DEWI KILISUCI (SANGRAMAWIJAYA TUNGGADEWI)
Sanggramawijaya Tunggadewi (Dewi Kilisuci) adalah putri sulung raja Airlangga (bergelar Abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa) yang menjadi pewaris takhta Kahuripan, tetapi memilih mengundurkan diri sebagai pertapa bergelar Dewi Kili Suci.
Sang ramawijaya pada masa pemerintahan Airlangga, sejak kerajaan masih berpusat di Watan Mas sampai pindah ke Kahuripan, tokoh Sanggramawijaya menjabat sebagai rakryan mahamantri alias putri mahkota.
Gelar lengkapnya ialah Rakryan Mahamantri i Hino Sanggramawijaya Dharmaprasada Uttunggadewi.
Nama ini terdapat dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang I (1035).
Pada prasasti Pucangan (1041) nama pejabat rakryan mahamantri sudah berganti Sri Samarawijaya.
Saat itu pusat kerajaan sudah pindah ke Daha. Berdasarkan cerita rakyat, Sanggramawijaya mengundurkan diri menjadi pertapa di Gunung Pucangan bergelar Dewi Kilisuci.
Tokoh Dewi Kilisuci dalam Cerita Panji dikisahkan sebagai sosok agung yang sangat dihormati. Ia sering membantu kesulitan pasangan Panji Inu Kertapati dan Galuh Candrakirana, keponakannya.
Dewi Kili Suci juga dihubungkan dengan dongeng terciptanya Gunung Kelud. Dikisahkan semasa muda ia dilamar oleh seorang manusia berkepala kerbau bernama Mahesasura. Kili Suci bersedia menerima lamaran itu asalkan Mahesasura mampu membuatkannya sebuah sumur raksasa.
Sumur raksasa pun tercipta berkat kesaktian Mahesasura. Namun sayang, Mahesasura jatuh ke dalam sumur itu karena dijebak Kilisuci. Para prajurit Kadiri atas perintah Kilisuci menimbun sumur itu dengan batu-batuan, Timbunan batu begitu banyak sampai menggunung, dan terciptalah Gunung Kelud. Oleh sebab itu, apabila Gunung Kelud meletus, daerah Kediri selalu menjadi korban, sebagai wujud kemarahan arwah Mahesasura.
Dewi Kilisuci juga terdapat dalam Babad Tanah Jawi sebagai putri sulung Resi Gentayu raja Koripan.
Kerajaan Koripan kemudian dibelah dua, menjadi Janggala dan Kadiri, yang masing-masing dipimpin oleh adik Kilisuci, yaitu :
1. Lembu Amiluhur.
2. Lembu Peteng.
Kisah ini mirip dengan fakta sejarah, yaitu setelah Airlangga turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibagi dua, menjadi Kadiri yang dipimpin Sri Samarawijaya, serta Janggala yang dipimpin Mapanji Garasakan.
CANDI PENAMPEHAN
Candi Penampehan yang terletak dilereng Gunung Wilis, Dusun Turi Desa Geger kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung merupakan candi Hindu kuno peninggalan kerajaan Mataram kuno dibangun pada tahun saka 820 atau 898 Masehi. Arti penampehan itu sendiri konon berasal dari Bahasa Jawa yang berarti antara penolakan dan penerimaan yang bersyarat demikian tafsirnya.
Candi penampehan merupakan candi pemujaan dengan tiga tahapan (teras) yang dipersembahkan untuk memuja Dewa Siwa, dimana konon peresmian candi ini dengan mengadakan pagelaran Wayang (ringgit). Selanjutnya era demi era pergolakan perebutan kekuasaan dan politik di tanah Jawa berganti mulai dari kerajaan Mataram Kuno, Kediri, Singosari, hingga Majapahit sekitar abad 9-14 M, candi ini terus digunakan untuk bertemu dan memuja Tuhan, Sang Hyang Wenang.
Di dalam kompleks Candi terdapat beberapa Arca yaitu arca Siwa dan Dwarapala, tetapi karena ulah Manusia yang tidak mencintai dan menghargai Heritage dan legacy dari nenek moyang beberapa arca telah hilang dan rusak.
Untuk mengamankan beberapa arca yang tersisa yaitu arca siwa sekarang diletakan di museum situs Purbakala Majapahit Trowulan Jawa timur.
Selain Arca terdapat sebuah prasasti kuno yaitu Prasasti Tinulat tertulis dengan menggunakan huruf Pallawa dengan stempel berbentuk lingkaran di bagian atas prasasti. Candi Penampehan, menceritakan prasasti itu berkisah tentang Nama-nama raja Balitung, serta seorang yang bernama Mahesa lalatan.
Sejarah lisan maupun artefak belum bisa menguaknya. Serta seorang putri yang konon bernama Putri Kilisuci dari Kerajaan Kediri. Selain menyebutkan nama, prasasti itu juga memberikan informasi tentang Catur Asrama yaitu sistem sosial masyarakat era itu di mana pengklasifikasian masyarakat (stratifikasi) berdasarkan kasta dalam agama Hindu yaitu :
1. Brahmana.
2. Satria.
3. Vaisya.
4. Sudra.
Masih di kompleks candi Penampehan terdapat 2 kolam kecil yang bernama Samudera Mantana (pemutaran air samudera), 2 kolam tersebut merupakan indikator keadaan air di Pulau Jawa. Kolam yang sebelah utara merupakan indikator keadaan air di Pulau Jawa bagian utara dan Kolam sebelah selatan merupakan indikator keadaan air di Pulau Jawa bagian selatan. Dimitoskan apabila sumber air di kedua kolam tersebut kering berarti keadaan air dibawah menderita kekeringan, sebaliknya bila kedua atau salah satu kolam tersebut penuh air berarti keadaan air di bawah sedang banjir.
DEWI KILISUCI MEMILIH MENYENDIRI
Nama Dewi Kilisuci menjadi legenda di Kediri, Jawa Timur. Karena gadis ini sejatinya pewaris tahta Kerajaan Kahuripan, tetapi Putri Raja Airlangga tersebut justru memilih menjadi pertapa dan meninggalkan gemerlap dunia. Dia menjadikan Goa Selomangleng di Kediri sebagai tempat pertapaannya.
Dewi Kilisuci yang mempunyai nama lain Sanggramawijaya Tunggadewi dia putri Raja Airlangga dari perkawinannya dengan Sri (Putri Dharmawangsa Teguh) yang menjadi pewaris tahta Kahuripan. Namun, Putri Mahkota Airlangga ini lebih menyukai menyepi, keheningan.
Sanggramawijaya Tunggadewi yang seharusnya menaiki singgasana tidak melakukan itu. Karena menderita penyakit kedhi alias tidak pernah menstruasi. Dengan demikian dia dianggap wanita suci pepunden tanah Jawi. Akhirnya Sangramawijaya memutuskan mengundurkan diri dan menjadi pertapa bergelar Dewi Kilisuci.
Goa Selomangleng adalah lokasi pertapaan Dewi Kilisuci. Menurut cerita di goa inilah Putri Kilisuci tersebut menghabiskan semua sisa umurnya untuk bertapa dengan tujuan agar seluruh warga Kediri terhindar dari semua marabahaya. Dewi Kilisuci juga setuju dengan menghabiskan seluruh sisa umurnya untuk tidak mencari pendamping.
Menurut cerita tutur masyarakat, tidak ada seorang pun yang dapat menyusuri Goa Selomangleng tersebut, karena konon ujung gua tersebut berada pada laut selatan. Benarkah demikian, sampai saat ini pun tidak ada yang pernah membuktikan kebenarannya.
Mitos lain yang berkembang adalah tentang Gunung Klotok. Konon katanya, bukit yang menjadi favorit untuk pasangan muda-mudi untuk nongkrong ini menyimpan sebuah mitos, bahwa apabila ada pasangan kekasih yang bermesraan atau pacaran di lereng Gunung Klotok, hubungan mereka tidak akan lama bertahan.
DEWI GILISUCI & LEGENDA GUNUNG KELUD
Terkadang, kecantikan juga menjadi bencana, seperti yang dialami Dewi Kilisuci. Lantaran kecantikannya, dia harus tega membunuh dua raja yang melamarnya, dan menguburkan jasadnya di Gunung Kelud.
Bagi orang Kediri, Jawa Timur, Gunung Kelud memiliki legenda yang panjang. Konon, gunung ini bukan berasal dari gundukan tanah secara alami. Kelud terbentuk akibat pengkhianatan cinta seorang putri molek bernama Dewi Kilisuci terhadap 2 (dua) orang pelamarnya :
1. Mahesa Suro.
2. Lembu Suro.
Putri Jenggolo Manik ini memang terkenal akan kecantikannya. Suatu hari ia dilamar dua raja sakti, yang rupanya bukan dari golongan manusia. Lembu Suro berkepala lembu, sementara Mahesa Suro berkepala kerbau.
Dewi Kilisuci sebenarnya enggan menikah dengan alasan mandul. Namun, mungkin dia khawatir alasan ini nggak bisa diterima dua pelamarnya. Dia lantas mencari cara untuk menolak lamaran tersebut.
Dikisahkan, dia membuat sayembara yang sangat sulit. Sang Putri Jenggolo ini meminta mereka membuat dua sumur di atas Gunung Kelud. Satu sumur harus berbau amis dan satu sumur berbau wangi. Semua harus rampung dalam waktu satu malam. Batas waktunya hingga ayam jantan berkokok.
Karena mereka memang sakti, syarat itu disanggupi. Dua sumur itu akhirnya jadi. Meski sumur sudah di depan mata, Dewi Kilisuci tetap ogah diperistri. Dia kembali mengajukan satu permintaan. Kedua raja tersebut harus bisa membuktikan sumur-sumur itu berbau wangi dan amis dengan cara memasukinya.
LEMBU SURO
Namanya juga cinta, masuklah kedua raja ke dalam sumur yang sangat dalam itu. Setelah sampai di dasar sumur, Dewi Kilisuci memerintahkan prajuritnya untuk menimbun sumur. Mahesa Suro dan Lembu Suro pun mati tertimbun.
Sebelum meregang nyawa, Lembu Suro sempat bersumpah dengan mengatakan :
Óyoh, wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yoiku. Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung.
Artinya :
(Kediri besok akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri bakal jadi sungai, Blitar akan jadi daratan dan Tulungagung menjadi danau.)
Karena legenda ini, masyarakat lereng Gunung Kelud senantiasa melakukan Larung Sesaji sebagai tolak bala. Ini juga pernah dilakukan Dewi Kilisuci. Usai mendengar sumpah Lembu Suro, dia memilih menjadi pertapa untuk mencegah musibah yang diakibatkan serapah itu.
Konon, perempuan yang juga dikenal sebagai Sanggrama Wijaya itu menghabiskan hari-harinya di Gua Selomangleng.
KISAH DEWI KILISUCI & LEMBU SURO PENGUASA GUNUNG KELUD
Pada zaman Kerajaan Kahuripan atau yang lebih dikenal dengan Kerajaan Khadiri, Prabu Airlangga memiliki seorang putri bernama Dyah Ayu Puspasari atau dikenal juga Dewi Kilisuci, Layaknya seorang putri zaman dahulu, Dewi Kilisuci sangatlah cantik dan berbudi pekerti halus. Dia sangat mencintai rakyatnya dan begitu pula sebaliknya. Tokoh Dewi Kili Suci dalam Cerita Panji dikisahkan juga sebagai sosok agung yang sangat dihormati.
Ia sering membantu kesulitan pasangan Panji Inu Kertapati dan Galuh Candrakirana, keponakannya. Suatu hari Mahasesura atau biasa disebut Lembu Suro, seorang adipati dari kerajaan tetangga datang untuk melamarnya. Lembu Suro adalah seorang yang sakti mandraguna. Kepalanya berbentuk Kerbau sedangkan badannya ke bawah berbentuk manusia.
Dewi Kilisuci sangat sedih mendapat lamaran Lembu Suro. Namun apadaya, kekuatannya dan ayahandanya tidak kuasa untuk menolak keinginan Lembu Suro dan kerajaannya.
Ketika tenaga nya sudah tidak bisa diandalkan, maka otaklah yang berkerja. Dewi Kilisuci membuat permintaan kepada Lembu Suro atau istilahnya syarat untukLembu Suro kalau tetap ingin mendapatkannya. Dewi Kilisuci ingin dibuatkan sumur raksasa dalam waktu 1 hari. Maka berangkatlah Lembu Suro untuk membuatnya.
Sumur raksasa pun tercipta berkat kesaktian Lembu Suro. Namun sayang, Lembu Suro jatuh ke dalam sumur itu karena dijebak Dewi KiliSuci. Para prajurit Kadiri atas perintah Dewi KiliSuci menimbun sumur itu dengan batu-batuan, Timbunan batu begitu banyak sampai menggunung, dan terciptalah Gunung Kelud. Oleh sebab itu, apabila Gunung Kelud meletus, daerah Kediri selalu menjadi korban, sebagai wujud kemarahan arwah Lembu Suro.
wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yoiku. Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung.
Artinya :
(orang Kediri besok akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri bakal jadi sungai, Blitar akan jadi daratan dan Tulungagung menjadi danau,)
demikian kutukannya.
Ada kisah lain yg menceritakan juga bahwa arwah Lembu Suro pun akhirnya tahu kalau dia di jebak. Dia pun marah besar. Dia menyumpahi Dewi Kilisuci dan rakyatnya, kalau tidak ingin sumur ini meledak (maksudnya : gunung Kelud ini meletus), maka Dewi Kilisuci dan keturunannya, harus melemparkan tujuh Intanke dasar sumur atau kawah.
Namun yg dilakukan Dewi Kilisuci selain itu adalah dia melakukan sebuah pertapaan di sebuah goa yang sekarang dinamakan Goa Selomangleng sebuah bukit di kaki gunung Klothok. Demi menyelamatkan rakyatnya dari amukan arwah Lembu Suro, bahkan dia rela untuk tidak menikah demi menyelamatkan rakyatnya dari marabahaya. Dan hingga akhir hayatnya dia bertapa di Goa itu demi rakyat.
Terlepas dari cerita itu benar atau tidak, namun masyarakat Kediri dan Blitar sangat memegang teguh legenda rakyat ini. Masyarakat dua kota itu tetap melaksanakan tebar 7 intan ke dasar kawah untuk menghindari bencana. Bahkan untuk menjalankan ritual ini, bupati Kediri dan Blitar, sebagai pewaris kerajaan Dewi Kilisuci, datang sendiri untuk menjalankan ritual. Mereka tidak mau ambil resiko dengan keselamatan seluruh penduduk Kediri dan Blitar.
Begitulah sekilas tentang sejarah seorang Dewi Kilisuci. Seorang Putri Raja Kediri yang arif dan bijaksana, mencintai rakyatnya, menolong mreka dari mara bahaya. Hidupnya adalah untuk rakyat. Bahkan dia mengorbankan kebahagiaannya demi rakyat. Kisah inspiratif inilah yang menjadi sejarah Kediri dan sejarah seorang Putri yang juga ingin menyelamatkan rakyat Kediri dari mara bahaya. Dengan jalan mulia ini akan menyelamatkan Kediri dari keterpurukan, kemiskinan, kebodohan dan sebagainya. Untuk mewujudkan keseimbangan di masyarakat Kediri.
JEJAK DEWI KILISUCI DI GUNUNG PEGAT BLITAR
Sempat muncul keraguan Dewi Kilisuci pernah singgah dan bertapa di puncak Gunung Pegat, Blitar. Dewi Kilisuci adalah putri sulung Prabu Airlangga, Raja Kahuripan. Sempat muncul keraguan Dewi Kilisuci pernah singgah dan bertapa di puncak Gunung Pegat, Kecamatan Srengat Kabupaten Blitar.
Karaguan muncul mengingat untuk menjejakkan kaki di puncak, energi yang terkuras begitu besar.
Benarkah Dewi Kilisuci pernah bertapa di Gunung Pegat ?
Dewi Kilisuci adalah putri sulung Prabu Airlangga, Raja Kerajaan Kahuripan (Abad ke-11). Jelang Airlangga melakukan suksesi kekuasaan, Kilisuci menolak didaulat sebagai raja pengganti. Ia lebih memilih menjadi pertapa, dan karena sikapnya, Kerajaan Kahuripan terbelah dua, yakni menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Jenggala.
Sementara mendaki puncak Gunung Pegat yang berketinggian 200 meter di atas permukaan laut tersebut, tidak ringan. Medannya tergolong berat. Geovani pun ngos ngosan. Jalan menuju puncaknya bisa di ilustrasikan seperti langkah-langkah panjang dengan lutut terus menerus tertekuk nyaris 90 derajat, membuat kedua kakinya bergetar. Ia beberapa kali berhenti, untuk sekedar mengumpulkan napas.
Begitu juga dengan dua rekannya. Terbayang, seorang putri raja yang sepanjang waktunya biasa dilayani oleh para abdi istana, harus mendaki bukit terjal setinggi ratusan meter membayangkan lokasi yang ia datangi dulunya hutan belantara. Sementara seiring berjalannya konsep desa wisata, semuanya telah berubah.
Di sekitar situs yang berlokasi di Desa Bagelenan dan diyakini sebagai peninggalan kerajaan kuno tersebut, disulap menjadi tempat wisata. Para pengelola menamainya bukit pertapaan. Jalan setapak menuju puncak, diubah menjadi jalan beton. Karena medan yang curam serta berliku, konstruksi jalur pendakian dibuat berundak.
Di sebelah ia duduk dengan kaki terjuntai, terlihat arca kepala Kala. Bongkahan batu yang berukir muka raksasa dalam kondisi sudah tidak sempurna. Bagian atasnya terpancung. Di dekat kala, berdiri Yoni yang di bagian lubang berbentuk segi empat, berisi air. Yoni tersebut dililit ukiran ular naga. Tepat di bawah kepala naga terlihat bekas bakaran dupa yang masih baru.
Tidak jauh dari Kala dan Yoni terdapat gundukan batu candi berbentuk persegi empat. Posisinya bertumpuk tidak beraturan. Diantara gundukan tersebut terselip umpak batu. Namun tidak terlihat adanya prasasti. Sementara yang disebut bangunan induk adalah sebuah cungkup berlantai batu candi. Konon, di situlah Dewi Kilisuci atau bernama lain Sanggramawijaya, bersemedi.
Tepat di depan cungkup berdiri pohon beringin besar, yang diperkirakan berusia tua.
Dari sumber yang dihimpun, prasasti Candi Pertapaan di Gunung Pegat berangka tahun 1120 saka atau 17 Oktober 1198 di masa pemerintahan Raja Srengga Kerajaan Kadiri.
Sumber lain menyebut, selain Gunung Pegat, Kilisuci juga bertapa di kawasan Gunung Kawi, Malang dan Gunung Sempu.
DEWI KILISUCI & GUNUNG PUCANGAN
Terdapat dua makam di antara tiga belas makam yang dianggap sebagai makam orang-orang sakti di kawasan Gunung Pucangan, Desa Cupak, Kecamatan Ngusikan Kabupaten Jombang, yakni Dewi Kili Suci dan Eyang Sakti.
Juru kunci Gunung Pucangan, Purwanto mengatakan, Dewi Kilisuci adalah puteri dari Raja Airlangga dari Kerajaan Kadiri (kini bernama Kediri). Konon, sang puteri rela meninggalkan hiruk-pikuk kerajaan lantaran menolak menjadi Ratu Kadiri sesuai keinginan sang Raja.
Ditemani 3 dayang-dayang, sang puteri kemudian melakukan perjalanan untuk mengasingkan diri. Hingga kemudian, Dewi Kilisuci bertemu dengan pembabat alas atau sesepuh di Gunung Pucangan. Dan selanjutnya, Dewi Kilisuci bersama para dayang setianya tinggal di padepokan yang didirikan Mbah Sumo, hingga akhir hayatnya.
Dewi Kilisuci seorang putri dari Raja Airlangga. Beliau sengaja meninggalkan kerajaan karena tidak mau menjalankan apa yang jadi keinginan raja untuk menjadi pemimpin. Akhirnya memutuskan perjalanan sampai di padepokan Gunung Pucangan sini dan bertemu dengan sesepuh di sini hingga akhir hayatnya.
Alasan penolakan menjadi Ratu, karena Dewi Kilisuci memegang teguh prinsip hidupnya, di mana sang puteri mau menjadi Ratu jika rakyatnya sudah sejahtera.
Menolak menjadi Ratu, karena Dewi Kilisuci memang tidak mau kalau rakyatnya tidak sejahtera dulu. Ibaratnya, rakyatnya harus bisa kenyang dulu, kalau nggak kenapa jadi pemimpin.
Salah satu tokoh yang pemakamannya berada di area Gunung Pucangan ini, beredar nama Maling Celuring di tengah masyarakat. Ia menolak jika nama Maling Celuring (Eyang Sakti) berada di area Gunung Pucangan.
Eyang Sakti itu bukan Maling. Ini yang harus diluruskan. Beliau orang sakti yang memang dulu suka memberi rezeki kepada orang yang tidak mampu. Tapi bukan maling atau pencuri yang dikenal sebagai maling baik hati.
Di sini makam orang sakti dan baik. Pada waktu itu, banyak sekali membantu orang dan akhirnya banyak orang segan. Sampai sekarang ini, banyak orang ke sini untuk mendoakan leluhur sekaligus ngalap barokah dari Allah SWT lewat lelulur. Karena memang di sini tokoh yang dapat dijadikan panutan.
Di kawasan Gunung Pucangan, terdapat dua bunga yang dipercaya sarat mistis. Bernama bunga “Sido Jodo” dan “Sido Wayah”. Konon, siapapun yang berziarah ke Gunung Pucangan dan bertepatan kedua bunga tersebut sedang mekar dari pohonnya, dipercaya yang bersangkutan akan segera mendapatkan jodoh dan hidup bersama jodohnya ini akan langgeng.
Apalagi, kalau kedatangannya berziarah ke Gunung Pucangan ini, berdua dengan pasangannya dan bertepatan dengan kedua bunga tersebut sedang mekar.
Kepercayaannya begitu. Tapi semua pastinya kembali ke Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Bunga sido jodo dan sido wayah, dipercaya menjadi isyarat perjodohan jika ke sini mendapatkan dua bunga tersebut sedang mekar.