BABAD TANAH JAWI
Babad Tanah Jawi yang aksara huruf Jawa kuno merupakan karya sastra sejarah dalam bermodel tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku agung dengan pusat kerajaan zaman Mataram, buku ini tidak pernah bebas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa.
Babad Tanah Jawi merupakan suatu karya sejarah yang ditulis diabad 18. Terdapat dua versi Babad Tanah Jawa, yaitu versi yang ditulis Carik Braja atas perintah tuannya, yaitu Sunan Pakubuwono III, dan versi yang lain yaitu dari Pangeran Adilangu II. Terlepas dari perbedaan diantara keduanya, saya hanya ingin menyoroti berbagai kontroversi yang melingkupi penafsiran tentang babad tersebut. Adapun kontroversi yang saya ulas antara lain :
Saratnya unsur mistis Babad Tanah Jawi (hal diluar akal).
Generasi pada masa kini bila membaca Babad Tanah Jawi (Jawa) tentunya akan bertanya tentang keaslian isinya, bahkan yang lebih ekstrim lagi menganggapnya hanya sebuah karangan fiksi di masa itu. Keadaan ini dapat terus terjadi jika tidak ada hasil penelitian tentang latar belakang sosial kemasyarakatan masa itu termasuk pula dalam bidang religi dan kepercayaan. Kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dengan unsur mistis/gaib, bahkan agama yang ada dimasa sekarang ini pun mengakui tentang hal gaib.
Begitu pula masyarakat Jawa, dari masa dulu hingga sekarang masih percaya tentang hal gaib, karena memang begitu pula yang diajarkan baik dalam filosofi budayanya maupun agama yang dianutnya. Sehingga jika dalam Babad Tanah Jawi (Jawa) dimuat berbagai hal yang sifatnya gaib/mistis maka haruslah dilihat sebagai deskripsi/gambaran masyarakat masa itu yang begitu kuat dalam hal kepercayaan. Disamping sebagai penggambaran tentang kuatnya kepercayaan yang dianut, sebaiknya juga dilihat sebagai upaya "simbolisasi" tentang kejadian nyata yang (mungkin) tabu untuk diceritakan secara utuh, mengingat filosofi Jawa mikul duwur mendhem jero. Artinya, kebenaran memang haruslah ditegakkan tetapi jangan sampai merendahkan orang salah yang dimaksud, walaupun dalam kenyataan bisa dibalik pemaknaannya. Dibalik pemaknaannya berarti benar-benar menjatuhkan, bila tidak pintar memaknainya. Sama seperti didalam bahasa Indonesia, dikenal adanya majas, baik yang berupa hiperbola, ironi, sinisme, ameliorasi, maupun peyorasi, begitu pula didalam Babad Tanah Jawi. Jadi untuk memahaminya perlu mencari makna sesungguhnya dari simbol yang berupa kejadian diluar akal manusia tersebut dengan kejadian yang mungkin terjadi atau bahkan kejadian sebaliknya dari kejadian tersebut.
BABAD TANAH JAWI, ASAL MUASAL TANAH JAWA
Tanah Jawa memang terkenal memiliki banyak kebudayaan. Tapi tak banyak yang mengetahui bahwa sebagian besar budaya dan sejarah tanah Jawa itu ternyata dirangkum dalam sebuah buku besar yang dikenal dengan nama Babad.
Babad adalah cerita rekaan (fiksi) yang didasarkan pada peristiwa sejarah, dimana penulisannya biasanya dalam bentuk macapat (tembang, puisi, atau syair). Salah satu babad yang sangat terkenal adalah Babad Tanah Jawi. Babad Tanah Jawi merupakan karya sastra sejarah dalam bentuk Tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan zaman Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal-hal yang terjadi di tanah Jawa.
Literatur blog ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram. Uniknya, dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga Nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam.
Silsilah raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat pada Babad Tanah Jawi ini. Bahkan hingga Majapahit, Demak, dan terus berurutan hingga kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke-18. Buku ini telah dipakai sebagai salah satu alat rekonstruksi sejarah Pulau Jawa. Namun, menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.
Babad memiliki unsur relio-magis dan erat dengan imanjinasi. Hal ini pula yang membuat ahli sejarah ragu untuk memakai babad sebagai sumber sejarah yang sahih. Para sejarawan kerap memahami babad sebagai tulisan atau sumber sejarah dalam tendensi subjektif. Mereka menganggap babad rentan dengan bias dalam menggambarkan fakta-fakta sejarah. Babad cenderung menjadi percampuran fakta dan mitologi.
Menurut ahli sejarah Hoesein Djajadiningrat, Babad Tanah Jawi memiliki keragaman versi dan dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja inilah yang kemudian diedarkan untuk umum pada 1788. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1972.
Perbedaan keduanya terletak pada pencitraan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, Babad Tanah Jawi merupakan jejak besar dalam membaca (sejarah) Jawa. Maka tak heran jika Babad Tanah Jawi telah berhasil menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Ahli sejarah seperti HJ de Graaf, Meinsma, hingga Balai Pustaka turut andil melestarikan warisan nasional yang satu ini. Sekarang, giliran kita generasi muda untuk mulai membaca peninggalan berharga tanah Jawa ini supaya tetap mengakar di Indonesia.
BRAMA BAPAK RAJA-RAJA DI TANAH JAWA
BERMULA dari benih kehidupan yang dipancarkan oleh Nabi Adam ke dalam rahim Ibu Kawa, lahirlah Nabi Sis. Dari Nabi Sis, lahirlah Sang Hyang Bathara Nur Cahya. Dari Sang Hyang Bathara Nur Cahya, lahirlah Sang Hyang Bathara Nur Rasa.
Dari Sang Hyang Bathara Nur Rasa, lahirlah Sang Hyang Bathara Wening (Sang Hyang Bathara Wenang). Dari Sang Hyang Bathara Wening, lahirlah Sang Hyang Bathara Tunggal. Dari Hyang Bathara Tunggal lahirlah Sang Hyang Bathara Antaga, Sang Hyang Bathara Ismaya, dan Sang Hyang Bathara Manikmaya.
Sesudah menjadi raja di kahyangan Jong Giri Saloka, Sang Hyang Bathara Manikmaya dikenal dengan nama Sang Hyang Bathara Guru, Sang Hyang Jagad Pratingkah, Sang Hyang Bathara Girinata.
Sementara kedua kakak kandungnya yakni :
1. Sang Hyang Bathara Antaga.
2. Sang Bathara Manikmaya yang gagal mengikuti lomba menelan gunung Jamur Dwipa dari Sang Hyang Tunggal tersebut turun di dunia.
Sang Hyang Antaga yang dikenal dengan nama Togog menjadi pamomong (abdi) raja-raja di tanah Sabrang. Sedangkan Sang Hyang Ismaya yang dikenal dengan Semar Badranaya menjadi pamomong raja-raja trah Bremani di Tanah Jawa.
Sesudah menikah, Sang Hyang Bathara Guru memiliki empat putra dan seorang putri. Anak-anak dari Sang Hyang Bathara Guru, yakni: Sang Hyang Bathara Sambu (anak pertama), Sang Hyang Bathara Brama (anak kedua), Sang Hyang Bathara Mahadewa (anak ketiga), Sang Hyang Bathari Sri (anak keempat), dan Sang Hyang Bathara Wisnu (anak terakhir).
Di tanah Jawa, Sang Hyang Bathara Wisnu menjadi raja bergelar Prabu Set atau dikenal dengan Prabu Setmata. Selain Sang Hyang Bathara Wisnu, di tanah Jawa ada seorang raja yang sakti mandraguna bernama Prabu Watugunung. Raja ini bertahta di kerajaan Gilingwesi.
Ketika menjadi raja, Sang Hyang Bathara Wisnu jatuh cinta dan menikahi Ni Mbok Medang, wanita simpanan ayahnya yakni Sang Hyang Bathara Guru. Karena murkanya, Sang Hyang Bathara Guru mengusir Wisnu dari lingkungan stana.
Wisnu yang meninggalkan istana itu memasuki hutan belantara. Di bawah pohon beringin yang tumbuh merimbun di Waringinsapta, Wisnu melakukan samadi dan bertapa.
Karena permohonan Dewi Shinta yang ingin dimadu dengan bidadari Jong Giri Saloka (Suralaya), Prabu Watugunung yang disertai duapuluh enam saudaranya Tolu, Gumbreg, Wariga, Warigagung, Julung, Sungsang, Galungan, Langkir, Mondhasia, Julungpujut, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madhangkungan, Maktal, Wuye, Manail, Prangbakat, Wugu, Ringgit, Kulawu, Dhukut, Landhep, Wukir, dan Kuranthil meninggalkan Kerajaan Gilingwesi pergi ke kahyangan Jong Giri Saloka untuk melamar salah satu bidadari. Karena lamarannya ditolak oleh Sang Hyang Bathara Guru, Watugunung beserta seluruh saudaranya menggempur kahyangan.
Kesaktian Prabu Watugunung dan seluruh saudaranya tidak dapat ditandingi oleh seluruh dewa. Karenanya Sang Hyang Bathara Guru mengutus Sang Hyang Bathara Narada untuk turun ke mayapada.
Menyampaikan pesan pada Sang Hyang Bathara Wisnu yang bertapa di Waringinsapta untuk menghadapi Prabu Watugunung yang berhasil menduduki Jong Giri Saloka. Bila dapat membunuh Watugunung, dosa Wisnu yang tidak sengaja menikahi Ni Mbok Medang akan diampuni.
Mendengar pesan Sang Hyang Bathara Guru yang disampaikan Narada, Sang Hyang Bathara Wisnu bersedia meredam keangkaramurkaan Prabu Watugunung. Akan tetapi sebelum menghadapi raja dari Gilingwesi beserta seluruh saudaranya, Wisnu meminta izin untuk pulang ke Medang.
Setiba di tujuan, Wisnu berbahagia. Karena, Ni Mbok Medang istrinya yang sewaktu ditinggalkan tengah mengandung itu telah melahirkan putra laki-lakinya. Oleh Wisnu, anak itu diberi nama Raden Srigati. Sebagaimana ayahnya, anak itu berparas tampan, gagah sentosa, dan sakti mandraguna.
Bersama Raden Srigati, Sang Hyang Bathara Wisnu menghadapi Prabu Watugunung dan seluruh saudaranya. Prabu Watugunung tewas di tangan Wisnu melalui senjata Cakra Baskara. Sesudah Prabu Watugunung tewas, Wisnu diizinkan oleh Sang Hyang Bathara Guru untuk menjadi raja kembali di tanah Jawa. Hidup berbahagia bersama Ni Mbok Medang dan Srigati.
Oleh Sang Hyang Batahara Guru, Bathara Narada diperintahkan untuk pergi ke Gilingwesi. Menyampaikana kabar pada Shinta bahwa Prabu Watugunung tewas di medan laga. Mendengar berita duka dari Narada, Shinta terpukul hatinya.
Karena kecintaanya pada suami dan sekaligus anak kandungnya itu, Shinta menghadap Sang Hyang Bathara Guru. Memohon agar Prabu Watugunung dihidupkan kembali. Permohonan Shinta dikabulkan. Sesudah hidup kembali, Prabu Watugunung diangkat oleh Sang Hyang Bathara Guru untuk menggenapi dewa.
SANG Hyang Bathara Guru membuat kebijaksanaan. Sang Hyang Bhatara Wisnu yang menjadi raja manusia beralih tugas menjadi raja makhluk halus. Selama menjabat sebagai raja makhluk halus, Wisnu menguasai delapan wilayah yang meliputi gunung Merapi, Pamantingan (Parangtritis), Kabarehan, Lodaya, Kuwubaleduk, Waringinsapta, Kayulandeyan, dan Roban.
Sementara Sang Hyang Bathara Guru yang bernama Sang Hyang Bhatara Brama dinobatkan sebagai raja di Gilingwesi sesudah Prabu Watugunung diangkat sebagai dewa.
Dari Sang Hyang Bhatara Brama, lahirlah Bramani. Dari Bramani (Bremani), lahirlah Tritrusta. Dari Tritrusta, lahirlah Parikenan. Dari Parikenan, lahirlah Manumamasa. Dari Manumamasa, lahirlah Satrukem (Sekutrem). Dari Satrukem, lahirlah Sakri. Dari Sakri, lahirlah Palasara. Dari Palasara, lahirlah Abiyasa. Dari Abiyasa, lahirlah Pandu Dewanata yang beristana di Astina.
Dari Pandu Dewanata, lahirlah Arjuna. Dari Arjuna, lahirlah Abimanyu. Dari Abimanyu, lahirlah Parikesit. Dari Parikesit, lahirlah Yudayana. Dari Yudayana, lahirlah Gendrayana. Dari Gendrayana, lahirlah Jayabaya. Dari Jayabaya, lahirlah Jayamijaya. Dari Jayamijaya, lahirlah Jayamisena. Dari Jayamisena, lahirlah Kusumawicitra.
Dari Kusumawicitra, lahirlah Citrasoma. Dari Citrasoma, lahirlah Poncadriya. Dari Poncadriya, lahirlah Anglingdriya. Dari Anglingdriya, lahirlah Suwelacala yang menjadi raja di Purwacarita dengan patih Jugul Muda. Dari Suwelacala, lahirlah Sri Mapunggung yang menjadi raja di Purwacarita dengan patih Kuntara (putra Jugul Muda).
Dari Sri Mapunggung, lahirlah Kandiawan. Kandiawan memiliki lima putra Panuhun (suka bertani, tinggal di Bagelen); Sandhanggarba (suka berdagang, tinggal di Jepara); Karungkala atau Sang Ratu Baka (suka berburu di hutan, tinggal di Prambanan), Tunggulmetung (suka menyadap nira), dan Resi Ghatayu menjadi raja di Koripan (Kahuripan). Keempat putra Kandiawan itu selalu memberi upeti kepada Resi Ghatayu.
Resi Ghatayu memiliki lima putra Rara Suciyan (Kili Suci), Lembu Amiluhur, raja di Jenggala, Lembu Peteng, raja di Daha, Lembu Pangarang, raja di Gegelang, dan Ni Ragil Pregiwongsa. Putra bungsu Resi Ghatayu menikah dengan Lembu Amijaya (raja di Singasari).
Lembu Amilihur berputra Raden Panji yang menikah dengan Galuh Candrakirana (putri Lembu Peteng). Dari perkawinannya dengan Galuh Candrakirana, Raden Panji memiliki putra Dalalean.
Dari Dalalean, lahirlah Mundingwangi. Dari Mundingwangi, lahirlah Sang Ra Pamekas. Dari Sang Ra Pamekas, lahirlah Arya Bangah (tetap tinggal di Galuh), dan Jaka Sesuruh (yang diharapkan menjadi raja di Kerajaan Pajajaran, namun kemudian mendirikan dan menjadi raja Majapahit).
RAJA MATARAM
(Diawali dari Nabi Adam)
Daftar silsilah raja Mataram yang dimuat dalam amatlah lengkap, diawali dari Nabi Adam A.s, kemudian mencapai garis keturunan Pandawa, sampai dengan kepada raja Mataram sendiri. Geneokologi yang begitu menakjubkan bagi saya mendekati mustahil hanya akan menampilkan sesuatu yang hendak disembunyikan atau hendak ditutup-tutupi ? Pemunculan daftar silsilah, sering dimaksudkan sebagai legitimasi akan sesuatu. Legitimasi ini dimaksudkan agar rakyat yang diperintah merasa percaya bahwa raja yang ada adalah sah, dimata hukum manusia dan hukum Yang Maha Kuasa.
Beberapa raja yang sengaja menampilkan daftar silsilah biasanya bukan penguasa sah yang sengaja mencari pengesahan atas dirinya sendiri. Raja-raja tersebut diantaranya Sri Maharaja Dyah Balitung (raja Mataram Kuno yang ternyata menjadi raja dari hasil perkawinan), Balaputradewa (raja Sriwijaya yang menghubungkan dengan Dinasti Syailendra yang waktu itu merupakan penguasa nusantara), dan masih banyak lagi. Hal ini sengaja dilakukan agar tidak ada pemberontakan dikemudian hari yang disebabkan adanya perasaan tidak sah menjadi raja diantara pengikut dan rakyatnya. Hal ini terjadi saat adanya pemberontakan Trunojoyo kepada Mataram, yang menyebutkan bahwa pendiri Mataram hanyalah keturunan petani (jika ini benar maka makna panembahan kuwi dudu ratu nanging kuasane koyo ratu agaknya mendekati kebenaran).
Pencitraan buruk terhadap proses Islamisasi (khususnya era Demak)
Dalam Babad Tanah Jawi (Jawa) era Demak dicitrakan begitu jelek. Dalam diri saya bertanya, ada apa dibalik semua itu. Ternyata bila ditelusur lebih jauh, dimasa Mataram muncul ketakutan akan kembalinya hegemoni kekuatan maritim nusantara dibawah Demak, yang memang merupakan garis sah kekuasaan jika dilihat dari hierarki Majapahit. Untuk meredam new emerging force maka perlu pencitraan jelek (bahasa sekarang ini adalah kampanye hitam alias black campaign") disamping penyiapan secara militer. Pencitraan jelek yang ada antara lain durhakanya pendiri Demak karena menyerang ayahnya sendiri, padahal kenyataannya Demak berusaha mengamankan haknya karena sesuai dengan hasil musyawarah Dewan Sapta Prabu karena kekosongan kekuasaan dan usaha kudeta oleh Girindrawardhana. Sisi pengamanan hak ini sengaja tidak diungkapkan oleh Babad Tanah Jawi (Jawa) karena akan mengurangi (atau bahkan menghilangkan) legitimasinya. Dimasa Demak juga masih menganut sistem pemerintahan Majapahit meskipun dengan citarasa Islam. Penggunaan sistem Majapahit ini selain untuk memperkuat legitimasinya juga untuk menjaga keutuhan wilayah yang diwarisi dari Majapahit, berupa sistem federal dan lain sebagainya. Dibuktikan bila Majapahit menggunakan Dewan Sapta Prabu sebagai Dewan Penasihat Raja, maka dimasa Demak, Dewan Penasihat Raja diwakili oleh Dewan Wali. Kontras sekali dengan keadaan Mataram yang menunjukkan "estat is moi" karena tanpa adanya Dewan Pertimbangan/dewan penasihat, karena begitu besarnya kekuasaan panembahan.
Karya sastra tersebut juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam.
Silsilah raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga memperoleh tempat. Berikutnya Majapahit, Demak, terus berurutan hingga hingga kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan masa ratus tahun abad ke-18.
Buku ini telah dipakai sebagai noda satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa[butuh rujukan]. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para pandai selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.
VERSI BABAD TANAH JAWI :
Babad Tanah Jawi ini punya jumlah versi.
Menurut pandai sejarah Hoesein Djajadiningrat, kalau mau disederhanakan, keragaman versi itu bisa dipilah menjadi dua kelompok.
1. Pertama, babad yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Paku Buwono III. Tulisan Braja ini lah yang selanjutnya diedarkan untuk umum pada 1788.
2. Sementara kelompok kedua adalah babad yang diterbitkan oleh P. Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722.
Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Lawas sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan. Sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.
Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian jumlah pandai sejarah. Selang lain pandai sejarah HJ de Graaf. Menurutnya apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi bisa dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 hingga zaman Kartasura di masa ratus tahun 18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang.
Namun, untuk cerita selepas era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah :
1. Terlalu sarat campuran mitologi.
2. Kosmologi, dan dongeng.
Selain Graaf, Meinsma berada di daftar peminat Babad Tanah Jawi. Bahkan pada 1874 ia menerbitkan versi prosa yang dikerjakan oleh Kertapraja. Meinsma mendasarkan karyanya pada babad yang ditulis Carik Braja. Karya Meinsma ini lah yang jumlah beredar hingga kini.
Menjelang Perang Dunia II mereka menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.
Babad Tanah Jawi adalah naskah berbahasa Jawa yang berisi sejarah raja-raja yang pernah bertahta di pulau Jawa. Terdapat beragam susunan dan isi dan tidak ditemukan salinan yang berusia lebih tua daripada abad ke-18. Dibuat sebagai suatu karya sastra sejarah yang berbentuk tembang Jawa. Sebagai babad/babon/buku besar dengan pusat kerajaan zaman Mataram, buku ini tidak pernah lepas dalam setiap kajian mengenai hal hal yang terjadi di tanah Jawa.
Babad Tanah Jawi ini juga memuat silsilah raja-raja cikal bakal kerajaan Mataram, yang juga unik dalam buku ini sang penulis memberikan cantolan hingga nabi Adam dan nabi-nabi lainnya sebagai nenek moyang raja-raja Hindu di tanah Jawa hingga Mataram Islam.
Silsilah raja-raja Pajajaran yang lebih dulu juga mendapat tempat. Berikutnya Majapahit, Demak, terus berurutan hingga sampai kerajaan Pajang dan Mataram pada pertengahan abad ke-18.
Babad Tanah Jawi ini telah dipakai sebagai salah satu babon rekonstruksi sejarah pulau Jawa. Namun menyadari kentalnya campuran mitos dan pengkultusan, para ahli selalu menggunakannya dengan pendekatan kritis.
VERSI BABAD TANAH JAWA
(Versi lain sekitar abad ke-19).
Banyaknya versi Babad Tanah Jawi yang beredar bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok induk naskah :
1. Pertama, induk Babad Tanah Jawi yang ditulis oleh Carik Tumenggung Tirtowiguno (Carik Braja) atas perintah Pakubuwana III. Induk ini telah beredar pada tahun 1788. Pada tahun 1874, Johannes Jacobus Meinsma menerbitkan versi gancaran (prosa) dari induk ini yang dikerjakan oleh Ngabehi Kertapraja. W. L. Olthof pernah mereproduksi ulang versi Meinsma pada tahun 1941. Pada kedua versi tersebut, nama Ngabehi Kertapradja tidak dicantum. Menurut Merle Calvin Ricklefs, versi Meinsma bukan sumber utama yang bisa diterima untuk riset sejarah, dan sebaliknya mengakui edisi Olthof.
2. Kedua, induk Babad Tanah Jawi yang ditulis oleh Carik Adilangu II yang hidup di masa Pakubuwana I dan Pakubuwana II. Naskah tertuanya bertanggal tahun 1722.
Perbedaan keduanya terletak pada penceritaan sejarah Jawa Kuno sebelum munculnya cikal bakal kerajaan Mataram. Kelompok pertama hanya menceritakan riwayat Mataram secara ringkas, berupa silsilah dilengkapi sedikit keterangan, sementara kelompok kedua dilengkapi dengan kisah panjang lebar.
Babad Tanah Jawi telah menyedot perhatian banyak ahli sejarah. Antara lain, H. J. de Graaf. Menurutnya, apa yang tertulis di Babad Tanah Jawi dapat dipercaya, khususnya cerita tentang peristiwa tahun 1600 sampai zaman Kartasura pada abad ke-18. Demikian juga dengan peristiwa sejak tahun 1580 yang mengulas tentang kerajaan Pajang. Namun, untuk cerita setelah era itu, de Graaf tidak berani menyebutnya sebagai data sejarah karena terlalu sarat dengan campuran mitologi, kosmologi, dan dongeng.
Menjelang Perang Dunia II, Balai Pustaka juga menerbitkan berpuluh-puluh jilid Babad Tanah Jawi dalam bentuk aslinya. Asli sesungguhnya karena dalam bentuk tembang dan tulisan Jawa.
PENGUASA-PENGUASA JAWA
Wangsa Syailendra :
Dapunta Hyang (671 M - 702 M)
Sri Indra Warman (702 M - 775 M)
Wisnu Warman (775 M - 782 M)
Daranindra (Sri Wirarairimathana) (782 M - 812 M)
Samara Tungga (812 M - 833 M)
Pramodha Wardhani (833 M - 856 M)
Wangsa Sanjaya :
Sanjaya (732-?)
Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (Syailendra)
Rakai Panunggalan
Rakai Warak
Rakai Garung
Rakai Patapan (8XX-838)Rakai Pikatan (838-855), mendepak Dinasti Syailendra
Rakai Kayuwangi (855-885)
Dyah Tagwas (885)
Rakai Panumwangan Dyah Dewendra (885-887)
Rakai Gurunwangi Dyah Badra (887)
Rakai Watuhumalang (894-898)
Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910)
Daksa (910-919)
Dyah Tulodong (919-921)
Dyah Wawa (924-928)
Mpu Sindok (928-929), memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur (Medang).
Wangsa Medang Kamulan :
Mpu Sindok (929-947)Sri Isyanatunggawijaya (947-9xx)Makutawangsawardhana (9xx-985)Dharmawangsa Teguh Anantawikrama (985-1006)
Wangsa Kahuripan :
Airlangga (1019-1045), mendirikan kerajaan di reruntuhan Medang(Airlangga kemudian memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua :
1. Janggala dan .
2. Kadiri.
Janggala :
(tidak diketahui silsilah raja-raja Janggala hingga tahun 1116)
Kadiri :
(tidak diketahui silsilah raja-raja Kadiri hingga tahun 1116)
Kameswara (1116-1135), mempersatukan kembali Kadiri dan PanjaluJayabaya (1135-1159)
Rakai Sirikan (1159-1169)
Sri Aryeswara (1169-1171)
Sri Candra (1171-1182)
Kertajaya (1182-1222)
Wangsa Singhasari :
Ken Arok (1222-1227)
Anusapati (1227-1248)
Tohjaya (1248)
Ranggawuni (Wisnuwardhana) (1248-1254)
Kertanagara ( 1254-1292)
Wangsa Majapahit :
Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) (1293-1309)
Jayanagara (1309-1328)
Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350)
Hayam Wuruk (Rajasanagara) (1350-1389)
Wikramawardhana (1390-1428)
Suhita (1429-1447)
Dyah Kertawijaya (1447-1451)
Rajasawardhana (1451-1453)
Girishawardhana (1456-1466)
Singhawikramawardhana (Suraprabhawa) (1466-1474)
Girindrawardhana Dyah Wijayakarana (1468-1478)
Singawardhana Dyah Wijayakusuma (menurut Pararaton menjadi Raja Majapahit selama 4 bulan sebelum wafat secara mendadak) ( ? – 1486 )
Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhre Kertabumi (diduga kuat sebagai Brawijaya, menurut Kitab Pararaton dan Suma Oriental karangan Tome Pires pada tahun 1513) (1474-1519)
Kerajaan Demak :
Raden Patah (1478 – 1518)
Adipati Unus (1518 – 1521)
Sultan Trenggono (1521 – 1546)
Sunan Prawoto (1546 – 1547)
Arya Penangsang (1547 - 1554)
Kesultanan Pajang :
Jaka Tingkir, bergelar Sultan Hadiwijoyo (1568 – 1582)
Arya Pangiri, bergelar Sultan Ngawantipuro (1583 – 1586)
Pangeran Benawa
Kesultanan Mataram :
Ki Ageng Pamanahan, menerima tanah perdikan Mataram dari Jaka TingkirPanembahan Senopati (Raden Sutawijaya) (1587 – 1601), menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka.
Panembahan Hanyakrawati (1601 – 1613)
Adipati Martapura (1613 selama satu hari)
Sultan Agung (Raden Mas Rangsang / Prabu Hanyakrakusuma) (1613 – 1645)
Amangkurat I (Sinuhun Tegal Arum/Amangkurat Agung) (1645 – 1677) menyingkir dari ibu kota Plered karena diserbu Pangeran Trunojoyo, raja dari Madura.
Kasunanan Kartasura Hadiningrat :
Amangkurat II (Amangkurat Amral) (1680 – 1702), pendiri Kartasura.
Amangkurat III (1702 – 1705), dibuang VOC ke Srilangka karena kalah dari Pakubuwana I yang didukung VOCPakubuwana I (1705 – 1719), pernah memerangi dua raja sebelumya, juga dikenal dengan nama Pangeran Puger atau Sultan ing Alaga.
Amangkurat IV (1719 – 1726), Terjadi banyak pemberontakan, Sunan Kuning (Mas Garendi).
Pakubuwana II (1726 – 1742),
Pakubuwana III (diangkat oleh Belanda) dan hal ini ditentang oleh Mangkubumi dan Raden Mas Said. Atas ketidak puasannya Raden Mas Said mengangkat mertuanya Mangkubumi sebagai penguasa oposisi di Mataram, namun beberapa saat kemudian partai oposisi ini pecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok Raden Mas Said dan kelompok Mangkubumi. Kemudian muncullah Perundingan Giyanti (13 Februari 1755)
Wangsa Baru :
Perjanjian Giyanti telah membagi Wangsa Mataram menjadi 2 keluarga besar, yaitu :
1. Hamengkubuwana dan.
2. Pakubuwana. Sedangkan Perjanjian Salatiga telah melahirkan satu keluarga dari Pakubuwana, yaitu Mangkunegara. Keluarga Pakubuwana dimulai dari Pakubuwana I dan Hamengkubuwana dimulai dari Hamengkubuwana I, sedangkan Mangkunegara dimulai dari Mangkunegara I.
Pakubuwan :
Pakubuwana I (1705 – 1719), pernah memerangi dua raja sebelumya; juga dikenal dengan nama Pangeran Puger.
Pakubuwana II (1745 – 1749), pendiri kota Surakarta, memindahkan keraton Kartasura ke Surakarta pada tahun 1745
Pakubuwana III (1749 – 1788), mengakui kedaulatan Hamengkubuwana I sebagai penguasa setengah wilayah kerajaannya.
Pakubuwana IV (1788 – 1820)
Pakubuwana V (1820 – 1823)
Pakubuwana VI (1823 – 1830), diangkat sebagai pahlawan nasional Indonesia, juga dikenal dengan nama Pangeran Bangun Tapa.
Pakubuwana VII (1830 – 1858)
Pakubuwana VIII (1859 – 1861)
Pakubuwana IX (1861 – 1893)
Pakubuwana X (1893 – 1939)
Pakubuwana XI (1939 – 1944)
Pakubuwana XII (1944 – 2004)
Gelar Pakubuwana XIII (2004 – sekarang) diklaim oleh dua orang, Pangeran Hangabehi dan Pangeran Tejowulan.
Hamengkubuwan :
Sri Sultan Hamengkubuwono I / Pangeran Mangkubumi (13 Februari 1755 - 24 Maret 1792 )
Sri Sultan Hamengkubuwono II / Gusti Raden Mas Sundara ( 2 April 1792 - 1810) periode pertama.
Sri Sultan Hamengkubuwono III / Raden Mas Surojo (1810 - 1811) periode pertama.
Sri Sultan Hamengkubuwono IV / Gusti Raden Mas Ibnu Jarot ( 9 November 1814 - 6 Desember 1823)
Sri Sultan Hamengkubuwono V / Gusti Raden Mas Gathot Menol (19 Desember 1823 - 17 Agustus 1826) periode pertama
Sri Sultan Hamengkubuwono VI / Gusti Raden Mas Mustojo ( 5 Juli 1855 - 20 Juli 1877)Sri Sultan Hamengkubuwono VII / Gusti Raden Mas Murtejo / Sultan Sugih ( 22 Desember 1877 - 29 Januari 1921 )
Sri Sultan Hamengkubuwono VIII / Gusti Raden Mas Sujadi ( 8 Februari 1921 - 22 Oktober 1939)
Sri Sultan Hamengkubuwono IX / Gusti Raden Mas Dorodjatun( 18 Maret 1940 - 2 Oktober 1988 )
Sri Sultan Hamengkubuwono X / Bendara Raden Mas Herjuno Darpito ( 7 Maret 1989 - sekarang)
Mangkunegara :
Mangkunegara I atau bernama asli Raden Mas Said dengan gelar Pangeran Samber Nyowo (1757 - 1795KGPAA Mangkunegara II atau R.M Sulomo dengan gelar dimasa muda Pangeran Surya Mataram dan juga bergelar Pangeran Surya Mangkubumi (1795 - 1835)Mangkunegara III (1835 - 1853)Mangkunegara IV (1853 - 1881)Mangkunegara V ( 1881 - 1896)Mangkunegara VI (1896 - 1916)Mangkunegara VII (1916 - 1944)Mangkunegara VIII (1944- 1987)Mangkunegara IX (1987 - sekarang)
BABAD TANAH JAWA SEBAGAI PENDIDIKAN BERKARAKTER
Nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam teks Babad Tanah Jawa. Dalam teks Babad Tanah Jawa, terdapat tiga nilai pendidikan karakter yang dominan.
Nilai-nilai pendidikan karakter tersebut di antaranya :
1. Nilai karakter religius yang digambarkan melalui sikap yang sesuai dengan agama yang dianut,
2. Nilai karakter semangat kebangsaan yang digambarkan melalui semangat mengusir penjajah di tanah Mataram, dan
3. Nilai karakter cinta tanah air yang digambarkan melalui kegigihan menjaga tanah kerajaan agar tidak diambil oleh kerajaan lain.
Menurut Kanzunnudin, 2012 sastra dapat diartikan sebagai karya seni yang bermediakan bahasa. Bahasa dalam karya sastra digunakan sebagai sarana mengajar atau memberikan petunjuk. Oleh karenanya, sastra dapat dinyatakan sebagai seni bahasa untuk menyampaikan ajaran. Setidaknya, sastra mengungkapkan tiga aspek utama secara mendasar, diantaranya memberikan sesuatu kepada pembaca atau decore, memberikan kenikmatan melalui unsur estetik atau declarate, dan mampu menggerakkan kreatuvitas pembaca atau disebut dengan movore.
Sastra (Z.F., 2014) merupakan sebuah cabang dari seni yang mempunyai unsur integral kebudayaan dan usianya sudah cukup tua. Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman hidup manusia sejak dahulu, baik dari aspek manusia sebagai penciptanya maupun aspek manusia sebagai penikmatnya. Karya sastra merupakan curahan pengalaman batinnya tentang fenomena kehidupan sosial dan budaya masyarakat pada masanya. Ia juga merupakan ungkapan peristiwa, ide, gagasan, serta nilai-nilai kehidupan yang diamanatkan di dalamnya. Sastra mempersoalkan manusia dalam segala aspek kehidupannya sehingga karya itu berguna untuk mengenal manusia dan budayanya dalam kurun waktu tertentu.
Dari uraian pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan cabang dari seni yang bermediakan bahasa. Sastra merupakan suatu petunjuk yang baik untuk mengajarkan kepada manusia. Sastra juga merupakan kebudayaan yang cukup tua yang berisikan kehidupan manusia dari berbagai aspek persoalan.
(Z.F., 2014) berpendapat bahwa karya sastra bukanlah karya yang ilmiah yang dapat dirunut kebenaran faktualnya sebagaimana merunut kebenaran berita surat kabar tentang peristiwa tertentu. Kebenaran pada karya sastra bukanlah kebenaran yang bersifat faktual tetapi kebenaran yang bersifat kemanusiaan. Saat membaca karya sastra, kita diperkenalkan kepada kekayaan-kekayaan batin yang memungkinkan kita mendapatkan insight, persepsi, dan refleksi diri sehingga kita dapat masuk ke dalam pengalaman nyata hidup. Inilah kenyataan faktual yang terdapat di dalam karya sastra yang hanya dapat diperoleh dengan hatinya masuk ke dalam karya sastra.
Salah satu karya sastra yang menarik untuk dikaji adalah sastra lama berbentuk babad. Menurut (Aziz, 2015) babad dapat diartikan sebagai sebuah dongeng yang segaja digubah menjadi sebuah cerita sejarah. Di dalam sebuah babad, beberapa cerita digambarkan secara berlebihan atau hiperbolis, seperti tokoh, tempat, dan peristiwa. Karya sastra dalam bentuk babad ini sesungguhnya adalah cerita yang digubah sebagai cerita sejarah. Dalam tradisi sastra melayu, karya sastra dalam bentuk babad disebut dengan salasilah dan tambo atau hikayat, misalnya Hikayat Raja-Raja Pasai, dan Hikayat Salasilah Perak. Karya sastra yang berbentuk babad antar lain adalah Babad Tanah Jawa, Babad Giyanti, Sejarah Hasanudin, dan Sejarah Banten Rante-Rante, Babad Cirebon, dan Babad Pakepung.
(Olthof, 2011) berpendapat bahwa babad merupakan cerita klasik yang mengisahkan asal muasal suatu daerah atau kerajaan. Penelitian ini mengkaji salah satu babad yang terkenal yaitu Babad Tanah Jawa. Karya ini memuat tentang cikal-bakal (nenek moyang) raja-raja Mataram Islam yakni bermula dari nabi Adam, dewa-dewa, hingga raja-raja yang pernah berkuasa di tanah Jawa. Raja-raja yang pernah menguasai tlatah Pajajaran, Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram Islam (Kasunanan Surakarta). Karya sastra Babad Tanah Djawi yang berunsur mitologi dan pengkultusan tersebut memiliki keragaman versi. Namun, menurut Hoesein Djajadiningrat, keragaman versi tersebut disederhanakan menjadi dua. Kelompok pertama: Babad Tanah Djawi yang ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Pakubuwono III. Kelompok kedua: Babad Tanah Djawi bertarikh 1722 yang diterbitkan oleh Pangeran Adilangu II.
Dari beberapa versi Babad Tanah Jawa yang sudah ada, dipilih cerita Babad Tanah Jawa yang sudah dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia oleh HR. Sumarsono dan diterbitkan oleh penerbit Narasi, Yogyakarta. Hal tersebut didasarkan bahwa Babad Tanah Jawa yang dialihbahasakan oleh HR. Sumarono merujuk pada Babad Tanah Jawa yang disusun oleh W.L. Olthof di Belanda tahun 1941 dan lebih lengkap dari versi lain. Sebagai sebuah karya sastra, Babad Tanah Jawa juga memberikan nilai pengajaran yang baik kepada masyarakat. Oleh karena itu, fokus penelitian ini adalah menganalisis bentuk-bentuk nilai pendidikan karakter yang ada pada Babad Tanah Jawa.
Penelitian lain yang membahas Babad Tanah Jawa adalah penelitian yang dilakukan oleh Saddhono & Supeni, 2014 yang membahas “Pengaruh Kolonial pada Kerajaan Mataram dalam cerita Babad Tanah Jawi”. Pengaruh kolonial ini dapat dilihat dari segi pemerintahan, politik, hingga mempengaruhi pola pikir perempuan pada saat itu. Perempuan-perempuan yang mendapat pengaruh kolonial cenderung mempunyai keberanian untuk melawan ketidakadilan dan mengemukakan hak-hak mereka. Perempuan juga ikut andil dalam bidang politik, seperti ikut dalam peperangan.
Penelitian (Birsyada, 2016) berjudul “Keraton Pada Babad Tanah Jawi dalam Perspektif Pedagogi Kritis” yang dimual dalam jurnal Sejarah dan Budaya juga membahas Babad Tanah Jawa. Pada penelitian ini diungkapkan bahwa Babad Tanah Jawi menunjukkan sisi dominasi budaya keraton dengan memaparkan genealogi keluarga keraton yang penuh dengan cerita mitologi, magis dan penuh kesakralan. Oleh sebab itu, pengetahuan yang terdapat dalam Babad Tanah Jawi tidak lain hanyalah representasi dari legitimasi kekuasaan dan budaya keraton. Selain itu, Babad Tanah Jawi juga menunjukkan upaya imperiumisasi budaya kerajaan dan mengembalikan sistem kelas atau kastapraIslam.
Persamaan kedua penelitian sebelumnya dengan penelitian ini adalah sama-sama mengangkat objek penelitian karya sastra lama yaitu Babad Tanah Jawa. Penelitian sebelumnya dengan penelitian ini sama-sama mengangkat keunikan Babad Tanah Jawa dari sudut pandang yang berbeda. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian pertama adalah permasalahan yang diangkat. Jika penelitian pertama mengangkat Babad Tanah Jawa dari sudut pandang kolonialisme, penelitian ini mengangkat nilai-nilai pendidikan karakter.
Selanjutnya, perbedaan penelitian ini dengan penelitian kedua pada permasalahan yang diangkat. Pada penelitian kedua mengangkat permasalahan legitimasi kekuasaan dan dominasi budaya trah keraton yang dimunculkan dalam Babad Tanah Jawa. Dominasi tersebut ditunjukkan lewat cerita-cerita mitos, magis, sakral dan supranatural untuk menumbuhkan kesadaran magis rakyat atau kawula. Sementara itu, penelitian ini mengangkat nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam Babad Tanah Jawa sebagai suatu pembelajaran yang dapat diberikan padamasyarakat.
Babad Tanah Jawa menarik untuk dikaji. Hal tersebut disebabkan Babad Tanah Jawa mempunyai hubungan dengan pendidikan karakter yang diajarkan di sekolah maupun lingkungan masyarakat. Hubungannya yaitu bahwa karya sastra lama dapat digunakan sebagai acuan atau pedoman untuk memberikan pengajaran yang baik. Dengan membaca karya sastra lama, baik guru, keluarga, maupun masyarakat dapat mengambil gambaran masyarakat yang terdapat dalam cerita untuk mengambil bagian yang terbaik guna mengembangkan karakter anak.
Babad adalah sebuah karya tulis yang menceritakan pendirian sebuah negara atau kerajaan. Cerita babad bukan hanya mengenai pendirian negara tersebut, melainkan juga cerita-cerita yang terjadi pada kerajaan atau negara tersebut. Uraian tersebut juga berlaku pada cerita dalam Babad Tanah Jawa. Babad Tanah Jawa menceritakan tentang silsilah raja di kerajaan Mataram. Khususnya dalam buku ini, sejarah Jawa dipaparkan dengan menarik garis silsilah awal Nabi Adam AS, kemudian dilengkapi dengan silsilah dewa-dewa agama Hindu, tokoh Mahabharata, cerita Panji di Kediri, hingga berakhir pada masa Kartasura, tepatnya saat terjadi perselisihan antara Raja Kartasura dengan Pangeran Purbaya dan Sultan Blitar yang masih sedarah. Menurut perkiraan penyusunnya, peristiwa ini terjadi di sekitar tahun 1647 (Olthof,2011).
Menurut (Rohman, 2011) kata babad tanah jawi memberikan pengertian tentang sejarah wilayah Jawa. Babad Tanah Jawi ditulis secara naratif dalam bahasa dan huruf Jawa. Ketebalan naskah mencapai 470 halaman. Isi cerita tidak seragam, tetapi secara umum Babad Tanah Jawi
menceritakan kepemimpinan pada masa Kerajaan Demak (abad ke-15) hingga Mataram Islam (abad ke-17). Penulisan sekuen dan kutipan dalam penelitian ini merupakan transliterasi dari teks asli. Karena tidak berbentuk tembang, Babad Tanah Jawi lebih mirip cerita fiksi dari jenisprosa.
(Birsyada, 2016) menjelaskan bahwa Babad Tanah Jawa selain menunjukkan upaya dominasi budaya kerajaan juga berusaha mengintegrasikan legitimasi antara ideologi Hindu dan Islam. Dengan demikian, kekuasaan raja dianggap sah menurut tradisi Hindu dan Islam karena jalur genealogi raja-raja Jawa sampai dengan Mataram Islam adalah jalur keturunan Nabi Adam (Islam) juga keturunan para Dewa (Hindu). Dalam tradisi kekuasaan kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, raja direpresentasikan sebagai pusat kosmos di muka bumi disimbolkan sebagai khalifatulloh fil ardhi adalah payung bagi genealogi tradisi Hindu Jawa maupun tradisi Islam. Singkatnya, Babad Tanah Jawa ingin menghubungkan secara genealogi antara trah versi ideologi Hindu- Budha dengan Islam. Dengan demikian, dalam tradisi kekuasaan Jawa, dengan menyatukan trah dari kedua jalur genealogi tersebut diharapkan dapat menundukkan rakyat Jawa dari ideologi budaya kedua belah pihak karena telah mendapat keabsahan dari jalur keturunan baik dari Hindu-Budha lewat dewa-dewa maupun dari jalur Islam melalui Nabi Adam. Dalam konteks inilah, secara kultural legitimasi kekuasaan raja lewat genalogi tersebut akan dikukuhkan secara simbolik dalam memerintah serta mewujudkan ketertiban tatanan masyarakat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Babad Tanah Jawa merupakan sebuah cerita sejarah yang menceritakan kisah kerajaan Mataram di tanah Jawa. Sebagai sebuah cerita sejarah, Babad Tanah Jawa menghadirkan kisah perjalanan berdirinya kerajaan Mataram dan raja-raja yang menjadi pemimpin di tanah Mataram. Selain itu, Babad Tanah Jawa juga menghadirkan konflik-konflik yang ada di dalam lingkungan kerajaan serta nasihat-nasihat yang dapat menjadi pedoman hidup.
Platform pendidikan karakter bangsa Indonesia telah dipelopori oleh tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Dalam pendidikan karakter yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara, tertuang dalam tiga konsep yaitu :
1. Ing Ngarsa Sung Tuladha.
2. Ing Madya Mangun Karsa.
3. Tut Wuri handayani.
Ketiga konsep tersebut memiliki arti bahwa yang di depan memberikan teladan, contoh, dan panutan. Selanjutnya, di tengag membangun kehendak (menyatukan cita-cita dan tujuan agar dapat diraih bersama). terakhir, di belakang memberikan dorongan.
Guru mempunyai makna digugu lan ditiru (dipercaya dan dicontoh) secara tidak langusng juga harus memberikan contoh pendidikan karakter kepada siswa atau peserta didik. Oleh karena itu, guru harus memiliki profil dan penampilan yang mampu membawa siswanya kearah pendidikan karakter yang kuat. (Aqib, 2011)
Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai hal positif yang dapat dilakukan oleh guru yang mempengaruhi siswanya. Pendidikan karakter merupakan upaya untuk mengajarkan nilai-nilai yang baik kepada siswa yang diajar. Pendidikan karakter harus mampu mendukung pengembangan sosial, emosional, dan etik siswa (Samani,2012).
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan karakter dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang harus ditumbuhkan dan diajarkan kepada generasi penerus baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekolah. Nilai pendidikan karakter harus diwujudkan dalam kegiatan sehari-hari. Nilai pendidikan karakter harus terus menerus diajarkan agar generasi penerus bangsa tidak lupa akan adab dan budaya timur yang dijunjung oleh Indonesia.
Unsur religi dalam sastra merupakan sebuah identitas keberadaan sastra tersebut. Istilah religius mengarah pada kata religios yang bermakna agama. Religius dan agama sangat berkaitan erat, berdampingan, bahkan dapat melebur sebagai satu kesatuan meskipun keduanya memiliki makna yang berbeda. Perbedaan tersebut terlihat jika agama merujuk pada kelembagaan dan religi merujuk pada hati nurani (Nurgiyantoro, 2009). Semangat kebangsaan dapat diartikan sebagai cara berpikir, bertindak, dan berwawasan untuk menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan diri sendiri. Semangat kebangsaan dan nasionalisme merupakan sinergi yang seimbang untuk menciptkan rasa kebanggaan terhadap bangsa. Semangat kebangsaan juga akan melahirkan rasa kesetiakawanan sosial, semangat rela berkorban, dan menumbuhkan jiwa patriotisme. Semangat kebangsaan juga menghindarkan dari rasa ketakutan akan perpecahan bangsa (Lestyarini, 2013).
Cinta tanah air dan bangsa (Erwanti, 2011) merupakan sebuah kebanggan bagi anak bangsa karena menjadi salah satu orang yang mampu membuat perubahan bagi negaranya. Cinta tanah air dapat diwujudkan melalui cara berpikir dan bertindak yang menunjukkan kesetiaan terhadap bangsa dan negara. Selain itu, cinta tanah air juga dapat dilakukan dengan peduli terhadap permasalahan bangsa seperti ekonomi, sosial, budaya, Bahasa, dan politik. Rasa semangat pada tanah air disebut juga patriotisme, sedangkan rasa cinta terhadap negara disebut nasionalisme. Mewujudkan rasa patriotisme dan nasionalisme merupakan bukti nyata terhadap sila ketiga yaitu persatuanIndonesia.
Cinta tanah air juga bermakna keseriusan anak bangsa menggali potensi dan talenta agar dapat berkembang. Bangsa yang memiliki sumber daya manusia rendah, tidak akan pernah dapat mempertahankan kedaulatan bangsanya. Bangsa yang tidak memiliki keunggulan kerap menjadi mangsa bagi bangsa-bangsa besar lainnya (Nasution, 2012).
Babad Tanah Jawa yang selanjutnya disingkat menjadi Babad Tanah Jawi, ditemukan tiga nilai pendidikan karakter yang dominan Tiga nilai pendidikan karakter tersebut adalah religius, semangat kebangsaan, dan cinta tanah air. Ketiga nilai pendidikan karakter tersebut diuraikan dalam pembahasan di bawah ini.
RELIGIUS
Religius merupakan sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut. Selain mematuhi ajaran agama yang dianut, sikap religius juga berarti menghormati dan toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama pemeluk lain. Religius sebagai salah satu nilai karakter dideskripsikan sebagai sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
Dalam cerita Babad Tanah Jawi
nilai religius ditunjukkan melalui ajaran-ajaran sunan yang menjadi guru bagi para raja-raja tanah Mataram. Sunan yang terkenal pada saat itu adalah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga merupakan sunan yang terkenal karena mempunyai sikap rendah hati, tutur kata yang tidak menyakiti orang lain, dan mampu mengajari murid-muridnya dengan pandangan kebenaran dalam agama Islam. Sunan Kalijaga juga mengajarkan bagaimana sikap-sikap yang harus ditunjukkan oleh seorang raja sesuai dengan syariat Islam. Sunan Kalijaga juga tidak segan-segan mengingatkan jika ada raja yang mulai takabur pada kekuatannya.
Sunan Kali Jaga berkata, Senopati berhentilah bersombong diri memamerkan kedigdayaan. Itu namanya takabur. Para wali tidak mau berbuat demikian, takut akan murka Allah (Olthof, 2011: 163).
Kutipan tersebut diatas menjelaskan bahwa seorang ulama mampu memberikan nasihat kepada Senopati Mataram agar memiliki sikap rendah hati dan tidak menyombongkan kesaktiannya. Sunan Kalijaga meminta Senopati Mataram agar tidak menjadi orang yang takabur karena Senopati Mataram hanyalah seorang manusia yang mempunyai derajad yang sama dengan lainnya. Senopati Mataram dinasihati agar menjadi orang yang tidak menyombongkan diri atas kehebatannya dan merasa dirinya paling mulia karena sikap tersebut akan membuat Allahmurka.
Nasihat Sunan Kalijaga tentang ajaran Islam juga digambarkan melalui tindakannya yang menasihati Senopati Mataram untuk membuat pagar rumah. Ketika Sunan Kalijaga mengunjungi rumah (istana) Senopati Mataram, Sunan Kalijaga melihat rumah Senopati Mataram belum berpagar. Hal tersebut membuat Sunan Kalijaga prihatin dan menasihati Senopati Mataram agar membuat pagar.
Lalu mereka berangkat bersama. Sesudah sampai di Mataram, Sunan menyaksikan rumah Senopati belum berpagar, Sunan berkata, Rumahmamu tidak berpagar bata. Itu tidak baik. Kamu dapat disebut orang sombong, sebab tidak ada curiga karena mengandalkan kesaktian, teguh kedigdayaan (Olthof, 2011: 163).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sunan Kalijaga menasihati Senopati Mataram agar tidak bersikap sombong melalui perumpamaan pagar rumah. Pagar rumah dalam hal ini merupakan perlambangan dari watak seseorang yang selalu waspada akan bahaya yang mengancam. Orang yang belum membuat pagar rumah merupakan perumpamaan dari orang yang sombong dan tidak mawas diri. Orang yang sombong akan selalu mengandalkan diri sendiri dan tidak ingat akan penciptanya yaitu Allah subhanahu wa taala. Dengan membuat pagar di rumahnya, orang tersebut akan selalu terlindungi karena berserah diri kepada Allah subhanahu wa taala.
Selain mengingatkan Senopati Mataram agar tidak menjadi orang yang sombong, Sunan Kalijaga juga memberikan nasihat kepada Senopati Mataram agar menjadi orang yang selalu bersyukur. Bersyukur merupakan ungkapan rasa terima kasih kepada Allah subhanahu wa taala, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat lebih. Bersyukur juga merupakan ungkapan bahwa doanya telah terkabul dan cita-citanyatercapai.
Jika kamu ingin menjadi raja, selalu bersyukur sebagai makhluk ciptaan-Nya. Marilah bersama ke Mataram saya ingin melihat rumahmu (Olthof, 2011: 163).
Dari kutipan di atas dapat menjelaskan bahwa Sunan Kalijaga memberikan pemahaman kepada Senopati Mataram untuk selalu bersyukur. Sebagai seorang Raja, Senopati Mataram harus selalu bersyukur karena ia telah dipilih oleh Allah sebagai pemimpin rakyat Mataram. Rasa syukur tersebut menunjukkan bahwa ia merupakan makhluk istimewa yang dipilih oleh Allah sebagai pemimpin rakyat yang akan membawa rakyat ke jalan Allah. Bersyukur juga dapat menjadikan Senopati Mataram sebagai raja yang selalu rendah hati dan mengingat kebesaran Allah.
Dalam Babad Tanah Jawi, karakter religius juga digambarkan melalui raja-raja yang sudah melaksanakan ajaran Islam. Raja-raja tersebut digambarkan selalu berdoa memohon pertolongan Allah jika mendapat kesulitan. Hal tersebut digambarkan oleh Senopati Ing Alaga yang berdoa meminta petunjuk dari Allah ketika ia sudah melakukan kesalahan dan ingin memperbaikinya.
Jika itu menjadi niatmu, bermohonlah kepada Allah secara khusuk agar kelak jika Sultan sudah mangkat engkau dapat menggantikan takhtanya. Jangan sekali-kali punya pikiran melawan ayahmu Kanjeng Sultan (Olthof, 2011:149).
Dari kutipan itu, dapat digambarkan bahwa Senopati Ing Alaga memang raja yang memeluk agama Islam dan menjalankan ajaran Islam. Senopati Ing Alaga dalam menjalankan ajaran Islam terlihat pada saat ia mendapatkan kesulitan ia berdoa kepada Allah dan meminta petunjuk jalan keluar. Sebagai seorang muslim, ia menunjukkannya dengan cara berdoa kepada Allah dan bukan meminta bantuan pada yang lain. Akan tetapi, jalan yang ia tempuh untuk mengerti apakah doanya dikabulkan oleh Allah tidaklah mudah. Senopati Ing Alaga sempat terkecoh dengan godaan dari bintang yang bersinar dan dapat berbicara.
Bintang tadi sesudah berbicara demikian lalu musnah. Senopati berkata berkata dalam hati. Sekarang permohonan kepada Allah sudah terkabul. Niatku untuk menjadi raja menggantikan Sultan Pajang, turun-temurun ke anak cucu, menjadi lampunya di tanah Jawa. Semua orang jadi takhluk kepadaku (Olthof, 2011: 157).
Kehadiran unsur religi dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri (Nurgiyantoro, 2009). Istilah religious membawa konotasi pada makna agama. Religius dan agama memang erat berkaitan, berdampingan, bahkan dapat melebur dalam satu kesatuan, namun sebenarnya keduanya menyarankan makna bebeda. Agama lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan dengan hukum-hukum resmi.
Religi lebih pada hati, nurani, dan pribadi manusia itu sendiri.
Dari beberapa kpendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.
Nilai pendidikan karakter religius dalam cerita Babad Tanah Jawi, digambarkan melalui soosk sosok Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga merupakan salah satu walisongo yang sangat terkenal di masyarakat Jawa. Sunan Kalijaga merupakan sunan yang terkenal dengan kemampuannya memasukkan Islam ke dalam tradisi Jawa. Sunan Kalijaga merupakan guru raja-raja di Mataram yang mampu memberikan wejangan dan ajaran kepada raja- raja Mataram untuk selalu berada di jalan agama Islam.
Salah satu murid Sunan kalijaga yaitu Senopati Mataram (Senopati Ing Alaga). Senopati Ing Alaga digambarkan sebagai raja baru yang masih mempunyai ambisi besar, hingga terkadang melupakan ajaran-ajaran Islam yang telah diajarkan oleh gurunya. Melihat hal seperti itu, sebagai guru, Sunan Kalijaga mengingatkan Senopati Mataram agar selalu ingat dengan ajaran Islam. Sunan Kalijaga memberikan arahan dan nasihat kepada Senopati Mataram agar bersikap rendah hati, selalu waspada akan bahaya, menjadi raja yang mempunyai sikap tidak sombong akan kemampuan yang dimiliki, dan menjadi raja yang selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah swt.
Sikap religius yang ditunjukkan oleh Sunan Kalijaga dapat menjadi panutan di sekolah maupun di lingkungan keluarga. Sebagai seorang guru, Sunan Kalijaga mampu memberikan nasihat kepada muridnya. Saat muridnya melakukan kesalahan dan mulai meninggalkan ajaran yang benar, maka sebagai guru Sunan Kalijaga wajib menegur dan memberi nasihat yang mampu mengembalikan murid tersebut ke jalan yang benar.
Begitu pula dengan seorang pendidik, pendidik harus mampu mempunyai sikap seperti Sunan Kalijaga yang selalu memberi nasihat kepada murid jika ada murid yang sudah melakukan kesalahan. Begitu juga di lingkungan keluarga, karakter yang dimiliki Sunan Kalijaga dapat dicontoh oleh orang tua untuk diterapkan dalam pola mendidik anak-anak. Orang tua harus menasihati anaknya jika melakukan kesalahan sehingga anak tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang merugikan masadepan.
SEMANGAT KEBANGSAAN
Semangat kebangsan dapat diartikan sebagai sebuah cara warga negara untuk berpikir, bertindak, dan berwawasan yang meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi . Dalam Babad Tanah Jawi, semangat kebangsaan ditunjukkan dengan melawan penjajah, yaitu orang Belanda. Dalam cerita Babad Tanah Jawi, orang Belanda digambarkan telah menduduki Jakarta dan menguasainya serta sudah membangunbenteng.
Orang Jawa maju ke medan perang dengan serempak, bersorak gegap-gempita bertekad menggempur benteng lawan. Orang Belanda menyambut. Meriam dinyalakan bertubi-tubi. Suaranya menggelegar seperti gunung runtuh. Mimis berjatuhan seperti hujan, ada yang seperti cahaya jatuh. Orang Jawa banyak yang mati, roboh bergelimpangan dan terluka, ada yang merangkak-rangkak dengan luka parah (Olthof, 2011: 290).
Data di atas menunjukkan bahwa semangat kebangsaan yang ditunjukkkan oleh masyarakat Jawa sangatlah besar. Orang Jawa dengan ikhlas dan dengan semangat mereka melawan Belanda yang telah menduduki Jakarta. Orang Jawa merelakan jiwa dan raga mereka demi negaranya agar negaranya tidak dapat direbut oleh bangsa Belanda.
Semangat kebangsaan tidak hanya digambarkan melalui prajurit Jawa yang dengan ikhlas merelakan jiwa dan raganya demi negara. Semangat kebangsaan juga ditunjukkan oleh tokoh panglima perang yaitu Panembahan Purbaya. Panembahan Purbaya dalam cerita digambarkan dengan berani melawan Belanda sampai membuat Belanda kehilangan banyak pasukan.
Panembahan Purbaya sudah tiba di laut Jakarta, lalu perang dengan Belanda yang ada di kapal. Serdadu Belanda yang ada di kapal. Serdadu Belanda kalah lalu melarikan diri. Panembahan Purbaya lalu menepi akan naik ke daratan. Di situ masih berlangsung perang. Meriam orang Jawa diarahkan ke orang Belanda, kena bibirnya. Ambrol. Kapal pecah, korbannya banyak, orang Belanda banyak yang mati (Olthof, 2011:290-291).
Data di atas menjelaskan bahwa semangat kebangsaan juga ditunjukkan oleh Panembahan Purbaya. Panembahan Purbaya dengan kesaktiannya mampu menumpas orang Belanda. Panembahan Purbaya menunjukkan keberaniannya dengan melawan orang Belanda yang memang pada saat itu sudah mempunyai peralatan perang yang cukup canggih. Akan tetapi, Pangeran Purbaya tidak gentar dan mampu membuat serdadu Belanda lari ketakutan.
Semangat kebangsan dapat diartikan sebagai sebuah cara warga negara untuk berpikir, bertindak, dan berwawasan yang meletakkan kepentingan negara di atas kepentingna pribadi. Semangat kebangsaan dan nasionalisme merupakan sebuah perpaduan dan sinergi dari rasa kebangsaan dan paham kebangsaan. Adanya semangat kebangsaan yang tinggi dari warga negara dapat menepiskan ancaman terhadap keutuhan negara. Jika warga negara mempunyai semangat kebangsaan yang tinggi, maka rasa kesetiakawanan, patriotisme, dan rela berkorban akan tumbuh dengan sendirinya (Lestyarini, 2013).
Semangat kebangsaan ditunjukkan oleh bala tentara Mataram pada saat menyerang Belanda. Bala tentara Mataram dengan semangat bahu membahu menolak kehadiran Belanda di Jakarta dengan mengangkat senjata. Bala tentara Mataram yang bergabung dengan tentara dari kerajaan lain bersemangat untuk mengusir pasukan Belanda. Semangat kebangsaan tidak hanya ditunjukkan oleh prajurit, tetapi oleh panglima perang yaitu Panembahan Purbaya. Panembahan Purbaya dengan gagah berani mampu memporak-porandakan pasukan Belanda. Meskipun Mataram mengalami kekalahan dalam peperangan, semangat prajurit dan Pangeran Purbaya menunjukkan semangat kebangsaan yang tidak mau dijajah oleh bangsalain.
Pada abad ke-17 Sunda menerima kehadiran pengaruh Mataram Islam dan melanjutkan kerja sama dengan menolak kehadiran Belanda di Jayakarta (Jakarta). Prajurit Mataram dibantu prajurit Sunda bahu-membahu berjuang mengusir penjajah Belanda. Jejak-jejak prajurit Mataram yang tinggal di Sunda saat ini dapat terlihat di Indramayu. Saat itu prajurit Mataram dikirim ke daerah tersebut sebagai pasukan logistik yang menyiapkan beras untuk keperluan prajurit Mataram (Sudardi,2010).
Sikap tersebut dapat dijadikan contoh bagi generasi muda bangsa untuk selalu mempunyai semangat kebangsaan yang ditanamkan di dalam diri. Semangat kebangsaan yang mampu dicontoh yaitu sikap untuk menolak pengaruh bangsa lain yang mampu memberikan dampak negatif bagi bangsa. Meskipun tidak dengan cara berperang seperti prajurit Mataram, hal itu dapat dilakukan dengan menjunjung tinggi adat bangsa sendiri dan menjadi pribadi yang mampu menunjukkan jati diri sebagai bangsa Indonesia.
CINTA TANAH AIR
Cinta tanah air merupakan suatu tindakan bela negara yang dapat berupan tekad, sikap, dan hal yang dilakukan oleh warga negara secara terus menerus, menyeluruh, dan berlanjut. Tindakan bela negara ini dilandasi dengan rasa kecintaan terhadap tanah air atau negara. Cinta tanah air juga dapat diartikan sebagai cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Cinta tanah air juga disebut dengan nasionalisme. Rasa nasionalisme merupakan suatu konsep penting yang harus tetap dipertahankan guna menjaga eksistensi sebuah bangsa.
Sikap cinta tanah air digambarkan dalam Babat Tanah Jawa melalui tokoh-tokoh raja. Raja- raja yang mempunyai kekuasaan dengan segala kekuatannya mempertahankan kerajaannya sampai titik darah penghabisan. Raja-raja tersebut mempertahankan negerinya ketika negerinya akan direbut oleh raja dari negara lain. Dalam cerita Bavatar tanah Jawa, negara yang ingin menguasai negara lain yaitu kerajaan Mataram. Dalam melakukan ekspansi kekuasaan, Kerajaan Mataram banyak merebut kerajaan-kerajaan lain. Hal tersebut menimbulkan banyak reaksi dari negara-negara jajahan, salah satunya banyak raja yang melakukan perlawanan demi mempertahankan negaranya.
Bupati Kediri yang bernama Ratu Jalu rupanya juga telah siap menyambut datangnya musuh. Ia telah menyiagakan bala-prajurit dengan perlengkapan perangnya (Olthof, 2011: 226).
Dari data kutipan tersebut menunjukkan bahwa raja atau bupati yang mempunyai kedudukan di suatu negara mempunyai rasa cinta tanah air yang tinggi. Mereka dengan sekuat tenaga mempertahankan negaranya atau tanah tumpah darahnya agar tidak direbut oleh penguasa Mataram. Mereka berperang dengan mengerahkan semua bala prajuritnya, meskipun dilihat dari segi jumlah maupun kesiapan tidak sebanding dengan prajurit musuh. Akan tetapi, dengan usaha mempertahankan negara dari ancaman pihak lain sudah merupakan suatu usaha untuk mencintai tanahairnya.
Kecintaan terhadap tanah air tidak hanya ditunjukkan melalui tokoh raja atau bupati, tetapi melalui tokoh sunan. Tokoh ulama yang mempunyai sikap mencintai tanah air yaitu tokoh Sunan Giri. Sikap cinta tanah air yang ditunjukkan oleh Sunan Giri terlihat pada saat ia dan murid-murid dari pesantren mempertahankan tanah Giri saat akan direbut oleh Mataram yang dipimpin oleh Pangeran Pekik.
Sunan Giri sudah mendengar berita bahwa tanah Giri akan dibedah oleh Pangeran Pekik. Sunan Giri memerintahkan sentana, abdi dalem/cantrik padepokan, serta para murid-muridnya supaya berhati-hati (Olthof, 2011: 283).
Dari data tersebut terlihat bahwa Sunan Giri mempunyai kekuatan untuk mempertahankan tanah Giri serta padepokannya dari Mataram. Ia beserta pasukannya dengan gigih melawan bala tentara dari Mataram. Pada awalnya, Sunan Giri dan bala tentaranya mampu memenangkan pertempuran tersebut dan mampu membunuh bala tentara dari Mataram. Akan tetapi, bala tentara dari Mataram juga mempunyai semangat.
yang lebih untuk merebut tanah Giri dan pada akhirnya Sunan Giri harus menerima kekalahan.
Cinta tanah air dapat diartikan sebagai rasa kasih sayang atau cinta kasih terhadap tempat kelahiran atau negaranya. pengertian ini juga bermakna keseriusan anak bangsa untuk menggali potensi dan talenta agar dapat berkembang. Bangsa yang memiliki sumberdaya manusia rendah, tidak akan pernah dapat mempertahankan kedaulatan bangsanya. Bangsa yang tidak memiliki keunggulan kerap menjadi mangsa bagi bangsa-bangsa besar lainnya (Nasution,2012).
Dalam Babad Tanah Jawi,
cinta tanah air digambarkan melalui tokoh-tokoh raja maupun sunan dalam membela negara yang dicintai. Raja-raja yang memiliki kecintaan terhadap negaranya berjuang sekuat tenaga agar dapat mempertahankan negara yang ia cintai. Raja-raja tersebut menunjukkan kecintaannnya terhadap negaranya dengan mengangkat senjata berjuang melawan musuh yang hendak merebut tanah airnya. Meskipun banyak nyawa dan harta yang mereka korbankan, mereka mempertahankan negara yang ia cintai. Hal ini berarti ia sudah menunjukkan rasa memiliki yang lebih terhadap negaranya.
Sikap cinta tanah air yang ditunjukkan oleh raja maupun sunan merupakan contoh yang wajib diteladani oleh para pelajar. Seorang pelajar wajib mencintai negaranya (dalam hal ini Indonesia) dengan cara apa pun. Jika para raja dan sunan menunjukkan kecintaannya terhadap negaranya dengan mengangkat senjata dan mengusir penjajah yang ingin merebut negaranya, seorang anak dapat menunjukkan rasa cinta terhadap negara dengan cara mencintai produk dalam negri. Seorang anak yang mencintai produk dalam negeri akan bangga menggunakan produk-produk dalam negeri. Misalnya ia bangga berbelanja di pasar tradisional dibandingkan dengan berbelanja di mall. Dari hal tersebut ia sudah menunjukkan rasa cintanya terhadap negara tempat iadilahirkan.