SABDO PALON NOYO GENGGONG BERDIALOG DENGAN SYEKH SUBAKIR
DAN KAPITAYAN
Konon ada semacam perjanjian antara Sabdopalon sebagai Pamomong (Danyang Gaib) Tanah Jawa dengan Syeh Subakir sebagai penyebar Agama Islam generasi awal di Jawa ini. Tersebutlah kisah tersebut dalam tulisan lontar kuno. Lontar tersebut diperkirakan ditulis oleh Kanjeng Sunan Drajad atau setidak tidaknya oleh murid atau pengikut beliau.
CERITA DAN KISAH DI WAYANG KULIT
Cerita tentang kisah ini pernah dipentaskan sebagai lakon wayang kulit bergenre wayang songsong (wayang kulit yang berisi cerita hikayat dan legenda Jawa) yang digelar di Desa Drajad, Paciran, Lamongan (sebuah desa tempat situs Sunan Drajad).
Kisah diawali dengan adanya persidangan di Istana Kesultanan Turki Utsmania di Istambul yang dipimpin langsung oleh Sultan Muhammad I. Persidangan kali ini membahas mimpi Sang Sultan. Menurut Sultan Muhammad, beliu bermimpi mendapat perintah untuk menyebarkan dakwah islamiah ke Tanah Jawa. Adapun mubalighnya haruslah berjumlah sembilan orang. Jika ada yang pulang atau wafat maka akan digantikan oleh ulama lain asal tetap berjumlah sembilan.
Maka dikumpulkanlah beberapa ulama terkemuka dari seluruh dunia Islam waktu itu. Para ulama yang dikumpulkan tersebut mempunyai spesifikasi keahlian masing-masing. Ada yang ahli tata negara, ahli perubatan, ahli tumbal, dll. Titah dari Baginda Sultan Muhammad kepada mereka adalah perintah untuk mendatangi Tanah Jawa dengan tugas khusus yaitu penyebaran Agama Islam.
Dibawah ini adalah dialog antara Sabdopalon dengan Syeh Subakir yang terjadi di atas Gunung Tidar. Syeh Subakir adalah salah satu ulama yang diutus Sultan Muhammad untuk menyebarkan Islam di Tanah Jawa ini. Adapun keahlian Syeh Subakir adalah dalam bidang membuat danmemasang tumbal.
Dialog yang penulis turunkan ini adalah dialog versi imaginer yang penulis olah dari hikayat.
Syeh Subakir : Kisanak, siapakah kisanak ini, tolong jelaskan.
Sabdopalon : Aku ini Sabdopalon, pamomong (penggembala) Tanah Jawa sejak jaman dahulu kala. Bahkan sejak jaman kadewatan (para dewa) akulah pamomong para kesatria leluhur. Dulu aku dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal sebagai Ki Lurah Semar Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku dikenal sebagai Sabdopalon.
Syeh Subakir : Oh, berarti Kisanak ini adalah Danyang (Penguasa) Tanah Jawa ini. Perkenalkan Kisanak, namaku adalah Syeh Subakir berasal dari Tanah Syam Persia.
Sabdopalon : Ada hajad apa gerangan Jengandiko (Anda) rawuh (datang) di Tanah Jawa ini ?
Syeh Subakir : Saya diutus oleh Sultan Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk datang ke Tanah Jawa ini. Saya tiadalah datang sendiri. Kami datang dengan beberapa kawan yang sama-sama diutus oleh Baginda Sultan.
Sabdopalon : Ceritakanlah selengkapnya Kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya.
Syeh Subakir : Baiklah. Pada suatu malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik (ilham). Wisik dari Hyang Akaryo Jagad, Gusti Allah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang alim ke Tanah Jawa ini. Yang dimaksud orang alim ini adalah sebangsa pendita, Brahmana dan Resi di Tanah Hindu. Pada bahasa kami disebut Ulama.
Sabdopalon : Jadi Jengandiko ini termasuk ngulama itu tadi.
Syeh Subakir : Ya, saya salah satu dari utusan yang dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami dikirim kemari adalah untuk menyebarkan wewarah suci (ajaran suci), amedar agama suci. Yaitu Islam.
Sabdopalon : Bukankah Kisanak tahu bahwa di Tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang yaitu Hindu dan BudHa yang berasal dari Tanah Hindu ? Buat apa lagi Kisanak menambah dengan agama yang baru lagi.
Syeh Subakir : Biarkan kawulo dasih (rakyat) yang memilih keyakinannya sendiri. Bukankah Kisanak sendiri sebagai Danyangnya Tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa ini, disinipun sudah ada kapitayan (kepercayaan).
Kapitayan atau ajaran asli Tanah Jawa yang berupa ajaran Budhi.
Sabdopalon : Ya, rupanya Kisanak sudah menyelidiki kawulo Jowo disini. Memang disini sejak jaman sebelum ada agama Hindu dan Budha, sudah ada kapitayan asli. Kapitayan adalah kepercayaan yang hidup dan berkembang pada anak cucu di Nusantara ini.
Syeh Subakir : Jika berkenan, tolong ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di Tanah Jawa ini.
Sabdopalon : Secara ringkas Kepercayaan Jawa begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para leluhur dahulu kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat tan keno kinoyo ngopo, tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya.
Dialah pencipta segala-galanya. Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan jagad kecil.
Alam semesta dan alam manusia. Wong Jowo meyakini bahwa Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga dekat dengan manusia. Dia juga diyakini berperilaku sangat welas asih.
Dia juga diyakini meliputi segala sesuatu yang ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam sekelilingnya. Karena bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini adalah sebagai wakil dari Dia Yang Maha Kuasa itu.
Jika masyarakat Jawa melakukan pemujaan kepada Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung.
Suwung itu kosong namun sejatinya bukan kosong namun berisi Sang Maha Ada.
Karena itu tempat pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di salah satu bagiannya dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong) untuk arah pemujaan.
Karena diyakini bahwa dimana ada tempat suwung disitu ada Yang Maha Berkuasa.
Syeh Subakir : Nah itulah juga yang menjadi ajaran agama yang kami bawa. Untuk memberi ageman (pegangan atau pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa sejatinya dibalik semua yang maujud ini ada Sang Wujud Tunggal yang menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam semesta. Wujud tunggal ini dalam bahasa Arab disebut Al Ahad.
Dia Maha Dekat kepada manusia, bahkan lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya sendiri. Ajaran agama kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu menebarkan welas asih kepada alam gumebyar, kepada sesama sesama titah atau makhluk.
Lihatlah Sang Danyang, betapa sudah rusaknya tatanan masyarakat Djawa (kerajaan masa itu). Bekas-bekas perang saudara masih membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada dimana-mana. Ini harus diperbaharui budi pekertinya.
Sabdopalon : Aku juga sedih sebenarnya memikirkan rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat negara sudah lupa akan dharmanya. Mereka salin sikut untuk merebutkan jabatan dan kemewahan duniawi. Para pandito juga sudah tak mampu berbuat banyak. Orang kecil salang tunjang (bersusah payah) mencari pegangan. Jaman benar-benar jaman edan.
Syeh Subakir : Karena itulah mungkin Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki untuk mengutus kami ke sini. Jadi, wahai Sang Danyang Tanah Jawa, ijinkanlah kami menebarkan wewarah suci ini di wewengkon (wilayah) kekuasaanmu ini.
Sabdopalon : Baiklah jika begitu. Tapi dengan syarat -syarat yang harus kalian patuhi.
Syeh Subakir : Apa syaratnya itu wahai Sang Danyang Tanah Jawa ?
Sabdopalon : Pertama, Jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan. Kedua, Jika hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam. Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu. Keempat, jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya Islam. Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat – syarat ini kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro.
Syeh Subakir : Baiklah. Syarat pertama sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat, betapapun aku dengan kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan budaya Jawa yang adiluhung ini. Namun jika suatu saat kelak karena perkembangan jaman dan ada perubahan maka tentu itu bukan dalam kuasaku lagi. Biarlah Gusti Kang Akaryo Jagad yang menentukannya.
Memang susah untuk mengetahui keadaan, asal usul atau gambaran kondisi sebuah masyarakat nun jauh ke masa lalu. Semakin jauh masa itu, semakin gelap gambarannya. Namun, upaya-upaya ahli sejarah dan lainnya untuk menguaknya patut dihargai. Paling tidak ada sedikit gambaran yang mungkin bisa kita lihat, meski tidak sepenuhnya benar seratus persen.
Naskah yang beredar mencoba menggambarkan hal itu.
Seperti dalam Serat Jangka Syeh Subakir :
1. Sampun sangang ewu warsa, inggih wonten pulo ngriki, dedukuh ing hardi Tidar, saweg antuk sewu warsi, langkung taun puniki, Syech Bakir gawok angrungu, dika niku wong napa, napa ta ayekti janmi, umur dika dene ta kaliwat-liwat.
Yang artinya antara lain :
Sudah 9000 tahun, ya (saya Semar) sudah ada di pulau ini (Jawa), di pedusunan di Gunung Tidar, tapi baru 1000 tahun berjalan, di sini, Syech Subakir heran mendengarnya, engkau ini makhluk apa, apa benar manusia ?
Demikian perkenalan Semar dengan Syech Subakir. Selama ribuan tahun itu Semar bertapa di Gunung Merbabu dan tidak mengetahui keadaan manusia di Jawa. Gambaran tentang kondisi Pulau Jawa juga digambarkan dalam Serat tersebut penuh dihuni oleh demit, jin, gendruwo bekasaan dan sejenisnya. Bahkan beberapa utusan dari negeri Rum sebelum Syeh Subakir dimakan demit (Binadog demit). Dari serat ini, ditegaskan bahwa Raja Rum mendapat petunjuk untuk mengisi pulau Jawa :
Jeng Sultan Rum kang winarni, angsal sasmitaning Sukma, dinawuhan angiseni, manungsa pilo Jawi.
Syeh subakir mengambil orang-orang Keling, untuk dibawa mengisi pulau Jawa, sebanyak 2 laksa (20.000) keluarga. Dari serat ini, maka yang mengisi menjadi penghuni P. Jawa adalah dari bangsa Keling yang dibawa oleh Syeh Subakir. Padahal dalam naskah itu pula, Semar adalah manusia.
2. Sang Hyang Semar lon wuwusnya, gih sumangga karsa Aji, sajatine gih kawula, lan kiraka tiyang Jawi, ing kina prapteng mangkin, kawak daplak inggih ulun, wong Jawa kuna mula, saderenga dika prapti, kula manggen Marbabu pucak haldaka.
Namun, selama bertapa ribuan tahun itu pula pulau Jawa sudah berubah isinya, bukan manusia seperti Semar, tetapi sudah dikuasai oleh para demit.
Dalam Serat Jangka Tanah Jawi gambarannya tidak beda jauh dengan serat Jangak Syeh Subakir, yaitu pertemuan antara Semar dengan Syeh Subakir ketika memberi tumbal (mengusir) para dedemit yang menguasai tanah Jawa. Dalam serat ini ada dialog yang sebenarnya adalah bantahan anggapan bahwa tanah Jawa belum dihuni oleh manusia, hanya oleh bangsa jin dan demit.
3. Syekh Bakir lon angandika, sayrkti ing tanah Jawi, pan durung ana manungsa, pan isih rupa wanadri, Hyang Semar matur aris, kawula sajatosipun, ing kina makina, saderenging tuwan prapti, hamba kalih dhedhukuh Rebabu arga.
Artinya :
Syeh Subakir berkata, sebenarnya di tanah Jawa, belum ada manusia, masih berupa hutan. Hyang Semar menjawab dengan lembut, hamba ini sebenarnya, di masa lalu, sebelum kedatangan tuan, hamba berdua (Semar dan Togog) ini penghuni Jawa yang bertempat di gunung Merbabu.
Namun, dalam serat ini Semar sendiri menjelaskan bahwa dia bukan manusia, tetapi keturunan dewa, Sang Yang Tunggal atau Manikmaya. Agak sedikit berbeda memang dengan serat Jangka Syeh Subakir. Namun pada intinya bahwa Semar dan Togog di masa lalu adalah penghuni pulau Jawa. Apakah hanya mereka berdua? Tentu ini bisa disinkronkan dengan sumber-sumber lain misalnya Babad Demak Pesisiran yang menerangkan silsilah orang tua Syang Hyang Tunggal adalah Sang Yang Wenang, putra dari Sang Yang Wening, putra dari Sang Yang Nurasa, putra dari Sang Yang Nurcahyo atau Sayid Anwar, putra dari Nabi Sis. (dalam versi lain, Sang Yang Wening dan Wenang adalah satu pribadi). Dalam Serat Jangka Tanah Jawi, Semar adalah keturunan dari Nabi Sis (jika digabungkan Babad Demak Pesisiran, karena anak dari Sang Yang Tunggal). Namun, dalam Babad Demak Pesisiran, nama Semar tidak muncul sebagai anak Sang Yang Tunggal. Di sinilah letak gelapnya lagi, Semar di satu sisi mengaku anak Sang Yang Tunggal, namun dalam babad Demak Pesisiran, tidak masuk. Demikian pula dalam Babad Tanah Jawa, Semar dan Togog itu menjadi penderek Raden Palasara yang merupakan keturunan dari Sayid Anwar. Dalam babad Tanah Jawa, Palasara merupakan cikal bakal leluhur Jawa, dimana kemudian, Kurawa, Pandawa adalah bagian dari keturunannya (ini menjadi terbalik, bahwa kisah mahabarata itu mulanya dari Jawa).
Dalam serat Babad Demak Pesisiran, Nabi Ibrahim itu berbeda dengan Bathara Brhama. Nabi Ibrahim berada pada garis silsilah Sayid Anwas (saudara Sayid Anwar). Batara Brahma adalah keturunan dari Sayid Anwar.
Masa-masa gelap ini memang memunculkan banyak versi mengenai leluhur Jawa. Buku lain, yaitu Sejarah Kawitan Wong Djawa Lan Wong Kanung menggambarkan : pertama jaman jamajuja (puluhan ribu- buku ini ditulis pada tahun 1931) sudah ada manusia, tetapi masih bertelanjang, seperti kera, hidupnya di gua-gua. Masih dalam masa jamajuja periode 5000 tahun (sebelumnya) manusianya sudah mengalami kemajuan, sudah memakai cawet dari dedaunan, sudah menempati di luar gua. Mereka sudah berkumpul dalam sebuah komunitas. Masyarakat ini disebut dengan masyarakat Lingga (Suku Lingga). Masa kuna (sebelum masehi), orang-orang Sampit berhijrah ke Nusa Kendheng yang kemudian disebut sebagai orang Jawa. Kata Jawa sendiri dirujukkan pada sebutan Bantheng yang gemati penuh perhatian terhadap anaknya. Sebab bantheng perempuan disebut Jawi, yang “gemati” kemudian disebut Jawa. Orang-orang Sampit yang mengungsi ke Jawa ini kemudian membuat pertanda awal sebagai orang Jawa, yaitu 230 tahun sebelum masehi (bukan saka). Tahun itu disebut tahun Hwuning (pengingat). Tokoh pimpinan rombongan eksodus ini namanya Khi Seng Dhang, yang kelak kemudian disebut Dhang Hyang (Danyang). Mereka berasal dari Sampit yang keturunan dari suku Hainan. Dari catatan ini, maka orang Jawa (dalam pengertian) pendatang baru yang gemati, mau menghormati orang Lingga adalah 230 SM. Namun penduduk Jawa asli, Suku Lingga kemudian bercampur dan kelak memenuhi Jawa.
Dengan demikian, mulainya peradaban Jawa itu 230 SM, karena adanya kebudayaan Hainan yang dibawa, sementara suku Lingga yang masih tertinggal, hidup di gua, hutan dan bergantung pada alam, belum disebut sebagai orang Jawa. Ini tentu berbeda dengan versi Serat Jangka Syeh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi. Jika kita lihat kedatangan Syeh Subakir di tanah Jawa dari sumber lain, sekitar tahun 1404. Jika berasumsi bahwa sebelum tahun itu tanah Jawa tak ada manusianya, maka akan muncul banyak persoalan, bagaimana dengan kerajaan Singasari, Kediri dan lainnya yang sebelumnya ada ?
Tentu membaca Serat Jangka Syekh Subakir dan Serat Jangka Tanah Jawi ini tidak bisa seleterlek ini. Mungkin butuh analisis simbol, semiotik, hermeneutik dan lain sebagainya agar mendapat pemahaman yang lebih luas. Sebab Serst Jangka itu pesan besarnya adalah mengenai prediksi masa depan Jawa dalam periodisasi tertentu, bukan membahas asal usul bangsa Jawa.
Bahwa kata Jawa itu bisa diartikan gemati, perhatian, menghargai, menyayangi. Jadi siapapun mereka bisa melakukan itu semua di pulau Jawa ini, akan menjadi leluhur Jawa, entah dia dari belahan dunia manapun.
PERCAKAPAN IMAJINER SYEH SUBAKIR DAN SABDO PALON (2)
A. Syeh Subakir : Kisanak, siapakah kisanak ini, tolong jelaskan.
B. Sabdopalon : Aku ini Sabdopalon, pamomong (penggembala) Tanah Jawa sejak jaman dahulu kala.
Bahkan sejak jaman kadewatan (para dewa) akulah pamomong para kesatria leluhur.
Dulu aku dikenali sebagai Sang Hyang Ismoyo Jati, lalu dikenal sebagai Ki Lurah Semar Bodronoyo dan sekarang jaman Majapahit ini namaku dikenal sebagai Sabdopalon.
A. Syeh Subakir : Oh, berarti Kisanak ini adalah Danyang (Penguasa) Tanah Jawa ini. Perkenalkan Kisanak, namaku adalah Syeh Subakir berasal dari Tanah Syam Persia.
B. Sabdopalon : Ada hajad apa gerangan Jengandiko (Anda) rawuh (datang) di Tanah Jawa ini ?
A. Syeh Subakir : Saya diutus oleh Sultan Muhammad yang bertahta di Negeri Istambul untuk datang ke Tanah Jawa ini. Saya tiadalah datang sendiri. Kami datang dengan beberapa kawan yang sama-sama diutus oleh Baginda Sultan.
B. Sabdopalon : Ceritakanlah selengkapnya Kisanak. Supaya aku tahu duduk permasalahannya.
A. Syeh Subakir : Baiklah. Pada suatu malam Baginda Sultan Muhammad bermimpi menerima wisik (ilham). Wisik dari Hyang Akaryo Jagad, Gusti Allah Dzat Yang Maha Suci lagi Maha Luhur. Diperintahkan untuk mengutus beberapa orang ‘alim ke Tanah Jawa ini. Yang dimaksud orang ‘alim ini adalah sebangsa pendita, brahmana dan resi di Tanah Hindu. Pada bahasa kami disebut ‘Ulama.
B. Sabdopalon : Jadi Jengandiko ini termasuk ngulama itu tadi ?
A. Syeh Subakir : Ya, saya salah satu dari utusan yang dikirim Baginda Sultan. Adapun tujuan kami dikirim kemari adalah untuk menyebarkan wewarah suci (ajaran suci), amedar agama suci. Yaitu Islam.
B. Sabdopalon : Bukankah Kisanak tahu bahwa di Tanah Jawa ini sudah ada agama yang berkembang yaitu Hindu dan BudHa yang berasal dari Tanah Hindu ? Buat apa lagi Kisanak menambah dengan agama yang baru lagi ?
A. Syeh Subakir : Biarkan kawulo dasih (rakyat) yang memilih keyakinannya sendiri. Bukankah Kisanak sendiri sebagai Danyangnya Tanah Jawa lebih paham bahwa sebelum agama Hindu dan Budha masuk ke Jawa ini, disinipun sudah ada kapitayan (kepercayaan) ? Kapitayan atau ‘ajaran’ asli Tanah Jawa yang berupa ajaran Budhi ?
B. Sabdopalon : Ya, rupanya Kisanak sudah menyelidiki kawulo Jowo disini. Memang disini sejak jaman sebelum ada agama Hindu dan Budha, sudah ada ‘kapitayan’ asli. Kapitayan adalah kepercayaan yang hidup dan berkembang pada anak cucu di Nusantara ini.
A. Syeh Subakir : Jika berkenan, tolong ceritakan bagaimana kapitayan yang ada di Tanah Jawa ini.
B. Sabdopalon : Secara ringkas Kepercayaan Jawa begini. Manusia Jawa sejak dari jaman para leluhur dahulu kala meyakini ada Sang Maha Kuasa yang bersifat ‘tan keno kinoyo ngopo’, tidak bisa digambarkan bagaimana keadaannya. Dialah pencipta segala-galanya. Bawono Agung dan Bawono Alit. Jagad besar dan jagad kecil. Alam semesta dan ‘alam manusia’.
Wong Jowo meyakini bahwa Dia Yang Maha Kuasa ini dekat. Juga dekat dengan manusia. Dia juga diyakini berperilaku sangat welas asih.
Dia juga diyakini meliputi segala sesuatu yang ada. Karena itu masyarakat Jawa sangat menghormati alam sekelilingnya. Karena bagi mereka semuanya mempunyai sukma. Sukma ini adalah sebagai ‘wakil’ dari Dia Yang Maha Kuasa itu.
Jika masyarakat Jawa melakukan pemujaan kepada Sang Pencipta, mereka lambangkan dengan tempat yang suwung.
Suwung itu kosong namun sejatinya bukan kosong namun berisi Sang Maha Ada. Karena itu tempat pemujaan orang Jawa disebut Sanggar Pamujan. Di salah satu bagiannya dibuatlah sentong kosong (tempat atau kamar kosong) untuk arah pemujaan. Karena diyakini bahwa di mana ada tempat suwung di situ ada Yang Maha Berkuasa.
A. Syeh Subakir : Nah itulah juga yang menjadi ajaran agama yang kami bawa.
Untuk memberi ageman (pegangan atau pakaian) yang menegaskan itu semua. Bahwa sejatinya dibalik semua yang maujud ini ada Sang Wujud Tunggal yang menjadi Pencipta, Pengatur dan Pengayom alam semesta. Wujud tunggal ini dalam bahasa Arab disebut Al Ahad. Dia maha dekat kepada manusia, bahkan lebih dekat Dia daripada urat leher manusianya sendiri.
Ajaran agama kami menekankan budi pekerti yang agung yaitu menebarkan welas asih kepada alam gumebyar, kepada sesama titah atau makhluk.
Lihatlah Sang Danyang, betapa sudah rusaknya tatanan masyarakat Majapahit sekarang. Bekas-bekas perang saudara masih membara. Rakyat kelaparan. Perampokan dan penindasan ada di mana-mana. Ini harus diperbaharui budi pekertinya.
B. Sabdopalon : Aku juga sedih sebenarnya memikirkan rakyatku. Tatanan sudah bubrah. Para pejabat negara sudah lupa akan dharmanya. Mereka saling sikut untuk memperebutkan jabatan dan kemewahan duniawi. Para pandito juga sudah tak mampu berbuat banyak. Orang kecil salang tunjang (bersusah payah) mencari pegangan. Jaman benar-benar jaman edan.
A. Syeh Subakir : Karena itulah mungkin Sang Maha Jawata Agung menyuruh Sultan Muhammad Turki untuk mengutus kami ke sini. Jadi, wahai Sang Danyang Tanah Jawa, ijinkanlah kami menebarkan wewarah suci ini di wewengkon (wilayah) kekuasaanmu ini.
B. Sabdopalon : Baiklah jika begitu. Tapi dengan syarat -syarat yang harus kalian patuhi.
A. Syeh Subakir : Apa syaratnya itu wahai Sang Danyang Tanah Jawa ?
B. Sabdopalon :
Pertama, Jangan ada pemaksaan agama, dharma atau kepercayaan.
Kedua, Jika hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ngibadah, buatlah yang wangun (bangunan) luarnya nampak cakrak (gaya) Hindu Jawa walau isi dalamannya Islam.
Ketiga, jika mendirikan kerajaan Islam maka Ratu yang pertama harus dari anak campuran. Maksud campuran adalah jika bapaknya Hindu maka ibunya Islam. Jika bapaknya Islam maka ibunya harus Hindu.
Keempat, jangan jadikan Wong Jowo berubah menjadi orang Arab atau Parsi. Biarkan mereka tetap menjadi orang Jawa dengan kebudayaan Jawa walau agamanya Islam.
Karena agama setahu saya adalah dharma, yaitu lelaku hidup atau budi pekerti. Hati-hati jika sampai Orang Jawa hilang Jawanya, hilang kepribadiannya, hilang budi pekertinya yang adiluhung maka aku akan datang lagi. Ingat itu. Lima ratus tahun lagi jika syarat- syarat ini kau abaikan aku akan muncul membuat goro-goro.
A. Syeh Subakir : Baiklah. Syarat pertama sampai keempat aku setujui. Namun khusus syarat keempat, betapapun aku dengan kawan-kawan akan tetap menghormati dan melestarikan budaya Jawa yang adiluhung ini.
Namun jika suatu saat kelak karena perkembangan jaman dan ada perubahan maka tentu itu bukan dalam kuasaku lagi. Biarlah Gusti Kang Akaryo Jagad yang menentukannya.
Secara
sederhana, Kapitayan dapat digambarkan
sebagai suatu ajaran keyakinan yang memuja sembahan utama yang disebut
Sanghyang Taya, yang bermakna hampa, kosong, suwung, atau awang-uwung. Kata
awang-uwung bermakna ada tapi tidak ada, tidak ada tapi ada, untuk itu, supaya
bisa dikenal dan disembah manusia, Sanghyang Taya digambarkan mempribadi dalam
nama dan sifat Ilahiah yang disebut Tu atau To yang bermakna daya gaib bersifat
adikodrati. Taya bermakna Yang Absolut, yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan.
Tidak bisa didekati dengan pancaindra.
TUHAN
Tuhan
dalam agama kapitayan disebut Sang Hyang Taya. Taya berarti suwung (kosong).
Tuhan Kapitayan bersifat abstrak, tidak bisa digambarkan. Sang Hyang Taya
diartikan sebagai tan keno kinaya ngapa, tidak dapat dilihat, dipikirkan, atau
dibayangkan, alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, supaya
bisa disembah Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut Tu atau
To, yang bermakna daya gaib yang bersifat adikodrati. Tu atau To adalah tunggal
dalam Dzat. Satu Pribadi. Tu lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal. Dia
memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. Tu yang bersifat Kebaikan
disebut Tu-han disebut dengan nama Sanghyang Wenang. Tu yang bersifat Kejahatan
disebut dengan nama Sang Manikmaya. Demikianlah, Sanghyang Wenang dan Sang
Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal. Karena itu
baik Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya bersifat gaib tidak
dapat didekati dengan pancaindera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya
saja.
Kekuatan
Sang Hyang Taya yang kemudian mewakili di berbagai tempat, seperti di batu,
monumen, pohon, dan di banyak tempat lain. Oleh karena itu, mereka memberikan
persembahan atas tempat itu, bukan karena mereka menyembah batu, pohon, monumen,
atau apa pun, tetapi mereka melakukannya sebagai pengabdian mereka kepada Sang
Hyang Taya yang kekuatannya diwakili di semua tempat itu. Agama kapitayan tidak
mengenal dewa-dewa seperti dalam agama Hindu dan Budha.
Teologi
Agama
kapitayan ini, adalah agama kuno yang dipelajari dalam kajian arkeologi, yang
tinggalan dan peninggalan arkeologisnya dalam terminologi Barat dikenal dengan
dolmen, menhir, sarkofagus, dan lain-lain yang mengindikasikan adanya agama
kuno disekitar tempat itu. Dan oleh sejarawan Belanda, agama ini secara salah
disebut sebagai animisme dan dinamisme, karena memuja pohon, batu, dan makhluk
halus. Menurut sudut pandang Ma Huan, praktek penyembahan benda-benda seperti
itu disebut orang yang tidak beriman.[7] Kapitayan ini lebih menyerupai
ketauhidan daripada animisme-dinamisme seperti yang kebanyakan peneliti anggap.
Penyebutan sebagai animisme-dinamisme sendiri muncul oleh karena, secara
tampilan fisik, ritual yang dilakukan oleh para penganutnya tampak sebagai
penyembahan terhadap benda-benda. Secara sederhana, penyembahan benda-benda itu
dipahami sebagai pemujaan terhadap kekuatan benda itu sendiri
(animisme-dinamisme). Sebenarnya, pada awalnya ajaran Kapitayan justru tidak
menyembah benda itu sebagai kekuatan mutlak, namun lebih pada penyembahan Sang
Hyang, kekuatan tertinggi. Benda-benda yang terdapat dalam ritual keagamaan,
seperti pohon, batu, dan mata air adalah beberapa perwujudan saja dari kekuatan
yang maha tinggi Sang Hyang tersebut.
Oleh
karena Sanghyang Tunggal dengan dua sifat itu bersifat gaib, maka untuk
memuja-Nya dibutuhkan sarana-sarana yang bisa didekati pancaindera dan alam
pikiran manusia. Itu sebabnya, di dalam ajaran Kapitayan dikenal keyakinan yang
menyatakan bahwa kekuatan gaib dari Pribadi Tunggal Sanghyang Taya yang disebut
Tu atau To itu ‘tersembunyi’ di dalam segala sesuatu yang memiliki nama Tu atau
To. Para pengikut ajaran Kapitayan meyakini adanya kekuatan gaib pada wa-tu,
tu-gu, tu-tuk, tu-nda, tu-lang, tu-nggul, tu-ak, tu-k, tu-ban, tu-mbak,
tunggak, tu-lup,tu-ngkub, tu-rumbukan, un-tu, pin-tu, tu-tud, to-peng, to-san,
to-pong, to-parem, to-wok, to-ya. Sisa-sisa sarana pemujaan inilah yang dalam
arkeologi dikenal sebagai Menhir, Dolmen, Punden Berundak, Nekara, Sarkofagus,
dan lain lain. Dalam melakukan bhakti memuja Sanghyang Taya melalui
sarana-sarana inilah, orang menyediakan sesaji berupa tumpeng, tu-mbal, tu-mbu,
tu-kung, tu-d kepada Sanghyang Taya melalui sesuatu yang diyakini memiliki
kekuatan gaib.
Seorang
hamba pemuja Sanghyang Taya yang dianggap saleh akan dikaruniai kekuatan gaib
yang bersifat positif (tu-ah) dan yang bersifat negatif (tu-lah). Mereka yang
sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah itulah yang dianggap berhak untuk menjadi
pemimpin masyarakat. Mereka itulah yang disebut ra-tu atau dha-tu. Mereka yang
sudah dikaruniai tu-ah dan tu-lah, gerak-gerik Kehidupannya akan ditandai oleh
PI, yakni kekuatan rahasia Ilahi Sanghyang Taya yang tersembunyi. Itu sebabnya,
ra-tu atau dha-tu, menyebut diri dengan kata ganti diri: PI-nakahulun. Jika
berbicara disebut PI-dato. Jika mendengar disebut PI-harsa. Jika mengajar
pengetahuan disebut PI-wulang. Jika memberi petuah disebut PI-tutur. Jika
memberi petunjuk disebut PI-tuduh. Jika menghukum disebut PI-dana. Jika memberi
keteguhan disebut PIandel. Jika menyediakan sesaji untuk arwah leluhur disebut
PItapuja lazimnya berupa PI-nda (kue tepung), PI-nang, PI-tik, PIndodakakriya
(nasi dan air), PI-sang. Jika memancarkan kekuatan disebut PI-deksa. Jika
mereka meninggal dunia disebut PI-tara. Seorang ratu atau dha-tu, adalah
pengejawantahan kekuatan gaib Sanghyang Taya. Seorang ratu adalah citra Pribadi
Sanghyang Tunggal.
Dengan
prasyarat-prasyarat sebagaimana terurai di muka, kedudukan ra-tu dan dha-tu
tidak bersifat kepewarisan mutlak. Sebab seorang ra-tu yang dituntut keharusan
fundamental memiliki tu-ah dan tu-lah, tidak bisa diwariskan secara otomatis
pada anak keturunannya. Seorang ra-tu harus berjuangkeras menunjukkan
keunggulan tu-ah dan tu-lah, dengan mula-mula menjadi penguasa wilayah kecil
yang disebut wisaya. Penguasa wisaya diberi sebutan Raka. Seorang raka yang
mampu menundukkan kekuasaan raka-raka yang lain, maka ia akan menduduki jabatan
ra-tu. Dengan demikian, ra-tu adalah manusia yang benar-benar telah teruji kemampuannya,
baik kemampuan memimpin dan mengatur strategi maupun kemampuan tu-ah dan tulah
yang dimilikinya.
Nilai-nilai
keagamaan Kapitayan inilah yang kemudian diadopsi oleh para Walisongo dalam
menyebarkan agama Islam ke daerah-daerah. Karena konsep tauhid dalam Kapitayan
pada dasarnya sama dengan konsep tauhid dalam Islam: istilah “Tan keno kinaya
ngapa” dalam Kapitayan (“tidak dapat dilihat, tidak dapat dipikirkan, tidak
dapat dibayangkan, Ia berada di luar segalanya"), memiliki arti yang sama
dengan "laisa kamitslihi syai'un" dalam Islam (Tidak ada yang seperti
Dia, Qur'an Surah Ash-Syura bab 42 ayat 11).
Walisongo
juga menggunakan istilah “Sembahyang” (menyembah Sang Hyang Taya di Kapitayan)
dalam memperkenalkan istilah “Shalat” dalam Islam. Dalam hal tempat pemujaan
atau persembahyangan, Walisongo juga menggunakan istilah Sanggar di Kapitayan,
yang merupakan bangunan empat persegi dengan lubang kosong di dindingnya
sebagai simbol Sang Hyang Taya di Kapitayan, bukan arca atau arca seperti dalam
agama Hindu atau agama Buddha. Istilah tempat untuk berdoa atau beribadah di
Kapitayan ini juga digunakan oleh Walisongo dengan nama Langgar mewakili istilah
Masjid dalam Islam.
Ada
juga ritual tidak makan dari pagi hingga malam di Kapitayan, yang disebut
dengan Upawasa (Puasa atau Poso). Kebetulan, ritual puasa dalam agama Hindu
disebut juga dengan Upawasa atau Upavasa. Alih-alih menggunakan istilah puasa
atau Siyam dalam Islam, Walisongo menggunakan istilah Puasa atau Upawasa dari
Kapitayan dalam menggambarkan ritual tersebut. Sebutan Poso Dino Pitu dalam
Kapitayan yang artinya puasa pada hari kedua dan kelima yang sama dengan puasa
tujuh hari, sangat mirip dengan bentuk puasa Senin dan Kamis dalam Islam.
Tradisi "Tumpengan" Kapitayan juga dilestarikan oleh para Walisongo
dalam perspektif Islam yang dikenal sebagai Sedekah. Inilah makna istilah yang
disebut-sebut oleh Gus Dur (presiden keempat Indonesia) sebagai mempribumikan
Islam.
ibadah
Dalam
rangka melakukan puja bakti kepada Sanghyang Tunggal, penganut Kapitayan
menyediakan sajen berupa tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tumbu (keranjang
persegi dari anyaman bambu untuk tempat bunga), tu-ak (arak), tu-kung (sejenis
ayam) untuk dipersembahkan kepada Sanghyang Tu-nggal yang daya gaib-Nya
tersembunyi pada segala sesuatu yang diyakini memiliki kekuatan gaib seperti
tu-ngkub, tu-nda, wa-tu, tu-gu, tu-nggak, tu-k, tu-ban, tu-rumbukan, tu-tuk.
Para penganut Kapitayan yang punya maksud melakukan tu-ju (tenung) atau
keperluan lain yang mendesak, akan memuja Sanghyang tu-nggal dengan persembahan
khusus yang disebut tu-mbal.
Berbeda
dengan pemujaan terhadap Sanghyang Tunggal yang dilakukan masyarakat awam
dengan persembahan sajen-sajen di tempat-tempat keramat, untuk beribadah menyembah
Sanghyang Taya langsung, amaliah yang lazim dijalankan para ruhaniwan
Kapitayan, berlangsung di suatu tempat bernama sanggar, yaitu bangunan persegi
empat beratap tumpang dengan tutu-k (lubang ceruk) di dinding sebagai lambang
kehampaan Sanghyang Taya.
Dalam
bersembahyang menyembah Sanghyang Taya di sanggar itu, para ruhaniwan Kapitayan
mengikuti aturan tertentu: mula-mula, sang ruhaniwan yang sembahyang melakukan
tu-lajeg (berdiri tegak) menghadap tutu-k (lubang ceruk) dengan kedua tangan
diangkat ke atas menghadirkan Sanghyang Taya di dalam tutu-d (hati). Setelah
merasa Sanghyang Taya bersemayam di hati, kedua tangan diturunkan dan
didekapkan di dada tepat pada hati. Posisi ini disebut swa-dikep (memegang
ke-aku-an diri pribadi). Proses tu-lajeg ini dilakukan dalam tempo relatif
lama. Setelah tu-lajeg selesai, sembahyang dilanjutkan dengan posisi Tu-ngkul
(membungkuk memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam tempo relatif lama.
Lalu dilanjutkan lagi dengan posisi tu-lumpak (bersimpuh dengan kedua tumit
diduduki). Yang terakhir, dilakukan posisi To-ndhem (bersujud seperti bayi
dalam perut ibunya). Selama melakukan tu-lajeg, tu-ngkul, tu-lumpak, dan
To-ndhem dalam waktu satu jam lebih itu, ruhaniwan Kapitayan dengan segenap
perasaan berusaha menjaga keberlangsungan Keberadaan Sanghyang Taya (Yang
Hampa) yang sudah disemayamkan di dalam tutu-d (hati).
Sejarah
Dalam
konteks “agama angin muson”, agama kuno yang disebut Kapitayan merupakan agama yang dianut
penghuni Nusantara, yang menurut cerita kuno adalah agama purbakala yang dianut
oleh penghuni lama Pulau Jawa berkulit hitam. Dalam keyakinan penganut
Kapitayan di Jawa, leluhur yang awal sekali dikenal sebagai penganjur Kapitayan
adalah tokoh mitologis Danghyang Semar putera Sanghyang Wungkuham keturunan
Sanghyang Ismaya. Menurut cerita, negeri asal Danghyang Semar adalah
Swetadwipa, benua yang tenggelam akibat banjir besar yang menyebabkan Danghyang
Semar dan kaumnya mengungsi ke Pulau Jawa. Sanghyang Semar memiliki saudara
bernama Sang Hantaga (Togog) yang tinggal di negeri seberang (luar Jawa), yang
juga mengajarkan Kapitayan tapi sedikit berbeda dengan yang diajarkan Danghyang
Semar. Saudara Danghyang Semar yang lain lagi bernama Sang Manikmaya, menjadi
penguasa di alam gaib kediaman para leluhur yang disebut Ka-hyang-an.
Tokoh-tokoh
idola dalam ajaran Kapitayan seperti
Danghyang Semar, Kyai Petruk, Nala Gareng, dan Bagong dimunculkan sebagai
punakawan yang memiliki kekuatan adikodrati yang mampu mengalahkan dewa-dewa
Hindu.
Agama
Kapitayan, Agama Asli Penduduk Jawa Kuno: Berguru kepada Semar
Saat
masih duduk di bangku SD hingga SMA, guru sejarah saya, ketika menerangkan
tentang agama asli penduduk Jawa Kuno atau lebih luas lagi penduduk Nusantara,
selalu menyebut animisme-dinamisme, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang
serta kepada kekuatan gaib yang bersemayam pada benda-benda tertentu, seperti
batu-batu besar, pohon-pohon besar, dan benda-benda bertuah. Agama Kapitayan
tidak pernah dijelaskan.
Penjelasannya
selalu singkat, tanpa dirinci dari mana kepercayaan itu berasal, bagaimana cara
peribadatannya atau tambahan penjelasan yang lain. Tentu saja saya dan juga
teman-teman yang lain, bahkan mungkin seluruh pelajar se-Indonesia kala itu
hanya bisa mengira-ngira seperti apa ajaran animisme-dinamisme tanpa memiliki
gambaran konkret.
Celakanya,
penjelasan dalam buku pelajaran juga sesingkat penjelasan guru. Sulit bagi kami
untuk menambah referensi pengetahuan terkait agama asli penduduk Jawa Kuna.
Baru
setelah informasi dapat diperoleh dengan mudah melalui jaringan internet,
pertanyaan yang bertahun-tahun tersimpan dalam kepala akhirnya dapat terjawab.
Berikut informasi tentang agama asli penduduk Jawa Kuna yang saya kumpulkan
dari berbagai sumber.
PENDAPAT
P.
Mus dalam bukunya yang berjudul L’inde vue de L’Est. Cultes Indiens etindigenes
au Champa, menyebutkan bahwa kepercayaan yang diyakini masyarakat Jawa termasuk
juga penduduk yang tinggal di wilayah India, Indo Cina, kepulauan Nusantara
hingga Pasifik ternyata tidak sesederhana yang disampaikan guru-guru sejarah
saya, yaitu animisme-dinamisme, melainkan merupakan agama kuna yang disebut
Kapitayan.
Baca
Juga: 5 Kelakuan Pembeli yang Bikin
Kesal Pemilik Warung Makan
Mengenal
agama Kapitayan
Agama
yang disebut Kapitayan telah dianut dan dijalankan turun temurun semenjak Asia
Tenggara termasuk Kepulauan Nusantara dihuni ras Proto Melanesia hingga
kedatangan ras Austronesia.
Pembawa
dan penyebar agama Kapitayan ini menurut keyakinan para penganutnya adalah
Danghyang Semar, keturunan Sanghyang Ismaya yang berasal dari Lemuria yakni
sebuah benua yang tenggelam karena diterjang banjir besar yang membuat Semar
bersama kaumnya mengungsi ke Pulau Jawa. Kisah ini selanjutnya banyak
dihubungkan dengan banjir besar yang terjadi pada masa Nabi Nuh.
Selain
Semar ada juga saudaranya yang bernama Togog (Sang Hantaga) yang tinggal di
luar Jawa dan juga mengajarkan agama Kapitayan namun dengan tata cara yang
sedikit berbeda. Satu lagi saudara Semar yaitu Sang Manikmaya yang tinggal di
alam gaib atau ka-hyang-an.
Agama
yang disebut Kapitayan ini memuja tuhan yang mereka sebut Sanghyang Taya. Makna
dari kata Taya adalah Suwung, Kosong, Hampa dan tidak bisa dipikir, dibayangkan
serta dideteksi dengan pancaindra.
Sanghyang
Taya diasosiasikan memiliki sifat Tu atau To yang terdiri atas dua sifat yakni
kebaikan dan ketidakbaikan. Tu dipercaya tersembunyi dalam berbagai benda yang
mengandung kata Tu seperti watu (batu), tu-ngkub (bangunan suci), tu-nda
(bangunan berundak), tu-k (mata air), tu-mbak (jenis lembing), tu-nggak (batang
pohon) serta yang lain.
Dalam
pemujaannyapun juga digunakan sesajen yang mengandung kata tu, seperti
tu-mpeng, tu-mpi (kue dari tepung), tu-ak (arak), tu-kung (sejenis ayam),
tu-mbu (tempat bunga) serta yang lain.
Tata cara pemujaan agama Kapitayan
Cara
pemujaan yang dilakukan para penganut Kapitayan ini berbeda antara masyarakat
awam dengan para ruhaniawan. Untuk menyembah Sanghyang Taya, masyarakat awam
biasanya mempersembahkan sesajen di tempat-tempat keramat. Sedang para
ruhaniawan melakukan pemujaan di tempat khusus bernama sanggar yang berupa
bangunan beratap tu-mpang yang memiliki tu-tuk (ceruk pada dinding).
Tata
cara bersembahyang yang dilakukan para ruhaniawan diawali dengan tu-lajeg
(berdiri tegak) tepat ke arah tu-tuk (ceruk) dengan tangan diangkat untuk
memanggil Sanghyang Taya agar bersemayam dalam Tu-tud (hati). Setelah Sanghyang
Taya dirasakan sudah hadir dalam Tu-tud, kedua tangan lantas bersedekap tepat
di hati yang disebut swa-dikep.
Usai
melakukan tulajeg dalam waktu yang cukup lama disusul dengan posisi tu-ngkul
(membungkuk dengan mata memandang ke bawah) yang juga dilakukan dalam waktu
relatif lama. Selanjutnya membuat posisi tu-lumpak (duduk bersimpuh dengan
menduduki kedua tumit) dan diakhiri dengan posisi to-ndem (bersujud seperti
janin dalam perut).
Proses
beribadah yang dilakukan tersebut berlangsung lebih dari satu jam dan dilakukan
dengan segenap rasa dengan tujuan untuk menjaga keberadaan Sang Hyang Taya agar
tetap bersemayam dalam tu-tud (hati).
Demikian
sedikit penjelasan tentang agama asli penduduk Jawa Kuno yang disebut Kapitayan
beserta tata cara beribadah yang oleh banyak orang dikenal dengan sebutan
animisme-dinamisme. Padahal, pada dasarnya, pemeluk Kapitayan bukan menyembah
nenek moyang maupun roh melainkan kepada Tuhan yang mereka sebut Sang Hyang
Taya.
Selain
Prabu Jayabaya dengan Serat Jangka Jayabaya-nya, masyarakat kita juga mengenal
nama lain yang turut memberi ramalan tentang hari depan tanah Jawa, yaitu Sabda
Palon dan Naya Genggong. Dua sosok misterius yang sering kali disangkut-pautkan
dengan fenomena letusan Merapi ataupun gunung-gunung lain di Indonesia.
Fenomena alam yang dalam frasa masyarakat Jawa dikenal dengan, Sabda Palon
nagih janji.
Tapi,
secara proporsional sejauh yang saya amati nama Sabda Palon dan Naya Genggong
dari dulu jauh lebih santer diperbincangkan ketimbang Prabu Jayabaya. Kok bisa
begitu? Alasannya jelas, Prabu Jayabaya adalah raja Kediri yang riwayat
hidupnya bisa ditelusuri secara pasti. Banyak rekam jejak atau napak tilas yang
mengonfirmasi keberadaan beliau.
Tapi,
kalau Sabda Palon dan Naya Genggong, keduanya bener-bener masih abu-abu dan
misterius, Kebenaran tentang ada atau nggaknya pun masih simpang siur. Sebagian
orang bahkan menganggapnya hanya sebagai mitos belaka, nggak bener-bener ada.
Ada juga yang menyebut bahwa keduanya adalah sosok gaib sebagai pamomong bumi
Jawa.
Sementara
yang meyakini kebenaran adanya dua sosok tersebut, asumsinya nggak jauh-jauh
dari sumber-sumber yang menyebut bahwa dua sosok ini merupakan punakawan atau
penasehat spiritual dari Prabu Kerthabhumi (Brawijaya V), penguasa terakhir
Majapahit.
Salah
satu sumber yang mengonfirmasi kebenarannya adalah Serat Sabda Palon yang
memuat perbincangan terakhir antara kedua sosok tersebut dengan sang prabu
mengenai masa depan bumi Jawa, untuk kemudian pergi meninggalkan tanah Jawa.
Ada juga yang bilang keduanya menuju Jawa bagian selatan (antara moksa di
Gunung Merapi atau Gunung Tidar).
Seperti
yang termuat dalam Serat Sabda Palon pupuh pat dan nem tentang menuju ke
selatan Jawa, dan pupuh 16 (terakhir) tentang moksanya berbunyi, “Sabda Palon
nula mukswa/Sakedhap boten kaeksi/Wangsul ing jaman limunan (Kemudian Sabda
Palon menghilang/Sekejap mata sudah tak terlihat/Kembali ke alam misteri).
Peristiwa
tersebut dalam candra sengkala (hitungan kalender Jawa) dikenal dengan sebutan
sirna ilang kerthaning bhumi (Sirna: 0, Ilang: 0, Kertha: 4, Bhumi: 1 = 1400
Saka/1478 Masehi). Pemilihan nama kerthaning dan bhumi ini disinyalir diambil
dari nama sang prabu sendiri. Tanda ini turut menguatkan kabar bahwa kedua
sosok tersebut merupakan punakawan dari Prabu Kerthabhumi.
Pertanyaan
selanjutnya, kalau toh memang ada, siapakah sebenarnya kedua sosok tersebut ?
Apakah sosok nyata atau justru merupakan sosok gaib.
Lalu,
apa hubungan antara kedua sosok tersebut dengan sosok Dhang Hyang Semar
Badranaya (Mbah Semar)? Sebab, kalau diperhatikan, ternyata ada banyak kesamaan
kisah dua sosok tersebut dengan Mbah Semar.
Dari
beberapa informasi yang saya himpun, ada empat asumsi mengenai kebenaran
eksistensi dari sosok Sabda Palon dan Naya Genggong.
1.
Sabda
Palon dan Naya Genggong adalah sosok nyata, manusia sebagaimana umumnya. Jika
ditelusuri, ternyata keduanya memiliki silsilah leluhur, yaitu masih keturunan
dari Empu Tantular VI, penulis Kakawin Sutasoma yang menjadi muasal penggunaan
Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar negara. Nama asli Sabda Palon adalah Dhang
Hyang Smaranatha (lahir 1328 M) dan Dhang Hyang Panawasikan (lahir 1337 M). Secara
keseluruhan, silsilah leluhur dari dua sosok tersebut adalah trah para brahmana
dan begawan, yaitu gelar untuk orang-orang yang bergelut dalam dunia ilmu dan
spiritual. Itulah kenapa keduanya kemudian menjadi penasehat bagi Prabu
Kerthabhumi. Bahkan, ada yang menyebut keduanya sudah menjadi penasehat keraton
sejak masa Dyah Rani Suhita (Ratu Ayu Kencana Wungu) dengan Raden Ratnapangkaja
(Damarwulan) memerintah dari 1427-1447, menggantikan Prabu Wikramawardhana
(raja kelima Majapahit). Mas Damar Shashangka menyebut, kedua sosok tersebut
ini dulunya adalah penasehat pribadi dari Raden Damarwulan. Berkat nasehat dan
siasat dari keduanya Raden Damarwulan akhirnya berhasil menumpas pemberontakan
dari Adipati Menakjingga yang waktu itu menjabat sebagai adipati keraton wetan
Majapahit (Blambangan). Nah, baru setelah Raden Damarwulan menikahi Ratu Ayu
Kencana Wungu, dua sosok ini resmi dilantik jadi penasehat keraton.
2.
Sabda
Palon dan Naya Genggong merupakan sosok gaib pamomong bumi Jawa. Asumsi ini
didasarkan pada fakta tentang peristiwa moksa keduanya dan minimnya bukti-bukti
fisik yang mendukung kebenaran bahwa keduanya pernah hidup di zaman Majapahit.
Yang ada hanya bukti-bukti tinggalan raja-raja yang pernah diasuh. Misalnya,
bukti arkeologis Prabu Kerthabhumi yang tercecer hampir di sembarang tempat di
tanah Jawa. Asumsi ini juga disandarkan pada cerita tutur yang menyebut, ketika
keduanya menemani Prabu Kerthabhumi bertapa di Gunung Lawu (jelang naik takhta
keprabon), tiba-tiba saja seluruh lelembut yang ada di Gunung Lawu menghatur
sembah pada kedua sosok tersebut. Seolah meneguhkan bahwa keduanya adalah
penguasa dari para lelembut itu. Ada juga yang menyebut, karena diyakini
sebagai pamomong bumi Jawa, keduanya merupakan sosok yang ditemui pertama kali
oleh Syekh Subakir (utusan Raja Rum/Turki Usmani) ketika hendak babat alas Jawa
yang konon waktu itu dipenuhi oleh lelembut-lelembut jahat yang suka memangsa
manusia. Loh, bukankah yang ditemui Syekh Subakir adalah Dang Hyang Semar? Nah,
ini masuk ke asumsi ketiga, bahwa kedua sosok tersebut sesungguhnya adalah nama
lain dari Mbah Semar. Begini, secara nama, Sabda Palon berarti ucapan atau
keputusan yang tegas. Sedang Naya Genggong adalah pengabdian dengan keluwesan.
Jika disatukan, artinya adalah tegas tapi luwes, luwes tapi mengandung
ketegasan, dua watak yang terdapat dalam diri Mbah Semar. Dikuatkan lagi dengan
bukti serat yang menyebut bahwa Sabda Palon dan Naya Genggong pergi atau moksa
di selatan Jawa, yaitu di Gunung Tidar, dan selalu dikaitkan dengan erupsi
Merapi. Di Gunung Tidar ada petilasan Mbah Semar, sementara letusan Merapi
nggak pernah jauh-jauh dari nama Semar. Bahkan sering banget ada foto-foto
kepulan asap Merapi yang menyerupai bentuk Semar tiap kali terjadi erupsi. Berikutnya,
sebenernya hanya Sabda Palon yang merupakan nama lain dari Mbah Semar,
sementara Naya Genggong adalah sosok yang lain lagi. Asumsi ini disandarkan
pada gambaran fisik antara Sabda Palon dan Mbah Semar yang sama persis.
Sedangkan Naya Genggong digambarkan jauh lebih kurus. Lebih-lebih lagi, dalam
Serat Sabda Palon pun, yang cenderung banyak bicara kepada Prabu Kerthabhumi
adalah Sabda Palon. Termasuk pada frasa Sabda Palon nagih janji, sering juga
orang menyebut, Semar nagih janji. Dengan kata lain, Semar dan Sabda Palon
sebenarnya adalah satu sosok, sedangkan Naya Genggong adalah sosok yang
berbeda.
3.
Sabda
Palon, Naya Genggong, atau Mbah Semar, seluruhnya hanyalah mitos dan cerita
rekaan saja. Satu, beberapa sejarawan mengatakan kalau Serat Sabda Palon itu
ditulis oleh R.N.G. Ranggawarsita, pujangga masyhur dari Keraton Surakarta,
yang juga dikenal sebagai seorang yang waskita atau bisa meramal masa depan.