WERUH SAK DURUNGE WINARAH
Makna harfiah weruh sak durunge winarah adalah kemampuan melihat sesuatu yang belum terjadi. Dalam khasanah budaya Jawa, kalimat ini sering dikonotasikan secara klenik. Namun dalam ranah modern, kita harus memaknai hal tersebut secara rasional yang dalam ilmu manajemen disebut forecasting. Yaitu kemampuan memandang masa depan dengan jelas, terarah, terukur dan terencana. Kemampuan ini dimiliki orang yang visioner (memiliki dan memperjuangkan visi).
Weruh sak durunge winarah itu arti harfiahnya kira-kira Tahu sebelum sesuatu terjadi. Kalau di majalah Misteri ini disebut ilmu linuwih atau ilmu laduni atau sejenisnya. Kira-kira mistis gitu lah, bisa menebak sesuatu akan terjadi.
Yang dimaksud dengan Weruh sak durunge winarah adalah kemampuan kita memperkirakan sesuatu dari fakta dan perkiraan yang kita dapatkan.
Mungkin kesannya jadi berlama-lama, meski sebenarnya tidak juga. Sama seperti Sherlock Holmes yang bisa menganalisa sifat seseorang dari penampilan dan ciri-cirinya, kita juga bisa mengasah kemampuan untuk memperkirakan segala sesuatu berdasarkan fakta yang kita miliki.
Seiring dengan bertambahnya usia sekaligus bertambahnya pengalaman, kita secara bertahap akan mampu dengan cepat mengelola data dan informasi yang dimiliki dan menggunakannya sebagai landasan untuk mengambil keputusan. Nanti lama-lama kita jadi seperti dukun, padahal apa yang kita sampaikan ada nilai ilmiah dan ada proses kalkulasinya terlebih dahulu.
WERUH SAK DURUNGE WINARAH SUDUT PANDANG LEADERSHIP
Selain memiliki visi, seorang pemimpin juga wajib mempunyai :
1. Kesadaran sebagai pemimpin.
2. Tanggung jawab akan kepemimpinan yang diamanahkan.
3. Kepercayaan Diri dalam memimpin dan.
4. Kepedulian terhadap orang-orang yang dipimpinnya.
Hal tersebut penting untuk dipahami, karena seorang pemimpin merupakan bagian dari komunitas dan tertuntut untuk merambah ke dalam kancah sosial kemasyarakatan secara luas, di mana dampak implementasi dari kebijakannya akan sangat luas bagi masyarakat.
Oleh karena itu pemimpin harus mampu menumbuhkembangkan kompetensinya, yaitu dengan tetap membangun kepercayaan kepada masyarakat dan senantiasa membina relationship dengan semua pihak.
Pemimpin juga kudu memiliki perspektif yang kritis, yakni peka terhadap krisis yang terjadi di masyarakat luas dan berani ambil keputusan dengan cepat dan bijak.
Namun sejatinya ada hal penting yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin yang selama ini jarang terlihat ada, yaitu mempunyai kemampuan weruh sadurunge winarah.
Pemimpin visioner mampu menangkap indikasi-indikasi terjadinya sesuatu dan mengkritisinya secara mendalam untuk dapat diambil tindakan dengan cepat dan tepat. Dalam budaya Jawa, sikap kritis terhadap setiap kejadian disebut tanggap ing sasmita.
Tanggap ing sasmita lebih powerfull dibanding risk management. Ajaran hidup luhur ini merupakan global frame work dari risk management yang bermula dari identifying, measuring, analysing, monitoring, controlling, reporting dan communicating. Kegiatan kerja itu dinamakan process, dan case-case yang terjadi itu disebut exposure yang kemudian menjadi sesuatu yang harus terjadi. Itulah result-nya.
Keseluruhan komponen tersebut berjalan secara simultan, saling correlated, aggreegated danintegrated dalam sistem. Inilah yang di-drive dan di-empower oleh budi pekerti, yaitu cipta, rasa dan karsa sebagai perintah.
Kemampuan seorang pemimpin menangkap makna itu sungguh esensial dalam kehidupan. Dalam Islam, pandangan yang hanya mampu membaca atau melihat sepintas sesuatu secara fisik, disebut nazhar. Sedangkan pandangan yang mampu menangkap rincian objek, dinamakan bashar. Dan bila pandangan mampu menembus batas inderawi sehingga mencapai kedalaman hakiki, itulah ra’a.
Victor Frankl dalam bukunya Man’s Search for Meaning mengatakan bahwa hanya dengan menemukan maknalah seseorang mampu menghadapi apapun yang ia alami dalam hidup. Inilah sejatinya yang disebut sebagai kecerdasan spiritual (spiritual quotient).
Oleh karena itu seorang pemimpin benar-benar tertuntut untuk membaca dalam arti yang sesungguhnya. Profesor Quraish Shihab menjelaskan bahwa perintah iqra’ dalam Al-Qur’an Surat Al-Alaq 1 – 5, bukan sekedar membaca.
Iqra’ yang diturunkan dari akar kata qara’a artinya mendalami, meneliti dan menghimpun, yaitu menghimpun makna.
Jadi ketika seseorang membaca (membaca kitab, alam, sosial masyarakat, dan lain-lain) sesungguhnya dia sedang memburu makna (hidup).
Saat seorang pemimpin mampu membaca gejolak sosial masyarakatnya, maka ia akan menemukan makna terdalam dari masalah yang timbul. Dengan demikian lebih mudah memahaminya kemudian memecahkannya. Mengapa? Karena perubahan perspektif menuju bentuk yang spesifik dan kongkrit telah dilakukan dan hal ini merupakan elemen yang sangat penting dalam berpikir. Dan seorang pemimpin harus memiliki itu.
Dengan demikian, seorang pemimpin akan mampu beradaptasi dalam beragam komunitas, laksana air. Mampu meneduhkan laksana awan, mampu menerangi dan menjelaskan banyak perkara laksana matahari, mampu memberi inspirasi laksana bintang dan mampu memberi ketentraman laksana rembulan, mampu mengobarkan semangat laksana api, dan mampu menyusup ke segala lapisan masyarakat laksana angin, serta mampu menumbuhkembangkan kepercayaan masyarakat laksana bumi yang senantiasa menumbuhkan pepohonan yang ditanam.