FILOSOFI JANCUK
Arti yang simple adalah persetan / ora ngubris / ungkapan dan sapaan persahabatan dan kedekatan serta plek tenan.
Jancuk sialan, keparat, brengsek merupakan ungkapan berupa perkataan umpatan untuk mengekspresikan kekecewaan atau bisa juga digunakan untuk mengungkapkan ekspresi keheranan atas suatu hal yang luar biasa.
Indonesia kaya akan khasanah budaya, salah satunya yaitu bahasa yang setiap hari kita gunakan untuk berkomunikasi. Kini di Indonesia bahasa lebih kurang ada 546 bahasa yang tentunya beragam dan unik.
Dengan bahasa itu sudah menjadikan semboyan Bangsa Indonesia yaitu Bhinneka Tunggal Ika artinya berbeda-beda tetapi tetap satu.
Terkadang sesama Bahasa Jawa saja dapat terbagi lagi, yaitu Bahasa Jawa halus dan juga Bahasa Jawa kasar, alangkah kayanya Bahasa Indonesia ini.
Berbicara Bahasa Jawa, tentu semua orang jawa sudah tidak asing lagi dengan kata jancuk.
Menurut Kamus Daring UGM, istilah jancuk, jancok, diancuk, diancok, cuk, atau cok memiliki makna sialan, brengsek yaitu ungkapan berupa perkataan umpatan untuk mengekspresikan kekecewaan atau bisa juga digunakan untuk mengungkapkan ekspresi keheranan atas suatu hal yang luar biasa.
Tetapi menurut sebagian orang arti kata jancuk juga bisa membuat persaudaraan semakin erat dan lebih akrab, tergantung pada seseorang itu mengucapkannya.
Jancuk merupakan simbol keakraban, simbol kehangatan, dan simbol kesantaian.
Lebih-lebih di tengah khalayak ramai yang kian munafik, keakraban dan kehangatan serta santainya jancuk kian diperlukan untuk menggeledah sekaligus membongkar kemunafikan itu menurut Sujiwo Tejo.
Jancuk itu ibarat sebilah pisau. Fungsi pisau sangat tergantung dari penggunanya dan suasana psikologis si pengguna. Kalau digunakan oleh penjahat, bisa jadi senjata pembunuh. Kalau digunakan oleh seorang istri yang berbakti pada keluarganya, bisa jadi alat memasak.
Begitupun jancuk, bila diucapkan dengan niat tak tulus, penuh amarah, dan penuh dendam maka akan dapat menyakiti.
Tetapi bila diucapkan dengan kehendak untuk akrab, kehendak untuk hangat sekaligus cair dalam menggalang pergaulan.
Jancuk laksana pisau bagi orang yang sedang memasak.
Jancuk dapat mengolah bahan-bahan menjadi jamuan pengantar perbincangan dan tawa-tiwi di meja makan menurut Sujiwo Tedjo.
Kata jancuk / jancok.
Jancuk adalah kata yang berasal dari kata dalam bahasa jawa khususnya pada daerah jawa timur.
Kata ini biasanya digunakan :
1. Negatif sebagai umpatan tetapi bisa berarti lebih halus dengan intonasi yang berbeda tergantung dengan siapa lawan bicaranya. Untuk orang asing atau dibenci merupakan umpatan.
2. Positif sebagai ungkapan dan sapaan persahabatan, keakraban dan kedekatan pertemanan serta plek sekali. Tetapi bisa juga sapaan akrab kepada sahabat dekat yang telah lama kenal, berlaku di daerah Jawa Timur Surabaya, Malang dan sekitarnya.
Jancok, dancok, atau disingkat menjadi cok (juga ditulis jancuk atau cuk, ancok atau ancuk, dan coeg) adalah sebuah kata yang menjadi ciri khas komunitas masyarakat di Jawa Timur, terutama Surabaya dan sekitarnya. Selain itu, kata ini juga digunakan oleh masyarakat Malang dan sekitarnya.
Meskipun memiliki konotasi yang buruk, kata jancok menjadi kebanggaan serta dijadikan simbol identitas bagi komunitas penggunanya, bahkan digunakan sebagai kata sapaan untuk memanggil di antara teman, untuk meningkatkan rasa kebersamaan.
Normalnya, kata tersebut digunakan sebagai umpatan pada saat emosi meledak, marah, atau untuk membenci dan mengumpat seseorang. Kata Jancok juga menjadi simbol keakraban dan persahabatan khas di kalangan sebagian arek-arek Suroboyo.
ETIMOLOGI
Menurut Kamus Daring Universitas Gadjah Mada, istilah jancuk, jancok, diancuk, diancok, cuk, atau cok memiliki makna sialan, keparat, brengsek (ungkapan berupa perkataan umpatan untuk mengekspresikan kekecewaan atau bisa juga digunakan untuk mengungkapkan ekspresi keheranan atas suatu hal yang luar biasa).
Meskipun demikian, kata jancuk kemungkinan besar berasal dari kata ancuk yang artinya bersenggama atau bersetubuh.
Kata ancuk dengan arti bersenggama telah direkam dalam kamus Bausastra Jawa 1939 oleh Purwadarminta.
Beberapa variasi penulisan kata jancuk yang mungkin ditemukan dalam masyarakat meliputi :
Jancuk, Jancok, Jancik, Juancuk, Juancok, Dancuk, Dancok, Diancuk, Diancok, Diancik, Hancuk, Hancok, Hancik, Ancuk, Ancok, Cuk, Cok, Cik, Coeg.
SEJARAH
Kata ini memiliki sejarah yang masih rancu. Kemunculannya banyak ditafsirkan karena adanya pelesetan oleh orang-orang terdahulu yang salah tangkap dalam pemaknaan, dan versi-versi ini muncul dari beberapa negara tetangga yang orang-orangnya mengucapkan kata yang memiliki intonasi berbeda namun dengan bunyi hampir sama. Hal ini karena orang-orang dari beberapa negara tetangga tersebut mengucapkan kata yang hampir mirip kata jancok dengan ekspresi marah, geram, atau sejenisnya. Orang Jawa dahulu mengartikan kata jancok (menurut lidah orang Jawa) adalah kata makian.
JANCUK MUNCUL GARA-GARA TANK BELANDA
Sejarah kata jancuk punya beragam latar belakang, mulai dari bahasa Belanda, bahasa Jepang, hingga bahasa Arab!
Kalau sudah Cak-nya, maka ndak komplet kalau tidak ada Jancuk-nya. Jancuk adalah ungkapan persahabatan yang sangat kental, Jantan, cakap ulet, komitmen dan persaudaraan.
Penggunaan kata jancuk di daerah Jawa Timur memang ibarat aku dan kamu selalu bersatu. Meski tergolong kata kasar dan sering dijadikan umpatan, nyatanya kata jancuk juga bisa digunakan untuk menunjukkan kedekatan antara si penutur dengan lawan bicaranya.
Bahkan, kata ini bisa memiliki makna yang netral-netral aja seperti ungkapan, Piye, Cuk, kabarmu ?
Kata ini juga bisa bermakna positif, seperti, Jancuk, aku enthuk hadiah, cuuk.
Atau bisa dimaknai, Syukurlah, aku dapat hadiah.
Sejarah kata jancuk memang telah dicari tahu oleh banyak orang kurang kerjaan sebelum ini.
Pertama-tama, perlu kita ketahui bahwa kata jancuk memiliki persamaannya sendiri, yaitu jancok, diancuk, diancok, cuk, dan cok.
Setidaknya, tercatat ada lima versi sejarah kata jancuk yang beredar di masyarakat.
1. Pertama, sejarah. kata jancuk disebut erat kaitannya dengan nama pelukis Belanda yang uniknya tak pernah menginjakkan kaki di Indonesia. Loh, loh, kok bisa.
Pelukis Belanda yang satu ini bernama Jan Cox dan sedang berada di masa-masa ketenarannya. Kala itu, pasukan Belanda di Surabaya datang untuk melucuti tentara Jepang dengan mengendari tank. Salah satu tank yang mereka memiliki bertuliskan Jan Cox.
Ya, ya, ya, kebiasaan menuliskan nama seseorang atau sesuatu di badan tank, pesawat, maupun bom, konon sering dilakukan para tentara semasa Perang Dunia II. Banyak orang memprediksikan bahwa awak operator tank M3 A3 Stuart ini sangat menyukai pelukis Jan Cox, sampai rela mengukir namanya di badan tank tadi.
Ya, mirip-mirip kamu yang dulu pakai nama Facebook “Mrs. Bieber Forever” gitu, laaaah~
Naaah, akibat nama Jan Cox tadi, prajurit Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Surabaya pun mulai mengidentifikasi tank musuh dengan nama Jan Cox itu sendiri. Jadi, setiap kali tank Belanda datang, mereka akan berseru, “Jan Cox! Jan Cox!” sebagai tanda peringatan bahaya.
Namun, kisah lain seputar sejarah kata jancuk di zaman penjajahan Belanda juga muncul. Konon, kata ini berasal dari kata yantye ook dalam bahasa Belanda, yang bermakna kamu juga. Dulu sekali, remaja Surabaya disebut sering mencemooh warga Belanda (savage!!!) dengan istilah di atas, yang dieja hingga berbunyi seperti yantcook.
Lama-kelamaan, kata ini berubah bunyi menjadi jancok atau dancok.
2. Kedua, sejarah. kata jancuk terilhami dari bahasa Jepang.
Jangan dulu bayangkan anime yang tokohnya berseru imut, “Moe moe kyun!”—kata jancuk ini kabarnya berasal dari kata sudanco yang dulu sering digunakan pada masa penjajahan Jepang. Sering dipakai untuk menegur romusha, kata sudanco ini sendiri bermakna Ayo, cepat !, yang kemudian menimbulkan kekesalan para pemuda. Akhirnya, kata bahasa Jepang ini pun bernasib sama seperti kata yantye ook: diplesetkan, hingga berbunyi menjadi dancok.
3. Ketiga, sejarah kata jancuk sudah dimulai bahkan sejak kedatangan bangsa Arab.
Dalam bahasa Arab, kata da’ berarti “meninggalkanlah kamu”, sedangkan assyu’a berarti “kejelekan”. Saat digabung, kedua kata ini membentuk kata da’suk yang berarti “tinggalkanlah keburukan”.
Wah, maknanya bagus sekali kenapa bisa berubah jadi umpatan jancuk, ya? Entahlah, tapi memang kata da’suk tadi disebut-sebut sebagai awal mula jancok di Surabaya.
4. Keempat, jancuk berarti umpatan sebagaimana mestinya.
Di Surabaya, beredar keyakinan bahwa kata jancuk mulanya merupakan akronim dari “Marijan ngencuk” (ngencuk: berhubungan badan). Istilah ngencuk inilah yang kemudian juga digunakan sebagai bentuk umpatan, setelah berubah bentuk menjadi dancuk, jancuk, ataupun jancok.
5. Kelima, sejarah kata jancuk erat kaitannya dengan istilah bahasa Jawa.
Badan penelitian Jaseters pernah menyebutkan bahwa jancuk adalah gabungan dari kata jan dan cak. Seperti pada nama Jan Ethes, kata jan di sini bermakna sangat, benar-benar. Sementara itu, kata cak dalam bahasa Jawa Timur berarti kakak. Alhasil, gabungan kata jancuk menimbulkan makna “Kakak, kamu sangat kelewatan.”
Dari beragam data sejarah kata jancuk, belum dapat dipastikan mana yang paling akurat. Bisa saja, semuanya benar-benar benar (nah loh, bingung nggak?) dan menjadi cikal bakal terbentuknya kata jancuk yang hakiki.
PENDAPAT DAN MAKNA
1. Kata Jancok merupakan kata yang tabu digunakan oleh masyarakat Pulau Jawa secara umum karena memiliki konotasi negatif.
Namun penduduk Surabaya, Gresik Malang dan sekitarnya menggunakan kata tersebut sebagai identitas komunitas mereka sehingga kata Jancok memiliki perubahan makna ameliorasi (perubahan makna ke arah positif).
2. Sujiwo Tedjo mengatakan :
Jancuk itu ibarat sebilah pisau. Fungsi pisau sangat tergantung dari user-nya dan suasana psikologis si user. Kalau digunakan oleh penjahat, bisa jadi senjata pembunuh. Kalau digunakan oleh seorang istri yang berbakti pada keluarganya, bisa jadi alat memasak. Kalau dipegang oleh orang yang sedang dipenuhi dendam, bisa jadi alat penghilang nyawa manusia. Kalau dipegang orang yang dipenuhi rasa cinta pada keluarganya bisa dipakai menjadi perkakas untuk menghasilkan penghilang lapar manusia. Begitupun jancuk, bila diucapkan dengan niat tak tulus, penuh amarah, dan penuh dendam maka akan dapat menyakiti. Tetapi bila diucapkan dengan kehendak untuk akrab, kehendak untuk hangat sekaligus cair dalam menggalang pergaulan, “jancuk” laksana pisau bagi orang yang sedang memasak. Jancuk dapat mengolah bahan-bahan menjadi jamuan pengantar perbincangan dan tawa-tiwi di meja makan. (Sujiwo Tedjo, 2012, halaman x) Jancuk merupakan simbol keakraban. Simbol kehangatan. Simbol kesantaian. Lebih-lebih di tengah khalayak ramai yang kian munafik, keakraban dan kehangatan serta santainya jancuk kian diperlukan untuk menggeledah sekaligus membongkar kemunafikan itu. (Sujiwo Tejo, 2012: 397)
3. Menurut Anas Arrasyid, kata jancok adalah suatu hadiah terburuk yang diberikan secara langsung kepada seseorang yang dibenci, tetapi juga digunakan sebagai kosakata pertemanan yang biasa. Akibatnya, kata jancok menjadi penjajahan akidah moral dalam bertutur kata. Hasil dari surveinya bahwa jancok merupakan kata umpatan yang sangat mencolok dan akan membuat seseorang sakit hati bila mendengarkannya dibandingkan umpatan lainnya seperti Asu, Kirék, Bedhès, Jangkrik, Jaran, dan Bangsat.
4. Dalam konferensi pers konser Mahacinta Rahwana di JX Internasional pada tanggal 18 November 2013, Sitok Srengenge menambah keterangan Sujiwo Tedjo yang menegaskan bahwa konsep dan filosofi jancukers tumbuh di Jawa Timur, khususnya Surabaya :
Di sinilah sebuah republik bernama Republik Jancukers itu tumbuh dan memunculkan definisi baru mengenai kata jancuk yang sudah tidak identik dengan konotasi negatif.
Jancuk atau ancuk pada mulanya adalah kata kerja yang berarti bersenggama/berhubungan seks.
Akan tetapi penggunaanya tidak sebanyak untuk kata seru/sapaan.
Contoh kalimat :
Kancané dhéwé diancuk. (Teman sendiri disenggama).
Kon neng Trétés gawé ngancuk tok. (Kamu ke Tretes hanya untuk bersenggama).
5. Kata seru.
Kata Jancok, atau cok dalam bentuk singkatnya, digunakan sebagai kata seru untuk menunjukkan perasaan yang muncul, baik perasaan yang bersifat negatif maupun positif. Contoh kalimat :
Cok, gak usah cekel-cekel !
(Cok, tidak usah pegang-pegang:!) Wih, apik'e, Cok !
(Wih, bagusnya, Cok!)
6. Kata sapaan.
Di antara para pengguna, kata Jancok juga digunakan sebagai kata sapaan untuk mengungkapkan kemarahan atau menunjukkan kedekatan hubungan di antara teman.
Karena konotasi buruk yang melekat pada istilah Jancok, seseorang akan menjadi marah jika dipanggil menggunakan kata tersebut. Hal tersebut tidak berlaku di antara teman karib, yang malah menunjukkan bahwa kedekatan hubungan mereka membuat mereka tidak akan saling marah jika dipanggil dengan kata Jancok.
Meskipun tergolong bahasa gaul anak muda, kata tersebut masih terasa tidak pantas untuk digunakan memanggil orang tua karena arti sebenarnya adalah perkataan kotor.
Contoh kalimat :
Cok, nandi ae kon:?
(Cok, ke mana saja kamu ?)
Ojok meneng aé kon, Cok ! (Jangan diam saja kau, Cok !)
Mlaku-mlaku yok, Cok.
(Jalan-jalan yuk, Cok.)
Yo'opo kabare, Cok ?
(Bagaimana kabarmu, Cok ?)
FILOSOFI JANCUK DAN PENGGUNAAN JANCUK
JANCOK, sebenernya makna 6 huruf yang sering terdengar di telinga anda ini mungkin? Khususnya yang berada di pulau Jawa bagian timur. Mungkin kata ini sudah tidak asing karena sangking seringnya kata ini keluar masuk di telinga anda. Mulai dari orang dewasa, remaja, di pasar, terminal, bahkan anak - anak pun sudah mengenal dan menggunakan kata ini disetiap percakapannya.
Sebenernya filosofi dari kata ini berasal dari kebudayaan suku Jawa, yang memiliki bahasa daerahnya sendiri yaitu dalam bahasa Jawa. Sedangkan menurut bahasa Jawa, jancok berasal dari kata njaluk dan diancuk yang berarti minta disetubuhi (uncensored).
Memang arti dari karta ini sebenarnya sungguh hina sekali jika diucapkan. Namun kata jancok sudah mendarah daging disetiap para warga suku Jawa, terutama pada para remajanya.
Ada banyak varian kata jancok, semisal jancuk, dancuk, dancok, damput, dampot, diancuk, diamput, diampot, diancok, mbokne ancuk (motherfucker), jangkrik, jambu, jancik, hancurit, hancik, hancuk, hancok, dll. Kata jangkrik, jambu adalah salah satu contoh bentuk kata yang lebih halus dari kata jancok.
Namun tidak semua kata jancok dalam sehari-hari diartikan sebagai hinaan. Kata jancok itu sendiri sudah seperti kata imbuhan tersendiri dalam setiap ucapan.
Jadi ibaratkan makan lalapan tanpa sambal, kurang pas kan jadinya. Kata jancok atau cok selalu ada disetiap kalimat yang mereka ucapan namun orang yang diajak bicara pun tak pernah marah akibat dari terlontarnya kata ini karena mereka sama-sama mengerti bahwa imbuhan cok atau jancok disini sebagai kata pengakraban saja.
Misalnya :
Yokopo kabare, cuk, Jancok sik urip ae koen, cuk ?
Serta orang yang diajak bicara tersebut seharusnya tidak marah, karena percakapan tersebut diselingi dengan canda tawa penuh keakraban dan berjabat tangan persahabatan thos.
Jadi jika mereka sudah saling karab maka kata ini pasati sudah terbiasa saling mereka ucapkan. Namun jangan sampai kata ini terucap pada orang yang belum sama sekali akrab dengan kita, urusannya sih bisa panjang. Seperti contoh penggunaan kata jancok dikehidupan sehari-hari para remaja.
CONTONE DIALOG SUROBOYOAN CUK :
A : Teko ndi ae kon, cok ?
(dari mana saja kamu, cok?)
B : Jasik, iki lo kudanan aku cok ning dalan.
(jasik, ini lo aku kehujanan cok dijalan)
A : Hahaha, teko ndi ae bekne kon cok sampek kudanan ?
(Hahaha, darimana saja kamu cok kok sampek kehujanan?)
B : biasa lah koyok ndak ero arek enom ae kon cok.
(biasalah kaya gak tau anak muda aja kamu cok)
Kata jancok juga bisa menjadi kata penegasan keheranan atau komentar terhadap satu hal. Misalnya :
Jancok ! Ayune arek wedok iku, cuk!",
Jancuk ayune, rek.
Jancuk koen lulus cumloud, rek.
Jancuk koen diterima nok perusahaan elit yo ?
Kalimat tersebut cocok dipakai bila melihat sesosok wanita cantik yang tiba-tiba melintas dihadapan.
Kata jancok atau biasanya hanya cok ini sudah seperti sapaan akrab.
Mereka (para penggunanya) sudah terbiasa menyapa semua akrabnya dengan imbuhan ini. Namun yang disapa juga tak pernah merasa tersinggung karena mereka saling mengerti satu sama lain tentang penggunaan kata ini. Namun kata ini juga bisa menjadi sebuah bencana dan menjadi awal mula pertempuran jika kata ini digunakan di salah orang.
Dan memang, kata ini sangat enak diucapkan, sampai sampai saya ketagihan mengucapkan kata ini, walaupun arti yang saya tekankan bukanlah arti kotor, tapi hanya sekedar kata pemanggilan saja, dan ternyata di pergaulan sekolah saya kata itu sudah biasa.
Jadi jangan sekali-kali menggunakan kata yang sok akrab ini kepada orang yang memang kita yakini belum sepenuhnya akrab dengan kita.
JANCUK ASLINYA BUKAN KATA UMPATAN TABU DAN BEGINI SEJARAHNYA.
Kata Jancuk atau dancuk di Jawa Timur adalah kata umpatan yang sangat kasar.
Darimana asal muasal kalimat ini ?
Menurut sejumlah keterangan kata jancuk berasal dari terikan warga Surabaya yang melihat tank Belanda yang bertuliskan Jan Cox.
Jadi ceritanya begini, menurut pada tahun 1945 Belanda sering menurunkan tank nya untuk mengintimidasi warga Surabaya. Tank ini mereknya Jan Cox, nah karena ukurannya yang tidak terlalu besar tank ini bisa masuk gang perkampungan. Walhasil setiap tank ini datang, warga langsung berteriak jiancok, warga banyak yang menyebut dengan suara keras dan tetunya dengan perasaan dongkol, jancok…jancok …. Maka kalimat itu kian lama kian populer dan akhirnya menjadi kata-kata umpatan yang kasar dan populer sampai sekarang.
Padahal, aslinya Jan Cox itu adalah nama seorang pelukis asal Belanda yang lahir di Den Haag, 27 Agustus 1919 dan Jan Cox sendiri meninggal pada tanggal 7 Oktober 1980 di Antwerp, Belgia.
Ia merupakan pelukis terkenal di Belanda dan Belgia karena karyanya yang fenomenal. Jan Cox sama sekali tak pernah menginjakkan kakinya di Indonesia. Karya lukisannya pun tidak ada yang di Indonesia.
Bagaimana bisa namanya terdengar sampai ke Indonesia, khususnya di daerah Surabaya, Jawa Timur ?
Rupanya, saat pasukan NICA Belanda yang membonceng Inggris mendarat di Surabaya untuk melucuti senjata tentara Jepang, di salah satu tank mereka tertulis nama Jan Cox.
Menulis nama sesuatu atau seseorang di badan macam tank, pesawat, atau bom memang jamak dilakukan oleh para tentara zaman Perang Dunia II. Kemungkinan besar awak operator tank yang berasal dari Belanda amat mengidolakan pelukis itu. Tank tersebut berjenis M3A3 Stuart buatan Amerika Serikat yang menjadi inventaris tentara Belanda.
Bisa ditebak akhir dari pendaratan NICA dan Inggris di Surabaya berakhir dengan pecahnya pertempuran 10 November 1945. Para Tentara Keamanan Rakyat (TKR/TNI kala itu) kemudian melihat tulisan Jan Cox di badan tank Stuart. Uniknya nama Jan Cox kemudian diadopsi oleh para prajurit TKR untuk mengidentifikasi kalau ada tank milik musuh datang.
Sekedar informasi, para prajurit TKR saat itu tidak dibekali senjata anti-tank sehingga akan menyulitkan mereka melawan kendaraan lapis baja musuh. Karena saat pertempuran banyak tank milik Belanda yang berseliweran, maka para prajurit TKR sering berkata Jan Cox, Jan Cox! yang maksudnya mengidentifikasi kalau adanya kendaraan lapis baja musuh.
Lama kelamaan pengunaan kata Jan Cox menjadi bahasa serapan masyarakat Surabaya hingga sekarang dan berubah kosakata menjadi Jancuk yang merupakan umpatan khas Surabayan Jawa Timuran.
JANCUK DAN SIMBOL MASYARAKAT SURABAYA
Secara definitif, banyak beredar arti kata jancuk di berbagai referensi dan media online. Yang paling umum, kata jancuk berasal dari kata diencuk / diancuk / jancuk, yaitu persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.
Meski demikian, tidak semua masyarakat Surabaya mengetahui tentang definisi tersebut.
Jancuk hanya dipahami dalam dua makna yang berbeda.
Ensiklopedia bebas itu memaknai kata jancuk (ada yang bilang dancok) atau disingkat menjadi cok (juga ditulis jancuk atau cuk, ancok atau ancuk, dan coeg) adalah sebuah kata yang menjadi ciri khas komunitas masyarakat di Jawa Timur, terutama Surabaya dan sekitarnya.
Meskipun memiliki konotasi buruk, kata jancuk menjadi kebanggaan serta dijadikan simbol identitas bagi komunitas penggunanya, bahkan digunakan sebagai kata sapaan untuk memanggil di antara teman serta untuk meningkatkan rasa kebersamaan.
Sebagai sebuah simbol, bahasa memiliki tiga unsur pemaknaan sebagaimana yang ditawarkan Roland Barthes, yaitu denotasi, konotasi, dan mitos. Denotasi merupakan pemaknaan primer. Sedangkan konotasi sebagai pemaknaan sekunder. Pada tingkat pemaknaan sekunder inilah mitos itu dihasilkan dan tersedia. Melalui mitos, ideologi yang dipahami sebagai sekumpulan gagasan dan praktik yang mempertahankan, secara aktif mempromosikan berbagai nilai dan kepentingan kelompok dominan di masyarakat (Storey, 2010)
Pada unsur denotasi, kata jancuk dimaknai sebagai sebuah aktivitas persetubuhan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan secara konotatif, kata jancuk terbelah menjadi dua makna yang kontradiktif.
Di satu sisi makna jancuk adalah sebuah ungkapan kotor yang biasa digunakan untuk mengumpat atau memaki orang yang dibenci ketika sedang marah. Sedangkan makna konotasi yang lain adalah bentuk keakraban antarsesama teman dekat. Misalnya, Yo opo kabare cuk, suwe ga ketemu !
Kendati demikian, pemaknaan jancuk sebagai ungkapan kotor masih banyak diyakini masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Terutama dalam keluarga, sekolah, pesantren, apalagi di tempat-tempat ibadah.
Nyaris semua orang tua tidak akan memperbolehkan anaknya mungucapkan kata jancuk di rumahnya. Bahkan sekalipun kata jancuk digunakan sebagai percakapan informal oleh para siswa, nyaris semua lembaga pendidikan tak pernah mengizinkan muridnya untuk mengeluarkan kata tersebut.
JANCUK ANTARA KEAKRABAN DAN MAKIAN
Diksi jancuk dalam sepekan terakhir memenuhi percakapan di ruang-ruang publik, di dunia nyata maupun dunia maya. Jancok, dancok, atau disingkat menjadi cok, yang terkadang ditulis jancuk atau cuk, ancok atau ancuk, dan coeg, merupakan kata yang akrab bagi warga Jawa Timur, khususnya di Surabaya, Malang, Lamongan, dan sekitarnya.
Namun, meski memiliki konotasi buruk, kata jancok menjadi kebanggaan serta dijadikan simbol identitas bagi komunitas penggunanya. Bahkan, digunakan sebagai kata sapaan untuk memanggil di antara teman, untuk meningkatkan rasa kebersamaan. Normalnya, kata tersebut digunakan sebagai umpatan pada saat emosi meledak, marah, atau untuk membenci dan mengumpat seseorang. Kata jancuk juga menjadi simbol keakraban dan persahabatan khas di kalangan sebagian arek-arek Suroboyo.
Jancuk juga sebenarnya merupakan kata tunggal, bukan akronim. Tapi benarkah arti jancuk sebagai makian ?
Dalam buku Jiwo ncuk, Sujiwo Tejo menuliskan Jancuk adalah ungkapan beragam, dari kemarahan sampai keakraban, tergantung situasi dan kondisi. Karena nuansa jancuk bisa diartikan dari marah sampai guyon, Sujiwo Tejo menganggap kata itu bagus meredam hati kala panas.