sayadaw, menyajikan ajaran
tradisional yang akurat dalam konteks yang dapat diakses praktisi awam Barat.
Tradisi
Hutan Thailand yang berasal dari Ajahn Mun dan yang dipopulerkan oleh Ajahn
Chah menekankan ketidakterpisahan dari samatha dan vipassana, dan pentingnya
kedua praktik tersebut.
Tradisi Indo-Tibet
Sutra Mahayana
Sejumlah
sutra Mahayana menyebut samatha, biasanya dalam hubungannya dengan vipassanā.
Salah
satu yang paling menonjol, the Cloud of Jewels Sutra (Ārya Ratnamegha Sutra,
Tib. 'Phags-pa dkon-mchog sprin-gyi mdo) membagi semua bentuk meditasi ke dalam
śamatha atau vipassanā, mendefinisikan samatha sebagai "kesadaran
tujuan-tunggal" dan vipassanā sebagai "melihat ke dalam hakikat
segala sesuatu.
The
Sūtra Unlocking Mistery (Samdhinirmocana Sūtra), sebuah sutra Yogacara, juga
sering digunakan sebagai sumber dalam ajaran-ajaran tentang samatha. The
Samādhirāja Sūtra sering dikutip sebagai sumber penting dalam instruksi samatha
oleh tradisi Kagyu, terutama melalui komentar Gampopa, meskipun ilmuwan Andrew
Skilton, yang telah mempelajari Samādhirāja Sūtra secara mendalam, melaporkan
bahwa Sutra itu sendiri "tidak mengandung eksposisi signifikan baik pada
praktik meditasi ataupun pada kondisi pikiran.
Dhyana
Samatha
membantu aspek konsentrasi yang benar dari jalan mulia berunsur delapan. Hasil
keberhasilan samatha juga kadang-kadang dicirikan sebagai penyerapan meditasi
(samadhi, ting nge 'dzin) dan meditasi seimbang (Samahita, mnyam-bzhag), dan
kebebasan dari lima penghalang (āvaraṇa, sgrib-pa). Hal ini juga mengakibatkan
siddhis dari indra ke-enam (abhijñā, mgon shes) dan emanasi ajaib (nirmana,
sprul pa).
Faktor-faktor dalam samatha
Sembilan kediaman mental
Dalam
formulasi yang berasal dari Asanga (4 Masehi), praktik samatha dikatakan untuk
peningkatan melalui sembilan "kediaman mental" atau Sembilan tahapan
melatih pikiran (Sans. navākārā cittasthiti, Tib. Sem Gnas dgu), yang mengarah
ke samatha yang benar (setara dengan "konsentrasi akses" dalam sistem
Theravada), dan dari sana ke keadaan konsentrasi meditasi yang disebut dhyana
pertama (Pali: jhāna; Tib. Bsam gtan) yang sering dikatakan sebagai keadaan
ketenangan atau kebahagiaan.[18][19] Asanga melukiskan sembilan kediaman mental
dalam Abhidharmasamuccaya-nya dan dalam bab Śrāvakabhūmi dari
Yogācārabhūmi-sastra-nya. Hal ini juga ditemukan dalam Mahayanasutralankara
dari Maitreyanātha.
Sembilan
Kediaman Mental (navākārā cittasthiti, sem-gnas dgu) tersebut adalah :
Penempatan
pikiran (S. cittasthāpana, Tib sem
'jog-pa) terjadi ketika praktisi mampu menempatkan perhatiannya pada objek
meditasi, tetapi tidak dapat mempertahankan perhatiannya tersebut untuk waktu
yang lama. Gangguan, kebodohan pikiran dan rintangan lainnya merupakan hal yang
umum terjadi.
Perhatian
yang berkelanjutan (S. samsthāpana, Tib rgyun-du'jog-pa) terjadi ketika praktisi
mengalami saat-saat perhatian yang terus-menerus pada objek sebelum akhirnya
terganggu. Menurut B Alan Wallace, ini adalah ketika Anda bisa mempertahankan
perhatian Anda pada objek meditasi selama sekitar satu menit.
Perhatian
yang diulang (S. avasthāpana, Tib slan-te 'jog-pa) adalah ketika perhatian
praktisi terpaku pada objek selama sebagian besar sesi latihan dan dia mampu
segera menyadari ketika dia telah kehilangan pegangan mentalnya pada objek dan
mampu mengembalikan perhatiannya dengan cepat. Sakyong Mipham Rinpoche
menunjukkan bahwa kemampuan untuk mempertahankan perhatian untuk 108 tarikan
napas adalah tolak ukur yang baik ketika kita telah mencapai tahap ini.
Perhatian
yang Saksama (S. upasthāpana, Tib nye-bar
'jog-pa) terjadi ketika praktisi mampu mempertahankan perhatiannya sepanjang
seluruh sesi meditasi (satu jam atau lebih) tanpa kehilangan pegangan mentalnya
pada objek meditasi sama sekali. Dalam tahap ini, praktisi mencapai kekuatan
kesadaran. Namun demikian, tahap ini masih mengandung bentuk halus kesenangan
dan kebodohan atau kelemahan.
Perhatian
yang dijinakkan (S. damana, Tib dul-bar
byed-pa), pada tahap ini praktisi mencapai ketenangan dalam pikiran, tetapi
harus mewaspadai terhadap bentuk-bentuk halus dari kelemahan atau kesuraman,
keadaan pikiran yang damai yang bisa rancu dengan kediaman yang tenang. Dengan
berfokus pada manfaat masa depan dari mendapatkan Shamatha, praktisi dapat
mengangkat (gzengs-bstod) pikirannya dan menjadi lebih fokus dan jelas.
Perhatian
yang ditenangkan (S. Samana, Tib zhi-bar
byed-pa) adalah tahap di mana kebodohan mental atau kelalaian yang halus tidak
lagi menjadi kesulitan yang besar, tapi sekarang praktisi rawan terhadap
kesenangan halus yang timbul di ujung perhatian meditatif. Menurut B. Alan
Wallace tahap ini hanya akan tercapai setelah ribuan jam pelatihan yang ketat.
Perhatian
yang sepenuhnya ditenangkan (S. vyupaśamana, Tib nye-bar-bar zhi byed-pa), meskipun
praktisi mungkin masih mengalami kegembiraan atau kesuraman yang halus, hal
tersebut jarang terjadi dan ia dapat dengan mudah mengenali dan menenangkannya.
Perhatian
fokus-tunggal (S. ekotīkarana, Tib Rtse-gcig-tu byed-pa) dalam tahap ini
praktisi dapat mencapai tingkat konsentrasi yang tinggi dengan hanya sedikit
usaha dan tanpa terganggu bahkan oleh kelemahan atau kegembiraan halus selama
seluruh sesi meditasi.
Keseimbangan
Pikiran (S. samādhāna, Tib Mnyam-par 'jog-pa) meditator sekarang mudah mencapai
konsentrasi yang diserap (ting-nge-'dzin, S. samadhi) dan bisa
mempertahankannya selama sekitar empat jam tanpa gangguan apapun.
(10.
samatha, Tib, shyiné- puncaknya, kadang-kadang disebut sebagai tahap kesepuluh)
Lima
kesalahan dan delapan penangkal
Tradisi
tekstual Buddhisme Tibet mengidentifikasi lima kesalahan dan delapan penangkal
dalam praktik meditasi samatha. Lima kesalahan mengidentifikasi hambatan dalam
praktik meditasi, dan delapan penangkal diterapkan untuk mengatasi lima
kesalahan tersebut. Formulasi ini berasal dari Madhyānta-vibhāga dari
Maitreyanātha dan diuraikan dalam teks-teks lanjutan, seperti dalam Stages of
Meditation (Bhāvanākrama) oleh Kamalaśīla.
Lima kesalahan
Untuk
berlatih samatha, seseorang harus memilih salah satu objek pengamatan
(ālambana, dmigs-pa). Maka seseorang harus mengatasi lima kesalahan (ādīnava,
Nyes-dmigs) berikut :
1.
Kemalasan
(kausīdya, le-lo).
2.
Lupa
instruksi (avavādasammosa, gdams-ngag brjed-pa).
3.
Kelemahan
(laya, bying-ba) dan kegembiraan (auddhatya, rgod-pa).
4.
Kelemahan
mungkin dapat berbentuk kasar (audārika, kain-pa) atau halus (suksma, phra-mo).
Kelesuan (styāna, rmugs-pa) sering juga hadir, namun dikatakan kurang umum.
5.
Non-terapan
(anabhisamskāra, 'du mi-byed-pa) terlalu diterapkan (abhisamskāra, 'du byed-pa)
Delapan
penangkal
Berikut
ini delapan penangkal (pratipakṣa, gnyen-po) atau terapam (abhisamskāra,
'du-byed pa) yang dapat diterapkan untuk mengatasi lima kesalahan tersebut :
Terhadap
kemalasan :
1.
Keyakinan
(Sraddha, ayah-pa).
2.
Aspirasi
(chanda, 'dun-pa).
3.
Tenaga
(vyayama, rtsol-ba).
4.
Kelenturan
(praśrabdhi, shin-sbyangs), terhadap lupa terhadap instruksi.
5.
Kesadaran
diri (smrti, dran-pa) terhadap kelemahan dan kegembiraan.
6.
Kesadaran
(samprajaña, Shes-bzhin), terhadap non-terapan.
7.
Penerapan
(abhisaṃskāra, 'du byed-pa), terhadap terlalu banyak diterapkan.
8.
Non-terapan
(anabhisaṃskāra, 'du mi-byed-pa)
Enam
Kekuatan
Enam
kekuatan (bala, stobs) juga diperlukan untuk samatha :
1.
Mendengar
(śruta, thos-pa)
2.
Berpikir
(cinta, bsam-pa)
3.
Kesadaran
diri (smrti, dran-pa)
4.
Kesadaran
(samprajaña, Shes-bzhin)
5.
Usaha
(virya, brtson-'grus)
6.
Keakraban
(paricaya, yong-su 'dris-pa)
Empat
metode keterlibatan mental
Empat
motode keterlibatan mental (manaskāra, yid-la byed-pa) yang dikatakan mungkin
untuk dilakukan adalah :
1.
Keterlibatan
paksa (balavāhana, sgrim-ste 'jug-pa)
2.
Keterlibatan
yang terganggu (sacchidravāhana, chad-cing 'jug-pa)
3.
Keterlibatan
yang tidak terganggu (niśchidravāhana, med-par 'jug-pa)
4.
Keterlibatan
spontan (anābhogavāhana, lhun-grub-tu 'jug-pa)
Mahamudra
dan dzogchen Samatha dipahami secara agak berbeda dalam tradisi Mahamudra
seperti yang dipraktikkan dalam garis keturunan Kagyu.
Seperti
yang Traleg Kyabgon Rinpoche jelaskan. Dalam praktik meditasi ketenangan
Mahamudra ... kita memperlakukan semua pikiran sebagai hal yang sama untuk
mendapatkan jarak dan obyektifitas yang cukup dari kondisi mental kita saat
ini, yang akan memungkinkan kita untuk masuk secara alami ke dalam keadaan
ketenangan tanpa usaha atau rencana .
Agar
pikiran diam, kita perlu untuk menangguhkan pertimbangan nilai yang kita
terapkan dalam aktivitas mental kita adalah penting bahwa kita tidak mencoba
untuk menciptakan keadaan tenang tetapi mengijinkan pikiran untuk masuk ke
dalam ketenangan secara alami. Ini merupakan gagasan penting dalam tradisi
Mahamudra, yaitu mengenai tidak melakukan apa-apa. Kita tidak melakukan mediasi
ketenangan, kita membiarkan ketenangan muncul dengan sendirinya, dan akan
melakukannya hanya jika kita berhenti memikirkan keadaan meditasi sebagai hal
yang perlu kita lakukan secara aktif.
Dengan
kata lain, menangkap diri Anda di tengah gangguan adalah ujian sejati dalam
meditasi ketenangan, karena yang penting adalah bukan kemampuan untuk mencegah
timbulnya pikiran atau emosi tetapi kemampuan untuk menangkap diri kita dalam
keadaan mental atau emosional tertentu. Ini adalah inti dari meditasi
ketenangan [dalam konteks Mahamudra.
Gaya
meditasi Mahamudra tidak mendorong kita menuju berbagai tingkat konsentrasi
meditasi tradisional seperti yang dijelaskan dalam panduan mediasi eksoteris..
Dari
sudut pandang Mahamudra, kita tidak boleh menginginkan keseimbangan meditasi
atau memiliki keengganan untuk pikiran diskursif dan emosi yang saling
bertentangan tetapi untuk melihat kedua keadaan tersebut dengan tenang. Sekali
lagi, poin pentingnya adalah bukan apakah meditasi yang seimbang telah hadir
tapi apakah kita mampu mempertahankan kesadaran keadaan mental kita. Jika
pikiran-pikiran yang mengganggu benar-benar timbul, karena hal tersebut pasti
akan muncul, kita hanya perlu mengenali pikiran-pikiran dan emosi tersebut
sebagai fenomena sementara.
Bagi
Kagyupa, dalam konteks Mahamudra, samatha melalui perhatian pada pernapasan
dianggap sebagai cara yang ideal bagi meditator untuk melakukan transisi dalam
mengambil pikiran itu sendiri sebagai objek meditasi dan menghasilkan vipassanā
atas dasar tersebut.
Yang
cukup mirip adalah pendekatan samatha yang ditemukan dalam semde dzogchen
(Sansekerta: mahāsandhi cittavarga). Dalam sistem semde, samatha merupakan yang
pertama dari empat yoga (Tib. naljor, Wylie: rnal-'byor), yang lainnya adalah
vipassanā (Wylie: lhag-mthong), Non-dualitas (advaya, Tib. nyime, Wylie:
gnyis-med), dan kehadiran spontan (anābogha atau nirābogha, Tib. lhundrub, Wylie:
lhun-grub).
Ini
merupakan paralel dari empat yoga dalam Mahamudra.
Pada
Juni 1996, Ajahn Amaro mendirikan Biara Abhayagiri di Redwood Valley, California,
di mana ia adalah kepala biara bersama dengan Ajahn Pasanno hingga Juli 2010.
Ajahn
Amaro kembali ke Amaravati pada bulan Juli 2010 dan sebagai pelajar lama dalam
tradisi Theravada Hutan Thailand dari Ajahn Chah, ia juga telah melatih
pendekatan samatha semde dzogchen di bawah Tsoknyi Rinpoche. Ia menemukan
kesamaan dalam pendekatan dari dua tradisi tersebut terhadap samatha.
Hubungan dengan vipassanā
Dzogchen
Pönlop Rinpoche dengan jelas menggambarkan grafik hubungan perkembangan praktik
samatha dan vipassanā:
Bagaimana
kedua aspek meditasi tersebut dipraktikkan adalah ketika seseorang mulai dengan
praktik shamatha; atas dasar itu, maka ada kemungkinan untuk melatih vipassana
atau lhagthong. Melalui praktik vipassana yang berbasis dan dijalankan di
tengah-tengah shamatha, seseorang pada akhirnya berlatih penyatuan / yuganaddha
dari shamatha dan vipassana. Penyatuan tersebut mengarah kepada pengalaman yang
sangat jelas dan langsung dari sifat segala sesuatu. Hal ini membawa seseorang
sangat dekat dengan apa yang disebut dengan kebenaran mutlak.
Vipassana
Vipassana
atau vipassanā (bahasa Pali) (Sanskerta, विपश्यना; China, Guan; Tibet, lhaktong)
dalam tradisi agama Buddha berarti wawasan terhadap sifat sejati dari realitas.
Vipassana
adalah kata berbahasa Pali dari awalan Sansekerta vi dan akar kata kerja pas.
Kata ini sering diterjemahkan sebagai pemahaman atau penglihatan yang jernih; Vi
dalam bahasa Indo-Arya setara dengan bahasa Latin dis.
Kata
vi pada kata vipassanā kemungkinan dapat berarti untuk melihat ke dalam,
melihat melalui atau untuk melihat 'dengan cara yang khusus.
Atau,
kata vi dapat berfungsi sebagai penguat, dan dengan demikian vipassanā mungkin
berarti melihat secara mendalam.
Sebuah
sinonim untuk Vipassana adalah paccakkha (Pali; Sansekerta: pratyakṣa), di
depan mata, yang mengacu pada persepsi pengalaman langsung. Dengan demikian,
jenis penglihatan yang dilambangkan dengan vipassanā merupakan bagian dari
persepsi langsung, sebagai lawan dari pengetahuan yang berasal dari penalaran
atau argumen.
Dalam
bahasa Tibet, vipashyana adalah lhagthong (wylie: lhag mthong). Istilah lhag
berarti lebih tinggi, superior, lebih besar; istilah thong yaitu pandangan atau
untuk melihat.
Jadi
bersama-sama, lhagthong dapat disamakan dalam bahasa Inggris sebagai superior seeing
(penglihatan superior), great vision (pandangan besar) atau supreme wisdom
(kebijaksanaan tertinggi).
Hal
ini dapat ditafsirkan sebagai superior manner of seeing (cara melihat yang
unggul), dan juga sebagai melihat ke hal yang bersifat penting.
Sifat
yang dimaksud di sini yaitu kejelasan dan kejernihan pikiran.
Henepola
Gunaratana mendefinisikan Vipassana sebagai :
Melihat
ke dalam sesuatu dengan kejelasan dan ketepatan, melihat setiap komponen
sebagai hal yang berbeda dan terpisah, dan menusuk semua jalan masuk guna
melihat kenyataan yang paling mendasar dari hal hal tersebut.
Asal-Usul
Dalam
sutta Pitaka istilah vipassanā jarang disebutkan :
Jika
Anda melihat langsung pada wacana Pali sumber paling awal untuk pengetahuan
kita tentang ajaran Buddha.
Anda
akan menemukan bahwa meskipun mereka memang menggunakan kata samatha yang
berarti ketenangan, dan vipassanā yang berarti penglihatan jernih, mereka
sebaliknya tidak mengkonfirmasi satupun terhadap penerimaan kebijaksanaan
tentang istilah-istilah ini. Hanya terkadang mereka memang menggunakan kata
vipassanā kontras dengan seringnya mereka menggunakan kata jhana. Ketika mereka
menggambarkan perintah Buddha kepada murid-muridnya agar melaksanakan meditasi,
mereka tidak pernah mengutip bahwa Sang Buddha berkata pergilah lakukan
vipassanā, tetapi selalu pergilah lakukan jhana. Dan mereka tidak pernah
menyamakan kata vipassanā dengan teknik perhatian lainnya.
Menurut
Gombrich, perbedaan antara vipassanā dan samatha tidak berasal dari sutta,
tetapi dari interpretasi terhadap sutta. Menurut Henepola Gunaratana:
Sumber
klasik untuk perbedaan antara dua kendaraan ketenangan dan wawasan adalah
Visuddhimagga.
Sutta
mengandung jejak perdebatan kuno tentang penafsiran ajaran, serta klasifikasi
dan hierarki awal. Di luar perdebatan ini dikembangkan gagasan yang melahirkan
wawasan yang cukup untuk mencapai pembebasan, dengan melahirkan wawasan tersendiri
pada Tiga tanda keberadaan (Tilakkhana), yaitu dukkha, anatta dan anicca. [6]
Hal ini bertentangan dengan Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Mulia Beruas
Delapan, di mana jalan Buddha dimulai dengan wawasan, yang akan diikuti oleh
praktik untuk mengolah pikiran dan mencapai Nirvana.
Sthaviravada
menekankan wawasan-ilham:
Dalam
Sthaviravada ....... kemajuan dalam pemahaman datang sekaligus, 'wawasan'
(abhisamaya) tidak datang 'bertahap' (berturut-turut - anapurva).
Mahasanghika
memiliki doktrin ekaksana-citt, yang dengannya seorang Buddha mengetahui segala
sesuatu dalam satu pemikiran-instan.
Penekanan
pada wawasan juga dapat terlihat dalam tradisi Mahayana, yang menekankan prajna
:
Hal
yang menjadi induk dari suatu korpus besar awal pustaka Mahayana,
Prajnaparamita, menunjukkan bahwa sampai batas tertentu sejarawan mungkin
mengekstrapolasi tren untuk memuji wawasan, prajna, dengan mengorbankan
penghilangan nafsu, viraga, yaitu pengendalian emosi.
Meskipun
Theravada dan Mahayana umumnya dipahami sebagai aliran yang berbeda dari
Buddhisme, praktiknya juga mungkin mencerminkan penekanan pada wawasan sebagai
sebutan yang serupa:
Dalam
praktik dan pemahaman Zen sebenarnya sangat dekat dengan Tradisi Theravada
Hutan meskipun bahasa dan ajaran-ajaran yang dimilikinya sangat dipengaruhi
oleh Taoisme dan Konfusianisme.
Penekanan
pada wawasan juga dapat dilihat pada penekanan dalam Chan mengenai wawasan
ilham, meskipun pada tradisi Chan wawasan ini harus diikuti oleh pengolahan
bertahap.
Meditasi
vipassanā berbeda dalam tradisi Buddhis modern dan dalam beberapa bentuk
nonsektarian. Ini mencakup teknik meditasi apa pun yang memupuk wawasan
termasuk kontemplasi, introspeksi, observasi sensasi tubuh, meditasi analitik,
dan pengamatan tentang pengalaman hidup.
Dalam
konteks Theravada, wawasan ini mendalami tiga tanda keberadaan :
1.
Ketidakkekalan.
2.
Ketidakpuasan
dari setiap hal yang ada.
3.
Tanpa-diri.
Dalam
konteks Mahayana, wawasan ke dalam ini umumnya digambarkan sebagai sunyata,
dharmata, ketidakterpisahan antara penampakan dan kekosongan (doktrin dua
kebenaran), kejelasan dan kekosongan, atau kebahagiaan dan kekosongan.
Vipassana
umumnya merujuk pada meditasi vipassanā, di mana satipatthana, empat landasan
kewaspadaan atau anapanasati, "pernapasan secara sadar," digunakan
untuk menjadi sadar akan ketidakkekalan dari segala sesuatu yang ada. Vipassana
umumnya digunakan sebagai salah satu dari dua kutub untuk kategorisasi jenis
praktik Buddhis; yang lainnya adalah samatha.
Samatha
adalah meditasi fokus, menenteramkan, dan menenangkan yang sudah dalam banyak
tradisi di dunia, terutama yoga. Menurut ortodoksi Theravada kontemporer,
samatha digunakan sebagai persiapan untuk vipassana, menenangkan pikiran dan
memperkuat konsentrasi untuk memungkinkan terwujudnya wawasan, yang mengarah ke
pembebasan.
Anapanasati
Anapanasati
(Pali; Sanskerta: ānāpānasmṛti; Cina: Pinyin: ānnàbānnà; Sinhala) yang berarti
kesadaran pada pernafasan (sati berarti perhatian; anapana mengacu pada masuk
dan keluarnya napas), adalah suatu bentuk meditasi Buddhis yang umum dalam
Buddhisme Tibet, Zen, Tiantai, dan Theravada, serta program-program berbasis
kesadaran di Barat.
Menurut
tradisi, anapanasati awalnya diajarkan oleh Buddha dalam beberapa sutra (Palli:
sutta), termasuk Sutta Anapanasati. Anapanasati berarti merasakan sensasi yang
disebabkan oleh gerakan nafas dalam tubuh, seperti yang dipraktikkan dalam konteks
kesadaran.
Metode
tradisional yang diberikan oleh Buddha dalam Sutta Satipatthana adalah pergi ke
hutan dan duduk di bawah pohon dan kemudian sekadar mengamati nafas; jika nafas
panjang, maka mengamati bahwa nafas panjang, jika nafas pendek, maka mengamati
bahwa nafas pendek.
Selagi
menghirup dan menghembuskan napas, pemeditasi mempraktikkan :
melatih
pikiran untuk menjadi peka terhadap satu atau lebih dari: seluruh tubuh,
gairah, kesenangan, pikiran itu sendiri, dan proses mental
melatih
pikiran untuk fokus pada satu atau lebih dari: ketidak-ajegan, hilangnya nafsu,
penghentian, dan pelepasan
memantapkan,
memuaskan, atau melepaskan pikiran.
Sebuah
metode non-kanonik populer mutakhir, secara longgar didasarkan pada
Visuddhimagga, berupa empat tahap :
1.
Berulang
kali menghitung embusan napas dalam 10 putaran
2.
Berulang
kali menghitung hirupan dalam 10 putaran
3.
Berfokus
pada napas tanpa menghitung
4.
Hanya
berfokus pada tempat di mana nafas masuk dan meninggalkan lubang hidung
(misalnya, lubang hidung dan daerah bibir atas).
Meditasi Kristiani
Meditasi
Kristiani atau meditasi Kristen diadopsi dari ajaran agama Buddha. Meditasi
Kristiani adalah bentuk doa dengan suatu upaya terstruktur yang dilakukan oleh
seseorang untuk menyadari dan merenungkan kehendak Allah dalam hidupnya.
Kata
meditasi berasal dari kata Latin meditārī yang artinya merenungkan,
mempelajari, dan mempraktikkan. Meditasi Kristiani merupakan proses yang
dilakukan secara sengaja untuk memfokuskan diri pada pemikiran-pemikiran
tertentu (misalnya suatu perikop kitab suci) dan merenungkan maknanya dalam
kaitannya dengan cinta akan Allah.
Tujuan
meditasi Kristiani adalah mempererat hubungan pribadi dengan dasar cinta akan
Allah yang menandai persekutuan Kristiani.
Baik
dalam Kekristenan Barat maupun Timur, meditasi berada pada tingkatan
tengah-tengah di dalam tiga tahap karakterisasi doa secara umum: melibatkan
lebih banyak permenungan dibandingkan dengan doa vokal (lisan) pada tahap
pertama, namun lebih terstruktur daripada doa kontemplatif yang berlapis-lapis.
Ajaran dalam gereja-gereja Kristen Barat maupun Timur menekankan agar seseorang
menggunakan meditasi Kristiani sebagai suatu elemen dalam rangka meningkatkan
pengetahuan tentang Kristus bagi dirinya.
Dalam
Aspek-aspek meditasi Kristiani, Takhta Suci memperingatkan akan berbagai
potensi ketidaksesuaian jika memadukan gaya-gaya meditasi non-Kristiani dengan
meditasi Kristiani. Pada tahun 2003, dalam Suatu Refleksi Kristiani tentang
Zaman Baru, Vatikan mengumumkan bahwa "Gereja menghindari konsep apapun
yang berkaitan dengan Zaman Baru (New Age).