KASINUNGAN NGELMU & FALSAFAH HIDUP ORANG JAWA
Sampyuh berasal dari bahasa Sansekerta.
Arti harfiahnya mati sampyuh/ sampyoh adalah mati bersama, tendheng, bedhu, drow, tidak ada pihak yang diuntungkan sama-sama rugi kehilangan nyawa karena tinggal namanya saja alias keok kabeh, pejah paripurna kabeh.
AMENANGI JAMAN SAMPYUH
Ada pertempuran sengit yang disebut Perang Jawa, orang Jawa memiliki perang lain yang lebih dianggap luar biasa, yakni brantayuda joyobinangun.
Brantayuda berasal dari Bharatayuda atau perang keluarga Bharata.
Brantayuda bukanlah peperangan biasa.
Bukan geger kecil-kecilan.
Namun lebih merupakan perang yang bisa mengakibatkan mati sampyuh atau mati bersama.
Kita juga memiliki ungkapan geger genjik udan kirik untuk menunjukkan keributan sangat dahsyat.
Kita juga punya ungkapan ontran-ontran.
Hanya, meskipun berkesan luar biasa, brantayuda lebih sering digunakan untuk menggambarkan pertempuran yang tak terhindarkan.
Karena itulah, orang Jawa sangat ingin menghindari brantayuda. Karena itu pula, perang di mana pun, selalu memiliki etika.
Etika perang perlu agar segalanya berlangsung dalam harmoni dan keselarasan.
Agar ada harmoni, perang tidak boleh dilakukan secara brutal dan sesuka hati.
Dalam Islam, misalnya, ada aturan-aturan kemanusiaan dalam berperang.
Pada saat bertempur, Nabi tidak memperbolehkan pasukan membunuh warga sipil. Muhammad juga melarang para serdadu membunuh perempuan, anak-anak, dan orang tua renta. Juga tak boleh menghancurkan rumah ibadah.
Tak diperkenankan pula merusak ekosistem alam seperti tumbuhan, air, serta semacamnya dan fasilitas umum.
Dalam cerita Bhagawatgita, secara detail Kresna memberikan etika berperang kepada Arjuna.
Pendek kata, di Jawa pun perang bukanlah tindakan yang harus dilakukan secara brutal dan sembarangan.
Simak apa yang tersesat dan tersirat Kakawin Bharatayudda yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.
Ajaran pokok inti yang dikemukakan dalam sāmabheda- dańůa adalah :
1. Pertama bahwa setiap raja yang ingin membinasakan musuh-musuhnya wajib mencari sekutu sama di antara kerajaan-kerajaan yang berhubungan baik, dengan perhitungan bahwa jika terjadi perang maka kerajaan yang menjadi sekutunya diharapkan memberikan bantuan atau setidak-tidaknya bersikap netral.
2. Kedua ialah dengan memecah belah (bheda) dan terakhir apabila memecah belah kerajaan-kerajaan musuh telah tercapai maka yang dilakukan ialah memukul (danua) musuhnya yang telah lemah.
Itu berarti Kakawin Bharatayudda lebih mementingkan strategi ketimbang etika berperang. Strategi perang selalu berhubungan dengan pemusnahan kemanusiaan.
Kresna sebagai grand design perancang strategi ketimbang sebagai penyusun etika pertempuran.
Adapun etika berperang lebih berfokus pada bagaimana menyelamatkan kemanusiaan di dalam keributan dan kekacuan.
Akan tetapi, kita juga tahu, ada penyimpangan-penyimpangan dalam peperangan.
Yudistira harus menjadi penipu dengan menyatakan Aswatama telah mati untuk menghancurkan mental Durna.
Antareja juga harus ditipu agar menjilat telapak kakinya sendiri supaya perang berlangsung dalam strategi Kresna.
Dalam alur strategi menunjukkan untuk masa yang lebih kekinian, ada strategi militer Jawa dalam berperang, yaitu :
1. Penyerbuan secara tiba-tiba (surprises attack).
2. Merubuhkan pohon-pohon ke jalan raya sehingga jalan tertutup dan menghalangi serangan musuh, terutama menghalangi konvoi kereta barang.
3. Memutuskan suplai makanan yang merupakan titik lemah sehingga dapat memaksa musuh menyerah karena kelaparan dan.
4. Memutuskan suplai air dari bendungan sungai.
Kita agaknya baru menemukan etika berperang yang sangat mengasihi musuh atau satru pada era RM Pandji Sosrokartono.
Sosrokartono menyatakan, kita harus nglurug tanpa bala (maju perang tanpa pasukan) dan menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan orang lain).
Ini bukan tindakan yang mudah dilaksanakan.
Pada saat orang ingin menghabisi musuh sebanyak-banyaknya (amenangi jaman sampyuh) dan satru mungguhing cangklakan (musuh berada di ketiak), jelas mengasihi musuh adalah kebajikan tingkat dewa.
SAMPYUH DALAM CERITA WAYANG
Abimanyu disebut Angka Wijaya putra Hardjuna dengan Dewi Wara Sumbadra ksatria trahing awirya rembesing madu, senang bertapa, meneladan Hardjuna berhasil meraih Wahyu Cakraningrat, penerus, pewaris tahta Hastinapura berputera Parikesit yang dipercaya menurunkan raja-raja tanah Jawa Nusantara.
Leksmana putra Prabu Duryudana dengan Dewi Banowati telah dinobatkan sebagai putra mahkota.
LEKSMANA MANDRAKUMARA menghunus keris, mendekati Abimanyu yang telah tertancap (ranjab) ratusan anak panah Gandamana dan Kurawa bermaksud mengakhirinya dan mengejek ketidakampuhan Wahyu Cakraningrat.
Dalam kelemahannya Abimanyu menggenggam keris pusaka dan menghunjamkannya bersamaan Leksmana menikamnya, sampyuh adalah mati bareng, mati gugur dadi nathang (magabathanga).
ANGKA WIJAYA sebutan lain Abimanyu, beberapa kelompok spiritual masyarakat memberi makna Angka yang WI-jaya (bernilai, membahagiakan) adalah harta, kepeng, keping berbentuk bulat seperti gambaran Semar, siapa yang menguasai Semar (uang) akan berjaya. Penempatan peran Semar dalam pewayangan adalah dewa (pelindung), dalam lakon perebutan Semar Boyong, Semar Kuning, Semar Gugat berlatar belakang memusnahkan, memperlemah raja (Pandhawa) yang dilindungi Semar.
Mendewakan Semar, memperebutan Semar dimaknai penguasaan atas kekayaan, harta benda, memberhalakan uang karena hanya dengan uang seseorang berkuasa atas orang lain, dengan menguasai Semar (uang) kami bisa.
Dalam lakon Abimanyu Ranjab, tertembus beribu anak panah, oleh beberapa kelompok tersebut diatas dipandang sebagai usaha memperlemah Angkawijaya oleh suatu negara (kelompok negara) atas negara lain.
Bagong, sumurupana ngger, para winasis wis suka paring weca Aku Bibite MAnungsa kang hanyumurupi (Abimanyu), marang gambaraning Ba Thara Ngaton (MAGA BATHANGA).
Kata ki Lurah Semar, Badranaya (cahaya benderang) kepada anak-anaknya yang dikenal sebagai Panakawan (pana=mengerti, kawan=sedulur papat), pamomong, asuh, batur (pengembate tutur, tempat bertanya).
BA aksara yang menjadi titik tumpu peringkat keempat Aksara Jawa dimaknai Bayu Sejati (angin, hawa, ruah, roh, nafas) kang andalani, menciptakan jalan dan bisa dijalani (dilakoni), mampu bergerak, berpindah tempat (pertanda hurip).
Sangat menarik untuk merenungkan lebih dalam karunia yang tan kasat mata, tak nampak, spiritual yang dikenal sebagai Nyawa, Roh, Jiwa, Sukma, Ingsun kebanyakan orang kisruh (gelap) memaknainya dan sementara ini dianggap sama :
1. Pertama nyawa (nya wadah, nya hawa, udara, nafas) dikaruniakan kepada semua mahluk ciptaan, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan bahkan pada batu-batuan.
Semua mahluk yang memperoleh nyawa (hidup) berpotensi untuk berkembang, tumbuh dan menjadi besar tetapi tidak mampu berpindah tempat, tumbuh-tumbuhan, batu-batuan. Penyebaran, perpindahannya membutuhkan bantuan angin, air, dan yang lebih dapat dikatakan adil bila disebarkan/dipindahkan manusia.
Artinya bila menebang hutan harus diikuti penanaman kembali, agar lestari (melestarikan) kehidupan tumbuh-tumbuhan itu, sekaligus mencegah banjir, tanah longsor.
Dalam hal ini pengertian adil (ing manusia) lebih tepat disandang manusia, melestarikan tumbuh-tumbuhan.
Mau makan buahnya tanam bibitnya, mau meuble kayu jati, tanam bibit pohon jati.
Manusia tidak pernah bisa adil kepada sesama manusia, sebagai contoh perlakuan orang tua terhadap anak-anaknya, karyawannya, teman usaha tidak akan pernah adil.
2. Kedua roh, Ruah, Nafas, Getar berpotensi untuk digetarkan, bergetar, bergerak, menggerakkan, berpindah tempat, kemampuan ini diberikan pada tingkatan binatang. Binatang bisa bertumbuh menjadi besar sesuai jenisnya dan mampu berpindah tempat kemana sarana hidup dan kehidupan mereka tersedia.
Kelompok binatang ini belum mendapat karunia Jiwa, karena itu binatang tidak memiliki adab, peradaban.
Membunuh dan bahkan memangsa sesama/lain jenis tidak menjadi tolok ukur peradaban binatang, karena itu di sebut Biadab. Karena itu manusia dianggap biadab bila menyembelih binatang piaraan tanpa ucapan sukur (doa), sangat biadab tega membunuh anak kecil, menggugurkan anak masih dalam kandungan, (dibantu Tuhan dengan berdoa ngayawara).
3. Ketiga JIWA (NyawiJI WAdhah) artinya menyatu dalam wadhah (raga manusia) antara Suksma dan Suksma Sejati hal ini ditunjukkan dengan peradaban bangsa-bangsa dan/atau suku bangsa. Seseorang dapat dikategorikan ‘berjiwa besar’, bila bersikap lila-legowo artinya dengan dibekali jiwa manusia berpotensi mampu membedakan ALA lan BECIK, sudah mampu memahami sikap, sifat dan watak dalam pengertian yang didalami Ilmu Jiwa, Psikologi. Belum memasuki tingkat keilahian, tetapi telah mengetahui dan sadar bahwa ada kekuasaan diluar dirinya dan melebihinya yang menyatu=nyawiji dalam dirinya.
4. Keempat SUKSMA (rumaSUK, eSa, MAnungsa), kesadaran bahwa yang ESA, Gusti Kang Maha Kuwasa rumasuk dalam diri manusia dikatakan ‘tidak jauh dari urat nadi’. Karunia tingkat keempat ini berpotensi menyadari niat, kehendak, KARSA Dalem Gusti yang dibisikkan, diwahyukan melalui hati sanubari. Memberi dorongan, semangat, niat untuk Manunggal dengan SUKSMA SEJATI, atau SUKSMA KAWEKAS, sebagai tujuan akhir Panunggalan. Ada kerancuan dalam memaknai ‘Mulih mula mulanya’, ‘kembali kepada Tuhan’ seakan menghindari neraka dan masuk surga.
5. Kelima INGSUN (ING=ada didalam, SUNar=sinar, cahaya, NUR; SUN=matahari). Kata “SUNDA” dimaknai SU=sejati, NA=api, DA=besar, yaitu matahari, yang mengandung arti “Sejati-Api-Besar” (“Api Besar yang Sejati, Api Agung yang Abadi”). Tingkatan INGSUN, berpotensi pencapaian tingkat tertinggi manusia mengenal, menyatu, manunggal, mampu melihat NUR (bersaksi, mencapai Makrifat, Budha, Santo.
Umumnya manusia pada tingkatan ini hidupnya bukan lagi untuk kepentingan dirinya semata, mereka telah mencapai kesadaran ingsun, ‘sak derma nglakoni’, ‘sendika Gusti’, ‘demi sesama manusia’.
Dengan memahami kelengkapan hidup ‘tan kasat mata’ ini manusia akan ‘rebut luput’ artinya mengaku salah, seolah semua yang dialami, terjadi karena ‘salahku’ bukan memaksa orang lain yang mengaku salah.
Diwajibkan dalam gereja Katolik mengakui, Mea Culpa, Mea Culpa, Mea Maxi Maculpa (aku sungguh berdosa) karena itu mohon Kyrie Eleison.
Aksara BA selengkapnya MAGABATHANGA – Bayu Sejati sebagai pendorong Ingsun dibimbing Ingsun Sejati menjalankan (‘sak dermo nglakoni’) misi, perutusannya yang ditimbulkan melalui ‘niat, karsa, wahyu’ untuk nanti menyerahkan semua hasil dan perbekalan yang diterima (ngracut busana) selama menggunakan busana (ageman, wadhah) manusia dialam fisik yang fana ke alam kekal, baka, “Bali Mula Mulanya” (NGA-wang awang). Tan samar pamoring suksma.
“Mulane Bandjur Owah Wewudjudane lan Bandjur Thukul Ing Awang-awang, tegese ana nanging durung kasat mata, ja pirantine si pantjadrija. Kuwi ngono anggambarake kahanan ingsun apadene sira dhek djaman kala samana, sakdurunge mawudjud kaja ngene iki”. Semene ngger, luhuring kawruh tilarane ejangira dhewe ja Empu Galihan