DANYANG
Dalam kebudayaan Jawa ada khazanah peribahasa orang mati meninggalkan nama tentunya nama harum kebaikan, danyang / dhanyang adalah roh / suka / jiwa halus / tokoh yang membabat / tokoh yang menempati pertama kali yang melindungi suatu tempat atau wilayah seperti pohon, gunung, mata air, desa, mata angin, atau bukit.
Danyang dipercaya menetap pada suatu tempat yang disebut punden.
Para danyang diyakini menerima permohonan orang yang meminta pertolongan.
Imbalan yang mesti diberikan kepada danyang adalah slametan.
Danyang merupakan roh halus yang tidak mengganggu ataupun menyakiti, melainkan melindungi.
Danyang sebenarnya roh para tokoh pendahulu atau leluhur sebuah desa yang sudah meninggal.
Para leluhur ini adalah pendiri sebuah desa atau orang pertama yang membuka lahan suatu desa.
Slametan menjadi sarana untuk meminta perlindungan dari Danyang.
Danyang dalam bahasa jawa dibaca Da-nyang jika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah hantu penjaga (rumah, pohon, dan sebagainya). Jika didalam Bahasa Jawa, menurut sesepuh, danyang berarti mahkluk gaib atau mahkluk halus yang memiliki kemampuan tertinggi telah menempati sebuah tempat dalam waktu yang lama biasanya berumur ratusan tahun bahkan ribuan tahun. Danyang dapat berwujud apa saja, mulai dari benda mati seperti Tosan Aji (keris, tombak, pedang, dan lain-lain), Alat musik (gong, tabuh), bendera, payung, dan benda mati lainnya, hewan (singa, kerbau, naga, macan, buaya, monyet, gajah, ular), jin, demit (Gendruwo, wewe gombel, kuntilanak).
Hal menarik yang penulis temukan ada pada penjelasan wikipedia mengenai Danyang. Pada laman tersebut dituliskan penjabaran mengenai dayang, yang diartikan roh halus tertinggi yang tinggal di pohon, gunung, sumber mata air, desa, mata angin, atau bukit. Juga dituliskan bahwa danyang sebenarnya roh para tokoh pendahulu atau leluhur sebuah desa yang sudah meninggal. Sedangkan menurut sesepuh yang menjadi sumber penulis, mengatakan bahwa roh pendiri desa itu disebut pepunden atau leluhur yang dikelaskan lebih tinggi dari pada danyang. Walaupun dimata orang biasa, biasanya pepunden biasanya menampakkan dirinya menyerupai wujud hewan. Biasanya pepunden bertindak sebagai pelindung desa, sedangkan danyang lebih ke sebuah lokasi khusus seperti sebuah batu, pohon, mata air, air terjun, goa, dan lain-lain.
Biasanya danyang berada ditempat tersebut mempunyai alasan yang berbeda-beda. Beberapa alasan umum seperti tempat yang biasa digunakan oleh manusia untuk melakukan ritual, baik seperti memberikan sesembahan atau slametan apapun itu tujuannya, lokasi penting pada jaman dahulu, seperti tempat tinggal orang penting pada jaman dulu (misalnya istana, pasanggrahan, dan lain-lain), tempat ibadah (kuil, candi, dan lain-lain), tempat penyimpanan senjata, tempat penyimpanan harta, dan tempat penyimpanan barang-barang penting dan berharga lainnya, pohon, gunung, mata air, bukit, punden (makam para sesepuh desa pertama), dan lain lain.
Berdasarkan informasi yang penulis himpun, Danyang menempati tempat tersebut bisa karena kesengajaan ataupun tidak oleh pemilik tempat terdahulu, ada yang memang mengikuti pemilik terdahulu ataupun sengaja menjaga tempat khusus yang diminta pemilik tempat terdahulu. Dapat juga karena masyarakat dulu sering dan secara berkala melakukan ritual atau slametan yang ditujukan kepada pepunden tetapi karena hal tersebut dilakukan secara terus menerus dan berkala sehingga mahkluk gaib yang berada disekitar tempat tersebut juga turut pindah ke dekat lokasi tempat ritual ataupun slametan.
Walaupun ada beberapa lokasi yang biasanya ditempati oleh danyang secara alami, seperti pohon kayu besar dan telah berumur tua, sumur tua, rumah tua, makam tua, mata air tua, bukit, gunung aktif seperti Gunung Merapi, Gunung Slamet, dan seterusnya.
Danyang dan Animisme Jawa
Animisme menjadi dasar kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat jawa. Kepercayaan ini meliputi keyakinan tentang keberadaan makhluk halus dan roh leluhur yang mendiami tempat-tempat tertentu. Walaupun orang Jawa telah melewati beberapa periode perkembangan keagaaman, Animisme masih hidup dalam kepercayaan orang Jawa sampai sekarang. Animisme Jawa yang mempercayai keberadaan roh-roh di tempat-tempat tertentu mengelompokkan makhluk halus menjadi tiga jenis, yaitu : danyang, lelembut, dan pepunden atau roh leluhur yang sudah meninggal.
SEJARAH DANYANG
Danyang desa, ketika masih hidup sebagai manusia, datang ke sebuah daerah yang masih berupa hutan belantara, lalu membersihkan daerah itu untuk kemudian mendirikan sebuah desa.
Danyang tersebut kemudian yang berperan menjadi lurah atau pemimpin desa tersebut.
Dia berhak untuk membagikan tanah kepada pengikut atau keluarganya.
Ketika meninggal danyang biasanya dimakamkan di dekat pusat desa yang kemudian menjadi punden.
Maka punden menjadi tempat yang cukup dihormati di sebuah desa.
Danyang akan selalu memperhatikan kesejahteraan desanya dan melindunginya walaupun ia sudah mati. Akan tetapi, tidak semua desa mempunyai makam khusus untuk para Danyangnya.
DANYANG DAN PULUNG
Roh para danyang masih diyakini secara magis mengawasi dan menentukan siapa yang akan menjadi kepala desa. Roh danyang akan menjelma menjadi pulung. Beberapa orang bisa melihat pulung itu turun kepada calon yang terpilih pada malam sebelum pemilihan. Pulung berbentuk seperti bulan yang bersinar dan bergerak menuju rumah calon kepala desa yang dikehendaki danyang. Hanya ada satu pulung untuk setiap desa, maka ketika seorang kepala desa meninggal atau mundur, pulung akan meninggalkannya dan mencari lurah baru. Para calon kepada desa biasanya melakukan banyak cara untuk menarik pulung itu, salah satunya dengan slametan.
KUMARA
Kumara adalah daerah yang berada di bawah kekuasaan danyang desa. Kumara atau kemara artinya suara yang muncul dari kekosongan. Misalnya ketika seorang dukun ternama di sebuah desa meninggal, maka akan terdengar suara yang muncul tiba-tiba tanpa diketahui asalnya. Maka kumara adalah seluruh ruang angkasa desa, tidak hanya yang berada di atas permukaan tanah.
ANAK TURUN DANYANG
Anak danyang merupakan roh halus yang membantu danyang untuk yang mengawasi dan melindungi desa. Anak-anak danyang tinggal masing-masing di keempat sudut atau pojok desa.
DANYANG DAN ANIMISME DJAWA
Animisme menjadi dasar kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat Jawa. Kepercayaan ini meliputi keyakinan tentang keberadaan makhluk halus dan roh leluhur yang mendiami tempat-tempat tertentu. Walaupun orang Jawa telah melewati beberapa periode perkembangan keagaaman, Animisme masih hidup dalam kepercayaan orang Jawa sampai sekarang. Animisme Jawa yang mempercayai keberadaan roh-roh di tempat-tempat tertentu mengelompokkan makhluk halus menjadi tiga jenis, yaitu: Danyang, lelembut, dan roh leluhur atau yang sudah meninggal.
DANYANG DAN UPACARA ADAT
Upacara adat Jawa yang berupa ritual untuk menghormati Danyang sebagai pelindung desa di adakan pada bulan Sura dan Ruwah. Tujuan upacara ini adalah membangun hubungan dengan dunia roh, terutama roh Danyang desa. Upacara-upacara pada bulan sura ini disebut Suran. Selanjutnya pada bulan Ruwah (sering disebut masa sadranan) orang-orang desa akan membersihkan makam para leluhur dan memberi sesaji. Sadranan mengharuskan keluarga-keluarga untuk mengunjungi makam leluhur mereka. Akan tetapi, yang utama adalah memberi sesaji kepada Danyang sebagai pelindung desa atau juga makam tokoh-tokoh legendaris yang dianggap sakti.
MACAM-MACAM SESAJI
Untuk bulan Sura sesaji berupa bubur dicampuri biji kecipir, jagung, kacang kara, biji asam, kemangi, kacang hijau, merica putih dan isi delima, dilengkapi dengan kembang konyoh, dupa, kemenyan, madu dan beberapa uang. Sementara untuk bulan Ruwah sesaji berupa nasi pulen dengan daging goreng, pindang ayam, dilengkapi kembang konyoh, dupa, kemenyan, madu, dan uang semampunya.
DANYANG TANAH DJAWI
Sabda Palon, Sebuah Perjanjian Antara Syekh Subakir dengan Mbah Semar
Nama Syekh Subakir sudah tak asing lagi bagi sebagian besar masyarakat Jawa. Beliau dikenal sebagai orang yang berhasil menumbali Pulau Jawa yang terkenal angker dan wingit. Beliau juga berhasil bernegosiasi dengan Danyang Jawa, sang pelindung gaib tanah Jawa, untuk menyebarkan Islam di Jawa dengan beberapa sy arat. Lantas apa saja syarat yang harus dipenuhi Syekh Subakir.
Di dalam kitab Musarar diceritakan bahwa pada masa dahulu Pulau Jawa terkenal sangat angker dan kondisinya tak karuan. Pengaruh magis di tanah Jawa masih begitu kuat di mana banyak jin dan setan menghuni setiap sudut tanah Jawa yang saat itu masih berbentuk hutan belantara. Suatu hari, Sultan Turki saat itu yaitu Sultan Muhammad I mendapatkan petunjuk untuk melakukan penyebaran Islam di Pulau Jawa. Maka diutuslah rombongan para alim ulama untuk mendatangi Pulau Jawa guna syi’ar Islam. Sayangnya, hampir seluruh rombongan tersebut tewas dikarenakan perbuatan para lelembut penduduk tanah Jawa yang tidak mau menerima ajaran Islam.
Mendengar kegagalan utusan yang dikirimnya, membuat Sultan Muhammad I sedikit gusar. Akhirnya ia pun memerintahkan seseorang yang terkenal alim, ahli ruqyah, memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan dunia ghaib, serta memiliki keahlian dalam membabat tanah yang angker. Dialah Syekh Subakir yang memiliki nama asli Syekh Tambuh Aly bin Syekh Baqir. Lelaki yang berasal dari tanah Persia atau yang sekarang lebih dikenal dengan Negara Iran.
Setelah mendapat perintah Sultan, Syekh Subakir langsung berlayar ke Pulau Jawa. Namun, sebelum sampai ke Pulau Jawa, beliau terlebih dahulu mampir ke Praja Keling, sebuah daerah yang diduga terletak di India, untuk mengajak penduduk di Praja Keling agar mau menempati Pulau Jawa. Sekitar 20 ribu penduduk Praja Keling turut serta dalam pelayaran Syekh Subakir menuju Pulau Jawa.
Sesampainya di Pulau Jawa, Syekh Subakir langsung menuju ke Gunung Tidar yang diyakini sebagai titik pusat dari tanah Jawa. Di puncak Gunung Tidar, Syekh Subakir memasang tumbal berupa batu hitam yang sudah dirajah. Batu tersebut dikenal dengan nama Aji Kalacakra yang mampu menetralisir daya magis negatif dari bangsa jin. Selama tiga hari tiga malam, batu tersebut mengeluarkan hawa yang sangat panas. Sehingga membuat para lelembut terpaksa menyingkir ke Laut Selatan Jawa.
Kegegeran di dunia gaib pun mengusik ketenangan Ki Semar Badrayana, sang danyang tanah Jawa, yang selama ribuan tahun khusyuk bertapa. Selanjutnya terjadilah adu kekuatan antara Syekh Subakir dengan Ki Semar selama 40 hari 40 malam. Sebab sama-sama kuatnya, akhirnya Ki Semar menawarkan sebuah perundingan kepada Syekh Subakir yang mana menghasilkan sebuah perjanjian yang terkenal dengan sebutan perjanjian Sabda Palon.
Syekh Subakir menyampaikan maksud kedatangan beliau ke tanah Jawa guna menyebarkan ajaran Islam. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai pamungkas agama samawi. Kemudian Ki Semar pun memperbolehkan Syekh Subakir untuk menyebarkan agama Islam di tanah yang ia lindungi. Namun, dengan beberapa syarat yaitu :
1. Penyebaran ajaran Islam tidak boleh dilakukan dengan cara paksaan apalagi dengan jalan peperangan. Penyebaran Islam di tanah Jawa harus dilakukan dengan cara halus dan memberikan keleluasaan bagi penduduk Jawa untuk memilih masuk ke dalam agama Islam atau tetap meyakini kepercayaan sebelumnya.
2. Akulturasi antara Islam dengan budaya Jawa dalam pendirian tempat peribadatan. Meskipun tempat peribadatan tersebut dari luar memiliki gaya asli Jawa, namun di dalamnya ajaran-ajaran Islam disebarluaskan.
3. Kerajaan Islam diperbolehkan berdiri di tanah Jawa. Tapi, raja pertama haruslah anak campuran. Maksudnya orang tua sang raja memiliki campuran agama. jika bapak Hindu, ibu Islam. Sebaliknya jika bapak Islam, ibu Hindu.
4. Tidak boleh mengubah orang Jawa menjadi orang yang kearab-araban. Biarkanlah padi tetap ditanam di sawah dan kurma tetap ditanam di padang pasir. Orang Jawa harus tetap menjadi Jawa dengan segala budi pekerti dan kepribadian asli orang Jawa. Jika orang Jawa sampai hilang Jawanya, 500 tahun lagi Ki Semar berjanji akan muncul lagi dengan membuat goro-goro.