ELING LAN WASPADA
Dua buah kata populer yang berisi pesan-pesan mendalam dan dianggap wingit atau sakral. Namun tidak setiap orang mengerti secara persis apa yang dimaksud kedua istilah tersebut. Sebagian yang lain hanya tahu sekedar tahu saja namun kurang memahami apa makna yang tepat dan tersirat di dalamnya. Perlulah kiranya ada sedikit uraian agar supaya mudah dipahami dan dihayati dalam kehidupan konkrit sehari-hari oleh siapaun juga. Terlebih lagi pada saat di mana alam sedang bergolak banyak bencana dan musibah seperti saat ini. Keselamatan umat manusia tergantung sejauh mana ia bisa benar-benar menghayati kedua pepeling (peringatan) tersebut dalam kehidupan sehari. Sikap eling ini meliputi pemahaman asal usul dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.
ELING DIMENSI KETUHANAN
Eling atau ingat, maksudnya ingat asal usul kita ada. Dari Tuhan dicipta melalui sang bapak dan sang ibu karena kehendak Tuhan (sangkaning dumadi). Pemahaman ini mengajak kita untuk menyadari bahwa tak ada cara untuk menafikkan penyebab adanya diri kita saat ini yakni sang Causa Prima atau Tuhan Maha Esa (God). Jadi orang harus tahu dan sadar diri untuk selalu manembah kepada Hyang Mahakuasa.
Eling bahwa kita harus menjalani kehidupan di mercapadha ini sebagai syarat utama yang menentukan kemuliaaan kita hidup di alam kelanggengan nanti, di mana menjadi tempat tujuan kita ada di bumi (paraning dumadi). Manembah bukan hanya dalam batas sembah raga, namun lebih utama mempraktekan sikap manembah tersebut dalam pergaulan sehari-hari kehidupan bermasyarakat, meminjam istilah dari kitab samawiah sebagai habluminannas. Namun di sini menempuh habluminannas untuk menggapai habluminallah.
Eling atau ingat, maksudnya ingat asal usul kita ada. Dari Tuhan dicipta melalui sang bapak dan sang ibu karena kehendak Tuhan (sangkaning dumadi). Pemahaman ini mengajak kita untuk menyadari bahwa tak ada cara untuk menafikkan penyebab adanya diri kita saat ini yakni sang Causa Prima atau Tuhan Maha Esa (God). Jadi orang harus tahu dan sadar diri untuk selalu manembah kepada Hyang Mahakuasa.
Eling bahwa kita harus menjalani kehidupan di mercapadha ini sebagai syarat utama yang menentukan kemuliaaan kita hidup di alam kelanggengan nanti, di mana menjadi tempat tujuan kita ada di bumi (paraning dumadi). Manembah bukan hanya dalam batas sembah raga, namun lebih utama mempraktekan sikap manembah tersebut dalam pergaulan sehari-hari kehidupan bermasyarakat, meminjam istilah dari kitab samawiah sebagai habluminannas. Namun di sini menempuh habluminannas untuk menggapai habluminallah.
ELING DIMENSI KEMANUSIAAN
Dengan Menghadapi Tantangan,kita telah membuka Kesempatan untuk mengubah mimpi menjadi Kenyataan. Lebih baik sibuk menjadi murid di sana-sini,daripada sibuk menggurui siapa saja di mana-mana.
Dua buah kata populer yang berisi pesan-pesan mendalam dan dianggap wingit atau sakral. Namun tidak setiap orang mengerti secara persis apa yang dimaksud kedua istilah tersebut. Sebagian yang lain hanya tahu sekedar tahu saja namun kurang memahami apa makna yang tepat dan tersirat di dalamnya. Perlulah kiranya ada sedikit uraian agar supaya mudah dipahami dan dihayati dalam kehidupan konkrit sehari-hari oleh siapaun juga. Terlebih lagi pada saat di mana alam sedang bergolak banyak bencana dan musibah seperti saat ini. Keselamatan umat manusia tergantung sejauh mana ia bisa benar-benar menghayati kedua pepeling (peringatan) tersebut dalam kehidupan sehari. Sikap eling ini meliputi pemahaman asal usul dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.
Secara umum atau awam, ungkapan ini pada hakikatnya mengajarkan kepada kita pentingnya mempertajam mata batin. Dalam filosofi Jawa, ada istilah yang khas eling lan waspada, ingat dan waspada. Manusia harus selalu waspada, agar tak tergelincir mengerjakan hal-hal yang kurang perlu, seraya mengabaikan perkara yang lebih urgent.
Dalam Buddhisme Zen, dikenal ajaran tentang mindfulness, kondisi selalu sadar dan awas, tidak lengah.
Manusia adalah makhluk yang berkesadaran. Sadar artinya adalah sadar mengenai sesuatu. Sadar adalah kegiatan mental yang berasal dari dalam diri manusia, dan mengarah keluar. Orang yang sadar berarti menyadari segala sesuatu yang ada di lingkungannya.
Seorang yang sadar kecil kemungkinannya untuk terpeleset. Seseorang yang terpeleset biasasanya karena dia lengah, tidak memperhatikan situasi di sekelilingnya. Sesuatu yang menyelamatkan manusia dari keterpelesetan adalah sikap waspada, awas, mindfulness. Sementara sikap yang membuat seseorang mudah jatuh adalah lalai, alpa, forgetfulness.
Saat seseorang sadar, tidak lengah, dia tahu mana yang perlu dilakukan, mana yang tidak. Dia mengerti skala prioritas. Dia mengerti mana yang mendesak, mana yang tidak. Dia akan memberikan perhatian yang lebih pada hal-hal yang mendesak dan penting. Hal-hal yang tidak perlu, tak akan mendapatkan perhatian terlalu besar darinya.
Seseorang yang sadar juga tahu mana hal yang mempunyai manfaat dalam jangka panjang, mana yang hanya memberikan rasa gratifikasi atau kepuasan dalam jangka pendek. Dia memberikan perhatian yang yang besar pada yang pertama, dan tak terlalu terkecoh dengan hal yang kedua. Orang yang sadar biasanya memiliki pandangan jauh ke depan, bukan pandangan yang pendek, short sighted.
Itulah kira-kira makna dari ungkapan bijak Syekh Ibnu Ataillah tadi.
Jika engkau sibuk mengurus perkara yang gampang, karena sudah pasti dengan mudah bisa kau peroleh, dan mengabaikan hal yang lebih penting dan bernilai, tetapi harus kau perjuangkan dengan susah payah, maka itu pertanda kau lengah atas skala prioritas.
Artinya : Engkau lebih memilih comfort zone, daerah yang nyaman. Engkau takut merambah hal baru, karena masih asing dan penuh resiko.
Manusia memiliki dua mata: mata lahir, dan mata batin. Mata lahir, dalam bahasa Arab, disebut basar. Mata batin disebut basirah. Mata lahir hanya mampu mengindera hal-hal yang kasat-mata (al-mahsusat).
Mata batin mampu melihat hal-hal yang halus, lembut, subtil.
Jika Tuhan menghendaki hambanya menjadi orang yang baik, maka Dia akan menyibukkan mata lahirnya untuk berbakti kepada-Nya, dengan cara memanfaatkan indera mata untuk melihat hal-hal yang berguna dan memperkaya batin. Sekaligus Dia akan menyibukkan mata batinnya untuk mencintai-Nya.
Sebaliknya, jika Tuhan hendak merendahkan derajat seseorang, Dia akan menyibukkan mata lahirnya untuk menghamba pada hal-hal yang melulu bersifat material, permukaan, superfisial. Dia juga akan menyibukkan mata batinnya untuk mencintai hal-hal seperti itu. Baik mata lahir dan batinnya terperangkap pada hal-hal yang fisik dan material.
Zaman jahiliyah (zaman kegelapan) ialah zaman yang mata batinnya telah terhapus sama sekali sehingga kehilangan kemampuan untuk melihat dan mencerap hal-hal yang rohani.
Dia terpenjara pada yang materi. Dia tak mampu menyeberang dari yang materi kepada yang gaib dan non-materi. Materialisme adalah sebentuk kekufuran dan pertanda matinya mata batin.
Orang yang beriman harus bisa melamapaui yang materi itu. Sebab ciri orang beriman adalah percaya pada yang gaib, yang non-materi.
Pelajaran yang bisa kita ambil dari kebijaksanaan ini jelas, manusia harus eling lan waspada. Sadar dan ingat terhadap hal yang bersifat inti dan sejati, waspada terhadap barang-barang yang hanya indah dan gemerlap di permukaan tetapi keropos di dalam.
Ada tiga poin yang bisa kita perdalam lagi dari bagian ini :
1. Manusia harus mengetahui prioritas dalam hidupnya. Mana yang harus didahulukan, mana yang harus dikemudiankan; mana yang akan memperkaya kehidupan batin dan akhiratnya, mana yang malah akan memperkeruhnya, mana yang yang akan membuatnya ingat pada tujuan hidup yang utama, mana yang justru akan membuatnya lalai.
Mengerti prioritas ini adalah pertanda bahwa mata batin kita awas, tidak buta. Orang yang tak tahu tujuan hidupnya, yang tak mengerti mana yang urgent dan mana yang tidak, ialah orang yang mata batinnya sedang mengalami kebutaan. Orang semacam ini akan mengalami kondisi lalai dan alpa.
2. Orientasi kehidupan orang beriman haruslah diarahkan kepada kehidupan yang abadi, yaitu kehidupan di akhirat kelak. Sebab inilah kehidupan yang akan menjamin kebahagiaan yang sejati. Inilah kehidupan yang masuk dalam kategori ma tuliba dalam bahasa Syekh Ibnu Ataillah tadi. Yakni kehidupan yang seharusnya menjadi tujuan kita.
Sementara kehidupan di dunia sudah dijamin (ma dumina) oleh Tuhan. Dengan caranya sendiri-sendiri, orang pasti diberikan penghidupan atau rizki oleh Tuhan. Ada yang melimpah, ada yang sederhana. Tetapi jalan penghidupan selalu tersedia bagi manusia. Tak usah khawatir. Karena itu, kita tak perlu terlalu risau dengan kehidupan di dunia ini.
3. Ajaran Ibnu Ataillah ini bukan berarti mengajak kita, baik yang beriman atau tidak, agar bersikap fatalistik, nerima saja.
Yang diajarkan oleh beliau adalah : Janganlah menghabiskan seluruh fokus kehidupanmu pada kehidupan yang sekarang. Berpikirlah jangka panjang. Berpikirlah mengenai kehidupan yang abadi. Bersikaplah santai pada dunia ini, supaya kita tak mengalami tekanan batin.
Pembicaranya sering menyebut kata eling sehingga banyak yang menyebut nama beliau pak Eling, karena sering banget menyebut kata eling lan waspada.
Dua buah kata yang berisi pesan-pesan mendalam dan dianggap sakral. Namun tidak setiap orang mengerti secara jelas apa yang dimaksud kedua istilah tersebut. Sebagian yang lain hanya sekedar tahu saja namun kurang memahami makna yang tepat dan tersirat di dalamnya. Perlu kiranya mengulas sedikit uraian agar supaya mudah dipahami dalam kehidupan sehari-hari. Terlebih lagi pada saat bumi sedang bergolak banyak bencana dan musibah seperti saat ini. Keselamatan umat manusia tergantung sejauh mana ia bisa menghayati kedua peringatan tersebut dalam kehidupan sehari. Sikap eling ini meliputi pemahaman asal usul dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.
ELING DIMENSI KETUHANAN
1. Eling atau ingat, maksudnya ingat asal usul kita. Dari Tuhan dicipta melalui bapak dan ibu karena kehendak Tuhan (sangkaning dumadi). Pemahaman ini mengajak kita untuk menyadari bahwa tak ada cara untuk tidak mengingkari penyebab adanya diri kita saat ini yakni Tuhan (God). Jadi orang harus tahu dan sadar diri untuk selalu manembah kepada Hyang Mahakuasa.
2. Eling maksudnya kita harus menjalani kehidupan didunia ini sebagai syarat utama yang menentukan kemuliaaan kita hidup di alam kelanggengan nantinya, di mana menjadi tempat tujuan kita ada di bumi (paraning dumadi). Manembah bukan hanya dalam batas sembah raga, namun lebih utama mempraktekan sikap manembah tersebut dalam pergaulan sehari-hari kehidupan bermasyarakat.
ELING DIMENSI KEMANUSIAAN
1. Keutamaan untuk eling sebagai manusia yang hidup bersama dan berdampingan sesama makhluk Tuhan. Instrospeksi atau mawas diri sebagai modal utama dalam pergaulan yang menjunjung tinggi perilaku utama (lakutama) yakni budi pekerti luhur, atau mulat laku kautamaning bebrayan. Dengan melakukan perenungan diri, eling dari mana dan siapa kita punya, kita menjadi, kita berhasil, kita sukses. Kita tidak boleh “ngilang-ilangke” atau menghilangkan jejak dan tidak menghargai jasa baik orang lain kepada kita. Sebaliknya, eling sangkan paraning dumadi, berarti kita dituntut untuk bisa niteni kabecikaning liyan. Mengerti dan memahami kebaikan orang lain kepada kita. Bukan sebaliknya, selalu menghitung-hitung jasa baik kita kepada orang lain. Jika kita ingat dari mana asal muasal kesuksesan kita saat ini, kita akan selalu termotifasi untuk membalas jasa baik orang lain pernah lakukan. Sebab, hutang budi merupakan hutang paling berat. Jika kita kesulitan membalas budi kepada orang yang sama, balasan itu bisa kita teruskan kepada orang-orang lain. Artinya kita melakukan kebaikan yang sama kepada orang lainnya secara berkesinambungan.
2. Eling bermakna sebagai pedoman tapa ngrame, melakukan kebaikan tanpa pamrih. Tidak hanya itu saja, kebaikan yang pernah kita lakukan seyogyanya dilupakan, dikubur dalam-dalam dari ingatan kita. Dalam pepatah disebutkan,” kebaikan orang lain tulislah di atas batu, dan tulislah di atas tanah kebaikan yang pernah kamu lakukan”. Kebaikan orang lain kepada diri kita “ditulis di atas batu” agar tidak mudah terhapus dari ingatan. Sebaliknya kebaikan kita ditulis di atas tanah agar mudah terhapus dari ingatan kita.
3. Eling siapa diri kita untuk tujuan jangan sampai bersikap sombong atau takabur. Selalu mawas diri atau mulat sarira adalah cara untuk mengenali kelemahan dan kekurangan diri pribadi dan menahan diri untuk tidak menyerang kelemahan orang lain. Sebaliknya selalu berbuat yang menentramkan suasana terhadap sesama manusia. Selagi menghadapi situasi yang tidak mengenakkan hati, dihadapi dengan mulat laku satrianing tanah Jawi, tidak benci jika dicaci, tidak tidak gila jika dipuji, teguh hati, dan sabar walaupun kehilangan.
WASPADA
1. Waspada akan hal-hal yang bisa menjadi penyebab diri kita menjadi hina dan celaka. Hina dan celakanya manusia bukan tanpa sebab. Semua itu sebagai akibat dari sebab yang pernah manusia lakukan sendiri sebelumnya. Hukum sebab akibat ini disebut pula hukum karma. Manusia tidak akan luput dari hukum karma, dan hukum karma cepat atau lambat pasti akan berlangsung. Sikap waspada dimaksudkan untuk menghindari segala perbuatan negatif destruktif yang mengakibatkan kita mendapatkan balasannya menjadi hina, celaka dan menderita. Misalnya perbuatan menghina, mencelakai, merusak dan menganiaya terhadap sesama manusia, makhluk, maupun lingkungan alam.
2. Waspada, atas ucapan, sikap dan perbuatan kita yang kasat mata yang bisa mencelakai sesama manusia, makhluk lain, dan lingkungan alam.
3. Waspada terhadap apapun yang bisa menghambat kemuliaan hidup terutama mewaspadai diri sendiri dalam getaran-getaran halus. Meliputi solah (perilaku badan) dan bawa (perilaku batin). Getaran nafsu negatif yang kasar maupun yang lembut. Mewaspadai apakah yang kita rasakan dan inginkan merupakan osiking sukma (gejolak rahsa sejati yang suci) ataukah osiking raga (gejolak nafsu ragawi yang kotor dan negatif). Mewaspadai diri sendiri berati kita harus bertempur melawan kekuatan negatif dalam diri. Yang menebar aura buruk berupa nafsu untuk cari menangnya sendiri, butuhnya sendiri (egois), benernya sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus mewaspadai diri pribadi dari nafsu mentang-mentang yang memiliki kecenderungan eksploitasi dan penindasan : adigang, adigung, adiguna. Dan nafsu aji mumpung: ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya nggawe rekasa, tutwuri nyilakani.
4. Waspada dalam arti cermat membaca bahasa alam (nggayuh kawicaksananing Gusti). Bahasa alam merupakan perlambang apa yang menjadi kehendak Tuhan. Bencana alam bagaikan perangkap ikan. Hanya ikan-ikan yang selalu eling dan waspada yang akan selamat.
5. Esensi dari sikap eling dan waspada adalah berfikir, berucap, bersikap, bertindak, berbuat dalam interaksi dengan sesama manusia, seluruh makhluk, dan lingkungan alam dengan sikap keluhuran budi, arif dan bijaksana. Mendasari semua itu dengan agama universal yakni cinta kasih sayang berlimpah. Menjalani kehidupan ini dengan kaidah-kaidah kebaikan seperti tersebut di atas, diperlukan untuk menghindari hukum karma (hukum sebab-akibat) yang buruk, dan sebaliknya mengoptimalkan hukum karma yang baik. Hukum karma, misalnya seperti terdapat dalam ungkapan peribahasa, sing sapa nggawe bakal nganggo, siapa menanam akan mengetam, barang siapa menabur angin akan menuai badai.
Dalam kondisi alam bergolak, hukum karma akan mudah terwujud dan menimpa siapapun. Kecuali orang-orang yang selalu eling dan waspada. Karena kebaikan-kebaikan yang pernah anda lakukan kepada sesama, kepada semua makhluk, dan lingkungan alam sekitar, akan menjadi Pagar Gaib yang sejati bagi diri anda sendiri.
Memang itulah eling lan waspada, eling marang Gusti Pengeran lan waspada marang awake dhewe, ingat kepada Tuhan dimanapun kapanpun dan sedang apapun ketika tidur duduk berdiri lebih-lebih ketika sakaratul maut, waspada terhadap diri sendiri dari setan yg paling halus atau sombong juga setan yg paling kasar yaitu manusia yg kesetanan.
Semoga ini bisa membuat sedulur-sedulur utk lebih bisa mulat sarira satunggal sari rasa tunggal
Eling marang kesadaran akan suara Kehendak Urip
yang selama ini selalu Menggondhong Raga kita kemana-mana.
Eling menowo kito kedah Teteken Urip ing samubarang tumindak.
Waspada marang Godo Rencono kehendak Rogo
yang selalu penuh Tipu Doyo kang Tanpo Kenal Tuwuk lan Semarah
anggene Nggayuh Kemelikan Donyo Brono.
Terkait dengan ini, kita juga harus senantiasa melatih diri kita agar hati kita terbuka, untuk mengenal lebih baik diri sejati kita, agar dapat menggunakan hati nurani kita, yang merupakan anugrah yang luar biasa dari Tuhan kepada manusia.
Hati nurani inilah yang sering disebut sebagai Percikan Illahi, sumber segala ilmu dan informasi yang jauh lebih hebat dari intuisi dan otak yang terbaik sekalipun.
Akhir kata, eling dan waspada keduanya dapat dicapai secara sempurna, hanya melalui proses pembelajaran dalam rangka mendekatkan diri kita kepada Tuhan.
Melalui latihan hati, memurnikan hati dengan membuang semua ego dan emosi negatif kita, yang menjadi kunci utama hubungan kita kepada Tuhan.
Dan selalu berdoa kepada-Nya, sehingga kita dapat mengenal Diri Sejati kita, kita dapat menggunakan hati nurani kita yang merupakan Guru Sejati kita, yang akan memberi informasi terbaik bagi kita, yang jauh lebih hebat dari intuisi dan otak yang terbaik sekalipun.
Suket godhong kayu watu bledheg cahya.
Kutu2 walang antaga.
Werjit cacing kang arupa gemremet.
Kang anak2 tanpa laki.
Kang gilig tanpa ngglintiri.
Kang manis tanpa nggulani.
Kabeh kang kumetip kang. kesamadan dening Dzating Urip
Dadya pangayomanku.
WEJANGAN ELING LAN WASPADA
Eling lan waspada merupakan falsafah yang dipegang teguh oleh masyarakat Jawa.
Falsafah tersebut mengajarkan manusia untuk selalu ingat dan hati-hati dalam menjalani hidup.
Falsafah Jawa ini mencul dan mulai dikenal setelah tercantum dalam karya Rangga Warsita dalam salah satu bait tembang sinom Serat Kalatida.
Secara khusus, dua baris terakhir tembang tersebut, yakni begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling klawan waspada, seberuntung-beruntungnya orang yang lalai, lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada (halaman 9-10).
Warisan wejangan Jawa ini menunjukkan bahwa orang-orang Jawa memiliki kepercayaan bahwa apa pun yang terjadi di dalam hidup merupakan sebuah keberuntungan.
Ketika seseorang sedang ditimpa musibah hingga sakit parah, bahkan sampai salah satu bagian tubuhnya mengalami cacat seumur hidup, orang Jawa akan berkata, Masih beruntung hanya menerima cobaan seperti ini, hanya sakit cacat, tidak sampai meninggal dunia.
Sebaliknya, ketika terdapat seseorang mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia, orang Jawa akan mengatakan, Beruntung langsung meninggal dunia, daripada harus hidup tapi harus menanggung cacat seumur hidup.
Orang yang lali (lupa) pun bisa begja (beruntung). Hanya saja, keberuntungan orang yang lupa merupakan sebuah kabegjan (kebetulan bernasib baik). Keberuntungan ini sifatnya hanyalah sementara. Berbeda dengan orang yang ingat, maka ia akan mendapatkan keberuntungan yang hakiki. Dengan begitu, wejangan leluhur Jawa ini menunjukkan bahwa meskipun orang yang lupa bisa merasakan keberuntungan, namun akan lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.
Sebagaimana paparan buku ini, eling lan waspada dapat diwujudkan dengan beberapa bentuk, di antaranya adalah Eling marang Gusti (selalu dekat kepada Tuhan). Sikap eling seperti mencakup eling sangkan paraning dumadi, eling sing ngenekake, eling sing nyirnaake, eling sing matekke, eling sing nguripke, dan eling sing peparing.
Wujud lain adalah Eling mring sesama (peduli kepada sesama manusia).
Di dunia, manusia tidak hidup sendiri. Manusia ada bersama sesamanya. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya manusia peduli dengan sesamanya. Hal itu sejalan dengan falsafah eling mring sesami. Maka dari eling mring sesame bukan sekadar ingat, tetapi lebih mendalam, yakni peduli terhadap sesama manusia. Eling mring sesami dapat diwujudkan melalui berbagai tindakan-tindakan sebagai berikut :
1. Sesama manusia harus saling menghormati. Salah atu keinginan dasar manusia adalah dihormati. Tidak ada seorang pun yang tak ingin dihormati, bahkan manusia berkepribadian buruk atau suka berperilaku nista sekalipun. Ia tetap ingin dihormati karena pada dasarnya manusia secara hakiki adalah sama. Setiap manusia sama-sama berada di dalam kandungan ibunya selama sembilan bulan sepuluh hari, tidak berpakaian saat dilahirkan, dan ketika mati tidak membawa apa pun kea lam baka selain amal perbuatannya.
2. Sesama manusia harus saling menolong. Ajaran eling lan waspada bertujuan untuk mendorong manusia saling menolong sesamanya. Telah menjadi naluri manusia sejak lahir bahwa mereka akan saling menolong. Ketika masih anak-anak, seseorang menolong adiknya atau teman sebaya yang terjatuh. Adapun ketika beranjak remaja, ia menolong temannya yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Saat sudah dewasa, ia memberikan pinjaman kepada sahabatnya tanpa meminta imbalan apa pun. Dan seterusnya sampai akan mati pun manusia masih punya naluri untuk menolong sesama.
3. Sesama manusia harus saling mengingatkan. Di dalam diri orang Jawa telah tertanam sifat dan sikap saling mengingatkan dalambentuk pesan, harapan ataupun nasihat kepada keluarga atau orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, ketika seorang anak berpamitan untuk bepergian, maka orang tua selalu berkata, Sing ngati-ati (Berhati-hatilah). Peringatan itu bukan sekadar patut-patute (basa-basi), tetapi ada makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Orang tua tersebut mengingatkan sang anak untuk berhati-hati lair lan batine (secara lahir dan batin) agar selamat dalam perjalanan. Keselamatan yang dimaksud mencakup saat dalam perjalanan, sewaktu berada di tempat tujuan, serta ketika kembali ke rumah (halaman 18-21).
Sementara, kewaspadaan dapat diwujudkan dengan waspada ing lair (kewaspadaan terhadap bahaya yang tampak nyata), waspada ing batin (kewaspadaan yang hakiki), waspada saka panggada (menangkal godaan yang menjerumuskan), waspada tan kena lena (lengah sejejap bisa lenyap), dan waspada tan kena keblinger (mewaspadai jebakan yang menyesatkan).
Dalam menggapai kebahagiaan sejati, bab terakhir buku ini juga membahas Laku utama anggayuh memanising pati (menggapai akhir hidup yang indah). Memanising pati bisa dimaknai kembali dalam keadaan baik dan indah. Kematian itu terjadi pada saat seseorang tengah melakukan sesuatu kebaikan sebagaimana biasa dilakukannya. Artinya, dalam kehidupan sehari-hari, orang itu senantiasa berbuat baik. Laku utama menjadi pedoman dalam segala tindakannya (hal: 242). Jika ditarik dalam pembahasan agama, orang seperti ini bisa disebut dengan julukann khusnul khatimah.
FILOSOFI JAWA
MEMBUAT HIDUP BERMAKNA
Indonesia memiliki banyak tradisi dan budaya. Terlebih budaya Jawa yang masih terjaga. Budaya ini termasuk kata-kata mutiara atau kutipan yang memiliki filosofi. Sayangnya tidak semua paham tentang filosofi sebuah kutipan berbahasa Jawa.
Hal ini dikarenakan orangtua jaman sekarang tidak selalu mengajarkan bahasa dan budaya Jawa kepada anak-anaknya, karena menganggap bahasa jawa itu kuno. Muncullah kutipan Wong Jowo ora njawani, yang artinya orang jawa tidak paham jawa.
Padahal jika ditelaah, filosofi jawa adalah warisan leluhur dan terus berlaku sepanjang jaman. Karena warisan tersebut akan membuat kita senantiasa Eling lan Waspodo artinya Ingat dan waspada.
Berikut adalah kumpulan falsafah jawa tentang kehidupan beserta arti penjelasannya sesuai dengan pedoman hidup masyarakat Jawa :
hal-hal yang terkandung dalam filosofi ini. Intinya, kita harus menerima hasil dari pekerjaan kita.
1. Alon-alon waton klakon.
Filosofi ini seringkali diucapakan oleh banyak orang yang memiliki pesan yakni tentang keselamatan. Namun ternyata filosofi ini mengandung arti tentang kehatihatian, waspada, keuletan, dan pastinya keamanan.
2. Aja Adigang, Adigung, Adiguno.
Makna dari kutipan tersebut adalah, kita diharuskan untuk menjaga tata krama, tidak sombong dengan kekuatan, kedudukan, ataupun latarbelakang. Intinya, filosofi ini mengajarkan kita untuk tetap rendah hati.
3. Mangan ora mangan sing penting ngumpul.
Filosofi ini adalah sebuah peribahasa, banyak yang mengartikan makan atau tidak makan yang penting berkumpul. Namun ternyata bukan itu, kutipan ini memiliki arti penting bagi berdemokrasi.
Falsafah tersebut melambangkan demokrasi, yang mungkin satu pihak mendapatkan sesuatu (kekuasaan) sedangkan pihak yang lain tidak. Legowo atau menerima dengan lapang dada dengan apa yang sudah terjadi. “Sing penting ngumpul” memiliki arti persatuan, kebersamaan, yang artinya bersatu untuk tujuan bersama.
4. Wong jowo iki gampang di tekuk-tekuk.
Filosofi ini ini menunjukan orang jawa itu fleksibel, mudah bergaul dan memiliki kemampuan hidup di tingkay manapun
5. Saiki jaman edan yen ora edan ora komanan, sing bejo sing eling lan waspodo.
Arti dari filosofi ini dimana sekarang adalah zaman edan (gila), jika tida gila maka tidak mendapat bagian. Namun hanya orang yang ingat kepada Tuhan dan waspada yang akan beruntung.