KAKAWIN BAWANA SEKAR TANAKUNG
Kakawin pendek Banawa Sĕkar (Bahtera Bunga) adalah karangan mpu Tanakung.
Kakawin ini melukiskan :
Upacara pesta srāddha yang disediakan oleh Jīwanendrādhipa 'maharaja Jīwana'.
Khususnya persembahan-persembahan yang dihaturkan oleh berbagai raja : śrī nātheng Kŗtabhūmi, naranātha ring Mataram, sang nŗpati Pamotan, śrī parameśwareng Lasĕm, dan naranātha ring Kahuripan.
Persembahan-persembahan itu berpotongan indah aneka warna dan bergaya seni serta berupa ilustrasi mengenai gita dan kidung yang digubah oleh raja-raja sendiri.
Agaknya sajak-sajak itu dipersembahkan pada waktu yang sama, tertulis di atas karas (papan tulis) atau daun-daun lontar.
Persembahan yang paling indah ialah persembahan yang dibawa oleh raja yang menghaturkan sraddha berpotongan sebuah perahu yang diwujudkan dari bunga-bunga.
Upacara sraddha ialah upacara untuk mengenang arwah seseorang yang meninggal.
(Sumber : P.J. Zoetmulder, 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Lawas Selayang Pandang, halaman 460 , 616).
Sastra Jawa Kuna
Kakawin Banawa Sekar
Jenis : Susastra
Tarikh : 1351
Bahasa : Kawi
Juru tulis : Mpu Tanakung
Kakawin Banawa Sĕkar (Bahtera Bunga) adalah kakawin pendek 21 bait karangan Mpu Tanakung yang diperkirakan ditulis pada tahun 1351 Masehi. Kakawin ini melukiskan tentang upacara pesta srāddha yang diadakan oleh Jīwanendrādhipa 'maharaja Jīwana', khususnya persembahan-persembahan yang dihaturkan oleh berbagai raja śrī nātheng Kŗtabhūmi, naranātha ring Mataram, sang nŗpati Pamotan, śrī parameśwareng Lasĕm, dan naranātha ring Kahuripan. Banawa Sekar berarti "perahu yang terbuat bunga".
Kakawin ini ditulis tatkala Raja Hayam Wuruk melakukan sebuah korban suci besar (Sraddha) yang ditujukan kepada mendiang neneknya, Dyah Rajapatni Gayatri, di alun-alun istana Majapahit.
Kakawin ini terdiri dari 12 bait dan tiga bab.
Bab pertama adalah tentang megahnya upacara sraddha yang dilakukan oleh Raja Hayam Wuruk. Banyak pendeta, keluarga kerajaan, para bangsawan dan semua pejabat Majapahit hadir untuk melakukan persembahyangan dan penghormatan kepada arca Rajapatni Gayatri yang diistanakan di sebuah singgasana putih.
Bab kedua menjelaskan tentang beraneka macam persembahan dari banyak keturunan bangsawan Majapahit.
Ada persembahan berupa puisi, tarian dan sebagainya. Persembahan terakhir adalah persembahan berupa perahu bunga oleh Raja Hayam Wuruk. Beliau mempersembahkan sebuah perahu yang terbuat dari bermacam-macam bunga berwarna-warni.
Ada bunga gadung, teratai, pohon mas, sanggalangit, melati, magnolia dan sebagainya.
Perahu itu sangat indah.
Bab terakhir menyatakan penyesalan penulis kakawin karena tidak dapat menjelaskan kemegahan upacara itu sebagaimana yang diharapkan baginda raja.
Sang Mpu Tanakung berharap agar kakawin itu diterima oleh raja dan membuar beliau senang sebelum kakawin itu disalin dalam bentuk lontar.
Persembahan-persembahan itu berbentuk indah aneka warna dan bergaya seni serta berupa ilustrasi mengenai gita dan kidungyang digubah oleh raja-raja sendiri.
Rupanya sajak-sajak itu dipersembahkan pada waktu yang sama, tertulis di atas karas (papan tulis) atau daun-daun lontar. Persembahan yang paling indah ialah persembahan yang dibawa oleh raja yang menghaturkan sraddha berbentuk sebuah perahu yang dibuat dari bunga-bunga. Upacara sraddha ialah upacara untuk mengenang arwah seseorang yang meninggal.
Pada tahun 1983, Zoetmulder kemudian menyalin kakawin ini ke dalam aksara Latin dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Belanda dan Indonesia.
Sumber : P.J. Zoetmulder, 1983, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, halaman 460, 616.
BHAWANA SEKAR
(MPU TANAKUNG)
PUSPANJALI BAHTERA SERIBU BUNGA SBAGAI SRADDHA KEBANGSAAN
Nimitangsu yan layat anigal sang ahayu nguni ring tilam, datan lali si langening sayana, saka ring harepku laliya anggurit lango.
Artinya :
Aku meninggalkan Jelitaku dahulu di peraduan,bukan karena aku lupa indahnya peraduan asmara,namun karena hasratku yang tak tertahankan untuk melukiskan keindahan tanah air (Mpu Tanakung, Kakawin Wrettasancaya).
PRAWACANA
Mpu Tanakung adalah seorang pujangga yang sangat produktif yang hidup pada masa akhir Majapahit. Salah satu dari tujuh kakawin lirisnya, Siwaratrikapla (Malam Sang Hyang Siwa) sangat terkenal di Bali, dan dilestarikan dalam bentuk ritual yang indah hingga sekarang. Selain itu, Mpu Tanakung juga menulis Banawa Sekar (BahteraBunga) yang digubahnya dalam rangka upacara sraddha (pemujaan leluhur) dan dipersembahkan kepada Jiwanendradwipa (Sang Maharaja Jiwana). Sanjak liris ini mencatat persembahan-persembahan bunga yang dihaturkan oleh pelbagai raja bawahan (kepala daerah) Majapahit, antara lain :
1. Natharata ring Mataram.
2. Sang Narpati Pamotan.
3. Sri Parameswara ring Lasem.
4. Nataratha ring Kahuripan.
5. Sri Natheng Kertabhumi. Kerthabhumi, tidak lama sesudah kakawin ini ditulis, akhirnya berhasil dinobatkan sebagai raja Majapahit terakhir, menggantikan Sri Singawardhana, keponakannya sendiri, yang wafat di istana. Sebelum itu, kepada raja sebelumnya, yaitu Prabu Singawikramawardhana atau Sri Adhisuraprabawa, yang dalam Serat Pararaton disebut sebagai Bhre Pandan Salas III, kepadanya dipersembahkan ketujuh prosa liris karya Mpu Tanakung.
Sebagai sebuah karya keindahan (sukarya), Bhanawa Sekar winangun Sri Jiwanendradhipa, tanlyansraddhabatharamokta…” (digubah untukSriJiwanendradwipa, yang tidak lain berupasraddha untuk mengenang bapa bangsayang sudah kembali kepada alam keilahian).
Jiwanendradipa adalah Prabu Raja sawardhana Dyah Wijayakumara Sang Sinagara (1451-1453).
Banawa Sekar atau Bahtera Aneka Bunga karya Mpu Tanakung ini ditulis pada masa Singa wikramawardhana atau Bhre Pandan Salas III, melambangkan perahu kebangsaan yang dipersembahkan oleh para putra Sang Sinagara, antara lain :
1. Bhre Kertabhumi.
2. Bhre Pamotan.
3. Bhre Mataram.
4. Bhre Kahuripan dan.
5. Bhre Lasem.
Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raja Singawikramawardhana yang senantiasa dicintai rakyatnya, tidak lain Sri Adi Suraprabhawa, Raja keturunan Girindra (Sang Panikelan tanah anulusa katwang ing praja, tan lyan Sri Adi Suraprabawa sira bhupati saphala Girindrawangsaya).
Setelah Bhre Pandan Salas III atau Prabu Singawikramawardhana memerintah selama dua tahun dan kemudian meninggalkan keraton, maka berdasarkan Prasasti Jiyu III (1486), kita menemukan nama raja Girindrawardhana Sang Singawardhana, yang semasa hidupnya ingin menganugrahkan tanah perdikan kepada Brahmana Ganggadara.
Tetapi niatan itu belum terlaksana, sehingga Girindrawarhana Ranawijaya pada tahun 1486 menenguhkan kembali anugerah itu kepada Sangbrahmana.
Dalam kronik raja-raja Majapahit menurut Pararaton, Singawardhana disebut Bhre Prabhusangmoktaring Kedaton (Sang Raja yang wafat di Istana), menggantikan Bhre Pandan Salas III yang hanya dua tahun memerintah (1466-1468 M).
Dua tahun menjadi raja lalu meninggalkan dari istana (rong tahun prabhu tumu lirah saking kedaton).
Jadi, kemungkinan Singawardhana adalah saudara dari Bhre Pandan Salas III yang menggantikannya sebagai raja. Nah, tidak lama setelah memerintah Suraprabawa mengadakan upacara sraddha untuk raja pendahulunya, diiringi oleh kelima raja-raja bawahan yang tidak lain adalah putra-putra Bhre Pamotan Sang Sinagara yang memerintah antara tahun 1451-1453M.
Dengan demikian, maka Banawa Sekar bukan sanjak sembarang sanjak, melainkan sebuah maha karya sacral yang berfungsi ruwat. Sebuah Mahasraddha atau Ruwatan Agung Kebangsaan.
PERGOLAKAN KEKUASAAN
1. Majapahit setelah Hayamwuruk
Setelah kematian Prabu Hayamwuruk takhta kerajaan Majapahit diperintah oleh Prabu Wikramawardana,mantan Ketua Mahkamah Agung yang adalah menantu Hayamwuruk,karena ia mengawini putrinya Kusumawardani yang lahir dari permaisuri. Padahal Hayamwuruk juga mempunyai anak laki-laki yang lahir dari selir, yaitu Bhre Wirabhumi. Karena itu, tak ayal apabila dikemudian hari terjadi perebutan kekuasaan antara Wikramawardana dan Bhre Wirabhumi.
Kerajaan terbagi 2, yaitu :
1). Kedatonkulon berpusat di Majapahit dan.
2). Kedatonwetan di Blambangan. Perang perebutan kekuasaan antara keduanya dikenal dengan Perang Paregreg.
Menurut catatan Cina, Sejarah Dinasti Ming, Laksamana Cheng Ho sedang berada di kedaton wetan ketika kedua raja itu berperang.
Bhre Wirabhumi akhirnya kalah, dan melarikan diri dengan perahu, tetapi berhasil ditangkap oleh Raden Gajah, dan kepalanya dipenggal kemudian dibawa ke Majapahit.
Pada tahun1322 Çaka (1400M), Wikramawardana menjadi pendeta Buddhis selama setahun, dan selama masa kependetaannya itu pemerintahan dipegang oleh Prabu Stri yang kemungkinan Kusumawardani, istrinya sendiri. Dari istri selir Wikramawardana mempunyai 2 putra, yaitu :
1). Bhre Tumapel dan.
2). Sri Kertawijaya.
Setelah perang Paregreg, pemerintahan Majapahit dilanjutkan oleh Wikramawardana atau Hyang Wisesa sampai tahun 1349 Çaka atau 1427 M. Wikramawardana meninggal tahun 1427M, dan digantikan oleh Rani Suhita. Suhita memerintah dari tahun1427-1447M.
Selama pemerintahan Suhita, pernah terjadi pemerintahan selingan pada tahun 1437 oleh Bhre Daha.
Mungkin ini salah satu akibat masih dendamnya para keturunan Wirabhumi.
Setelah Suhita meninggal, takhta kerajaan Majapahit diperintah oleh Sri Kertawijaya, putra Wikramawardana dari selir, yang mestinya tidak berhak memegang pemerintahan, karena Suhita tidak mempunyai keturunan.
Setelah Kertawijaya wafat digantikan oleh Bhre Pamotan Sang Sinagara sampai tahun 1453 M.
Selanjutnya Sinagara wafat dan dicandikan di Sepang, takhta kerajaan kosong selama 3 tahun. Baru pada tahun 1456 M diperintah oleh Bhre Wengker, putra Kertawijaya,yang bergelar Hyang Purwawisesa, sampai tahun 1466 M.
Sepeninggal Purwawisesa, Bhre Pandan Salas III memerintah dari tahun 1466-1468 M. Hanya dua tahun saja, menurut Pararaton dua tahun memerintah lalu meninggalkan keraton (rong tahun prabhu tumulirah saking kedaton).
2. Pasca Sraddha Bahtera Bunga : Bhre Pandan Salas III Lengser Keprabon, Madeg Pandhita.
Seperti telah disebutkan di atas,kemungkinan besar Bhre Pandan Salas III dalam Pararaton sama dengan Singawikramawardana yang disebut dalam prasasti Jiyu yang bertanggal 1486 M.
Prasasti Pamintihan antara lain menyebutnya Sri Singhawikramawardhana, Sri Giripatiprasuthabuphatiketubuta (Sri Singawikramawardana seorang penguasa diantara keturunan para raja gunung).
Jadi, Singawikramawardana adalah keturunan Ken Arok yang bergelar Ranggah Rajasa, yang menyebut wangsa Raja Gunung (Girindra) dari Singasari, moyang Majapahit.
Pandan Salas III adalah sama dengan Singawikramawardana, karena dalam Pararaton, Pandan Salas disebutkan menikahi Bhre Singapura putri Bhre Paguhan.
Sedangkan dalam prasasti Trawulan III, Dyah Suraprabawa yang bergelar Singawikramawardana menikahi Bethari Singapura, yang nama kecilnya Diah Sripura,yang bergelar Sri Rajasawardani.
Pararaton yang mengatakan bahwa Pandan Salas menikah dengan Bhre Singapura disebutkan sebelum kematian Pandan Salas II yang disebut Raden Jagulu : “.... Bhre Paguhan apeputralawanrabiksatriamijil Bhre Singapura, kambildenira Bhre Pandan Salas” (Bhre Paguhan mempunyai anak dari perkawinannya dengan seorang bangsawan, lahirlah Bhre Singapura, yang dinikahi oleh Bhre Pandan Salas”. Teks Pararaton mencatat ada 3 orang yang disebut Bhre Pandan Salas, yaitu :
a). Pandan Salas I, yang dikenal dengan Raden Sumirat, putra Raden Sotor,wafat pada saat Rani Suhita menjadi Ratu Majapahit (1427M), di candi kandi Jinggan,
b). Pandan Salas II, yang dikenal dengan Raden Jagulu, wafat setelah Patih Kanaka meninggal tahun 1447M dan.
c). Pandan Salas III yang menjadi raja Majapahit pada tahun 1466-1468 M.
Mengapa Bhre Pandan Salas III hanya dua tahun memerintah dan meninggalkan istana ? Kemungkinan disadarkan oleh syair-syair MpuTanakung, khususnya syair Banawa Sekar, Sang Raja lengser keprabon, madeg pandita (meninggalkan istana untuk menjadi pendeta). Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Prabu Wikramawardhana juga pernah meninggalkan keraton untuk menjadi pendeta selama setahun. Setelah meninggalkan istana, Bhre Pandan Salas III atau Prabu Singawikramawardhana menunjuk adiknya, yaitu Girindra wardhana Sang Singawardhana untuk memerintah Majapahit (1468-1474).
Selanjutnya, suksesi kepemimpinan dari Bhre Prabhu sang mokta ring Kedaton (Sri Singawardhana) kepada pamannya, Bhre Kertabhumi, yang menurut Serat Kanda, tidak dengan peperangan, melainkan sebuah suksesi damai.
Fakta ini sekali lagi juga didukung oleh karya sastra sezaman, yaitu Banawa Sekar karya Mpu Tanakung, dimana putra-putra Sang Sinagara (termasuk Bhre Kertabhumi) turut bersama-sama mempersembahkan sanjak-sanjak sakral mereka dalam upacara sraddha agung kebangsaan yang diselenggarakan oleh Prabu Singawikramawardana atau Bhre Pandan Salas III.
3. Sirna Ilang Kertaning Bhumi (1478 ) M :
Belajar dari Sejarah Keruntuhan Majapahit.
Menurut versi Sejarah Nasional, Majapahit tidak runtuh karena serangan Demak tahun 1478 M seperti disebut dalam Serat Kanda, melainkan oleh serangan Dyah Ranawijaya dari Keling. Menurut versi ini, karena ternyata Majapahit masih ada sampai tahun 1486 M, ketika Ranawijaya mengeluarkan prasasti-prasasti (Kembang Sore, Jiyu I-IV).
Padahal kalau dicermati lebih dalam, dan membandingkan dengan kronik Sam Po Khong, memang Majapahit runtuh karena serangan Raden Patah dari Demak.
Berdasarkan bunyi prasasti Kembang Sore (1486 M), disimpulkan bahwa Sri Brahmaraja Ganggadara mendapat anugerah dari Prabu Girindrawardhana Dyah Ranawijaya karena telah membantu perjuangannya ketika turun naik perlawanan dengan Majapahit (ayunayunan yuddha lawaning Majapahit).
Padahal prasasti ini tidak disebutkan bahwa Ranawijaya atau Girindrawardana yang dibantu oleh Sri Brahmaraja Ganggadara ketika turun naik melawan Majapahit, melainkan hanya meneguhkan anugrah Bethara Prabhu yang ditanam di Mahawisesalaya dan Mahalayabhawana (hamagehaken sungsungira Bhatara Prabhu sang mokta ring mahawisesalaya mwang sang mokteng mahalayabhawana), yang tidak lain adalah Girindrawardhana Sang Singhawardhana.
Jelas, kedua tokoh pendahulu Girindrawardana itu tidak lain adalah Sri Adi Suraprabawa atau Sri Singawikramawardana dan Sang Singawardhana.
Konteknya dengan bunyi prasasti Kembang Sore, justru lebih masuk akal apabila Brahmana Ganggadara membantu Majapahit untuk mengalahkan penguasa asing, yang kemungkinan besar adalah Nyoo Lay Wa, yang menurut kronik Sam Po Kong ditempatkan oleh penguasa Demak Islam, setelah mengalahkan Majapahit di bawah Prabu Kertabhumi, yang tidak lain adalah ayah Raden Patah sendiri. Lebih jelas lagi, menurut kronik Sam Po Kong, Girindrawardana justru menantu Prabu Kertabhumi, bukan musuh yang mengalahkan Kertabhumi.
Sekali lagi, sesuai dengan bunyi prasasti Mojojejer, karena jasa-jasa Ganggadara kepada dua raja pendahulunya tersebut, Girindrawardana Dyah Ranawijaya sebagai menantu Kertabhumi dan raja yang berdiam di keraton Majapahit, yaitu prabu Jenggala dan Kediri Paduka Sri Maharaja Cri Wilwatikta, pura Janggala Kadhiri (karena waktu itu sudah menjadi bawahan Demak), memberikan anugerah tanah sima dan sekaligus memerintahkan untuk melangsungkan upacara sraddha yang sempurna untuk mengenang 12 tahun Sang Raja yang disemayamkan di Indrabhawana (bathara ku monang lampahikang dwadasawarsacaddhra sampurnna nira sang mokta ring Indra bhawana).
Dengan demikian, memang Majapahit runtuh oleh serangan Raden Patah dari Demak, seperti dianut dalam tarikh tradisional, seperti Babad Tanah Jawa dan Serat Kanda.
Sengkalan Sirna Ilang Kertaning Bhumi (1400 Çaka atau 1478 M) versi Serat Kanda sebagai kejatuhan Majapahit ini, ternyata juga cocok dengan Pararaton yang menyebut sengkalan Sunya-Nora Yuganing Wong (1400 Çaka). Selain bermakna angka tahun, sengkalan Sirna Ilang Kertaning Bhumi dengan jelas juga melestarikan nama Brawijaya Pamungkas, ayah Raden Patah, yaitu Kertabhumi.
Dalam kitab Pararaton memang tidak tegas siapa yang dimaksud dengan Prabhu Mokta ring Kedaton (Raja yang wafat di Istana), tetapi dapat dipastikan bahwa ia adalah Prabu Girindrawardhana Sang Singawardhana.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pararaton menyebutkan :
Putranira Sang Sinagara: Bhre Koripan, Bre Mataram, Bhre Pamotan, pamungsu Bhre Kertabumi kapernah paman Prabhu mokta ring kedaton i Çaka Sunya-Nora Yuganing Wong.
Artinya :
Putra-putra Sang Sinagara adalah Bhre Koripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, yang terakhir Bhre Kertabhumi adalah paman dari Raja yang wafat di istana pada tahun Çaka 1400 (1478 M).
Teks Pararaton tersebut tidak secara eksplisit menyebut bahwa Kertabhumi adalah raja Majapahit terakhir.
Dan kalimat pamungsu Bhre Kertabhumi, kapernah paman Prabhu mokta ring kedaton i casa Sunya-Nora yuganing wong bisa berarti :
Yang terakhir Kertabhumi, adalah paman dari raja yang wafat di istana pada tahun 1478.
Jadi, raja terakhir Majapahit adalah Prabu mokta ring kedaton (Raja yang wafat di istana) pada tahun 1478 M. Itu alternatif bacaan yang diusulkan Sejarah Nasional. Memang, kalimat yang terakhir, Bhre Kertabhumi (pamungsu Bhre Kertabhumi) di sini dapat berarti bahwa Kertabhumi adalah Raja Majapahit terakhir, tetapi juga bisa berarti anak terakhir dari Sang Sinagara.
Sedangkan, surya sengkala Sunya-Nora Yuganing Wong (1400 Çaka) yang sejajar dengan tahun 1478 M, bisa merujuk kepada akhir pemerintahan Kertabhumi, yang identitasnya diterangkan sebagai paman dari Prabu Mokta ring Kedaton (paman dari Raja yang wafat di istana), tetapi juga bisa menunjuk tahun kematian dari Sang Raja yang wafat di Istana, yang tidak lain adalah Sri Singawardhana.
Akan tetapi dengan membaca bukti-bukti prasasti lebih teliti lagi, khususnya prasasti Jiyu, Sri Singawardhana ternyata tidak wafat pada tahun 1478 M, melainkan empat tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1474 M.
Karena prasasti yang dikeluarkan Girindrawardana Dyah Ranawijaya ini berasal dari tahun 1486 M, dan dalam prasasti ini disebutkan bahwa pada tahun 1486 M tersebut ia menyelenggarakan upacara sraddha untuk memperingati 12 tahun wafatnya Sang Raja. Karena itu, 12 tahun sebelum 1486 M akan ketemu tahun 1474 M sebagai tahun kematian Prabu mokta ring kedaton.
Sengkalan Sunyanora yuganing wong (1400 Çaka) bukanlah tahun kematian Prabu mokta ring kedaton, melainkan tahun berakhirnya kerajaan Majapahit yang diperintah Bhre Kertabumi Bhawijaya V Pamungkas.
Kalau begitu, teks Pararaton di atas lebih tepat bisa diterjemahkan sebagai berikut :
Putranira Sang Sinagara : Bhre Koripan, Bre Mataram, Bhre Pamotan, pamungsu Bhre Kertabumi kapernah paman Prabhu mokta ring kedaton i Çaka Sunya-Nora Yuganing Wong.
Artinya :
Putra-putra Sang Sinagara adalah Bhre Koripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan raja terakhir Bhre Kertabhumi, yang adalah paman dari raja yang wafat di istana itu memerintah sampai tahun 1400 Çaka (1478 M).
SRADDHA KEBANGSAAN DAN KEPRIHATINAN MPU TANAKUNG
Kembali kepada Mpu Tanakung. Sang Mpu menulis karya-karyanya pada masa Prabu Singawikramawardana atau Bhre Pandan Salas III, ketika Majapahit sudah berada dalam usia senja. Sesudah mangkatnya Singawardhana, penggantinya yaitu Prabu Kertabhumi, negara nasional yang pernah mempersatukan seluruh Nusantara itu benar-benar sirna ilang kertaning bhumi. Ungkapan Serat Kandha ini, selain menunjukkan suryasengkala 1400 Çaka (1478 M), secara makna kalimat juga berarti telah hilang kesejahteraan di bumi.
Konsep Sraddha menekankan penghormatan kepada para bapa bangsa.
Meskipun sraddha ini secara khusus ditujukan kepada Raja Sinagara Bhre Pamotan (1451 -1453 M), namun pastilah Mpu Tanakung sangat prihatin terhadap situasi dan kondisi perkembangan Majapahit yang makin terpuruk.
Mengapa Majapahit semakin terpuruk
Salah satu sebabnya, karena kelakuan para elitnya yang hanya mengejar kekuasaan semata-mata, lupa kepada perjuangan membangun bangsa dari para founding fathers mereka. Mereka tidak merasakan betapa sulitnya menuju puncak kemegahan (istilah Slamet Mulyana), yang diupayakan mulai dari Sanggrama Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit, dan usaha para suksesor sesudahnya : terutama Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada. Setelah Hayam Wuruk dan Gajahmada wafat, Majapahit menghadapi ancaman disintegrasi dari luar dan dalam, namun tidak disadari oleh para elit pemegang kekuasaan.
Para elit mulai terbiasa dengan hidup mewah, hasil dari memeras keringat para pendahulu mereka. Syahwat para penguasa yang hanya mengejar kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, perang saudara dalam rangka suksesi kepemimpinan, menyebabkan mereka tidak peka dengan bahaya ideologi asing yang mengancam di depan mata.
Ideologi itu dibawa oleh kaum penyebar agama baru yang mulai memenuhi pesisir utara Jawa, dan daerah-daerah yang mulai terlepas karena tidak dikawal lagi oleh ideology negara, dan sebagai gantinya fanatisme agama yang ditawarkan sebagai ideologi asing alternatif, yang perlahan tetapi pasti mulai masuk sejak perjumpaan Wikramawardanadengan Cheng Ho. Wikramawardana yang secara khilaf telah membunuh 170 tentara Cina dibawah Cheng Ho yang sedang berada di Kedaton Wetan (Blambangan) saat meletus perang Paregreg, tidak mampu membayar denda yang dibebankan Kaisar Cina.
Terjadilah tawar menawar, Wikramawardana hanya mampu membayar dengan 10.000 tahil dari denda yangditentukan sebanyak 60.000 tahil emas.
Kaisar membebaskannya, bahkan masih ditambah hadiah Putri Cina nan cantik sebagai tanda persahabatan.
Hasilnya, setelah dari perkawinan itu lahir Swan Liong (Arya Damar) yang diangkat jadi Adipati Palembang, justru lebih loyal kepada Tiongkok.
Tren kawin dengan putri asing ini dilakukan juga oleh Prabu Kertabhumi, raja Majapahit terakhir, dan kemudian melahirkan Jin Bun (Raden Patah).
Dalam waktu singkat, setelah daerah-daerah yang diberi otonomi khusus itu, satu demi satu lepas dari pemerintahan pusat.
Dan pada masa Raja Kertabhumi, tamatlah riwayat Majapahit. Negeri besar itu tinggal sebagai dongeng masa lalu yang diagung-agungkan.
Banawa Sekar Tanakung, yang selain mencatat syair-syair suci yang dipanjatkan oleh para kepala daerah, juga merupakan ajakan untuk kembali kepada semangat Majapahit mula-mula. Membangun negara dengan spirit Bhinneka Tunggal Ika seperti wejangan Mpu Tantular, kira-kira dengan jelas disimbolkan dengan Bahtera Seribu Bunga. Mpu Tanakung menyindir, ia lebih memilih memuja keindahan tanah airnya (semangat nasionalisme dan patriotisme) ketimbang memikirkan nikmatnya peraduan asmara, dan meninggalkan kekasihnya di sana.
Sang Mpu kesepian demi baktinya kepada negeri : sunyi, sendiri dan tanpa asmara lagi (Tan = tanpa, akung = asmara), seolah-olah menyindir para penguasa yang lebih kepranan kumelaping wentis kuning (silau dengan kilauan betis mulus) putri-putri Cina, tanpa menyadari bahwa wanita-wanita cantik itu juga menjadi agen-agen politik dan ideologi asing.
Dalam sejarah Majapahit, berkali-kali sraddha dihaturkan kepada para leluhur.
Minimal, ada 3 sraddha yang menarik dicatat di sini
1. Pertama, sraddha besar-besaran zaman Maharani Tribhuwana Tunggadewi, yangbermaksud menangkal sumpah Mpu Barada yang membelah Jawa dengan mengucurkankendi dari langit pada zaman Airlangga, demi cintanya kepada kedua putranya. Disini,Tribhuwana Tunggadewi hendak meruwat kesalahan Airlangga, sekalipun seorang rajabijaksana tetapi ternyata cintanya kepada keluarga mengalahkan cinta baktinya kepadanegaranya, hingga rela memecah negerinya untuk dibagikan kepada dua putra yangdicintainya.
2. Kedua, sraddha pada masa Singawikramawardana (Pandan Salas III) yang diabadikan dalam syair Mpu Tanakung, yang mengingatkan supaya demi kejayaan Majapahit, segenapanak bangsa agar kembali kepada Bhinneka Tunggal Ika Mpu Tantular, berbeda-bedatetapi satu, seperti disimbolkan dengan bahtera seribu bunga (bhanawa Sekar).
MpuTanakung juga mengingatkan para penguasa Majapahit akan bahayanya tren kawin denganputri-putri asing sebagai jebakan penguasa asing untuk melemahkan Majapahit secara perlahan-lahan tetapi pasti.
Bhanawa (perahu) adalah lambang perahu kebangsaan.Mengingatkan kita kepada kapal-kapal jung Majapahit yang menggambarkan sebagai kejayaan bangsa baharí yang besar.
Tetapi pada masa-masa akhir ini, kejayaan laut kitaterancam, karena banyaknya perahu-perahu asing yang menguasai perairan Nusantara.
Majapahit pada zamannya adalah negara maritim yang disegani, sekaligus juga Negara agraris yang kaya dan selalu berlimpah sandang dan pangan bagi rakyatnya dari kebun-kebun dan sawah-sawahnya. Seperti yang digambarkan dalam suluk pedalangan negara maritime dan agraris sekaligus, menghadap laut yang berbandar-bandar, tetapi memprioritaskan sawah ladang (ngadep segara kang bebandaran, hanengenake pasabinan).
3. Ketiga, sraddha yang dihaturkan oleh Girindrawardana Dyah Ranawijaya, seperti dicatat dalam prasasti Jiyu (1486 M) ketika Majapahit sudah menjadi negara bawahan Demak, untuk mengenang 12 tahun Raja Singawardana (wafat tahun 1474 M). Menurut kronik Sam Po Khong, Girindrawardana Dyah Ranawijaya adalah menantu Prabu Kertabhumi,yang dengan demikian masih saudara ipar Raden Patah.
Pada masa senjanya, para pemimpin Majapahit sudah kehilangan elan vital, lupa kepada warisan para leluhur (para founding fathers), khususnya Bhinneka Tunggal Ika nya Mpu Tantular, kehilangan jati diri sebagai bangsa, terjebak dalam politik pragmatis yang mengorbankan ideologi negara demi kemenangan kelompok semata-mata.
Selain itu, para pemimpin itu hanya bisa berbicara dan berwacana tetapi tidak bisa menjadi teladan rakyatnya. Contohnya, Prabu Kertabhumi sendiri.
Ketika sraddha pada zaman Singawikramawardana itu dinaikkan, sebagai seorang pangeran, Bhre Kertabhumi mempersembahkan syair-syair sucinya.
Namun ketika ia menjadi raja menggantikan Sang Prabu mokta ring kedhaton, ia juga mengikuti jejak Wikramawardana, takluk dalam pelukan para wanita asing. Sejarah mencatat, dari putri Cina ini lahirlah Jin Bun alias Raden Patah, yang akhirnya mengakhiri kejayaan Majapahit yang bercorak Bhinneka Tunggal Ika menjadi negara agama (agama ageming aji = agama adalah busana raja), yaitu Islam sebagai agama resmi.
Dan nama raja terakhir Majapahit, yaitu Kertabhumi, diabadikan dalam candra sengkala yang mengungkapkan ironi hancurnya sebuah negara besar beserta kemakmuran rakyatnya (Sirna Ilang Kertaning Bhumi, Hilang lenyapnya kesejahteraan negara), yang merujuk 1400 Çaka atau 1478 M.
WASANA KATA
Sudah pelajaran sejarah ini. Apakah NKRI yang berdasarkan Pancasila, Nationale staat” ketiga setelah Sriwijaya dan Majapahit, harus mengulangi pengalaman pahit “Sirna Ilang Kertaning Bhumi ?
Mpu Tanakung sudah melaksanakan tugas sejarahnya, membawa suara kenabian bagi bangsanya: mengajak rajanya untuk kembali kepada semangat para pendiri bangsa, dan menjunjung falsafah Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi Satu). Masalahnya, apakah para pemimpin itu masih rela mendengarkan suara sang Empu? Sebab itu, putraku!, kata Mpu Tanakung, patuhilah petuahku, dan jangan mengingkari kata-kataku ini.
Kembalilah untuk melaksanakan tugasmu, menurut jalan yang mula-mula (Mpu Tanakung, Syair Siwaratri Kalpa).
KRONIK RAJA-RAJA MAJAPAHIT
JBERDAULAT
1. Kertarajasa Jayawardhana (Sanggramawijaya, Raden Wijaya) 1294-1309
2. Jayanegara (Kala Gemet, Wirandagopala) 1309-1328
3. Tribhuana Tunggadewi Jayawisnuwardhani 1328- ...........
4. Rajasanegara (Hayamwuruk) .......-1389
Majapahit Dipuncak Kejayaan
Patih: Gajahmada
Undang-undang Kutaramanawa, Sang Hyang Agama (Hukum Nasional, bukan hukum Agama)
Ideologi negara menjamin pluralitas bangsa “Bhinneka Tunggal Ika” (Mpu Tantular)
5. Wikramawardana (Hyang Wisesa, suami Kusumawardani) 1389-1427
Majapahit mulai terpecah : Kedaton Kulon dan Kedaton Wetan, kedatangan Cheng Ho Patih : Tuhan Kanaka Undang-undang : Sang Hyang Adigama (Hukum Nasional, bukan hukum agama)
6. Suhita 1427-1447
7. Bhre Daha (Pemerintahan selingan) 1437- .......
8. Sri Kertawijaya 1447-1451
9. Bhre Pamotan (Sang Sinagara) 1451-1453
(Selama 3 tahun takhta Majapahit kosong, mungkin akibat perebutan kekuasaan yang terus-menerus)
10. Hyang Purwawisesa (Bhre Wengker) 1456-1466
11. Bhre Pandan Salas III 1466-1468
(Baru dua tahun Pandan Salas III menjadi raja, ia meninggalkan istana untuk menjadi pendeta : Lengser keprabon madeg pandhita. Ketika bahtera bangsa negara diambang kehancuran dan terancam tenggelam, Mpu Tanakung menulis Syair Siwaratrikalpa dan tujuh prosa lirisnya. Dalam Bhanawa Sekar sebagai sraddha yang dilakukan putra-putra Bhre Pamotan Sang Sinagara, termasuk Bhre Kertabhumi. Sraddha bahtera Seribu bunga sebuah refleksi dan ajakan untuk kembali kepada spirit Bhinneka Tunggal Ika yang mengantar Majapahit ke puncak kejayaan ?).
12. Singhawikramawardana alias Prabhu Mokta ring Kedaton 1468-1474
(Menurut Prasasti Jiyu III, Girindrawardhana Sang Singawardana bermaksud memberikan anugerah kepada Brahmana Ganggadara, tetapi belum terlaksana).
13. Bhre Kertabhumi (Brawijaya Terakhir) 1474-1478
(Inilah raja Mapajahit berdaulat yang terakhir, kerajaannya diserang putranya sendiri yang dibantu para wali, yaitu Raden Patah).
MAJAPAHIT SEBAGAI BAWAHAN DEMAK
14. R. Patah (Nyoo Lay Wa) 1478-1486
(Nama ini hanya disebut dalam kronik Cina, Sam Po Kong, sebagaimana dijadikan sumber oleh Slamet Mulayana tetapi tidak ada dalam catatan sejarah Jawa. Majapahit sebagai bawahan Demak diperintah orang Cina, kerabat Raden Patah, tetapi terbunuh oleh revolusi rakyat).
15. Ranawijaya (Girindrawardana, Prabhu Nata) 1486-1527
(Tahun 1486 setelah ditunjuk sebagai penguasa Daerah Majapahit oleh Demak, ia mengeluarkan prasasti untuk meneguhkan putusan Girindrawardhana Sang Singawardhana yang bermaksud memberikan anugerah tanah sima atau perdikan kepada Brahmaraja Ganggadara, sekaligus memerintahkan sang brahmana untuk melaksanakan saddhra untuk mengenang 12 tahun Raja Singawardhana. Pada tahun 1517 Ranawijaya bersekutu dengan Portugis, lalu diserang untuk kedua kali oleh Raden Patah tapi masih diampuni, karena pertimbangan bahwa Ranawijaya, menantu Kertabhumi, masih saudara ipar Raden Patah. Tetapi 1527 kembali menjalin hubungan dengan Portugis akhirnya dihancurkan oleh Demak di bawah Adipati Unus. Riwayat Majapahit tamat).
Dari kronik raja-raja Majapahit di atas jelaslah bahwa sebagai sebuah kerajaan Majapahit bertahan selama 233 tahun dari tahun 1294-1527 M. Jadi, dapat disimpulkan selama 184 tahun Mapajapahit sebagai Negara Nusantara, bahkan sebagai imperium besar dengan wilayah yang lebih luas dari Nusantara sekarang, dan 49 tahun sebagai negara bawahan Negara Islam Demak).
Versi sumber data dan makalah di atas pernah disampaikan di acara Temu Generasi Muda Buddha Niciren Sosyu, 10 Juni 2010. Sumber data tersebut adalah sebagai berikut :
1. IBG. Agasta,Siwaratri Kalpa Karya Mpu Tanakung (Denpasar : Yayasan Dharma Sastra, 2001),hlm.2-7. Lihat juga: A. Teeuw (et.al.), Siwaratrikalpa of Mpu Tanakung. An Old Javanese Poem Its Indian Source and Balinese Illustrations (The Hague: Martinus Nijhoff, 1969), hlm. 14-19.Juga: P.J. Zoelmulder, Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang (Jakarta: Penerbit Djambatan,1985), hlm. 455-361.
2. Zoelmulder, Op. Cit., hlm.616.
3. A. Teeuw, Op. Cit., hlm. 69-70.
4. Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2007), hlm. 91-92.
5. Hasan Djafar, Masa Akhir Majapahit (Jakarta: Komunitas Bamboe, 2009), hlm. 70.
6. Muhammad Yamin, Tatanegara Madjapahit. Parwa II (Djakarta: Jajasan Prapantja, 1962), hlm. 234-235)
7. Kronik ini dimuat dalam H.J. de Graaf, et. all., Cina Muslim di Jawa Abad XV-XVI antara Historisitas danMitos. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), hlm. 17-21.
8. Yamin, Sapataparwa II, hlm. 235-236.
9. Kong Yuanzhi, Op. Cit., hlm. 92.
Ada yang janggal, saya kutipkan Bagian III alinea terakhir :
"......Namun ketika ia menjadi raja menggantikan “Sang Prabu mokta ring kedhaton”, ia juga mengikuti jejak Wikramawardana, “takluk dalam pelukan para wanita asing”. Sejarah mencatat, dari “putri Cina” ini lahirlah Jin Bun alias Raden Patah, yang akhirnya mengakhiri kejayaan Majapahit yang bercorak “Bhinneka Tunggal Ika” menjadi negara agama (“agama ageming aji” = agama adalah busana raja), yaitu Islam sebagai agama resmi......"
Kalau baca alinea tersebut, berarti Jin Bun lahir SETELAH Kertabhumi menjadi raja yaitu antara 1474-1478 M. Padahal di dalam artikel tersebut dinyatakan Jin Bun memerangi Kertabhumi. Masa iya anak 3 tahun memerangi?
Sebenarnya artikel di atas menarik, sayang ulasannya kurang memperhitungkan alur waktu.
Kemudin pada Lampiran hal Ranawijaya. Butir 15 saya kutipkan :
".....Tetapi 1527 kembali menjalin hubungan dengan Portugis akhirnya dihancurkan oleh Demak di bawah Adipati Unus. Riwayat Majapahit tamat)."
Adipatu Unus wafat 1521 M. Masa iya tahun 1527 M menyerang? Yang benar, adalah Trenggono (setelah Pati unus wafat)
SASTRA JAMAN MAJAPAIT
Tulisan ini merupakan uraian ringkas tentang kesusasteraan zaman Majapahit yang mengulangi saja hasil-hasil penelitian para ahli yang sudah ada.
Pembicaraan tentang kesusasteraan zaman Majapahit ini akan dibatasi kurun waktu abad XIV-XV serta pada karya-karya sastra kakawin. Kakawin¬kakawin itu ialah : 1. Nagarakrtagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca.
2. Arjunawijaya dan Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular.
3. Lubdhaka (Siiwaratrikalpa), Wrttasancaya.
4. Banawa Sekar yang ditulis oleh Mpu Tanakung dan.
5. Kunjarakarna Dharmakathana yang ditulis oleh Mpu Dusun.
Dinamik kegiatan sastra yang mempunyai berbagai jalur dan mengarusi kegiatan sastra pada zaman itu, khususnya munculnya kidung, akan disinggung sepintas. Dengan demikian akan tampak bahwa munculnya genre baru itu juga mempunyai dampak terhadap penciptaan kakawin.
KAKAWIN NAGARAKERTAGAMA
Kakawin Nagarakertagama ditulis oleh Mpu Prapanca pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan diselesaikan pada tahun 1365. Dalam teks kakawin ini disebut Desawarnana lukisan wilayah kerajaan. Dulu hanya dikenal satu naskah.
Kakawin Nagarakrtagama yaitu yang berasal dari Puri Cakranegara.
Lombok Kini dikenal beberapa naskah lain yang tersimpan di Bali.
Kakawin ini unik, karena tidak menceritakan kisah epik, tetapi menguraikan tentang keadaan di Kerajaan Majapahit.
Kakawin ini berisi :
1. Uraian tentang para anggota keluarga raja
2. Lukisan tentang ibu kota Majapahit.
3. Uraian tentang daerah-daerah vasal dan negara-negara tetangga Majapahit.
4. Perjalanan sang raja menjelajah wilayah kerajaan.
5. Kunjungan ke pertapaan Sagara.
6. Perjalanan Prapanca yang memisahkan diri dari rombongan kerajaan.
7. Lukisan sang raja yang berburu di sekitar Singhasari.
8. Perjalanan sang raja pada tahun 1360 dan 1361 serta perayaan srddha untuk memperingati Tribhuwana.
9. Upacara Prajnaparamita.
10. Kunjungan raja ke Simping dan meninggalnya Gajah Math.
11. Daftar semua tanah milik raja beserta biara-biara dan para penghuninya dan.
12. Pesta pada setiap bulan Caitra. yang diselenggarakan setiap tahun di Kraton.
Menilik kandungan isinya tersebut. kakawin ini banyak diteliti oleh para ahli dan dianggap sebagai sumber sejarah Jawa Kuna yang penting. Selain informasi tentang Majapahit, dalam kakawin tersebut juga terdapat informasi tentang periode-periode sejarah sebelumnya, seperti pembagian kerajaan Erlangga oleh Mpu Bharada.
Dari segi genre sastra dapat dikatakan bahwa Nagarakrtagama dalam hal isinya menyimpang dari konvensi yang terdapat dalam kakawin-kakawin yang diciptakan oleh para kawiterdahulu.
Dalam hal ini kimya Nagarakrtagama ada di antara prasasti yang kerap kali juga ditulis dengan metrum, dan berisi tentang kronik kerajaan, seperti Pararaton.
Selain itu, pada masa Majapahit muncul pula genre sastra baru, yakni kidung.
Banyak kidung yang berkisah tentang Raden Wijaya dan tokoh-tokoh di sekitarnya, seperti Kidung Panji Wijayakrama Ranggalawe, Kidung Harsawijaya, dan Kidung Sorandaka.
Sekalipun banyak kidung ditulis di Bali, dan kidung yang tertua mungkin juga mengalami penulisan kembali, namun sekurang-kurangnya Kidung Ranggalawe dalam sengkalan-nya menunjukkan penanggalan yang tua (24 November 1334).
Mungkin sekali dalam persaingan dengan genre baru itu NaNagarakrtagama ditulis dengan kandungan isi yang serupa.
KAKAWIN ARJUNAWIJAYA
Kakawin Arjunawijaya ditulis oleh Mpu Tantular path masa pemerintahan Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk) 1350-1389 M. Arjunawijaya berarti `kemenangan Arjuna, maksudnya adalah kemenangan Arjuna Kartawirya (Sahasrabahu) atas Rawana. Kakawin Arjunawijaya ditulis di bawah lindungan Sri Ranamanggala (sekitar tahun 1379).
Kakawin ini mengisahkan tentang :
1. Kelahiran anak-anak Wisrawa yaitu Dasamukha dan saudara-saudarinya.
2. Kemenangan Dasamukha atas pasukan raja-raja sekutu Arjuna dan kematian Suwanda.
3. Kemenangan Arjuna atas Dasamukha.
Tema dan bahan kakawin ini diambil dari Uttarakanda. yang terdapat vergi prosanya dalam bahasa Jawa Kuna. Dalam kakawin inipun terdapat uraian tentang keesaan dasar Yang Mutlak, yang disembah dengan berbagai nama dan berbagai cara oleh golongan Buddha dan Siwa.
Dalam kakawin tersebut diceritakan kisah Arjuna Sahasrabahu yang mengunjungi kompleks religius (dharma) Siwa Buddha. Pendeta yang ada di tempat tersebut mengingatkan Arjuna Sahasrabahu untuk selalu memelihara candi-candi yang sudah ada maupun yang mengalami kerusakan. Kiranya hal ini merupakan sindiran terhadap banyaknya perhatian kepada perang pada masa sebelumnya, sehingga pemeliharaan candi-candi diabaikan.
Pada zaman Surakarta. kakawin ini digubah menjadi Arjunawijaya (kawi miring) dan Arjuna Sasrabau (macapat) oleh Yasadipura I (tidak tersimpan lagi), Yasadipura II, dan Sindusastra.
KAKAWIN SUTASOMA
Kakawin Sutasoma juga ditulis oleh Mpu Tantular di bawah lindungan Sri Ranamanggala pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, sekitar tahun 1385. Kakawin mengisahkan :
1. Kelahiran Sutasoma sebagai penjelmaan Sang Budha.
2. Perjalanan Sutasoma ke Gunung Sumeru dan tapa Sutasoma.
3. Kisah Sum itra tentang asal-usul danriwayat Jayantaka atau Purusada, yang gemar melahap manusia.
4. Pergulatan Sutasoma dengan Gajamukha, naga, dan harimau.
5. Kematian Sutasoma dan penghidupannya kembali.
6. Pengajaran Sutasoma kepada Gajamukha, naga, dan harimau.
7. Godaan oleh bidadari dan Indra.
8. Pertemuan Sutasoma dengan Dasabaku.
9. Perkawinan Candrawati dengan Sutasoma.
10. Kembalinya Sutasoma ke Hastina dan penobatannya menjadi raja.
11. Kemenangan pasukan raksasa atau pasukan Singhala.
13. Penawanan raja Widarbha oleh Purusada.
13. Kedatangan pasukan raksasa di Hastina, penyerahan diri Sutasoma, dan pertobatan Purusada.
Kakawin ini penting artinya, karena memaparkan ide-ide religius pada zaman itu, khususnya mengenai agama Buddha Mahayana yang berlaku pada zaman itu dan hubungannya dengan agama Siwa. Dalam kakawin ini terdapat ucapan yang termashur: mangkang Jinatwa kalawan Siwatattwa tunggal bhinneka tunggal ika tan hanadharmma mangrwa.
Kakawin ini merupakan kakawin yang unik karena kisah tokoh keturunan Pandawa digubah menjadi kisah Buddhis. Kisah hidup Sutasoma berpolakan kisah hidup Buddha, dan dirangkai dengan kisah yang mengambil bahan dari cerita fataka.
Jika kakawin Arjunawijaya memberi peringatan akan masa pasca-Gajah Mada, maka Kakawin Sutasoma memberi peringatan akan masa timbulnya gejala-gejala pertentangan antara kraton barat dan kraton timur. Kiranya Kakawin Sutasoma memuat anjuran agar masalah itu diselesaikan dengan damai menurut prinsip Buddhis. Kiranya dalam kakawin itu diangankan bahwa Rajasanagara adalah penjelmaan raja Buddhis yang ideal.
Karena sifatnya yang didaktis kakawin ini sampai sekarang digemari di Bali.
KAKAWIN LUBDHAKA
(SAWARATRIKALPA)
Kakawin Lubdhaka atau Siwaratrikalpa ditulis oleh Mpu Tanakung pada pertengahan abad XV di bawah lindungan Sri Adisuraprabhawa. Keunikan kakawin ini terletak pada tokohnya yang adalah seorang pemburu, bukan ksatria. Kakawin ini berisi kisah seorang pemburu yang akhirnya mencapai surga karena secara kebetulan menghormati lingga pada malam Siwa.
Ada padanan teks Sansekerta untuk kakawin ini. Tampak bahwa pada masa itu masih ada hubungan antara kaum Hindu di Jawa dan di India, khususnya India Selatan. Dari prasasti-prasasti tampak bahwa para penguasa Vi jayanagar melaksanakan upacara pemujaan Malam Siwa. Rupanya kakawin ini dimaksudkan untuk memperkenalkan (atau: meneguhkan?) upacara pemujaan malam Siwa. Mungkin sekali kakawin ini merupakan gejala revivalisme agama siwa dan merupakan reaksi atas berkembangnya Islam di Jawa.
KAKAWIN WRTTASANCAYA
Kakawin Wrttasancaya juga ditulis oleh Mpu Tanakung. Kakawin ini penting, karena memberikan kaidah-kaidah metrum.
Sambil memberikan kaidah metrum, kakawin ini mengisahkan :
1. Perpisahan seorang putri dengan kekasihnya.
2. Pertemuan putri itu dengan dua ekor itik, jantan dan betina.
3. Usaha kedua ekor itik itu untuk menolong putri itu dengan mencari kekasihnya sampai pulang kembali ke Istana, dan.
4. Pertemuan putri itu dengan kekasihnya.
Dalam rangka percaturan kegiatan sastra mungkin sekali kakawin ini hendak menyegarkan kembali pemakaian metrum pola India. Hal ini berkaitan dengan munculnya kidung yang menggunakan metrum asli Jawa.
KAKAWIN BAWANA SEKAR
Kakawin Banawa Sekar juga ditulis oleh Mpu Tanakung. Kakawin ini sangat pendek dan melukiskan upacara pesta ‘sraddha yang diadakan oleh Jiwanendradhipa maharaja Jiwana. Lukisan ini dapat menjadi pelengkap atas uraian `sraddhadalam Kakawin Nagarakrtagatma.
KAKAWIN KUNJARAKARNA DHANAKATHANA
Kakawin Kunjarakarna Dharmakathana ditulis oieh seorang pujangga yang menamakan diri Mpu Dusun penulis dari pedalaman. Di samping kakawin terdapat pula versi prosanya.
Kakawin ini berisi kisah Kunjakarna, seorang yaksa yang menginginkan dibebaskan dari sifat raksasanya. Oleh Wairocana dia diperintahkan untuk melihat neraka. Di sana dia melihat kawah yang sedang disiapkan untuk Pumawijaya. Kunjarakarna memperingatkan Pumawijaya tentang nasib yang akan menimpanya. Setelah menerima pengajaran dari Wairocana. Kunjarakarna pergi bertapa, sedangkan Purnawijaya mati, mengalami siksaan di neraka, dan kemudian kembali hidup lagi. Purnawijaya kemudian menyusul Kujarakarna untuk bertapa. Keduanya akhirnya mencapai kelepasan (kamoksakan).
Kakawin ini pun bersifat Buddhis, tetapi dalam kerangka religius Siwa-Buddha. Ada dugaan bahwa kakawin ini ditulis sebelum Kakawin Siwaratrtkalpa. Sebutan Mpu Dusun menunjukkan bahwa penulisnya berasal dari pertapaan atau mandala di luar lingkungan kraton.
Kisah Kunjarakarna juga dilukiskan pada relief- relief Candi Jago. Versi kisah pada relief-relief itu belum dapat ditentukan. Tampaklah bahwa kisah Kunjarakarna telah dikenal sebelum dituliskan menjadi kakawin. Kegiatan sastra pada zaman Majapahit menunjukkan pergeseran, baik dalam isi maupun dalam bentuknya. Percaturan religi dan pergeseran selera masyarakat merupakan faktor yang menentukan. Beberapa ahli telah mengungkapkan masalah ini, yang perlu dicermati lebih lanjut.
Puisi Jawa lama
Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa :
Candakarana Sang Hyang Kamahayanikan Brahmandapurana Agastyaparwa Uttarakanda Adiparwa Sabhaparwa Wirataparwa, 996 Udyogaparwa Bhismaparwa Asramawasanaparwa Mosalaparwa Prasthanikaparwa Swargarohanaparwa Kunjarakarna
Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk puisi (kakawin) :
Kakawin Tertua Jawa, 856
Kakawin Ramayana ~ 870
Kakawin Arjunawiwaha, mpu Kanwa, ~ 1030
Kakawin Kresnayana
Kakawin Sumanasantaka
Kakawin Smaradahana
Kakawin Bhomakawya
Kakawin Bharatayuddha, mpu Sedah dan mpu Panuluh, 1157
Kakawin Hariwangsa
Kakawin Gatotkacasraya
Kakawin Wrettasañcaya
Kakawin Wrettayana
Kakawin Brahmandapurana
Kakawin Kunjarakarna, Mpu Dusun
Kakawin Nagarakretagama, mpu Prapanca, 1365
Kakawin Arjunawijaya, mpu TantularKakawin Sutasoma, mpu Tantular
Kakawin Siwaratrikalpa,
Kakawin Lubdhaka
Kakawin Parthayajna
Kakawin Nitisastra
Kakawin Nirarthaprakreta
Kakawin Dharmasunya
Kakawin Harisraya
Kakawin Banawa Sekar Tanakung